Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDEKATAN TEKSTUAL DAN KONSTEKTUAL DALAM


MEMAHAMI HADIS

Studi kasus : Komunikasi Profetik Masyarakat

Makalah ini disusun guna memnuhi tugas Ulangan Akhir Semester

Pada mata kuliah Studi Qur’an Hadist

Dosen pengampu mata kuliah :


Bapak. Abdullah, M.Ag.
Disusun Oleh:
Nama : Latifatun Nisa’
NIM : 2350510028
Kelas : A1AKR

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-quran dan hadist merupakan dua ajaran yang diteria oleh nabi
Muhammad SAW. Untuk disampaikan kepada umat islam. Al-quran dan hadist
disampaikan guna menjadi sumber panduan bagi umat islam untuk menjalani
kehidupan sehari hari. Hadis merupakan sumber keda dalam agama islam
setelah Al-quran. Selain berfungsi untuk panduan, hadis juga memiliki fungsi
untuk membantu memahami isi dan kandungan dalam Al-quran.
Untuk memahami Hadis secara ilmiah, sangat penting menggunakan
pendekatan tekstual dan berbasis konteks. Kita bisa melihat bahwa sebuah hadis
tidak hanya muncul saja, namun juga mempunyai sebab. Pendekatan tekstual
lebih cocok untuk ibadah Madha (murni), yang mengacu pada hubungan
manusia dengan Tuhan, seperti doa. Di sisi lain, pendekatan kontekstual lebih
menekankan pada konteks historis, sosiologis, dan budaya hadis. Untuk
memahami hadis, seseorang harus bijak dengan mempertimbangkan keadaan
masyarakat saat ini tanpa menghilangkan esensi teks hadis.1
Pemahaman suatu hadis bisa saja lebih tepat secara tekstual, sedangkan
hadis lain bisa lebih tepat secara kontekstual. Pemahaman kontekstual
memerlukan pendekatan yang konsisten dengan makna hadis Ketika mencari
pendekatan terhadap makna sebuah hadis, sebenarnya bergantung pada isi hadis
tersebut atau materi hadis itu sendiri. Selain itu, satu hadis mungkin cukup
untuk menjawab satu pendekatan, mungkin dua pendekatan atau lebih, atau
bahkan pendekatan multidimensi jika isi hadis mempunyai lebih dari satu tema
besar. Pemahaman hadis harus diupayakan melalui berbagai pendekatan yang
berkaitan dengan kehidupan Rasulullah, agar hadis tidak hanya dipahami
sebagian saja. Memahami Hadits secara kontekstual dengan menggunakan
pendekatan yang berbeda berarti Hadits tidak ditafsirkan secara sempit dan
kaku.2

1 Andri Afriani and Firad Wijaya, “Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual Dalam Study Hadist,”
JOURNAL OF ALIFBATA: Journal of Basic Education (JBE) 1, no. 1 (2021): 37–54,
https://doi.org/10.51700/alifbata.v1i1.91.
2 Mukhlis Mukhtar et al., “PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL PAKAR HADIS DAN PAKAR

FIKIH SEPUTAR SUNNAH NABI (Studi Kritis Atas Pemikiran Syaikh Muhammad Al-Ghazali)” 9, no. 1
(2011): 81–92.
Untuk itu agar dapata memahami hadist yang baik dan disiplin salah
satunya denngan menggunakan studi hadist dengan teori dan metodologi yang
akurat. System kepercayaan agama umat manusia dapat ditinjau melalui
berbagai pendekatan. Diantara pemdekatan yang dapat dikembangkan untuk
pengkajian islam yaitu dengan pendekatan tekstual dan konstektual. 3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi pendekatan tekstual dan konstektual ?
2. Bagaimana bermadzhab pada pendekatan tekstual dan konstektual ?
3. Bagaimana memahami hadis pendekatan tekstual dan konstektual ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mendefinisikan pendekatan tekstual dan konstektual.
2. Untuk menjelaskan madzhab pada pendekatan tekstual dan konstektual.
3. Untuk memahami hadis pendekatan tekstual dan konstektual.

3Hendri Hermawan Adinugraha and Ahmad Hasan Asy’ari Ulama’i, “Understanding of Islamic Studies
Through Textual and Contextual Approaches,” Farabi 17, no. 1 (2020): 26–48,
https://doi.org/10.30603/jf.v17i1.1281.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
1. Pendekatan Tekstual
Dalam mempelajari agama islam memerlukan berbagai macam
pendekatan agar agama mudah dipahami. Melalui pendekatan paradigmatik
ini, pendekatan manusia yang berbeda-beda dalam memahami agama dapat
dicapai. Dengan menggunakan pendekatan ini, siapa pun dapat menemukan
agama. Hal ini menunjukkan bahwa agama bukan sekedar monopoli antara
teolog dan normalis, namun agama dapat dipahami oleh siapa saja sesuai
dengan pendekatan dan kemampuannya. Oleh karena itu, agama adalah
petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia.
Pendekatan tekstual merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk memahami kajian Islam. Secara etimologis (lughhowi), tekstual
berasal dari kata bahasa Inggris object 'text', yang mana berarti isi,
suara,gambar atau sebuah buku.
Dalam bahasa Arab, kata teks disebut nash, dan istilah ini digunakan
dalam wacana ilmiah Islam klasik (hukum Islam). Dalam Mu'jam Maqayis
al-Lughah, teks diartikan sebagai ketinggian atau batas akhir dari sesuatu.
Pemahaman teks merupakan pemahaman berdasarkan teks itu sendiri.
Sedangkan penafsiran tekstual berarti memahami makna dan maksud Al-
Qur'an dan Hadits sebagai sumber hukum Islam hanya melalui teks asli yang
diterbitkan pada tahun. Wahyu menurut pendekatan tekstual dipahami
melalui pendekatan linguistik, tanpa memperhatikan konteks sosio-historis
kapan dan di mana diturunkan. 4
Hadis secara konstektual untuk dipahami bukanlah sesuatu yang buruk,
kuno, dan tradisional. Menurut M. Syuhudi Ismail suatu hadis memang ada
hadis yang harus di dipahami secara tekstual dan ada yang harus dipahami
secara konstektual. Jika ada suatu tindakan yang salah seperti yang
seharusnya dipahami secra tekstual tetapi dipahami secara konstektual atau
begitu juga sebaliknya. Kekeliruan tersebut sering terjadi didalam
memahami hadist.
Yang harus di ketahui adalah kapan suatu hadis harus dipahami secara
tekstual dan kapan dipahami secara konstektual. Jawabnaya “ma’a al-

4 Adinugraha and Ulama’i.


qarinah” (adanya suatu indikasi atau petunjuk yang kuat) yang
mengharuskan dipahami secara tekstual atau konstektual.

2. Pendekatan konstektual
Kata konstektual secara Bahasa adalah lughowi, berasal dari Bahasa
Inggris context yang bermakna suasana atau keadaan. Kata konstektual
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merupakan penjelasan atau bagian
kalimat yang dapat mendukung atau memperjelas makna atau keadaan yang
berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Oleh karena itu, kata kontekstual dapat diartikan sebagai suatu cara,
metode, pendekatan, atau apapun yang berhubungan dengan konteks
(realitas). Sebaliknya, “konteks” berarti sesuatu yang berkaitan atau
bergantung pada konteks.
Oleh karena itu, pemahaman kontekstual adalah pemahaman yang tidak
hanya didasarkan pada pendekatan kebahasaan saja, namun juga dipahami
melalui konteks dan kondisi di mana sebuah teks muncul. Dari pengertian
tersebut maka paradigma kontekstual dapat digunakan secara umum. Hal ini
dimaknai sebagai kecenderungan kontekstual dalam perspektif. Abdin Nata
mengatakan, pemahaman kontekstual berarti upaya memahami ayat-ayat
Al-Qur'an sesuai dengan konteks dan aspek sejarah ayat-ayat tersebut,
sehingga terlihat seluruh pemikiran dan niat sebenarnya yang diungkapkan
dalam Al-Qur'an.
Memahami dan menerapkan konteks sebuah hadis adalah ketika ada
petunjuk kuat “di belakang” teks hadis yang mengharuskan kita memahami
dan menerapkan hadis yang dimaksud, bukan sesuai dengan makna
(eksplisit) teks tersebut. Lebih lanjut, menurut penulis, jika teks suatu hadis
mengandung muftamara (tidak dapat dipahami), maka hadis tersebut harus
dipahami secara tekstual.

B. Hadist melalui Pendekatan Tekstual dan Konstektual


Ada beberapa ungkapan matan hadist yang mempunyai corak atau model, agar
dapat lebih memahami hadist dengan pendekatan tekstual dan konstektual yang
dapat dilihat dari segi matan hadist, diantaranya:
1. Jawami’ al-Kalim (Ungkapan singkat namun padat makna)
Nabi bersabda : ‫بعثت بجوامع الكلم‬

Saya dibangkit (Oleh Allah) dengan (kemampuan untuk menyatakan)


ungkapan-ungkapan yang singkat, namun padat makna. (HR. Al-Bukhari,
Muslim, dan lain-lain, dari Abu Hurairah).
Berdasarkan pernyataan Nabi tersebut diatas maka tidaklah
mengherankan bila banyak dijumpai matan hadist Nabi yang berbentuk
Jawami’ al-kalim. Hal ini merupakan salah satu keutamaan yang dimiliki
oleh sabda-sabda Nabi. Sebagai contoh :
Minuman Khamar
‫كل مسكر خمر وكل مسكر حرام‬

Setiap (minuman) yang memabukkan adalah khamar dan setiap


(minuman) yang memabukkan adalah haram. (HR. Al-Bukhari Muslim dll,
dari Ibnu Umar dengan lafal dari riwayat Muslim).
Hadist tersebut secara tekstual memberi petunjuk bahwa keharaman
khamar tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dalam hubunganya dengan
kebijaksanaan, dakwah, dispensasi kepada orang-orang tertentu yang
dibolehkan untuk sementara waktu meminum khamar memang ada
sebagaimna yang dapat dipahami dari proses keharaman khamar dalam Al-
Qur’an.
2. Bahasa Tamsil (Perumpamaan)
Sebagai contoh hadis Nabi : Kembali dari Haji Seperti Bayi

ُ‫سقُ َر َج َع َكيَ ْو ٍم َولَدَتْهُ أ ُ ُّمه‬


ُ ‫ث َولَ ْم يَ ْف‬
ْ ُ‫ّلِل فَلَ ْم يَرْ ف‬
َ َّ َ ‫َم ْن َح َّج‬

Barangsiapa melaksanakan ibadah haji karena Allah semata, lalu


(selama melaksanakan ibada haji itu) dia tidak melakukan pelanggaran
seksual dan tidak berbuat fisik, niscaya dia kembali (dalam keadaan bersih
dari dosa dan kesalahan) seperti pada hari dia dilahirkan oleh ibunya. (HR
Al-Bukhari Muslim dll, dari Abu Hurairah).
Secara tekstual hadits ini menggambarkan seseorang yang berhasil
menunaikan ibadah haji sesuai petunjuk syariat, seperti hari ibunya
melahirkannya. Faktanya, dia seperti bayi yang baru lahir dari ibunya.
Memahami petunjuk hadis tersebut dalam konteksnya, seseorang yang
berhasil menunaikan ibadah haji sesuai petunjuk syariat, maka segala dosa
dan segala kesalahannya akan diampuni oleh Allah SWT, sehingga dia
seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.
Dari pembahasan diatas secara konstektual hadis yang berbentuk
tamsil seperti yang telah dikutip diatas dapat disimpulkan bahwa ajaran
islam yang disampaikan bersifat universal. 5

3. Batas-batasan Hadist dalam Pendekatan Tekstual dan


Konstektual
Walaupun kontekstualisasi terhadap hadis merupakan suatu keharusan,
namun bukan berarti dapat dilakukan secara bebas. Ada rambu-rambu yang
harus dipahami terlebih dahulu sebelum melakukan proses ini.
Rambu-rambu itu adalah; pertama, menyangkut lapangannya. Tidak
semua lapangan menjadi objek kontekstualisasi. Secara umum, M. Sa’ad
Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi hadis meliputi dua hal,
yaitu: 6
1. Dalam bidang ibadah mahdhah (murni) tidak ada atau tidak perlu
pemahaman kontekstual.
2. Bidang di luar ibadah murni (ghair mahdhah). Pemahaman
kontekstual perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada moral
ideal atau nas.
Dapat dipahami bahwa, dalam hal ibadah yang murni (mahdhah) tidak
perlu dipahami secara kontekstual karena Rasul mempunyai otoritas penuh
tanpa campur tangan ra’yu manusia. Sedangkan di luar ibadah murni (ghairu
mahdhah) diperlukan pemahaman secara kontekstual dengan tetap berpegang
kepada nash dan dipahami juga posisi ketika Muhammad dalam menyampaikan
hadits apakah sebagai hakim, pemimpin negara atau manusia biasa.
Kedua, menyangkut pelakunya. Tidak semua orang boleh melakukan
kontekstualisasi, diperlukan perangkat keilmuan yang cukup dan mapan dalam
kontekstualilsasi. Diantaranya memahami ilmu hadis dan segala perangkatnya,
memahami asbab al-wurud hadis, dan lain sebagainya. Selain itu terdapat pula
batasan-batasan dalam kontekstualisasi hadis, antara lain:

1. Hadis yang menyangkut bentuk atau sarana yang tertuang secara


tekstual. Yang mana dalam hal itu tidak menuntut seseorang untuk
mengikuti secara saklek/apa adanya jika ingin mengikuti Nabi tidak

5 Afriani and Wijaya, “Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual Dalam Study Hadist.”
6 Liliek Channa Aw, Op,Cit, h. 406-411
harus berbicara dengan bahasa Arab, memberi nama yang Arabisme,
berpakaian gamis ala Timur Tengah dan sebagainya. Karena semua itu
produk budaya yang tentu secara zhahir antara setiap wilayah berbeda.
2. Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk individu dan
biologis. Jika Rasulullah makan hanya menggunakan tiga jari, maka
tidak harus diikuti dengan tiga jari, karena yang dimakan Rasul adalah
kurma atau roti. Sedangkan bila makan nasi dan sayur asem harus
dengan tiga jari betapa tidak efektifnya.
3. Aturan yang menyangkut manusia sebagai makhluk sosial. Cara
manusia berhubungan dengan sesama, alam sekitar, dan binatang adalah
wilayah kontekstual. Sebagaimana isyarat hadis “antum a’lamu bi
umuur ad-dunyakum.” Ide dasar yang disandarkan kepada Nabi adalah
tidak melanggar tatanan dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan,
keadilan dan persamaan serta stabilitas secara umum sebagai wujud
ketundukan pada pencipta.
4. Terkait masalah sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dimana
kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya yang sedemikian kompleks.
Maka kondisi pada zaman Nabi tidak dapat menjadi parameter sosial.
STUDI KASUS

Pesatnya perkembangan media dan teknologi komunikasi, khususnya konsep


media baru, mendapat banyak perhatian dari para ahli komunikasi, termasuk Everett M.
Rogers, yang menganggap komunikasi teknologi media sebagai organisasi perangkat
keras struktural yang mencakup nilai-nilai sosial.7 Memungkinkan orang
mengumpulkan, memproses, dan berbagi informasi dengan orang lain. Teknologi
komunikasi diberi arti yang berbeda-beda oleh para ilmuwan yang berbeda-beda,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangannya berkembang sangat pesat
dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat global telah
mengambil langkah menuju masyarakat informasi. Dalam masyarakat informasi,
kebutuhan akan informasi sangatlah diperlukan. Informasi telah menjadi produk yang
bernilai ekonomis dan strategis, apalagi dengan hadirnya media baru.

Berkat teknologi komunikasi baru saat ini, jutaan orang di seluruh dunia
menciptakan komunitas online lokal dan global melalui jaringan sosial (internal,
eksternal, atau seluler) untuk mengomunikasikan minat, kesukaan, aktivitas umum,
berbagi informasi, dan berbagi web. Penggunaan media baru dan jejaring sosial seperti
MySpace, Facebook, LinkedIn, Twitter dan Nexopia akan berdampak pada masyarakat,
budaya dan politik, sekaligus mengatasi isu-isu terkait seperti identitas sosial, privasi,
pembelajaran jarak jauh, sosial dan modal sosial.

Kehadiran media baru dapat meningkatkan jumlah informasi memungkinkan


individu memilih informasi spesifik yang ingin mereka terima. Tak heran jika Ward
mengaku terkesan dengan media baru yang tidak termediasi karena dapat dikonsumsi
langsung tanpa melalui organisasi media yang rumit seperti media tradisional. Seperti
yang dijelaskan oleh Mc Quail, sebagian besar media baru ini memiliki arti yang
berbeda karena memungkinkan komunikasi interaktif dua arah yang mampu
mengumpulkan dan mengirimkan informasi

Persoalan mengenai komunikasi ujaran kebencian (hate speech) semakin


mendapatkan perhatian masyarakat dan aparat penegak hukum baik nasional maupun
internasional seiring dengan meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan atas hak

7Everett M. Rogers. Communication Technology; The New Media in Society. New York: The Free
Press. 1986.
asasi manusia (HAM), bahwa perbuatan ujaran kebencian memiliki dampak yang
merendahkan harkat martabat manusia dan kemanusiaan dan dapat memecah
kerukunan umat beragama. Ujaran kebencian bisa mendorong terjadinya kebencian
kolektif, pengucilan, penghasutan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat
yang paling mengerikan, pembantaian etnis. Terhadap kelompok masyarakat budaya,
etnis, ras, dan agama yang menjadi sasaran ujaran kebencian. 8

Salah satu fenomena yang marak terjadi saat ini adalah banyaknya berita ujaran
kebencian (hate speech). Hal tersebut memiliki dampak besar karena hampir semua
orang melihat dan membaca berbagai berita setiap hari. Kemunculan media sosial tidak
hanya menjadi cara mudah untuk menghubungkan orang-orang tetapi juga
mempermudah penyebaran ujaran kebencian. Masalah ujaran kebencian mungkin tidak
pernah terbayangkan oleh para ilmuwan dan pakar yang menciptakan jejaring sosial,
karena pada prinsipnya bertujuan untuk memfasilitasi komunikasi antar masyarakat
dari berbagai belahan dunia.

8
Pelor. S. Law Enforcement Of Hate Speech Criminalsthrough Social Media Based On Indonesia’s
Positive Law. (2023). International Journal of Multidisciplinary Research and Literature, Vol. 2, No. 3.
ANALISIS

Kegiatan komunikasi (tabligh) telah berlangsung sepanjang sejarah sejak


interaksi manusia di muka bumi. Komunikasi dalam arti sempit adalah menyampaikan
suatu pesan atau informasi kepada seseorang atau sekelompok orang. Komunikasi
profetik merupakan konsep baru yang didasarkan pada pendekatan kajian Islam. Istilah
ini (komunikasi kenabian) mengacu pada model komunikasi kenabian Muhammad
yang penuh nilai dan etis. Titik tolak konsep ini berangkat dari tujuan diutusnya nabi
sebagai sosok penyempurna kepribadian manusia (akhlak). Konsep kenabian dalam
ilmu sosial pertama kali diperkenalkan oleh Kuntowijoyo melalui kajian sosiologi.
Menurutnya, transformasi profetik dapat dicapai melalui tiga hal, yaitu humanisasi,
liberasi, dan transendensi.

Humanisasi merupakan upaya mengembalikan hakikat kemanusiaan kepada


kodratnya. Sedangkan liberasi adalah usaha pembebasan manusia dari strukturasi sosial
yang tidak adil dan tidak memihak rakyat lemah. Adapun transendensi adalah upaya
mengembalikan fitrah manusia yang sesuai dengan agama. Transendensi berasal dari
bahasa latin, trancendera, yang berarti naik. Secara sederhana transendensi dapat
diartikan perjalanan di atas atau di luar melewati batas sekat kemanusiaan. Aspek
transendentasl dalam komunikasi profetik meyakini bahwa komunikasi sebagai salah
satu aspek realitas merupakan alat untuk mengajak manusia pada kehidupan yang kekal
setelah kematian.9 Perwujudan ruh kenabian dalam komunikasi dilakukan secara
khusus melalui eksplorasi teks (Al-Quran dan hadis) yang berkaitan dengan etika
komunikasi.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Library Research. Data primer


penelitian ini diperbolehkan menggunakan dokumen hadis dan fatwa Majelis Ulama.
Penulisan hasil penelitian menggunakan pendekatan sejarah untuk menghindari
subjektivitas. Pendekatan sejarah bertujuan untuk menggali pola komunikasi
Rosulullah SAW sebagai komunikasi profetik yang digunakan untuk menyebarkan

9Syahputra, Iswandi. Paradigma Komunikasi Profetik; Gagasan dan Pendekatan. 2017.Bandung;


Simbioasa Rekatama Media.
kebaikan kepada umat Islam dan non-Muslim. Pendekatan historis mengintegrasikan
keadaan dan situasi di mana peristiwa komunikasi tersebut terjadi pada saat itu.

Komunikasi profetik berperan dalam menggambarkan pola komunikasi Nabi


Shalallahu 'alayhi wasallam dalam menyampaikan pesan profetik kepada para
pengikutnya dan umat manusia di seluruh dunia. Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi
wasallam memiliki kemampuan komunikasi yang jelas dan mudah dipahami serta
senang mengikutinya. Keahlian komunikasi Rasulullah Shallallahu 'alayhi wasallam
diterapkan kepada para pengguna media sosial agar mereka jeli dan sadar dalam
menepati ucapannya di kolom komentar. Implementasi paradigma komunikasi profetik
humanisasi, liberasi dan transendensi. Berikut hadis pendukungnya:

َ‫َّللا ْال َم َّشا ُءونَ َبالنَّمَ ي َم َة ْال ُمفَ َرقُونَ َبيْنَ ْاْلَحَ بَّ َة ْال َباغُونَ ْالب َُرآ َء ْال َعنَت‬
َ َّ ‫ار َع َبا َد‬
ُ ‫شَر‬ ُ َّ ‫َّللا ا َّلذَينَ َإذَا ُر ُءوا ذُك ََر‬
َ ‫َّللا َو‬ َ َّ ‫ار َع َبا َد‬
ُ ‫خَ َي‬

“Sebaik-baik hamba Allāh Subhānahu wa Ta’āla yaitu orang-orang yang jika lihat maka
orang-orang akan mengingat Allāh, dan seburuk-buruk hamba Allāh adalah orang yang
berjalan kesana kemari dengan namimah (mengadu domba) yaitu orang-orang yang
memisahkan diantara orang-orang yang saling menyintai, menuduh orang yang baik
dengan tuduhan yang tidak-tidak agar mencari kesusahan bagi mereka. (HR Ahmad
nomor 17312).
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Pendekatan tekstual dan kontekstual sangat penting dalam memahami
ilmu hadis. Dengan pendekatan tekstual dan kontekstual, kita dapat melihat
bahwa hadis tersebut tidak muncul begitu saja, namun mempunyai sebab.
Pendekatan tekstual lebih banyak diterapkan pada ibadah mahada
(murni) antara hubungan manusia dengan Tuhan (habruminallah), seperti doa.
Sebaliknya, pendekatan kontekstual lebih mementingkan konteks sejarah, dan
pendekatan sosiologis lebih mementingkan aspek kultural dan temporal dari
hadis, sehingga pemahaman terhadap hadis kurang baku, namun pada
masyarakat saat ini untuk mempelajari situasi modern tanpa menghilangkan
teks hadis.

B. Saran
Dalam memahami hadits hendaklah menuntut ilmu sebanyak-banyaknya
berkenaan dengan hal tersebut semisal studi hadits berkenaan dengan teori dan
metodologi karena masih banyak ditemukan yang keliru dalam memahami hadits
sehingga lebih frontal dan radikal. Setelah mempelajari pendekatan tekstual dan
kontekstual diharapkan mampu memahami hadits dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Pelor. S. 2023. Law Enforcement Of Hate Speech Criminalsthrough Social Media


Based On Indonesia’s Positive Law. International Journal of Multidisciplinary
Research and Literature, Vol. 2, No. 3.

Everett M. Rogers. Communication Technology; The New Media in Society. New


York: The Free Press. 1986.

Syahputra, Iswandi. 2017. “Paradigma Komunikasi Profetik; Gagasan dan


Pendekatan”. Bandung; Simbioasa Rekatama Media.

Channa AW, Liliek, Memahami Makna Hais Secara Tekstual dan Kontekstual, Jurnal
Ulumuna Vol. 15 No.2 Mataram : IAIN Mataram, 2011

Adinugraha, Hendri Hermawan, and Ahmad Hasan Asy’ari Ulama’i. “Understanding


of Islamic Studies Through Textual and Contextual Approaches.” Farabi 17, no.
1 (2020): 26–48. https://doi.org/10.30603/jf.v17i1.1281.

Afriani, Andri, and Firad Wijaya. “Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual Dalam
Study Hadist.” JOURNAL OF ALIFBATA: Journal of Basic Education (JBE) 1,
no. 1 (2021): 37–54. https://doi.org/10.51700/alifbata.v1i1.91.

Mukhtar, Mukhlis, Kata Kunci, Pakar hadis, Pakar fikih, and Sunnah I Nabi
PENDAHULUAN. “PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
PAKAR HADIS DAN PAKAR FIKIH SEPUTAR SUNNAH NABI (Studi
Kritis Atas Pemikiran Syaikh Muhammad Al-Ghazali)” 9, no. 1 (2011): 81–92.

Anda mungkin juga menyukai