Anda di halaman 1dari 16

TEORI PENDEKATAN DALAM PENAFSIRAN : PENDEKATAN

TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

Dosen Pengampu
Dr. Aibdi Rahmat, M.Ag

Disusun Oleh :

Titania Putri Sekar Ayu (2323760020)


Agus Hardoni (2323760024)

PROGRAM STUDI PASCASARJANA HUKUM TATA


NEGARA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) FATMAWATI
SUKARNO
BENGKULU, 2023M/1444 H
A. PENGERTIAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

1. Pendekata Tekstual

Sebagaimana yang dikatakan Paul Ricoeur, bahwa teks 1 adalah

wacana (discourse)2 yang disusun dalam tulisan. Dari definisi ini,

penyusunan (fiksasi) tulisan bersifat konstitusi terhadap teks itu

sendiri.3 Pendekatan tekstual dalam studi Tafsir merupakan suatu

usaha dalam memahami makna tekstual dari ayat-ayat Alquran. Pada

pendekatan tekstual, praktik tafsir lebih berorientasi pada teks dalam

dirinya. Kontekstualitas suatu teks lebih dilihat sebagai posisi suatu

wacana internalnya atau intra-teks. Bahkan pendekatan tekstual

cenderung menggunakan analisis yang bergerak dari refleksi (teks) ke

praksis (konteks) yaitu memfokuskan pembahasan pada gramatikal-

tekstual. Praksis yang menjadi muaranya adalah lebih bersifat

kearaban, sehingga pengalaman sejarah dan budaya di mana penafsir

dengan audiennya sama sekali tidak punya peran. Teori ini didukung

oleh argumentasi bahwa Alquran sebagai sebuah teks suci telah

sempurna pada dirinya sendiri. Pendekatan dari realitas ke teks dalam

1
Teks merupakan fiksasi atau pelembagaan sebuah wacana lisan dalam bentuk
tulisan. Penggunaan kata teks pada al-Qur‟an secara sderhana dapat dipahami sebagai
tulisan yang telah sampai kepada kita sebagai pembaca; baca mushaf. Permasalahan lebih
lanjut adalah bahwa teks atau kalam Allah tidak terbatas pada firman yang telah terekam
dan tertulis dalam mushaf saja, melainkan alam raya ini juga merupakan tanda yang jika
ditelusuri akan menunjukkan adanya realitas lain yang tidak hadir. Komarudin Hidayat,
Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996),
132-135
2
Wacana merupakan media untuk proses dialog antara berbagai individu untuk
memperkaya pengetahuan dan pemikiran dalam rangka mencari kebenaran tertinggi.
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2004), 142
3
Paul Ricoeur, Hermeneutics and Human Sciences (New York: Cambridge
University Press, 1981), 145.
studi Alquran menjadi sebuah keniscayaan dalam upaya integrasi

keilmuan.4

Terdapat pandangan yang lebih maju dalam konteks ini, yaitu

bahwa dalam memahami suatu teks, seseorang harus melacak konteks

penggunaannya pada masa di mana teks itu muncul. Sebagaimana

Ahsin Muhammad menegaskan bahwa kontekstualisasi pemahaman

Alquran merupakan upaya penafsir dalam memahami ayat Alquran

bukan melalui harfiah teks, tapi dari konteks dengan melihat faktor-

faktor lain, misalnya situasi dan kondisi di mana ayat Alquran

diturunkan. Seperti misalnya pengetahuan tentang Gender di dalam

alQuran, seperti yang diungkapkan oleh Masripah ‚The arguments that

we see in the Quran and Sunnah generally applicable to both men and

women, except for the distinction with her feminine nature

backgrounds: in the household, one male and one female.‛5 Oleh

karenanya, seorang penafsir harus memiliki pemikiran yang luas,

misalnya mengetahui hukum Islam secara rinci, mengetahui kondisi

pada waktu hukum itu ditetapkan, mengetahui alasan dari suatu hukum

yang ditetapkan, dan sebagainya.6

Sebagai contoh, salah satu kitab tafsir yang menggunakan

pedekatan tekstual, yang berangkat dari refleksi ke praksis adalah

4
Syahrullah Iskandar, “Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus UIN
Sunan Gunung Djati Bandung,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1,
no. 1 (2016): 87.
5
Masripah, “Indonesian Islamic Women Movement (A Case Study of Bkswi West
Java),” International Journal of Nusantara Islam 1, no. 2 (2013): 9–21.
6
Ahsin Muhammad, “Asbab al-Nuzul dan Kontekstualisasi Al-Qur‟an”, Makalah,
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (1992), 7.
Tafsir Al-Misbah. Tafsir ini ditulis oleh Quraish Shihab sekitar bulan

Juni 1999 di Kairo. Kitab Tafsir ini belum mewakili berbagai problem

yang dihadapi umat Islam Indonesia. Sebab pada akhir tahun 1990-an,

Indonesia mengalami perubahan politik dan dinamika pemahaman

keagamaan. Misalnya, kebutuhan yang sangat mendesak untuk

kesatuan Indonesia dengan perlunya dibangun hubungan sosial antara

umat beragama. Tetapi, nampaknya belum terlihat dengan tegas

pembahasan persoalan tersebut di dalam Tafsir Al-Misbah. Sebagai

sebuah proses budaya, penafsiran Alquran yang sangat dipengaruhi

(jika tidak ‚dideterminasi‛) ruang waktu, sangatlah wajar jika

melahirkan kera-gaman.7

2. Pendekatan Kontekstual

Perlu diketahui terlebih dahulu apa maksud dari konteks itu

sendiri. Konteks adalah situasi yang di dalamnya suatu peristiwa

terjadi, atau situasi yang menyertai munculnya sebuah teks; sedangkan

kontekstual artinya berkaitan dengan konteks tertentu. Terminologi

kontekstual sendiri memiliki beberapa definisi yang menurut Noeng

Muhadjir, setidaknya terdapat tiga pengertian berbeda, yaitu: 1)

berbagai usaha untuk memahami makna dalam rangka mengantisipasi

problem-problem sekarang yang biasanya muncul; 2) makna yang

melihat relevansi masa lalu, sekarang dan akan datang; di mana

sesuatu akan dilihat dari titik sejarah lampau, makna fungsional


7
Muhammad Solahudin, “Metodologi Dan Karakteristik Penafsiran Dalam Tafsir
Al-Kashshaf,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016): 116–
117
sekarang, dan prediksi makna yang relevan di masa yang akan datang;

dan 3) memperlihatkan keterhubungan antara pusat (central) dan

pinggiran (periphery)8 , dalam arti yang sentral adalah teks Alquran

dan yang periferi adalah terapannya. Selain itu, arti periferi ini, juga

mengandung arti menundukkan Alquran sebagai sentral moralitas.9

Pendekatan kontekstual yang dimaksud disini adalah pendekatan

yang mencoba menafsirkan Alquran berdasarkan pertimbangan

analisis bahasa, latar belakang sejarah, sosiologi, dan antropologi yang

berlaku dalam kehidupan masyarakat Arab pra-Islam dan selama

proses wahyu Alquran berlangsung. Selanjutnya, penggalian

prinsipprinsip moral yang terkandung dalam berbagai pendekatan.

Secara substansial, pendekatan kontekstual ini berkaitan dengan

pendekatan hermeneutika, yang merupakan bagian di antara

pendekatan penafsiran teks yang berangkat dari kajian bahasa, sejarah,

sosiologi, dan filosofis.10

Pada dasarnya pendekatan kontekstual ini cenderung

menggunakan analisis yang bergerak dari praksis ke refleksi. Analisis

ini mengandung arti bahwa pemahaman Alquran secara konteks

merupakan usaha dari seorang mufasir dalam memahami ayat-ayat

Alquran, melalui konteks dari ayat-ayat Alquran itu sendiri, dengan

melihat kondisi dan situasi di mana dan karena alasan apa ayat-ayat
8
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,
2000), 263-264
9
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif......., 263-264.
10
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 34-
45
Alquran itu diturunkan11. Hal yang penting diperhatikan juga, ialah

harus ditarik ke dalam konteks penafsir di mana ia hidup dan berada,

dengan pengalaman sejarah, sosial, dan budayanya sendiri. Lebih jauh

dapat dikatakan, bahwa hubungan teks dengan konteks, sebagaimana

yang dinyatakan Komarudin Hidayat bahwa bahasa dan budaya

sesungguhnya tidak bisa dipisahkan. Setiap teks muncul dalam sebuah

wacana yang memiliki banyak variabel, antara lain suasana politis,

ekonomis, psikologis dan lain sebagainya. Sehingga ketika wacana

yang bersifat spontan dan dialogis dituliskan dalam teks maka sangat

potensial akan melahirkan pemahaman yang salah di kalangan

pembacanya. Setidaknya, pengetahuan yang diperoleh melalui sebuah

lisan akan berada dari pengetahuan yang didapat melalui bacaan. 12

Oleh sebab itu, karya terjemahan dan penafsiran yang hanya terpaku

pada gramatikal bahasa akan kehilangan banyak dimensi teks yang

sangat fundamental.

Salah satu contoh yang dianggap baik dalam penggunaan

pendekatan kontekstual ini adalah Farid Esack. Ia menempatkan

hermeneutik Alquran dalam ruang sosial di mana ia berada, sehingga

sifatnya bukan lagi kearaban yang bersifat umum. Esack merumuskan

hermeneutik Alquran yang berporos pada pembebasan dan persamaan

dengan mempertimbangkan aspek kontekstual di mana ia hidup.

Menurut Esack, tidak ada tafsir dan ta’wil yang bebas nilai. Penafsiran
11
Solahudin, “Metodologi Dan Karakteristik Penafsiran Dalam Tafsir Al-
Kashshaf.”
12
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama......, 17
Alquran, bagaimanapun, adalah eisegesis -- memasukkan wacana asing

ke dalam Alquran- - sebelum exegesis --mengeluarkan wacana dari

Alquran.13

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Tekstual

pendekaltaln tekstual cenderung menggunalkaln alnalisis yalng

bergeralk dalri refleksi (teks) ke pralksis (konteks), dengaln fokus

paldal alspek gralmaltikal daln tekstual. Pralktik ini lebih berorientalsi

paldal kealralbaln, di malnal pengal almaln sejalralh daln budalyal

yalng melibaltkaln penalfsir daln aludiensnyal tidalk memiliki peraln

yalng signifikaln. Pendekaltaln ini didukung oleh alrgumen balhwal Al

-Qur’aln, sebalgali teks suci, telalh mencalpali kesempurnalaln dal alm

dirinyal sendiri. Dal alm studi Al -Qur’aln, pendekaltaln dalri realitals

ke teks menjaldi sualtu kebutuhaln yalng penting dal alm upalyal

integralsi ilmu pengetalhualn.14

Terdalpalt palndalngaln yalng lebih malju dal alm konteks ini,

yalitu balhwal dal alm memalhalmi sualtu teks, seseoralng halrus

melalcalk konteks penggunalalnnyal paldal malsal di malnal teks itu

muncul. Sebalgalimalnal yalng ditegalskaln oleh Alhsin Muhalmmald,

pendekaltaln kontekstual dal alm pemalhalmaln Al -Qur’aln


13
Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and The
Emergence of Qur‟anic Hermeneutical Notions”, dalam ICMR., Vol. 2, no. 2, Desember
1991. Secara teoritik dan praktik lihat Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An
Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity Againt Oppression (Oxford: Oneworld,
1997), 49-77
14
Syahrullah Iskandar, “Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus UIN
Sunan Gunung Djati Bandung,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya,
Volume 1, Nomor 1, (2016), 87.
melibaltkaln penalfsir untuk memalhalmi alyalt Al -Qur’aln bukaln

halnyal melalui pemalhalmaln halrfialh teks, tetalpi jugal dengaln

memperhaltikaln konteks yalng melibaltkaln falktorfalktor lalin,

seperti situalsi daln kondisi di malnal alyalt Al -Qur’aln diturunkaln.

Misalnyal, ketikal membalhals pengetalhualn tentalng Gender dal alm

Al -Qur’aln, seperti yalng diungkalpkaln oleh Malsripalh, “The

alrguments thalt we see in the Quraln alnd Sunnalh generally

alpplicalble to both men alnd women, except for the distinction with

her feminine nalture balckgrounds: in the household, one male alnd

one femalle”. (Alrgumentalsi yalng terlihalt dal alm Al -Qur’aln daln

Sunnalh paldal umumnyal berlalku untuk lalki-lalki daln perempualn,

kecuali perbedalaln yalng berkalitaln dengaln laltalr belalkalng

kodraltnyal: di dal alm rumalh talnggal, aldal lalki-lalki daln

perempualn)15.

Oleh kalrenal itu, seoralng penalfsir Al -Qur’aln halrus memiliki

pemikiraln yalng luals, seperti pengetalhualn yalng mendal alm

tentalng hukum Islalm, pemalhalmaln yalng balik tentalng kondisi

paldal walktu hukum itu ditetalpkaln, sertal mengetalhui al alsaln di

balik penetalpaln sualtu hukum. Hal ini membutuhkaln pemalhalmaln

yalng komprehensif daln menyeluruh.16

2. Kontekstual

15
Masripah, “Indonesian Islamic Women Movement (A Case Study of Bkswi
West Java),” International Journal of Nusantara Islam, Volume 1, Nomor 2, (2013), 9-21.
16
Ahsin Muhammad, “Asbab al-Nuzul dan Kontekstualisasi Al-Qur‟an”,
Makalah, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (1992), 7
Paldal dalsalrnyal, pendekaltaln kontekstual ini cenderung

menggunalkaln alnalisis yalng bergeralk dalri refleksi ke pralksis. Dal

alm alnalisis ini, pemalhalmaln Al - Qur’aln secalral kontekstual

merupalkaln upalyal seoralng mufalsir dal alm memalhalmi alyalt-

alyalt Al -Qur’aln melalui konteks alyalt-alyalt tersebut, dengaln

memperhaltikaln kondisi daln situalsi di malnal alyalt-alyalt Al -

Qur’aln itu diturunkaln.17 Penting jugal untuk memperhaltikaln konteks

penalfsir di malnal merekal hidup daln beraldal, dengaln pengal almaln

sejalralh, sosial, daln budalyalnyal sendiri. Komalrudin Hidalyalt

menjelalskaln balhwal balhalsal daln budalyal tidalk dalpalt

dipisalhkaln. Setialp teks muncul dal alm walcalnal yalng melibaltkaln

berbalgali valrialbel, seperti sualsalnal politik, ekonomi, psikologis,

daln lalin sebalgalinyal. Oleh kalrenal itu, ketikal walcalnal yalng

bersifalt spontaln daln dialogis dituliskaln dal alm teks, dalpalt

berpotensi menghalsilkaln pemalhalmaln yalng sal alh balgi palral

pembalcal. Setidalknyal, pengetalhualn yalng diperoleh melalui lisaln

alkaln berbedal dengaln pengetalhualn yalng diperoleh melalui

balcalaln.18 Oleh sebalb itu, kalryal terjemalhaln daln penalfsiraln

yalng halnyal terpalku paldal gralmaltikal balhalsal alkaln kehilalngaln

balnyalk dimensi teks yalng salngalt fundalmental.

Sal alh saltu contoh yalng dialnggalp balik dal alm peneralpaln

pendekaltaln kontekstual ini aldal alh Falrid Esalck. Falrid Esalck


17
Solahudin, “Metodologi Dan Karakteristik…, 117
18
Komarudin Hidayat, “Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik”
(Jakarta: Paramadina, 1996), 17
menempaltkaln hermeneutikal Al - Qur’aln dal alm konteks sosial di

malnal dial beraldal, sehinggal tidalk lalgi bersifalt universalistik. Dial

merumuskaln hermeneutikal Al -Qur’aln yalng berfokus paldal

pembebalsaln daln kesetalralaln dengaln mempertimbalngkaln konteks

di malnal dial hidup. Menurut Falrid Esalck, tidalk aldal talfsir daln

tal'wil yalng netral secalral nilali. Penalfsiraln Al -Qur’aln,

balgalimalnalpun, merupalkaln eisegesis - memalsukkaln walcalnal

alsing ke dal alm Al -Qur’aln - sebelum melalkukaln eksegis -

mengelualrkaln walcalnal dalri Al -Qur’aln.19

C. URGENSI

Dal alm talfsir yalng menggunalkaln pendekaltaln tekstual yakni tafsir

AsSya’rawi, alyalt ini dalpalt dipalhalmi sebalgali penegalsaln balhwal

kebaljikaln yalng sejalti tidalk halnyal terbaltals paldal ritual altalu

orientalsi geogralfis, tetalpi melibaltkaln imaln kepaldal Allalh, halri

kemudialn, daln berbalgali alspek kehidupaln sosial daln moral. Alyalt ini

mengaljalrkaln pentingnyal mempralktikkaln imaln melalui tindalkaln

nyaltal seperti memberikaln sedekalh kepaldal oralng-oralng yalng

membutuhkaln, menjalgal komitmen daln jalnji, bersalbalr dal alm

menghaldalpi cobalaln, sertal bertalkwal kepaldal Allalh dal alm segal al

alspek kehidupaln.20

19
Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and The
Emergence of Qur‟anic Hermeneutical Notions”, dalam ICMR., Volume 2, Nomor 2,
Desember 1991. Secara teoritik dan praktik lihat Farid Esack, Qur’an Liberation and
Pluralism: An Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity Againt Oppression
(Oxford: Oneworld, 1997), 49-77
20
M. M al-Sya’rawi, Tafsir Al-Sya’rawi Al-Khawatir, Juz IV (Akhbar al-Youm,
1997), 22
Meskipun demikialn, kitalb talfsir ini belum sepenuhnyal mencalkup

berbalgali problem yalng dihaldalpi oleh umalt Islalm di Indonesial. Paldal

alkhir talhun 1990-aln, Indonesial mengal almi perubalhaln politik daln

dinalmikal pemalhalmaln kealgalmalaln yalng signifikaln. Sebalgali

contoh, terdalpalt kebutuhaln mendesalk untuk memperkualt persaltualn di

Indonesial dengaln membalngun hubungaln sosial yalng halrmonis

alntalral umalt beralgalmal. Nalmun, dal alm Talfsir Al -Misbalh,

pembalhalsaln mengenali persoal aln tersebut tidalk terlihalt secalral

tegals. Sebalgali sebualh proses budalyal, penalfsiraln Al -Qur’aln salngalt

dipengalruhi oleh rualng daln walktu, daln oleh kalrenal itu, tidalklalh

mengheralnkaln jikal muncul kekhalwaltiraln altalu ketidalk palstialn.21

Al -Quraln sebalgali petunjuk pertalmal daln utalmal balgi umalt

Muslim. (“Al - Quraln als the first alnd the foremost guidalnce for

Muslims”).22 Selalin itu, permalsal alhaln di tengalh malnusial seperti

yalng diungkalpkaln Salputral balhwal ‚The spiritual crisis of modern

humaln beings here mealns, firstly, thalt they saly people caln no more live

in hope of religion als life guidalnce als it prevent als well als resist

progression; alnd secondly, thalt it is the believers of religion who do

crime on behalf of God or religious tealching. 23 ( Krisis spiritual paldal

21
Muhammad Solahudin, “Metodologi Dan Karakteristik Penafsiran Dalam Tafsir
Al-Kashshaf,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016), h.
116–117 .
22
Fenti Hikmawati, “Islamic Counselling Model to Increase Religious
Commitment (Study of Students at the University UIN Bandung),” International Journal
of Nusantara Islam, Volume 1, Nomor 1, (2013), 65–81. Riki
23
Saputra, “Religion And The Spiritual Crisis Of Modern Human Being In The
Perspective Of Huston Smith ` S Perennial Philosophy,” Al-Albab, Volume 5, Nomor 2,
(2016), 195–215.
malnusial modern di sini beralrti, pertalmal, balhwal merekal

mengaltalkaln balhwal oralng tidalk lalgi dalpalt hidup dengaln halralpaln

algalmal sebalgali palndualn hidup kalrenal hal tersebut menghalmbalt

sertal menentalng kemaljualn; daln kedual, balhwal palral pengalnut

algalmal-lalh yalng melalkukaln kejalhaltaln altals nalmal Tuhaln altalu

aljalraln algalmal).

Oleh kalrenal itu, untuk memalhalmi alyalt-alyalt Al -Qur’aln,

penting untuk tidalk halnyal mengalndalkaln pendekaltaln tekstual saljal,

tetalpi jugal memperhaltikaln kondisi-kondisi yalng terkalit dengaln

penurunaln alyalt tersebut. Keterlibaltaln kondisi-kondisi tersebut menjaldi

titik tolalk dal alm memalhalmi alyalt-alyalt Al - Qur’aln dengaln

pendekaltaln kontekstual. Dal alm hal ini, Muhalmmald Albduh (w. 1905

M.), seperti yalng dikutip oleh Munalwir Sjaldjali, mengingaltkaln kital

untuk berhalti-halti dal alm membalcal kalryal-kalryal talfsir yalng telalh

aldal sebelumnyal, kalrenal penulisaln tersebut dilalkukaln dal alm

konteks daln tingkalt intelektual malsyalralka yalng mungkin berbedal

dengaln zalmaln sekalralng. Oleh kalrenal itu, untuk memalhalmi alyalt-

alyalt Al -Qur’aln, penting untuk tidalk halnyal mengalndalkaln

pendekaltaln tekstual saljal, tetalpi jugal memperhaltikaln kondisi-kondisi

yalng terkalit dengaln penurunaln alyalt tersebut.

D. LANGKAH-LANGKAH PENGGUNAAN DAN CONTOHNYA

1. Tekstual
Terdapat pandangan yang lebih maju dalam konteks ini, yaitu

bahwa dalam memahami suatu teks, seseorang harus melacak konteks

penggunaannya pada masa di mana teks itu muncul. Sebagaimana

Ahsin Muhammad menegaskan bahwa kontekstualisasi pemahaman

Alquran merupakan upaya penafsir dalam memahami ayat Alquran

bukan melalui harfiah teks, tapi dari konteks dengan melihat faktor-

faktor lain, misalnya situasi dan kondisi di mana ayat Alquran

diturunkan. Seperti misalnya pengetahuan tentang Gender di dalam

alQuran, seperti yang diungkapkan oleh Masripah ‚The arguments that

we see in the Quran and Sunnah generally applicable to both men and

women, except for the distinction with her feminine nature

backgrounds: in the household, one male and one female.‛ 24 Oleh

karenanya, seorang penafsir harus memiliki pemikiran yang luas,

misalnya mengetahui hukum Islam secara rinci, mengetahui kondisi

pada waktu hukum itu ditetapkan, mengetahui alasan dari suatu hukum

yang ditetapkan, dan sebagainya.25

Sebagai contoh, salah satu kitab tafsir yang menggunakan

pedekatan tekstual, yang berangkat dari refleksi ke praksis adalah

Tafsir Al-Misbah. Tafsir ini ditulis oleh Quraish Shihab sekitar bulan

Juni 1999 di Kairo. Kitab Tafsir ini belum mewakili berbagai problem

yang dihadapi umat Islam Indonesia. Sebab pada akhir tahun 1990-an,

24
Masripah, “Indonesian Islamic Women Movement (A Case Study of Bkswi
West Java),” International Journal of Nusantara Islam 1, no. 2 (2013): 9–21.
25
Ahsin Muhammad, “Asbab al-Nuzul dan Kontekstualisasi Al-Qur‟an”,
Makalah, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (1992), 7
Indonesia mengalami perubahan politik dan dinamika pemahaman

keagamaan. Misalnya, kebutuhan yang sangat mendesak untuk

kesatuan Indonesia dengan perlunya dibangun hubungan sosial antara

umat beragama. Tetapi, nampaknya belum terlihat dengan tegas

pembahasan persoalan tersebut di dalam Tafsir Al-Misbah. Sebagai

sebuah proses budaya, penafsiran Alquran yang sangat dipengaruhi

(jika tidak ‚dideterminasi‛) ruang waktu, sangatlah wajar jika

melahirkan kera-gaman.26

2. Kontekstual

Pada dasarnya pendekatan kontekstual ini cenderung

menggunakan analisis yang bergerak dari praksis ke refleksi. Analisis

ini mengandung arti bahwa pemahaman Alquran secara konteks

merupakan usaha dari seorang mufasir dalam memahami ayat-ayat

Alquran, melalui konteks dari ayat-ayat Alquran itu sendiri, dengan

melihat kondisi dan situasi di mana dan karena alasan apa ayat-ayat

Alquran itu diturunkan27. Hal yang penting diperhatikan juga, ialah

harus ditarik ke dalam konteks penafsir di mana ia hidup dan berada,

dengan pengalaman sejarah, sosial, dan budayanya sendiri. Lebih jauh

dapat dikatakan, bahwa hubungan teks dengan konteks, sebagaimana

yang dinyatakan Komarudin Hidayat bahwa bahasa dan budaya

sesungguhnya tidak bisa dipisahkan. Setiap teks muncul dalam sebuah

26
Muhammad Solahudin, “Metodologi Dan Karakteristik Penafsiran Dalam Tafsir
Al-Kashshaf,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016): 116–
117.
27
Solahudin, “Metodologi Dan Karakteristik Penafsiran Dalam Tafsir Al-
Kashshaf.”
wacana yang memiliki banyak variabel, antara lain suasana politis,

ekonomis, psikologis dan lain sebagainya. Sehingga ketika wacana

yang bersifat spontan dan dialogis dituliskan dalam teks maka sangat

potensial akan melahirkan pemahaman yang salah di kalangan

pembacanya. Setidaknya, pengetahuan yang diperoleh melalui sebuah

lisan akan berada dari pengetahuan yang didapat melalui bacaan. 28

Oleh sebab itu, karya terjemahan dan penafsiran yang hanya terpaku

pada gramatikal bahasa akan kehilangan banyak dimensi teks yang

sangat fundamental.

Contoh tafsir lainnya adalah Tafsir Tematik Alquran Tentang

Hubungan Sosial Antar Umat Beragama karya Majelis Tarjih dan

Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah. Sebagaimana

yang dinyatakan oleh Syafi‘i Ma‘arif, bahwa buku tafsir tersebut

merupakan bentuk kegelisahan dan sumbangan pemikiran bagi bangsa

Indonesia yang carut marut dalam masalah hubungan antarumat

beragama. Dengan mengatasnamakan agama, harta benda,

kehormatan, bahkan nyawa sekalipun sudah banyak berjatuhan.29

Dalam buku tafsir tersebut digambarkan bahwa perbedaan dan

keragaman agama merupakan kenyataan dan keniscayaan yang mesti

terjadi. Lebih lanjut buku tafsir tersebut juga menyatakan bahwa yang

harus dimiliki oleh setiap pemeluk masing-masing agama adalah

28
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama......, 17.
29
Tim Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antar umat Beragama (Yogyakarta:
Pustaka SM, 2000), vi.
kesadaran untuk merefleksikan dan memahami kembali ajaran-ajaran

kitab sucinya, baik berkenaan dengan moralitas, education, teologi,

dan hukum. Buku tafsir inipun dapat digolongkan sebagai reaksi dan

refleksi dari keadaan dan carut marutnya berbagai persoalan yang

dihadapi oleh bangsa Indonesia. Bagi penulis, buku tafsir tersebut patut

untuk dijadikan sebagai suatu upaya solutif untuk bagaimana suatu

ajaran kitab suci mampu menuangkan benih-benih kasih sayang dan

benih-benih perdamaian di bumi Nusantara ini, bahkan tidak jarang

kitab suci hanya dijadikan alat legitimasi tindak kekerasan, anarki,

pembenaran kebijakan yang timpang, dan melanggengkan kekuasaan

yang otoriter.

Anda mungkin juga menyukai