Anda di halaman 1dari 124

HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT

KARENA MELINTASNYA ANJING,


KELEDAI DAN WANITA

(Kajian Ma’ãnī al-Hadīs)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Theologi Islam (S. Th.I)

Oleh :
CHOIRATUN NAFI’AH
NIM. 00530084

JURUSAN TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Hadis

adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang semua ayatnya diterima

secara mutawãtir. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-

Qur’an. Al-Qur’an periwayatan semua ayat-ayatnya secara mutawătir, sedang

hadis Nabi, sebagian periwayatannya secara mutawătir dan sebagian lagi secara

ãhăd. Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai

kedudukan qaţ’ī al-wurūd dan sebagian lagi zannī al-wurūd1, sehingga tidak

diragukan lagi orisinalitasnya. Berbeda dengan hadis Nabi yang berkategori ãhăd,

diperlukan penelitian terhadap orisinalitas dan otentisitas hadis-hadis tersebut.

Untuk hadis-hadis yang periwayatannya secara mutawătir, setelah jelas

kesahihannya, maka diperlukan pemaknaan yang tepat, proporsional dan

representatif terhadap hadis tersebut melalui beberapa kajian, di antaranya kajian

1
Lihat, misalnya Şalãh al-Dīn al-Adlabī, Manhăj Naqd al-Matan (Beirūt: Dãr al-Afaq al-
Jadīdah, 1983), hlm. 239. Maksud Qaţ’ī al-Wurūd atau Qaţ’ī as-Subūt ialah absolut (mutlak)
kebenaran beritanya, sedang Zannī al-Wurūd atau Zanni as-Subūt ialah nisbi atau relative (tidak
mutlak) tingkat kebenaran beritanya. Lebih lanjut, lihat misalnya Subhi al-Salih, Ulūm al-hadīs wa
Musţalahuhu (Beirūt: Dãr al-Ilm li al-Malayin, 1997 M), hlm. 151.
2

linguistik,2 kajian tematis komprehensif,3 kajian konfirmatif4 dan kajian-kajian

lainnya dalam rangka pemahaman teks hadis tersebut.5

Hadis dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Tekstual dan

kontekstual adalah dua hal yang saling berseberangan, seharusnya pemilahannya

seperti dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan secara dikotomis,

sehingga tidak semua hadis dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual.

Di samping itu ada hal yang harus diperhatikan yang dikatakan Komaruddin

Hidayat6 bahwa di balik sebuah teks sesungguhnya terdapat, sekian banyak

variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar

mendekati kebenaran mengenai gagasan yang disajikan oleh pengarangnya.

Asbãbul wurūd hadis akan mengantarkan pada pemahaman hadis secara

kontekstual, namun tidak semua hadis terdapat asbãbul wurūdnya. Pengetahuan

akan konteks suatu hadis, tidak bisa menjamin adanya persamaan pemahaman

pada setiap pemerhati hadis. Menurut Komaruddin Hidayat, hal ini disebabkan

oleh keadaan hadis yang pada umumnya merupakan penafsiran kontekstual dan

situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan sahabat. Oleh


2
Penggunaan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab mutlak diperlukan dalam kajian ini,
karena setiap teks hadis harus ditafsirkan dalam bahasa aslinya.
3
Mempertimbangkan teks-teks hadis lain yang memiliki tema yang sama dengan tema hadis
yang dikaji untuk memperoleh pemahaman yang tepat, komprehensif dan representatif.
4
Konfirmasi makna yang diperoleh dengan petunjuk - petunjuk al-Qur’an.
5
Kajian – kajian lanjutan seperti kajian atas realitas, situasi, problem historis makro atau
mikro, pemahaman universal dan pemaknaan hadis dengan pertimbangan realitas kekinian dengan
pertimbangan metode yang ditawarkan Syuhudi Ismail, Yusuf Qardhawi dan Musahadi HAM.
6
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 2.
3

karena itu, menurutnya pemahaman ulama yang mengetahui sejarah hidup Rasul

akan berbeda dengan yang tidak mengetahuinya.7 Di samping itu muatan sejarah

secara detail telah banyak tereduksi, sehingga dalam sejarah pun sering

didapatkan perbedaan informasi.

Permasalahan makna adalah konsekuensi logis dari adanya jarak yang

begitu jauh antara pengarang, dalam hal ini Rasulullah dengan pembaca, yaitu

umatnya, yang kemudian dihubungkan oleh sebuah teks yaitu hadis. Dengan

terpisahnya teks dan pengarangnya serta dari situasi sosial yang melahirkannya

maka implikasinya lebih jauh yaitu sebuah teks bisa tidak komunikatif lagi

dengan realitas sosial yang melingkupi pihak pembaca. Di samping itu adanya

jarak, perbedaan bahasa, tradisi dan cara berpikir antara teks dan pembaca,

merupakan problematika tersendiri bagi penafsiran teks, karena bahasa dan

muatannya tidak bisa dilepaskan dari kultural.8

Menurut Dilthey, satu peristiwa itu, termasuk peristiwa munculnya teks,

dapat dipahami dengan tiga proses; yaitu memahami sudut pandang atau

gagasan para pelaku asli, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka

yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah dan menilai

7
Ibid., hlm. 12.
8
Yunahar Ilyas, M. Mas’udi (ed), Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta:
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam “LPPI”, 1996), hlm. 133-134.
4

peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat

sejarawan yang bersangkutan hidup.9

Senada dengan pandangan Dilthey tersebut, Carl Braaten berpandangan

bahwa berusaha memahami suatu teks berarti mencoba memahami horizon zaman

yang berbeda untuk dipahami dan diwujudkan dalam situasi konteks masa kini.10

Hadis yang disebut sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an

telah mengalami perjalanan yang panjang, bukan hanya dalam kodifikasi dan

penelitian validitasnya, tapi juga berkembang pada “pemaknaan” yang tepat untuk

sebuah matan hadis yang dapat membumikan keuniversalan ajaran Islam.

Pemaknaan hadis merupakan probematika yang rumit. Pemaknaan hadis

dilakukan terhadap hadis yang telah jelas validitasnya minimal hadis-hadis yang

dikategorikan bersanad hasan.11

Dalam pemaknaan hadis diperlukan kejelasan apakah suatu hadis akan

dimaknai dengan tekstual ataukah kontekstual. Pemahaman akan kandungan

hadis apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal atau universal, serta

apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapan saja atau mencakup

mitra bicara kondisi sosial ketika teks itu muncul.

9
E. Sumaryono, Hermeneutics: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm.
62.
10
Pernyataan tersebut oleh Carl Braaten, History and Hermeneutics (Philadelphia : Fortress,
1966), hlm. 131. Hal yang serupa terdapat dalam Fakhruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Antara
Teks, Konteks dan Kontekstualisasi (Yogyakarta : Qalam, 2002), hlm. 123.
11
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), hlm. 89.
5

Memahami hadis itu tidak “mudah” khususnya jika terdapat hadis-hadis

yang saling bertentangan. Terhadap problem yang demikian, para ulama hadis

menggunakan metode al-jam’u, al-tarjīh, al-nãsikh wa al-mansūkh, atau al-

tawaqquf.12

Dari berbagai problem-problem pemahaman hadis secara global tersebut,

maka penulis meneliti dan mengkaji pemaknaan dan pemahaman yang tepat

terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai

dan wanita.

Identifikasi awal adalah apa makna salat dan bagaimana tata cara

pelaksanaan salat menurut ketentuan syariat termasuk hal-hal yang dapat

membatalkan salat menurut syariat. Para fuqaha memberikan pengertian shalat

adalah

ِِ ُ ‫اَ ْق َوا ٌل َواَ ْف َعا ٌل ُم ْفتَتَ َحةٌ بِالتَّ ْكبِْي ِر ُم ْختَتَ َمةٌبِالتَّ ْسِل ْيِم َيتَ َعب‬
ٌ‫صة‬ ُ ‫َّد بِهَا بِ َش َرائط َم ْخ‬
َ ‫ص ْو‬

"Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi
dengan salam, yang dengannya kita beribadat kepada Allah, menurut syarat-syarat
yang ditentukan”.13

Salat merupakan ritual ibadah bagi muslimin sebagai upaya mendekatkan

diri kepada Allah dan mewujudkan ketakwaan kepada Ilahi Rabbi. Dalam salat itu

terdapat aturan-aturan pelaksanaannya sesuai ketentuan syariat, di antaranya

syarat sah salat, rukun-rukun salat dan hal-hal yang dapat membatalkan salat.

12
Mahmud al-Tahhãn, Taisīr Mustalaha al-hadīs (Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th), hlm. 46-47.
13
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 62.
6

Adapun syarat-syarat sah salat adalah mengetahui telah masuk waktu salat, suci

dari hadas besar dan kecil, suci badan, pakaian dan tempat salat, menutup aurat

dan menghadap kiblat.14

Selain itu ada beberapa hal yang membatalkan salat, yakni makan, minum

dengan sengaja, berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan salat,

mengerjakan pekerjaan yang banyak dengan sengaja, meninggalkan (merusakkan)

suatu rukun atau dan syarat dengan sengaja dan tak ada udzur.15

Di sisi lain ada beberapa hadis yang menjelaskan bahwa salat dapat

terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Menurut al-Mu’jam al-

Mufahras Li Alfăz al-Hadīs al-Nabawī16, hadis-hadis tentang terputusnya salat

karena melintasnya anjing, keledai dan wanita didapatkan dalam kitab sebagai

berikut : Şahīh Bukhărī sebanyak 2 buah, Şahīh Muslim sebanyak 4 buah, Sunan

al-Tirmiżī sebanyak 2 buah, Sunan Abū Dăwud sebanyak 3 buah, Sunan an-

Nasă’ī sebanyak 2 buah dan Sunan Ibn Măjah sebanyak 5 buah, Sunan ad-Darimī

sebanyak 1 buah dan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal sebanyak 15 buah.

Sehingga jumlah keseluruhan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena

melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam Kutub al-Tis'ah sebanyak 34 buah.

14
Abdul Qãdir ar-Rahbawī, Salat Empat Madzhab (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1994),
hlm. 206-215.
15
M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 183-187.
16
A. J. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfãz al-Hadīs, Jilid V (Leiden: E.J.Brill,1943),
hlm. 424-425.
7

Di antara bunyi redaksi hadis – hadis tersebut yang didapatkan dalam

Şahīh Bukhărī adalah17 :

ِ ِ ْ ‫ال َح َّدثََنا أَبِي قَ ا َل َح َّدثََنا اأْل‬ ٍ ‫ص ْب ِن ِغي‬


ُ ‫ال َح َّدثََنا إ ْب َراه‬
‫يم َع ِن‬ َ َ‫ش ق‬ ُ ‫َع َم‬ َ َ‫اث ق‬ َ ِ ‫َح َّدثََنا ُع َم ُر ْب ُن َح ْف‬
‫ق َع ْن َعائِ َش ةَ ُذ ِك َر ِع ْن َد َها َما‬ ٍ ‫ش و َح َّدثَنِي ُم ْس ِل ٌم َع ْن َم ْس ُرو‬
َ ُ ‫َع َم‬ َ َ‫َس َو ِد َع ْن َعائِ َش ةَ ح ق‬
ْ ‫ال اأْل‬ ْ ‫اأْل‬
‫النبِ َّي‬
َّ ‫ت‬ ُ ‫ونا بِ اْل ُح ُم ِر َواْل ِكاَل ِب َواللَّ ِه لَقَ ْد َرأ َْي‬ َ ‫َّهتُ ُم‬ْ ‫ت َش ب‬ ْ َ‫ب َواْل ِح َم ُار َواْل َم ْرأَةُ فَقَ ال‬ ُ ‫الص اَل ةَ اْل َكْل‬
َّ ُ‫ط ع‬ َ ‫َي ْق‬
ِ ْ ‫ير َب ْيَن هُ َوَب ْي َن اْل ِقْبلَ ِة ُم‬ َّ ‫ص لِّي َوإِ ِّني َعلَى‬ َّ ِ َّ َّ
َ ‫ط ِج َعةً فَتَْب ُدو ل َي اْل َح‬
ُ‫اج ة‬ َ ‫ض‬ ِ ‫الس ِر‬ َ ‫صلى اللهم َعلَْيه َو َسل َم ُي‬ َ
‫صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَأ َْن َس ُّل ِم ْن ِع ْن ِد ِر ْجلَْي ِه‬ َ ‫النبِ َّي‬
َّ ‫ي‬ ِ ‫َجِل َس فَأ‬
َ ‫ُوذ‬ ْ ‫َن أ‬ْ ‫فَأَ ْك َرهُ أ‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafs bin Ghiyãs berkata, telah
menceritakan kepada kami Abi (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada
kami al-A'masy berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahīm dari al-
Aswãd dari 'Āisyah: Disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang dapat
memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, jika melintas di hadapan
orang yang salat, maka berkata 'Āisyah: “Tuan-tuan samakan (wanita) dengan
keledai dan anjing. Sesungguhnya saya lihat Nabi saw. salat dan aku
berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan Nabi),
kemudian ada bagiku suatu keperluan dan saya tidak suka duduk mengganggu
Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki Nabi.”

Adapun hadis yang dimuat Sunăn Ibn Măjah sebagai berikut18 :

َ َ‫اهِل ُّي َح َّدثََنا َي ْحَيى ْب ُن َس ِع ٍيد َح َّدثََنا ُش ْعَبةُ َح َّدثََنا قَت‬


‫ادةُ َح َّدثََنا َج ابِ ُر ْب ُن‬ ِ ‫ح َّدثََنا أَبو ب ْك ِر ْبن َخاَّل ٍد اْلب‬
َ ُ َ ُ َ
ُ‫َس َو ُد َواْل َم ْرأَة‬
ْ ‫ب اأْل‬ُ ‫الص اَل ةَ اْل َكْل‬
َّ ُ‫ط ع‬ َ ‫صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َس لَّ َم قَ ا َل َي ْق‬
َ ‫النبِ ِّي‬
َّ ‫َّاس َع ِن‬ٍ ‫َز ْي ٍد َع ِن ْاب ِن َعب‬
‫ض‬ ِ
ُ ‫اْل َحائ‬

Artinya:
Telah mewartakan kepada kami Abū Bakar bin Khallãd al-Bãhilī, telah
mewartakan kepada kami Yahyã bin Sa'īd, telah mewartakan kepada kami
Syu'bah, telah mewartakan kepada kami Qatãdah, dari Jãbir, dari Ibnu Abbãs,
17
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī bi Syarh Şahīh Imăm Abū 'Abdillãh
Muhammad bin Ismă'il al-Bukhărī, Juz I (t.tp: Maktabah Salafiyah, t.th.), hlm. 588.
18
Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Syarh Sunan Ibn Măjah, Jilid I (Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th), hlm.302-303.
8

dari Nabi saw., beliau bersabda: Dapat memutuskan salat, yaitu anjing hitam
dan wanita yang sudah balig-usia haid-.

Dengan melihat hadis di atas, perlu kiranya menemukan pemaknaan yang

tepat terhadap hadis tersebut. Problemnya adalah apakah melintasnya anjing,

keledai dan wanita dapat memutuskan salat (membatalkan salat). Kedudukan

hadis-hadis tersebut adalah hadīs hasan sahīh sehingga pemasalahan selanjutnya

adalah memberikan pemaknaan yang tepat, proporsional dan representatif

terhadap hadis tersebut. Apakah hadis yang sahih akan selalau representatif untuk

dijadikan hujjah yang kemudian mampu diaplikasikan dalam realitas kekinian.

Dengan demikian, problem yang paling urgen adalah bahwa secara sekilas

ada perbedaan apa yang dipaparkan ketentuan syariat tentang hal-hal yang dapat

membatalkan salat dan pernyataan hadis bahwa salat dapat terputus karena

melintasnya anjing, keledai dan wanita. Dengan demikian, bagaimana seharusnya

hadis tersebut dipahami secara tekstual atau kontekstual dan kandungan hadis

tersebut bersifat temporal, lokal atau universal. Dalam redaksi hadis tersebut,

mengapa hanya melintasnya anjing, keledai dan wanita saja yang dapat

memutuskan salat. Mengapa hal ini dikhususkan pada tiga hal tersebut saja, apa

sebenarnya variabel yang terkandung di balik teks tersebut.

Dalam hadis yang lain lebih dikhususkan kepada melintasnya anjing hitam

dan wanita haid saja yang dapat memutuskan salat. 19 Apakah yang membedakan
19
Abī Muthīb Muhammad Syamsul al-Haq, ‘Aun al-Ma’būd, Juz II (Madinah: Maktabah
Salafiyah, 1968), hlm .399-400. Lihat dalam Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwinī, Syarh
Sunan Ibn Măjah, op. cit., hlm. 303. Lihat Abī al-‘Ula Muhammad Abdurrahmãn bin Abdirrahīm al-
9

antara anjing hitam, anjing merah dan anjing putih kemudian apa yang

menyebabkan anjing hitam saja yang dapat memutuskan salat. Ahmad bin Hanbal

menyatakan bahwa mengenai anjing hitam dapat memutuskan salat, sedangkan

wanita dan keledai masih ada keraguan.20

Hal yang lebih fatal lagi adalah adanya anggapan penyerupaan seorang

perempuan dengan seekor anjing dan keledai dalam hal merusak salat orang yang

kebetulan dilewati ketiga-tiganya.21 Hal inilah keunikan dari interpretasi teks

hadis tersebut sehingga perlu dikaji ulang dan mendalam, karena perempuan

sebenarnya memiliki berbagai keistimewaan dan kesetaraan serta kesejajaran

antara laki-laki dan perempuan.

Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah problem kebahasaan (linguistik).

Bagaimana seharusnya pemaknaan terhadap lafal ‫قطع الصالة‬. Menurut Abū

'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī dalam kitab Syarh Sunăn Ibn Măjah22

bahwa secara dhahir yang dimaksud memutuskan salat di sini adalah

Mubãr al-Katūrī, Tuhfãt al-Ahważī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995), hlm. 270-272. Lihat juga
Jalăluddīn al-Suyūtī , Sunan an-Nasă'ī bi Syarh Jalăludīn al-Suyūtī Wa Hăsiyah al-Imăm al-Sanadī,
Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1930), hlm. 63-64.
20
Abū 'Ulã Muhammad Abdurrahmãn Ibn Abdurrahīm al-Mubăr al-Kafūrī, Tuhfãt al-Ahważi,
op. cit., hlm. 270-272.
21
Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., antara Pemahaman Tekstual
dan Kontekstual, terj. Muhammad al-Bãqir (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 160-161.
22
Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, op. cit., hlm. 303.
10

membatalkan salat. Sedangkan menurut al-Nawãwī23 maksud dari ‫قطع الصالة‬,

memutuskan salat adalah merusak salat, yakni mengurangi kesibukan hati dan

mengganggu kekhusyukan hati menghadap Tuhan dalam salat, artinya hanya

mengurangi essensi dan substansi daripada salat, bukan membatalkan salat.

Implikasinya adalah salat itu tidak mencapai puncak kesempurnaan dan

kekhusyukan salat, sebagai upaya mendekatkan diri dan ketakwaan kepada

Allah.24

Dengan melihat kondisi kekinian dengan adanya masjid telah diterapkan

konsep satir dengan adanya dinding. Mengapa melintasnya ketiga hal tersebut

dapat berimplikasi besar dalam pelaksanaan salat. Di samping itu adanya

perbedaan pemahaman hal-hal yang dapat membatalkan salat menurut ketentuan

syariat dan menurut teks hadis tersebut. Inilah kemudian menjadikan hadis

tersebut perlu dikaji ulang untuk mencapai pemahaman yang tepat.

B. Rumusan Masalah

23
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Jilid IV (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1985), hlm.
237-238.
24
Ibid., hlm. 227-228. Lihat juga Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwinī, Syarh
Sunăn Ibn Măjah, op. cit.,, hlm. 302-303.
11

Dari pemaparan latar belakang masalah di atas dapat diketahui bahwa

hadis tersebut perlu penjelasan yang lebih tepat. Oleh karena itu, sekiranya dapat

dirumuskan beberapa permasalahan dari penelitian hadis tersebut :

1. Bagaimana hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai

dan wanita tersebut dipahami ? Apakah hadis tersebut dapat dipahami secara

tekstual dan atau kontekstual, dan apakah kandungan hadis tersebut bersifat

universal, temporal atau lokal ?

2. Bagaimana implikasi hadis tersebut terhadap ritual ibadah (salat) bagi muslim

dalam kehidupan sehari – hari ?

C. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis tentang

terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dan juga

mengetahui kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal.

2. Untuk mengetahui implikasi hadis tersebut terhadap ritual ibadah muslim

sehingga penulis mendeskripsikan pemaknaan hadis-hadis tersebut untuk

memperoleh pemaknaan yang tepat, apresiatif dan akomodatif terhadap

perkembangan zaman.

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :


12

1. Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

perkembangan pemikiran wacana keagamaan dan menambah khazanah

literatur studi hadis di Indonesia.

2. Secara sosial, penelitian ini diharapkan berguna bagi pelaksanaan salat umat

Islam sehingga dapat melaksanakan ibadah salat sesuai ketentuan syariat.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah

untuk memberikan kejelasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah

pustaka, yang relevan dengan tema yang terkait. Hadis-hadis tentang terputusnya

salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dimuat di berbagai kitab-kitab

hadis di antaranya kutub al-tis'ah.

Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.

antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual dijelaskan pemaknaan terhadap

hadis-hadis terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita

tersebut dengan berbagai versi redaksi hadis yang setema dan beberapa pendapat

ulama.25

Kajian pemaknaan terhadap hadis tersebut, secara tekstual dipahami

bahwa hadis itu terdapat bias gender dengan mendiskursuskan hanya perempuan

yang melintas, yang dapat memutuskan salat, bukan demikian halnya dengan laki-

laki, sehingga digunakan juga buku-buku yang mengkaji jender sebagai analisis

25
Muhammad al-Ghazali, op. cit., hlm. 160-162.
13

wacana kesetaraan jender dalam Islam yang terdapat dalam hadis tersebut. Di

antara buku-buku tersebut adalah Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan

Gender karya PSW IAIN Sunan Kalijaga 26 yang memaparkan bagaimana

mengkontekstualisasikan hadis dalam studi jender dan Islam dengan

menggunakan berbagai prinsip metodologi, yaitu prinsip ideologi, prinsip

otoritas, prinsip klasifikasi dan prinsip regulasi terbatas.

Fatima Mernissi melalui karya-karyanya, seperti Wanita di dalam Islam27,

Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam

Patriarkhi28, dengan menghadirkan hadis-hadis misoginis yang menurutnya

mengandung bias jender sehingga perlu dikaji ulang. Dalam diskursusnya ini, ia

menganggap pemahaman agama telah tereduksi karena kentalnya budaya

patriarkis yang menyebabkan perempuan selalu berada dalam posisi subordinat,

sehingga tanpa adanya pembongkaran tradisi Islam yang melahirkan

kecenderungan-kecenderungan misoginis, perempuan akan tetap terdiskriminasi.

Asghar Ali Engineer, seorang tokoh yang sezaman dengan Fatima

Mernissi yang menawarkan teologi pembebasan sekaligus memperjuangkan

liberasi dan humanisasi (pembebasan dan kemanusiaan) dalam mewujudkan

kesetaraan jender. Asghar juga tak jarang mengupas aspek sejarah Islam sebelum
26
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
27
Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, cet.1 (Bandung: Pustaka,
1994)
28
Fatima Mernissi-Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan
dalam Tradisi Pasca Patriarkhi (Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa, 1995)
14

dan sesudah Islam datang. Ide dan pemikirannya tertuang dalam tulisannya yang

berjudul Hak-Hak Perempuan dalam Islam29 serta Islam dan Teologi

Pembebasan30.

Kajian terhadap hadis tersebut, dilihat juga dari perspektif fikih dengan

menggunakan buku-buku, di antaranya adalah Ibn Hazm dalam kitab al-

Muhallã31 menjelaskan berbagai pemahaman ulama terhadap hadis-hadis tentang

terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dengan

membandingkan dari berbagai jalur sanad dan juga hadis-hadis yang setema

dihadirkan untuk menguatkan pemaknaan terhadap hadis tersebut. Dimanakah

Shalat yang Khusyu32 karya Muhammad Yunus bin Abdullah as-Saffar,

mengemukakan berbagai pendapat ulama dalam merespons adanya hadis yang

menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan

wanita. Dalam Fikih Sunnah33 karya Sayyid Sabiq mengupas hal-hal yang dapat

membatalkan salat karena anjing, keledai dan wanita tidak dapat memutuskan

salat. Abdul Qadir al-Rahbawi dalam buku Shalat Empat Madzhab34 dipaparkan
29
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici. F.A,
cet.2 (Yogyakarta: LSSPA, 2000)
30
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, cet.1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
31
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, Juz IV (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 9-15.
32
Muhammad Yunus bin Abdullah as-Sattar, Dimanakah salat yang khusyuk, terj. Abdullah
Shonhaji dan Sani Abu Zahra (Semarang: Asy-Syifa’, 1981), hlm. 251-259.
33
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,terj. Mahyuddin Syaf, Jilid I (Bandung: al-Ma’arif , 1977),
hlm. 219-233.
34
Abdul Qadir ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab, terj. Zeid Husein al-Hamid dan M.
Hasanuddin (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994), hlm. 206-284.
15

makna dan essensi dari salat, syarat sah salat, rukun salat dan hal-hal yang dapat

membatakan salat sebagai acuan awal untuk melangkah pada pemaknaan hadis

tersebut.

Hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan

wanita ini pernah dikaji oleh Kadarusman dalam skripsinya yang berjudul Kritik

Hadis Perspektif Gender: Studi atas Pemikiraan Fatima Mernissi, yang hanya

mengkaji hadis dari satu jalur sanad saja dengan menghujat eksistensi dari Abu

Hurairah secara singkat.

Buku-buku di atas belum cukup memadai, walaupun penulis sendiri

mengakui bahwa masing-masing saling melengkapi dalam memberikan informasi

dalam penelitian ini. Sementara, sejauh penelusuran dari berbagai literatur, belum

terdapat karya tulis yang khusus membahas makna hadis di atas dengan kajian

ma’ãnī al-hadīs dan menjelaskan relevansi hadis tersebut. Dengan demikian,

penulis mengadakan penelitian hadis yang dituangkan dalam karya tulis yang

khusus membahas makna hadis tersebut dengan kajian ma’ãnī al-hadīs.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan (library research)

dengan menggunakan sumber-sumber data dari bahan-bahan tertulis dalam

bentuk kitab, buku, majalah dan lain-lain yang relevan dengan topik pembahasan.
16

Sumber utama penelitian ini adalah Kutub al-Tis'ah yang memuat hadis-

hadis tersebut dengan syarh-nya. Dalam pelacakan dan penelusuran hadis tersebut

dalam Kutub al-Tis’ah, penulis menggunakan metode takhrīj hadis dengan

menggunakan kamus hadis melalui petunjuk lafal hadis dengan kitab al-Mu’jam

al-Mufahras li Alfãz al-Hadīs dan kata kunci (tema) hadis dengan kitab Miftãh

Kunūz al-Sunnah. Di samping itu, digunakan juga jasa komputer dengan program

CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf yang mampu mengakses sembilan kitab sumber

primer hadis. Sedangkan sumber penunjangnya adalah kitab-kitab dan buku-buku

yang relevan dengan kajian ini.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis,

yaitu sebuah metode yang bertujuan memecahkan permasalahan yang ada, dengan

menggunakan teknik deskriptif yakni penelitian, analisa dan klasifikasi. 35 Adapun

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan linguistik, pendekatan historis,

dengan melihat kondisi pada saat hadis itu muncul, dan pendekatan sosiologis,

dengan analisis kesetaraan jender. Dalam proses pelaksanaannya, dengan

menggunakan langkah kerja ma’ãnī al-hadīs, yaitu36:

1. Kritik Historis, menentukan validitas dan otentisitas hadis dengan

menggunakan kaedah kesahihan dari ulama-ulama kritikus hadis.

35
Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 138-139.
36
Langkah-langkah ini adalah metodologi sistematis yang merupakan hasil akumulasi dari
metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh Musahadi HAM, Yusuf Qardhawi dan Syuhudi
Ismail. Kemudian kami analisis metode-metode tersebut sehingga hadis dapat dipahami secara tepat,
proporsional dan komprehensif.
17

2. Kritik Eidetis, pemaknaan hadis dengan mengadakan berbagai analisis,

yakni:

1. Analisis Isi, muatan makna hadis melalui kajian linguistik, kajian

tematis-komprehensif37 dan kajian konfirmatif.38

2. Analisis Realitas Historis, pemahaman terhadap makna hadis dari

problem historis ketika hadis muncul, baik makro maupun mikro.

3. Analisis Generalisasi, pemahaman terhadap makna universal dari teks

hadis.

3. Kritik Praksis, pengubahan makna hadis yang dihasilkan dari proses

generalisasi alam realitas kehidupan kekinian sehingga maknanya praksis

bagi problematika hukum dan kemasyarakatan masa sekarang.

F. Sistematika Pembahasan

Bahasan studi ini, disusun dalam bab dan sub bab. Adapun sistematika

pembahasan penelitian ini sebagai berikut :

Bab Pertama, Pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan latar belakang

masalah, sebagai ungkapan inspirasi awal dari penelitian, kemudian pembatasan

terhadap masalah yang tertuang dalam rumusan masalah. Langkah berikutnya

37
Mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang sama dengan tema hadis
yang dikaji untuk memperoleh pemahaman yang tepat, komprehensif dan representatif.
38
Konfirmasi dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagaimana metode yang diajukan Yusuf
Qardhawi.
18

menentukan tujuan dan kegunaan penelitian, kemudian dijelaskan pula tinjauan

pustaka sebagai acuan untuk membedakan penelitian ini dengan kajian yang

serupa. Selanjutnya dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian hadis ini

dan diakhiri dengan rangkaian sistematika pembahasan.

Bab Kedua, Tinjauan umum tentang Salat, yang memaparkan seputar tata

cara melaksanakan salat yang meliputi syarat sah salat dan rukun-rukun salat.

Pada sub bab kedua dijelaskan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Pada bab

ini akan dijelaskan salat sesuai ketentuan syariat dengan hujjah al-Qur’an dan

Hadis.

Bab Ketiga, pemaparan redaksional hadis-hadis yang variatif dengan

mengkategorisasikan berdasarkan perbedaan redaksional dan juga mengungkap

kritik historis, untuk menentukan validitas dan otentisitas hadis tersebut. Di

samping itu, akan dijelaskan kritik Eidetis yang mencakup kajian linguistik,

kajian tematik-komprehensif dan kajian konfirmatif. Pada sub bab ketiga

dipaparkan analisis hadis, yang meliputi analisis pemaknaan hadis, analisis

historis dan analisis generalisasi.

Bab Keempat, kontekstualisasi hadis sesuai konteks turunnya terhadap

kondisi kekinian dengan kajian linguistik, tematik-komprehensif, konfirmatif dan

generalisasi makna hadis. Selanjutnya merelevansikan teks dan konteks hadis

tersebut pada realitas kehidupan kekinian.


19

Bab kelima, Penutup adalah bagian akhir penelitian ini yang berisi

kesimpulan, saran-saran dan kata penutup dari pembahasan-pembahasan

sebelumnya.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i
HALAMAN NOTA DINAS……………………………………………….…. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………… iii
MOTTO……………………………………………………………………….. iv
20

PERSEMBAHAN…………………………………………………………….. v
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA………………………… vi
ABSTRAK……………………………………………………………………. . x
KATA PENGANTAR………………………………………………………… xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah…………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………… 12
C. Tujuan dan Kegunaan penelitian ………………….………… 13
D. Telaah Pustaka……………………………….………………. 13
E. Metode Penelitian……………………………….…………… 18
F. Sistemtaika Pembahasan…….………………………………. 20
BAB II Seputar tentang Salat
A. Seputar Tentang Salat, sebagai ritual ibadah muslimin……… 1
B. Hukum Mendirikan Salat…………………………………….. 5
C. Tata cara Melakukan Salat…………………………………… 7
BAB III Tinjauan Redaksional Hadis Tentang putusnya shalat
dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita
A. Redaksi hadis tentang batalnya Shalat dengan melintasnya anjing,
keledai dan wanita
1. Redaksi hadis tentang putusnya shalat dengan melintasnya anjing
keledai dan wanita…………………………………………..
2. Pemaknan hadis dengan kajian linguistik ………………….
B. Pemaknaan Hadis tentang Batalnya Shalat dengan Melintasnya
Anjing, Keledai dan Wanita
1. Analisa Matan……………………………………………….
2. Analisa Sosio Historis……………………………………….
21

3. Analisa Fungsi Nabi…………………………………………


4. Analisa hadis-hadis yang bertentangan……………………..
5. Analisa Generalisasi…………………………………………
BAB IV Analisis Hadis-Hadis tentang Relevansi Teks dan Konteks
A. Kontekstualisasi hadis dengan kondisi temapat shalat masa
sekarang………………………………………………………..
B. Implikasi Hadis terhadap Ritual Ibadah Shalat………………..
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………….
B. Saran-Saran……………………………………………………..
C. Penutup…………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Abi Tayyib Muhammad Syamsul Haq, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu
Dawud. Madinah: Maktabah Salafiyah,1968

Adlabi, Sholehuddin, Manhaj Naqd al-Matan. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983
22

Amin, Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat “Islam Laki-


Laki”Menggurat Perempuan Baru. Yogyakarta: IRCiSod, 2003

Asqalany, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Sahih Imam Abi Abdillah
Muhammad bin Isma'il al-Bukhary. t.tp.: Maktabah Salafiyah, t.th.

Bakar, Anton, Metode Research. Yogyakarta: Kanisius, 1992

Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan


Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002

Ghafur, Waryono Abdul, Gender dan Islam Teks dan Konteks,Yogyakarta: PSW
IAIN Sunan Kalijaga, 2003

Ghazali, Muhammad, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW., antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1993

HAM, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Pada Perkembangan Hukum


Islam. Semarang: Aneka Ilmu,2000

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996

Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001

ILyas, Yunahar, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Yogyakarta: Lembaga


Pengajian dan Pengalaman Islam “LPPI”,1996

Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,1992

Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994

Mernissi, Fatima, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam
Tradisi Pasca Patriarkhi, Yogyakarta: LSSPA-Yayasan Prakarsa,1995

Mubar, Abi ‘Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfadzul ahwadz bi


Syarh Tirmidzi. Beirut: Dar al-Fikhr, 1995

Munawwir, Achmad Warson, al-Munawwir, Kamus Arab – Indonesia. Surabaya:


Pustaka Progressif,1997
23

Naisyabury, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairy, al-Jami’
al-Sahih Juz II. Beirut: Dar al-Fikhr, t.th

Nawawy, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawy. Beirut: Dar al-Fikhr, 1981

Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Terj. Muhammad al-
Baqir. Bandung: Karisma, 1995

Qasthalany, Abu Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad , Irsyad al-Sary li


Syarh Sahih al-Bukhary. Beirut: Dar al-Fikhr, t.th.

Qazwiny, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Syarh Sunan Ibn Majah. Beirut: dar
al-Fikhr, t.th

Rahbawi, Abdul Qadir, Shalat Empat Madzhab. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
1994

Salih, Subhi, Ulum al-Hadis Wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-‘Um al-Malayin,1997

Shieddieqy, M. Hasbi, Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983

Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS,1999

Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994

Suyuti, Jalaluddin, Sunan an-Nasa’I bi Syarh al-Hafidz Jaluddin al-Suyuti wa


Hasiyah al-Imam al-Sanadi. Beirut: Dar al-Fikhr, 1930

Tahhan, Mahmud, Taisir Musthala al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikhr, t.th

Wensick, A. J., Mu’jam Mufahras Li alfadhil Hadis al-Nabawi Juz V. Leiden: E.J.
Brill,1965

Wensick, A.J., Miftah Kunuz as-Sunah, Mesir: Maktabah al-Misriyyah, 1924

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT


24

Seputar Tata Cara Melaksanakan Salat

Dalam ajaran Islam ada tiga hal pokok yaitu aqidah, ibadah dan

muamalah. Ibadah sebagai aspek kedua dalam agama Islam itu merupakan tujuan

manusia diciptakan oleh Allah di dunia ini. Salat adalah hubungan antara Tuhan

dengan manusia yang merupakan hubungan ajaib yang tidak ada duanya, tidak

ada bandingannya, yang tidak dapat dikiaskan dengan hubungan antara dua

makhluk di atas bumi ini.

Kata as-Şalãt berasal dari bahasa arab, yakni "şallã, yuşallī, şalãtan".

Salat harus dimaknai dengan salat juga, bukan dengan sembahyang seperti agama

lain dengan berbagai cara mereka.39 Akibatnya, salat akan dilaksanakan dengan

keliru, tidak seperti ketentuan syariat. Inti dari salat adalah doa, namun berdoa

dalam salat berbeda dengan doa pada umumnya. Salat harus dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan syariat.

Secara etimologis, as-Şalãt menurut Ibn Manzūr berarti rukū', as-sujūd,

ad-du'ã, al-istigfãr (ruku', sujud, permohonan, permohonan ampun).40 Menurut

Rãghib al-Isfahãnī, as-şalãt berarti ad-du'ã, al-tabrīku, al-tamjīdu (permohonan,

pemberkahan dan pemuliaan).41 Jadi, secara etimologis, salat adalah berdoa

dengan melakukan ruku dan sujud.

39
Zainal Arifin Djamaris, Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan Kaifiat dan
Menggali Latar Filosofinya (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), hlm. 1.
40
Ibn Manzur, Lisãn al-'Arab (t.p: Dãr al-Misriyyah li al-Ta'līf wa Tarjamah, t.th), hlm. 198.
41
Ar-Rãghib al-Isfahãnī, al-Mu'jam al-Mufradãt li Alfãz al-Qur’ãn al-Karīm (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th), hlm. 319.
25

Secara terminologis, arti salat menurut Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr at-

Thabarī, as-şalãt berarti ad-du'ã, karena orang yang salat sedang berupaya untuk

mendapatkan keinginannya, yang berupa ganjaran dari Allah dengan

perbuatannya beserta dengan apa yang diminta kepada Allah berupa kebutuhan-

kebutuhannya.42 Menurut Muhammad Rasyīd Ridhã, as-şalãt adalah

menampakkan hajat dan kebutuhan kepada yang disembah dengan ucapan,

perbuatan atau keduanya.43

Menurut Ahmad Musţafã al-Marãghī, as-şalãt berarti ad-du'ã yaitu berdoa

kepada yang disembah dengan ucapan atau perbuatan atau kedua-duanya sebagai

simbol seorang hamba membutuhkan penciptanya karena pemberian nikmatnya

dan diselamatkan dari kemurkaan.44 Sayyid Sabiq, memberi pengertian salat

adalah ibadah yang terdiri dari perkataan tertentu yang dimulai dengan takbir

kepada Allah Ta'ala dan disudahi dengan memberi salam.45 Imam empat

madzhab, memaknai salat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan

tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan membaca salam.46
42
Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr at-Tabarī, Jămi al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I (Beirūt:
Dãr al-Ma'rifah li Tibă'at Wa Nasyr, 1982), hlm. 80.
43
Muhammad Rasyīd Ridhă, Tafsīr al-Qur'an al-Hakīm, al-Syahīr min Tafsīr al-Manăr, Jilid
I (Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibã'at wa an-Nasyr, t.th), hlm. 128.
44
Ahmad Musţofă al-Marăgī, Tafsīr al-Marăgī, Jilid I (Mesir: Multazam at-Tiba' wa an-Nasyr
Syirkah Maktabah wa Matha'ah Mustofa al-Babi, 1970), hlm. 42.
45
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf, Jilid I (Bandung: al-Ma'arif, 1996),
hlm. 191.
46
Imam Empat Madzhab fiqih tersebut adalah Abu Hanifah, Syafi'i, Imam Malik, Ahmad bin
Hanbal. Lihat juga Abdul Qãdir ar-Rahbawī, Salat Empat Madzhab, terj. Zeid Husein al-Hamid dan
M. Hasanuddin (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1994), hlm. 177.
26

Para fuqaha47 sepakat memaknai salat adalah beberapa ucapan dan

perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam yang

dengannya orang beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah

ditentukan. Jadi salat adalah berdoa kepada Allah dengan beberapa ucapan dan

beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam

sebagai penampakan hajat dan kebutuhan kepada penciptanya menurut syariat

yang telah ditentukan.

Salat diperintahkan dalam al-Qur'an berulang-ulang berupa perintah yang

tegas, memuji orang-orang yang mendirikan salat dan mencela orang-orang yang

meninggalkannya. Dengan sering berulang-ulangnya perintah mendirikan salat

dapat dipahami bahwa salat adalah tiang agama.

Maksud ibadah salat adalah menumbuhkan kesadaran penuh dalam hati

seseorang bahwa ia sedang menghadap Allah dan mempersatukan umat mukmin

dalam ritual salat. Salat bertujuan untuk mengingat Allah, bersyukur kepada Allah

dan mencegah perbuatan yang keji dan munkar. Dengan demikian untuk

menjadikan salat sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah swt., maka harus

mengetahui mkna-makna batiniah daripada salat tersebut. Sebagai langkah awal

haruslah menghadirkan hati dengan kekhusyukan menghadap-Nya. Adapun ruh

salat atau jiwa salat itu ada tiga hal48, yaitu :

47
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 62.
48
M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 74-83.
27

1. Khusyuk, merendahkan diri dan mencegah penglihatan dari keharaman. Amr

ibn Dinãr memaknai khusyuk adalah tenang dan gerakan yang baik dalam

mengerjakan salat. Ibn Sirrin memahami khusyuk dengan konsentrasi pikiran

pada salat dan lepas dari pemikiran lainnya Lain halnya dengan Ibn Jubair

yang memaknai khusyuk dengan tetap mengarahkan pikiran kepada salat

sehingga tidak mengetahui orang sebelah kanan dan kiri. Athã' justru

memahami khusyuk dengan tidak mempermain-mainkan tangan, tidak

memegang-megang benda dalam salat. Jadi, khusyuk adalah amalan hati,

suatu keadaan yang mempengaruhi jiwa, seperti tenang dan menundukkan

diri.

Hal ini dijelaskan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 45 :

‫اش ِعين‬
ِ ‫الصاَل ِة وإِ َّنها لَ َكبِيرةٌ ِإاَّل علَى اْل َخ‬
َ َ َ َ َّ ‫َّب ِر َو‬ ْ ‫استَ ِع ُينوا بِالص‬
ْ ‫َو‬

Artinya:
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk.49

2. Hadir hati. Dalam menghadirkan hati dengan cara memusatkan segala pikiran

pada yang dikerjakan yakni salat, tidak berpaling dari kesadaran berbuat dan

berucap, sehingga salat benar-benar dapat dimengerti, dipahami dan dihayati.

Dengan demikian, essensi dan substansi dari salat dapat dipahami dan

dihayati.

49
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 16.
28

3. Ikhlas. Ikhlas adalah niat hati yang murni hanya untuk memperoleh keridhaan

Allah semata-mata. Ikhlas dengan memelihara ibadat dari perhatian manusia,

semua ditujukan untuk memperoleh ridha dari Allah.

Jika salat dilaksanakan tanpa kekhusyukan, hadir hati dan ikhlas, maka

salat itu seperti tubuh tanpa ruh yang tidak dapat berdiri. Begitu pula salat

tersebut tidak menemukan hakekatnya, jika tanpa kekhusyukan dan

keikhlasan.

Di samping itu, al-Gazãlī mengatakan bahwa ada enam kondisi yang

harus diperhatikan ketika melaksanakan salat, yaitu50:

1. Hudhūr al-qalb (kehadiran hati)

2. Tafahhum (bersungguh-sungguh dalam upaya memahami makna yang

terkandung dalam setiap ucapan)

3. Ta’zhīm (pengagungan dan penghormatan kepada Allah swt., yang kepada-

Nya ditujukan salat seseorang)

4. Haibah (ketakutan yang bersumber dari ta’zhim atau pengagungan kepada-

Nya)

5. Rajã’ (pengharapan yang ditujukan kepada Allah swt., semoga diterima

salatnya)

50
Muhammad Bãqir al-Habsyī, Fiqih Praktis, Menurut al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat
Para Ulama (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 148.
29

6. Hayã’ ( rasa malu yang dilatarbelakangi oleh rasa bersalah, baik karena

kelalaian hati dalam melaksanakan ibadah, ataupun kesadaran telah berbuat

dosa kepada Allah swt.

Salat harus dilaksanakan dengan kekhusyukan karena puncak kenikmatan

dan makna dari salat tersebut hanya dapat dirasakan jika salat tersebut

dilaksanakan dengan khusyuk, hadir hati dan ikhlas. Substansi dan essensi salat

akan memiliki makna dan nilai yang mendalam, jika salat tersebut dilakukan

dengan kekhusyukan dan keikhlasan.

Salat harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat, yang memiliki

tata cara tersendiri. Dalam ritual salat itu terdapat rukun-rukun salat, syarat-syarat

sah salat yang merupakan hal-hal yang harus terpenuhi ketika melakukan salat.

Adapun syarat-syarat sah salat adalah sebagai berikut51 :

1.Mengetahui telah masuk waktu salat.

Salat itu dilaksanakan sesuai dengan waktu-waktu masing-masing dari

setiap jenisnya sebagaimana ketentuan syariat. Salat dilaksanakan setelah

diketahui telah tiba waktunya. Waktu salat dapat diketahui dengan adzannya

mu’adzin, ijtihad sendiri, sesuatu sebab yang menghasilkan keyakinan seperti

jam penunjuk.

2. Suci dari hadats besar dan hadats kecil.

51
Abdul Qãdir ar-Rahbawī, op. cit., hlm. 206-215. Lihat juga M. Hasbi ash-Shiddieqy, op.
cit., hlm. 98-102. Lihat juga Sayyid Sabiq, op. cit., hlm.219-233.
30

Dalam melaksanakan salat, seseorang harus bersuci dahulu dari hadats

kecil dengan wudhu dan hadats besar dengan mandi suci sebagaimana

dijelaskan dalam surat al-Ma’idah ayat 6 sebagai berikut :

‫ام َس ُحوا‬
ْ ‫ق َو‬ ِ ‫وه ُك ْم وأ َْي ِدَي ُك ْم ِإلَى اْل َم َر ِاف‬ ِ ْ َ‫الصاَل ِة ف‬
َّ ‫امُنوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى‬ َِّ
َ َ ‫اغسلُوا ُو ُج‬ َ ‫ين َء‬ َ ‫َياأَيُّهَا الذ‬
َّ ِ
‫ضى أ َْو َعلَى َسفَ ٍر أ َْو‬ َ ‫بِ ُر ُءوس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم ِإلَى اْل َك ْعَب ْي ِن َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجُنًبا فَاطهَُّروا َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َم ْر‬
‫ام َس ُحوا‬
ْ َ‫طيًِّبا ف‬َ ‫يدا‬ ً ‫ص ِع‬
َ ‫اء فَتََي َّم ُموا‬ ً ‫اء َفلَ ْم تَ ِج ُدوا َم‬ ِّ ‫َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِم َن اْل َغائِ ِط أ َْو اَل َم ْستُُم‬
َ ‫الن َس‬ َ ‫اء أ‬
َ ‫َج‬
َ ‫يد ِلُي‬
‫طهَِّر ُك ْم‬ ُ ‫يد اللَّهُ ِلَي ْج َع َل َعلَْي ُك ْم ِم ْن َح َر ٍج َولَ ِك ْن ُي ِر‬
ُ ‫بِ ُو ُجو ِه ُك ْم َوأ َْي ِدي ُك ْم ِم ْنهُ َما ُي ِر‬

Artinya:
Wahai segala mereka yang telah beriman! Apabila kamu hendak berdiri kepada
shalat maka basuhlah muka-mukamu dan tangan-tanganmu hingga siku dan
sapulah kepalamu dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki (sepuluh
kaki-kakimu jika kamu memakai sarung kaki) dan jika kamu berjunub ,maka
mandilah kamu dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau baharu
membuang air,atau telah menyentuh istrinya (menyetubuhi istri) lalu kamu
tiada mendapati air untuk berwudhu atau mandi, maka carilah tanah yang
bersih, lalu sapulah muka-mukamu, tangan-tanganmu dengannya, Allah tiada
menghendaki untukmenyempitkan atau menyukarkan kamu, tetapi Allah
berkehendak membersihkan kamu dan meyempurnakan nikmat-Nya atas kamu
supaya kamu mensyukurinya.52

Dalam sebuah hadis juga dijelaskan :

‫ص َد قَ ًة ِم ْن ُغلُ ْو ٍل‬
َ ‫صاَل ةً ِب َغ ْي ٍر َواَل‬
َ ُ‫اَل َي ْق َب ُل اهلل‬
53

Artinya:
Allah tiada menerima salat dengan tidak bersuci dan tiada menerima sedekah
yang diberi dari harta yang disembunyikan dari rampasan perang yang belum
dibagikan.

52
Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 158.
53
Hadis ini diperoleh dari penelusuran hadis dengan menggunakan CD Mausū’ah al-Hadīs
al-Syarīf dalam Sahīh Muslim bab Ţahãrah dengan no. hadis 329.
31

3. Suci badan, pakaian dan tempat salat dari najis, hadats kecil dan hadats besar.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis :

‫ َن َع ْم ِإاَّل اَ ْن تََرى‬:‫صلِّى ِفى الثَّْو ِب الَِّذى اَتِى ِف ْي ِه اَ ْهِل ٌّي‬


َ ُ‫ى ص م ا‬ ِ َّ َ ‫ت َر ُجاًل َس‬ ُ ‫َس ِم ْع‬
ُ ‫ال النب‬
ُ54‫َش ْيًئا ِف ْي ِه فَتَ ْغ ِسلُه‬

Artinya:
Saya mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Nabi : Bolehlah saya salat

dengan memakai pakaian yang saya pakai ketika bersenggama ? Beliau

menjawab : boleh, kecuali jika kamu lihat sesuatu kotoran padanya, maka

hendaklah kau cuci.

4. Menutup aurat.

Ketika bersalat hendaknya memakai pakaian yang baik untuk menutup

aurat. Batas aurat laki-laki dan wanita dalam salat berbeda. Adapun aurat yang

disepakati wajib ditutupi orang laki-laki di saat salat, ialah : “qubul dan dubur

“ (kemaluan dan dubur). Ada pula yang menyatakan bahwa aurat laki-laki di

saat salat adalah bagian tubuhnya antara pusar dan lutut.55 Adapun yang selain

dari itu, yaitu paha, pusat dan lutut, para ulama berselisih mengenai paha.

Bedanya ada yang mengatakannya aurat dan ada pula yang mengatakannya

bukan aurat.

54
Imãm Abī Husain Muslim bin al-Hajjãj ibn Muslim Al-Qusyairī Al-Naisãbūrī, al-Jãmī al-
Şahīh (Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.), hlm. 90. Hadis ini diriwayatkan oleh periwayat yang śiqah.
55
Muhammad Bãqir al-Habsyī, hlm. 111. Pebedaan pendapat mengenai ini, mengingat
adanya beberapa hadis sahih,sebagiannya menunjukkan bahwa paha dari laki-laki harus ditutup,
sebagiannya lagi tidak.
32

Sebuah hadis menjelaskan:

َ ‫ َغطِّ فَ ِخ َذ ْي‬,‫ام ْع َمر‬


ٌ‫ك فَِإ َّن ْالفَ ِخ َذ ْي ِن َع ْو َرة‬ ِ َ‫ َوفَ ِخ َذاهُ َم ْك ُش ْوفَت‬,‫ َم َّر َر ُس ْو ُل اهلل ِص م َعلَى َم ْع َم ٍر‬56
َ ‫ان فَقَا َل َي‬

Artinya:
Rasulullah lewat pada Ma’nar yang kedua pahanya tersingkap, maka
sabdanya : Hai Ma’mar ! Tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat.

Kemudian memakai “pakaian yang baik” yang menutup bagian-

bagian badan yang dipandang baik ketika menutupnya oleh rasa susila,

adalah suatu (wajib) yang berdiri sendiri, yang tidak patut diabaikan.

Adapun aurat wanita di dalam salat menurut jumhur ulama ialah

seluruh badannya selain dari muka dan kedua telapak tangan.57 Menurut asy-

Syafi’i dan Hanafi bahwa aurat wanita di dalam salat adalah seluruh

badannya kecuali muka dan telapak tangan. Demikian pula punggung telapak

kaki bukanlah aurat menurut golongan Hanafi.58 Hal ini berdasarkan surat an-

Nur ayat 31:

‫َواَل يُ ْب ِد يْنَ ِز ْينَتَ ُهنَّ إِاَّل َما ظَ َه َر ِم ْن َها‬

Artinya:
Dan janganlah mereka (para wanita menampakkan hiasan-hiasan mereka,
tempat-tempat hiasan mereka), melainkan sekedar yang tampak
daripadanya.59

56
Hadis ini diperoleh dari penelusuran hadis dengan menggunakan CD Mausū’ah al-Hadīs
al-Syarīf dengan kata kunci aurat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 21457.
57
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhalla, Jilid II (Beirūt: Dãr- al-
Fikr, t.th.), hlm. 217.
58
Abdul Qadir ar-Rahbawi, op. cit., hlm. 210-211.
59
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 548.
33

Pakaian yang dipakai menutup aurat itu disyariatkan harus tebal.

Karena itu, tidak cukup jika pakaian itu tipis sehingga terbayang warna kulit

dibaliknya. Sehingga boleh memakai pakaian yang sempit sekali sehingga

lekuk tubuh dibaliknya nampak jelas, asalkan tidak nampak warnanya.

Barangsiapa tidak mendapatkan pakaian untuk menutup auratnya, maka

hendaklah ia salat dengan telanjang dan salatnya itu sah. Tetapi menurut

Hanafi dan Hanbali, yang lebih utama bagi orang yang salat telanjang ialah

mengerjakannnya dengan duduk dan memberi isyarat untuk ruku’ dan

sujudnya, serta merapatkan pahanya satu dengan yang lain. Ulama Hanafi

menambahkan : Hendaknya kedua kakinya itu dijulurkan ke arah kiblat,

untuk menutupnya erat-erat.60

Batasan aurat sebagaimana dijelaskan di atas adalah batasan minimal,

namun jika seseorang itu memiliki kemampuan, hendaknya memakai pakaian

yang dianggap sopan, patut dan layak pakai, terutama ketika menuju tempat

salat sebagaiman dijelaskan dalam surat al-A’rãf (7) ayat 31 sebagai berikut:

ُّ ‫دو ُكلُوا َوا ْش َرُبوا َواَل تُ ْس ِرفُوا ِإَّنهُ اَل ُي ِح‬


َ ‫ب اْل ُم ْس ِر ِف‬
‫ين‬ ِ ِّ ِ ِ
َ ‫َي َابني َء َاد َم ُخ ُذوا ِز َينتَ ُك ْم عْن َد ُكل َم ْسج‬
Artinya:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.61

5. Menghadap Kiblat
60
Ibid., hlm.211-212.
61
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 225.
34

Para ulama sepakat bahwa salat wajib menghadap kiblat, masjidil

haram sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis sebagai berikut :

‫ال َح َّدثََنا أَُبو َح ِازٍم قَا َل َسأَلُوا َس ْه َل ْب َن َس ْع ٍد ِم ْن‬ ُ ‫ال َح َّدثََنا ُس ْفَي‬
َ َ‫ان ق‬ َ َ‫َح َّدثََنا َعِل ُّي ْب ُن َعْب ِداللَّ ِه ق‬
َ‫َعلَ ُم ِمِّني ُه َو ِم ْن أَثْ ِل اْل َغ َاب ِة َع ِملَهُ فُاَل ٌن َم ْولَى فُاَل َنة‬ ْ ‫اس أ‬ َّ ِ‫ال َما َب ِقي ب‬
ِ ‫الن‬
َ َ َ‫َي َش ْي ٍء اْل ِم ْنَب ُر فَق‬ ِّ ‫أ‬
‫ين‬ ِ َّ ِ َّ َّ ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّهم علَْي ِه وسلَّم وقَام علَْي ِه رسو ُل اللَّ ِه‬ ِ ‫ِلرس‬
َ ‫صلى اللهم َعلَْيه َو َسل َم ح‬ َ ُ َ َ َ َََ َ َ َ ُ َ
‫اس َخْلفَهُ ثَُّم َرفَ َع‬ َّ ‫اس َخْلفَهُ فَقََرأَ َو َر َك َع َو َر َك َع‬ ِ
َّ ‫استَ ْقَب َل اْلقْبلَةَ َكب ََّر َوقَ َام‬ ِ ِ
ُ ‫الن‬ ُ ‫الن‬ ْ َ‫ُعم َل َو ُوض َع ف‬
ِ
‫ْسهُ ثَُّم‬َ ‫اد ِإلَى اْلم ْنَب ِر ثَُّم َر َك َع ثَُّم َرفَ َع َرأ‬ َ ‫ض ثَُّم َع‬ ِ ‫ْسهُ ثَُّم َر َج َع اْلقَ ْهقََرى فَ َس َج َد َعلَى اأْل َْر‬ َ ‫َرأ‬
‫ال َعِل ُّي ْب ُن اْل َم ِدينِ ِّي‬ َ َ‫ض فَهَ َذا َشأُْنهُ قَا َل أَبمو َع ْبد اللَّ ِه ق‬ ِ ‫َر َج َع اْلقَ ْهقََرى َحتَّى َس َج َد بِاأْل َْر‬
‫صلَّى اللَّهم‬ َ ‫النبِ َّي‬َّ ‫َن‬ َّ ‫ت أ‬ ُ ‫ال فَِإَّن َما أ ََر ْد‬ ِ ‫َحم ُد ْبن ح ْنب ٍل ر ِحمه اللَّه ع ْن َه َذا اْلح ِد‬
َ َ‫يث ق‬ َ َ ُ ُ َ َ َ َ ُ َ ْ ‫َسأَلَني أ‬
ِ
ِ ‫اس بِه َذا اْلح ِد‬ َّ ‫َعلَى ِم َن‬ ِ َ ‫َن َي ُك‬ َّ ‫َعلَى ِم َن‬ َّ ِ
‫يث‬ َ َ ِ ‫الن‬ ْ ‫ام أ‬ ُ ‫ون اإْل َم‬ ْ ‫ْس أ‬َ ‫اس فَاَل َبأ‬ِ ‫الن‬ ْ ‫ان أ‬
َ ‫َعلَْيه َو َسل َم َك‬
َ َ‫ان ُي ْسأَ ُل َع ْن َه َذا َكثِ ًيرا َفلَ ْم تَ ْس َم ْعهُ ِم ْنهُ ق‬
‫ال اَل‬ َ ‫ان ْب َن ُعَي ْيَنةَ َك‬ َ ‫ت ِإ َّن ُس ْفَي‬ ُ ‫قَا َل فَ ُقْل‬
62

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Alī bin Abdullah, telah menceritakan kepada
kaami Sufyãn, telah menceritakan kepada kami Abu Hãzm, Ia berkata bahwa
orang-orang bertanya kepada Sahl bin Sa’id tentang untuk apa mimbar? Lalu
ia berkata: “Apa yang ada pada manusia maka aku mengetahuinya, itu adalah
tempat pemusatan amalan (ibadah) sekumpulan orang keturunan Rasulullah
saw. yang menghadap kepadanya. Sesungguhnya Rasulullah jika melakukan
amalan itu (salat) maka ia menghadap kiblat dengan bertakbir dan orang-
orang berdiri dibelakangnya lalu membaca ayat, lalu ruku’, dan orang-orang
dibelakangnya bersujud pula, kemudian mengangkat kepalanya bangun dari
ruku’, kemudian kembali mengulanginya sampai sujud di tanah. Kemudian
kembali menghadap ke minbar lalu ruku’, kemudian mengangkat kepalanya
bangun dari ruku’, kemudian kembali mengulanginya sampai sujud di tanah.
Dan inilah perkatan Abū Abdullãh , Alī bin al-Madīnī berkata bahwa Ahmad
bin Hanbal bertanya kepadaku (Alī al-Madīnī) tentang hadis ini lalu aku
mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki derajat tinggi di antara
manusia, tidak ada masalah menjadikannya imam di antara manusia dalam
hadis ini. kemudian aku mengatakan bahwa Sufyãn banyak ditanya tentang
hal ini dan ia tidak mendengarnya berkata tidak.

62
Hadis ini diperoleh melalui penelusuran hadis dengan CD Mausū'at li Alfãz al-Hadīs al-
Syarīf dengan kata kunci "Qiblat" diperoleh dalam Sahīh Bukhãrī bab Salat dengan no. hadis 364.
35

Menghadap kiblat adalah hal yang fardhu dalam salat yang

mempengaruhi sah atau tidaknya salat tersebut. Salat dapat dilakukan dengan

tidak menghadap kiblat jika disebabkan oleh empat hal yaitu keadaan salat

sunnah di atas kendaraan, keadaan yang terpaksa, keadaan orang sakit yang

tak mendapatkan orang yang menghadapkannya ke arah kiblat atau tidak

mampu menghadap kiblat dan keadaan salat khauf, keadaan salat dalam

ketakutan.

Hal itu berdasarkan surat al-Baqarah (2) ayat 286 yang menjelaskan :

‫اخ ْذَنا ِإ ْن َن ِس َينا أ َْو‬


ِ ‫ت ربََّنا اَل تُؤ‬
َ َ ْ ‫ت َو َعلَْيهَا َما ا ْكتَ َسَب‬ ْ ‫ف اللَّهُ َن ْف ًسا ِإاَّل ُو ْس َعهَا لَهَا َما َك َسَب‬
ُ ِّ‫اَل ُي َكل‬
‫ين ِم ْن قَْبِلَنا َربََّنا َواَل تُ َح ِّمْلَنا َما اَل‬ َِّ
َ ‫ص ًرا َك َما َح َمْلتَهُ َعلَى الذ‬
ِ
ْ ‫طأَْنا َربََّنا َواَل تَ ْحم ْل َعلَْيَنا ِإ‬َ ‫َخ‬ْ‫أ‬
ِ َ ‫اغ ِف ْر لََنا َو ْار َح ْمَنا أ َْن‬ ْ ‫طاقَةَ لََنا بِ ِه َو‬
‫ين‬َ ‫ص ْرَنا َعلَى اْلقَ ْوِم اْل َكاف ِر‬ ُ ‫ت َم ْواَل َنا فَ ْان‬ ْ ‫ف َعَّنا َو‬ُ ‫اع‬ َ

Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup
kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir".63

6. Niat.

63
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 72.
36

Menurut golongan Hanafi dan Hambali, niat adalah syarat, sedangkan

menurut golongan Maliki, Asy-Syafi'i, niat adalah rukun. Perbedaan antara

syarat dengan rukun ialah bahwa syarat boleh dilakukan sebelum amal,

sehingga seandainya seseorang keluar dari rumah atau tokonya, sambil niat

hendak salat dan antara niat dengan salatnya itu tidak terselang jarak yang

lama atau pekerjaan maka sahlah salatnya. Karena itu, ia tidak boleh

dilakukan sebelum amal, meskipun dengan tenggang waktu yang relatif

singkat. Karena itulah, maka niat salat harus dikerjakan bersama dengan

takbīratul ihram.64

Jadi, sebelum melakukan salat harus memenuhi syarat sah salat

tersebut. Setelah itu, harus dipenuhi rukun-rukun salat tersebut. Sekiranya

perlu dibedakan antara syarat sah salat dan rukun-rukun salat. Syarat sah salat

adalah hal-hal yang harus dipenuhi ketika akan melaksanakan salat yang

berada di luar salat. Kemudian rukun-rukun salat adalah hal-hal yang harus

dilakukan dalam salat (intern ritual salat). Keduanya sama-sama menyebabkan

batalnya salat, jika tidak terpenuhi salah satu hal diantara hal-hal yang harus

dilaksanakan sebelum dan ketika salat, yakni syarat sah salat dan rukun

salat.65

64
Abdul Qãdir ar-Rahbawī, op. cit., hlm. 214.
65
Ibid., hlm. 284.
37

Kemudian rukun-rukun salat yang merupakan unsur-unsur fardhu yang

berkembang dalam mencapai hakikat salat adalah66 :

1. Niat. Ada kontroversial mengenai niat termasuk dalam rukun salat atau syarat

sah salat. Jiwa salat dan yang mensahkannya adalah ikhlas, bukan semata-

mata bersengaja mengerjakannya walaupun bersengaja itu diperlukan juga

untuk mengi'tibarkan sesuatu pekerjaan. Hakikat niat adalah iradat yang

berhadap ke arah pekerjaan untuk mencari keridlaan Allah dan mengikuti

hukum-Nya. Niat adalah amalan hati, sebagai pengungkapan qasad (maksud)

dan 'azam (cita-cita) mengerjakan sesuatu.

2. Takbiratul Ihram. Takbiratul ihram itu harus disebut dengan lafal "Allahu

Akbar" sebagaimana hadis :

ِ ‫ادةَ َح َّدثَنِي َع ْب ُد اْل َجب‬


‫َّار ْب ُن‬ َ ‫ام َح َّدثََنا ُم َح َّم ُد ْب ُن ُج َح‬ ٌ ‫ان َح َّدثََنا َه َّم‬ ُ َّ‫َح َّدثََنا ُز َه ْي ُر ْب ُن َح ْر ٍب َح َّدثََنا َعف‬
‫ص لَّى‬ َ ‫النبِ َّي‬َّ ‫يه َوائِ ِل ْب ِن ُح ْج ٍر أََّنهُ َرأَى‬ ِ ِ‫وائِ ٍل ع ْن عْلقَمةَ ْب ِن وائِ ٍل ومولًى لَهم أََّنهما ح َّدثَاه ع ْن أَب‬
َ ُ َ َ ُ ُْ َْ َ َ َ َ َ َ
‫ف بِثَْوبِ ِه‬ َ ‫ام ِحَي ا َل أُ ُذَن ْي ِه ثَُّم اْلتَ َح‬ ٌ ‫ف َه َّم‬ َ ‫ص‬ ِ َّ ‫اللَّهم علَْي ِه وسلَّم رفَع ي َد ْي ِه ِحين َد َخ َل ِفي‬
َ ‫الصاَل ة َكب ََّر َو‬ َ ََ َََ َ َ
‫َخ َر َج َي َد ْي ِه ِم َن الثَّْو ِب ثَُّم َرفَ َعهُ َما ثَُّم َكب ََّر‬ ْ ‫َن َي ْر َك َع أ‬
ْ ‫ض َع َي َدهُ اْلُي ْمَنى َعلَى اْلُي ْس َرى َفلَ َّما أ ََر َاد أ‬ َ ‫ثَُّم َو‬
67 ِ
‫ال َس ِم َع اللَّهُ ِل َم ْن َح ِم َدهُ َرفَ َع َي َد ْي ِه َفلَ َّما َس َج َد َس َج َد َب ْي َن َكفَّْيه‬
َ َ‫فََر َك َع َفلَ َّما ق‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin harb, telah menceritakan kepada
kami Affãn, telah menceritakan kepada kami Hammãm, telah menceritakan
kepada kami Muhammmad bin Juhãdah, telah menceritakan kepadaku Abdul
Jabbãr bin Wã’il, dari Alqamah bin Wã’il dan budak-budak mereka.

66
M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 148-153. Lihat Juga Sayyid Sabiq, Fikih Sunah,
(Bandung: al-Ma'arif, 1977), hlm.237-252.
67
Hadis ini diperoleh dari penelusuran hadis dengan menggunakan CD Mausū’ah al-Hadīs
al-Syarīf dalam Şahīh Muslim dengan no. hadis 608.
38

Sesungguhnya keduanya telah menceritakan kepadanya ayahnya, Wã’il bin


Hujr, sesungguhnya ia melihat Nabi saw. mengangkat tangannya dan
bertakbir, lalu Hammãm mengangkat tangannya sampai sejajar telinganya,
kemudian memasukkan dalam pakaiannya, kemudian meletakkan tangannya
yang kanan di atas tangan yang kiri. Kemudian mengeluarkan tangannya dari
pakaiannya, kemudian mengangkat tangannya dan bertakbir lalu ruku’. Ketika
berlafal “Sami’a Allah Liman Hamidah”, ia mengangkat tangannya.
Kemudian bersujud dengan kedua telapak tangannya.

3. Berdiri dalam salat fardhu. Salat wajib dilaksanakan dengan berdiri, kecuali

tak mampu untuk berdiri karena sakit atau udzur yang lain.

4. Membaca surat Fatihah pada setiap rakaat salat.

ِ ‫صالَةَ ِل َم ْن لَ ْم َي ْق َرأْ ِبفَ ِات َح ِة ا ْل ِكتَاب‬


68
َ ‫اَل‬

Artinya:
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah di dalamnya.
Mengenai basmalah di permulaan surat al-Fatihah, maka ada yang

menjadikannya satu ayat dari surat al-Fatihah, ada yang menjadikannya satu

ayat yang berdiri sendiri; boleh dibaca di permulaan al-Fatihah, bahkan

dipandang baik, tetapi tiada sunnat dijaharkan. Ada pendapat lain, bahwa

membaca basmalah itu makruh, baik sirr maupun jahar dalam salat fardhu,

tidak dalam salat sunnat.69

Maka apabila dikonfirmasikan pendapat yang pertama dan pendapat

yang kedua, timbullah pengertian bahwa Nabi saw. kadang-kadang

menjaharkan basmallah dan kadang-kadang tidak, namun lebih banyak tidak

menjaharkannya.

68
Imãm Abī Husain Muslim bin al-Hajjãj ibn Muslim Al-Qusyairī Al-Naisãbūrī, op. cit., hlm.
8-9.
69
Ibid., hlm. 11-12.
39

5. Ruku', ruku' ini harus disertai ţuma'ninah dalam melaksanakannya.

6. I'tidal, keadaan berdiri tegak setelah bangkit dari ruku' harus dilakukan

dengan ţuma'ninah.

7. Sujud, sujud dilaksanakan dengan meletakkan muka, dua telapak tangan, dua

lutut dan dua telapak kaki pada tempat sujud dengan ţuma'ninah.

8. Duduk yang akhir dan membaca tasyahud di dalamnya.

9. Salam, salam yang difardhukan adalah salam yang pertama, sedangkan salam

yang kedua, hanya disukai oleh Allah.

B. Hal-hal yang Membatalkan Salat


Di samping syarat-syarat sah salat dan rukun- rukun salat, masih ada satu

hal lagi yang memegang peranan penting dalam mencapai derajat sah atau

tidaknya salat tersebut, yakni hal-hal yang membatalkan salat. Adapun hal-hal

yang membatalkan salat adalah hal-hal yang membuat salat itu rusak, terputus dan

batal sehingga salat harus diulang kembali. Adapun hal-hal yang dapat

membatalkan salat adalah70 :

1. Makan dan minum dengan sengaja dalam salat itu membatalkan salat. Hal itu

akan mengurangi essensi dan kekhusyukan salat. Di samping itu, salat adalah

ibadah dalam hubungan vertikal antara Tuhan dengan manusia, seharusnya

tidak dicampuradukkan dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan

70
M. Hasbi ash-shiddieqy, op. cit., hlm. 183-187. Lihat juga dalam Abdul Qãdir ar-Rahbawī,
op. cit., hlm. 280-284.
40

hidupnya yang bersifat jasmaniah. Salat memerlukan kekhusyukan, penuh

konsentrasi, tawakkal dan tawadhu’ kepada Ilahi Rabbi.

Menurut golongan Syafi'iyah dan Hanbaliyah : "Tiada batal salat

dengan makan atau minum dalam keadaan lupa, atau karena tidak mengetahui

hukum."71 Demikian juga kalau terdapat di antara gigi makanan yang kurang

dari sebesar anak kacang lalu ditelannya. Hal itu tidak membatalkan salat.

2. Berbicara dengan sengaja, bukan untuk kemaslahatan salat. Dalam hadis yang

diriwayatkan oleh :

‫ت (( َوقُ ْو ُم ْوا هلل‬ َّ ‫احَبهُ َو ُه َو ِالَى َجْنبِ ِه ِفى‬


ْ َ‫الص اَل ِة َحتَّى َن َزل‬ ِ ‫الرج ُل ِمَّنا ص‬
َ
ِ َّ ‫ُكَّنا َنتَ َكلَّم ِفى‬
ُ َّ ‫الص اَل ة ُي َكلِّ ُم‬ ُ

ِ72‫الس ُك ْو ِت َوُن ِه ْيَنا َع ِن اْلكَاَل م‬


ُّ ِ‫قَانِتِْي َن)) فَأَ َم َر َنا ب‬

Artinya:
Adalah kami (para sahabat) berbicara dalam salat. Masing-masing kami
berbicara dengan temannya yang berdiri disampingnya dalam salat, hingga
turun ayat "Waqumu lillahi Qanitin" dan berdirilah kamu karena Allah
dengan khusyu'. Maka kami pun diperintah berdiam dan dilarang berbicara.

Golongan Malikiyah membolehkan kita berbicara untuk kebaikan

salat, asal saja tidak banyak, dan apabila tidak dapat dipahamkan maksud jika

diteguhkan dengan tasbih saja. Berkata al-Auza'ī : Barangsiapa berkata-kata

dalam salat dengan sengaja dengan maksud untuk kebaikannnya, tidak batal

salatnya.
71
Ibid., hlm. 183
72
Imãm Abī Husain Muslim bin al-Hajjãj ibn Muslim Al-Qusyairī Al-Naisãbūrī, op. cit., hlm.
70-72.
41

3. Mengerjakan pekerjaan banyak dengan sengaja.

Yang dimaksudkan dengan mengerjakan banyak dengan sengaja adalah

perilaku dan hal-hal yang dikerjakan dengan sengaja sering dan berulang-ulang.

Ada kontroversial di antara para ulama fiqih mengenai kadar perbuatan yang

banyak dan sedikit. Penentuan banyak dan sedikit itu kembali kepada 'urf

(adat).

Ada yang menyatakan : perbuatan yang jika dipandang oleh seseorang

dari jauh, yakinlah dia bahwa orang yang mengerjakan perbuatan itu bukan

dalam bersalat. Jika kurang dari itu, dipandang sedikit. Adapun perbuatan yang

dipandang banyak oleh 'urf ialah seperti banyak melangkah, beriring-iring dan

berulang-ulang.73

4. Tertawa terbahak-bahak.

Menurut Ibn Munzir, para ulama telah sepakat bahwa tertawa dapat

membatalkan salat. Menurut al-Nawãwī: tertawa yang dimaksud ini ialah

tertawa yang nyata lebih daripada dua haraf. Ada yang menyatakan bahwa

hanya tertawa terbahak-bahak, maksudnya tertawa yang berlebihan, yang

dapat membatalkan salat.74

5. Meningggalkan suatu rukun dan syarat dengan sengaja dan tidak ada udzur.
73
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 185-186
74
Muhammad Bãqir al-Habsyī, op. cit., hlm. 232.
42

Meninggalkan suatu rukun dan syarat dengan sengaja dan tidak ada

udzur akan membatalkan salat. Terjadinya sesuatu yang membatalkan wudhu,

menyentuh sesuatu yang najis secara sengaja, membuka aurat secara sengaja

dan membelakangi kiblat ketika sedang salat, itu dapat membatalkan salat.75

Haram atas seseorang yang mengerjakan sesuatu yang merusak salat dengan

tidak ada udzur.

Hal-hal di atas dapat membatalkan salat, sehingga orang yang salat itu

harus mengulangi salatnya. Demikianlah identifikasi hal-hal yang

membatalkan salat dari berbagai perspektif ulama, kemudian data-data dan

informasi tersebut menjadi dasar untuk analisa hadis-hadis tentang

terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita.

BAB III

TINJAUAN REDAKSIONAL HADIS-HADIS TENTANG


TERPUTUSNYA SALAT KARENA MELINTASNYA
ANJING, KELEDAI DAN WANITA

Teks-teks Hadis tentang Terputusnya Salat Karena Melintasnya Anjing,

Keledai dan Wanita

Redaksi Hadis-hadis

75
Ibid. Uraian serupa dipaparkan secara jelas dalam M. Hasbi Ash-Shieddieqy, loc. cit..
43

Salat adalah ritual ibadah umat muslimin terhadap Tuhannya sebagai

upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mewujudkan ketakwaan kepada Allah.

Salat adalah rangkaian ibadah yang berisikan do'a-do'a yang dilaksanakan sesuai

ketentuan syariat. Salat adalah hal vital di antara ritual ibadah lainnya. Salat

adalah ritual ibadah yang merupakan bentuk komunikasi vertikal antara makhluk

dan khalik. Rangkaian ritual ibadah dalam salat bersifat verbal dan non verbal

yang memiliki keunikan tersendiri dan sangat berhubungan karena apabila

kehilangan salah satu dari rangkaian tersebut maka salat yang dikerjakan dapat

dikatakan tidak sah secara hukum karena tidak sesuai ketentuan-ketentuan syariat.

Salat adalah ritual ibadah yang kompleks antara gerak jasmani dan ruhani.

Salat dengan berbagai ketentuannya seperti tata cara (kaifiyah) salat,

syarat sah salat, rukun-rukun salat, hal-hal yang sunnat dalam salat, hal-hal yang

makruh dalam salat, hal-hal yang membatalkan salat, hal itu menjadi ketentuan

syariat dengan dalil hukum.

Hadis-hadis Nabi sangat memperhatikan permasalahan hukum. Hadis

Nabi adalah penjelasan terperinci tentang konstitusi yang paling pertama dan

utama, yakni al-Qur'an baik yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara

praksis. Al-Qur'an yang bersifat universal memerlukan penjelasan yang terperinci

untuk dataran praksis. Terkait dengan hal tersebut, salat yang merupakan

kewajiban ritual ibadah seorang hamba kepada Khalik sebagai sebuah bentuk

komunikasi vertikal, tata cara salat (kaifiyah al-şalãt) dijelaskan dengan hadis-
44

hadis Nabi baik berupa ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai teladan umat

muslimin.

Ada beberapa tata cara pelaksanaan salat, di antaranya ada ketentuan

syariat tentang hal-hal yang membatalkan salat. Sehubungan dengan hal-hal yang

membatalkan salat, muncul sebuah hadis yang kontroversial tentang terputusnya

salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, sehingga perlu pengkajian

ulang terhadap pemaknaan hadis tersebut. Hadis-hadis tersebut dimuat dalam

Kutub al-Tis'ah. Hadis itu harus dipahami secara tekstual atau kontekstual.

Kemudian kandungan hadis tersebut bersifat universal, temporal atau lokal.

Hal yang paling awal adalah pelacakan redaksional hadis-hadis tentang

terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Penulis

menggunakan metode takhrīj yang telah digunakan para ulama.76 Selain itu,

penulis juga melakukan takhrīj tersebut dengan menggunakan jasa komputer

dengan program CD Mausū'ah al-Hadīs al-Syarīf yang mampu mengakses 9

(sembilan) kitab sumber primer hadis. Demikian pula halnya dengan nilai hadis

tersebut. Setelah diadakan penelusuran hadis-hadis tersebut terdapat dalam kitab

al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfãz al- Hadīs77 melalui kata ‫ قطع‬dan kitab Miftãh

76
Metode takhrīj hadis dapat dilakukan melalui berbagai cara di antaranya dengan
mengunakan nama sahabat, lafal awal dari matan hadis, kata-kata dalam matan hadis, kata kunci
(tema) hadis, kamus hadis dan lain-lain. Dalam hal ini, penulis menggunakan dua metode takhrīj hadis
yaitu melalui kata-kata dalam matan hadis dan kata kunci (tema) hadis. Lebih jelasnya dapat dibaca
dalam M. Syuhudi Isma’il, Cara Praktis Mencari Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 49-
70.
77
A. J. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfãz al-Hadīs, Jilid V (Leiden: E.J.Brill,1943),
hlm.424-425
45

Kunūz as-Sunnah78 dengan term ‫ ستر‬serta menggunakan CD Mausū'ah al-

Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫قطع‬ dalam bab şalãt.

Dari pelacakan yang penyusun lakukan dari berbagi kitab hadis melalui

kitab al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfãz al-Hãdis, kitab Miftãh Kunūz as-Sunnah

dan CD Mausū'ah al-Hadīs al-Syarīf dengan berdasarkan term-term di atas,

yakni ‫ قطع‬dan ‫ ستر‬, maka diperoleh 34 buah hadis tentang terputusnya salat

karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam Kutub al-Tis'ah. Adapun

hadis-hadis tersebut dalam Kutub al-Tis'ah adalah Şahīh Bukhărī dalam kitab

Şalãt sejumlah 2 buah, dalam Şahīh Muslim terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 4

buah, dalam Sunan al-Tirmīżī terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 2 buah, dalam

Sunan Al-Nasă'ī terdapat pada kitab al-Qiblat sejumlah 2 buah, dalam Sunan

Abū Dăwud terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 3 buah, dalam Sunan Ibn Măjah

terdapat pada kitab al-Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah sejumlah 5 buah, dalam Sunan

ad-Dărimi terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 1 buah dan dalam Musnad Ahmad

bin Hanbal sejumlah 15 buah. Jadi, jumlah keseluruhan hadis ada 34 buah.

Periwayatan hadis tersebut satu sama lain terkadang memiliki persamaan

di samping adanya perbedaan, baik dalam sanad maupun matan. Maka, apa yang

terdapat dalam Şahīh Bukhărī terkadang terdapat pula dalam Şahīh Muslim atau

yang lainnya. Penulis akan menyuguhkan hadis-hadis dari masing-masing kitab

Kutub al-Tis'ah.

78
A. J. Wensinck, Miftãh Kunūz as-Sunnah, terj. Muhammad Fu'ãd Abdul Bãqī (Kairo: tp,
1924), hlm. 231-232.
46

Di sini akan dipaparkan redaksi hadis-hadis tentang terputusnya salat

karena melintasnya anjing, keledai dan wanita lengkap dengan sanad dan

matannya dengan pengkategorisasian hadis-hadis tersebut dilihat dari redaksi

matannya.

Adapun redaksi hadis yang menyatakan bahwa salat dapat terputus

karena melintasnya anjing, keledai dan wanita adalah sebagai berikut:

‫اح ِد َو ُه َو ْاب ُن ِزَي ٍاد َح َّدثََنا ُعَب ْي ُد‬


ِ ‫َخبرَنا اْلم ْخ ُزو ِم ُّي ح َّدثََنا عْب ُد اْلو‬
َ َ َ َ َ َ ْ ‫يم أ‬
ِ ِ ُ ‫و ح َّدثََنا ِإس ح‬
َ ‫ق ْب ُن إ ْب َراه‬ َْ َ
‫ص لَّى‬ ِ َّ
َ ‫ال َر ُس و ُل الله‬ َ َ‫ال ق‬َ َ‫َص ِّم َع ْن أَبِي ُه َر ْي َرةَ ق‬
َ ‫يد ْب ُن اأْل‬ُ ‫َص ِّم َح َّدثََنا َي ِز‬ ِ َّ ِ
َ ‫الله ْب ُن َعْبد الله ْاب ِن اأْل‬
ِ َّ
َّ ‫ك ِمثْ ُل ُم ْؤ ِخ َر ِة‬
‫الر ْح ِل‬ َ ‫ب َوَي ِقي َذِل‬ ِ
ُ ‫الصاَل ةَ اْل َم ْرأَةُ َواْلح َم ُار َواْل َكْل‬
َّ ُ‫طع‬ َ ‫اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َي ْق‬
79

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ishak bin Ibrahīm, telah mengkabarkan
kepada kami Al-Makhzūmi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wãhid
ibn Ziyãd, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Abdullah bin Al-
A’sham, telah menceritakan kepada kami Yazīd bin Al-A’sham, dari Abū
Hurairah berkata: “Rasulullah berkata bahwa salat dapat terputus karena
melintasnya wanita, keledai dan anjing jika tidak ada seperti pathok untuk
pembatas salat.

َ َ‫ط ِال ٍب َح َّدثََنا ُم َعا ُذ ْب ُن ِه َش ٍام َح َّدثََنا أَبِي َع ْن قَت‬


‫ادةَ َع ْن ُز َر َارةَ ْب ِن أ َْوفَى‬ ْ ‫َح َّدثََنا َز ْي ُد ْب ُن أ‬
َ ‫َخ َز َم أَُبو‬
ُ‫الصاَل ةَ اْل َم ْرأَة‬
َّ ُ‫طع‬ َ َ‫صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ال َي ْق‬ َّ ‫َع ْن َس ْع ِد ْب ِن ِه َش ٍام َع ْن أَبِي ُه َر ْي َرةَ َع ِن‬
َ ‫النبِ ِّي‬
80
‫ب َواْل ِح َمار‬ ُ ‫َواْل َكْل‬

79
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim, Juz IV(Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981), hlm. 227-228. Dari
penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat dalam Şahīh Muslim bab
as-şalãt dengan no. hadis 790.
80
Abī Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, Juz I (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 302-303. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫قطع‬
terdapat dalam Sunan ibn Mãjah bab al-Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah dengan no. hadis 940. Hadis
tersebut juga didapatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 7642 dari jalur sanad dari
Abū Hurairah dari Muãż bin Hisyãm.
47

Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Zaid bin Akhzam Abū Ţhãlib, telah
memberitahukan kepada kami Muãż bin Hisyãm, telah memberitahukan
kepada kami ayahku, dari Qatadah , dari Zurarah bin Aufa, dari Sa’īd bin
Hisyãm, dari Abū Hurairah, dari Nabi saw. beliau bersabda: “Dapat
memutuskan salat, yaitu wanita, anjing dan keledai.”

‫ادةَ َع ِن اْل َح َس ِن َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه ْب ِن‬ َ َ‫يد َع ْن قَت‬ ٌ ‫َعلَى َح َّدثََنا َس ِع‬ْ ‫َح َّدثََنا َج ِمي ُل ْب ُن اْل َح َس ِن َح َّدثََنا َعْب ُد اأْل‬
81
‫ب َواْل ِح َم ُار‬
ُ ‫الصاَل ةَ اْل َم ْرأَةُ َواْل َكْل‬
َّ ُ‫طع‬ َ ‫صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َي ْق‬َ ‫النبِ ِّي‬َّ ‫ُم َغ َّف ٍل َع ِن‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Jamīl bin Al-Hasan, telah memberitahukan kepada
kami Abdul A’lã, telah memberitahukan kepada kami Sa’īd, dari Qatãdah,
dari Abdullãh bin Mughaffal, dari Nabi saw. beliau bersabda; “Dapat
memutuskan salat yaitu wanita anjing dan keledai.”

ِ ٍِ ِ َ ‫َح َّدثََنا ُم َح َّم ُد ْب ُن ِإ ْس َم ِع‬


‫ام َع ْن َي ْحَيى َع ْن‬ ٌ ‫ي َح َّدثََنا ُم َع ا ٌذ َح َّدثََنا ه َش‬ ُّ ‫ص ِر‬
ْ ‫يل َم ْولَى َبني َهاش م اْلَب‬
‫ص لَّى‬ َّ ِ
َ ‫ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم قَ ا َل ِإ َذا‬
َّ َّ ‫ول اللَّ ِه‬
َ
ِ ‫َحس ُبهُ َع ْن رس‬
ُ َ َ ْ ‫ال أ‬ َ َ‫َّاس ق‬ ٍ ‫ِع ْك ِر َم ةَ َع ِن ْاب ِن َعب‬
‫وس ُّي‬ِ ‫ي واْلمج‬ ِ ُ‫ب واْل ِحم ُار واْل ِخ ْن ِزي ُر واْلَيه‬ َ ‫َح ُد ُك ْم ِإلَى َغ ْي ِر ُس تَْر ٍة فَِإَّنهُ َي ْق‬
ُ َ َ ُّ ‫ود‬ َ َ َ َ ُ ‫ص اَل تَهُ اْل َكْل‬ َ ُ‫ط ع‬ َ‫أ‬
‫َواْل َم ْرأَةُ َوُي ْج ِزئُ َع ْن هُ ِإ َذا َم ُّروا َب ْي َن َي َد ْي ِه َعلَى قَ ْذفَ ٍة بِ َح َج ٍر قَ ا َل أَبمو َداومد ِفي َن ْف ِس ي ِم ْن َه َذا‬
‫اء بِ ِه َع ْن ِه َش ٍام َواَل َي ْع ِرفُ هُ َولَ ْم أ ََر‬ َ ‫َح ًدا َج‬
َ ‫يم َو َغ ْي َرهُ َفلَ ْم أ ََر أ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ُ ‫يث َشيء ُك ْن‬
َ ‫ت أُ َذاك ُر به إ ْب َراه‬ ٌْ
ِ ‫اْلح ِد‬
َ
َ ‫ب اْل َو ْه َم ِم ِن ْاب ِن أَبِي َس ِم َينةَ َي ْعنِي ُم َح َّم َد ْب َن ِإ ْس َم ِع‬
‫يل‬ ُ ‫َح َس‬ْ ‫ث بِ ِه َع ْن ِه َش ٍام َوأ‬ ُ ‫َح ًدا ُي َح ِّد‬ َ‫أ‬
‫ير‬ِ ‫يه َعلَى قَ ْذفَ ٍة بِ َح َج ٍر َو ِذ ْك ُر اْل ِخ ْن ِز‬ ِ ‫وس ِّي و ِف‬
َ
ِ ‫يه ِذ ْكر اْلمج‬
َُ ُ
ِ ‫اشٍم واْلم ْن َكر ِف‬ ِ
ُ ُ َ ‫ي َم ْولَى َبني َه‬
ِ َّ ‫ص ِر‬
ْ ‫اْلَب‬
َ‫يل ْب ِن أَبِي َس ِم َينة‬ َ ‫يث ِإاَّل ِم ْن ُم َح َّم ِد ْب ِن ِإ ْس َم ِع‬َ ‫َس َم ْع َه َذا اْل َح ِد‬ ْ ‫ال أَبمو َداومد َولَ ْم أ‬ َ َ‫َو ِفي ِه َن َك َارةٌ ق‬
82 ِ ِ ِ
‫ان ُي َح ِّدثَُنا ِم ْن ح ْفظه‬ ‫أِل‬
َ ‫َح َسُبهُ َو ِه َم ََّنهُ َك‬ ْ ‫َوأ‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismã’il maula Bani Hãsyim
al-Başri, telah menceritakan kepada kami Muãż, telah menceritakan kepada
81
Ibid. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat
dalam Sunan ibn Mãjah bab al-Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah dengan no. hadis 941.
.
82
Abī Muthīb Muhammad Syamsul al-Haq, ‘Aun al-Ma’būd, Juz II (Madinah: Maktabah
Salafiyah, 1968), tidak ditemukan hadis tersebut dengan redaksi yang persis sama. Dari penelusuran
CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat dalam Sunan Abū Dãwud bab al-
şalãt dengan no. hadis 604.
48

kami Hisyãm, telah menceritakan kepada kami Yahyã dari Ikrimah dari Ibnu
‘Abbãs ra. berkata: aku menduganya hal itu dari Rasulullah saw. yang
mengatakan bahwa apabila seseorang mengerjakan salat tanpa satir, maka
salatnya dapat terputus oleh anjing, keledai, babi, orang yahudi, orang majusi
dan wanita. Dan cukup baginya (tanpa satir), apabila mereka menyeberang di
depannya sejauh lemparan batu. Kata Abū Dãwud: Aku mendengar hadis ini
hanyalah dari Muhammad bin Ismã’il Al-Başri (bin Abi Saminah guru Abū
Dãwud) dan aku kira dia membayangkan (waham) karena dia biasannya
menuturkan hadis kepada kami dari hafalannya.

Adapun redaksi hadis yang menyatakan bahwa salat dapat terputus


karena melintasnya wanita haid dan anjing adalah sebagai berikut:
ِ َ َ‫َخَب َرَنا َع ْم ُرو ْب ُن َعِل ٍّي قَا َل َح َّدثََنا َي ْحَيى ْب ُن َس ِع ٍيد ق‬
‫ت‬
ُ ‫ال ُقْل‬
َ َ‫ادةَ ق‬ ٌ ‫ال َح َّدثَني ُش ْعَبةُ َو ِه َش‬
َ َ‫ام َع ْن قَت‬ ْ‫أ‬
‫ال َي ْحَيى‬
َ َ‫ب ق‬ ِ ٍ ‫ان ْاب ُن َعب‬ َ ‫ِل َجابِ ِر ْب ِن َز ْي ٍد َما َي ْق‬
ُ ‫ض َواْل َكْل‬
ُ ‫َّاس َيقُ و ُل اْل َم ْرأَةُ اْل َح ائ‬ َ ‫ال َك‬
َ َ‫الص اَل ةَ ق‬َّ ُ‫طع‬
ُ ‫َرفَ َعهُ ُش ْعَبة‬
83

Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Amr bin Alī, telah memberitahukan kepada kami
Yahyã bin Sa’īd, telah memberitahukan kepada kami Syu’bah dan Hisyãm
dari Qatãdah berkata, Aku telah mengatakan kepada Jãbir bin Zaid: Apa yang
biasa memutuskan seseorang dari salatnya? Jawab Jãbir: Ibnu Abbãs pernah
berkata: Yang biasa memutuskan seseorang dari salatnya adalah wanita haid
dan anjing. Yahyã berkata bahwa Syu’bah memarfu’kannya.

َ َ‫اهِل ُّي َح َّدثََنا َي ْحَيى ْب ُن َس ِع ٍيد َح َّدثََنا ُش ْعَبةُ َح َّدثََنا قَت‬


‫ادةُ َح َّدثََنا َج ابِ ُر ْب ُن‬ ِ ‫ح َّدثََنا أَبو ب ْك ِر ْبن َخاَّل ٍد اْلب‬
َ ُ َ ُ َ
‫َس َو ُد‬
ْ ‫ب اأْل‬ ُ ‫الص اَل ةَ اْل َكْل‬
َّ ُ‫ط ع‬ َ ‫ال َي ْق‬َ َ‫ص لَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق‬ َ ‫النبِ ِّي‬
َّ ‫َّاس َع ِن‬ ٍ ‫َز ْي ٍد َع ِن ْاب ِن َعب‬
ُ ‫َواْل َم ْرأَةُ اْل َحائِض‬
84

Artinya:

83
Jalãluddīn al-Suyūtī, Sunan an-Nasã’ī bi Syarh al-Hafid Jalãluddīn al-Suyūtī wa Hasiyah
Imam al-Sindī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1930), hlm. 64. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs
al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat dalam Sunan an-Nasã’ī bab al-qiblat dengan no. hadis 743.
84
Abī Abdillah Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, op. cit., hlm. 302-303. Dari penelusuran
CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat dalam Sunan ibn Mãjah bab al-
Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah dengan no. hadis 939.
49

Telah memberitahukan kepada kami Abū Bakar bin Kholãd al-Bãhilī, telah
memberitahukan kepada kami Yahyã bin Sa’īd, telah memberitahukan kepada
kami Syu’bah, telah memberitahukan kepada kami Qatãdah, telah
memberitahukan kepada kami Jãbir bin Zaid dari Ibn ‘Abbãs dari Nabi saw.
bersabda: “Yang dapat memutuskan salat adalah anjing hitam dan wanita
yang sudah balig-usia haid-.”

ُ ‫ت َج ابَِر ْب َن َز ْي ٍد ُي َح ِّد‬
‫ث َع ِن ْاب ِن‬ ُ ‫ال َس ِم ْع‬ َ َ‫َح َّدثََنا ُم َس َّد ٌد َح َّدثََنا َي ْحَيى َع ْن ُش ْعَبةَ َح َّدثََنا قَت‬
َ َ‫ادةُ ق‬
ٌ ‫ال أَبمو َداومد َوقَفَ هُ َس ِع‬
‫يد‬ َ َ‫ب ق‬ ُ ‫ض َواْل َكْل‬
ِ
ُ ‫الص اَل ةَ اْل َم ْرأَةُ اْل َح ائ‬
َّ ُ‫ط ع‬ ٍ ‫َعب‬
َ ‫َّاس َرفَ َع هُ ُش ْعَبةُ قَ ا َل َي ْق‬
85
‫ادةَ َع ْن َجابِ ِر ْب ِن َز ْي ٍد َعلَى ْاب ِن َعبَّاس‬ َ َ‫ام َع ْن قَت‬ ٌ ‫َو ِه َش‬
ٌ ‫ام َو َه َّم‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah memceritakan kepada kami
Yahyã, dari Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Qatãdah berkata: “Aku
mendengar Jãbir bin Zaid diberitahu oleh Ibn Abbãs (dinyatakan marfu’ oleh
Syu’bah), dia berkata: “Yang memutuskan salat itu, wanita haid (dewasa) dan
anjing. Kata Abū Dãwud hadis ini dinyatakan mauqūf kepada Ibnu ‘Abbãs ra.
oleh Sa’īd, Hisyãm dan Hammãm dari Qatãdah dari Jãbir bin Zaid.

ُ‫ان ُش ْعَبة‬ ٍ ‫ادةُ َع ْن َجابِ ِر ْب ِن َز ْي ٍد َع ِن ْاب ِن َعب‬


َ ‫َّاس قَ ا َل َي ْحَيى َك‬ َ َ‫ال َح َّدثَنِي قَت‬
َ َ‫َح َّدثََنا َي ْحَيى َع ْن ُش ْعَبةَ ق‬
ُ ‫ب َواْل َم ْرأَةُ اْل َحائِض‬
86
ُ ‫الصاَل ةَ اْل َكْل‬
َّ ُ‫طع‬
َ ‫َي ْرفَ ُعهُ َي ْق‬

Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Yahyã, dari Syu’bah berkata: telah menceritakan
kepadaku Qatãdah, dari Jãbir bin Zaid, dari Ibn ‘Abbãs berkata (Yahyã telah
mengatakan bahwa Syu’bah me-marfu’-kan hadis tersebut) : Yang biasa
memutuskan seseorang dari salatnya adalah anjing dan wanita haid.

Adapun redaksi hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya keledai,

wanita dan anjing hitam adalah sebagai berikut:


85
Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat dalam
Sunan Abū Dãwud dengan no. hadis 603.
86
Dari penelusuran hadis dengan CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf kata kunci ‫قطع الصالة‬
dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 3071.
50

‫َح َّدثََنا أَُبو َب ْك ِر ْب ُن أَبِي َش ْيَبةَ َح َّدثََنا ِإ ْس َم ِعي ُل ْاب ُن ُعلََّيةَ قَ ا َل ح و َح َّدثَنِي ُز َه ْي ُر ْب ُن َح ْر ٍب َح َّدثََنا‬
َ َ‫َّام ِت َع ْن أَبِي َذٍّر ق‬
‫ال‬ ِ ‫ونس ع ْن حم ْي ِد ْب ِن ِهاَل ٍل ع ْن ع ْب ِد اللَّ ِه ْب ِن الص‬
َ َ َ ُ َ َ ُ ‫يم َع ْن ُي‬
ِ ِ ِ ِ
َ ‫إ ْس َمعي ُل ْب ُن إ ْب َراه‬
‫ان َب ْي َن َي َد ْي ِه ِمثْ ُل‬
َ ‫صلي فَِإَّنهُ َي ْستُُرهُ ِإ َذا َك‬
ِّ ‫َح ُد ُكم ُي‬ َّ ِ
َ ْ َ ‫صلى اللهم َعلَْيه َو َسل َم ِإ َذا قَ َام أ‬
َّ َّ ‫ال رسو ُل اللَّ ِه‬
َ ُ َ َ َ‫ق‬
ُ‫ص اَل تَهُ اْل ِح َم ُار َواْل َم ْرأَة‬ َ ُ‫ط ع‬ َ ‫الر ْح ِل فَِإَّنهُ َي ْق‬
َّ ‫آخ َر ِة‬ِ ‫الر ْح ِل فَ ِإ َذا لَم ي ُك ْن ب ْين ي َد ْي ِه ِم ْث ُل‬
َ َ َ َْ َّ ‫آخ َر ِة‬ ِ
ِ ْ ‫ت يا أَبا َذٍّر ما با ُل اْل َكْل ِب اأْل َسو ِد ِمن اْل َكْل ِب اأْل‬
َ َ‫َصفَ ِر ق‬
‫ال‬ ْ ‫َح َم ِر م َن اْل َكْل ِب اأْل‬ َ َْ َ َ َ َ ُ ‫َس َو ُد ُقْل‬ ْ ‫ب اأْل‬ ُ ‫َواْل َكْل‬
‫ان‬
ٌ‫ط‬ َ ‫َس َو ُد َش ْي‬ ْ ‫ب اأْل‬ َ َ‫صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َك َما َس أَْلتَنِي فَق‬
ُ ‫ال اْل َكْل‬
ِ َّ
َ ‫ت َر ُسو َل الله‬ ُ ‫َخي َسأَْل‬ ِ ‫يا ْابن أ‬
َ َ
‫ال ح و َح َّدثََنا ُم َح َّم ُد ْب ُن اْل ُمثََّنى َو ْاب ُن َب َّش ٍار‬ َ َ‫ان ْب ُن اْل ُم ِغ َير ِة ق‬ُ ‫وخ َح َّدثََنا ُسلَْي َم‬
َ ‫ان ْب ُن فَُّر‬ ُ ‫َح َّدثََنا َش ْيَب‬
‫ب ْب ُن‬ ِ ِ ُ ‫قَ ااَل ح َّدثََنا مح َّم ُد ْبن جعفَ ٍر ح َّدثََنا ُش عبةُ قَ ا َل ح و ح َّدثََنا ِإس ح‬
ُ ‫َخَب َرَنا َو ْه‬ ْ ‫يم أ‬
َ ‫ق ْب ُن إ ْب َراه‬ َ ْ َ َْ َ َْ ُ َُ َ
‫ت َس ْل َم ْب َن‬ ُ ‫ال َس ِم ْع‬َ َ‫ان ق‬ ِ
َ ‫َخَب َرَنا اْل ُم ْعتَم ُر ْب ُن ُسلَْي َم‬
ْ ‫ضا أ‬ ً ‫ق أ َْي‬ُ ‫ير َح َّدثََنا أَبِي قَا َل ح و َح َّدثََنا ِإ ْس َح‬ ٍ ‫َج ِر‬
‫َح َو ِل‬ ْ ‫اص ٍم اأْل‬ ِ ‫اد اْلب َّكائِ ُّي ع ْن ع‬ ِ ٍ ِ ِ َّ
َ َ َ ٌ ‫ف ْب ُن َح َّماد اْل َم ْعن ُّي َح َّدثََنا ِزَي‬ ُ ‫وس‬ ُ ‫أَبِي الذيَّال قَ ا َل ح و َح َّدثَني ُي‬
87 ِ ِ ِ
‫ون َس َكَن ْح ِو َحديثه‬ ُ ‫ُك ُّل َه ُؤاَل ِء َع ْن ُح َم ْي ِد ْب ِن ِهاَل ٍل بِِإ ْسَن ِاد ُي‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abū Bakar bin Abī Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Ismã’il bin Uliyah berkata, dan telah menceritakan
kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Ismã’il bin
Ibrahīm, dari Yūnus, dari Humaid bin Hilãl, dari Abdullãh bin al-Şãmit dari
Abī Żar berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seseorang berdiri
untuk salat maka harus memberikan batas di antara kiblat dan orang yang
salat semacam tiang kayu. Jika tidak ada semacam tiang kayu sebagai
pembatas, maka salat dapat terputus karena melintasnya keledai, wanita dan

87
Al-Nawãwī, op. cit., hlm. 226-227. Hadis tersebut dengan jalur lain dari Abū Żar dengan
sanad dari Ahmad bin Manī’ tersebut dimuat dalam Abī al-‘Ula Muhammad Abdurrahmãn bin
Abdirrahīm al-Mubãr al-Kafūry, Tuhfãt al-Ahważī,Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995), hlm. 268-269.
Hadis tersebut dengan jalur lain dari Abū Żar dari jalur sanad dari Amr bin Alī dimuat dalam
Jalãluddīn al-Suyūtī, Sunan an-Nasã’ī bi Syarh al-Hafiz Jalãluddīn al-Suyūtī wa Hasiyah Imam al-
Sindī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1930), hlm. 63-64. Hadis tersebut dengan jalur lain ari Abū Żar
dengan sanad dari Muhammad bin Basyar dimuat dalam Abī Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-
Qazwīnī, op. cit., hlm. 302-303.Hadis tersebut dengan jalur lain dari Abū Żar dengan sanad dari Abū
Walīd dan al-Hajjãj dimuat dalam Abū Muhammad bin Bahramī al-Dãrimi, Sunan ad-Dãrimi, Juz I
(Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.), hlm. 329.Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata
kunci ‫ قطع‬terdapat dalam Şahīh Muslim bab al-şalãt dengan no. hadis 789, Sunan al-Tirmiżī bab al-
şalãt dengan no. hadis 309 dan Sunan an-Nasã’ī bab al-qiblat dengan no. hadis 742, Sunan ad-Dãrimi
bab al-Şalãt dengan no. hadis 1378 Sunan ibn Mãjah bab al-Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah dengan no.
hadis 942 dan Sunan Abū Dãwud dengan no. hadis 602. Untuk Sunan Abū Dawūd setelah dicek dalam
Abī Muthīb Muhammad Syamsul al-Haq, ‘Aun al-Ma’būd, Juz II (Madinah: Maktabah Salafiyah,
1968), tidak ditemukan hadis tersebut dengan redaksi yang persis sama.
51

anjing hitam, lalu aku bertanya kepada Abī Żar: apa yang membedakan anjing
hitam dengan anjing merah atau anjing kuning. Ia berkata: “wahai anak
saudaraku”: aku bertanya kepada Rasulullah saw. seperti yang telah kamu
tanyakan kepadaku lalu beliau bersabda: anjing hitam itu adalah setan.Telah
menceritakan juga kepada kami Syaibãn Furrūkh, telah menceritakan kepada
kami Sulaimãn bin Mughīrah berkata dan telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin al-Musannã dan Ibn Basyãr berkata bahwa telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada
kami Syu’bah dan telah menceritakan kepada kami Ishãk bin Ibrahīm, telah
mengkabarkan kepada kami Wahb bin Jarīr, telah menceritakan kepada kami
ayahnya berkata, telah menceritakan juga kepada kami Ishãk, telah
mengkabarkan kepada kami al-Muktamir bin Sulaimãn berkata aku telah
mendengar Salm bin Abī al-Dayyãl berkata, telah menceritakan kepada kami
Yūsuf bin Hammãd al-Ma’niy, telah menceritakan kepada kami Ziyãd al-
Bakkãi, dari ‘Āshim, kredibilitas mereka dari Humaid bin Hilãl dengan jalur
sanad dari Yūnus seperti hadis yang diriwayatkannya.

َ َ‫ام ِت َع ْن أَبِي َذٍّر ق‬


‫ال‬ ِ ‫الص‬
َّ ‫َخَب َرنِي ُح َم ْي ُد ْب ُن ِهاَل ٍل َس ِم َع َع ْب َد اللَّ ِه ْب َن‬ ْ ‫ان َح َّدثََنا ُش ْعَبةُ أ‬ُ َّ‫َح َّدثََنا َعف‬
‫الر ْح ِل‬ ِ ‫الرج ِل ِإ َذا لَم ي ُك ْن ب ْين ي َد ْي ِه َك‬
َّ ‫آخ َر ِة‬ َ ‫ص لَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َي ْق‬ ِ َّ
َ َ َ َْ ُ َّ َ‫ص اَل ة‬ َ ُ‫ط ع‬ َ ‫قَا َل َر ُس و ُل الله‬
‫ت َر ُس و َل اللَّ ِه‬ُ ‫َخي َسأَْل‬ ِ ‫ال ْابن أ‬
َ َ َ‫َح َم ِر ق‬ ْ ‫َس َو ِد ِم َن اأْل‬
ْ ‫ت َما َبا ُل اأْل‬ ُ ‫َس َو ُد ُقْل‬
ْ ‫ب اأْل‬
ِ
ُ ‫اْل َم ْرأَةُ َواْلح َم ُار َواْل َكْل‬
‫ان‬ٌ‫ط‬ َ ‫َس َو ُد َش ْي‬ ِ َّ ِ َّ َّ
ْ ‫ب اأْل‬
ُ ‫صلى اللهم َعلَْيه َو َسل َم َك َما َسأَْلتَني فَقَا َل اْل َكْل‬
88
َ

Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami ‘Affãn, telah memberitahukan kepada
kami Syu’bah, telah mengkabarkan kepadaku Humaid bin Hilãl, telah
mendengar Abdullãh bin Al-Şãmit dari Abū Żar berkata: Sesungguhnya
Rasulullah saw. bersabda: Yang dapat memutuskan salat, adalah wanita,
keledai dan anjing hitam bila di depan seorang yang salat tidak ada semacam
tiang untuk pembatas salat,. Lalu Abdullãh bin al-Şãmit bertanya: “apa yang
membedakan antara anjing hitam dan anjing merah?” Lalu Abū Żar
menjawab: “Aku telah menanyakan kepada Rasulullah seperti yang engkau
tanyakan kepadaku itu. Kemudian beliau Nabi bersabda: “anjing hitam adalah
setan.”

88
Dari penelusuran hadis dengan CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf kata kunci ‫قطع الصالة‬
dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 20360.
52

Adapun redaksi hadis yang menyatakan bahwa wanita tidak dapat

memutuskan salat adalah sebagai berikut :

ِ ِ َ َ‫اث قَ ا َل َح َّدثََنا أَبِي ق‬ ٍ ‫ص ْب ِن ِغي‬


ُ ‫ش قَ ا َل َح َّدثََنا إ ْب َراه‬ ْ ‫ال َح َّدثََنا اأْل‬
‫يم َع ِن‬ ُ ‫َع َم‬ َ ِ ‫َح َّدثََنا ُع َم ُر ْب ُن َح ْف‬
‫ق َع ْن َعائِ َش ةَ ُذ ِك َر ِعْن َد َها َما‬ ٍ ‫ش و َح َّدثَنِي ُم ْس ِل ٌم َع ْن َم ْس ُرو‬
َ ُ ‫َع َم‬ َ َ‫َس َو ِد َع ْن َعائِ َش ةَ ح ق‬
ْ ‫ال اأْل‬ ْ ‫اأْل‬
‫النبِ َّي‬
َّ ‫ت‬ُ ‫ونا بِاْل ُح ُم ِر َواْل ِكاَل ِب َواللَّ ِه لَقَ ْد َرأ َْي‬ َ ‫َّهتُ ُم‬
ْ ‫ت َشب‬ْ َ‫ب َواْل ِح َم ُار َواْل َم ْرأَةُ فَقَال‬ ُ ‫الصاَل ةَ اْل َكْل‬
َّ ُ‫طع‬ َ ‫َي ْق‬
‫ط ِج َعةً فَتَْب ُدو ِل َي‬َ ‫ض‬ ْ ‫ير َب ْيَن هُ َوَب ْي َن اْل ِقْبلَ ِة ُم‬ َّ ‫ص لِّي َوإِ ِّني َعلَى‬
ِ ‫الس ِر‬ َّ ِ
َ ‫ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم ُي‬
َّ َّ
َ
89 ِ
‫صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَأ َْن َس ُّل ِم ْن ِعْن ِد ِر ْجلَْيه‬ َ ‫النبِ َّي‬َّ ‫ي‬ َ ‫َجل َس فَأُو ِذ‬
ِ ْ ‫َن أ‬ ْ ‫اجةُ فَأَ ْك َرهُ أ‬
َ ‫اْل َح‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafs bin Ghiyãś berkata, telah
menceritakan kepada kami Abi (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada
kami al-A'masy berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahīm, dari al-
Aswãd dari 'Āisyah: Disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang dapat
memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, jika melintas di hadapan
orang yang salat maka 'Āisyah berkata: “Tuan-tuan samakan (wanita) dengan
keledai dan anjing. Demi Allah, sesungguhnya aku melihat Nabi saw. salat
dan aku berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan
Nabi), kemudian ada bagiku suatu keperluan dan aku tidak suka duduk
mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki
Nabi.”

‫ص َب ْي ٍح َع ْن‬ ِ ٍِ ْ ‫يل َح َّدثََنا َعِل ُّي ْب ُن ُم ْس ِه ٍر َع ِن اأْل‬


ِ ‫َع َم‬ ٍ ‫اعي ُل ْب ُن َخِل‬ ِ ‫ح َّدثََنا ِإس م‬
ُ ‫ش َع ْن ُم ْس لم َي ْعني ْاب َن‬ َْ َ
ُ‫ب َواْل ِح َم ُار َواْل َم ْرأَة‬ ُ ‫ط ُعهَا اْل َكْل‬
َ ‫الص اَل ةَ فَقَ الُوا َي ْق‬
َّ ُ‫ط ع‬َ ‫ق َع ْن َعائِ َش ةَ أََّنهُ ُذ ِك َر ِع ْن َد َها َما َي ْق‬ ٍ ‫َم ْس ُرو‬
‫صلِّي َوإِ ِّني لََب ْيَنهُ َوَب ْي َن اْل ِقْبلَ ِة‬ َّ ِ
َ ‫صلى اللهم َعلَْيه َو َسل َم ُي‬
َّ َّ ‫النبِ َّي‬
َ َّ ‫ت‬ ُ ‫ونا ِكاَل ًبا لَقَ ْد َرأ َْي‬
َ ‫ت لَقَ ْد َج َعْلتُ ُم‬
ْ َ‫قَال‬
‫َس تَ ْقبِلَهُ فَأ َْن َس ُّل ْان ِس اَل اًل َو َع ِن‬
ْ ‫َن أ‬
ْ ‫اج ةُ فَ أَ ْك َرهُ أ‬ ِ ‫ير فَتَ ُك‬
َ ‫ون ل َي اْل َح‬
ُ َّ ‫ط ِج َعةٌ َعلَى‬
ِ ‫الس ِر‬ َ ‫ض‬ ْ ‫َوأََنا ُم‬
*90 ُ‫َس َو ِد َع ْن َعائِ َشةَ َن ْح َوه‬
ْ ‫يم َع ِن اأْل‬
ِ ِ
َ ‫ش َع ْن إ ْب َراه‬ِ ‫َع َم‬
ْ ‫اأْل‬
89
Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah, Şahīh Bukhãrī, Juz I
(Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981), hlm. 130. Hadis tersebut dari ‘Āisyah dengan jalur sanad dari Amr al-
Naqd dan Abū Sa’īd juga dimuat dalam Al-Nawãwī, op. cit., hlm. 228-229. Dari penelusuran CD
Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat dalam Şahīh Bukhãrī bab as-şalãt
dengan no. hadis 484 dan Şahīh Muslim bab as-şalãt dengan no. hadis 793.
90
Ibid. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat
dalam Şahīh Bukhãrī bab as-şalãt dengan no. hadis 481. Hadis tersebut dari ‘Āisyah dengan sanad dari
53

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ismã’il bin Kholīl, telah menceritakan
kepada kami Alī bin Mushir, dari al-A’masyī dari Muslim bin Shubaih, dari
Masyruq, dari ‘Āisyah: disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang memutuskan
(merusak) salat, yaitu anjing, keledai dan wanita, maka ‘Āisyah berkata:
“Benar-benar telah engkau serupakan kami dengan anjing. Sesungguhnya aku
telah melihat Nabi saw. salat dan aku berbaring di atas tempat tidur di antara
Nabi dan kiblat kemudian ada bagiku suatu keperluan dan aku tidak suka
duduk mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat
kaki Nabi.” Dan dari jalur lain dari al-A’masyi, dari Ibrahīm, dari al-Aswãd,
dari ‘Āisyah menyebutkan hadis yang serupa.

‫ص َع ْن‬ ٍ ‫و َح َّدثَنِي َع ْم ُرو ْب ُن َعِل ٍّي َح َّدثََنا ُم َح َّم ُد ْب ُن َج ْعفَ ٍر َح َّدثََنا ُش ْعَبةُ َع ْن أَبِي َب ْك ِر ْب ِن َح ْف‬

ْ َ‫ال فَ ُقْلَنا اْل َم ْرأَةُ َواْل ِح َم ُار فَقَال‬


َ‫ت ِإ َّن اْل َم ْرأَة‬ َ َ‫الصاَل ةَ ق‬
َّ ُ‫طع‬ َ ‫ت َعائِ َشةُ َما َي ْق‬ ُّ ‫ُع ْروةَ ْب ِن‬
ْ َ‫الزَب ْي ِر قَا َل قَال‬ َ
ِ َّ ِ َّ َّ ِ َّ ِ ِ
ِ ‫اعت َر‬
‫اض‬ ْ ‫ض ةً َك‬ َ ‫ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم ُم ْعتَ ِر‬ َ ‫ي َر ُس ول الله‬ ْ ‫لَ َد َّابةُ َس ْو ٍء لَقَ ْد َرأ َْيتُني َب ْي َن َي َد‬
*91‫صلِّي‬ َ ‫اْل َجَن َاز ِة َو ُه َو ُي‬

Artinya:
Telah menceritakan kepadaku ‘Amr bin Alī, telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abū
Bakar bin Hafs, dari ‘Urwah bin Zubair berkata: Āisyah bertanya: “apa yang
dapat memutuskan salat, maka kami menjawab wanita dan keledai, lalu
‘Āisyah berkata: “Sesungguhnya wanita itu seperti binatang melata. Aku
benar-benar telah melihat Nabi saw. salat, aku terbaring seperti melintangnya
jenazah.

‫ش َع ْن‬ ِ ‫َع َم‬ ْ ‫ق َع ْن َعائِ َش ةَ َو َح َّدثََناهُ َع ِن اأْل‬ ٍ ‫ش َع ْن ُم ْس ِلٍم َع ْن َم ْس ُرو‬ ْ ‫َح َّدثََنا ْاب ُن ُن َم ْي ٍر َح َّدثََنا اأْل‬
ُ ‫َع َم‬
‫ب َواْل ِح َم ُار‬ ُ ‫الص اَل ةَ اْل َكْل‬
َّ ُ‫ط ع‬ َ ‫ون َي ْق‬
َ ُ‫اس ا َيقُول‬ َّ ‫َس َو ِد َع ْن َعائِ َش ةَ قَ ا َل َبلَ َغهَا أ‬
ً ‫َن َن‬ ْ ‫يم َع ِن اأْل‬
ِ ِ
َ ‫إ ْب َراه‬
‫ص لَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ َّ َ ‫ت رس‬
َ ‫ول الله‬ ِ ‫ونا بِاْل ِكاَل ِب َواْل َح ِم‬
ُ َ ُ ‫ير لَقَ ْد َرأ َْي‬ َ ‫ت َعائِ َشةُ َع َدْلتُ ُم‬ ْ َ‫َواْل َم ْرأَةُ فَقَال‬

Ismã’il bin Kholīl.


91
Al-Nawãwī, loc. cit.. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci
‫ قطع‬terdapat dalam Şahīh Muslim bab as-şalãt dengan no. hadis 793 dengan jalur sanad dari ‘Āisyah
dari Amr bin Ali dan Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 23875 dengan jalur sanad dari
‘Āisyah dari Affãn.
54

‫ير‬ َّ ‫اجةُ فَأ َْن َس ُّل ِم ْن ِقَب ِل ِر ْج ِل‬


ِ ‫الس ِر‬ ِ ‫ير وأََنا علَْي ِه ب ْيَنه وب ْين اْل ِقْبلَ ِة فَتَ ُك‬
َ ‫ون ل َي اْل َح‬ُ َ َ َ ُ َ َ َ ِ ‫َّر‬ ِ ‫صلِّي ُمقَابِ َل الس‬ َ ‫ُي‬
ِ ‫َّر‬
‫ير‬ ِ ‫ال ِر ْجلَ ِي الس‬َ َ‫يعا َوق‬ ِ َ ‫َستَ ْقبِلَهُ َح َّدثََنا َي ْحَيى ْب ُن‬
ْ ُ‫آد َم َح َّدثََنا ق‬ ِ ‫َكر‬
ً ‫طَبةُ فَ َذ َك َر ُه َما َجم‬ ْ ‫َن أ‬
ْ ‫اهَيةَ أ‬
92
َ

Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Ibn Numair, telah memberitahukan
kepada kami Al-A’masy, dari Muslim, dari Masyruq dari ‘Āisyah dan telah
memberitahukan kepada kami Al-A’masy, dari Ibrahīm, dari Al-Aswãd, dari
‘Āisyah berkata: sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa Yang dapat
memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, maka Aisyah berkata:
“Kamu serupakan diri kami (wanita) dengan anjing dan keledai? Aku benar-
benar telah melihat Rasulullah salat menghadap kiblat dan aku berada
diantara Nabi dan kiblat. Lalu aku ada keperluan maka aku pelan menurunkan
kakiku dari tempat tidur dan aku tidak suka menganggunya.” Telah
memberitahukan kepada kami Yahyã bin Ādam, telah memberitahukan
kepada kami Qutbah, mereka berkata: kaki itu berada di tempat tidur.

Demikianlah redaksi hadis-hadis tentang terputusnya salat karena

melintasnya anjing, keledai dan wanita yang dipaparkan berdasarkan matan hadis

tersebut agar memudahkan penelitian ini. Hal itu bentuk kajian ini adalah ma’ãnī

al-hadīs.

Kritik Historis

Dari sekian banyak jalur periwayatan yang terdapat dalam kutub al-tis'ah

sebagaimana telah disebutkan di atas, tampak bahwa hadis-hadis tentang

terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tampak sekilas

bertentangan. Secara tekstual, ada hadis yang menyatakan bahwa salat terputus

dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita, tidak terputusnya salat dengan

melintasnya anjing, keledai dan wanita dan tidak terputusnya salat dengan

92
Dari penelusuran hadis dengan CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf kata kunci ‫قطع الصالة‬
dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 24740.
55

melintasnya anjing, keledai dan wanita jika terdapat pembatas salat. Ada pula

yang menjelaskan bahwa hadis 'Āisyah menaskh hadis Abu Żar.93

Setelah diteliti, ternyata hadis-hadis tentang terputusnya salat dengan

melintasnya anjing, keledai dan wanita itu adalah hadis riwãyah bi al-ma'nã. Ada

beberapa hadis-hadis tersebut yang mendiskursuskan pada anjing hitam dan

wanita haid saja.94 Hadis yang diriwayatkan 'Āisyah bahwa 'Āisyah pernah tidur

berbaring di depan Nabi saw. ketika beliau sedang salat.95

Dengan demikian, peneliti sebelum memberikan kajian pemaknaan

terhadap matan hadis, mencoba untuk mengungkap sedikit tentang kredibilitas

periwayat hadis dari berbagai runtutan sanadnya secara sekilas. Hal ini dilakukan

untuk menyelesaikan pertentangan dalam hadis tersebut. Implikasinya, Setelah

nantinya taufīq (pengkompromian) dan nãsikh-mansūkh tidak dapat dilakukan,

maka hadis-hadis tersebut dapat dilakukan tarjīh lewat sanad dan matan.

Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai

dan wanita dimuat dalam Şahīh Bukhărī dan Şahīh Muslim yang telah dijamin

kesahihannya, namun kemudian peneliti melacak kesahihannya dengan CD

93
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī bi Syarh Şahīh Imãm Abīī Abdillah
Muhammad bin Ismã’il al-Bukhãrī,Juz I (t.tp: Maktabah Salafiyah, t.th), hlm. 589.
94
Abū Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-'Abadī ‘Aun al-Ma’būd, Juz II, op. cit., hlm .399-
400. Lihat dalam Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwinī, Syarh Sunăn Ibn Măjah, Juz I, op.
cit.,hlm. 303. Lihat Abū 'Ula Muhammad 'Abdurrahmãn bin 'Abdurrahīm al-Mubăr al-Katurī, Tuhfadz
al-Ahwădz bi Syarh Tirmiżī Juz II,op. cit., hlm. 270-272. Lihat juga Jalăluddīn al-Suyūtī , Sunăn an-
Nasă'ī bi Syarh Jalăluddin al-Suyūtī Wa Hăsiyah al-Imăm al-Sanadī, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr,
1930), hlm. 63-64.
95
Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-'Asqalănī, Fath al-Bărī, op. cit., hlm. 588.
56

Mausū'ah al-Hadīs al-Syarīf menunjukkan bahwa hadis tersebut adalah hadis

sahih dengan jalur periwayatan 'Āisyah dengan adanya persambungan sanad,

tidak ada illat dan syuzuz dalam hadis tersebut. Namun dalam hadis lainnya dalam

Sahīh Bukhărī dengan jalur periwayatan ‘Āisyah yang lain bahwa Hafs bin

Ghiyãś adalah periwayat yang śiqah, terpercaya, tetapi ia sering melakukan

tadlīs dari penilaian Muhammad bin Sa’ad. Ternyata, Muhammad bin Sa’ad

bukanlah seorang kritikus yang śiqah dan dapat dipercaya. Ia memiliki

keterbelakangan dibanding kritikus lainnya. Adapun bentuk hadis tersebut berupa

hadīs fi’liyyah.

Hal yang serupa ditemukan dalam kitab Şahīh Muslim. Dalam Şahīh

Muslim ada 4 hadis yang relevan dengan tema, ketiga hadis di antaranya dengan

jalur periwayatan dari Abū Hurairah dan ‘Āisyah adalah hadis yang sahih yang

ada persambungan sanad, ada kemungkinan pertemuan antara periwayat dan

seluruh periwayatnya śiqah. Namun salah satu hadis dalam Şahīh Muslim dari

jalur periwayatan ‘Āisyah juga terdapat informasi bahwa Hafs bin Ghiyãś adalah

periwayat yang śiqah, terpercaya, tetapi pernah men-tadlīs dari penilaian

Muhammad bin Sa’ad. Setelah diteliti, hadis tersebut berbentuk hadis qauliyyah

yang dari jalur Abū Hurairah dan hadīs fi’liyyah dari jalur periwayatan ‘Āisyah.

Adapun dalam hadis yang dimuat dalam Sunan al-Tirmiżī dengan jalur

periwayatan dari Abū Żar96 bahwa hadis tersebut berstatus hadis hasan sahīh

96
Abū al-'Ula Muhammad 'Abdurrahmãn bin 'Abdurrahīm al-Mubăr al-Kăturī, Tuhfat al-
Ahwadzī bi Syarh al-Tirmiżī, Jilid II, op. cit., hlm. 270.
57

karena ada pentadlisan pada sanadnya yakni Husyaim, ia adalah periwayat yang

śiqah, kuat hafalannya, namun banyak pen-tadlīs-annya. Abū Żar sebagai

periwayat pertama adalah seorang sahabat Nabi yang diperselisihkan namanya,

namun ia adalah orang yang jujur dan seorang yang tinggi tingkat keadilan dan

ke-śiqah-annya. Hadis tersebut menyatakan bahwa salat dapat terputus karena

melintasnya anjing, keledai dan wanita jika tidak ada pembatas salat, seperti

dinding, batu atau yang lainnya. Redaksi matan hadis tersebut dilanjutkan adanya

pengkhususan pada anjing hitam. Kemudian muncul pertanyaan apa yang

membedakan antara anjing hitam, anjing merah, anjing kuning dan anjing putih.

Abū Żar dalam meriwayatkan hadis ini, di-takhrīj oleh Muslim, Ibn Mãjah,

Tirmiżī, Nasã’i dan Abū Dãwud.

Kemudian dalam hadis yang lain dimuat dalam Sunan al-Tirmiżī dengan

jalur periwayatan dari Ibn Abbãs menyatakan bahwa anjing, keledai dan wanita

tidak dapat memutuskan salat,97 namun suatu ketika ada anak kambing yang

melintas maka Rasulullah bergeser maju ke arah kiblat.98 Ternyata hadis tersebut

berupa hadīs mauqūf, yang seluruh periwayat dalam runtutan sanadnya adalah

periwayat yang śiqah dan kuat ingatannya. Hadis-hadis Ibn Abbãs tersebut di-

takhrīj oleh Abū Dãwud, Ibn Mãjah dan Ahmad.

Dalam Sunan Abī Dãwud, hadis-hadis tentang terputusnya salat karena

melintasnya anjing, keledai dan wanita terdapat tiga hadis, dua hadis di antaranya
97
Ibid., hlm. 268-269.
98
Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, op. cit., hlm. 302-303.
58

dengan jalur periwayatan dari Ibn Abbãs dan satu diantaranya dengan jalur

periwayatan dari Abū Żar. Kesemuanya adalah hadīs marfū’, adanya

persambungan sanad dan seluruh periwayatnya śiqah, kuat hafalannya dan dapat

dipercaya. Adapun redaksi hadisnya dari jalur periwayatan Ibn Abbãs bahwa salat

dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai, babi, Yahudi, Majusi dan

wanita jika tidak ada satir adalah hadīs qauliyyah yang seluruh periwayatnya

adalah śiqah dan kuat ingatannya dan runtutan sanadnya muttasil, tidak ada

keterputusan sanad,99 ada yang mengkhususkan pada wanita haid dan anjing saja

yang jelas ada persambungan sanad dengan periwayat-periwayat terpercaya ke-

śiqah-annya.100

Dalam periwayatan Ibn Abbãs yang lain dari Abī al-Sahbak, ada

persambungan sanad, ada pertemuan antar periwayat dan seluruh periwayatnya

śiqah kecuali Abī al-Sahbak adalah orang yang lemah dari penilaian an-Nasã’ī

sedangkan Abī Zur’ah, ar-Rãzi dan Ibn Hibbãn menilainya sebagai orang yang

tsiqah yang mana redaksi hadis tersebut menyatakan bahwa Ibn Abbãs pernah

melintas di depan sekelompok orang yang salat dengan menunggangi kuda dan

tidak menjadi batal salat mereka karenanya.101 Adapun hadis yang dari jalur

periwayatan dari Abū Żar dari Abdullãh bin al-Şãmit sampai periwayat terakhir
99
Abī Ţayyib Muhammad Syamsu al-Haq, op. cit., hlm. 400-402. Jelasnya, dari penelusuran
CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع الصالة‬pada no. hadis 604.
100
Ibid. Jelasnya, dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫قطع‬
‫ الصالة‬pada no. hadis 603.
101
Ibid., Jelasnya, dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫قطع‬
‫ الصالة‬pada no. hadis 615.
59

adalah periwayat yang terkenal dengan ke-dabit-annya. Selain itu Abdul al-Salãm

sebagai periwayat kelima memiliki mutãbi’, yaitu Syu’bah bin al-Hajjãj dan

Muhammad bin al-Katsīr.

Dalam Sunan Ibn Mãjah, hadis-hadis tentang terputusnya salat terdapat 5

buah hadis. Hadis-hadis dengan jalur periwayatan dari Ibn Abbãs, Abū Hurairah

dan Abū Żar adalah hadīs marfū’, ada persambungan sanad, seluruh periwayatnya

adalah orang-orang śiqah. Hadis-hadis tersebut berupa hadīs qauliyyah. Namun

dari jalur periwayatan dari Ibn Abbãs dari al-Hasan al-‘Urani ada keterputusan

sanad dilihat dari jarak masa hidupnya yang begitu jauh dan tahammul wa al-

adã’-nya dengan ‫عن‬ . Al-Hasan al-‘Urani adalah seorang yang śiqah,

sehingga hadis ini masih kuat kedudukannya. Selanjutnya dari jalur periwayatan

dari ‘Abdullãh bin Mughaffal, runtutan sanad dari periwayat al-Hasan dan Sa’īd

dinilai oleh ‘Abdullãh bin Sa’īd keduanya sebagai seorang yang śiqah, namun

kadang ia melakukan tadlīs dan di akhir umurnya terdapat ikthilãt dalam

meriwayatkan hadis.

Dalam Sunan al-Darimi terdapat sebuah hadis yang menjelaskan bahwa

salat dapat terputus karena melintasnya anjing hitam, keledai dan wanita jika

tidak ada satir. Adapun mengenai sanadnya, kesemua periwayat adalah periwayat

yang śiqah, terpercaya dan kuat ingatannya. Runtutan sanadnya tidak ada

keterputusan, jelas ada persambungan sanad dilihat dari berbagai sisi dari

hubungan guru-murid, masa kehidupannya, tempat tinggalnya, dan tahammul wa

al-‘adã-nya.
60

Hadis-hadis yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena

melintasnya anjing, keledai dan wanita dari Abū Hurairah tersebut memiliki

syãhid, yaitu Ibn Abbãs, Abū Żar dan Abdullãh bin Mughaffal. Sedangkan hadis

dari jalur periwayatan ‘Āisyah yang menyatakan Nabi pernah salat dalam keadaan

‘Āisyah tidur berbaring di depannya tidak memiliki syãhid, namun ia adalah

seorang istri Nabi yang paling dekat dengan diri Nabi dan terkenal dengan ke-

dabit-annya, sehingga periwayatannya tidak diragukan lagi.

Kemudian hadis-hadis yang periwayatnya ada yang terdapat tadlīs, apabila

periwayat lainnya dari musyãhid dan mutãbi’ adalah śiqah maka tadlis ini

terkalahkan oleh periwayat yang śiqah. Maka hadis-hadis tersebut menjadi kuat,

dianggap dapat memenuhi kriteria sanad yang muttasil.102 Sehingga hadis-hadis

tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat

diterima kredibilitas periwayatnya sehingga hadis-hadis tersebut dapat berstatus

şahīh dan ada pula yang menyatakan hasan şahīh. Akhirnya problem yang urgen

selanjutnya adalah bagaimana pemaknaan terhadap hadis tersebut.

Setelah diteliti secara jeli dan cermat, ternyata hadis tentang terputusnya
salat yang dilintasi anjing, keledai dan wanita ini tidak diketemukan dalam kitab
Şahīh Bukhãrī. Tetapi hadis ini terdapat dalam kitab Şahīh Muslim, Sunan Abī
Dãwud, Sunan an-Nasã’ī, Sunan at-Tirmiżi, Sunan Ibn Mãjah, Sunan ad-Dãrimi
dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Dalam kitab Şahih Bukhãrī hanya terdapat hadis
‘Āisyah yang menyangkal atau menyanggah kebenaran hadis tersebut. Begitu
pula hadis ‘Āisyah ini terdapat dalam kitab Şahīh Muslim dan Musnad Ahmad bin
Hanbal. Dengan demikian, penjelasan tentang hadis ini bisa dideskripsikan dua
materi hadis yang saling bertentangan. Dengan demikian perlu adanya
penyelesaian terhadap hadis tersebut.
102
Nuruddin Itr, Ulūm al-Hadīs (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 130-131.
61

Setelah diketahui kedudukan dan posisi hadis tersebut ternyata sama-sama


kuatnya, namun ternyata hadis-hadis yang menjelaskan terputusnya salat karena
melintasnya anjing, keledai dan wanita lebih kuat dibanding yang lainnya karena
hadis itu berupa hadīs qauliyyah. Di samping itu hadis tersebut memiliki banyak
syãhid dan mutãbi’ yang menjadi penguat hadis tersebut. Meskipun salah satu
periwayatnya terdapat tadlīs dari periwayatan Abū Żar yang hanya dimuat dalam
Sunan Abū Dãwud, namun keseluruhan periwayatnya adalah śiqah, sehingga
kredibilitas periwayat tetap saja dapat diterima. Meskipun demikian perlu
diperhatikan juga hadis dari Aisyah yang merupakan sanggahan dan bantahan
dari hadis-hadis tersebut yang berupa hadīs fi’liyyah. Di mana ‘Āisyah adalah
seorang istri Nabi yang dekat dengan sosok Nabi dan juga kredibilitasnya dalam
periwayatan hadis tidak diragukan kevalidannya.

Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai


dan wanita itu memiliki banyak periwayatnya dengan berbagai jalur sanad yang
berlainan. Dalam menilai hadis semakin banyak periwayatnya dengan jalur sanad
yang berlainan maka berarti bahwa semakin tinggi pula nilai hadis tersebut karena
banyaknya orang yang meriwayatkan hadis tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
hadis yang dimaksud memiliki nilai lebih dilihat dari kekuatannya103, sehingga
kredibilitas periwayat tetap saja dapat diterima.
Dengan demikian, hadis-hadis tentang terputusnya salat karena

melintasnya anjing, keledai dan wanita sebagaimana penilaian dari ulama dan

penelusuran penulis melalui CD Mausū'ah al-Hadīs al-Syarīf, maka hadis

tersebut berstatus hadīs sahīh dan ada pula yang menyatakan hadīs hasan, maka

telah layak untuk diteliti pemaknaan hadis tersebut dengan metode Ma'ănī al-

Hadīs.

B. Kritik Eidetis
Setelah mengetahui redaksi matan hadis-hadis tentang terputusnya salat
karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut, maka langkah selanjutnya
adalah memaparkan dan menjelaskan pemaknaan hadis secara tepat, proporsional
dan komprehensif melalui kajian lingustik, kajian tematik-komprehensif dan
kajian konfirmatif. Dalam memahami hadis tersebut, digunakan tiga analisis yaitu
analisis makna, analisis sosio historis dan analisis generalisasi.

103
Ahmad Hasan, Kajian Hadis Metode Takhrij (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), hlm. 43.
62

Pemaknaan matan hadis sebagai upaya untuk merefleksikan teks terhadap


konteks kekinian sehingga dapat diperoleh pemahaman yang tepat. Sehingga
implikasinya dapat dirasakan dalam kehidupan sekarang.
1. Kritik Linguistik

Dalam memahami matan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena

melintasnya anjing, keledai dan wanita, penulis menggunakan pendekatan bahasa

(linguistik), historis dan sosiologis. Dalam hal ini, penulis mempertimbangkan

teks-teks hadis-hadis lain yang relevan (kajian tematik-komprehensif) sebagai

penjelas dan atau pendukung hadis yang diteliti. Di samping itu, juga konfirmasi

makna yang diperoleh melalui petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan hadis lain.

Dalam hubungannya dengan al-sunnah sebagi hujjah, para ulama telah

menetapkan hadis-hadis yang berstatus şahīh, hasan dan da’īf dengan syarat-

syarat tertentu, baik dari segi sanad maupun matan.

Dalam mengkaji sebuah hadis, kritik matan baru dapat dilakukan setelah

kritik sanad. Setelah dari sanadnya telah terbukti hadis tersebut berstatus şahīh

dan hasan, maka dilanjutkan dengan kritik matan. Matan hadis tentang

terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita adalah hadis yang

bertentangan dengan memiliki berbagai versi sebagaimana dijelaskan

sebelumnya. Selain itu, ada problem kebahasaan (linguistik) dalam redaksi hadis

tersebut. Di sinilah problem pemaknaan terhadap hadis perlu dikaji ulang.

Jika hadis-hadis tersebut dicermati, dapat diketahui bahwa hadis itu

memiliki banyak versi dalam redaksi hadisnya. Perbedaan lafal yang diriwayatkan

oleh dua orang yang berbeda merupakan hal yang wajar, namun yang menjadi
63

kejanggalan jika terdapat lafal matan yang berbeda dan bertentangan, sehingga

perlu diteliti dan dianalisis untuk memberikan pemaknaan dan pemahaman yang

tepat, proporsional dan komprehensif.

Pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhãrī dengan jalur dari ‘Āisyah

menggunakan lafal sebagai berikut :

‫ت‬ُ ‫ونا بِ اْل ُح ُم ِر َواْل ِكاَل ِب َواللَّ ِه لَقَ ْد َرأ َْي‬ َ ‫َّهتُ ُم‬ْ ‫ت َش ب‬ ْ َ‫ب َواْل ِح َم ُار َواْل َم ْرأَةُ فَقَ ال‬
ُ ‫الص اَل ةَ اْل َكْل‬
َّ ُ‫ط ع‬ َ ‫َما َي ْق‬
‫ط ِج َعةً فَتَْب ُدو ِل َي‬ َ ‫ض‬ ْ ‫ير َب ْيَن هُ َوَب ْي َن اْل ِقْبلَ ِة ُم‬
ِ ‫الس ِر‬َّ ‫ص لِّي َوإِ ِّني َعلَى‬ َّ ِ َّ َّ ‫النبِ َّي‬
َ ‫ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم ُي‬ َ َّ
‫صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَأ َْن َس ُّل ِم ْن ِعْن ِد ِر ْجلَْي ِه‬ َ ‫النبِ َّي‬
َّ ‫ي‬ ِ ْ ‫َن أ‬
َ ‫َجل َس فَأُو ِذ‬ ْ ‫اجةُ فَأَ ْك َرهُ أ‬
َ ‫اْل َح‬

dan dalam jalur yang lain dari ‘Āisyah yang diriwayatkan al-Bukhãrī adalah :

ُ ‫ونا ِكاَل ًبا لَقَ ْد َرأ َْي‬


‫ت‬ َ ‫ت لَقَ ْد َج َعْلتُ ُم‬ْ َ‫ب َواْل ِح َم ُار َواْل َم ْرأَةُ قَ ال‬ ُ ‫ط ُعهَا اْل َكْل‬
َ ‫الص اَل ةَ فَقَ الُوا َي ْق‬
َّ ُ‫ط ع‬ َ ‫َما َي ْق‬
‫ون‬
ُ ‫ير فَتَ ُك‬ ِ ‫الس ِر‬َّ ‫ط ِج َعةٌ َعلَى‬ َ‫ض‬ ْ ‫صلِّي َوإِ ِّني لََب ْيَنهُ َوَب ْي َن اْل ِقْبلَ ِة َوأََنا ُم‬ َّ ِ َّ َّ ‫النبِ َّي‬
َ ‫صلى اللهم َعلَْيه َو َسل َم ُي‬ َ َّ
َ‫َس َو ِد َع ْن َعائِ َش ة‬ ْ ‫يم َع ِن اأْل‬
ِ ِ
َ ‫ش َع ْن إ ْب َراه‬ ِ ‫َع َم‬ ْ ‫َستَ ْقبِلَهُ فَأ َْن َس ُّل ْان ِساَل اًل َو َع ِن اأْل‬
ْ ‫َن أ‬
ْ ‫اجةُ فَأَ ْك َرهُ أ‬
َ ‫ل َي اْل َح‬
ِ

ُ‫َن ْح َوه‬

Dua redaksi hadis di atas menjelaskan bahwa beberapa periwayat hadis


mengatakan bahwa salat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita
lalu ‘Āisyah menyanggah hadis tersebut dengan mengatakan adanya penyerupaan
wanita dengan anjing dengan argumen bahwa Nabi pernah salat sedangkan
‘Āisyah berbaring di tempat tidur di antara Nabi dan kiblat lalu ‘Āisyah ada suatu
keperluan, ‘Āisyah tidak suka menganggu Nabi, kemudian turun berlahan-lahan
ke dekat kedua kaki Nabi. Di sinilah Rasulullah tidak menyuruh ‘Āisyah untuk
berpindah tempat dari hadapan Nabi, itu hanya inisiatif dari ‘Āisyah agar tidak
mengganggu salat Nabi.
Mengenai redaksi matan dari hadis-hadis Abū Hurairah, Abū Żar dan Ibn
Abbãs amat variatif, namun intinya kesemuanya menyatakan bahwa salat dapat
terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, namun nantinya dalam
redaksinya yang berbeda-beda, ada pengkhususan untuk jenis anjing atau
wanitanya yang dapat memutuskan salat dalam berbagai riwayat tertentu. Adapun
redaksi matan dari jalur periwayatan Abū Hurairah adalah:
64

َّ ‫ك ِمثْ ُل ُم ْؤ ِخ َر ِة‬
‫الر ْح ِل‬ َ ‫ب َوَي ِقي َذِل‬ ِ
ُ ‫الصاَل ةَ اْل َم ْرأَةُ َواْلح َم ُار َواْل َكْل‬
َّ ُ‫طع‬
َ ‫َي ْق‬

Adapun redaksi matan dari jalur periwayatan Abū Żar adalah:

‫َس َو ُد‬
ْ ‫ب اأْل‬
ُ ‫ص اَل تَهُ اْل َكْل‬
َ ‫ط َع‬ َّ ‫ط ِة‬
َ َ‫الر ْح ِل ق‬ َ ‫اس‬ِ ‫الر ْح ِل أَو َكو‬
َ ْ
ِ ‫الرج ُل ولَْيس ب ْين ي َد ْي ِه َك‬
َّ ‫آخ َر ِة‬ َ َ َ َ َ ُ َّ ‫صلى‬
َّ ‫ِإ َذا‬
َ
ِ ‫ال يا ْابن أ‬ ِ ‫َح َم ِر ِم َن اأْل َْبَي‬ْ ‫َس َو ِد ِم َن اأْل‬ ‫واْلم رأَةُ واْل ِحم ار فَ ُقْل ُ أِل‬
‫َخي‬ َ َ َ َ‫ض فَق‬ ْ ‫ت َبِي َذٍّر َما َب ا ُل اأْل‬ ُ َ َ ْ َ َ
‫ان‬
ٌ‫ط‬ َ ‫َس َو ُد َش ْي‬
ْ ‫ب اأْل‬ َ َ‫صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَق‬
ُ ‫ال اْل َكْل‬
ِ َّ
َ ‫ت َر ُسو َل الله‬ ُ ‫َسأَْلتَنِي َك َما َسأَْل‬

Adapun redaksi matan hadis yang jalur periwayatan dari Ibn Abbãs diantaranya
adalah:
ِ ‫ي واْلمج‬
‫وس ُّي َواْل َم ْرأَةُ َوُي ْج ِزئُ َعْن هُ ِإ َذا َم ُّروا‬ ِ ُ‫ير واْلَيه‬ ِ ِ
ُ َ َ ُّ ‫ود‬ َ ُ ‫ب َواْلح َم ُار َواْلخ ْن ِز‬ ُ ‫صاَل تَهُ اْل َكْل‬
َ ُ‫طع‬ َ ‫َي ْق‬
‫َب ْي َن َي َد ْي ِه َعلَى قَ ْذفَ ٍة بِ َح َج ٍر‬

‫ض‬ ِ
ُ ‫َس َو ُد َواْل َم ْرأَةُ اْل َحائ‬
ْ ‫ب اأْل‬
ُ ‫الصاَل ةَ اْل َكْل‬
َّ ُ‫طع‬
َ ‫َي ْق‬

Diteliti secara lafal hadis, ‫ قطع‬bermakna memotong, memutuskan


membatalkan, menghentikan.104 Al-Syãfi’i, Mãlik dan Abū Hanifah dalam Şahīh
Muslim mengatakan bahwa makna ‫ قطع الصالة‬dalam hadis tersebut adalah
merusak salat, yakni mengurangi essensi dan substansi salat artinya mengurangi
kekonsentrasian dan kekhusyukan salat, tidak sampai pada level membatalkan
salat.105 Menurut Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī bahwa lafal ‫قطع‬
‫ الصالة‬dalam hadis tersebut bermakna membatalkan salat artinya di sini harus ada
pengulangan salat dengan adanya 3 hal yang membatakan salat tersebut.106
Problem selanjutnya adalah lafal ‫ ابيض‬, ‫ اصفر‬, ‫ اسواد‬dan ‫ احمر‬, apa
yang sebenarnya rahasia warna pada anjing tersebut dan apa yang membedakan

104
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1133-1136.
105
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh an-Nawãwī, Jilid IV, op. cit., hlm. 227-228. Lihat juga
Ahmad bin Ali ibn Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Barī Syarh Sahīh Imam Abī Abdillãh Muhammad bin
Ismã’il al-Bukhãrī, op. cit., hlm. 589.
106
Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwinī, op. cit., hlm. 302-303.
65

antara anjing hitam, anjing kuning dan anjing merah. Hitam, merah dan kuning
adalah variasi warna-warna sebuah materiil.
Dalam sebuah riwayat bahwa anjing hitam adalah ibarat dari setan. Setan
yang akan mengganggu kekhusyukan salat. Anjing hitam sebagai simbol dari
setan yang akan menganggu salat. Setan berasal dari kata syaţana, syaţnan,
syaiţãn. Ada yang mengatakan syaiţãn berwazan fi’alan dan ada pula yang
menyebutkan berwazan fa’lan dan nunnya adalah zaidah.107 Adapun bentuk jama’
dari syaiţãn adalah syayaţīn.
Kemudian makna dari syaiţãn ( ‫ ) شيطا ن‬adalah menentang, menyalahi,
menjauhkan dari kebaikan, menyimpang, membangkang, durhaka, berbuat
seperti perbuatan setan, perbuatan kejahatan, ruh jahat, iblis dan setan jahat.108
Ada pula yang memaknai syaţanu ( ‫ ) شطن‬adalah mengikat dengan tali yang
panjang, jika dalam bentuk lafal syãţinun ( ‫ ) شا طن‬adalah jauh dari kebaikan,
yang keji, yang memiliki hawa nafsu. Setan adalah makhluk hidup yang memiliki
pengetahuan, yang dapat berupa jin, manusia atau binatang.109 Di sini setan
berupa wujud makhluk, yang berbentuk jin, iblis atau manusia. Ada pula yang
memaknai setan sebagai perbuatan yang jahat, jauh dari kebaikan, yang dapat
menimpa setiap makhluk dengan dihinggapi oleh perbuatan jahat itu.110
Setan secara sempit dimaknai makhluk sejenis jin atau iblis yang memiliki
sifat-sifat jahat dan hanya diliputi oleh nafsu. Kemudian anjing hitam hanyalah
sebagai simbol makhluk yang memiliki sifat-sifat jahat (setan). Sehingga makna
dari anjing hitam itu adalah setan sebagaimana pemaknaan di atas.
Dalam sebuah hadis lain disebutkan juga bahwa anjing hitam adalah
simbol dari setan yang diperintahkan untuk dibunuhnya.111 Anjing hitam itu
adalah salah satu wujud dari setan. Setan adalah salah satu bentuk dari jin.
Kemudian anjing hitam adalah ibarat dari setan yang selalu membawa pada
perbuatan kejahatan dan penyimpangan dari syariat.
Dalam redaksi matan hadis tersebut juga terdapat pengkhususan pada
wanita haid. Dari lafal ‫ المراة الحا ئض‬dapat dipahami bahwa wanita itu harus telah
dewasa, artinya wanita yang dapat menarik perhatian menuju kemaksiatan dan
107
Abū Fadl Jamãl al-Dīn Muhammad bin Makram, Lisãn al-‘Arab, Jilid VIII (Beirūt: Dãr
Şadir, t.th.), hlm. 237.
108
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 721.
109
Abū Fadl Jamãl al-Dīn Muhammad bin Makram, Lisan al-‘Arab, op. cit., hlm. 238.
110
Ibid.,hlm. 238-239.
111
Ibid., hlm 238-239. Lihat juga dalam Imãm Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainurī,
Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs, (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995), hlm. 125-129.
66

merusak kekhusyukan salat, bukan anak-anak kecil atau orang tua yang tidak
menarik hati lagi.
2. Kritik Tematik-Komprehensif
Dalam kajian pemaknaan hadis tentang terputusnya salat karena
melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut ada banyak hadis-hadis yang
mendukung atau relevan dengan tema yang diteliti, di antaranya adalah hadis-
hadis yang secara parsial menjelaskan bahwa salah satu dari ketiga hal tersebut
dapat memutuskan salat dan hadis-hadis tentang satir. Adapun hadis-hadis yang
relevan dengan tema yang dikaji di antaranya adalah:

ِّ ‫الز ْه ِر‬
‫ي‬ ُّ ‫يد ْب ُن ُز َر ْي ٍع َح َّدثََنا َم ْع َم ٌر َع ِن‬ ُ ‫الش َو ِار ِب َح َّدثََنا َي ِز‬َّ ‫َح َّدثََنا م َح َّم ُد ْب ُن َع ْب ِد اْلمِل ِك ْب ِن أَبِي‬
َ ُ
ٍ َ‫ض ِل َعلَى أَت‬
‫ان فَ ِج ْئَنا‬ ْ َ‫ف اْلف‬ َ ‫ت َر ِدي‬ ُ ‫ال ُك ْن‬َ َ‫َّاس ق‬ٍ ‫َع ْن ُعَب ْي ِد اللَّ ِه ْب ِن َعْب ِد اللَّ ِه ْب ِن ُعتَْب ةَ َع ِن ْاب ِن َعب‬
ِ ِ ِّ ‫النبِ ُّي صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه وسلَّم ُي‬
‫ت‬ ْ ‫ف فَ َم َّر‬ َّ ‫الص‬
َّ ‫ص ْلَنا‬ َ ‫َص َحابِه بِمًنى قَ ا َل فََن َزْلَنا َع ْنهَا فَ َو‬ ْ ‫صلي بِأ‬ َ ََ َ َ َّ ‫َو‬
ٍ ‫ض ِل ْب ِن َعب‬
‫َّاس‬ ْ َ‫يس ى َو ِفي اْلَب اب َع ْن َعائِ َش ةَ َواْلف‬ ِ
َ ‫ص اَل تَهُ ْم قَ ا َل أَبمو ع‬ َ ‫ط ْع‬ َ ‫َب ْي َن أ َْي ِدي ِه ْم َفلَ ْم تَ ْق‬
‫يح َواْل َع َم ُل َعلَْي ِه ِع ْن َد أَ ْكثَ ِر‬
ٌ ‫ص ِح‬ َ ‫يث َح َس ٌن‬ ٌ ‫َّاس َح ِد‬ ٍ ‫يث ْاب ِن َعب‬ ُ ‫يس ى َو َح ِد‬ ِ
َ ‫ال أَبمو ع‬ َ َ‫َو ْاب ِن ُع َم َر ق‬
ِ ِ َّ ِ َّ َّ ‫النبِ ِّي‬ ِ ِِ ْ‫أ‬
ُ‫ط ع‬ َ ‫ين قَ الُوا اَل َي ْق‬ َ ‫ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم َو َم ْن َب ْع َد ُه ْم م َن التَّابِع‬ َ َّ ‫اب‬ ِ ‫َص َح‬ ْ ‫َه ِل اْلعْلم م ْن أ‬
112
‫الش ِاف ِع ُّي‬
َّ ‫ي و‬ َّ ُ ‫الصاَل ةَ َشيء وبِ ِه َيقُو ُل س ْفَي‬
َ ُّ ‫ان الث ْو ِر‬ ُ ٌَْ َّ

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Mãlik bin Abī al-
Syawãrib, telah menceritakan kepada kami Yazīd bin Zuraik, telah
menceritakan kepada kami Ma’mar dari al-Zuhrī dari Ubaidillãh bin Abdullãh
bin Utbah dari Ibn ‘Abbãs berkata: “aku membonceng Al-Fadl di atas keledai
betina lalu kami datang sedangkan Rasulullah saw. tengah melakukan salat
beserta sahabat-sahabatnya di Mina kemudian kami turun darinya, lalu kami
mendatangi barisan, kemudian keledai tersebut lewat di hadapan mereka dan
tidak memutuskan salat mereka. Dalam hal ini terdapat hadis dari ‘Āisyah,
Al-Fadl bin Abbãs dan Ibnu Umar. Abu Īsa berkata: Hadis Ibn Abbãs adalah
hadīs hasan şahīh. Hadis ini diamalkan menurut kebanyakan para ahli ilmu
dari para sahabat Rasulullah saw. Dan para tabi’in sesudah mereka, mereka
berkata: Tidak ada sesuatu yang memutuskan salat. Dan pendapat ini diikuti
oleh Sufyãn dan Asy-Syãfi’i.

112
Abī al-‘Ula Muhammad Abdurrahmãn bin Abdirrahīm al-Mubãr al-Kafūrī, op. cit., hlm.
268-269. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat dalam
Sunan al-Tirmiżī bab as-şalãt dengan no. hadis 309.
67

‫حد ثنا محمد بن عبد اللة بن نم ير واس حق بن اب راهيم ق ال اس حق اخبرنا وق ال ابن‬


َ‫نميرحدثناعمر بن عبيد الطنالسي عن سماك ابن حرب عن موس بن طلحة عن ابيه ق ال ُكّن ا‬
َّ ‫ فَقَ اَ َل ِمثْ ُل ُم ْؤ ِخ َر ِة‬.‫ م‬.‫ك ِل َر ُس ْو ِل اهلل ص‬
‫الر ْح ِل‬ َ ‫اب تَ ُم ُّر َب ْي َن اَْي َد ْيَنا فَ َذ َك ْرَنا َذ ِال‬
ً ‫لي َوال َّد َو‬
ِّ ‫ص‬َ ‫ُن‬
113 ِ ِ ِ
.‫َم َر َب ْي َن َي َد ْيه‬
ّ ‫ض ُرهُ َم ْن‬ُ ‫تَ ُك ْو ُن َب ْي َن َي َد ْيه َو قَا َل ا ْب ُن ُن َم ْي ٍر فَاَل َي‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullãh bin Numair dan
Ishãq bin Ibrahīm, Ishãq berkata: telah memberitakan kepada kami, Ibn
Numair, telah memceritakan kepada kami 'Umar bin 'Ubaid al-Ţanăfisī dari
Simãk ibn Harbin, dari Mūsa bin Thalhah dari ayahnya ia berkata: Kami
sedang salat dan binatang melata melintas di antara kami kemudian kami
beritahukan itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah berkata letakkanlah
semacam tiang kayu (patok) di antara keduanya. Ibn Numair berkata maka
tidak dikhawatirkan lagi sesuatu melintas di antaranya.

‫ض ِر َم ْولَى ُع َم َر ْب ِن ُعَب ْي ِداللَّ ِه َع ْن ُب ْس ِر ْب ِن‬ َّ ‫ك َع ْن أَبِي‬


ْ ‫الن‬ ٌ ‫َخَب َرَنا َم ِال‬ْ ‫ال أ‬
َ َ‫ف ق‬ َ ‫وس‬ ِ َّ
ُ ‫َح َّدثََنا َعْب ُدالله ْب ُن ُي‬
‫ص لَّى اللَّهم َعلَْي ِه‬ ِ َّ ِ ِ ِ ٍ ٍِ
َ ‫َن َز ْي َد ْاب َن َخال د أ َْر َس لَهُ ِإلَى أَبِي ُجهَْيم َي ْس أَلُهُ َم ا َذا َس م َع م ْن َر ُس ول الله‬ َّ ‫َس ِع ٍيد أ‬
‫صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم لَ ْو َي ْعلَ ُم‬ ِ َّ
َ ‫ال َر ُسو ُل الله‬ َ َ‫ال أَُبو ُجهَْيٍم ق‬ َ َ‫صلِّي فَق‬ ِ َّ
َ ‫َو َسل َم في اْل َم ِّار َب ْي َن َي َد ِي اْل ُم‬
‫ال أَُبو‬ َ َ‫َن َي ُم َّر َب ْي َن َي َد ْي ِه ق‬
ْ ‫ين َخ ْي ًرا لَ هُ ِم ْن أ‬ ِ َ ‫َن ي ِق‬
َ ‫ف أ َْرَبع‬ َ ْ ‫ان أ‬
ِ
َ ‫صلي َما َذا َعلَْي ه لَ َك‬
ِّ ‫اْلم ُّار َب ْين َي َد ِي اْلم‬
َ ُ َ َ
ً‫ين َي ْو ًما أ َْو َش ْه ًرا أ َْو َسَنة‬ ِ َ َ‫ض ِر اَل أ َْد ِري أَق‬ َّ
َ ‫ال أ َْرَبع‬ ْ ‫الن‬
114

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullãh bin Yūsuf berkata, telah
mengkabarkan kepada kami Mãlik, dari Abī Nadhr Maula ‘Umar bin
Ubaidillãh dari Busrin bin Sa’īd, sesungguhnya Zaid bin Khãlid menyuruh
dia pergi kepada Abū Juhaim menanyakan apa yang telah didengarnya dari
Rasulullah tentang perkara orang yang melintas di hadapan orang yang salat.
Abū Juhaim berkata: Rasulullah saw. bersabda: Kalau sekiranya orang yang
melintas di hadapan orang yang salat itu mengetahui akan dosanya, niscahya
berdiri empat puluh tahun lamanya lebih baik daripada melintas di hadapan

113
Al-Nawãwī, Sahīh Muslim bi Syarh an-Nawãwī, op. cit.,hlm. 216-217.
114
Imãm Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’il bin Ibrahīm ibn Mughīrah bin Bardazaih al-
Bukhari al-Ju’fi, op. cit., hlm. 129.
68

orang yang salat. Abu Nadr berkata: aku tidak mengetahui yang
dimaksudkannya empat puluh hari, bulan atau tahun.

َ َ‫اك َع ْن أَبِي َس ِع ٍيد ق‬


‫ال قَ ا َل‬ ِ ‫ح َّدثََنا مح َّم ُد ْبن اْلعاَل ِء ح َّدثََنا أَبو أُس امةَ ع ْن مج ِال ٍد ع ْن أَبِي اْل و َّد‬
َ َ َُ َ َ َ ُ َ َ ُ َُ َ
‫ط ْعتُ ْم فَِإَّن َما ُه َو‬
َ َ‫اس ت‬
ْ ‫الص اَل ةَ َش ْي ٌء َو ْاد َر ُءوا َما‬
َّ ُ‫ط ع‬ َ ‫ص لَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َس لَّ َم اَل َي ْق‬ ِ َّ
َ ‫َر ُس و ُل الله‬
115
‫ان‬
ٌ‫ط‬ َ ‫َش ْي‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-‘Alã, telah menceritakan
kepada kami Abū Usãmah, dari Mujãlid, dari Abī al-waddãk, dari Abī Sa’īd
berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada sesuatupun yang dapat
memutuskan salat dan tolaklah mereka semampumu karena sesungguhnya dia
adalah setan.”

3. Kritik Konfirmatif
Untuk memahami hadis-hadis tentang putusnya salat karena melintasnya
anjing, keledai dan wanita dengan pemahaman yang mendekati kebenaran, maka
harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Oleh karena itu, tidak ada hadis sahih yang kandungannya bertentangan
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkamat. Jikalau masih ada pertentangan
antara keduanya, maka terdapat beberapa kemungkinan, diantaranya pemahaman
terhadap hadis kurang tepat atau pertentangan pada hadis tersebut bersifat semu
atau tidak hakiki.
Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai
dan wanita, ketika dikonfirmasikan dengan ayat al-Qur’an dalam surat al-
Mu’minun (23) ayat 2-3 sebagai berikut:

115
Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci ‫ قطع‬terdapat dalam
Sunan Abū Dãwud dengan no. hadis 617.
69

َّ َِّ ِ ِ ِ َِّ
‫ون‬
َ ‫ض‬ُ ‫ين ُه ْم َع ِن الل ْغ ِو ُم ْع ِر‬ َ ‫صاَل ت ِه ْم َخاش ُع‬
َ ‫الذ‬. ‫ون‬ َ ‫ين ُه ْم في‬
َ ‫الذ‬

Artinya:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang
yang khusyuk dalam sembahyangnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.116

Salat harus dilaksanakan dengan khusyuk dijelaskan dalam surat Al-

Baqarah (2) ayat 45:

‫اش ِعين‬
ِ ‫الصاَل ِة وإِ َّنها لَ َكبِيرةٌ ِإاَّل علَى اْل َخ‬
َ َ َ َ َّ ‫َّب ِر َو‬ ْ ‫استَ ِع ُينوا بِالص‬
ْ ‫َو‬

Artinya:
Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.117
Allah menciptakan jin dan manusia agar beribadah kepada-Nya dengan
keikhlasan dan kekhusyukan sebagaimana dijelaskan dalam surat adz-Dzariyat
(51) ayat 56:

ِ ‫ت اْل ِج َّن َواإْلِ ْن َس ِإاَّل ِلَي ْعُب ُد‬


‫ون‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.118

Selanjutnya memang ada penyetaraan antara laki-laki dan perempuan, tidak


ada pembedaan derajatnya. Keduanya adalah dua jenis yang memiliki kesejajaran
derajat. Islam datang dengan membawa ajaran penyetaraan derajat, bukan
diskriminatif, pendiskreditan perempuan dan bukan pula subordinasi dominasi
laki-laki terhadap perempuan. Hal tersebut dijelaskan dalam beberapa ayat al-
Quran sebagai berikut:
a. Q.S. al-Hujurat (49): 13:
116
Depag, Al-Qur’an danTerjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 526.
117

Ibid.,hlm. 16.
118
Ibid., hlm. 862.
70

‫وبا َوقََبائِ َل ِلتَ َع َارفُوا ِإ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعْن َد‬ ِ


ً ‫اس ِإَّنا َخلَ ْقَن ا ُك ْم م ْن َذ َك ٍر َوأ ُْنثَى َو َج َعْلَن ا ُك ْم ُش ُع‬ َّ ‫َياأَيُّهَا‬
ُ ‫الن‬
‫يم َخبِ ٌير‬ ِ َّ ِ َّ
ٌ ‫الله أَتْقَا ُك ْم ِإ َّن اللهَ َعل‬

Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.119

b. Q.S. an-Nisã’ (4): 1, 34:

‫ث ِم ْنهُ َما ِر َج ااًل‬


َّ ‫ق ِم ْنها َزو َجها وَب‬ ٍ ِ ٍ ِ َِّ
َ َ ْ َ َ َ‫اس اتقُوا َرَّب ُك ُم الذي َخلَقَ ُك ْم م ْن َن ْفس َواح َدة َو َخل‬
َّ ُ ‫الن‬ َّ ‫َياأَيُّهَا‬
ِّ )1(‫ان َعلَْي ُك ْم َر ِق ًيب ا‬ َّ ِ َِّ َّ ِ
‫الر َج ا ُل‬ َ ‫ون بِ ه َواأْل َْر َح َام ِإ َّن اللهَ َك‬ َ ‫اء َواتَّقُ وا اللهَ الذي تَ َس‬
َ ُ‫اءل‬ ً ‫َكث ًيرا َونِ َس‬
‫ض َوبِ َما أ َْنفَقُ وا ِم ْن أ َْم َو ِال ِه ْم‬
ٍ ‫ض هُ ْم َعلَى َب ْع‬ َّ
َ ‫ض َل اللهُ َب ْع‬
ِ ‫النس‬
َّ َ‫اء بِ َما ف‬ َ ِّ ‫ون َعلَى‬ َ ‫ام‬ ُ ‫قَ َّو‬
ُ ُ‫وز ُه َّن فَ ِعظ‬
‫وه َّن‬ َ ‫ون ُن ُش‬ ِ ‫ات ِلْل َغ ْي ِب بِما ح ِف َ َّ اَّل‬ َ ‫ات َح ِاف‬
ٌ َ‫ات قَانِت‬
ُ ‫الص ِال َح‬
َ ُ‫ظ اللهُ َوال تي تَ َخ اف‬ َ َ ٌ ‫ظ‬ َّ َ‫ف‬
َّ ِ ‫ض‬ ِ ُ ‫اهج ر‬
َ ‫ط ْعَن ُك ْم فَاَل تَْب ُغ وا َعلَْي ِه َّن َس بِياًل ِإ َّن اللهَ َك‬
‫ان‬ َ َ‫وه َّن فَ ِإ ْن أ‬
ُ ‫اض ِرُب‬
ْ ‫اج ِع َو‬ َ ‫وه َّن في اْل َم‬ ُ ُ ْ ‫َو‬
)34(‫َعِليًّا َكبِ ًيرا‬

Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya

119
Ibid., hlm. 847.
71

Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.120

c. Q.S. Ali-‘Imrãn (3): 195

‫ض‬ٍ ‫ض ُك ْم ِم ْن َب ْع‬ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫اب لَهُ ْم َربُّهُ ْم أَِّني اَل أُض يعُ َع َم َل َعام ٍل م ْن ُك ْم م ْن َذ َك ٍر أ َْو أ ُْنثَى َب ْع‬
َ ‫اس تَ َج‬
ْ َ‫ف‬
‫ُخ ِر ُج وا ِم ْن ِدَي ِار ِه ْم َوأُو ُذوا ِفي َس بِ ِيلي َوقَ اتَلُوا َوقُتِلُ وا أَل ُ َكفَِّر َّن َع ْنهُ ْم‬ْ ‫اج ُروا َوأ‬ َ ‫ين َه‬
َِّ
َ ‫فَالذ‬
‫ات تَ ْج ِري ِم ْن تَ ْحتِهَا اأْل َْنهَ ُار ثََو ًابا ِم ْن ِع ْن ِد اللَّ ِه َواللَّهُ ِعْن َدهُ ُح ْس ُن‬
ٍ ‫س يَِّئاتِ ِهم وأَل ُْد ِخلََّنهم جَّن‬
َ ُْ َْ َ
ِ ‫الثَّو‬
‫اب‬ َ

Artinya:
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke
dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di
sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."121

C. Analisis Hadis
Dalam penilaian matan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena
melintasnya anjing, keledai dan wanita, penulis menggunakan pendekatan
bahasa (linguistik), historis dan sosiologis. Juga dengan mempertimbangkan
120
Ibid., hlm. 114 dan 123.
121
Ibid., hlm. 110.
72

teks-teks hadis yang setema (kajian tematis-komprehensif), di samping itu


juga dilakukan konfirmasi makna dari petunjuk-petunjuk al-Qur’an .
Pemaknaan hadis dari analisis sisi kebahasaan (linguistik), telah
dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Konfirmasi dengan petunjuk-
petunjuk al-Qur’an juga telah dibahas dalam sub bab sebelumnya.
Selanjutnya adalah analisis matan secara umum setelah dianalisis sisi
kebahasaan pada lafal redaksi matan hadis, didukung oleh hadis-hadis yang
relevan dengan tema dan konfirmasi petunjuk al-Qur’an.

1. Analisis Pemaknaan Hadis

Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing,


keledai dan wanita seharusnya dimaknai secara tekstual atau kontekstual. Hal
ini sesuaikah dengan ketentuan syariat bahwa salat dapat terputus karena 3 hal
tersebut. Dari data dan informasi yang dipaparkan pada bab II dari skripsi ini,
dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang dapat membatalkan salat.
Melintasnya tiga hal tersebut tidak termasuk dalam hal-hal yang membatalkan
salat Dengan melihat kondisi kekinian yag jauh berbeda dengan kondisi
dahulu dan juga ketentuan syariat atas kaifiyah salat serta makna kebahasaan,
lafal-lafal dari redaksi matan hadis maka hadis tersebut harus dipahami secara
kontekstual dengan berbagai analisis.
Mengenai hadis-hadis ini, ada yang memaknainya secar tekstual,
kemudian menjadikannya sebagai hujjah maksudnya benar-benar salat dapat
batal karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Namun mayoritas
kalangan fuqaha menolak hadis ini, dengan dalil adanya hadis-hadis lainnya
yang mengandung pengertian bahwa salat tidak batal karena adanya tiga hal
tersebut.122 Rasulullah saw. sendiri, sering melakukan salat sementara
‘Āisyah, istri beliau tidur di depan beliau.123 Demikian pula Ibn Abbãs pernah
menunggangi seekor keledai dan lewat di depan sekelompok orang yang
sedang salat, dan salat mereka tidak menjadi batal karenanya.124
Mengenai hadis tentang salat dapat terputus karena melintasnya
anjing, keledai dan wanita muncul dua pemahaman yang berbeda bahwa

122
Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw. antara Pemahaman Tekstual
dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 160.
123
Ahmad bin Alī bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī ,op. cit., hlm. 588-590. Lihat juga Abu
Abbãs Syihãb al-Dīn Ahmad bin Muhammad bin al-Qasţalanī, Irsyãd al-Sãrī li Syarh Şahīh al-
Bukhãrī (Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.), hlm. 469-473.
124
Abū Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Abadi, ‘Aun al-Ma’būd, op. cit., hlm. 402-406.
73

memutuskan salat tersebut diartikan dengan mengurangi kekhusyukan salat


dan memecahkan konsentrasi salatnya karena terganggu dengan melintasnya
ketiga hal tersebut. Ada pula yang memahaminya dengan membatalkan salat
secara totalitas artinya seseorang yang sedang salat, jika dilintasi oleh ketiga
hal tersebut, maka ia harus mengulangi salatnya lagi dari awal karena salat
pertamanya dianggap gugur.
Ada pula hadis yang menyatakan bahwa salat tidak dapat terputus oleh
ketiga hal tersebut jika telah memenuhi syarat dengan meletakkan satir di
depan orang salat sebagai pembatas salat tersebut. Adapun ketentuan satir itu
dijelaskan dalam hadis lain sebagai berikut125 :

‫حد ثنا محمد بن عبد اللة بن نم ير واس حق بن اب راهيم ق ال اس حق اخبرنا وق ال ابن‬


‫نميرحدثناعمر بن عبيد الطنالسي عن سماك ابن حرب عن موس بن طلحة عن ابيه قال‬
‫ م فَقَ اَ َل ِم ْث ُل ُم ْؤ ِخ َر ِة‬.‫ك ِل َر ُس ْو ِل اهلل ص‬ َ ‫اب تَ ُم ُّر َب ْي َن اَْي َد ْيَنا فَ َذ َك ْرَنا َذ ِال‬
ً ‫لي َوال َّد َو‬
ِّ ‫ص‬
َ ‫ُكّن اَ ُن‬
.‫َم َر َب ْي َن َي َد ْي ِه‬ ِ َ َ‫الرح ِل تَ ُكون بين ي َدي ِه و ق‬
ّ ‫ض ُرهُ َم ْن‬ُ ‫ال ا ْب ُن ُن َم ْي ٍر فَاَل َي‬ َ ْ َ َ َْ ُ ْ ْ َّ

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair
dan Ishãq bin Ibrahīm, Ishãq berkata: memberitakan kepada kami, Ibn
Numair berkata, telah memceritakan kepada kami 'Umar bin 'Ubaid al-
Ţanăfisī dari Simãk ibn Harbin, dari Mūsa bin Thalhah dari ayahnya ia
berkata: “Kami sedang salat dan binatang melata melintas di antara kami
kemudian kami beritahukan itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah
berkata letakkanlah semacam tiang kayu (patok) di antara keduanya” dan
Ibn Numair berkata: “maka tidak dikhawatirkan lagi sesuatu melintas di
antaranya.”

Di sini berarti bahwa salat yang dilaksanakan di tempat terbuka seperti


jalan, tanah lapang, kebun atau tempat lainnya yang terbuka, maka harus
menggunakan satir sebagai pembatasnya secara tekstual agar tidak dilintasi
oleh anjing, keledai dan wanita dan secara kontekstual adalah hal-hal lainnya
yang dapat mengganggu kekhusyukan salat dan memecahkan konsentrasi
orang yang sedang salat tersebut.
Ada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa tidak dibolehkan
seseorang melintas di depan orang yang sedang salat dengan konsekuensi
yang besar bagi mereka, adapun redaksi hadisnya sebagai berikut:

125
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, op. cit.,hlm. 216-217.
74

‫ض ِر َم ْولَى ُع َم َر ْب ِن ُعَب ْي ِداللَّ ِه َع ْن‬ َّ ‫ك َع ْن أَبِي‬


ْ ‫الن‬ ٌ ‫َخَب َرَنا َم ِال‬ْ ‫ف قَ ا َل أ‬ َ ‫وس‬ ِ َّ
ُ ‫َح َّدثََنا َع ْب ُدالله ْب ُن ُي‬
‫ول اللَّ ِه‬
ِ ‫َن َز ْي َد ْاب َن َخ ِال ٍد أَرس لَهُ ِإلَى أَبِي ُجه ْيٍم َي ْس أَلُهُ م ا َذا س ِمع ِم ْن رس‬
ُ َ َ َ َ َ َ ْ َّ ‫ُب ْس ِر ْب ِن َس ِع ٍيد أ‬
‫ص لَّى‬ ِ َّ
َ ‫ال َر ُس و ُل الله‬ َ َ‫ال أَُبو ُجهَْيٍم ق‬ َ َ‫ص لِّي فَق‬ ِ َّ ِ
َ ‫ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم في اْل َم ِّار َب ْي َن َي َد ِي اْل ُم‬
َّ َّ
َ
ِ َ ‫َن ي ِق‬ ِ ِّ ‫اللَّهم َعلَْي ِه وسلَّم لَو َيعلَم اْلم ُّار َب ْين َي َد ِي اْلم‬
ُ‫ين َخ ْي ًرا لَ ه‬ َ ‫ف أ َْرَبع‬ َ ْ ‫ان أ‬ َ ‫ص لي َم ا َذا َعلَْي ه لَ َك‬ َ ُ َ َ ُْ ْ ََ َ
ِ َّ ‫َن َي ُم َّر َب ْي َن َي َد ْي ِه قَا َل أَُبو‬
ً‫ين َي ْو ًما أ َْو َش ْه ًرا أ َْو َسَنة‬
َ ‫ال أ َْرَبع‬َ َ‫ض ِر اَل أ َْد ِري أَق‬ ْ ‫الن‬ ْ ‫ِم ْن أ‬
126

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullãh bin Yusūf berkata, telah
mengkabarkan kepada kami Mãlik, dari Abī Nadhr Maula ‘Umar bin
Ubaidillãh dari Busrin bin Sa’īd, sesungguhnya Zaid bin Khãlid
menyuruh dia pergi kepada Abū Juhaim menanyakan apa yang telah
didengarnya dari Rasulullah tentang perkara orang yang melintas di
hadapan orang yang salat. Abū Juhaim berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Kalau sekiranya orang yang melintas di hadapan orang yang
salat itu mengetahui akan dosanya, niscahya berdiri empat puluh tahun
lamanya lebih baik daripada melintas di hadapan orang yang salat. Abu
Nadr mengatakan aku tidak tahu yang dimaksudkannya empat puluh hari,
bulan atau tahun.

Konsekuensi yang menimpa orang yang melintas di depan orang yang


sedang salat amat besar yakni dosa yang besar , maka orang tersebut akan
lebih baik berdiri tegak selama empat puluh tahun lamanya daripada ia
menyeberang di depan orang yang salat.
Kemudian dalam hadis lain dijelaskan bahwa Rasulullah
memerintahkan umatnya, jika ada yang melintas di depan orang yang sedang
salat hendaknya ia menolak dan mengusirnya dengan memukulnya sampai ia
menjauh darinya. Adapun redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut:

‫َس لَ َم َع ْن َعْب ِد‬ ِ ْ ‫َح َّدثََنا أَُبو ُك َر ْي ٍب َح َّدثََنا أَُبو َخ ِال ٍد اأْل‬
ْ ‫َح َم ُر َع ِن ْاب ِن َع ْجاَل َن َع ْن َز ْي د ْب ِن أ‬
‫َح ُد ُك ْم‬ َّ ‫يه قَا َل قَا َل رسو ُل اللَّ ِه صلَّى اللَّهم علَْي ِه وسلَّم ِإ َذا‬ ِ ِ‫الر ْحم ِن ْب ِن أَبِي س ِع ٍيد ع ْن أَب‬
َ ‫صلى أ‬َ ََ َ َ َ ُ َ َ َ َ َّ

126
Imãm Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’il bin Ibrahīm ibn Mughīrah bin Bardazaih al-
Bukhari al-Ju’fi, Şahīh Bukhãrī, Juz I, op. cit., hlm. 129. Lihat juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-
Asqalãnī, Fath al-Bãrī ,op. cit., hlm. 584-586. Lihat juga Abū Abbãs Syihãb al-Dīn Ahmad bin
Muhammad bin al-Qasţãlanī, Irsyãd al-Sãrī li Syarh Şahīh al-Bukhãrī, op. cit., hlm. 471.
75

ِ ِ ْ ‫ص ِّل ِإلَى ُس تَْر ٍة َوْلَي ْد ُن ِم ْنهَا َواَل َي َد‬


ُ‫َح ٌد َي ُم ُّر َفْلُيقَاتْل هُ فَِإَّنه‬ َ ‫َح ًدا َي ُم ُّر َب ْي َن َي َد ْي ه فَ ِإ ْن َج‬
َ ‫اء أ‬ َ‫عأ‬ َ ‫َفْلُي‬
ٌ ‫طان‬
127
َ ‫َش ْي‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abū Kuraib, telah menceritakan kepada
kami Abū Khãlid al-Ahmar, dari Ibn ‘Ajlãn, dari Zaid bin Aslam dari
Abdurrahman bin Abī Sa’īd, dari ayahnya berkata: Rasulullah saw.
bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu salat menghadap kepada
sesuatu yang menjadi pembatas dari seseorang yang melintas, kemudian
jika ada seseorang yang tetap melintas dihadapanmu, hendaklah
menolaknya kalau ia tidak mau hendaklah dilawan, karena sesungguhnya
ia itu adalah setan.”

Dengan pertimbangan hadis-hadis lain sebagaimana dijelaskan di atas,


maka perlu dicermati lagi hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya
anjing, keledai dan wanita dengan variasi redaksinya. Setelah diteliti, ternyata
hadis tentang putusnya salat yang dilintasi anjing, keledai dan wanita ini tidak
ditemukan dalam kitab Şahīh Bukhãrī. Tetapi hadis ini terdapat dalam kitab
Şahīh Muslim, Sunan Abū Dãwud, Sunan an-Nasã’ī, Sunan at-Tirmiżī, Sunan
Ibn Mãjah, Sunan al-Darimi dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Dalam kitab
Şahīh Bukhãrī hanya terdapat hadis ‘Āisyah yang menyangkal atau
menyanggah kebenaran hadis tersebut. Begitu pula hadis ‘Āisyah ini terdapat
dalam kitab Şahīh Muslim dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Dengan demikian,
penjelasan tentang hadis ini bisa dideskripsikan sebagai hadis yang sedikit
saling bertentangan.

Sehubungan dengan bentuk hadis Nabi, hadis dari Ibn Abbãs yang
menyatakan tidak ada sesuatupun yang dapat memutuskan salat adalah qaul
sahãbat atau diistilahkan hadīs mauqūf.128 Hadis yang diriwayatkan Ibn
Abbãs yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya
anjing dan wanita dewasa berupa qaul sahãbat juga.129 Ada sebuah hadis lagi
dari Ibn Abbãs berbentuk hadīs mauqūf juga, yang menyatakan bahwa ada
127
Ibid., Lihat juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī, op. cit., hlm. 581-584.
Lihat juga Abū Abdullãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, op. cit., hlm. 301-302.
Dari penelusuran hadis melalui CD Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf dengan kata kunci ‫ ستر‬ditemukan
dalam Sunan Ibn Mãjah bab Iqãmah al-Şalãt dengan no. hadis 944.
128
Abū al-Ula Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr Katūrī Tuhfat al-Ahważī,
op. cit., hlm.268-269. Lihat juga Abū Muthīb Muhammad Samsul al-Haq, ‘Aun al-Ma’būd, op. cit.,
hlm. 405.
76

keledai yang melintas di depan sekelompok orang salat dan salat tidak
menjadi batal karenanya.130 Namun Ibn Abbãs juga meriwayatkan hadis yang
menyatakan bahwa yang dapat memutuskan salat adalah anjing hitam dan
wanita dewasa yang berbentuk hadīs qauliyyah131 yang mana hadīs qauliyyah
memiliki level pertama dalam hadis Nabi karena periwayat mendengar
langsung ucapan atau hadis Nabi tersebut sehingga tidak diragukan lagi
kebenarannya.

Hadis yang diriwayatkan Abū Hurairah menyatakan bahwa salat dapat


terputus karena melintasnya wanita, keledai dan anjing yang berbentuk hadīs
qauliyyah.132 Hadīs qauliyyah ini memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding
hadīs fi’liyyah dan hadīs taqririyyah maupun hadīs mauqūf.

Kemudian hadis-hadis dari Abū Żar yang menyatakan bahwa salat


dapat terputus karena melintasnya keledai, wanita dan anjing hitam jika tidak
terdapat satir sebagai pembatas salat dan anjing hitam itu adalah setan yang
mana hadis tersebut berbentuk hadīs qauliyyah dan ada pula yang berupa
hadīs mauqūf.133 Selanjutnya hadis yang diriwayatkan ‘Āisyah berbentuk
hadīs fi’liyyah yang menyatakan bahwa ‘Āisyah pernah tidur berbaring di
depan Nabi ketika Nabi sedang salat.134
Lain lagi, hadis-hadis yang melalui jalur periwayatan dari ‘Āisyah
yang dimuat dalam Şahīh Bukhãrī, Şahīh Muslim dan Musnad Ahmad bin
Hanbal merupakan sanggahan atas hadis yang menyatakan bahwa salat dapat
terputus karena melintasnya wanita, tidak ada penolakan pada melintasnya

129
Jalãluddīn al-Suyūtī, Sunan an-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, op. cit., hlm. 64.
Lihat juga Abū Muthīb Muhammad Samsul Haq, ‘Aun al-Ma’bud, op. cit., hlm. 400.
130
Ibid., hlm. 403-404.
131
Abū Abdullãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, op. cit., hlm. 302-303.
132
Ibid., hlm. 302-303. Lihat juga al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, op. cit.,
hlm. 227-228.
133
Al-Nawãwī, op. cit., hlm. 226-227. Lihat juga Abū Abdullah Muhammad bin Yazīd al-
Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, op. cit., hlm. 303. Lihat juga Abū al-‘Ula Muhammad Abdurrahmãn ibn
Abdurrahīm al-Mubãr Kafurī, Tuhfat al-Ahważī, op. cit., hlm.270-271. Lihat juga Jalãluddīn al-Suyūtī,
Sunan an-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, op. cit., hlm. 63-64.
134
Ibid., hlm. 227-229. Lihat juga Imãm Abū Abdillãh Muhammad bin Ismã’il bin Ibrãhīm
ibn Mughīrah bin Bardazaih al-Bukhãrī al-Ju’fī, Şahīh Bukhãrī, op. cit., hlm. 130. Hadis yang sama
dimuat dalam Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī,op. cit., hlm. 588-590. Lihat juga
Abū Abbãs Syihãbal-Dīn Ahmad bin Muhammad bin al-Qasţalãnī, Irsyãd al-Sãrī li Syarh Şahīh al-
Bukhãrī, op. cit., hlm. 469-473.
77

anjing dan keledai.135 Hal ini disebabkan karena ‘Āisyah sebagai wanita
merasa dilecehkan dan direndahkan karena pengaruh melintasnya wanita yang
dapat memutuskan salat dan adanya penyerupaan wanita dengan anjing dan
keledai. Dalam hadis itu dijelaskan bahwa Nabi sedang salat dengan keadaan
‘Āisyah yang terbaring di depannya, namun karena ‘Āisyah tidak mau
mengganggu salatnya Nabi, lalu ia bergeser ke dekat kedua kaki Nabi. Dalam
hal ini, Nabi tidak menegur dan menyuruh ‘Āisyah untuk bergeser. Di sinilah
muncul inisiatif dari ’Āisyah sendiri untuk menggeserkan kakinya perlahan-
lahan ke dekat kaki Nabi, agar tidak mengganggu salat beliau.
Ada yang mengatakan hadis dengan jalur periwayatan dari Abū
Hurairah dan Anas mendapat ziyãdah pada hadis Abū Żar. Ziyãdah ini akan
menjadikan diterimanya hadis tersebut atau bahkan menguatkannya.
Mengenai pengkhususan pada anjing hitam itu hanya dari periwayatan Abū
Żar, yang tidak ada pada periwayatan Abū Hurairah dan Anas. Dalam hal ini,
lafal ‫الكلب االسواد شيطان‬, adalah ziyãdah pada hadis dari jalur periwayatan dari
Abī Żar saja, sehingga lafal ‫ الكلب االسواد شيطان‬tidak diterima, masih diragukan
keberadaan lafal tersebut.136 Mengenai anjing hitam itu adalah salah satu
wujud dari setan. Setan adalah satu bentuk dari jin. Sehingga anjing hitam
menyandang simbol setan yang mengajak atau berbuat kejahatan.137
Mengenai melintasnya keledai di depan orang yang sedang salat,
Syaikh Ahmad Syãkir berkomentar dalam kitab Al-Muhallã,138 dalam kaitan
sebuah riwayat yang antara lain berbunyi sebagai berikut : ”…Saya
mendengar Umar bin Abdul Azīz menceritakan dari ‘Ayyasy bin Abī Rabī’ah,
katanya: Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw. sedang mengimami salat
bersama para sahabatnya, tiba-tiba ada seekor keledai lewat di antara kami,
lalu ‘Ayyasy berkata: Subhanallah! Maka setelah menyelesaikan salat,
Rasulullah saw. bertanya: Siapa di antara kalian yang mengucapkan
subhanallah? Berkata ‘Ayyasy: saya, ya Rasulullah! Saya dengar bahwa
keledai menghentikan salat. Maka beliau bersabda: Tidak ada sesuatu yang

135
Ibid.
136
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, Juz IV (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 9-11.
137
Lebih jelasnya mengenai bentuk matan hadis yang berupa ungkapan simbolik dapat
diperoleh pada Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Tela’ah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 18-22.
138
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, op. cit., hlm. 15.
78

menghentikan salat.139 Dalam syarh ‘Ayyasy bagi pentahkikan Ibn al-Jauzi,


setelah meriwayatkan hadis ini, ia mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.140
Ahmad Syãkir mengatakan bahwa hadis tersebut, memberikan
petunjuk yang jelas telah di-nasakh-kannya hadis-hadis yang menyatakan
bahwa salat terhenti dengan lewatnya wanita, keledai dan anjing.141 “Ayyasy
pernah mendengar bahwa keledai memutuskan salat. Ia tergolong orang-orang
yang terdahulu memeluk agama Islam, dan ikut dalam kedua hijrah.
Kemudian ia tertahan di Makkah, dan Rasulullah saw. berdo’a baginya dalam
qunut beliau, sebagaimana disebutkan dalam Şahīh Bukhãrī dan Şahīh
Muslim. Dengan demikian, ia mengetahui hukum yang pertama diucapkan
(oleh Nabi saw.) dan tidak mendengar tentang penghapusan (naskh)-nya.
Karena itu Rasulullah saw. memberitahukannya kemudian, bahwa salat tidak
terhenti oleh sesuatu.142
Hal serupa dikatakan oleh al-Ţahãwī dalam komentarnya menghadapi
hadis tersebut dalam sebuah kitab syarh hadis bahwa hadis ‘Āisyah me-
nasakh hadis Abū Żar.143 Hal ini jelas terlihat dalam hadis dari jalur
periwayatan dari ‘Āisyah. Namun setelah dicermati, penasakhan itu hanya
mengena pada satu sisi dari ketiga hal tersebut, yaitu wanita. Hal itu berangkat
dari maraknya argumen orang yang mengatakaan adanya penyerupaan wanita
dengan anjing dan keledai dalam hal memutuskan salat. Kemudian bagaimana
dengan dua hal lainnya, yakni anjing dan keledai.
Salat dapat terputus dengan melintasnya anjing dan keledai, baik itu
kecil atau besar, hidup atau mati. Sedangkan wanita tidak dapat memutuskan
salat. Konsekuensi dari berbagai hadis yang relevan dengan tema yang
diangkat maka salat yang dilakukan di tanah lapang (tempat terbuka) harus
ada satir sebagai pembatas salat dengan menggunakan hujjah hadis-hadis dari
jalur periwayatan Ibn Abbãs dan Abū Hurairah144 dan jika ada sesuatu yang
melintas di depannya hendaknya mencegah atau menolaknya.

139
Ibid.
140
Ibid.
141
Ibid.
.
142
Ibid.
143
Ahmad bin Alī bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī, op. cit., hlm. 579. Lihat juga Abū
Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Muhallã, op. cit., hlm. 13-15. Lihat juga Muhammad al-
Ghazali, Studi Kritis atas Nabi saw. antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan,
1993), hlm. 160-161.
144
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, op. cit., hlm. 8-10.
79

Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa salat dapat terputus dengan


melintasnya anjing, keledai dan wanita kecuali jika ia dalam keadaan
berbaring. Abū Hanifah, Mãlik dan Asy-Syãfi’i mengatakan tidak ada sesuatu
yang dapat memutuskan salat dalam arti membatalkan salat dengan hujjah
hadis dari Ibn Abbãs yang menyatakan bahwa Ibn Abbãs pernah melintas
dengan keledainya saat ada sekelompok orang yang sedang salat.145
Mengenai melintasnya wanita di depan orang yang sedang salat terkait
dengan hadis sanggahan ‘Āisyah bahwa jelas dalam hadis tersebut bahwa
tidak ada peringatan dari Nabi artinya tidak mungkin Nabi tidak berkomentar
apapun juga, ketika hal itu dapat mengakibatkan hal yang fatal dalam salat,
yaitu memutuskan salat dalam arti membatalkan salat. Kalaupun benar adanya
bahwa wanita dapat memutuskan salat, di sini jelas terdapat pendiskreditan
wanita. Perlu kiranya hadis tersebut dikaji ulang lebih mendalam.
Hadis tersebut jika dimaknai secara tekstual tanpa melihat sosio
historis dan konteks daripada hadis, maka akan terjebak pada asumsi bahwa
hadis itu akan mengurangi eksistensi dan kredibilitas Nabi yang dikenal
sebagai figur yang mengasihi, menyayangi dan menghormati wanita, ternyata
dalam hal ini menempatkan wanita dalam posisi yang rendah dan kurang
terhormat.146
Wanita merupakan sosok yang selalu tersingkirkan dalam ranah
kehidupan publik yang selalu dianggap rendah, hina dan tidak memiliki
potensi yang dapat dikembangkan. Wanita hanya memiliki keterbatasan dalam
bertindak karena dibatasi oleh kodrat dan dimensi lain dalam kehidupan.
Al-Qur’an juga menjelaskan perempuan adalah seperti laki-laki,
makhluk ciptaan Allah yang juga memiliki kewajiban untuk beribadat kepada
Allah (QS. adz-Dzariyat (51) : 56), ia juga seperti laki-laki, adalah anak turun
Adam, yang dimuliakan Allah (QS. al-Isra’(17) : 70). Mereka adalah
pasangan kaum laki-laki yang sama-sama akan mempertanggungjawabkan
segala kreasi dan pilihannya (QS. al-Maryam (19) : 93-95).
Dalam ajaran Islam yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai
penjelas, dipaparkan bahwa keutamaan seseorang bukan ditentukan oleh
faktor jender, melainkan nilai ketakwaannya pada IIahi Rabbi (QS. al-Hujurat
(49) : 13) dan martabat ini bisa dicapai secara bersama baik laki-laki maupun
wanita.

145
Ibid., hlm. 11-13.

146
Fatima Mernissi-Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan
dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi (Yogyakarta: LSSPA, 1995), hlm. 169-174.
80

Pandangan yang serba jender, material dan eksploitatif, yang berakibat


pada perempuan harus segera dihindari karena sejarah mencatat adanya
pengucilan terhadap perempuan pada masa jahiliyyah oleh orang-orang
musyrik. Namun, hendaknya kesubyektifitasan seorang harus dihindarkan
untuk membaca dan memahami teks dengan obyektif, dengan menanggalkan
atribut dalam dirinya.
Selanjutnya perlu dijelaskan secara rinci ketentuan melintasnya wanita
yang dapat memutuskan salat dilihat dari usianya. Seluruh wanita dapat
memutuskan salat dari anak-anak sampai nenek-nenek atau beberapa wanita
saja. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa wanita yang sudah dewasa saja
yang dapat memutuskan salat. Di sini tidak ada batasan usianya. Dalam
sebuah syarh hadis bahwa wanita yang dimaksud adalah wanita yang telah
dewasa dan dapat memecahkan konsentrasi dan menganggu kekhusyukan
salat. Wanita yang sudah dewasa dipahami secara sempit adalah wanita yang
sudah haid, dalam arti luasnya adalah seorang wanita yang sudah dapat
membedakan antara yang baik dan buruk.
Selanjutnya bagaimana jika wanita yang sedang salat, lalu ada laki-
laki yang melintas, maka apakah salat akan menjadi batal karenanya atau
tidak. Jelasnya, tidak ada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa melintasnya
laki-laki dapat memutuskan salat. Di sinilah kemudian terbersit pemahaman
akan adanya pendiskreditan terhadap perempuan dengan kecamannya
terhadap melintasnya wanita di depan orang salat dapat memutuskan salat.
Dalam memahami hadis ini, subyektivitas seorang peneliti harus ditanggalkan
dan mengupayakan sikap obyektif terhadap sasaran yang dikaji.
Dengan adanya hadis ‘Āisyah yang menyanggah hadis dari Abū
Hurairah, Abū Żar dan Ibn Abbãs, maka hadis tersebut tidak terkesan
misoginis lagi dan tidak ada pendiskreditan pada perempuan, jika telah
dilakukan al-jam’u (pengkompromian) hadis. Dalam menghadapi adanya
pemahaman lain bahwa perempuan dapat memutuskan salat dalam hadis dari
jalur periwayatan Abū Hurairah, Abū Żar dan Ibn Abbãs, maka dalam
memahami hadis tersebut harus dilihat dari berbagai perspektif dan cakupan
yang terkandung dalam hadis tersebut.

2. Analisis Sosio Historis

Setelah pemahaman hadis-hadis tentang terputusnya salat dengan


melintasnya anjing, keledai dan wanita yang diperoleh melalui analisis
pemaknaan hadis, maka selanjutnya akan diupayakan pemahaman hadis
dengan memaparkan konteks sosio historis hadis-hadis tersebut. Langkah ini
merupakan tahap yang penting dalam memahami hadis, karena mengingat
81

bahwa koleksi hadis adalah bagian dari realitas tradisi keislaman yang
bersinggungan dengan budaya (culture) dalam sebuah dimensi masyarakat,
yakni pada masa Nabi dan para sahabatnya.
Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh pada pemaknaan hadis
dengan metode ma’ãnī al-hadīs, diperlukan adanya analisis historis yang
meliputi situasi makro dan mikro jika ada, yakni sebab munculnya suatu hadis
(asbãb wurūd al-hadīs). Setelah mengadakan penelusuran pada kitab-kitab
yang membahas asbãb wurūd al-hadīs dan kitab syarh hadis, penulis tidak
mendapatkan sebab khusus yang melatarbelakangi hadis-hadis tentang
terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Oleh sebab
itu, dalam analisis historis hadis tersebut, maka penulis mencoba untuk
memaparkan situasi makro yakni situasi sosial tempat salat, masjid atau dalam
bentuk lainnya sebagai tempat ibadah kepada Allah di masa Nabi dan para
sahabatnnya.
Pada masa Nabi, masa-masa awal masuknya Islam ke Arab yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw., belum terdapat tempat ibadat yang
khusus, dalam arti masjid yang dapat digunakan sebagai tempat ibadat,
bermunajat kepada Allah swt. Umat Islam pada masa awalnya melaksanakan
salat di mana saja, baik itu di jalan, tanah lapang, hutan, gurun dan tempat-
tempat lainnya yang suci.
Hakikatnya, seluruh jagad raya adalah masjid bagi muslim. Hal ini
berarti bahwa seluruh bumi adalah tempat tempat memperhamba diri pada
Tuhan, tempat meluhurkan Tuhan. Anas memberitakan bahwa Rasulullah
biasa salat di mana saja apabila waktunya salat sudah datang, meskipun di
kandang kambing. Untuk hubungan vertikal antara Allah dengan makhluk-
Nya, tidak perlu mengkhususkan tempat karena seluruh bumi ini adalah suci
dan bersih. Maka, dimanapun seseorang berada boleh melakukan salat apabila
waktunya telah tiba.
Pada masa awal Islam sebelum terdapat masjid, salat dilakukan oleh
umat muslimin di mana saja baik itu jalan, tanah lapang, gurun, atau tempat-
tempat lainnya. Rasululah baru membangun masjid, setelah hijrah ke
Madinah, beliau membangun masjid Quba, selanjutnya dibangunlah masjid
Nabawi di Madinah. Jika melihat kondisi tempat salat pada masa Rasulullah
dan sahabat, kadang-kadang salat dilakukan di tanah lapang bukan di masjid.
Selanjutnya mulai muncul masjid-masjid yang dibangun di berbagai kota di
wilayah Islam, sehingga umat Islam dapat melakukan salat dengan tempat
khusus untuk menghadap kepada Allah, tanpa gangguan sesuatu hal yang
dapat berseberangan di depannya.
Dengan melihat sedikitnya masjid dan jarak yang jauh antara
masyarakat dengan masjid serta kondisi kehidupan masyarakat Makkah dan
82

Madinah yang berdagang dari kota ke kota, berpindah-pindah dari kota ke


kota, mereka sering sekali melakukan salat di perjalanan, yakni di tanah
lapang, jalan, gurun, kebun dan lain-lain Di sinilah kemudian muncul hadis
yang memerintahkan untuk meletakkan satir (pembatas salat) di hadapan
orang yang salat. Satir itu dapat berupa tiang, tongkat, kayu, lembing,
dinding, tikar atau sesuatu apa saja yang bisa menjadi pembatas salat.
Kemudian mengenai ukuran satir adalah sepanjang ujung pelana unta,
tombak atau tongkat sehingga sesuatu yang melewatinya tidak menganggu
konsentrasi daripada orang yang salat tersebut. Satir itu juga dapat berupa
kayu, pilar atau pohon, artinya salat itu dilakukan dengan berdekatan dengan
3 hal tersebut dan difungsikannya sebagai satir, pembatas salat.
Adapun mengenai jarak satir adalah seluas kambing berlalu atau
berdekatan dengan satir sampai setan tidak dapat memutuskan salatnya.
Adapula hadis yang diriwayatkan an-Nasã’ī menjelaskan bahwa jarak antara
batasan dengan seorang yang sedang salat sejauh 3 hasta. Adapun hadisnya
sebagai berikut :
ِ َ‫ث ْبن مس ِك ْي ٍن ِق راءةً علَْي ِه و اََنا اَس مع ع ْن اُْب ِن الق‬
‫اس ِم قَ ا َل‬ َ َُْ َ َ َ َ ْ َ ُ ُ ‫ام َح َّم ُد ْب ُن َس لَ َمةَ َو ْالَ َح ِر‬ ُ ‫اَ ْخَب َرَن‬
‫ َد َخ َل ْال َك ْعَب ةَ ُه َو َو‬. ‫ م‬. ‫ك َع ْن َن ِاف ٍع َع ْن َعْب ِداهلل ْب ِن ُع َم َر اَ َّن َر ُس ْو َل اهلل ص‬ ُ ‫َح َّدثَنِي َم ِال‬
‫الح َجبِي فَاَ ْغلَقَهَا َعلَْي ِه قَ ا َل َعْب ُد اهلل ْب ُن ُع َم َر‬
َ َ‫طْل َح ة‬ َ ‫اُ َس ا َم ةُ ْب ُن َز ْي ٍد َو بِاَل ٍل َو ُعثْ َما ُن ْب ُن‬
‫ قَ ا َل َج َع َل َع ُم ْو ًدا َعن َي َس ا ِر ِه‬. ‫ م‬. ‫ص َن َع َر ُس ْو ُل اهلل ص‬ ِ ٍ ُ ‫فَس اَْل‬
َ ‫ت بِاَل ل ح ْي َن َخ َر َج َم ا َذ‬ َ
‫ص لَّي‬ ٍ ٍ ِ ٍ ِ ُ ‫وعم و َد ْي ٍن ع ْن ي ِم ْينِْي ِه و ثَاَل ثَ ةَ اَ ْعم َد ٍة وراءه َك ان ْالب ْي‬
َ ‫ت َي ْو َمئ ذ َعلَى س تَّة اَ ْع َم َدة ثَُّم‬ َ َ َُ َ َ َ َ َ َ َُْ َ
147
‫بضيَنهُ َو َب ْي َن ْال ِج َد ِار َن ْح َوا ِم ْن ثَاَل ثَ ٍة اَ ْذ ُر ٍع‬
ْ ‫َو َج َع َل‬

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah dan al-Harś
bin Maskīn, dan aku mendengarnya dari Ibn Qãsim berkata: telah
menceritakan kepadaku Mãlik, dari Nafi’, dari Abdullãh bin Umar
berkata: “Di hari penaklukan Makkah Rasulullah saw. bersama Usãmah
ibn Zaid, Bilãl dan Usman Ibnu Thalhah Al-Hajabi masuk ke dalam
ka’bah, kemudian beliau menutup pintunya. Ketika beliau keluar, maka
aku bertanya pada Bilal: “Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw.
ketika ada di dalam ka’bah?” jawab Bilãl: “Rasulullah saw.
bersembahyang dengan menghadap ke salah satu dinding ka’bah dan

147
Jalãluddīn al-Suyūtī, Sunan an-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, op. cit., hlm. 63.
83

membelakangi 6 tiang yang berada di dalam ka’bah. Beliau berdiri di


hadapan dinding itu sejauh 3 hasta.”

Di samping itu, keadaan wanita pada masa awal Islam masih amat
memprihatinkan karena masih terakulturasi dengan tradisi budaya jahiliyah
yang menganggap wanita adalah makhuk yang lemah dan hina, yang tidak
mampu melakukan hal yang terhormat apapun juga. Kaum perempuan saat itu
dianggap tidak lebih berharga dari suatu komoditi.148 Kehidupan bangsa Arab
pra Islam terdiri dari kabilah-kabilah, yang mana hidupnya berpindah-pindah
dari daerah ke daerah, sehingga hal itu juga mempengaruhi mata pencaharian
mereka. Mereka ada yang memelihara ternak hewan dan berdagang, ada pula
yang melakukan perampokan antar kabilah sebagai sumber pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehadiran anak laki-laki dianggap sebagai
simbol kekuatan yang memberikan kehormatan dan kebanggaan tersendiri
terkait dengan kebiasaan pola hidup merampok dalam kehidupan mereka.
Bahkan, kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik
kekerasan (violence) yang merupakan implikasi dari sebuah ideologi yang
merendahkan kaum perempuan, yang menyebar di dunia Arab pra-Islam.149
Kondisi bangsa Arab mengalami perubahan yang radikal dan
mendasar setelah kenabian Muhammad saw. Ikatan kabilah berubah menjadi
ikatan tauhid yang berlaku universal tanpa tersekat fanatisme kelompok.
Begitu pula dalam interaksi yang dulu dengan pemberlakuan hukum rimba
berubah menjadi pola interaksi yang penuh kejujuran, kedamaian dan
ketundukan terhadap syariat Islam.
Begitu pula dalam persoalan interaksi laki-laki dan perempuan, risalah
kenabian memandang laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang
sama dan mengajak untuk menghilangkan fanatisme golongan dan fanatisme
terhadap jenis kelamin tertentu.150 Bahkan risalah kenabian pertama telah
disambut oleh seorang perempuan, yakni Khadijah. Dengan adanya
persamaan ini, peran perempuan tidak lagi di bawah dominasi laki-laki.
Kemudian pada masa Nabi, perempuan banyak muncul mengambil peran
148
Uraian mengenai ini dapat dilihat dalam buku Asghar Ali Engineer, The Rights of Women
in Islam, dalam bab 2 berjudul “Status of Women during Jahiliya”, London: C. Hurst and Co., 1992.
149
Hasan Ibrahim Hasan, Tarīkh al-Islãm al-Siyãsi wa al-Dinī wa al-Saqãfī wa al-Ijtimã’i,
Juz I (Qãhirah: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964), hlm. 65. Baca juga Muhammad Abd al-
Hãmid Abū Zaid, Makãnah al-Mar’ah fi al-Islãm (tkp.: Dãr an-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979), hlm. 64.
Lihat juga Mansour Fakih, Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya:
Risalah Gusti, 2000), hlm. 51.
150
Muhammad Abd al-Hãmid Abū Zaid, Makãnah al-Mar’ah fi al-Islãm (tkp.: Dãr an-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979), hlm. 47.
84

dalam pendidikan dan peran sosial seperti laki-laki misalnya ‘Āisyah dan
Asmã’ bin az-Zubair yang merupakan ahli dalam periwayatan hadis. Di
sinilah jelas bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama
dan kesetaraan, namun kesamaan dan kesetaraan itu tidak bersifat mutlak
karena ada beberapa hal bagi perempuan yang bersifat kodrati yang tidak
dimiliki laki-laki seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui.
Dengan demikian, laki-laki memang memiliki kesamaan dan kesetaraan, tidak
ada subordinasi dominasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga hubungan
keduanya dapat dipahami secara fungsional. Artinya, adanya perbedaan peran
laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang dikarenakan masing-masing
memiliki keterbatasan yang hanya bisa disempurnakan oleh lawan jenisnya.
Karena memang laki-laki dan perempuan memiliki keterikatan dan
ketergantungan satu sama lain.
Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam
menunjukkan pada dasarnya mengakui, bahwa kedudukan laki-laki dan
perempuan adalah adil. Keduanya diciptakan dari satu “nafs” (living entity),
dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain.

3. Analisis Generalisasi

Setelah menganalisis pemaknaan hadis dan analisis historis hadis-


hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita,
maka langkah selanjutnya adalah bagimana makna-makna yang telah
ditemukan dari kedua analisis tersebut digeneralisasikan dengan cara
menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis itu.
Berdasarkan analisis pemaknaan hadis, maka ditemukan makna
tekstual hadis dan signifikansi konteksnya dengan realitas historis masa Nabi,
makna-makna ini selanjutnya digeneralisasikan dengan menangkap makna
universal daripada teks hadis tersebut. Dengan melihat pemaknaan hadis dan
kondisi sosio historis munculnya hadis-hadis tentang terputusnya salat karena
melintasnya anjing, keledai dan wanita, dapat ditarik pesan inti yang
terkandung bahwa hadis tersebut telah di-naskh oleh hadis dari ‘Āisyah
bahwa ‘Āisyah pernah tidur berbaring di depan Nabi ketika Nabi sedang salat.
Dalam hadis ‘Āisyah dijelaskan bahwa jikalau wanita memang dapat
memutuskan salat dalam hadis tersebut, maka ada penyerupaan, penyamaan
dan penyetaraan wanita dengan anjing dan keledai. Di sinilah terkesan hadis
tersebut misoginis yang merendahkan perempuan. Wanita dianggap remeh,
hina dan rendah dalam status sosialnya. Padahal al-Qur’an telah menjelaskan
bahwa posisi perempuan adalah setara (al-musawah), bukan subordinat di
bawah laki-laki, sehingga tidaklah mungkin hadis bertentangan dengan al-
85

Qur’an sebagai konstitusi dasar yang paling pertama dan utama, sumber
utama dan paling sentral dalam pengambilan hukum dalam syariat. Untuk itu,
sebelum adanya pe-naskh-an, agar hadis tersebut tidak terkesan misoginis,
maka harus dikompromikan dahulu, sebenarnya wanita yang dimakudkan di
sini bukan keseluruhan wanita, namun hanya dikhususkan pada wanita
tertentu yang memiliki sifat-sifat jahat dan jelek yang mencerminkan sifat-
sifat setan, yang selalu mengajak kepada kemaksiatan dan mengganggu
kekhusyukan salat.
Problem yang sebenarnya adalah problem pemahaman terhadap hadis.
Sebuah hadis harus dipahami dengan tepat, proporsional dan komprehensif
dilihat dari berbagai sudut pandang di antaranya kebahasaan, sosio historis
dan variabel-variabel lainnya sehingga memunculkan pemahaman yang
mendekati kebenaran, sehingga tidak terkesan menitikberatkan pada satu sisi
seperti membaca hadis dengan kesan misoginis tanpa dapat menanggalkan
subyektivitas dari pembaca dan pengkaji teks hadis tersebut. Wanita di sini
bukan dipahami keseluruhan wanita namun wanita tertentu yang memiliki
sifat mengajak pada kejahatan dan mengganggu kedekatan hamba dengan
Tuhannya melalui ibadah salatnya. Jelasnya adalah wanita yang menyandang
sifat setan yang dapat mengganggu kekhusyukan salat. Ada pula yang
memahami bahwa wanita di sini maksudnya adalah setan, bukan wanita
secara hakiki sebagaimana hasil pengkompromian hadis-hadis tersebut.
Kemudian mengenai anjing dapat memutuskan salat tersebut karena
dikhawatirkan najis yang ditimbulkan dari air liurnya dapat menimbulkan
najis orang yang sedang salat, sehingga akhirnya dapat membatalkan salat
tersebut. Dalam beberapa redaksi hadis yang lain, ada pengkhususan pada
anjing hitam yang dapat memutuskan salat. Di sinilah terkesan terdapat
keunikan anjing hitam dibanding dengan anjing lainnya. Ada pemahaman
yang muncul bahwa anjing hitam adalah setan. Anjing hitam adalah sebuah
simbol dari setan yang dapat mengganggu kekhusyukan salat. Dengan
demikian, ada dua pemahaman terhadap anjing, yakni anjing secara hakiki
karena najis yang dibawanya dan anjing sebagai simbol dari setan saja,
hakikatnya adalah setan, bukan anjing sebenarnya.
Mengenai keledai dapat memutuskan salat, hal itu masih diragukan
karena terdapat hadis dari Ibn Abbãs bahwa Ibnu Abbãs pernah melintas
dengan menunggangi keledai di depan sekelompok orang yang sedang salat,
namun salat mereka tidak menjadi batal karenanya. Sedangkan kedudukan
hadis tersebut adalah hadis hasan şahīh, seluruh periwayatnya adalah śiqah.
Kajian linguistik adalah salah satu dari problem solver dalam
memahami hadis tersebut. Lafal ‫قطع الصالة‬ memiliki 2 pemaknaan
yaitu membatalkan salat, dalam arti salat menjadi batal karenanya sehingga
harus diadakan pengulangan salat dari awal dan merusak salat, dimaksudkan
86

mengurangi kekhusyukan, konsentrasi, essensi dan substansi kehadiran hati


dalam salat.
Satu hal lagi yang perlu diketahui bahwa hadis tersebut harus
dipahami melalui beberapa perspektif di antaranya dalam perspektif tasawuf
dan perspektif fikih. Dalam perspektif tasawuf bahwa salat akan terputus
dalam arti batal jika melintas anjing, keledai dan wanita karena hal itu akan
merusak kekhusyukan daripada salat.
Menurut mereka salat jika tidak dilakukan dengan khusyuk, penuh
konsentrasi dan ţuma’ninah, maka salat tersebut tidak berarti apapun. Di sini
hilanglah segala essensi dan substansi dari salat tersebut, sehingga salat secara
penuh telah menjadi batal karena lepasnya dan hilangnya inti daripada salat
yaitu kekhusyukan. Kekhusyukan adalah inti yang memiliki proporsi yang
besar dari ritual salat. Kekhusyukan adalah pemegang kendali dari
terlaksananya salat.
Kemudian dalam perspektif fikih bahwa salat tidak dapat terputus
karena melintasnya ketiga hal tersebut. Terputusnya salat itu dimaknai dengan
merusak salat artinya salat itu tidak menjadi batal karena melintasnya ketiga
hal tersebut, hanya merusak salat saja. Artinya, essensi, substansi atau
proporsi kekhusyukan salat itu menjadi berkurang karena tiga hal tersebut.
Kemudian setelah diteliti, dikaji dan dianalisis, ternyata dalam
perspektif fikih memang salat tidak menjadi batal karena ketiga hal tersebut,
hanya saja essensi dan substansi dari salat berkurang seiring dengan
berkurangnya dan terganggunya kekhusyukan dari salat tersebut. Hal ini
sesuai dengan pendapat dari para fuqaha, yakni Abū Hanīfah, Syãfi’ī dan
Mãlik bahwa salat itu hanya rusak, artinya salat dilaksanakan dengan kurang
kekhusyukan karena melintasnya ketiga hal tersebut, tidak sampai pada level
membatalkan salat.151
Kemudian mengenai validitas hadis-hadis yang relevan dengan tema
tersebut, telah diketahui dalam pembahasan sebelumnya. Hadis-hadis tersebut
kedudukannya kuat sehingga dapat menjadi hujjah, sehingga tidak mampu di-
tarjih, meskipun hadis-hadis tersebut tampak saling bertentangan, karena
sebenarnya hadis tersebut dapat dikompromikan untuk memperoleh
pemahaman yang tepat, proporsional dan komprehensif sebagaimana telah
diuraikan di atas dengan berbagai variasi pemahaman.
Demikianlah hadis-hadis tentang terputusnya salat dipahami oleh
penulis ditinjau dari berbagai pendekatan yaitu pendekatan kebahasaan

151
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Jilid IV, op. cit., hlm. 227-228. Lihat juga
Ahmad bin Ali ibn Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Barī, op. cit., hlm. 589.
87

(linguistik), analisis sosio historis dan analisis generalisasi serta analisis


wacana jender sebagai respons atas hadis yang berbau misoginis.

BAB IV

ANALISIS HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT


KARENA MELINTASNYA ANJING, KELEDAI DAN WANITA:
RELEVANSI TEKS DAN KONTEKS

Setelah kritik historis dan proses pemahaman dengan kritik eiditis telah dilakukan
ternyata masih ada masalah lagi yang terkait dengan penumbuhan hadis terhadap
realitas kehidupan kekinian, yakni yang disebut kritik praksis. Konstruk rasional
universal atau tujuan moral-sosial universal yang diperoleh dari proses
generalisasi tersebut diproyeksikan ke dalam realitas kehidupan kekinian
sehingga memiliki makna praksis bagi penyelesaian problematika hukum dan
kemasyarakatan kekinian. Ia harus ditumbuhkan (embodied) dengan meminjam
bahasa Rahman dalam konteks sosio historis yang konkrit di masa sekarang.152

Berkaitan dengan ini diperlukan penelitian dan pengkajian yang teliti dan cermat
terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai realitas yang dihadapi, sehingga
dapat dinilai situasi kekinian, kemudian mencoba untuk mengubah kondisinya
sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa
mengimplementasikan nilai-nilai hadis secara baru pula. Dalam analisis realitas
kekinian maupun analisis realitas historis masa lalu jelas dibutuhkan keterlibatan
interdisipliner. Artinya perlu adanya konfirmasi dengan historisitas hadis dan
sosial-budaya kemasyarakatan masa lalu dan sekarang.

Keseluruhan aspek yang terkait dengan penafsiran yaitu teks, penafsir dan
audiens tercakup dalam pemahaman hadis model ini, yakni meliputi sisi
kebahasaan, sosio historis dan analisis pemaknaan hadis yang digeneralisasikan
kemudian dikontekstualisasikan dengan mencari relevansi antara teks dan
konteksnya.
152
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 159.
88

A. Kontekstualisasi Hadis tentang Terputusnya Salat karena Melintasnya


Anjing, Keledai dan Wanita

Salat adalah ritual ibadah umat muslimin yang terdiri dari serangkaian
gerakan dan do’a yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Salat
adalah sebuah media komunikasi hubungan vertikal antara Tuhan dengan
manusia. Salat memiliki aturan-aturan dan tata cara tesendiri (kaifiyah şalãt)
sesuai ketentuan syariat.153

Dalam salat terdapat rukun-rukun salat, syarat sah salat, dan hal-hal yang
dapat membatalkan salat. Kesemuanya telah dijelaskan dalam Bab II dari
skripsi ini. Tata cara salat (kaifiyah şalãt) itu telah diatur oleh syariat, dengan
penjelasan terperinci dari hadis-hadis Nabi, qaul sahãbat dan ijma’ para
fuqaha. Salat harus dilakukan dengan penuh kekhusyukan menghadap-Nya
dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Perlu diketahui juga, sejauh
mana pengaruh dari kekhusyukan terhadap essensi dan inti daripada salat
tersebut.

Sehubungan dengan jenis hadis, hadis-hadis tentang terputusnya salat


karena melintasnya anjing, keledai dan wanita yang variatif tersebut dapat
dikategorisasikan dalam hadīs qauliyyah, hadīs fi’liyyah, hadīs taqririyyah
dan hadīs mauqūf. Hadīs qauliyyah memiliki level pertama dalam hadis Nabi
karena periwayat mendengar langsung ucapan atau hadis Nabi tersebut.154
Hadīs qauliyyah ini memiliki kedudukan tertinggi dibanding hadīs fi’liyyah
dan hadīs taqririyyah maupun hadīs mauqūf. Hal itu disebabkan karena
hadīs qauliyyah itu sahabat mendengar langsung ucapan Nabi sehingga
diyakini kebenarannya. Sedangkan dalam menghadapi hadīs fi’liyyah dan
hadīs taqririyyah memiliki banyak kemungkinan pemahaman karena tiada
kepastian ucapan, banyak pradugaan yang ditimbulkan. Hadīs mauqūf
terkadang diragukan karena sahabat memang seorang yang paling dekat dan
mengenal kehidupan Nabi secara langsung serta memiliki keadilan yang tidak
diragukan, namun dalam hal tingkat ke-dabit-an sahabat terdapat beberapa
tingkatan.

153
Abdul Qãdir ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab, peterj. Zeid Husein al-Hãmid dan M.
Hasanuddin, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994), hlm. 206-215. Lihat juga M. Hasbi ash-
Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 98-102. Lihat juga Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: al-Ma'arif , 1977), hlm.219-233.
154
Abū Abdullãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, Juz I (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 302-303.
89

Setelah diketahui kedudukan dan posisi hadis tersebut ternyata sama-sama


kuatnya, namun ternyata hadis-hadis yang menjelaskan terputusnya salat
karena melintasnya anjing, keledai dan wanita lebih kuat dibanding yang
lainya karena hadis itu berupa hadīs qauliyyah. Di samping itu hadis tersebut
memiliki banyak syãhid dan mutãbi’ yang menjadi penguatnya. Meskipun
salah satu periwayatnya terdapat tadlīs dari jalur periwayatan Abū Żar yang
hanya dimuat dalam Sunan Abū Dãwud, namun periwayat adalah seorang
yang śiqah dan sezaman, bahkan riwayat Abū Żar dari jalur periwayatan yang
lainnya, keseluruhan periwayatnya adalah śiqah. Sehingga kredibilitas
periwayat tetap saja dapat diterima. Kemudian sebenarnya permasalahannya
adalah problem pemaknaan, bagaimana memahami hadis tersebut secara tepat
dan proporsional dengan perkembangan zaman.

Mengenai anjing memiliki multi-interpretasi. Di antaranya adalah anjing


dalam arti sesungguhnya wujud anjing, seekor hewan yang air liurnya
membawa najis. Mengapa air liurnya anjing itu najis, ini merupakan hal yang
problematik. Ternyata, setelah diteliti air liur anjing itu memiliki zat-zat kimia
atau virus yang membawa penyakit rabies. Dengan najis yang dimiliki anjing
tersebut jika ia melintas di depan orang yang salat tanpa satir, maka amat
dikhawatirkan orang yang salat itu terkena najis yang dibawa anjing itu.

Menurut ketentuan syariat, salah satu dari syarat sah salat adalah suci badan,
pakaian dan tempat salat dari najis. Sedangkan salat menjadi batal jika tidak
terpenuhi syarat sah salat dan rukun-rukun salat. Jika orang yang salat atau
tempat salat tersebut terkena najis yang ditimbulkan dari melintasnya anjing
tersebut, maka salah satu syarat sah salat tidak terpenuhi sehingga salat
menjadi batal karena tidak terpenuhi salah satu dari syarat sah salat tersebut.

Penulis cenderung memiliki pemahaman yang berbeda mengenai anjing


dalam hadis tersebut. Anjing dalam hadis tersebut tidak dapat dimaknai
tekstual sebagai sebenar-benarnya wujud hewan, yakni anjing, namun hanya
sebagai simbol dari setan.

Hal ini berangkat dari redaksi matan hadis yang sedikit berbeda yakni dari
jalur periwayatan dari Abū Żar155 dan salah satu hadis dari jalur periwayatan

155
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Juz IV (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981), hlm.
226-227. Lihat juga Abū Abdullãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, op. cit., hlm.
303. Lihat juga Abū al-Ulã Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr Kafūrī, Tuhfat al-
Ahważī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995), hlm.270-271. Lihat juga Jalãluddin al-Suyūtī, Sunan an-
Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.), hlm. 63-64. Data yang serupa
diperoleh dalam Abū Muhammad bin Bahramī al-Dãrimi, Sunan ad-Dãrimi, Juz I, (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 329.
90

Ibn Abbãs156 yaitu dengan pengkhususan pada anjing hitam, bukan anjing
kuning atau anjing merah. Anjing hitam dijelaskan sebagai simbol dari setan
yang memang memiliki profesi mengganggu segala tindakan kebaikan
manusia termasuk di dalamnya salat sebagai media mendekatkan diri kepada
Allah dan salah satu wujud ketakwaan kepada-Nya. Hal tersebut juga
diperkuat argumen dengan adanya hadis lain yang relevan dengan kajian ini
adalah sebagai berikut157:

‫ت بِقَ ْتِلهَا َولَ ِك ْن ا ْقتُلُ ْوا ِم ْنهَا‬ ِ


ُ ‫َم ْر‬ ِ ِ ِ
َ ‫ لَ ْواَل اَ َّن ْالكاَل‬:‫ قَا َل‬.‫م‬.‫اَ َّن َر ُس ْو َل اهلل ص‬
َ ‫ اَل أ‬,‫ب اُ َّمةٌ م َن ْااُل َ َمم‬
‫ُك ُّل اَ ْس َو ٍاد َب ِه ْيٍم‬

Artinya: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Kalaulah anjing itu bukan


salah satu umat dari umat-umat maka sungguh aku perintahkan untuk
membunuhnya, tetapi bunuhlah anjing hitam dari mereka.

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa anjing adalah hewan yang merupakan
umat juga yang tidak boleh dibunuh kecuali anjing hitam. Disini terdapat
pengkhususan pada anjing hitam, tentunya ada sebab yang
melatarbelakanginya. Dijelaskan bahwa anjing hitam adalah simbol dari setan
yang mengajak pada kejahatan dan akan mengganggu serta menghancurkan
segala kebaikan dan tidak memberikan kemanfaatan. Anjing hitam adalah
dari golongan jin yang paling lemah yaitu setan.158 Bagi penulis, setan dapat
menjelma dalam bentuk apa saja karena setan dapat berupa sifat atau tabiat
yang buruk yang selalu ingin menghancurkan segala bentuk kebaikan dan
dapat pula berupa jenis makhluk yang memiliki profesi mengganggu
ketenangan hidup manusia yang berada dalam kebaikan dan kebahagiaan
yang hakiki, yakni derajat ketakwaan di sisi Allah.

Ternyata setelah dilihat dari kedudukan hadis tersebut dari kedua redaksi
yang menyatakan anjing saja dan pengkhususan pada anjing hitam tersebut
sejajar sama-sama hadīs hasan şahīh, yang masing-masing memiliki tadlīs,
dari salah satu periwayatnya, namun karena periwayat-periwayat lainnya
adalah seorang yang śiqah, jujur dan terpercaya, maka tetap dapat diterima
kredebilitas perawi dan validitas hadisnya. Namun konsekuensinya hadis
tersebut menduduki level hadīs hasan şahīh.
156
Lihat dalam CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf al-Kutub al-Tis’ah dalam Sunan Abū Dãwud
hadis no. 602.
157
Imãm Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainūrī, Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs (Beirūt:
Dãr al-Fikr, 1995), hlm. 125-126.
158
Ibid.,hlm. 126-129.
91

Kemudian mengenai keledai adalah seekor binatang yang menjijikkan

yang dapat memutuskan salat seseorang. Hal ini harus ditinjau kembali untuk

reinterpretasi terhadap hadis tersebut. Di samping itu, penulis menemukan

hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbãs bahwa ia pernah melintas di depan

sekelompok orang yang sedang salat dengan menunggangi keledai dan salat

tersebut tidak menjadi batal karenanya.159 Hadis tersebut berbentuk hadīs

fi’liyyah dan memiliki kedudukan hadīs hasan şahīh. Adapun redaksi

hadisnya sebagai berikut:

‫ور َع ِن اْل َح َكِم َع ْن َي ْحَيى ْب ِن اْل َج َّز ِار َع ْن‬ ٍ ‫ص‬ ُ ‫َح َّدثََنا ُم َس َّد ٌد َح َّدثََنا أَُبو َع َو َانةَ َع ْن َم ْن‬
‫ت أََنا َو ُغاَل ٌم‬ ٍ ‫الصاَل ةَ ِعْن َد ْاب ِن َعب‬
ُ ‫َّاس فَقَ ا َل ِج ْئ‬ َّ ُ‫طع‬ َ ‫ال تَ َذا َك ْرَنا َما َي ْق‬
َ َ‫اء ق‬ ِ ‫أَبِي الصَّهب‬
َْ
‫ص لِّي‬ َّ ِ َّ َّ ِ َّ ِ َِّ ِ ِ ِ
َ ‫ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم ُي‬ َ ‫م ْن َبني َعْب د اْل ُمطل ِب َعلَى ح َم ٍار َو َر ُس و ُل الله‬
‫ان ِم ْن َبنِي‬ ِ َ‫ت َج ِارَيت‬ ْ ‫اء‬
َ ‫ف فَ َما َب ااَل هُ َو َج‬ ِّ ‫الص‬
َّ ‫َم َام‬ ِ
َ ‫ت َوتََر ْكَنا اْلح َم َار أ‬ ُ ‫فََن َز َل َوَن َزْل‬
‫ان ْب ُن أَبِي َش ْيَبةَ َو َد ُاو ُد‬ ُ ‫ك َح َّدثََنا ُعثْ َم‬ َ ‫َّف فَ َما َبالَى َذِل‬ ِّ ‫َع ْب ِد اْل ُمطَِّل ِب فَ َد َخلَتَا َب ْي َن الص‬
َ َ‫يث بِِإ ْس َن ِاد ِه ق‬
‫ال‬ ِ ‫ور بِه َذا اْلح ِد‬
َ َ ٍ ‫ص‬ ُ ‫ق اْلف ْرَي ابِ ُّي قَ ااَل َح َّدثََنا َج ِري ٌر َع ْن َم ْن‬
ِ ٍ ‫ْبن ِم ْخ را‬
َ ُ
‫ع َب ْيَنهُ َما‬
َ ‫ان فَفَ َّر‬ ُ ‫ال ُعثْ َم‬ َ ‫ان ِم ْن َبنِي َع ْب ِد اْل ُمطَِّل ِب ا ْقتَتَلَتَا فَأ‬
َ َ‫َخ َذ ُه َما ق‬ ِ َ‫ت َج ِارَيت‬ ْ ‫اء‬
َ ‫فَ َج‬
َ ‫ُخ َرى فَ َما َبالَى َذِل‬
‫ك‬ ُ ‫ع ِإ ْح َد‬
ْ ‫اه َما َع ِن اأْل‬ َ ‫َوقَا َل َد ُاو ُد فََن َز‬

Artinya:
Musaddad telah menceritakan kepada kami, Abū Awãnah telah
menceritakan kepada kami dari Mansūr dari al-Hakam dari Yahyã bin
Jazzãr dari Abū Shabhãi dia berkata: Pernah kami memgadakan
pembicaraan tentang sesuatu yang membatalkan salat di dekat Ibnu Abbãs
r.a. lalu dia berkata: Aku pernah tiba bersama seorang pemuda dari Bani
Abdul Muţalib mengendarai keledai, sedangkan Rasulullah sedang
mengerjakan salat. Lalu pemuda itu dan aku turun dan kami tinggalkan
keledai itu di depan shaf, tetapi beliau tidak menghiraukannya. Kemudian
159
Abū Muthīb Muhammad Samsul Haq, ‘Aun al-Ma’būd Syarh Sunan Abū Dãwud,
(Madīnah: Maktabah Salafiyah, 1968), hlm. 403-405.
92

datang pula dua orang gadis Bani Abdul Muţalib bertengkar, maka beliau
pisahkan keduanya, lalu beliau tidak menghiraukannya.

Dari beberapa hadis yang diriwayatkan Ibn Abbãs tentang terputusnya

salat tersebut memiliki beberapa redaksi yang berbeda yaitu bahwa suatu saat

ia meriwayatkan hadis bahwa tidak ada sesuatu yang dapat memutuskan salat

dan dalam redaksi lain, salat dapat terputus karena melintasnya wanita dan

anjing serta mengenai keledai tidak dapat memutuskan salat dalam redaksi

hadis yang lainya. Di sinilah penulis justru berprasangka bahwa terdapat

ketidak konsistenan pada diri Abdullah bin Abbãs sehingga akan meragukan

tingkat ke-dabit-annya.

Selanjutnya setelah diteliti penulis mendapatkan informasi bahwa

hadis yang diriwayatkan oleh ‘Āisyah yang dimuat dalam Şahīh Bukhãrī

diletakkan pada bab “salat tidak dibatalkan oleh sesuatu”. 160 Ternyata, hadis

‘Āisyah ini adalah bentuk hadis bantahan atas hadis-hadis yang menyatakan

bahwa wanita dapat memutuskan salat. ‘Āisyah menolak hadis tersebut

karena ia pernah tidur berbaring di depan Nabi ketika beliau sedang salat, di

sini Nabi tidak menyuruhnya berpindah namun ‘Āisyah sendiri berinisiatif

memindahkan kakinya karena khawatir akan mengganggu salat Nabi saja.

160
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī bi Syarh Şahīh Imãm Abī Abdillah
Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī, (t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th.), hlm. 588.
93

Fatima Mernissi161 sebagai salah seorang pemerhati hadis-hadis

misoginis termasuk hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya

anjing, keledai dan wanita. Dalam analisis ini sedikit dipaparkan mengenai

pemahaman Fatima terhadap hadis tersebut.162 Fatima dalam memahami hadis

ini dengan terlebih dahulu menjelaskan essensi salat menghadap kiblat.

Baginya menjadikan Ka’bah sebagai kiblat merupakan usaha pemusatan salat

dan penyatuan wilayah. Islam memberitahukan ajarannya bahwa masjid

sebagai tempat ibadah atau salat tidak seperti agama lain. Ia bukanlah penata

semata sebuah bangunan, sebuah konstruksi melainkan terutama sebuah

perspektif. Masjid ada dimana-mana. Seluruh permukaan bumi adalah masjid.

Sehingga ka’bah yang berada di Makkah yang menjadi simbol tempat yang

suci, kemudian menjadi kiblat bagi orang-orang salat harus mengarah

kepadanya.

Dengan demikian salat dapat dilakukan dimana saja baik di jalanan,

sebuah lorong, kebun dan bahkan dalam peperangan serta berbagai tempat

161
Seorang tokoh feminis muslim Maroko yang awalnya pada masa kecil menekuni studi al-
Qur’an. Setelah dewasa, ia mulai menggeluti studi hadis. Fatima ini mendengar hadis putusnya salat,
ketika duduk disekolah menengah. Sehingga muncullah daya kekreatifan dan kekritisannya untuk
mengkaji hadis tersebut. Seiring dengan hal itu, Kristen-Yahudi memainkan peranan penting dalam
menggalakkan persamaan hak antar jenis kelamin, namun jutaan wanita Yahudi dan Kristen sekarang
ini menikmati privelese ganda, yaitu hak asasi penuh di satu pihak dan akses kepada tradisi keagamaan
insipirasional di satu pihak. Persentuhannya dengan tradisi Barat amat mempengaruhi pemikirannya
daya kritisnya terhadap teks-teks klasik dan rekonstruksinya di era kontemporer. Daya kritisnya yang
masih bersinggungan dengan cara berfikir seorang politikus yaitu adanya kepentingan kelompok
tertentu dibalik interpretasi terhadap teks. Cara berfikir Fatima dipengaruhi oleh kondisi sosial dan
politik bangsanya, Maroko sebagai negara bekas jajahan Perancis.
162
Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I (Bandung: Pustaka,
1994), hlm. 83-92.
94

lainnya asal memenuhi syarat sah salat sesuai ketentuan syariat. Rasulullah

misalnya, biasa menancapkan pedang di hadapannya, yang dengan sendirinya

menjadi petanda kiblatnya. Bahkan, selagi melakukan perjalanan atau di

dalam ekspedisi militer, Rasulullah sering mendirikan salat sambil

bergerak.163 Dalam perspektif hadis ini, jika seseorang telah membangun

kiblat simbolis, ia tidak boleh membiarkan sesuatupun melintas antara ia

dengan kiblatnya, agar tidak mengganggu kekhusyukan salat. Dalam redaksi

hadis ini secara tersurat, wanita disamakan dengan anjing dan keledai dan

menyebut wanita sebagai pengganggu salat menimbulkan kontradiksi antara

hakikat wanita dengan kesucian tempat salat. Selanjutnya, mempersamakan

wanita dengan anjing dan keledai, berarti sama saja memasukkan wanita

dalam spesies hewan.164

Setelah diteliti secara jeli, ternyata dalam Sahīh Bukhãrī tidak


terdapat hadis yang menyatakan terputusnya salat karena melintasnya
anjing, keledai dan wanita. Justru yang ada adalah hadis ‘Āisyah yang
menyanggah dan menolak hadis tersebut. Fatima juga cenderung tidak
mau merujuk kitab-kitab syarh hadis yang mengkaji hadis-hadis
tersebut, ia hanya mengikuti pemahamannya, tanpa meneliti data-data
dan informasi yang telah terpercaya kevaliditasannya. Fatima justru
menuduh hadis-hadis misoginis merupakan konspirasi kelompok laki-
laki untuk mempertahankan status quonya di tengah-tengah
masyarakat tidak sepenuhnya benar.
Selanjutnya perlu kiranya mengkritisi pemahaman Fatima terhadap hadis terputusnya salat karena melintasnya anjing,
keledai dan wanita sebagaimana telah diteliti oleh Kadarusman dalam skripsinya dengan judul Kritik Hadis Perspektif
Gender: Studi atas Pemikiraan Fatima Mernissi dan karya monumentalnya165 yang mana ia menghujat eksistensi dari Abū
Hurairah sebagai sahabat Rasulullah yang banyak meriwayatkan hadis. Ia juga menyatakan bahwa hadis dari Abū Hurairah
163
Ibid., hlm. 88-89.
164
Fatima Mernissi, The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens
Rights in Islam, Terj. Mary Jo Lakeland (Addison: Wesley Publishing Company, 1991), hlm. 59.
165
Fatima mernissi, Wanita di dalam Islam, op. cit., hlm. 83-92.
95

dimuat dalam Sahīh Bukhãrī, namun setelah diteliti ternyata dalam Sahīh Bukhãrī tidak terdapat hadis Abū Hurairah,
hanya ada hadis sanggahan dari ‘Āisyah sebagai respon adanya hadis terputusnya salat.
Fatima Mernissi juga menuduh Abū Hurairah sebagai sosok yang menjenuhkan kehidupan sehari-hari perempuan
Muslim modern. Penilaian Fatima terhadap Abū Hurairah itu memiliki dua argumen, yaitu perdebatan misteri nama Abū
Hurairah, yang sebelumnya bernama Abdu asy-Syamsy (hamba sang matahari) dan peran Abū Hurairah sebagai pembantu
Nabi yang selalu mengikuti gerak langkah Nabi, kadangkala membantu di tempat kediaman perempuan. Hal ini
menunjukkan ketidakjantanan Abū Hurairah.

Kemudian setelah dilihat dalam sumber asli penukilan Fatima dalam

teks Al- Işãbah166 secara lengkap teksnya, justru akan tampak kehormatan dan

kejantanan Abū Hurairah. Ternyata, Abū Hurairah tidak membantu di tempat

kediaman perempuan, namun justru Abū Hurairah selalu menyertai

Rasulullah berkeliling ke rumah istri-istri beliau, ia melayani beliau. Ia

berperang bersama beliau dan ia pun melaksanakan haji bersama beliau.

Bahkan dalam kitab Difã’an Abī Hurairah167 dijelaskan bahwa Abū Hurairah

pernah terjun dalam peperangan bersama Nabi yaitu perang Dzat ar-Riqa’,

Penaklukan Makkah, Perang Hunain, perang Tabuk, perang Mut’ah dan

sesudah itu ikut perang melawan murtadin, perang di Yarmuk, Armenia dan

Georgia.

Polemik kesetaraan jender berawal dari penafsiran teks yang

merugikan satu jenis kelamin. Padahal, Rasulullah memperlakukan laki-laki

dan perempuan secara adil. Islam datang dengan mengangkat derajat

perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah pada masa pra Islam.

Penafsiran terhadap teks yang bernuansa feminisme terdapat dua versi;

166
Ibnu Hajar al-Asqalãnī, Al-Işãbah fi Tamyīz al-Şahãbah, Juz VII (Beirūt: Dãr al-Kutub al-
Ilmiyyah, t.th), hlm.202
167
Abdul Mun’īm Şãlih al-Aly al-Izzī, Difã’an Abī Hurairah, Cet. II (Beirūt: Dãr al Qalam,
1981), hlm. 48-54.
96

pertama, penafsir yang melegitimasi tradisi patriarkal atau meletakkan

perempuan di bawah dimensi laki-laki. Kedua, penafsir kontemporer dan

kaum feminis, orientasinya adalah membongkar tradisi patriarkal dan

merekonstruksi kesederajatan laki-laki dan perempuan.

Kritik Asghar terhadap penafsir klasik yang dipengaruhi feodalisme.

Keunggulan laki-laki atas perempuan sebenarnya adalah keunggulan

fungsional. Sehingga superioritas laki-laki atas perempuan dalam kekuatan

fisik dan akal bersifat kontekstual dan tidak bisa dijadikan sebagai pijakan

yang konsisten.

Di sinilah jelas bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan

yang sama dan setara, namun kesamaan dan kesetaraan itu tidak secara

mutlak karena ada beberapa hal yang kodrati bagi perempuan seperti

menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Dengan demikian, laki-

laki memang memiliki kesamaan dan kesetaraan, tidak ada subordinasi

dominasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga hubungan keduanya dapat

dipahami secara fungsional. Perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam

berbagai bidang dikarenakan keterbatasan masing-masing, yang hanya bisa

dilengkapi atau disempurnakan oleh lawan jenisnya baik laki-laki atau

perempuan. Di sini jelas bahwa laki-laki dan perempuan memiliki keterikatan

dan ketergantungan satu sama lain, artinya bahwa tidak ada perbedaan

kedudukan laki-laki dan perempuan. Jelas, dalam kehidupan ini yang ada
97

hanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tidak ada pendiskreditan

pada perempuan serta subordinasi dominasi laki-laki atas perempuan.

Sehubungan dengan hadis tentang terputusnya salat karena

melintasnya perempuan itu tidak dapat dipahami secara tekstual. Di sini ada

dua kemungkinan pemahaman bahwa hadis tersebut dapat dikompromikan

dengan hadis ‘Āisyah, wanita yang dimaksud di sini adalah wanita tertentu

yang memiliki sifat-sifat yang mengajak pada kejahatan. Jelasnya wanita

yang menyandang sifat setan, mengganggu kekhusyukan salat. Kemungkinan

pemahaman kedua, ialah bahwa memutuskan salat tersebut tidak dapat

diartikan sebagai membatalkan salat, namun cenderung pada merusak salat

dalam arti mengurangi kekhusyukan salat saja, sehingga konsekuensinya

bahwa jika ada laki-laki yang melintas di depan orang salat, maka akan

merusak salat pula, yakni mengurangi kekhusyukan salat. Hal itu juga akan

mengurangi adanya bias jender yang terjadi pada hadis tersebut. Islam

membawa ajaran penyetaraan laki-laki dan wanita tidak ada pendiskreditan

perempuan. Oleh karena itu, penulis memahami bahwa melintasnya wanita

tidak dapat memutuskan salat dalam arti membatalkan salat, namun dapat

merusak salat yakni mengurangi kekhusyukan salat. Implikasinya adalah salat

terganggu kekhusyukannya sehingga tidak dapat berkonsentrasi penuh dalan


98

menghadap Tuhan dalam ritual salatnya. Hal tersebut diperjelas oleh hadis

Nabi saw. sebagai berikut168:

‫ض ِر َم ْولَى ُع َم َر ْب ِن ُعَب ْي ِداللَّ ِه َع ْن‬ َّ ‫ك َع ْن أَبِي‬


ْ ‫الن‬ ٌ ‫َخَب َرَنا َم ِال‬ْ ‫ف قَ ا َل أ‬ َ ‫وس‬ ِ َّ
ُ ‫َح َّدثََنا َع ْب ُدالله ْب ُن ُي‬
‫ول اللَّ ِه‬
ِ ‫َن َز ْي َد ْاب َن َخ ِال ٍد أَرس لَهُ ِإلَى أَبِي ُجه ْيٍم َي ْس أَلُهُ م ا َذا س ِمع ِم ْن رس‬
ُ َ َ َ َ َ َ ْ َّ ‫ُب ْس ِر ْب ِن َس ِع ٍيد أ‬
‫ص لَّى‬ ِ َّ
َ ‫ال َر ُس و ُل الله‬ َ َ‫ال أَُبو ُجهَْيٍم ق‬ َ َ‫ص لِّي فَق‬ ِ َّ ِ
َ ‫ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم في اْل َم ِّار َب ْي َن َي َد ِي اْل ُم‬
َّ َّ
َ
ِ ِ ِ ِّ ‫اللَّهم َعلَْيه وسلم لَو َيعلَم اْلم ُّار َب ْين َي َد ِي اْلم‬
َّ ِ
ُ‫ين َخ ْي ًرا لَ ه‬ َ ‫ف أ َْرَبع‬ َ ‫َن َيق‬ ْ ‫ان أ‬َ ‫ص لي َم ا َذا َعلَْي ه لَ َك‬ َ ُ َ َ ُْ ْ ََ َ
ِ َ َ‫ض ِر اَل أ َْد ِري أَق‬ َّ ‫َن َي ُم َّر َب ْي َن َي َد ْي ِه قَا َل أَُبو‬
ً‫ين َي ْو ًما أ َْو َش ْه ًرا أ َْو َسَنة‬
َ ‫ال أ َْرَبع‬ ْ ‫الن‬ ْ ‫ِم ْن أ‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abdullãh bin Yūsuf berkata, telah
mengkabarkan kepada kami Malik, dari Abī Nadhr Maula ‘Umar bin
Ubaidillãh dari Busrin bin Sa’īd, sesungguhnya Zaid bin Khãlid
menyuruh dia pergi kepada Abū Juhaim menanyakan apa yang telah
didengarnya dari Rasulullah tentang perkara orang yang melintas di
hadapan orang yang salat. Abū Juhaim berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Kalau sekiranya orang yang melintas di hadapan orang yang
salat itu mengetahui akan dosanya, niscahya berdiri empat puluh tahun
lamanya lebih baik daripada melintas di hadapan orang yang salat.

Di sini jelas dipaparkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan tidak

boleh melintas di depan orang yang salat. Tidak ada pembedaan antara laki-

laki atau perempuan. Hal ini dapat dilihat dari lafal ‫ المار‬yang menunjukan

keumumannya yang mencakup seluruh jenis manusia baik itu laki-laki atau

perempuan karena damir ‫ هو‬yang bersifat umum tanpa pengkhususan pada

jenis tertentu, sehingga keduanya mendapat bagian atas larangan ini karena

keduanya sama-sama dapat mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan orang


168
Imãm Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’il bin Ibrahīm ibn Mughīrah bin Bardazaih al-
Bukhari al-Ju’fi, Şahīh Bukhãrī, Juz I (Beirūt: Dãr al-Fikr,1981), hlm. 129. Lihat juga Ahmad bin Ali
bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī , op. cit., hlm. 584-586. Lihat juga Abū Abbãs Syihãbuddīn
Ahmad bin Muhmmad bin al-Qasthãlanī, Irsyãd al-Sãrī li Syarh Şahīh al-Bukhãrī, op. cit., hlm. 471.
99

yang salat jika melintasi di depannya. Akibatnya, salat menjadi rusak,

terkurangi kekhusyukannya, namun tidak sampai berakibat fatal yakni

membatalkan salat tersebut.

Selanjutnya melihat bangunan tempat salat (masjid) sekarang tidak

memungkinkan dilintasi oleh tiga hal tersebut yang telah menerapkan konsep

satir sebagai pembatas salat. Dengan bentuk bangunan yang sedemikian rupa

akan memberikan ketenangan dan kekhusyukan orang yang salat tanpa ada

gangguan nyata yang dapat memecahkan konsentrasinya bermunajat

menghadap-Nya.

Dari berbagai informasi yang ada, dapat diambil satu nilai ajaran Islam

tentang salat bahwa salat yang dilaksanakan di kebun, jalan, tanah lapang atau

tempat terbuka maka harus menggunakan satir sebagai pembatas salat yang

meminjam bahasa Fatima dengan kiblat simboliknya agar tidak ada

sesuatupun yang dapat melintas di depan orang yang salat yang dapat

memutuskan salat dalam arti merusak salat, menganggu pelaksanaan ritual

salat sehingga mengurangi kekhusyukan salat, tidak sampai level

membatalkan salat.

Dalam memahami hadis yang menjelaskan bahwa salat dapat terputus

karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, penulis juga mencoba melihat

dari dua perspektif pemahaman yakni mencermati pemaknaan dan

pemahaman terhadap hadis tersebut dilihat dari berbagai lingkup kajian dan

juga perspektif keilmuan baik dari fikih maupun tasawuf. Dilihat dari kajian
100

kebahasaan, bahwa ‫قطع الصالة‬ dimaknai dengan memutuskan salat dalam

arti membatalkan salat atau merusak salat, penulis cenderung memaknainya

dengan merusak salat artinya mengurangi kekhusyukan dan konsentrasi salat

saja, tidak sampai level membatalkan salat. Implikasinya adalah

berkurangnya atau hilangnya substansi salat dari sudut pandang kekhusyukan

salat dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai derajat

ketakwaan di sisi-Nya.

Menindaklanjuti pendapat Syãfi’ī bahwa terputusnya salat dimaknai merusak


salat, artinya sekedar mengurangi kekhusyukan salat, bukan membatalkaan
salat.169 Ketika merujuk pada pemaknaan memutuskan salat, hadis tersebut
dapat dipahami sebagai membatalkan salat atau merusak salat.

Dengan demikian, hadis tersebut harus dilihat melalui kacamata, cara pandang
dan perspektif yang berbeda. Jika ditinjau dari perspektif fikih, bahwa salat
memiliki tata cara sesuai ketentuan syariat. Dalam syariat, tidak ada yang
menjelaskan bahwa melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat memutuskan
salat dalam arti membatalkan salat, namun merusak salat. Para fuqahã’, yaitu
Hanafī, Hambalī, Syãfi’ī dan Malikī dalam menanggapi hadis tersebut,
mereka sepakat memahami bahwa salat itu dapat terputus karena melintasnya
anjing, keledai dan wanita dalam arti hanya merusak salat yakni mengurangi
konsentrasi dan kekhusyukan salat di saat bermunajat dengan Allah.
Implikasinya adalah mengurangi kesempurnaan ritual salat. Di sini proporsi
kekhusyukan salat itu berkurang karena adanya beberapa gangguan yang
melintasinya yakni anjing, keledai dan wanita. Dengan begitu salat tidak
menjadi batal sehingga tidak harus mengulang salat dari awal ritualnya.
Pemahaman yang demikian itu berangkat dari adanya ketentuan syariat bahwa
ada beberapa hal yang dapat membatalkan salat dalam arti fatal dan makna
kebahasaan serta dari berbagai data-data sebagaimana dalam Bab III dari
hadis-hadis tematik, konfirmasi petunjuk al-Qur’an dan analisis terhadap data
yang ada. Sehingga term hadis ini, hanya masuk pada kategori merusak salat.
Kemudian tiga hal ini pula tidak dapat diartikan secara tekstual, apa kata teks,
namun harus dipahami secara lebih luas, ada kemungkinan tiga hal tersebut
hanya sebagai simbol dari setan yang memang telah memiliki profesi
169
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, op. cit., hlm. 227-228. Lihat juga Ahmad
bin Ali ibn Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī, op. cit., hlm. 589.
101

mengganggu manusia dalam segala hal gerak-gerik dan tindakan kebaikan


manusia.
Telah diketahui juga bahwa salat menjadi batal menurut syariat karena
beberapa hal yaitu makan dan minum dengan sengaja, berbicara dengan
sengaja, mengerjakan pekerjaan banyak dengan sengaja, tertawa terbahak-
bahak, meninggalkan suatu rukun dan syarat sah salat dengan sengaja dan
tidak ada udzur. Lebih jelasnya, dapat dilihat pada bab II dari skripsi ini.
Ditinjau dari perspektif tasawuf, salat itu harus dilaksanakan dengan penuh
konsentrasi dan kekhusyukan. Jika salat tidak dilakukan dengan begitu maka
salat tersebut tidak berarti apapun. Dalam perspektif tasawuf, kekhusyukan
salat termasuk pada syarat sah salat, sehingga jika tidak terpenuhi salah satu
dari syarat sah salat tersebut, yakni kekhusyukan salat, maka salat akan
menjadi batal karena kekhusyukkannya terganggu atau terpecahkan oleh
melintasnya wanita yang menebarkan harum kebahagiaan dunia. Inti dan
substansi dari salat adalah kesempurnaan salat yang dilakukan dengan penuh
kekhusyukan dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, bermunajat di
hadapan-Nya dan mengharap ridha dari-Nya serta mencapai derajat
ketakwaan di sisi Allah. Jelas, salat dapat terganggu kekhusyukannya karena
melintasnya anjing, keledai dan wanita. Menurut perspektif tasawuf, jika
kekhusyukan salat telah hilang, maka hilang pulalah essensi salat tersebut.
Implikasinya, salat telah menjadi batal, sehingga harus diulang kembali
sampai salat dapat dilakukan dengan penuh kekhusyukan. Ketiga hal dalam
hadis tersebut, yaitu anjing, keledai dan wanita itu juga tidak dapat dimaknai
tekstual sebagaimana dijelaskan sebelumnya tersebut di atas.
Kemudian jika teks hadis tersebut dikontekstualisasikan dengan

kondisi sekarang, maka ketiga hal tersebut tepatnya dimaknai dengan setan

yang mengganggu salat dari sisi kekhusyukannya. Setan adalah bentuk atau

sifat yang dapat menimpa pada semua makhluk yang memiliki profesi

mengganggu ketenangan hidup manusia yang melakukan kebaikan dalam

rangka mencapai derajat ketakwaan kepada Allah swt. Setan selalu

melakukan kejelekan dan kejahatan, tidak menyukai kebaikan. Kalaupun

diartikan secara tekstual, maka hadis tersebut tidak berarti apapun juga bagi

kehidupan sekarang. Akibatnya hadis tersebut tidak memiliki peran apapun


102

dengan kondisi kekinian. Hal itu disebabkan kondisi kekinian yang sudah

jauh berbeda seiring dengan bergulirnya waktu dengan berbagai perubahan

sepanjang zaman. Untuk itu, anjing, keledai dan wanita akan lebih tepat

dimaknai dengan setan, sehingga hadis tersebut disajikan dalam bentuk

ungkapan simbolik dari setan yang dapat mengganggu kekhusyukan salat.

Satu hal yang tak terlupakan bahwa setan dapat berwujud dalam bentuk apa

saja untuk mengganggu dan menggoda manusia terutama ketika manusia

berbuat kebaikan dan ibadah untuk mencapai derajat ketakwaan kepada

Allah.

B. Implikasi Hadis Tentang Terputusnya Salat karena Melintasnya Anjing,

Keledai dan Wanita Terhadap Ritual Pelaksanaan Ibadah Salat

Dengan melihat relevansi antara teks dan konteks sekarang dengan

pertimbangan ketentuan syariat tentang kaifiyah salat dan pemaknaan

kebahasaan teks hadis serta data-data syarh matan hadis dengan peluasan

pemahaman dengan makna generalisasinya, hadis tersebut dapat dipahami

dengan yang paling mendekati kebenaran bahwa yang dimaksud daripada

lafal ‫ قط••ع الص••الة‬adalah merusak salat, dalam arti hanya mengurangi

kekhusyukan salat. Di sinilah nilai dan substansi dari kesempurnaan salat itu

terkurangi karena tidak terpenuhi satu organ dari serangkaian runtutan

pelaksanaan ritual salat.


103

Dengan melihat kondisi kehidupan kekinian yang serba terkonstruk

dengan bangunan dan fasilitas kehidupan yang memadai, maka salat tidak

lagi dilakukan di jalanan, tapi dilaksanakan di tempat ibadah khusus, yakni

disebut dengan masjid atau musholla. Dengan bentuk bangunan masjid atau

musholla tersebut, salat dapat terkondisikan dengan baik, sehingga konsep

satir yang diinginkan sudah terpenuhi dengan adanya dinding tembok yang

membatasinya.

Konsekuensi hadis tersebut bahwa kekhusyukan salat harus selalu

dijaga dan diperhatikan karena salat yang dilakukan dengan khusyuk akan

memberikan ketenangan dan kenyamanan di jiwa. Salah satu caranya

mencegah terpecahnya konsentrasi menghadap Allah dengan menghindari

melintasnya sesuatupun di depannya yang dapat berbentuk apa saja dengan

meletakkan satir di depannya.

Ditinjau dari sisi historis, inti dari hadis tersebut adalah bahwa jika

salat dilaksanakan pada tempat yang terbuka seperti jalan, tanah lapang dan

lain-lain maka harus mengunakan pembatas salat (satir) agar terhindar dari

beberapa hal yang dapat melintas di depannya baik itu berupa anjing, keledai,

wanita, kendaraan atau bentuk lain yang dapat memecahkan konsentrasi dan

kekhusyukan seseorang yang salat. Dalam konteks kekinian hal yang banyak

melintas di jalanan adalah kendaraan yang berlalu lalang sebagai alat

transportasi. Berbeda dengan zaman Nabi dahulu, alat transportasi adalah

keledai yang memungkinkan melintas di depan sekelompok orang yang salat.


104

Selanjutnya pemahaman hadis tersebut tidak hanya sempit pada ketiga

hal saja anjing, keledai dan wanita saja yang dapat memutuskan salat, namun

juga meluas pada segala bentuk-bentuk lain seperti benda yang indah dan

menarik, jenis hewan yang selain kedua tersebut di hadis, atau kendaraan

dalam konteks sekarang yang sering melintas di mana saja yang dapat

mengurangi kekhusyukan salat. Hadis ini hanya saja mengambil sampel pada

dua hewan tersebut dan wanita yang biasanya mereka menjadi simbol dari

hal-hal yang mudah memecahkan konsentrasi seseorang dalam segala hal

gerak langkahnya karena kelincahannya, daya tariknya dan simbol sesuatu

yang suka mengajak pada kejahatan dan menjauhi serta membenci segala

kebaikan sehingga akan melakukan apa saja untuk menggagalkan segala

tindakan kebajikan.

Ketiga hal yang terdapat dalam hadis tersebut yaitu anjing, keledai

dan wanita adalah beberapa bentuk hal-hal yang dapat mengganggu

pelaksanaan kekhusyukan salat. Ketiganya adalah bentuk implementasi dari

setan yang memiliki karakter menjerumuskan pada kejahatan dan menjauhi

segala bentuk kebajikan termasuk halnya ibadah salat. Setan adalah salah satu

golongan jin yang dapat menjelma dalam berbagai bentuk rupa. Ada pula

yang mengatakan bahwa setan adalah sifat jahat yang mengajak pada

kebatilan dan menjauhi segala kebajikan yang dapat melekat pada siapa saja.

Setan sebagai makhluk yang dianggap selalu mengganggu tindakan manusia

dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah dalam ritual ibadah salatnya.
105

Kemudian implikasi yang mendasar dilihat dari perspektif fikih, salat

tidak menjadi batal secara fatal karena beberapa hal yang dapat mengganggu

konsentrasi dan kekhusyukan orang yang salat baik berupa melintasnya

sesuatu di hadapannya atau terlintasnya fikiran yang menyimpang dari

substansi salat tersebut. Hal itu hanya berada dalam kategori merusak salat,

maksudnya essensi, inti dan kesempurnaan salat terkurangi seiring dengan

berkurangnya kekhusyukan salat.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan
Pembahasan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing,
keledai dan wanita dengan kajian ma’ãnī al-hadīs, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Pemaknaan hadis tentang teputusnya salat karena melintasnya anjing,

keledai dan wanita perlu ditinjau kembali untuk memperoleh

pemahaman yang tepat. Salat sebagai ibadah mahdah, yang harus

dilaksanakan sesuai ketentuan syariat. Dengan mempertimbangkan

ketentuan syariat dalam pelaksanaan salat dan historisitas kondisi Arab

pada masa Nabi dibandingkan dengan kondisi masa sekarang yang


106

jauh berbeda, maka hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual.

Kemudian kandungan hadis tersebut juga bersifat universal, bahwa

tiga hal tersebut, yakni anjing, keledai dan wanita merupakan simbol

dari beberapa hal yang dapat mengurangi kekhusyukan salat. Artinya,

adalah segala sesuatu bentuk atau wujud yang menyandang sifat setan

yang dapat mengganggu kekhusyukan salat tersebut. Dengan adanya

beberapa data-data dan informasi yang menjelaskan hal-hal yang dapat

membatalkan salat secara fatal dan juga beberapa hal yang dapat

mengurangi kekhusyukan salat, maka salat harus dilaksanakan dengan

penuh kekhusyukan dan berusaha menghindari hal-hal yang dapat

mengganggu kekhusyukan salat dan mengurangi inti dan substansi

dari salat tersebut.

Dengan melihat kondisi kehidupan kekinian dengan adanya bangunan

masjid dan musholla sebagai tempat salat di mana-mana, maka hal ini

akan memudahkan seorang muslim untuk melaksanakan ritual ibadah

salat. Di sinilah konsep satir telah terlaksana, dengan adanya dinding-

dinding yang membatasinya, sehingga penggunaan konsep kiblat

simbolik jarang terjadi di masa sekarang. Sebenarnya pemahaman

terhadap hadis tersebut tidak sempit sebagaimana teks adanya. Hadis

tersebut hanya relevan pada konteks kehidupan Rasul jika dimaknai

secara tekstual, tetapi harus dikontekstualisasikan di masa sekarang

sebagai refleksi dan wacana pemikiran hadis dengan menguji


107

kevaliditasannya dan dipahami secara tepat dan proporsional, bahkan

mendekati kebenaran. Ditinjau dari sisi kebahasaan, sosio-historis,

kajian tematik-komprehensif, kajian konfirmasi dengan petunjuk-

petunjuk al-Qur’an dan berbagai perspektif keilmuan, maka hadis

tersebut dapat dipahami lebih luas dengan merelevansikan teks dan

konteks dengan berbagai perspektif. Dilihat dari perspektif fikih,

memutuskan salat berarti sebatas merusak salat, mengurangi

kekhusyukan salat saja, tetapi dapat dipahami dengan membatalkan

salat, jika dilihat dari perspektif tasawuf. Kemudian ketiga hal tersebut

hanyalah simbol dari pengganggu kekhusyukan salat. Pada hakikatnya

yang dapat memutuskan salat dalam arti merusak salat adalah setan

dan atau segala bentuk wujud yang menyandang sifat-sifat setan.

Saran-saran

Dalam studi hadis, perlu kiranya menggunakan metodologi kritik hadis

yang baru, sehingga metodologi kritik hadis itu tidak statis, namun

mampu berdialog dengan perkembangan metodologi untuk

memperoleh sebuah metodologi yang baru. Lebih jauh kritik sanad

dan matan mampu menjadi problem solver, memecahkan persoalan

umat di era kontemporer.


108

Studi kritik hadis dengan menggunakan berbagai pendekatan, maka akan

mendapatkan hasil yang optimal. Karena keterbatasan pendekatan

yang dilakukan penulis, maka hasil penelitian pun amat sempit.

Pembahasan seputar hadis-hadis yang terkait dengan salat amat diperlukan

karena salat adalah sarana mewujudkan nilai-nilai ketakwaan. Dengan

demikian, perlu kiranya melakukan kajian yang mendalam tentang

ma’ãnī al-hadīs dalam kaitan dengan ilmu fikih terutama cakupannya

pada ibadah mahdah. Di sinilah kemudian implikasinya pada hukum

syariat sabagai aturan hukum Islam.

Pembahasan hadis-hadis yang bernuansa wacana jender memiliki banyak

sisi keunikan dilihat dari sisi periwayatnya ataupun dari pemaknaan

matan hadis dilihat dari berbagai perspektif. Ada banyak sisi dan cara

pandang yang dapat diteliti dan dikembangkan dalam memahami

hadis-hadis yang berbau misoginis. Semakin banyak pemahaman yang

muncul, akan memperluas wacana keilmuan hadis dalam khazanah

pemikiran hadis. Sehingga penulis mengharapkan masih ada penulis

lain yang berminat untuk meneliti atau mengkaji hadis-hadis yang

berbau misoginis lainnya.

Kata Penutup
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan ampunan-
Nya yang tak pernah henti, cahaya ilmu yang selalu terpancarkan, yang telah memberikan kekuatan, kemampuan dan
kesabaran bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
109

Peranan dosen pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk

memberikan bimbingan, saran, inspirasi dan motivasi selama proses penulisan

skripsi ini. Dengan demikiaan, penulis mengucapkan banyak terimakasih.

Juga pada semua pihak yang ikut berperan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis telah mengerahkan segala usaha dan kemampuan untuk

meyelesaikan skripsi ini, meskipun masih banyak kekurangan dan kesalahan,

maka kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Semoga

skripsi ini bermanfaat dalam khazanah perkembangan pemikiran pemahaman

hadis. Akhirnya, hanyalah syukur yang dapat kami sampaikan kepada Allah

Ta’ala yang selalu melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada hambanya ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Abi Tayyib Muhammad Syamsul Haq. Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu
Dawud. Madinah: Maktabah Salafiyah,1968

Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, Juz IV. Beirūt: Dar
al-Fikr, t.th

Adlabi, Sholehuddin. Manhaj Naqd al-Matan. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983

Amin, Qasim. Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat “Islam Laki-


Laki”Menggurat Perempuan Baru. Yogyakarta: IRCiSod, 2003

Asqalãnī, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Barī bi Syarh Sahīh Imãm Abī Abdillah
Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th

Asqalãnī, Ibnu Hajar. Al-Ishãbah fi Tamyīz ash-Shahãbah, Juz VII. Beirūt: Dãr al-
Kutub al-Ilmiyyah, t.th

Bakar, Anton. Metode Research. Yogyakarta: Kanisius, 1992


110

Bakri, Oemar. Islam Menentang Sekularisme Jakarta: Mutiara, 1984

Dainuri, Imam Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainūrī. Ta’wil Mukhtalif al-
Hadis. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995

Darimi, Abū Muhammad bin Bahramī. Sunan ad-Dãrimi, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr,
t.th

Djamaris, Zainal Arifin. Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan Kaifiat


dan Menggali Latar Filosofinya. Jakarta: Grafindo Persada, 1997

Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan


Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002

Fakih, Mansour. Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam.


Surabaya: Risalah Gusti, 2000

Gazãlī, Imam Abū Hamid. Ihyă' Ulūm ad-Dīn, cet. II. Beirūt: Dãr al-Kitab al-Islami,
t.th

Ghafur, Waryono Abdul. Gender dan Islam Teks dan Konteks.Yogyakarta: PSW
IAIN Sunan Kalijaga, 2003

Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW., antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1993

Habsyī, Muhammad Bãqir. Fqih Praktis, Menurut al-Qur’an, As-Sunnah dan


Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 1999

HAM, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Pada Perkembangan Hukum


Islam. Semarang: Aneka Ilmu,2000

Hasan, Ibrahim Hasan. Tarīkh al-Islãm as-Siyãsi wa ad-Dinī wa as-Saqãfī wa al-


Ijtimã’i, Juz I. Qahirah: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996

Ibn Mandhur, Abū Fadhl Jamãluddīn Muhammad bin Makram. Lisãn al-‘Arab, Jilid
VIII. Beirut: Dar Shadir, t.th

Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001
111

Isfahãnī, Ar-Rãghib. al-Mu'jam al-Mufradãt li Alfãdh al-Qur’ãn al-Karīm. Beirūt:


Dãr al-Fikr, t.th

Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,1992

Isma’il, Syuhudi. hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Tela’ah Ma’ani al-
Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporaal dan Lokal. Jakarta:
Bulan Bintang, 1994

Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994

Izzī, Abdul Mun’īm Shãlih al-Aly. Difã’an Abī Hurairah, Cet. II. Beirūt: Dãr al
Qalam, 1981

Kafūrī, Abū al-Ulã Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr. Tuhfat al-
Ahważī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995

Khallãf, Abdul Wahhãb. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terj. Moch. Tholchah Mansoer.

Bandung: Penerbit Risalah, 1985

Marãgī, Ahmad Musţofă. Tafsīr al-Marăgī, Jilid I. Mesir: Multazam at-Tiba' wa an-
Nasyr Syirkah Maktabah wa Matha'ah Mustofa al-Babi, 1970

Mernissi, Fatima, Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan
Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSSPA-Yayasan
Prakarsa,1995

Mernissi, Fatima. The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens
Rights in Islam, Terj. Mary Jo Lakeland. Addison: Wesley Publishing
Company, 1991

Mernissi, Fatima. Wanita dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I. Bandung:
Pustaka, 1994

Mughīrah, Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah. Sahīh
Bukhãrī, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.


Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
112

Naisyabury, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairy. al-Jami’
al-Sahih Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Nawãwī. Sahīh Muslim bi Syarh an-Nawãwī, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981

Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, terj. Muhammad al-
Baqir. Bandung: Karisma, 1995

Qasthalany, Abu Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad. Irsyad al-Sary li Syarh
Sahih al-Bukhary. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Qazwiny, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid. Syarh Sunan Ibn Majah. Beirut: dar
al-Fikr, t.th

Rahbawī, Abdul Qãdir. Salat Empat madzhab. terj. Zeid Husein al-Hãmid dan M.
Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994

Rahman, Asjmuni Abdur. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Yogyakarta:


Lembaga Pengajian dan Pengalaman Islam “LPPI”,1996

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995

Ridhã, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur'an al-Hakīm, as-Syahīr min Tafsīr al-
Manăr, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibã'at wa an-Nasyr, t.th

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Bandung: al-Ma'arif , 1977

Salih, Subhi. Ulum al-Hadis Wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-‘Um al-Malayin,1997

Shieddieqy, M. Hasbi. Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983

Shieddieqy, M. Hasbi. Pedoman Shalat. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999

Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS,1999

Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994

Suyūtī, Jalãluddin. Sunan an-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II. Beirūt: Dãr
al-Fikr, t.th

Tabarī, Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr. Jămi al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I.
Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibă'at Wa Nasyr, 1982
113

Tahhan, Mahmud. Taisir Musthala al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Wensick, A. J.. Mu’jam Mufahras Li alfadhil Hadis al-Nabawi. Juz V. Leiden: E.J.
Brill,1965

Wensick, A.J.. Miftah Kunuz as-Sunah. Mesir: Maktabah al-Misriyyah, 1924

Zaid, Muhammad Abd al-Hãmid Abu. Makãnah al-Mar’ah fi al-Islãm. tkp.: Dar an-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979
114
115

DAFTAR PUSTAKA

Ābadi, Abī Tayyib Muhammad Syamsul Haq. Aunul Ma’būd Syarh Sunan Abū
Dãwud. Madīnah: Maktabah Salafiyah,1968

Al-Adlabi, Şalãh al-Dīn. Manhãj Naqd al-Matan. Beirūt: Dãr al-Afaq al-Jadīdah,
1983
116

Amin, Qasim. Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat “Islam Laki-


Laki”Menggurat Perempuan Baru, terj. Syariful Alam. Yogyakarta: IRCiSod,
2003

Al-Asqalãnī, Ahmad bin Alī bin Hajar, Fath al-Bãrī bi Syarh Sahīh Imãm Abī
Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah,
t.th

_______. Al-Işãbah fi Tamyīz al-Şahãbah, Juz VII. Beirūt: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah,
t.th

Bakar, Anton. Metode Research. Yogyakarta: Kanisius, 1992

Bakri, Oemar. Islam Menentang Sekularisme Jakarta: Mutiara, 1984

Al-Dainūrī, Imam Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah. Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs.
Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995

Al-Darimi, Abū Muhammad bin Bahramī. Sunan al-Dãrimi, Juz I. Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th

Djamaris, Zainal Arifin. Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan Kaifiat


dan Menggali Latar Filosofinya. Jakarta: Grafindo Persada, 1997

Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk.. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan


Gender dalam Islam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002

Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
F.A.. Yogyakarta: LSSPA, 2000

_______. Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1999

_______. Matinya Perempuan, Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki,


Transformasi al-Qur’an, Perempuan dan Masyarakat Modern, terj. Ahmad
Affandi dan Muh. Ihsan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003

Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan


Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002

Fakih, Mansour. Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam.


Surabaya: Risalah Gusti, 2000
117

Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993

Habsyī, Muhammad Bãqir. Fiqih Praktis, Menurut al-Qur’an, Al-Sunnah dan


Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 1999

HAM, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Pada Perkembangan Hukum


Islam. Semarang: Aneka Ilmu,2000

Hasan, Ibrahim Hasan. Tarīkh al-Islãm as-Siyãsi wa ad-Dinī wa as-Saqãfī wa al-


Ijtimã’i, Juz I. Qãhirah: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996

Ibn Hazm, Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd, al-Muhallã, Juz IV. Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th

Ibn Mandur, Abū Fadl Jamãluddīn Muhammad bin Makram. Lisãn al-‘Arab, Jilid
VIII. Beirūt: Dar Shadir, t.th

Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001

Isfahãnī, Ar-Rãghib. al-Mu'jam al-Mufradãt li Alfãz al-Qur’ãn al-Karīm. Beirūt: Dãr


al-Fikr, t.th

Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,1992

_______. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Tela’ah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang,
1994

_______. Kaedah kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988

Itr, Nuruddin.‘Ulūm al-Hadīs 2, terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994

Izzī, Abdul Mun’īm Sãlih al-Aly. Difã’an Abī Hurairah, Cet. II. Beirūt: Dãr al
Qalam, 1981

Juynboll, G.H.A.. Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan.


Bandung: Mizan, 1999
118

Al-Katūrī, Abū al-Ulã Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr. Tuhfat


al-Ahważī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995

Al-Marãgī, Ahmad Musţofă. Tafsīr al-Marăgī, Jilid I. Mesir: Multazam at-Tiba' wa


an-Nasyr Syirkah Maktabah wa Matha'ah Mustofa al-Babi, 1970

Mernissi, Fatima, Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan
Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSSPA-Yayasan
Prakarsa,1995

_______. The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens Rights
in Islam, terj. Mary Jo Lakeland. Addison: Wesley Publishing Company, 1991

_______. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I. Bandung: Pustaka,
1994

Al-Mughīrah, Abī Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah.
Şahīh Bukhãrī, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.


Surabaya: Pustaka Progressif, 1997

Al-Naisyãbūrī, Imãm Abū Husain Muslim bin Hajjãj Ibn Muslim al-Qusyairī. al-
Jãmi’ al-Şahīh Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th

Al-Nawãwī. Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981

Al-Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-
Baqir. Bandung: Karisma, 1995

Al-Qasţalanī, Abū Abbas Syihãbuddīn Ahmad bin Muhammad. Irsyãd al-Sãrī li


Syarh Şahīh al-Bukhãrī. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.

Al-Qazwīnī, Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd. Syarh Sunan Ibn Mãjah. Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th

Rahbawī, Abdul Qãdir. Salat Empat madzhab, terj. Zeid Husein al-Hãmid dan M.
Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994

Ilyas, Yunahar dan M. Mas’udi. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis.


Yogyakarta: Lembaga Pengajian dan Pengalaman Islam “LPPI”,1996
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 2000
119

Ridhã, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur'an al-Hakīm, as-Syahīr min Tafsīr al-
Manăr, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibã'at wa an-Nasyr, t.th

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: al-Ma'arif , 1977

Salih, Subhi. Ulūm al-Hadīs Wa Mustalahuhu. Beirūt: Dãr al-‘Um al-Malayin,1997

Shieddieqy, M. Hasbi. Pedoman Shalat. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999

Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS,1999

Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994

Suyūtī, Jalãluddīn. Sunan al-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II. Beirūt: Dãr
al-Fikr, t.th

Tabarī, Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr. Jămi’ al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I.
Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibă'at Wa Nasyr, 1982

Tahhan, Mahmud. Taisīr Mustala al-Hadīs. Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Wensick, A. J.. al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfãz al-Hadīs al-Nabawī. Juz V. Leiden:


E.J. Brill,1965

_______. Miftãh Kunūz as-Sunah, terj. Muhammad Fu’ad Abdul al-Baqiy. Mesir:
Maktabah al-Misriyyah, 1924

Zaid, Muhammad Abd al-Hãmid Abu. Makãnah al-Mar’ah fī al-Islãm. tkp.: Dãr an-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979

Zayd, Nasr Hamid Abu. Dekonstruksi Gender, Kritik Wacana Perempuan dalam
Islam, terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta:
SAMHA, 2003
DAFTAR PUSTAKA

Ābadi, Abī Tayyib Muhammad Syamsul Haq. Aunul Ma’būd Syarh Sunan Abū
Dãwud. Madīnah: Maktabah Salafiyah,1968

Al-Adlabi, Şalãh al-Dīn. Manhãj Naqd al-Matan. Beirūt: Dãr al-Afaq al-Jadīdah,
1983
120

Amin, Qasim. Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat “Islam Laki-


Laki”Menggurat Perempuan Baru, terj. Syariful Alam. Yogyakarta: IRCiSod,
2003

Al-Asqalãnī, Ahmad bin Alī bin Hajar, Fath al-Bãrī bi Syarh Sahīh Imãm Abī
Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah,
t.th

_______. Al-Işãbah fi Tamyīz al-Şahãbah, Juz VII. Beirūt: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah,
t.th

Bakar, Anton. Metode Research. Yogyakarta: Kanisius, 1992

Bakri, Oemar. Islam Menentang Sekularisme Jakarta: Mutiara, 1984

Al-Dainūrī, Imam Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah. Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs.
Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995

Al-Darimi, Abū Muhammad bin Bahramī. Sunan al-Dãrimi, Juz I. Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th

Djamaris, Zainal Arifin. Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan Kaifiat


dan Menggali Latar Filosofinya. Jakarta: Grafindo Persada, 1997

Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk.. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan


Gender dalam Islam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002

Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
F.A.. Yogyakarta: LSSPA, 2000

_______. Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1999

_______. Matinya Perempuan, Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki,


Transformasi al-Qur’an, Perempuan dan Masyarakat Modern, terj. Ahmad
Affandi dan Muh. Ihsan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003

Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks dan


Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2002

Fakih, Mansour. Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam.


Surabaya: Risalah Gusti, 2000
121

Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993

Habsyī, Muhammad Bãqir. Fiqih Praktis, Menurut al-Qur’an, Al-Sunnah dan


Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 1999

HAM, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Pada Perkembangan Hukum


Islam. Semarang: Aneka Ilmu,2000

Hasan, Ibrahim Hasan. Tarīkh al-Islãm as-Siyãsi wa ad-Dinī wa as-Saqãfī wa al-


Ijtimã’i, Juz I. Qãhirah: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996

Ibn Hazm, Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd, al-Muhallã, Juz IV. Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th

Ibn Mandur, Abū Fadl Jamãluddīn Muhammad bin Makram. Lisãn al-‘Arab, Jilid
VIII. Beirūt: Dar Shadir, t.th

Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001

Isfahãnī, Ar-Rãghib. al-Mu'jam al-Mufradãt li Alfãz al-Qur’ãn al-Karīm. Beirūt: Dãr


al-Fikr, t.th

Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,1992

_______. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Tela’ah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang,
1994

_______. Kaedah kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988

Itr, Nuruddin.‘Ulūm al-Hadīs 2, terj. Mujiyo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994

Izzī, Abdul Mun’īm Sãlih al-Aly. Difã’an Abī Hurairah, Cet. II. Beirūt: Dãr al
Qalam, 1981

Juynboll, G.H.A.. Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan.


Bandung: Mizan, 1999
122

Al-Katūrī, Abū al-Ulã Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr. Tuhfat


al-Ahważī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995

Al-Marãgī, Ahmad Musţofă. Tafsīr al-Marăgī, Jilid I. Mesir: Multazam at-Tiba' wa


an-Nasyr Syirkah Maktabah wa Matha'ah Mustofa al-Babi, 1970

Mernissi, Fatima, Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan
Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSSPA-Yayasan
Prakarsa,1995

_______. The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens Rights
in Islam, terj. Mary Jo Lakeland. Addison: Wesley Publishing Company, 1991

_______. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I. Bandung: Pustaka,
1994

Al-Mughīrah, Abī Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah.
Şahīh Bukhãrī, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.


Surabaya: Pustaka Progressif, 1997

Al-Naisyãbūrī, Imãm Abū Husain Muslim bin Hajjãj Ibn Muslim al-Qusyairī. al-
Jãmi’ al-Şahīh Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th

Al-Nawãwī. Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981

Al-Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-
Baqir. Bandung: Karisma, 1995

Al-Qasţalanī, Abū Abbas Syihãbuddīn Ahmad bin Muhammad. Irsyãd al-Sãrī li


Syarh Şahīh al-Bukhãrī. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.

Al-Qazwīnī, Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd. Syarh Sunan Ibn Mãjah. Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th

Rahbawī, Abdul Qãdir. Salat Empat madzhab, terj. Zeid Husein al-Hãmid dan M.
Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994

Ilyas, Yunahar dan M. Mas’udi. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis.


Yogyakarta: Lembaga Pengajian dan Pengalaman Islam “LPPI”,1996
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 2000
123

Ridhã, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur'an al-Hakīm, as-Syahīr min Tafsīr al-
Manăr, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibã'at wa an-Nasyr, t.th

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: al-Ma'arif , 1977

Salih, Subhi. Ulūm al-Hadīs Wa Mustalahuhu. Beirūt: Dãr al-‘Um al-Malayin,1997

Shieddieqy, M. Hasbi. Pedoman Shalat. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999

Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS,1999

Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994

Suyūtī, Jalãluddīn. Sunan al-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II. Beirūt: Dãr
al-Fikr, t.th

Tabarī, Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr. Jămi’ al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I.
Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibă'at Wa Nasyr, 1982

Tahhan, Mahmud. Taisīr Mustala al-Hadīs. Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Wensick, A. J.. al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfãz al-Hadīs al-Nabawī. Juz V. Leiden:


E.J. Brill,1965

_______. Miftãh Kunūz as-Sunah, terj. Muhammad Fu’ad Abdul al-Baqiy. Mesir:
Maktabah al-Misriyyah, 1924

Zaid, Muhammad Abd al-Hãmid Abu. Makãnah al-Mar’ah fī al-Islãm. tkp.: Dãr an-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979

Zayd, Nasr Hamid Abu. Dekonstruksi Gender, Kritik Wacana Perempuan dalam
Islam, terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta:
SAMHA, 2003

Anda mungkin juga menyukai