Anda di halaman 1dari 10

METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN SECARA TEKSTUAL

Tiya Wardah Saniyatul Husnah, Tri Adi Muslimin.


Institut Pesantren KH. Abdul Chalim Mojokerto
Email : Wardahtiya18@gmail.com. Mrabdullahxim@gmail.com.

Abstrak
Menafsirkan teks keagamaan melahirkan banyak sekali interpertasi dalam proses
penentuan makna, Keberadaan teks kebahasaan menghasilkan ragam bacaan dengan
interpretasi yang selalu berubah dan berkembang, seiring dengan kompleksnya
permasalahan tersebut para ummat yang mendefinisikan makna dengan beragam cara
maka timbul sebuah asumsi apakah makna teks dalam al quran itu mutlak dan tidak dapat
diubah atau apakah teks tersebut juga dinamis dan masih bisa berkembang. Tekstualisme
muncul dari pemahaman bahwa dalam menghasilkan makna sebuah teks, interpretasi
harus didasarkan pada makna literal teks. Diyakini dapat menjaga pemahaman makna
literal kata secara tidak kaku, dan mempertimbangkan kompleksitas maknanya.
Tekstualisme lahir dengan pemahaman bahwa interpretasi dalam produksi makna teks
harus bersandar pada makna literal teks.
Kata Kunci: Metodelogi, Penafsiran Al-Qur’an, Tekstual.

PENDAHULUAN
Penafsiran Alquran hakikatnya dilakukan untuk membuka dan
memahami makna yang terkandung di dalamnya. Namun untuk
memahami makna yang terpendam dalam teks-teks Alquran, tidak semua
orang dapat melakukannya. Karena ada beberapa persyaratan yang harus
dimiliki oleh seorang mufasir, sebagaimana yang kita ketahui dari
kesepakatan ulama tafsir dan ulum Al-Qur’ān tentang ketetapan
persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mufasir. Para mufasir dari
kalangan tradisionalis modern, umumnya dapat dikatakan sebagai mufasir
yang memiliki kompetensi dan persyaratan sebagai mufasir. Namun para
mufasir dari kalangan tradisionalis pada umumnya masih terjebak pada
pembahasan gramatikal bahasa yang cenderung penuh kehati-hatian dan
terkadang terkesan kaku dalam memahami makna yang terkandung
didalamnya. Penafsir pada kelompok ini seakan tidak memiliki peran
sebagai anggota sebuah sistem dari kegiatan penafsiran. Penafsir hanya
bergerak pada muara yang bersifat kearaban yang bermain hanya pada
ranah gramatikal teks. Sebagai akibatnya, mutiara kandungan Alquran
yang terpendam pada sistem teks-teks Alquran itu sendiri belum tergali
secara mendalam, Alquran menjadi belum fungsional secara optimal sebagai
petunjuk. Sehingga wajar, kalau kemudian umat jarang yang menjadikan
Alquran sebagai dasar pijakan dalam bertindak dan bersikap. Tanpa
disadari, hal ini akan menjadikan Alquran hanya sebagai simbol semata dan
menjadikannya sebagai barang antik dan tidak diterapkan dalam segala
aspek kehidupan. Pemahaman terhadap tafsir sangat penting, seperti tafsir
modern yang banyak macam ragamnya itu kontekstual sebagai
pengembangan setelah memahami makna tekstual. 1
Dalam Ulum al-Qur’an wa Tafsir banyak diperkenalkan cara dan
metode untuk memahamai makna dan menafsirkan Alquran yang
tujuannya untuk mengungkap pesan-pesan Alquran. Tentu saja cara-cara
dalam memahami Alquran itu berbeda-beda, meskipun intinya adalah
bagaimana semua umat manusia dapat memahami makna terhadap
Alquran dan selanjutnya dapat mengaktualisasikan dalam segala aspek
kehidupan. Akan tetapi cara-cara untuk memahami dan menafsirkan
Alquran sebagaimana yang diperkenalkan oleh para ulama Ulum Al-Qur’an,
tidaklah mudah seperti membalikan tangan dalam prakteknya. Siapa pun
akan menjumpai kesulitan ketika menjelaskan dan memahami makna ayat-
ayat Alquran, karena pada satu sisi sang penafsir tetap dituntut
memperhatikan teks Alquran dan pada sisi lain harus menyingkronkan teks
itu dengan konteks kehidupan masyarakat yang relatif memiliki nuansa
yang berbeda.
Polemik antara teks dan konteks juga dikenal dalam Ulum al-Qur’an.
Polemik antara teks dan konteks bisa dilihat dari pertanyaan yang sering

1
Rosihon Anwar, Dadang Darmawan, and Cucu Setiawan, “Kajian Kitab Tafsir Dalam
Jaringan Pesantren Di Jawa Barat,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 1, no.
1 (2016): 57-58.
muncul: Apakah yang harus dipegang adalah teks, konteks, atau tujuan
shara? variabel-variabel pertanyaan ini masing-masing memiliki jawaban
dan masing-masing pendukung, namun jumhur ulama kebanyakan
berpegang pada teori pertama, yaitu teks. Apakah juga mungkin dapat
disatukan antara teks dan konteks dalam memahami dan menafsirkan
Alquran? Bukankah nilai-nilai universal Alquran dan nilai-nilai lokal
masyarakat memerlukan proses akulturasi? Untuk menjawab persoalan
tersebut dan agar interaksi sebagian umat Islam dengan Al-quran tidak
hanya terbatas pada keyakinan, membaca, dan mendengarkan, maka
penulis merasa sangat perlu untuk membahas bagaimana ayat-ayat Alquran
dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual, dalam peneilitian ini
penulis memaparkan menafsirkan al-Qur’an secara tekstual.

PEMBAHASAN
PENGERTIAN TAFSIR
Secara etimologis, tafsir berarti al-Kasyf (menyingkap makna yang
tersembunyi), al-Idah (menerangkan), dan al-Ibanah (menjelaskan).2
Dikatakan tafsir adalah pembalikan dari kata safr, dengan mendahulukan
fa’ sebelum sin, sama seperti jadzb dan jabdz, maknanya sama. Misalnya
dalam kalimat asfara Al-Subh, yang berarti jika pagi bercahaya, di dalamnya
terdapat makna pengungkap dan penjelas. Sementara diambil dari kata
tafsirah, bermakna nama bagi sesuatu (urine) yang digunakan dokter untuk
mengetahui penyakit.3 Melalui urine tersebut dokter mendeteksi penyakit
yang sedang diderita oleh pasien berdasarkan warna urine-nya.
Sebagaimana seorang dokter yang berusaha mendeteksi penyakit harus
memiliki pengetahuan terhadap penyakit dan gejala-gejalanya. Begitu juga

2
Muhammad ‘Abduh ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II (Mesir:
Mustafa Bab al-Halabi, t.th.),3.
3
Muhammad ibn Muhammad Abu Shahbah, Isra’iliyyat dan Hadith-hadith Palsu Tafsir
al-Qur’an; Kritik Nalar Penafsiran al-Qur’an, terj. Mujahidin Muhayan, dkk. (Depok: Keira
Publishing, 2014),21.
mufassir tidak berangkat dari kekosongan. Tanpa pengetahuan, materi yang
ditafsirkan akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak bermakna. 4
Kata “tafsir” diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang
ayat-ayat al-Qur’an atau kitab suci lain, sehingga lebih jelas maksudnya”. 5
Tafsir al-Qur’an bermakna penjelasan atau keterangan terhadap maksud
ayat-ayat yang sukar dipahami maknanya dalam alQur’an. 6 Ini
menunjukkan jika aktivitas penafsiran terkait erat dengan upaya manusia
“mempermudah” atau “memperjelas” kandungan-kandungan ayat-ayat al-
Qur’an yang bisa jadi memang belum jelas bagi kaum muslim pada
umumnya. Jika kandungan ayat sudah gamblang maknanya, maka
aktivitas penafsiran menjadi kurang bermakna. Menurut istilah, tafsir ialah
ilmu yang menjelaskan tentang cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur’an,
makna-makna yang ditunjukkan dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri
sendiri atau tersusun.7
Abduh melihat al-Qur’an lebih spesifik lagi, tidak hanya sebagai
dogmatis-teologis, namun juga sebagai hidayah. Sementara al-Khuli melihat
alQur’an sebagai bagian dari fakta-fakta sosio-kultural. Al-Qur’an muncul
dalam bingkai dialektika antara wahyu dengan realitas masyarakat pada
saat itu. Materi huruf fa’, sin dan ra’ serta materi huruf sin, fa’ dan ra’,
bertemu dalam satu makna, yaitu menyingkapkan. Materi yang pertama
bermakna menyingkapkan sesuatu yang bersifat abstrak dan batin, yang
mana bentuk taf’il dari kata ini yaitu tafsir, yang berarti menyingkapkan
dan menjelaskan makna. Sedangkan pada materi kedua menyingkapkan
sesuatu yang bersifat materiil dan lahir. Sementara menurut istilah, tafsir
yaitu suatu ilmu yang dapat mengungkap pesan kitab Allah yang

4
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap ‘Ulum al-Qur’an. terj.
Khoiron Nadhiyyin (Yogyakarta: Lkis, 2005),281-282
5
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 882.
6
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000),40.
7
Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), 3.
diturunkan kepada nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.8
Selain tafsir, istilah lain yaitu ta’wil. Istilah ta’wil merupakan masdar
dari awwala, yaitu awwala yuawwilu, ta’wil, yang berarti ruju’ (kembali)
kepada asal. Menurut al-Jarjani, ta’wil juga berarti tarji’ (mengembalikan).9
Selain makna ini, ta’wil juga berarti penjelasan, sebagaimana QS. al-A’raf
ayat 53. Sementara ta’wil menurut istilah, yaitu memalingkan suatu lafaz
dari makna zahir kepada makna yang tidak zahir yang juga dikandung oleh
lafaz tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan al-Qur’an dan al-
Sunnah.10
Menurut ulama salaf, ta’wil mempuyai dua makna, yaitu pertama,
makna yang muradif dengan tafsir, artinya ta’wil pengambaran suatu
ungkapan menurut makna lahiriah. Kedua Kedua, ta'Wil adalah apa yang
Anda inginkan dalam ekspresi Anda. Misalnya, jika ungkapan
menunjukkan perintah untuk melakukan sesuatu, maka perilaku yang
dimaksud adalah ta'wilnya, dan jika ungkapan itu berupa berita, maka
berita yang disampaikan akan menjadi ta'wilnya. 11
TAFSIR TEKSTUAL
Interpretasi literal teks tidak diketahui dalam hal interpretasi bahasa
Arab atau bahasa Indonesia. Namun pada hakekatnya tafsir-tafsir tersebut
sudah diperkenalkan sejak awal kemunculan tafsir itu sendiri. Keduanya
termasuk dalam tafsir Maudui tentang Muzmal, Thalili, dan Mukaran.
Tergantung dari mana Mufassir mencari makna teks ayat, teks atau makna
kontekstual..12
Tafsir Al-Qur'an dapat dibagi menjadi dua kategori. Interpretasi Teks
dan Interpretasi Kontekstual. Yang pertama, secara sederhana, mungkin

8
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS (Jakarta:
Pustaka Litera AntarNusa, 2011),457.
9
Ali bin Muhammad, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 50
10
Al-Asfihani, al-Mufradat fi Gharib, 40. 10Muhammad, Kitab al-Ta’rifat,50.
11
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr,
1976), 20
12
Syafrudin, Paradigma Tafsir,38.
berhubungan dengan pendekatan penafsiran bi almatsur. redaksi ayat
menafsirkan diri mereka sebagai ayat-ayat dari Quran atau Hadis, tafsir
tekstual menitik beratkan pada pemahaman teks ayat, tanpa
mengaitkannya pada situasi historis munculnya teks atau sosiokultural
yang menyertainya. Karenanya, tafsir model ini terkesan sempit dan kaku.
Misalnya, perihal pembagian waris yang memang sudah tertera secara
tekstual dalam al-Qur’an.

Meminjam istilah fiqhiyya, tafsir tekstual mengacu pada interpretasi


eksternal Al-Qur'an yang muncul karena aliran eksternal dalam sejarah
fiqh. Ketika menafsirkan Al-Qur'an, aliran ini dipengaruhi oleh tiga prinsip
utama. Pertama, berpegang teguh pada aspek eksternal teks dan jangan
melampauinya, kecuali jika ada konsensus tentang faktor eksternal atau
ijma lainnya. Kedua, penalaran yang mendalam diperlukan karena makna
teks tidak tersirat, tetapi tersirat dalam teks. Hal yang sama berlaku untuk
mentega yang dibutuhkan Sharira. Ketiga, menerima apa yang didefinisikan
oleh Syarah tidak menemukan alasan untuk keadilan Syarah. Karena itu
sebuah kesalahan..13
Para sastrawan meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kitab suci yang
memiliki kebenaran mutlak, tidak hanya dalam konteks situasi dan kondisi
tertentu, tetapi juga dalam segala situasi dan kondisi, atau biasa dikenal
dengan Salih Li Quli Zaman wa Makan. Para pengikut telah memantapkan
diri mereka sebagai buku-buku dari seperangkat standar hukum dan
doktrin agama, tetapi pada saat yang sama mereka bergerak dengan
berlalunya waktu, dalam arti lahiriah, bukan batiniah. Mazhab yang
menggunakan kaidah ini disebut mazhab Zahiri karena dimulai oleh Davud
al-Zahiri (w. 270) dan dilanjutkan oleh Ibn Hazm (w. 456) dalam kitabnya
Al-Muhalla. Oleh karena itu, kaum tekstualis cenderung mengabaikan

13
Syafrudin, Paradigma Tafsir, h.38.
interpretasi manusia dan menjadikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai satu-
satunya sumber otoritas yang sah.14
Di sini tekstual lebih condong pada paradigma pemikiran, baik
dalam cara, metode, maupun pendekatannya terhadap teks atau makna
literalnya. Istilah ini juga dimaknai sebagai kecenderungan metode
penafsiran tekstual untuk memusatkan perhatian pada makna literal
sebuah teks dan memproyeksikan makna masa depan teks tanpa
menyertakan konteks sosio-historis teks dalam aktivitas interpretasinya.
Hakikat penafsiran teks bersifat eksklusif dan literal bila diambil dari
suatu paradigma yang didasarkan pada penafsiran pola-pola penafsiran
teks. Karena interpretasi menggunakan pola ini tidak dapat diakses
menggunakan metode modern lainnya.
Kerangka konseptual tafsir tekstual
Prinsip utama penafsiran teks adalah al-Ibrah bi General al-Lafz la
bi-special al-Sabab (pendefinisian makna didasarkan pada keumuman
teks, bukan pada rincian alasannya). Interpretasi teks didasarkan pada
dua kerangka konseptual. Pertama, pemahaman Al-Qur'an hanya
berhenti pada konteks sejarah. Kedua, tidak memasukkan fenomena
sosial dalam kerangka tujuan utama diturunkannya al-Qur'an. 15
Parameter tafsir tekstual
Penafsiran teks-sentris ini bukanlah upaya untuk mengungkap
esensi teks untuk masalah kekinian. Ini berarti bahwa masalah saat ini
adalah karena teks masa lalu. Dalam analisis linguistik, penafsiran
semacam itu seringkali bersifat akordeon dan deduktif, ketika posisi teks
Al-Qur'an menjadi interpretasi dan bahasa menjadi alat analisis. Oleh
karena itu, parameter kebenaran dalam penafsiran teks adalah
kebenaran kesederhanaan teks (secara harafiah) dalam makna makna
teks, dan karena terindikasi secara jelas di dalam teks, maka makna di
luar teks dianggap kontradiktif. Atau hancurkan makna asli teks

14
Ibid,h. 39-41.
15
Syafrudin, Paradigma Tafsir,39
tersebut. Pada saat yang sama, interpretasi ini juga menyangkal
subjektivitas dan konteks penafsir. Dengan kata lain, bukan termasuk
dimensi budaya teks, melainkan penerjemah dan proyeksi makna teks ke
zaman.16

CONTOH TAFSIR TEKSTUAL


Yang Pertama, Penafsiran Ayat Al-Qur’an dengan Ayat yang Lainnya.
Penafsiran kata Ath-Thariq di dalam surat Ath-Thariq ayat 1, ditasirkan oleh
surat Ath-Thariq ayat 2 dan 3.
ۤ
‫ق‬ ِ َّ‫َوال َّس َما ِء َوالط‬
ِ ‫ار‬
Artinya : Demi langit dan yang datang pada malam hari.
ُ ۙ ‫ار‬
‫ق‬ ِ َّ‫َو َمٓا اَ ْد ٰرى َك َما الط‬

Tahukah kamu Apakah yang datang pada malam hari itu?


ُ‫النَّجْ ُم الثَّاقِ ۙب‬

(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus.

Penafsiran surat Al-Fatihah ayat 7, ditafsirkan oleh surat An-Nisa ayat 69.
ࣖ َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الض َّۤالِّ ْين‬
'ِ ْ‫ص َراطَ الَّ ِذ ْينَ اَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم ۙە َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬
ِ
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.

ٰۤ ُ
ّ ٰ ‫الش 'هَد َۤا ِء َو‬
َ‫الص 'لِ ِح ْينَ ۚ َو َح ُس 'ن‬ ِّ ‫ك َم َع الَّ ِذ ْينَ اَ ْن َع َم هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِّمنَ النَّبِ ٖيّ َ'ن َو‬
ُّ ‫الص ' ِّد ْيقِ ْينَ َو‬ َ ‫ول ِٕى‬ ‫َو َم ْن يُّ ِط ِع هّٰللا َ َوال َّرسُوْ َل فَا‬
ٰۤ ُ
‫ك َرفِ ْيقًا‬ َ ‫ول ِٕى‬ ‫ا‬

Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati
16
Ibid, 40
syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang
sebaik-baiknya( An-Nisa ayat 69).

Yang Kedua, Penafsiran Ayat Al-Qur’an dengan Hadist Nabi SAW. Nabi
menafsirkan kata zhulmun disini artinya kemusrikan,

ٰۤ ُ ْ ُ
ࣖ َ‫ول ِٕىكَ لَهُ ُم ااْل َ ْمنُ َوهُ ْم ُّم ْهتَ ُدوْ ن‬ ‫اَلَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َولَ ْم يَ ْلبِس ُْٓوا' اِ ْي َمانَهُ ْم بِظل ٍم ا‬
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk ( Al-An’am ayat
82)

Nabi menafsirkan kata quwwah disini artinya memanah,


dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu
nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).

DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: Rajawali Pers,
1992
Al-Asfihani, Al-Raghib. al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Beirut: Dar alMa’rifah,
2001.
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid I, Beirut: Dar
al-Fikr, 1976
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abduh ‘Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz
II. Mesir: Mustafa Bab al-Halabi, t.th.
Anwar, Rosihon, Dadang Darmawan, and Cucu Setiawan. ‚Kajian Kitab Tafsir
Dalam Jaringan Pesantren Di Jawa Barat.‛ Wawasan: Jurnal Ilmiah
Agama Dan Sosial Budaya 1, no. 1 (2016).
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
Khuli, Amin. dan Nashr Ahamid Abu Zaid, Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron
Nahdiyyin. Yogyakarta: Adab Press, 2004.
Muhammad, Ali bin. Kitab al-Ta’rifat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988.
Shahbah, Muhammad ibn Muhammad Abu. Isra’iliyyat dan Hadith-hadith
Palsu Tafsir al-Qur’an; Kritik Nalar Penafsiran al-Qur’an, terj. Mujahidin
Muhayan, dkk. Depok: Keira Publishing, 2014.
Suryadilaga, M. Alfatih. Dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.
Syafrudin, U. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual: Usaha Memaknai
Kembali Pesan al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2017
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS (Jakarta:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2011.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas al-Qur’an; Kritik terhadap ‘Ulum al-
Qur’an. terj. Khoiron Nadhiyyin. Yogyakarta: Lkis, 2005.

Anda mungkin juga menyukai