Anda di halaman 1dari 6

Kajian Tafsir Al-Qur’an dan Hadits

Oleh : Dwi Nisfi Aprilia

Abstrak

Agar manusia dapat menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, maka


manusia harus berusaha memahaminya dengan baik, karena itu memahami dan
mengkaji al-Qur’an adalah sebuah keharusan terlebih lagi Al-Qur’an merupakan
sumber ajaran Islam dan salah satu caranya melalui tafsir. Secara defacto kajian
tafsir Al-Quran dapat dikatakan bagian dari kajian keIslaman dan disisi lain
dapat juga dijadikan sebagai sebuah model pendekatan dalam kajian keIslaman.
Al-Qur’an dan hadits merupakan sumber ajaran Islam yang utama bagi umat
Muhammad SAW. Kemampuan setiap orang dalam memahami tafsir dan
ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama. Begitu pula kemampuan orang memahami
hadits dan syarahnya juga tidaklah sama. Perbedaan daya nalar di antara
mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam
hanya dapat memahami makna-makna yang zhahir dan pengertian ayat-ayatnya
secara global. Sedang kalangan cendikia dan terpelajar akan dapat
menyimpulkan makna yang terkandung di balik ayatnya

Kata Kunci: Tafsir, qur’an, tekstual, kontekstual

PENDAHULUAN

Sumber utama ajaran Islam bagi umat Muhammad SAW adalah Al-Qur’an
dan Hadits. Dalam memahami kedua sumber utama ini, setiap manusia memiliki
kemampuan yang berbeda-beda. Cara berpikir dan daya nalar mereka yang
berbeda-beda ini di pertengtangkan dalam menyimpulkan isi kandungan Al-
qur’an dan Hadits. Bagi kalangan awam mereka hanya dapat sekedar memahami
makna-makna yang tersirat saja. Sedangkan kalangan cendikiawan, dapat
menyimpulkan makna yang terkandung di balik ayatnya. Pada hakikatnya teks Al-
Qur’an tidak akan pernah berubah, melainkan kajian penafsiran dari Al-Qur’an
yang sering berubah-ubah. Terjadi seperti ini, dikarenakan Al-Qur’an hadir untuk
dianalisis, dipelajari, ditafsirkan, dan juga di dipersepsi dengan alat, metode, dan
pendekatan-pendekatan yang dilakukan untuk mencapai pemahaman sejati dan

1
maksud haqiqi Sang Khaliq menurunkan ayat tersebut. Pada saat Al-Qur’an
diturunkan, Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu adalah satu-satunya orang
yang paling memahami wahyu yang beliau terima dari Allah. Maka, sudah
menjadi tujuan bagi umat Muhammad untuk menaladani apa yang dilakukan
Rasul ketika itu. Karena, menafsirkan Al-Qur’an menggunakan sunnah diyakini
sebagai salah satu metode memahami wahyu agar sesuai dengan maksud yang
dikehendaki oleh Dzat Pemberi Wahyu.

PEMBAHASAN

1. Penafsiran Al-Qur’an

Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan


menurut istilah, Tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang cara mengucapkan
lafadh-lafadh Al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-
hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang
dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun1. Atau bisa juga dapat diartikan
Tafsir Al-Qur’an adalah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud
yang sukar dalam memahami dari ayat-ayat Al-Qur’an. Secara singkat tafsir
adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan
mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan
sebagian dasar utama penetapan hukum

Menafsirkan Al-Qur’an menggunakan sunnah diyakini sebagai salah satu


metode memahami wahyu agar sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh
Dzat Pemberi Wahyu. Selain itu, merupakan salah satu cara penafsiran yang biasa
digunakan dalam metode Tafsir bi al-Ma’tsur. Metode ini adalah salah satu
metode penafsiran Al-Qur’an yang paling kuat dan diakui keabsahannya, yaitu
metode menafsirkan nash-nash Al-Qur’an itu sendiri atau menggunakan sunnah
Rasululllah SAW. Penafsiran terhadap Al-Qur’an sudah tumbuh dan berkembang
sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Penyebabnya,
banyaknya para sahabat yang kurang memahami makna dan kandungan Al-
Qur’an dan harus merujuk kepada Rasulullah SAW.

1
Ali Hasan Al Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm.

2
Menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah upaya membuka atau menampakkan
makna yang dapat dirasakan dan dinalar menggunakan penjelasan secara lafzi
yang dapat menunjukkan maksud yang merupakan fakta dari suatu ayat.2 Ini
bertujuan untuk mendapatkan maksud yang sebenarnya dari Allah SWT. Sehingga
dapat diterapkan dan direalisasikan kepada hamba-hambanya dalam kehidupan
sehari-hari dalam rangka beribadah menggapai keridhaan dan memporoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

2. Pemahaman Tekstual dan Kontekstual dalam Al-Qur’an

Ketika kita ingin memahami suatu nash atau ayat, ada dua pendekatan yang
dilakukan para ulama, yaitu pendekatan secara tekstual dan pendekatan secara
kontekstual. Pendekatan tekstual adalah penafsiran yang mengarah pada
pemahaman nash/teks semata, tanpa mengaitkannya dengan situasi lahimya
nash/teks, maupun tanpa mengaitkannya dengan sosiokultural yang menyertainya.
Kesan yang ditimbulkannya mengarah pada pemahaman yang sempit dan kaku,
sehingga sulit untuk diterapkan pada era modern ini dan sulit pula untuk diterima.
Adapun pendekatan kontekstual adalah biasa dipahami dengan suatu pendekatan
yang semata-mata tidak hanya melihat keumuman lafadz, tetapi lebih dipengaruhi
latar belakang turunnya. Lebih jauh nash/teks harus dipahami sesuai dengan sosio
kultur masyarakat dimana nash/teks itu lahir. Karena tidak jarang ditemukan
kekeliruan pemahaman sebuah nash/teks bila teks dipahami secara utuh tanpa
mengaitkan sosio kultur yang melatar belakanginya, atau kekeliruan seseorang
karena tidak mengetahui apa nash/teks itu sebenarnya. Dengan kata lain, istilah
“kontekstual” secara umum berarti kecenderungan suatu aliran atau pandangan
yang mengacu pada dimensi konteks yang tidak semata-mata bertumpu pada
makna teks secara lahiriyah (literatur), tetapi juga melibatkan dimensi sosio-
historis teks dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas penafsirannya.3

Dua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan, karena jika itu terjadi akan
mewujudkan makna yang tidak tepat, yang memberi peluang seseorang tergelincir
dalam memahami Al-Qur’an. Kelompok yang fokus terhadap tekstual saja, sangat
2
Isa Ansori, “Tafsir al-Qur’an dengan al-Sunnah,” KALAM 11, no. 2 (December 31,
2017): 525, https://doi.org/10.24042/klm.v11i2.1772.
3
U. Safrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memahami Kembali
Pesan Al-Qur’an, hlm 48

3
berpotensi melahirkan makna yang sempit, bahkan tidak relevan dengan tempat
dan masa tertentu. Sedangkan, kelompok yang fokus pada pendekatan kontekstual
saja dengan mengabaikan makna tekstual dapat berpotensi pula masuk dalam
kategori tafsir bi ra’yi yang terlarang.

Masa dan tempat dimana seorang mufassir itu hidup tidak dapat dipisahkan
dengan produk tafsir Al-Qur’an. Kehidupan seseorang tidak lepas dari kebutuhan.
Dan segala problematika hidup pasti memiliki solusi dalam Al-Qur’an. Sehingga,
dibutuhkan pemahaman Al-Qur’an yang tidak sempit yang dapat menjelaskan
pesan qur’ani terkait permasalahan yang dihadapi. Pemahaman dari kedua
pendekatan ini, secara mutlak boleh digunakan berdasarkan hajah, akan tetapi
pemahaman ini tetaplah harus sesuai dengan koridor dan batasan yang telah
ditetapkan dan tidak menabrak aturan yang sudah ada.

3. Prinsip Penafsiran Kontekstual

Proses Kontekstual meliputi dua cara :

Pertama : Memahami Konteks Ayat, adalah proses dalam memahami berbagai


konteks Al-Qur’an yang meliputi empat aspek tersebut, yakni: konteks sosio-
kultural pada masa Al-Qur’an turun, konteks asbâb al-nuzul, konteks relasi antar
ayat/surat dan stilistika Al-Qur’an (‘ilm al-uslub), dan konteks linguistik. Kedua :
Kontekstualisasi atas Ayat Al-Qur’an atau Tema Terkait, adalah Kontekstualisasi
dalam tafsir Al-Qur`an dapat dikelompokan ke dalam bentuk tafsir bi al-ra’yi,
yang menekankan penguasaan sang mufassir atas berbagai macam disiplin ilmu.
Tafsir ini dipandang sebagai kajian interdisipliner.4 Hal tersebut, dalam kajian
metodologi tafsir klasik dapat menggunakan metode takwil.

Takwil merupakan informasi tentang hakikat yang dimaksud, sedangkan tafsir


adalah informasi tentang dalil yang dimaksud, karena lafal dapat menyingkap
sesuatu yang dimaksud, dan subjek yang menyingkap (al-kasyif) makna lafal
itulah yang disebut dengan dalil (al-dalil)”.52 Takwil juga mencakup analisis
(tahlili) dan argumentasi (ta’lil), tidak hanya menyingkapkan makna lafal saja
tetapi juga memperhatikan susunan (tarkib) dan gaya bahasa sastrawi (uslub
4
Dadang Darmawan; Ortodoksi Tafsir: Respon ulama terhadap tafsir KH. Ahmad Sanusi,
(Disertasi UIN Jakarta: 2009), h.115

4
bayaniyyat), termasuk argumentasi agama (syariat) dan rasionalitas, juga
kebahasaan. Serta argumentasi yang bisa membenarkan dan menguatkan, seperti
lingkup konteks dan kesatuan tema yang keduanya dapat mengikat makna.5

Menurut ulama ahli ushul terdapat beberapa kriteria lain yang harus
diperhatikan dalam melakukan takwil, yaitu:

 Arti yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran (al-haq min Allah),
yakni takwilnya didasarkan kepada pandangan tentang tauhid atau
kesucian Tuhan, kemaslahatan, keseimbangan, keadilan, dan
kemanusiaan.
 Arti yang dipilih sesuai dengan bahasa Arab klasik.
 Makna yang dipilih sebagai takwil merupakan satu kemungkinan
makna yang dimiliki oleh nash/teks.
 Penetapan makna sebagai takwil atas nash/teks didasarkan kepada dalil
yang memiliki validitas yang kuat (shahih)

KESIMPULAN

Al-Qur’an secara teks tidak berubah, namun penafsiran atas teks, selalu
berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, Al-Qur’an
selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan
(ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi
sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna
terdalam dari Al-Qur’an itu. Sedangkan hadits, terkadang antara satu riwayat
dengan riwayat lainnya ada perbedaan lafadz, dari mulai perbedaan redaksi yang
tidak merubah esensi pesan hingga yang saling berkontradiksi dan bertabrakan
satu dengan lainnya. Karena itulah, para ulama hadits (muhadditsun) telah
meletakkan kaedah dalam menilai suatu hadits, mana yang sahih, mana yang
hasan, hingga yang dhaif dengan beragam bentuk dan tingkatannya, bukan hanya
terkait sanadnya, tetapi juga matannya. Sejalan dengan kebutuhan umat Islam
untuk mengetahui seluruh segi kandungan Al-Qur’an serta intensitas perhatian

5
Muhammad Bakar Ismail, Ibnu Jarir al-Thabari wa manhajuhu fi al-tafsir, h.34-35.

5
para ulama terhadap tafsir Al-Qur’an, maka tafsir Al-Qur’an terus berkembang
sampai sekarang. Dari sinilah, para mufasirin menemukan berbagai macam corak
tafsir, yakni pendekatan tafsir. Masing-masing dari pendekatan tafsir mempunyai
keistimewaan dan sekaligus kelemahan. Pendekatan yang akan dipakai oleh para
mufasir tergantung kepada apa yang hendak diketahui atau dicapainya.

Anda mungkin juga menyukai