SKRIPSI
Oleh :
CHOIRATUN NAFI’AH
NIM. 00530084
BAB I
PENDAHULUAN
adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang semua ayatnya diterima
secara mutawãtir. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-
hadis Nabi, sebagian periwayatannya secara mutawătir dan sebagian lagi secara
kedudukan qaţ’ī al-wurūd dan sebagian lagi zannī al-wurūd1, sehingga tidak
diragukan lagi orisinalitasnya. Berbeda dengan hadis Nabi yang berkategori ãhăd,
1
Lihat, misalnya Şalãh al-Dīn al-Adlabī, Manhăj Naqd al-Matan (Beirūt: Dãr al-Afaq al-
Jadīdah, 1983), hlm. 239. Maksud Qaţ’ī al-Wurūd atau Qaţ’ī as-Subūt ialah absolut (mutlak)
kebenaran beritanya, sedang Zannī al-Wurūd atau Zanni as-Subūt ialah nisbi atau relative (tidak
mutlak) tingkat kebenaran beritanya. Lebih lanjut, lihat misalnya Subhi al-Salih, Ulūm al-hadīs wa
Musţalahuhu (Beirūt: Dãr al-Ilm li al-Malayin, 1997 M), hlm. 151.
2
seperti dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan secara dikotomis,
sehingga tidak semua hadis dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual.
Di samping itu ada hal yang harus diperhatikan yang dikatakan Komaruddin
akan konteks suatu hadis, tidak bisa menjamin adanya persamaan pemahaman
pada setiap pemerhati hadis. Menurut Komaruddin Hidayat, hal ini disebabkan
oleh keadaan hadis yang pada umumnya merupakan penafsiran kontekstual dan
karena itu, menurutnya pemahaman ulama yang mengetahui sejarah hidup Rasul
akan berbeda dengan yang tidak mengetahuinya.7 Di samping itu muatan sejarah
secara detail telah banyak tereduksi, sehingga dalam sejarah pun sering
begitu jauh antara pengarang, dalam hal ini Rasulullah dengan pembaca, yaitu
umatnya, yang kemudian dihubungkan oleh sebuah teks yaitu hadis. Dengan
terpisahnya teks dan pengarangnya serta dari situasi sosial yang melahirkannya
maka implikasinya lebih jauh yaitu sebuah teks bisa tidak komunikatif lagi
dengan realitas sosial yang melingkupi pihak pembaca. Di samping itu adanya
jarak, perbedaan bahasa, tradisi dan cara berpikir antara teks dan pembaca,
dapat dipahami dengan tiga proses; yaitu memahami sudut pandang atau
gagasan para pelaku asli, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka
7
Ibid., hlm. 12.
8
Yunahar Ilyas, M. Mas’udi (ed), Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta:
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam “LPPI”, 1996), hlm. 133-134.
4
bahwa berusaha memahami suatu teks berarti mencoba memahami horizon zaman
yang berbeda untuk dipahami dan diwujudkan dalam situasi konteks masa kini.10
Hadis yang disebut sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an
telah mengalami perjalanan yang panjang, bukan hanya dalam kodifikasi dan
penelitian validitasnya, tapi juga berkembang pada “pemaknaan” yang tepat untuk
dilakukan terhadap hadis yang telah jelas validitasnya minimal hadis-hadis yang
hadis apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal atau universal, serta
apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapan saja atau mencakup
9
E. Sumaryono, Hermeneutics: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm.
62.
10
Pernyataan tersebut oleh Carl Braaten, History and Hermeneutics (Philadelphia : Fortress,
1966), hlm. 131. Hal yang serupa terdapat dalam Fakhruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Antara
Teks, Konteks dan Kontekstualisasi (Yogyakarta : Qalam, 2002), hlm. 123.
11
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), hlm. 89.
5
yang saling bertentangan. Terhadap problem yang demikian, para ulama hadis
tawaqquf.12
maka penulis meneliti dan mengkaji pemaknaan dan pemahaman yang tepat
dan wanita.
Identifikasi awal adalah apa makna salat dan bagaimana tata cara
adalah
ِِ ُ اَ ْق َوا ٌل َواَ ْف َعا ٌل ُم ْفتَتَ َحةٌ بِالتَّ ْكبِْي ِر ُم ْختَتَ َمةٌبِالتَّ ْسِل ْيِم َيتَ َعب
ٌصة ُ َّد بِهَا بِ َش َرائط َم ْخ
َ ص ْو
"Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi
dengan salam, yang dengannya kita beribadat kepada Allah, menurut syarat-syarat
yang ditentukan”.13
diri kepada Allah dan mewujudkan ketakwaan kepada Ilahi Rabbi. Dalam salat itu
syarat sah salat, rukun-rukun salat dan hal-hal yang dapat membatalkan salat.
12
Mahmud al-Tahhãn, Taisīr Mustalaha al-hadīs (Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th), hlm. 46-47.
13
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 62.
6
Adapun syarat-syarat sah salat adalah mengetahui telah masuk waktu salat, suci
dari hadas besar dan kecil, suci badan, pakaian dan tempat salat, menutup aurat
Selain itu ada beberapa hal yang membatalkan salat, yakni makan, minum
suatu rukun atau dan syarat dengan sengaja dan tak ada udzur.15
Di sisi lain ada beberapa hadis yang menjelaskan bahwa salat dapat
terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Menurut al-Mu’jam al-
karena melintasnya anjing, keledai dan wanita didapatkan dalam kitab sebagai
berikut : Şahīh Bukhărī sebanyak 2 buah, Şahīh Muslim sebanyak 4 buah, Sunan
al-Tirmiżī sebanyak 2 buah, Sunan Abū Dăwud sebanyak 3 buah, Sunan an-
Nasă’ī sebanyak 2 buah dan Sunan Ibn Măjah sebanyak 5 buah, Sunan ad-Darimī
sebanyak 1 buah dan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal sebanyak 15 buah.
melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam Kutub al-Tis'ah sebanyak 34 buah.
14
Abdul Qãdir ar-Rahbawī, Salat Empat Madzhab (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1994),
hlm. 206-215.
15
M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 183-187.
16
A. J. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfãz al-Hadīs, Jilid V (Leiden: E.J.Brill,1943),
hlm. 424-425.
7
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafs bin Ghiyãs berkata, telah
menceritakan kepada kami Abi (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada
kami al-A'masy berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahīm dari al-
Aswãd dari 'Āisyah: Disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang dapat
memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, jika melintas di hadapan
orang yang salat, maka berkata 'Āisyah: “Tuan-tuan samakan (wanita) dengan
keledai dan anjing. Sesungguhnya saya lihat Nabi saw. salat dan aku
berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan Nabi),
kemudian ada bagiku suatu keperluan dan saya tidak suka duduk mengganggu
Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki Nabi.”
Artinya:
Telah mewartakan kepada kami Abū Bakar bin Khallãd al-Bãhilī, telah
mewartakan kepada kami Yahyã bin Sa'īd, telah mewartakan kepada kami
Syu'bah, telah mewartakan kepada kami Qatãdah, dari Jãbir, dari Ibnu Abbãs,
17
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī bi Syarh Şahīh Imăm Abū 'Abdillãh
Muhammad bin Ismă'il al-Bukhărī, Juz I (t.tp: Maktabah Salafiyah, t.th.), hlm. 588.
18
Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Syarh Sunan Ibn Măjah, Jilid I (Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th), hlm.302-303.
8
dari Nabi saw., beliau bersabda: Dapat memutuskan salat, yaitu anjing hitam
dan wanita yang sudah balig-usia haid-.
terhadap hadis tersebut. Apakah hadis yang sahih akan selalau representatif untuk
Dengan demikian, problem yang paling urgen adalah bahwa secara sekilas
ada perbedaan apa yang dipaparkan ketentuan syariat tentang hal-hal yang dapat
membatalkan salat dan pernyataan hadis bahwa salat dapat terputus karena
hadis tersebut dipahami secara tekstual atau kontekstual dan kandungan hadis
tersebut bersifat temporal, lokal atau universal. Dalam redaksi hadis tersebut,
mengapa hanya melintasnya anjing, keledai dan wanita saja yang dapat
memutuskan salat. Mengapa hal ini dikhususkan pada tiga hal tersebut saja, apa
Dalam hadis yang lain lebih dikhususkan kepada melintasnya anjing hitam
dan wanita haid saja yang dapat memutuskan salat. 19 Apakah yang membedakan
19
Abī Muthīb Muhammad Syamsul al-Haq, ‘Aun al-Ma’būd, Juz II (Madinah: Maktabah
Salafiyah, 1968), hlm .399-400. Lihat dalam Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwinī, Syarh
Sunan Ibn Măjah, op. cit., hlm. 303. Lihat Abī al-‘Ula Muhammad Abdurrahmãn bin Abdirrahīm al-
9
antara anjing hitam, anjing merah dan anjing putih kemudian apa yang
menyebabkan anjing hitam saja yang dapat memutuskan salat. Ahmad bin Hanbal
Hal yang lebih fatal lagi adalah adanya anggapan penyerupaan seorang
perempuan dengan seekor anjing dan keledai dalam hal merusak salat orang yang
hadis tersebut sehingga perlu dikaji ulang dan mendalam, karena perempuan
'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī dalam kitab Syarh Sunăn Ibn Măjah22
Mubãr al-Katūrī, Tuhfãt al-Ahważī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995), hlm. 270-272. Lihat juga
Jalăluddīn al-Suyūtī , Sunan an-Nasă'ī bi Syarh Jalăludīn al-Suyūtī Wa Hăsiyah al-Imăm al-Sanadī,
Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1930), hlm. 63-64.
20
Abū 'Ulã Muhammad Abdurrahmãn Ibn Abdurrahīm al-Mubăr al-Kafūrī, Tuhfãt al-Ahważi,
op. cit., hlm. 270-272.
21
Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., antara Pemahaman Tekstual
dan Kontekstual, terj. Muhammad al-Bãqir (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 160-161.
22
Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, op. cit., hlm. 303.
10
memutuskan salat adalah merusak salat, yakni mengurangi kesibukan hati dan
Allah.24
konsep satir dengan adanya dinding. Mengapa melintasnya ketiga hal tersebut
syariat dan menurut teks hadis tersebut. Inilah kemudian menjadikan hadis
B. Rumusan Masalah
23
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Jilid IV (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1985), hlm.
237-238.
24
Ibid., hlm. 227-228. Lihat juga Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwinī, Syarh
Sunăn Ibn Măjah, op. cit.,, hlm. 302-303.
11
hadis tersebut perlu penjelasan yang lebih tepat. Oleh karena itu, sekiranya dapat
dan wanita tersebut dipahami ? Apakah hadis tersebut dapat dipahami secara
tekstual dan atau kontekstual, dan apakah kandungan hadis tersebut bersifat
2. Bagaimana implikasi hadis tersebut terhadap ritual ibadah (salat) bagi muslim
terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dan juga
perkembangan zaman.
2. Secara sosial, penelitian ini diharapkan berguna bagi pelaksanaan salat umat
D. Tinjauan Pustaka
pustaka, yang relevan dengan tema yang terkait. Hadis-hadis tentang terputusnya
salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dimuat di berbagai kitab-kitab
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.
tersebut dengan berbagai versi redaksi hadis yang setema dan beberapa pendapat
ulama.25
bahwa hadis itu terdapat bias gender dengan mendiskursuskan hanya perempuan
yang melintas, yang dapat memutuskan salat, bukan demikian halnya dengan laki-
laki, sehingga digunakan juga buku-buku yang mengkaji jender sebagai analisis
25
Muhammad al-Ghazali, op. cit., hlm. 160-162.
13
wacana kesetaraan jender dalam Islam yang terdapat dalam hadis tersebut. Di
Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam
mengandung bias jender sehingga perlu dikaji ulang. Dalam diskursusnya ini, ia
kesetaraan jender. Asghar juga tak jarang mengupas aspek sejarah Islam sebelum
26
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
27
Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, cet.1 (Bandung: Pustaka,
1994)
28
Fatima Mernissi-Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan
dalam Tradisi Pasca Patriarkhi (Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa, 1995)
14
dan sesudah Islam datang. Ide dan pemikirannya tertuang dalam tulisannya yang
Pembebasan30.
Kajian terhadap hadis tersebut, dilihat juga dari perspektif fikih dengan
membandingkan dari berbagai jalur sanad dan juga hadis-hadis yang setema
menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan
wanita. Dalam Fikih Sunnah33 karya Sayyid Sabiq mengupas hal-hal yang dapat
membatalkan salat karena anjing, keledai dan wanita tidak dapat memutuskan
salat. Abdul Qadir al-Rahbawi dalam buku Shalat Empat Madzhab34 dipaparkan
29
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici. F.A,
cet.2 (Yogyakarta: LSSPA, 2000)
30
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, cet.1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
31
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, Juz IV (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 9-15.
32
Muhammad Yunus bin Abdullah as-Sattar, Dimanakah salat yang khusyuk, terj. Abdullah
Shonhaji dan Sani Abu Zahra (Semarang: Asy-Syifa’, 1981), hlm. 251-259.
33
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,terj. Mahyuddin Syaf, Jilid I (Bandung: al-Ma’arif , 1977),
hlm. 219-233.
34
Abdul Qadir ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab, terj. Zeid Husein al-Hamid dan M.
Hasanuddin (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994), hlm. 206-284.
15
makna dan essensi dari salat, syarat sah salat, rukun salat dan hal-hal yang dapat
membatakan salat sebagai acuan awal untuk melangkah pada pemaknaan hadis
tersebut.
wanita ini pernah dikaji oleh Kadarusman dalam skripsinya yang berjudul Kritik
Hadis Perspektif Gender: Studi atas Pemikiraan Fatima Mernissi, yang hanya
mengkaji hadis dari satu jalur sanad saja dengan menghujat eksistensi dari Abu
dalam penelitian ini. Sementara, sejauh penelusuran dari berbagai literatur, belum
terdapat karya tulis yang khusus membahas makna hadis di atas dengan kajian
penulis mengadakan penelitian hadis yang dituangkan dalam karya tulis yang
E. Metode Penelitian
bentuk kitab, buku, majalah dan lain-lain yang relevan dengan topik pembahasan.
16
Sumber utama penelitian ini adalah Kutub al-Tis'ah yang memuat hadis-
hadis tersebut dengan syarh-nya. Dalam pelacakan dan penelusuran hadis tersebut
menggunakan kamus hadis melalui petunjuk lafal hadis dengan kitab al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfãz al-Hadīs dan kata kunci (tema) hadis dengan kitab Miftãh
Kunūz al-Sunnah. Di samping itu, digunakan juga jasa komputer dengan program
yaitu sebuah metode yang bertujuan memecahkan permasalahan yang ada, dengan
dengan melihat kondisi pada saat hadis itu muncul, dan pendekatan sosiologis,
35
Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 138-139.
36
Langkah-langkah ini adalah metodologi sistematis yang merupakan hasil akumulasi dari
metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh Musahadi HAM, Yusuf Qardhawi dan Syuhudi
Ismail. Kemudian kami analisis metode-metode tersebut sehingga hadis dapat dipahami secara tepat,
proporsional dan komprehensif.
17
yakni:
hadis.
F. Sistematika Pembahasan
Bahasan studi ini, disusun dalam bab dan sub bab. Adapun sistematika
37
Mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang sama dengan tema hadis
yang dikaji untuk memperoleh pemahaman yang tepat, komprehensif dan representatif.
38
Konfirmasi dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagaimana metode yang diajukan Yusuf
Qardhawi.
18
pustaka sebagai acuan untuk membedakan penelitian ini dengan kajian yang
serupa. Selanjutnya dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian hadis ini
Bab Kedua, Tinjauan umum tentang Salat, yang memaparkan seputar tata
cara melaksanakan salat yang meliputi syarat sah salat dan rukun-rukun salat.
Pada sub bab kedua dijelaskan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Pada bab
ini akan dijelaskan salat sesuai ketentuan syariat dengan hujjah al-Qur’an dan
Hadis.
samping itu, akan dijelaskan kritik Eidetis yang mencakup kajian linguistik,
Bab kelima, Penutup adalah bagian akhir penelitian ini yang berisi
sebelumnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i
HALAMAN NOTA DINAS……………………………………………….…. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………… iii
MOTTO……………………………………………………………………….. iv
20
PERSEMBAHAN…………………………………………………………….. v
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA………………………… vi
ABSTRAK……………………………………………………………………. . x
KATA PENGANTAR………………………………………………………… xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah…………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………… 12
C. Tujuan dan Kegunaan penelitian ………………….………… 13
D. Telaah Pustaka……………………………….………………. 13
E. Metode Penelitian……………………………….…………… 18
F. Sistemtaika Pembahasan…….………………………………. 20
BAB II Seputar tentang Salat
A. Seputar Tentang Salat, sebagai ritual ibadah muslimin……… 1
B. Hukum Mendirikan Salat…………………………………….. 5
C. Tata cara Melakukan Salat…………………………………… 7
BAB III Tinjauan Redaksional Hadis Tentang putusnya shalat
dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita
A. Redaksi hadis tentang batalnya Shalat dengan melintasnya anjing,
keledai dan wanita
1. Redaksi hadis tentang putusnya shalat dengan melintasnya anjing
keledai dan wanita…………………………………………..
2. Pemaknan hadis dengan kajian linguistik ………………….
B. Pemaknaan Hadis tentang Batalnya Shalat dengan Melintasnya
Anjing, Keledai dan Wanita
1. Analisa Matan……………………………………………….
2. Analisa Sosio Historis……………………………………….
21
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Abi Tayyib Muhammad Syamsul Haq, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu
Dawud. Madinah: Maktabah Salafiyah,1968
Adlabi, Sholehuddin, Manhaj Naqd al-Matan. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983
22
Asqalany, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Sahih Imam Abi Abdillah
Muhammad bin Isma'il al-Bukhary. t.tp.: Maktabah Salafiyah, t.th.
Ghafur, Waryono Abdul, Gender dan Islam Teks dan Konteks,Yogyakarta: PSW
IAIN Sunan Kalijaga, 2003
Ghazali, Muhammad, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW., antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1993
Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994
Mernissi, Fatima, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam
Tradisi Pasca Patriarkhi, Yogyakarta: LSSPA-Yayasan Prakarsa,1995
Naisyabury, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairy, al-Jami’
al-Sahih Juz II. Beirut: Dar al-Fikhr, t.th
Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Terj. Muhammad al-
Baqir. Bandung: Karisma, 1995
Qazwiny, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Syarh Sunan Ibn Majah. Beirut: dar
al-Fikhr, t.th
Rahbawi, Abdul Qadir, Shalat Empat Madzhab. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
1994
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS,1999
Wensick, A. J., Mu’jam Mufahras Li alfadhil Hadis al-Nabawi Juz V. Leiden: E.J.
Brill,1965
BAB II
Dalam ajaran Islam ada tiga hal pokok yaitu aqidah, ibadah dan
muamalah. Ibadah sebagai aspek kedua dalam agama Islam itu merupakan tujuan
manusia diciptakan oleh Allah di dunia ini. Salat adalah hubungan antara Tuhan
dengan manusia yang merupakan hubungan ajaib yang tidak ada duanya, tidak
ada bandingannya, yang tidak dapat dikiaskan dengan hubungan antara dua
Kata as-Şalãt berasal dari bahasa arab, yakni "şallã, yuşallī, şalãtan".
Salat harus dimaknai dengan salat juga, bukan dengan sembahyang seperti agama
lain dengan berbagai cara mereka.39 Akibatnya, salat akan dilaksanakan dengan
keliru, tidak seperti ketentuan syariat. Inti dari salat adalah doa, namun berdoa
dalam salat berbeda dengan doa pada umumnya. Salat harus dilaksanakan sesuai
39
Zainal Arifin Djamaris, Menyempurnakan Shalat dengan Menyempurnakan Kaifiat dan
Menggali Latar Filosofinya (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), hlm. 1.
40
Ibn Manzur, Lisãn al-'Arab (t.p: Dãr al-Misriyyah li al-Ta'līf wa Tarjamah, t.th), hlm. 198.
41
Ar-Rãghib al-Isfahãnī, al-Mu'jam al-Mufradãt li Alfãz al-Qur’ãn al-Karīm (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th), hlm. 319.
25
Secara terminologis, arti salat menurut Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr at-
Thabarī, as-şalãt berarti ad-du'ã, karena orang yang salat sedang berupaya untuk
perbuatannya beserta dengan apa yang diminta kepada Allah berupa kebutuhan-
kepada yang disembah dengan ucapan atau perbuatan atau kedua-duanya sebagai
adalah ibadah yang terdiri dari perkataan tertentu yang dimulai dengan takbir
kepada Allah Ta'ala dan disudahi dengan memberi salam.45 Imam empat
madzhab, memaknai salat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan
tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan membaca salam.46
42
Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr at-Tabarī, Jămi al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I (Beirūt:
Dãr al-Ma'rifah li Tibă'at Wa Nasyr, 1982), hlm. 80.
43
Muhammad Rasyīd Ridhă, Tafsīr al-Qur'an al-Hakīm, al-Syahīr min Tafsīr al-Manăr, Jilid
I (Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibã'at wa an-Nasyr, t.th), hlm. 128.
44
Ahmad Musţofă al-Marăgī, Tafsīr al-Marăgī, Jilid I (Mesir: Multazam at-Tiba' wa an-Nasyr
Syirkah Maktabah wa Matha'ah Mustofa al-Babi, 1970), hlm. 42.
45
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf, Jilid I (Bandung: al-Ma'arif, 1996),
hlm. 191.
46
Imam Empat Madzhab fiqih tersebut adalah Abu Hanifah, Syafi'i, Imam Malik, Ahmad bin
Hanbal. Lihat juga Abdul Qãdir ar-Rahbawī, Salat Empat Madzhab, terj. Zeid Husein al-Hamid dan
M. Hasanuddin (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1994), hlm. 177.
26
perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam yang
ditentukan. Jadi salat adalah berdoa kepada Allah dengan beberapa ucapan dan
beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam
tegas, memuji orang-orang yang mendirikan salat dan mencela orang-orang yang
dalam ritual salat. Salat bertujuan untuk mengingat Allah, bersyukur kepada Allah
dan mencegah perbuatan yang keji dan munkar. Dengan demikian untuk
menjadikan salat sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah swt., maka harus
47
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 62.
48
M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 74-83.
27
ibn Dinãr memaknai khusyuk adalah tenang dan gerakan yang baik dalam
pada salat dan lepas dari pemikiran lainnya Lain halnya dengan Ibn Jubair
sehingga tidak mengetahui orang sebelah kanan dan kiri. Athã' justru
diri.
اش ِعين
ِ الصاَل ِة وإِ َّنها لَ َكبِيرةٌ ِإاَّل علَى اْل َخ
َ َ َ َ َّ َّب ِر َو ْ استَ ِع ُينوا بِالص
ْ َو
Artinya:
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk.49
2. Hadir hati. Dalam menghadirkan hati dengan cara memusatkan segala pikiran
pada yang dikerjakan yakni salat, tidak berpaling dari kesadaran berbuat dan
Dengan demikian, essensi dan substansi dari salat dapat dipahami dan
dihayati.
49
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 16.
28
3. Ikhlas. Ikhlas adalah niat hati yang murni hanya untuk memperoleh keridhaan
Jika salat dilaksanakan tanpa kekhusyukan, hadir hati dan ikhlas, maka
salat itu seperti tubuh tanpa ruh yang tidak dapat berdiri. Begitu pula salat
keikhlasan.
Nya)
salatnya)
50
Muhammad Bãqir al-Habsyī, Fiqih Praktis, Menurut al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat
Para Ulama (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 148.
29
6. Hayã’ ( rasa malu yang dilatarbelakangi oleh rasa bersalah, baik karena
dan makna dari salat tersebut hanya dapat dirasakan jika salat tersebut
dilaksanakan dengan khusyuk, hadir hati dan ikhlas. Substansi dan essensi salat
akan memiliki makna dan nilai yang mendalam, jika salat tersebut dilakukan
tata cara tersendiri. Dalam ritual salat itu terdapat rukun-rukun salat, syarat-syarat
sah salat yang merupakan hal-hal yang harus terpenuhi ketika melakukan salat.
diketahui telah tiba waktunya. Waktu salat dapat diketahui dengan adzannya
jam penunjuk.
51
Abdul Qãdir ar-Rahbawī, op. cit., hlm. 206-215. Lihat juga M. Hasbi ash-Shiddieqy, op.
cit., hlm. 98-102. Lihat juga Sayyid Sabiq, op. cit., hlm.219-233.
30
kecil dengan wudhu dan hadats besar dengan mandi suci sebagaimana
ام َس ُحوا
ْ ق َو ِ وه ُك ْم وأ َْي ِدَي ُك ْم ِإلَى اْل َم َر ِاف ِ ْ َالصاَل ِة ف
َّ امُنوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى َِّ
َ َ اغسلُوا ُو ُج َ ين َء َ َياأَيُّهَا الذ
َّ ِ
ضى أ َْو َعلَى َسفَ ٍر أ َْو َ بِ ُر ُءوس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم ِإلَى اْل َك ْعَب ْي ِن َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجُنًبا فَاطهَُّروا َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َم ْر
ام َس ُحوا
ْ َطيًِّبا فَ يدا ً ص ِع
َ اء فَتََي َّم ُموا ً اء َفلَ ْم تَ ِج ُدوا َم ِّ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِم َن اْل َغائِ ِط أ َْو اَل َم ْستُُم
َ الن َس َ اء أ
َ َج
َ يد ِلُي
طهَِّر ُك ْم ُ يد اللَّهُ ِلَي ْج َع َل َعلَْي ُك ْم ِم ْن َح َر ٍج َولَ ِك ْن ُي ِر
ُ بِ ُو ُجو ِه ُك ْم َوأ َْي ِدي ُك ْم ِم ْنهُ َما ُي ِر
Artinya:
Wahai segala mereka yang telah beriman! Apabila kamu hendak berdiri kepada
shalat maka basuhlah muka-mukamu dan tangan-tanganmu hingga siku dan
sapulah kepalamu dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki (sepuluh
kaki-kakimu jika kamu memakai sarung kaki) dan jika kamu berjunub ,maka
mandilah kamu dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau baharu
membuang air,atau telah menyentuh istrinya (menyetubuhi istri) lalu kamu
tiada mendapati air untuk berwudhu atau mandi, maka carilah tanah yang
bersih, lalu sapulah muka-mukamu, tangan-tanganmu dengannya, Allah tiada
menghendaki untukmenyempitkan atau menyukarkan kamu, tetapi Allah
berkehendak membersihkan kamu dan meyempurnakan nikmat-Nya atas kamu
supaya kamu mensyukurinya.52
ص َد قَ ًة ِم ْن ُغلُ ْو ٍل
َ صاَل ةً ِب َغ ْي ٍر َواَل
َ ُاَل َي ْق َب ُل اهلل
53
Artinya:
Allah tiada menerima salat dengan tidak bersuci dan tiada menerima sedekah
yang diberi dari harta yang disembunyikan dari rampasan perang yang belum
dibagikan.
52
Depag, al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 158.
53
Hadis ini diperoleh dari penelusuran hadis dengan menggunakan CD Mausū’ah al-Hadīs
al-Syarīf dalam Sahīh Muslim bab Ţahãrah dengan no. hadis 329.
31
3. Suci badan, pakaian dan tempat salat dari najis, hadats kecil dan hadats besar.
Artinya:
Saya mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Nabi : Bolehlah saya salat
menjawab : boleh, kecuali jika kamu lihat sesuatu kotoran padanya, maka
4. Menutup aurat.
aurat. Batas aurat laki-laki dan wanita dalam salat berbeda. Adapun aurat yang
disepakati wajib ditutupi orang laki-laki di saat salat, ialah : “qubul dan dubur
“ (kemaluan dan dubur). Ada pula yang menyatakan bahwa aurat laki-laki di
saat salat adalah bagian tubuhnya antara pusar dan lutut.55 Adapun yang selain
dari itu, yaitu paha, pusat dan lutut, para ulama berselisih mengenai paha.
Bedanya ada yang mengatakannya aurat dan ada pula yang mengatakannya
bukan aurat.
54
Imãm Abī Husain Muslim bin al-Hajjãj ibn Muslim Al-Qusyairī Al-Naisãbūrī, al-Jãmī al-
Şahīh (Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.), hlm. 90. Hadis ini diriwayatkan oleh periwayat yang śiqah.
55
Muhammad Bãqir al-Habsyī, hlm. 111. Pebedaan pendapat mengenai ini, mengingat
adanya beberapa hadis sahih,sebagiannya menunjukkan bahwa paha dari laki-laki harus ditutup,
sebagiannya lagi tidak.
32
Artinya:
Rasulullah lewat pada Ma’nar yang kedua pahanya tersingkap, maka
sabdanya : Hai Ma’mar ! Tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat.
bagian badan yang dipandang baik ketika menutupnya oleh rasa susila,
adalah suatu (wajib) yang berdiri sendiri, yang tidak patut diabaikan.
seluruh badannya selain dari muka dan kedua telapak tangan.57 Menurut asy-
Syafi’i dan Hanafi bahwa aurat wanita di dalam salat adalah seluruh
badannya kecuali muka dan telapak tangan. Demikian pula punggung telapak
kaki bukanlah aurat menurut golongan Hanafi.58 Hal ini berdasarkan surat an-
Artinya:
Dan janganlah mereka (para wanita menampakkan hiasan-hiasan mereka,
tempat-tempat hiasan mereka), melainkan sekedar yang tampak
daripadanya.59
56
Hadis ini diperoleh dari penelusuran hadis dengan menggunakan CD Mausū’ah al-Hadīs
al-Syarīf dengan kata kunci aurat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 21457.
57
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhalla, Jilid II (Beirūt: Dãr- al-
Fikr, t.th.), hlm. 217.
58
Abdul Qadir ar-Rahbawi, op. cit., hlm. 210-211.
59
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 548.
33
Karena itu, tidak cukup jika pakaian itu tipis sehingga terbayang warna kulit
hendaklah ia salat dengan telanjang dan salatnya itu sah. Tetapi menurut
Hanafi dan Hanbali, yang lebih utama bagi orang yang salat telanjang ialah
sujudnya, serta merapatkan pahanya satu dengan yang lain. Ulama Hanafi
yang dianggap sopan, patut dan layak pakai, terutama ketika menuju tempat
salat sebagaiman dijelaskan dalam surat al-A’rãf (7) ayat 31 sebagai berikut:
5. Menghadap Kiblat
60
Ibid., hlm.211-212.
61
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 225.
34
ال َح َّدثََنا أَُبو َح ِازٍم قَا َل َسأَلُوا َس ْه َل ْب َن َس ْع ٍد ِم ْن ُ ال َح َّدثََنا ُس ْفَي
َ َان ق َ ََح َّدثََنا َعِل ُّي ْب ُن َعْب ِداللَّ ِه ق
ََعلَ ُم ِمِّني ُه َو ِم ْن أَثْ ِل اْل َغ َاب ِة َع ِملَهُ فُاَل ٌن َم ْولَى فُاَل َنة ْ اس أ َّ ِال َما َب ِقي ب
ِ الن
َ َ ََي َش ْي ٍء اْل ِم ْنَب ُر فَق ِّ أ
ين ِ َّ ِ َّ َّ ول اللَّ ِه صلَّى اللَّهم علَْي ِه وسلَّم وقَام علَْي ِه رسو ُل اللَّ ِه ِ ِلرس
َ صلى اللهم َعلَْيه َو َسل َم ح َ ُ َ َ َ َََ َ َ َ ُ َ
اس َخْلفَهُ ثَُّم َرفَ َع َّ اس َخْلفَهُ فَقََرأَ َو َر َك َع َو َر َك َع ِ
َّ استَ ْقَب َل اْلقْبلَةَ َكب ََّر َوقَ َام ِ ِ
ُ الن ُ الن ْ َُعم َل َو ُوض َع ف
ِ
ْسهُ ثَُّمَ اد ِإلَى اْلم ْنَب ِر ثَُّم َر َك َع ثَُّم َرفَ َع َرأ َ ض ثَُّم َع ِ ْسهُ ثَُّم َر َج َع اْلقَ ْهقََرى فَ َس َج َد َعلَى اأْل َْر َ َرأ
ال َعِل ُّي ْب ُن اْل َم ِدينِ ِّي َ َض فَهَ َذا َشأُْنهُ قَا َل أَبمو َع ْبد اللَّ ِه ق ِ َر َج َع اْلقَ ْهقََرى َحتَّى َس َج َد بِاأْل َْر
صلَّى اللَّهم َ النبِ َّيَّ َن َّ ت أ ُ ال فَِإَّن َما أ ََر ْد ِ َحم ُد ْبن ح ْنب ٍل ر ِحمه اللَّه ع ْن َه َذا اْلح ِد
َ َيث ق َ َ ُ ُ َ َ َ َ ُ َ ْ َسأَلَني أ
ِ
ِ اس بِه َذا اْلح ِد َّ َعلَى ِم َن ِ َ َن َي ُك َّ َعلَى ِم َن َّ ِ
يث َ َ ِ الن ْ ام أ ُ ون اإْل َم ْ ْس أَ اس فَاَل َبأِ الن ْ ان أ
َ َعلَْيه َو َسل َم َك
َ َان ُي ْسأَ ُل َع ْن َه َذا َكثِ ًيرا َفلَ ْم تَ ْس َم ْعهُ ِم ْنهُ ق
ال اَل َ ان ْب َن ُعَي ْيَنةَ َك َ ت ِإ َّن ُس ْفَي ُ قَا َل فَ ُقْل
62
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Alī bin Abdullah, telah menceritakan kepada
kaami Sufyãn, telah menceritakan kepada kami Abu Hãzm, Ia berkata bahwa
orang-orang bertanya kepada Sahl bin Sa’id tentang untuk apa mimbar? Lalu
ia berkata: “Apa yang ada pada manusia maka aku mengetahuinya, itu adalah
tempat pemusatan amalan (ibadah) sekumpulan orang keturunan Rasulullah
saw. yang menghadap kepadanya. Sesungguhnya Rasulullah jika melakukan
amalan itu (salat) maka ia menghadap kiblat dengan bertakbir dan orang-
orang berdiri dibelakangnya lalu membaca ayat, lalu ruku’, dan orang-orang
dibelakangnya bersujud pula, kemudian mengangkat kepalanya bangun dari
ruku’, kemudian kembali mengulanginya sampai sujud di tanah. Kemudian
kembali menghadap ke minbar lalu ruku’, kemudian mengangkat kepalanya
bangun dari ruku’, kemudian kembali mengulanginya sampai sujud di tanah.
Dan inilah perkatan Abū Abdullãh , Alī bin al-Madīnī berkata bahwa Ahmad
bin Hanbal bertanya kepadaku (Alī al-Madīnī) tentang hadis ini lalu aku
mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki derajat tinggi di antara
manusia, tidak ada masalah menjadikannya imam di antara manusia dalam
hadis ini. kemudian aku mengatakan bahwa Sufyãn banyak ditanya tentang
hal ini dan ia tidak mendengarnya berkata tidak.
62
Hadis ini diperoleh melalui penelusuran hadis dengan CD Mausū'at li Alfãz al-Hadīs al-
Syarīf dengan kata kunci "Qiblat" diperoleh dalam Sahīh Bukhãrī bab Salat dengan no. hadis 364.
35
mempengaruhi sah atau tidaknya salat tersebut. Salat dapat dilakukan dengan
tidak menghadap kiblat jika disebabkan oleh empat hal yaitu keadaan salat
sunnah di atas kendaraan, keadaan yang terpaksa, keadaan orang sakit yang
mampu menghadap kiblat dan keadaan salat khauf, keadaan salat dalam
ketakutan.
Hal itu berdasarkan surat al-Baqarah (2) ayat 286 yang menjelaskan :
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup
kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir".63
6. Niat.
63
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 72.
36
syarat dengan rukun ialah bahwa syarat boleh dilakukan sebelum amal,
sehingga seandainya seseorang keluar dari rumah atau tokonya, sambil niat
hendak salat dan antara niat dengan salatnya itu tidak terselang jarak yang
lama atau pekerjaan maka sahlah salatnya. Karena itu, ia tidak boleh
singkat. Karena itulah, maka niat salat harus dikerjakan bersama dengan
takbīratul ihram.64
perlu dibedakan antara syarat sah salat dan rukun-rukun salat. Syarat sah salat
adalah hal-hal yang harus dipenuhi ketika akan melaksanakan salat yang
berada di luar salat. Kemudian rukun-rukun salat adalah hal-hal yang harus
batalnya salat, jika tidak terpenuhi salah satu hal diantara hal-hal yang harus
dilaksanakan sebelum dan ketika salat, yakni syarat sah salat dan rukun
salat.65
64
Abdul Qãdir ar-Rahbawī, op. cit., hlm. 214.
65
Ibid., hlm. 284.
37
1. Niat. Ada kontroversial mengenai niat termasuk dalam rukun salat atau syarat
sah salat. Jiwa salat dan yang mensahkannya adalah ikhlas, bukan semata-
2. Takbiratul Ihram. Takbiratul ihram itu harus disebut dengan lafal "Allahu
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin harb, telah menceritakan kepada
kami Affãn, telah menceritakan kepada kami Hammãm, telah menceritakan
kepada kami Muhammmad bin Juhãdah, telah menceritakan kepadaku Abdul
Jabbãr bin Wã’il, dari Alqamah bin Wã’il dan budak-budak mereka.
66
M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 148-153. Lihat Juga Sayyid Sabiq, Fikih Sunah,
(Bandung: al-Ma'arif, 1977), hlm.237-252.
67
Hadis ini diperoleh dari penelusuran hadis dengan menggunakan CD Mausū’ah al-Hadīs
al-Syarīf dalam Şahīh Muslim dengan no. hadis 608.
38
3. Berdiri dalam salat fardhu. Salat wajib dilaksanakan dengan berdiri, kecuali
tak mampu untuk berdiri karena sakit atau udzur yang lain.
Artinya:
Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah di dalamnya.
Mengenai basmalah di permulaan surat al-Fatihah, maka ada yang
menjadikannya satu ayat dari surat al-Fatihah, ada yang menjadikannya satu
dipandang baik, tetapi tiada sunnat dijaharkan. Ada pendapat lain, bahwa
membaca basmalah itu makruh, baik sirr maupun jahar dalam salat fardhu,
menjaharkannya.
68
Imãm Abī Husain Muslim bin al-Hajjãj ibn Muslim Al-Qusyairī Al-Naisãbūrī, op. cit., hlm.
8-9.
69
Ibid., hlm. 11-12.
39
6. I'tidal, keadaan berdiri tegak setelah bangkit dari ruku' harus dilakukan
dengan ţuma'ninah.
7. Sujud, sujud dilaksanakan dengan meletakkan muka, dua telapak tangan, dua
lutut dan dua telapak kaki pada tempat sujud dengan ţuma'ninah.
9. Salam, salam yang difardhukan adalah salam yang pertama, sedangkan salam
hal lagi yang memegang peranan penting dalam mencapai derajat sah atau
tidaknya salat tersebut, yakni hal-hal yang membatalkan salat. Adapun hal-hal
yang membatalkan salat adalah hal-hal yang membuat salat itu rusak, terputus dan
batal sehingga salat harus diulang kembali. Adapun hal-hal yang dapat
1. Makan dan minum dengan sengaja dalam salat itu membatalkan salat. Hal itu
akan mengurangi essensi dan kekhusyukan salat. Di samping itu, salat adalah
70
M. Hasbi ash-shiddieqy, op. cit., hlm. 183-187. Lihat juga dalam Abdul Qãdir ar-Rahbawī,
op. cit., hlm. 280-284.
40
dengan makan atau minum dalam keadaan lupa, atau karena tidak mengetahui
hukum."71 Demikian juga kalau terdapat di antara gigi makanan yang kurang
dari sebesar anak kacang lalu ditelannya. Hal itu tidak membatalkan salat.
2. Berbicara dengan sengaja, bukan untuk kemaslahatan salat. Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh :
Artinya:
Adalah kami (para sahabat) berbicara dalam salat. Masing-masing kami
berbicara dengan temannya yang berdiri disampingnya dalam salat, hingga
turun ayat "Waqumu lillahi Qanitin" dan berdirilah kamu karena Allah
dengan khusyu'. Maka kami pun diperintah berdiam dan dilarang berbicara.
salat, asal saja tidak banyak, dan apabila tidak dapat dipahamkan maksud jika
dalam salat dengan sengaja dengan maksud untuk kebaikannnya, tidak batal
salatnya.
71
Ibid., hlm. 183
72
Imãm Abī Husain Muslim bin al-Hajjãj ibn Muslim Al-Qusyairī Al-Naisãbūrī, op. cit., hlm.
70-72.
41
perilaku dan hal-hal yang dikerjakan dengan sengaja sering dan berulang-ulang.
Ada kontroversial di antara para ulama fiqih mengenai kadar perbuatan yang
banyak dan sedikit. Penentuan banyak dan sedikit itu kembali kepada 'urf
(adat).
dari jauh, yakinlah dia bahwa orang yang mengerjakan perbuatan itu bukan
dalam bersalat. Jika kurang dari itu, dipandang sedikit. Adapun perbuatan yang
dipandang banyak oleh 'urf ialah seperti banyak melangkah, beriring-iring dan
berulang-ulang.73
4. Tertawa terbahak-bahak.
Menurut Ibn Munzir, para ulama telah sepakat bahwa tertawa dapat
tertawa yang nyata lebih daripada dua haraf. Ada yang menyatakan bahwa
5. Meningggalkan suatu rukun dan syarat dengan sengaja dan tidak ada udzur.
73
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 185-186
74
Muhammad Bãqir al-Habsyī, op. cit., hlm. 232.
42
Meninggalkan suatu rukun dan syarat dengan sengaja dan tidak ada
menyentuh sesuatu yang najis secara sengaja, membuka aurat secara sengaja
dan membelakangi kiblat ketika sedang salat, itu dapat membatalkan salat.75
Haram atas seseorang yang mengerjakan sesuatu yang merusak salat dengan
Hal-hal di atas dapat membatalkan salat, sehingga orang yang salat itu
BAB III
Redaksi Hadis-hadis
75
Ibid. Uraian serupa dipaparkan secara jelas dalam M. Hasbi Ash-Shieddieqy, loc. cit..
43
upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mewujudkan ketakwaan kepada Allah.
Salat adalah rangkaian ibadah yang berisikan do'a-do'a yang dilaksanakan sesuai
ketentuan syariat. Salat adalah hal vital di antara ritual ibadah lainnya. Salat
adalah ritual ibadah yang merupakan bentuk komunikasi vertikal antara makhluk
dan khalik. Rangkaian ritual ibadah dalam salat bersifat verbal dan non verbal
kehilangan salah satu dari rangkaian tersebut maka salat yang dikerjakan dapat
dikatakan tidak sah secara hukum karena tidak sesuai ketentuan-ketentuan syariat.
Salat adalah ritual ibadah yang kompleks antara gerak jasmani dan ruhani.
syarat sah salat, rukun-rukun salat, hal-hal yang sunnat dalam salat, hal-hal yang
makruh dalam salat, hal-hal yang membatalkan salat, hal itu menjadi ketentuan
Nabi adalah penjelasan terperinci tentang konstitusi yang paling pertama dan
utama, yakni al-Qur'an baik yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara
untuk dataran praksis. Terkait dengan hal tersebut, salat yang merupakan
kewajiban ritual ibadah seorang hamba kepada Khalik sebagai sebuah bentuk
komunikasi vertikal, tata cara salat (kaifiyah al-şalãt) dijelaskan dengan hadis-
44
hadis Nabi baik berupa ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai teladan umat
muslimin.
syariat tentang hal-hal yang membatalkan salat. Sehubungan dengan hal-hal yang
salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, sehingga perlu pengkajian
Kutub al-Tis'ah. Hadis itu harus dipahami secara tekstual atau kontekstual.
menggunakan metode takhrīj yang telah digunakan para ulama.76 Selain itu,
(sembilan) kitab sumber primer hadis. Demikian pula halnya dengan nilai hadis
al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfãz al- Hadīs77 melalui kata قطعdan kitab Miftãh
76
Metode takhrīj hadis dapat dilakukan melalui berbagai cara di antaranya dengan
mengunakan nama sahabat, lafal awal dari matan hadis, kata-kata dalam matan hadis, kata kunci
(tema) hadis, kamus hadis dan lain-lain. Dalam hal ini, penulis menggunakan dua metode takhrīj hadis
yaitu melalui kata-kata dalam matan hadis dan kata kunci (tema) hadis. Lebih jelasnya dapat dibaca
dalam M. Syuhudi Isma’il, Cara Praktis Mencari Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 49-
70.
77
A. J. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfãz al-Hadīs, Jilid V (Leiden: E.J.Brill,1943),
hlm.424-425
45
Dari pelacakan yang penyusun lakukan dari berbagi kitab hadis melalui
yakni قطعdan ستر, maka diperoleh 34 buah hadis tentang terputusnya salat
karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam Kutub al-Tis'ah. Adapun
hadis-hadis tersebut dalam Kutub al-Tis'ah adalah Şahīh Bukhărī dalam kitab
Şalãt sejumlah 2 buah, dalam Şahīh Muslim terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 4
buah, dalam Sunan al-Tirmīżī terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 2 buah, dalam
Sunan Al-Nasă'ī terdapat pada kitab al-Qiblat sejumlah 2 buah, dalam Sunan
Abū Dăwud terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 3 buah, dalam Sunan Ibn Măjah
terdapat pada kitab al-Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah sejumlah 5 buah, dalam Sunan
ad-Dărimi terdapat pada kitab Şalãt sejumlah 1 buah dan dalam Musnad Ahmad
bin Hanbal sejumlah 15 buah. Jadi, jumlah keseluruhan hadis ada 34 buah.
di samping adanya perbedaan, baik dalam sanad maupun matan. Maka, apa yang
terdapat dalam Şahīh Bukhărī terkadang terdapat pula dalam Şahīh Muslim atau
Kutub al-Tis'ah.
78
A. J. Wensinck, Miftãh Kunūz as-Sunnah, terj. Muhammad Fu'ãd Abdul Bãqī (Kairo: tp,
1924), hlm. 231-232.
46
karena melintasnya anjing, keledai dan wanita lengkap dengan sanad dan
matannya.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ishak bin Ibrahīm, telah mengkabarkan
kepada kami Al-Makhzūmi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wãhid
ibn Ziyãd, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Abdullah bin Al-
A’sham, telah menceritakan kepada kami Yazīd bin Al-A’sham, dari Abū
Hurairah berkata: “Rasulullah berkata bahwa salat dapat terputus karena
melintasnya wanita, keledai dan anjing jika tidak ada seperti pathok untuk
pembatas salat.
79
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim, Juz IV(Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981), hlm. 227-228. Dari
penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطعterdapat dalam Şahīh Muslim bab
as-şalãt dengan no. hadis 790.
80
Abī Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, Juz I (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 302-303. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطع
terdapat dalam Sunan ibn Mãjah bab al-Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah dengan no. hadis 940. Hadis
tersebut juga didapatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 7642 dari jalur sanad dari
Abū Hurairah dari Muãż bin Hisyãm.
47
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Zaid bin Akhzam Abū Ţhãlib, telah
memberitahukan kepada kami Muãż bin Hisyãm, telah memberitahukan
kepada kami ayahku, dari Qatadah , dari Zurarah bin Aufa, dari Sa’īd bin
Hisyãm, dari Abū Hurairah, dari Nabi saw. beliau bersabda: “Dapat
memutuskan salat, yaitu wanita, anjing dan keledai.”
ادةَ َع ِن اْل َح َس ِن َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه ْب ِن َ َيد َع ْن قَت ٌ َعلَى َح َّدثََنا َس ِعْ َح َّدثََنا َج ِمي ُل ْب ُن اْل َح َس ِن َح َّدثََنا َعْب ُد اأْل
81
ب َواْل ِح َم ُار
ُ الصاَل ةَ اْل َم ْرأَةُ َواْل َكْل
َّ ُطع َ صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َي ْقَ النبِ ِّيَّ ُم َغ َّف ٍل َع ِن
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Jamīl bin Al-Hasan, telah memberitahukan kepada
kami Abdul A’lã, telah memberitahukan kepada kami Sa’īd, dari Qatãdah,
dari Abdullãh bin Mughaffal, dari Nabi saw. beliau bersabda; “Dapat
memutuskan salat yaitu wanita anjing dan keledai.”
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismã’il maula Bani Hãsyim
al-Başri, telah menceritakan kepada kami Muãż, telah menceritakan kepada
81
Ibid. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطعterdapat
dalam Sunan ibn Mãjah bab al-Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah dengan no. hadis 941.
.
82
Abī Muthīb Muhammad Syamsul al-Haq, ‘Aun al-Ma’būd, Juz II (Madinah: Maktabah
Salafiyah, 1968), tidak ditemukan hadis tersebut dengan redaksi yang persis sama. Dari penelusuran
CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطعterdapat dalam Sunan Abū Dãwud bab al-
şalãt dengan no. hadis 604.
48
kami Hisyãm, telah menceritakan kepada kami Yahyã dari Ikrimah dari Ibnu
‘Abbãs ra. berkata: aku menduganya hal itu dari Rasulullah saw. yang
mengatakan bahwa apabila seseorang mengerjakan salat tanpa satir, maka
salatnya dapat terputus oleh anjing, keledai, babi, orang yahudi, orang majusi
dan wanita. Dan cukup baginya (tanpa satir), apabila mereka menyeberang di
depannya sejauh lemparan batu. Kata Abū Dãwud: Aku mendengar hadis ini
hanyalah dari Muhammad bin Ismã’il Al-Başri (bin Abi Saminah guru Abū
Dãwud) dan aku kira dia membayangkan (waham) karena dia biasannya
menuturkan hadis kepada kami dari hafalannya.
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Amr bin Alī, telah memberitahukan kepada kami
Yahyã bin Sa’īd, telah memberitahukan kepada kami Syu’bah dan Hisyãm
dari Qatãdah berkata, Aku telah mengatakan kepada Jãbir bin Zaid: Apa yang
biasa memutuskan seseorang dari salatnya? Jawab Jãbir: Ibnu Abbãs pernah
berkata: Yang biasa memutuskan seseorang dari salatnya adalah wanita haid
dan anjing. Yahyã berkata bahwa Syu’bah memarfu’kannya.
Artinya:
83
Jalãluddīn al-Suyūtī, Sunan an-Nasã’ī bi Syarh al-Hafid Jalãluddīn al-Suyūtī wa Hasiyah
Imam al-Sindī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1930), hlm. 64. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs
al-Syarīf dengan kata kunci قطعterdapat dalam Sunan an-Nasã’ī bab al-qiblat dengan no. hadis 743.
84
Abī Abdillah Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, op. cit., hlm. 302-303. Dari penelusuran
CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطعterdapat dalam Sunan ibn Mãjah bab al-
Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah dengan no. hadis 939.
49
Telah memberitahukan kepada kami Abū Bakar bin Kholãd al-Bãhilī, telah
memberitahukan kepada kami Yahyã bin Sa’īd, telah memberitahukan kepada
kami Syu’bah, telah memberitahukan kepada kami Qatãdah, telah
memberitahukan kepada kami Jãbir bin Zaid dari Ibn ‘Abbãs dari Nabi saw.
bersabda: “Yang dapat memutuskan salat adalah anjing hitam dan wanita
yang sudah balig-usia haid-.”
ُ ت َج ابَِر ْب َن َز ْي ٍد ُي َح ِّد
ث َع ِن ْاب ِن ُ ال َس ِم ْع َ ََح َّدثََنا ُم َس َّد ٌد َح َّدثََنا َي ْحَيى َع ْن ُش ْعَبةَ َح َّدثََنا قَت
َ َادةُ ق
ٌ ال أَبمو َداومد َوقَفَ هُ َس ِع
يد َ َب ق ُ ض َواْل َكْل
ِ
ُ الص اَل ةَ اْل َم ْرأَةُ اْل َح ائ
َّ ُط ع ٍ َعب
َ َّاس َرفَ َع هُ ُش ْعَبةُ قَ ا َل َي ْق
85
ادةَ َع ْن َجابِ ِر ْب ِن َز ْي ٍد َعلَى ْاب ِن َعبَّاس َ َام َع ْن قَت ٌ َو ِه َش
ٌ ام َو َه َّم
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah memceritakan kepada kami
Yahyã, dari Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Qatãdah berkata: “Aku
mendengar Jãbir bin Zaid diberitahu oleh Ibn Abbãs (dinyatakan marfu’ oleh
Syu’bah), dia berkata: “Yang memutuskan salat itu, wanita haid (dewasa) dan
anjing. Kata Abū Dãwud hadis ini dinyatakan mauqūf kepada Ibnu ‘Abbãs ra.
oleh Sa’īd, Hisyãm dan Hammãm dari Qatãdah dari Jãbir bin Zaid.
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Yahyã, dari Syu’bah berkata: telah menceritakan
kepadaku Qatãdah, dari Jãbir bin Zaid, dari Ibn ‘Abbãs berkata (Yahyã telah
mengatakan bahwa Syu’bah me-marfu’-kan hadis tersebut) : Yang biasa
memutuskan seseorang dari salatnya adalah anjing dan wanita haid.
َح َّدثََنا أَُبو َب ْك ِر ْب ُن أَبِي َش ْيَبةَ َح َّدثََنا ِإ ْس َم ِعي ُل ْاب ُن ُعلََّيةَ قَ ا َل ح و َح َّدثَنِي ُز َه ْي ُر ْب ُن َح ْر ٍب َح َّدثََنا
َ ََّام ِت َع ْن أَبِي َذٍّر ق
ال ِ ونس ع ْن حم ْي ِد ْب ِن ِهاَل ٍل ع ْن ع ْب ِد اللَّ ِه ْب ِن الص
َ َ َ ُ َ َ ُ يم َع ْن ُي
ِ ِ ِ ِ
َ إ ْس َمعي ُل ْب ُن إ ْب َراه
ان َب ْي َن َي َد ْي ِه ِمثْ ُل
َ صلي فَِإَّنهُ َي ْستُُرهُ ِإ َذا َك
ِّ َح ُد ُكم ُي َّ ِ
َ ْ َ صلى اللهم َعلَْيه َو َسل َم ِإ َذا قَ َام أ
َّ َّ ال رسو ُل اللَّ ِه
َ ُ َ َ َق
ُص اَل تَهُ اْل ِح َم ُار َواْل َم ْرأَة َ ُط ع َ الر ْح ِل فَِإَّنهُ َي ْق
َّ آخ َر ِةِ الر ْح ِل فَ ِإ َذا لَم ي ُك ْن ب ْين ي َد ْي ِه ِم ْث ُل
َ َ َ َْ َّ آخ َر ِة ِ
ِ ْ ت يا أَبا َذٍّر ما با ُل اْل َكْل ِب اأْل َسو ِد ِمن اْل َكْل ِب اأْل
َ ََصفَ ِر ق
ال ْ َح َم ِر م َن اْل َكْل ِب اأْل َ َْ َ َ َ َ ُ َس َو ُد ُقْل ْ ب اأْل ُ َواْل َكْل
ان
ٌط َ َس َو ُد َش ْي ْ ب اأْل َ َصلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َك َما َس أَْلتَنِي فَق
ُ ال اْل َكْل
ِ َّ
َ ت َر ُسو َل الله ُ َخي َسأَْل ِ يا ْابن أ
َ َ
ال ح و َح َّدثََنا ُم َح َّم ُد ْب ُن اْل ُمثََّنى َو ْاب ُن َب َّش ٍار َ َان ْب ُن اْل ُم ِغ َير ِة قُ وخ َح َّدثََنا ُسلَْي َم
َ ان ْب ُن فَُّر ُ َح َّدثََنا َش ْيَب
ب ْب ُن ِ ِ ُ قَ ااَل ح َّدثََنا مح َّم ُد ْبن جعفَ ٍر ح َّدثََنا ُش عبةُ قَ ا َل ح و ح َّدثََنا ِإس ح
ُ َخَب َرَنا َو ْه ْ يم أ
َ ق ْب ُن إ ْب َراه َ ْ َ َْ َ َْ ُ َُ َ
ت َس ْل َم ْب َن ُ ال َس ِم ْعَ َان ق ِ
َ َخَب َرَنا اْل ُم ْعتَم ُر ْب ُن ُسلَْي َم
ْ ضا أ ً ق أ َْيُ ير َح َّدثََنا أَبِي قَا َل ح و َح َّدثََنا ِإ ْس َح ٍ َج ِر
َح َو ِل ْ اص ٍم اأْل ِ اد اْلب َّكائِ ُّي ع ْن ع ِ ٍ ِ ِ َّ
َ َ َ ٌ ف ْب ُن َح َّماد اْل َم ْعن ُّي َح َّدثََنا ِزَي ُ وس ُ أَبِي الذيَّال قَ ا َل ح و َح َّدثَني ُي
87 ِ ِ ِ
ون َس َكَن ْح ِو َحديثه ُ ُك ُّل َه ُؤاَل ِء َع ْن ُح َم ْي ِد ْب ِن ِهاَل ٍل بِِإ ْسَن ِاد ُي
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abū Bakar bin Abī Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Ismã’il bin Uliyah berkata, dan telah menceritakan
kepada kami Zuhair bin Harb, telah menceritakan kepada kami Ismã’il bin
Ibrahīm, dari Yūnus, dari Humaid bin Hilãl, dari Abdullãh bin al-Şãmit dari
Abī Żar berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seseorang berdiri
untuk salat maka harus memberikan batas di antara kiblat dan orang yang
salat semacam tiang kayu. Jika tidak ada semacam tiang kayu sebagai
pembatas, maka salat dapat terputus karena melintasnya keledai, wanita dan
87
Al-Nawãwī, op. cit., hlm. 226-227. Hadis tersebut dengan jalur lain dari Abū Żar dengan
sanad dari Ahmad bin Manī’ tersebut dimuat dalam Abī al-‘Ula Muhammad Abdurrahmãn bin
Abdirrahīm al-Mubãr al-Kafūry, Tuhfãt al-Ahważī,Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995), hlm. 268-269.
Hadis tersebut dengan jalur lain dari Abū Żar dari jalur sanad dari Amr bin Alī dimuat dalam
Jalãluddīn al-Suyūtī, Sunan an-Nasã’ī bi Syarh al-Hafiz Jalãluddīn al-Suyūtī wa Hasiyah Imam al-
Sindī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1930), hlm. 63-64. Hadis tersebut dengan jalur lain ari Abū Żar
dengan sanad dari Muhammad bin Basyar dimuat dalam Abī Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-
Qazwīnī, op. cit., hlm. 302-303.Hadis tersebut dengan jalur lain dari Abū Żar dengan sanad dari Abū
Walīd dan al-Hajjãj dimuat dalam Abū Muhammad bin Bahramī al-Dãrimi, Sunan ad-Dãrimi, Juz I
(Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.), hlm. 329.Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata
kunci قطعterdapat dalam Şahīh Muslim bab al-şalãt dengan no. hadis 789, Sunan al-Tirmiżī bab al-
şalãt dengan no. hadis 309 dan Sunan an-Nasã’ī bab al-qiblat dengan no. hadis 742, Sunan ad-Dãrimi
bab al-Şalãt dengan no. hadis 1378 Sunan ibn Mãjah bab al-Iqãmah al-Şalãt wa Sunnah dengan no.
hadis 942 dan Sunan Abū Dãwud dengan no. hadis 602. Untuk Sunan Abū Dawūd setelah dicek dalam
Abī Muthīb Muhammad Syamsul al-Haq, ‘Aun al-Ma’būd, Juz II (Madinah: Maktabah Salafiyah,
1968), tidak ditemukan hadis tersebut dengan redaksi yang persis sama.
51
anjing hitam, lalu aku bertanya kepada Abī Żar: apa yang membedakan anjing
hitam dengan anjing merah atau anjing kuning. Ia berkata: “wahai anak
saudaraku”: aku bertanya kepada Rasulullah saw. seperti yang telah kamu
tanyakan kepadaku lalu beliau bersabda: anjing hitam itu adalah setan.Telah
menceritakan juga kepada kami Syaibãn Furrūkh, telah menceritakan kepada
kami Sulaimãn bin Mughīrah berkata dan telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin al-Musannã dan Ibn Basyãr berkata bahwa telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada
kami Syu’bah dan telah menceritakan kepada kami Ishãk bin Ibrahīm, telah
mengkabarkan kepada kami Wahb bin Jarīr, telah menceritakan kepada kami
ayahnya berkata, telah menceritakan juga kepada kami Ishãk, telah
mengkabarkan kepada kami al-Muktamir bin Sulaimãn berkata aku telah
mendengar Salm bin Abī al-Dayyãl berkata, telah menceritakan kepada kami
Yūsuf bin Hammãd al-Ma’niy, telah menceritakan kepada kami Ziyãd al-
Bakkãi, dari ‘Āshim, kredibilitas mereka dari Humaid bin Hilãl dengan jalur
sanad dari Yūnus seperti hadis yang diriwayatkannya.
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami ‘Affãn, telah memberitahukan kepada
kami Syu’bah, telah mengkabarkan kepadaku Humaid bin Hilãl, telah
mendengar Abdullãh bin Al-Şãmit dari Abū Żar berkata: Sesungguhnya
Rasulullah saw. bersabda: Yang dapat memutuskan salat, adalah wanita,
keledai dan anjing hitam bila di depan seorang yang salat tidak ada semacam
tiang untuk pembatas salat,. Lalu Abdullãh bin al-Şãmit bertanya: “apa yang
membedakan antara anjing hitam dan anjing merah?” Lalu Abū Żar
menjawab: “Aku telah menanyakan kepada Rasulullah seperti yang engkau
tanyakan kepadaku itu. Kemudian beliau Nabi bersabda: “anjing hitam adalah
setan.”
88
Dari penelusuran hadis dengan CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf kata kunci قطع الصالة
dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 20360.
52
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafs bin Ghiyãś berkata, telah
menceritakan kepada kami Abi (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada
kami al-A'masy berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahīm, dari al-
Aswãd dari 'Āisyah: Disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang dapat
memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, jika melintas di hadapan
orang yang salat maka 'Āisyah berkata: “Tuan-tuan samakan (wanita) dengan
keledai dan anjing. Demi Allah, sesungguhnya aku melihat Nabi saw. salat
dan aku berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan
Nabi), kemudian ada bagiku suatu keperluan dan aku tidak suka duduk
mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki
Nabi.”
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ismã’il bin Kholīl, telah menceritakan
kepada kami Alī bin Mushir, dari al-A’masyī dari Muslim bin Shubaih, dari
Masyruq, dari ‘Āisyah: disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang memutuskan
(merusak) salat, yaitu anjing, keledai dan wanita, maka ‘Āisyah berkata:
“Benar-benar telah engkau serupakan kami dengan anjing. Sesungguhnya aku
telah melihat Nabi saw. salat dan aku berbaring di atas tempat tidur di antara
Nabi dan kiblat kemudian ada bagiku suatu keperluan dan aku tidak suka
duduk mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat
kaki Nabi.” Dan dari jalur lain dari al-A’masyi, dari Ibrahīm, dari al-Aswãd,
dari ‘Āisyah menyebutkan hadis yang serupa.
ص َع ْن ٍ و َح َّدثَنِي َع ْم ُرو ْب ُن َعِل ٍّي َح َّدثََنا ُم َح َّم ُد ْب ُن َج ْعفَ ٍر َح َّدثََنا ُش ْعَبةُ َع ْن أَبِي َب ْك ِر ْب ِن َح ْف
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku ‘Amr bin Alī, telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abū
Bakar bin Hafs, dari ‘Urwah bin Zubair berkata: Āisyah bertanya: “apa yang
dapat memutuskan salat, maka kami menjawab wanita dan keledai, lalu
‘Āisyah berkata: “Sesungguhnya wanita itu seperti binatang melata. Aku
benar-benar telah melihat Nabi saw. salat, aku terbaring seperti melintangnya
jenazah.
ش َع ْن ِ َع َم ْ ق َع ْن َعائِ َش ةَ َو َح َّدثََناهُ َع ِن اأْل ٍ ش َع ْن ُم ْس ِلٍم َع ْن َم ْس ُرو ْ َح َّدثََنا ْاب ُن ُن َم ْي ٍر َح َّدثََنا اأْل
ُ َع َم
ب َواْل ِح َم ُار ُ الص اَل ةَ اْل َكْل
َّ ُط ع َ ون َي ْق
َ ُاس ا َيقُول َّ َس َو ِد َع ْن َعائِ َش ةَ قَ ا َل َبلَ َغهَا أ
ً َن َن ْ يم َع ِن اأْل
ِ ِ
َ إ ْب َراه
ص لَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ِ َّ َ ت رس
َ ول الله ِ ونا بِاْل ِكاَل ِب َواْل َح ِم
ُ َ ُ ير لَقَ ْد َرأ َْي َ ت َعائِ َشةُ َع َدْلتُ ُم ْ ََواْل َم ْرأَةُ فَقَال
Artinya:
Telah memberitahukan kepada kami Ibn Numair, telah memberitahukan
kepada kami Al-A’masy, dari Muslim, dari Masyruq dari ‘Āisyah dan telah
memberitahukan kepada kami Al-A’masy, dari Ibrahīm, dari Al-Aswãd, dari
‘Āisyah berkata: sesungguhnya orang-orang mengatakan bahwa Yang dapat
memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, maka Aisyah berkata:
“Kamu serupakan diri kami (wanita) dengan anjing dan keledai? Aku benar-
benar telah melihat Rasulullah salat menghadap kiblat dan aku berada
diantara Nabi dan kiblat. Lalu aku ada keperluan maka aku pelan menurunkan
kakiku dari tempat tidur dan aku tidak suka menganggunya.” Telah
memberitahukan kepada kami Yahyã bin Ādam, telah memberitahukan
kepada kami Qutbah, mereka berkata: kaki itu berada di tempat tidur.
melintasnya anjing, keledai dan wanita yang dipaparkan berdasarkan matan hadis
tersebut agar memudahkan penelitian ini. Hal itu bentuk kajian ini adalah ma’ãnī
al-hadīs.
Kritik Historis
Dari sekian banyak jalur periwayatan yang terdapat dalam kutub al-tis'ah
terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tampak sekilas
bertentangan. Secara tekstual, ada hadis yang menyatakan bahwa salat terputus
dengan melintasnya anjing, keledai dan wanita, tidak terputusnya salat dengan
melintasnya anjing, keledai dan wanita dan tidak terputusnya salat dengan
92
Dari penelusuran hadis dengan CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf kata kunci قطع الصالة
dalam Musnad Ahmad bin Hanbal dengan no. hadis 24740.
55
melintasnya anjing, keledai dan wanita jika terdapat pembatas salat. Ada pula
melintasnya anjing, keledai dan wanita itu adalah hadis riwãyah bi al-ma'nã. Ada
wanita haid saja.94 Hadis yang diriwayatkan 'Āisyah bahwa 'Āisyah pernah tidur
periwayat hadis dari berbagai runtutan sanadnya secara sekilas. Hal ini dilakukan
maka hadis-hadis tersebut dapat dilakukan tarjīh lewat sanad dan matan.
dan wanita dimuat dalam Şahīh Bukhărī dan Şahīh Muslim yang telah dijamin
93
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī bi Syarh Şahīh Imãm Abīī Abdillah
Muhammad bin Ismã’il al-Bukhãrī,Juz I (t.tp: Maktabah Salafiyah, t.th), hlm. 589.
94
Abū Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-'Abadī ‘Aun al-Ma’būd, Juz II, op. cit., hlm .399-
400. Lihat dalam Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwinī, Syarh Sunăn Ibn Măjah, Juz I, op.
cit.,hlm. 303. Lihat Abū 'Ula Muhammad 'Abdurrahmãn bin 'Abdurrahīm al-Mubăr al-Katurī, Tuhfadz
al-Ahwădz bi Syarh Tirmiżī Juz II,op. cit., hlm. 270-272. Lihat juga Jalăluddīn al-Suyūtī , Sunăn an-
Nasă'ī bi Syarh Jalăluddin al-Suyūtī Wa Hăsiyah al-Imăm al-Sanadī, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr,
1930), hlm. 63-64.
95
Ahmad bin 'Ali bin Hajar al-'Asqalănī, Fath al-Bărī, op. cit., hlm. 588.
56
tidak ada illat dan syuzuz dalam hadis tersebut. Namun dalam hadis lainnya dalam
Sahīh Bukhărī dengan jalur periwayatan ‘Āisyah yang lain bahwa Hafs bin
tadlīs dari penilaian Muhammad bin Sa’ad. Ternyata, Muhammad bin Sa’ad
hadīs fi’liyyah.
Hal yang serupa ditemukan dalam kitab Şahīh Muslim. Dalam Şahīh
Muslim ada 4 hadis yang relevan dengan tema, ketiga hadis di antaranya dengan
jalur periwayatan dari Abū Hurairah dan ‘Āisyah adalah hadis yang sahih yang
seluruh periwayatnya śiqah. Namun salah satu hadis dalam Şahīh Muslim dari
jalur periwayatan ‘Āisyah juga terdapat informasi bahwa Hafs bin Ghiyãś adalah
Muhammad bin Sa’ad. Setelah diteliti, hadis tersebut berbentuk hadis qauliyyah
yang dari jalur Abū Hurairah dan hadīs fi’liyyah dari jalur periwayatan ‘Āisyah.
Adapun dalam hadis yang dimuat dalam Sunan al-Tirmiżī dengan jalur
periwayatan dari Abū Żar96 bahwa hadis tersebut berstatus hadis hasan sahīh
96
Abū al-'Ula Muhammad 'Abdurrahmãn bin 'Abdurrahīm al-Mubăr al-Kăturī, Tuhfat al-
Ahwadzī bi Syarh al-Tirmiżī, Jilid II, op. cit., hlm. 270.
57
karena ada pentadlisan pada sanadnya yakni Husyaim, ia adalah periwayat yang
namun ia adalah orang yang jujur dan seorang yang tinggi tingkat keadilan dan
melintasnya anjing, keledai dan wanita jika tidak ada pembatas salat, seperti
dinding, batu atau yang lainnya. Redaksi matan hadis tersebut dilanjutkan adanya
membedakan antara anjing hitam, anjing merah, anjing kuning dan anjing putih.
Abū Żar dalam meriwayatkan hadis ini, di-takhrīj oleh Muslim, Ibn Mãjah,
Kemudian dalam hadis yang lain dimuat dalam Sunan al-Tirmiżī dengan
jalur periwayatan dari Ibn Abbãs menyatakan bahwa anjing, keledai dan wanita
tidak dapat memutuskan salat,97 namun suatu ketika ada anak kambing yang
melintas maka Rasulullah bergeser maju ke arah kiblat.98 Ternyata hadis tersebut
berupa hadīs mauqūf, yang seluruh periwayat dalam runtutan sanadnya adalah
periwayat yang śiqah dan kuat ingatannya. Hadis-hadis Ibn Abbãs tersebut di-
melintasnya anjing, keledai dan wanita terdapat tiga hadis, dua hadis di antaranya
97
Ibid., hlm. 268-269.
98
Abū 'Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, op. cit., hlm. 302-303.
58
dengan jalur periwayatan dari Ibn Abbãs dan satu diantaranya dengan jalur
persambungan sanad dan seluruh periwayatnya śiqah, kuat hafalannya dan dapat
dipercaya. Adapun redaksi hadisnya dari jalur periwayatan Ibn Abbãs bahwa salat
dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai, babi, Yahudi, Majusi dan
wanita jika tidak ada satir adalah hadīs qauliyyah yang seluruh periwayatnya
adalah śiqah dan kuat ingatannya dan runtutan sanadnya muttasil, tidak ada
keterputusan sanad,99 ada yang mengkhususkan pada wanita haid dan anjing saja
śiqah-annya.100
Dalam periwayatan Ibn Abbãs yang lain dari Abī al-Sahbak, ada
śiqah kecuali Abī al-Sahbak adalah orang yang lemah dari penilaian an-Nasã’ī
sedangkan Abī Zur’ah, ar-Rãzi dan Ibn Hibbãn menilainya sebagai orang yang
tsiqah yang mana redaksi hadis tersebut menyatakan bahwa Ibn Abbãs pernah
melintas di depan sekelompok orang yang salat dengan menunggangi kuda dan
tidak menjadi batal salat mereka karenanya.101 Adapun hadis yang dari jalur
periwayatan dari Abū Żar dari Abdullãh bin al-Şãmit sampai periwayat terakhir
99
Abī Ţayyib Muhammad Syamsu al-Haq, op. cit., hlm. 400-402. Jelasnya, dari penelusuran
CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطع الصالةpada no. hadis 604.
100
Ibid. Jelasnya, dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطع
الصالةpada no. hadis 603.
101
Ibid., Jelasnya, dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطع
الصالةpada no. hadis 615.
59
adalah periwayat yang terkenal dengan ke-dabit-annya. Selain itu Abdul al-Salãm
sebagai periwayat kelima memiliki mutãbi’, yaitu Syu’bah bin al-Hajjãj dan
buah hadis. Hadis-hadis dengan jalur periwayatan dari Ibn Abbãs, Abū Hurairah
dan Abū Żar adalah hadīs marfū’, ada persambungan sanad, seluruh periwayatnya
dari jalur periwayatan dari Ibn Abbãs dari al-Hasan al-‘Urani ada keterputusan
sanad dilihat dari jarak masa hidupnya yang begitu jauh dan tahammul wa al-
sehingga hadis ini masih kuat kedudukannya. Selanjutnya dari jalur periwayatan
dari ‘Abdullãh bin Mughaffal, runtutan sanad dari periwayat al-Hasan dan Sa’īd
dinilai oleh ‘Abdullãh bin Sa’īd keduanya sebagai seorang yang śiqah, namun
meriwayatkan hadis.
salat dapat terputus karena melintasnya anjing hitam, keledai dan wanita jika
tidak ada satir. Adapun mengenai sanadnya, kesemua periwayat adalah periwayat
yang śiqah, terpercaya dan kuat ingatannya. Runtutan sanadnya tidak ada
keterputusan, jelas ada persambungan sanad dilihat dari berbagai sisi dari
al-‘adã-nya.
60
melintasnya anjing, keledai dan wanita dari Abū Hurairah tersebut memiliki
syãhid, yaitu Ibn Abbãs, Abū Żar dan Abdullãh bin Mughaffal. Sedangkan hadis
dari jalur periwayatan ‘Āisyah yang menyatakan Nabi pernah salat dalam keadaan
seorang istri Nabi yang paling dekat dengan diri Nabi dan terkenal dengan ke-
periwayat lainnya dari musyãhid dan mutãbi’ adalah śiqah maka tadlis ini
terkalahkan oleh periwayat yang śiqah. Maka hadis-hadis tersebut menjadi kuat,
tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat
şahīh dan ada pula yang menyatakan hasan şahīh. Akhirnya problem yang urgen
Setelah diteliti secara jeli dan cermat, ternyata hadis tentang terputusnya
salat yang dilintasi anjing, keledai dan wanita ini tidak diketemukan dalam kitab
Şahīh Bukhãrī. Tetapi hadis ini terdapat dalam kitab Şahīh Muslim, Sunan Abī
Dãwud, Sunan an-Nasã’ī, Sunan at-Tirmiżi, Sunan Ibn Mãjah, Sunan ad-Dãrimi
dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Dalam kitab Şahih Bukhãrī hanya terdapat hadis
‘Āisyah yang menyangkal atau menyanggah kebenaran hadis tersebut. Begitu
pula hadis ‘Āisyah ini terdapat dalam kitab Şahīh Muslim dan Musnad Ahmad bin
Hanbal. Dengan demikian, penjelasan tentang hadis ini bisa dideskripsikan dua
materi hadis yang saling bertentangan. Dengan demikian perlu adanya
penyelesaian terhadap hadis tersebut.
102
Nuruddin Itr, Ulūm al-Hadīs (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 130-131.
61
melintasnya anjing, keledai dan wanita sebagaimana penilaian dari ulama dan
tersebut berstatus hadīs sahīh dan ada pula yang menyatakan hadīs hasan, maka
telah layak untuk diteliti pemaknaan hadis tersebut dengan metode Ma'ănī al-
Hadīs.
B. Kritik Eidetis
Setelah mengetahui redaksi matan hadis-hadis tentang terputusnya salat
karena melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut, maka langkah selanjutnya
adalah memaparkan dan menjelaskan pemaknaan hadis secara tepat, proporsional
dan komprehensif melalui kajian lingustik, kajian tematik-komprehensif dan
kajian konfirmatif. Dalam memahami hadis tersebut, digunakan tiga analisis yaitu
analisis makna, analisis sosio historis dan analisis generalisasi.
103
Ahmad Hasan, Kajian Hadis Metode Takhrij (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), hlm. 43.
62
penjelas dan atau pendukung hadis yang diteliti. Di samping itu, juga konfirmasi
menetapkan hadis-hadis yang berstatus şahīh, hasan dan da’īf dengan syarat-
Dalam mengkaji sebuah hadis, kritik matan baru dapat dilakukan setelah
kritik sanad. Setelah dari sanadnya telah terbukti hadis tersebut berstatus şahīh
dan hasan, maka dilanjutkan dengan kritik matan. Matan hadis tentang
terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita adalah hadis yang
sebelumnya. Selain itu, ada problem kebahasaan (linguistik) dalam redaksi hadis
memiliki banyak versi dalam redaksi hadisnya. Perbedaan lafal yang diriwayatkan
oleh dua orang yang berbeda merupakan hal yang wajar, namun yang menjadi
63
kejanggalan jika terdapat lafal matan yang berbeda dan bertentangan, sehingga
perlu diteliti dan dianalisis untuk memberikan pemaknaan dan pemahaman yang
Pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhãrī dengan jalur dari ‘Āisyah
تُ ونا بِ اْل ُح ُم ِر َواْل ِكاَل ِب َواللَّ ِه لَقَ ْد َرأ َْي َ َّهتُ ُمْ ت َش ب ْ َب َواْل ِح َم ُار َواْل َم ْرأَةُ فَقَ ال
ُ الص اَل ةَ اْل َكْل
َّ ُط ع َ َما َي ْق
ط ِج َعةً فَتَْب ُدو ِل َي َ ض ْ ير َب ْيَن هُ َوَب ْي َن اْل ِقْبلَ ِة ُم
ِ الس ِرَّ ص لِّي َوإِ ِّني َعلَى َّ ِ َّ َّ النبِ َّي
َ ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم ُي َ َّ
صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَأ َْن َس ُّل ِم ْن ِعْن ِد ِر ْجلَْي ِه َ النبِ َّي
َّ ي ِ ْ َن أ
َ َجل َس فَأُو ِذ ْ اجةُ فَأَ ْك َرهُ أ
َ اْل َح
dan dalam jalur yang lain dari ‘Āisyah yang diriwayatkan al-Bukhãrī adalah :
َُن ْح َوه
َّ ك ِمثْ ُل ُم ْؤ ِخ َر ِة
الر ْح ِل َ ب َوَي ِقي َذِل ِ
ُ الصاَل ةَ اْل َم ْرأَةُ َواْلح َم ُار َواْل َكْل
َّ ُطع
َ َي ْق
َس َو ُد
ْ ب اأْل
ُ ص اَل تَهُ اْل َكْل
َ ط َع َّ ط ِة
َ َالر ْح ِل ق َ اسِ الر ْح ِل أَو َكو
َ ْ
ِ الرج ُل ولَْيس ب ْين ي َد ْي ِه َك
َّ آخ َر ِة َ َ َ َ َ ُ َّ صلى
َّ ِإ َذا
َ
ِ ال يا ْابن أ ِ َح َم ِر ِم َن اأْل َْبَيْ َس َو ِد ِم َن اأْل واْلم رأَةُ واْل ِحم ار فَ ُقْل ُ أِل
َخي َ َ َ َض فَق ْ ت َبِي َذٍّر َما َب ا ُل اأْل ُ َ َ ْ َ َ
ان
ٌط َ َس َو ُد َش ْي
ْ ب اأْل َ َصلَّى اللَّهم َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَق
ُ ال اْل َكْل
ِ َّ
َ ت َر ُسو َل الله ُ َسأَْلتَنِي َك َما َسأَْل
Adapun redaksi matan hadis yang jalur periwayatan dari Ibn Abbãs diantaranya
adalah:
ِ ي واْلمج
وس ُّي َواْل َم ْرأَةُ َوُي ْج ِزئُ َعْن هُ ِإ َذا َم ُّروا ِ ُير واْلَيه ِ ِ
ُ َ َ ُّ ود َ ُ ب َواْلح َم ُار َواْلخ ْن ِز ُ صاَل تَهُ اْل َكْل
َ ُطع َ َي ْق
َب ْي َن َي َد ْي ِه َعلَى قَ ْذفَ ٍة بِ َح َج ٍر
ض ِ
ُ َس َو ُد َواْل َم ْرأَةُ اْل َحائ
ْ ب اأْل
ُ الصاَل ةَ اْل َكْل
َّ ُطع
َ َي ْق
104
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1133-1136.
105
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh an-Nawãwī, Jilid IV, op. cit., hlm. 227-228. Lihat juga
Ahmad bin Ali ibn Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Barī Syarh Sahīh Imam Abī Abdillãh Muhammad bin
Ismã’il al-Bukhãrī, op. cit., hlm. 589.
106
Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwinī, op. cit., hlm. 302-303.
65
antara anjing hitam, anjing kuning dan anjing merah. Hitam, merah dan kuning
adalah variasi warna-warna sebuah materiil.
Dalam sebuah riwayat bahwa anjing hitam adalah ibarat dari setan. Setan
yang akan mengganggu kekhusyukan salat. Anjing hitam sebagai simbol dari
setan yang akan menganggu salat. Setan berasal dari kata syaţana, syaţnan,
syaiţãn. Ada yang mengatakan syaiţãn berwazan fi’alan dan ada pula yang
menyebutkan berwazan fa’lan dan nunnya adalah zaidah.107 Adapun bentuk jama’
dari syaiţãn adalah syayaţīn.
Kemudian makna dari syaiţãn ( ) شيطا نadalah menentang, menyalahi,
menjauhkan dari kebaikan, menyimpang, membangkang, durhaka, berbuat
seperti perbuatan setan, perbuatan kejahatan, ruh jahat, iblis dan setan jahat.108
Ada pula yang memaknai syaţanu ( ) شطنadalah mengikat dengan tali yang
panjang, jika dalam bentuk lafal syãţinun ( ) شا طنadalah jauh dari kebaikan,
yang keji, yang memiliki hawa nafsu. Setan adalah makhluk hidup yang memiliki
pengetahuan, yang dapat berupa jin, manusia atau binatang.109 Di sini setan
berupa wujud makhluk, yang berbentuk jin, iblis atau manusia. Ada pula yang
memaknai setan sebagai perbuatan yang jahat, jauh dari kebaikan, yang dapat
menimpa setiap makhluk dengan dihinggapi oleh perbuatan jahat itu.110
Setan secara sempit dimaknai makhluk sejenis jin atau iblis yang memiliki
sifat-sifat jahat dan hanya diliputi oleh nafsu. Kemudian anjing hitam hanyalah
sebagai simbol makhluk yang memiliki sifat-sifat jahat (setan). Sehingga makna
dari anjing hitam itu adalah setan sebagaimana pemaknaan di atas.
Dalam sebuah hadis lain disebutkan juga bahwa anjing hitam adalah
simbol dari setan yang diperintahkan untuk dibunuhnya.111 Anjing hitam itu
adalah salah satu wujud dari setan. Setan adalah salah satu bentuk dari jin.
Kemudian anjing hitam adalah ibarat dari setan yang selalu membawa pada
perbuatan kejahatan dan penyimpangan dari syariat.
Dalam redaksi matan hadis tersebut juga terdapat pengkhususan pada
wanita haid. Dari lafal المراة الحا ئضdapat dipahami bahwa wanita itu harus telah
dewasa, artinya wanita yang dapat menarik perhatian menuju kemaksiatan dan
107
Abū Fadl Jamãl al-Dīn Muhammad bin Makram, Lisãn al-‘Arab, Jilid VIII (Beirūt: Dãr
Şadir, t.th.), hlm. 237.
108
Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 721.
109
Abū Fadl Jamãl al-Dīn Muhammad bin Makram, Lisan al-‘Arab, op. cit., hlm. 238.
110
Ibid.,hlm. 238-239.
111
Ibid., hlm 238-239. Lihat juga dalam Imãm Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainurī,
Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs, (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995), hlm. 125-129.
66
merusak kekhusyukan salat, bukan anak-anak kecil atau orang tua yang tidak
menarik hati lagi.
2. Kritik Tematik-Komprehensif
Dalam kajian pemaknaan hadis tentang terputusnya salat karena
melintasnya anjing, keledai dan wanita tersebut ada banyak hadis-hadis yang
mendukung atau relevan dengan tema yang diteliti, di antaranya adalah hadis-
hadis yang secara parsial menjelaskan bahwa salah satu dari ketiga hal tersebut
dapat memutuskan salat dan hadis-hadis tentang satir. Adapun hadis-hadis yang
relevan dengan tema yang dikaji di antaranya adalah:
ِّ الز ْه ِر
ي ُّ يد ْب ُن ُز َر ْي ٍع َح َّدثََنا َم ْع َم ٌر َع ِن ُ الش َو ِار ِب َح َّدثََنا َي ِزَّ َح َّدثََنا م َح َّم ُد ْب ُن َع ْب ِد اْلمِل ِك ْب ِن أَبِي
َ ُ
ٍ َض ِل َعلَى أَت
ان فَ ِج ْئَنا ْ َف اْلف َ ت َر ِدي ُ ال ُك ْنَ ََّاس قٍ َع ْن ُعَب ْي ِد اللَّ ِه ْب ِن َعْب ِد اللَّ ِه ْب ِن ُعتَْب ةَ َع ِن ْاب ِن َعب
ِ ِ ِّ النبِ ُّي صلَّى اللَّهم َعلَْي ِه وسلَّم ُي
ت ْ ف فَ َم َّر َّ الص
َّ ص ْلَنا َ َص َحابِه بِمًنى قَ ا َل فََن َزْلَنا َع ْنهَا فَ َو ْ صلي بِأ َ ََ َ َ َّ َو
ٍ ض ِل ْب ِن َعب
َّاس ْ َيس ى َو ِفي اْلَب اب َع ْن َعائِ َش ةَ َواْلف ِ
َ ص اَل تَهُ ْم قَ ا َل أَبمو ع َ ط ْع َ َب ْي َن أ َْي ِدي ِه ْم َفلَ ْم تَ ْق
يح َواْل َع َم ُل َعلَْي ِه ِع ْن َد أَ ْكثَ ِر
ٌ ص ِح َ يث َح َس ٌن ٌ َّاس َح ِد ٍ يث ْاب ِن َعب ُ يس ى َو َح ِد ِ
َ ال أَبمو ع َ ََو ْاب ِن ُع َم َر ق
ِ ِ َّ ِ َّ َّ النبِ ِّي ِ ِِ ْأ
ُط ع َ ين قَ الُوا اَل َي ْق َ ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم َو َم ْن َب ْع َد ُه ْم م َن التَّابِع َ َّ اب ِ َص َح ْ َه ِل اْلعْلم م ْن أ
112
الش ِاف ِع ُّي
َّ ي و َّ ُ الصاَل ةَ َشيء وبِ ِه َيقُو ُل س ْفَي
َ ُّ ان الث ْو ِر ُ ٌَْ َّ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Mãlik bin Abī al-
Syawãrib, telah menceritakan kepada kami Yazīd bin Zuraik, telah
menceritakan kepada kami Ma’mar dari al-Zuhrī dari Ubaidillãh bin Abdullãh
bin Utbah dari Ibn ‘Abbãs berkata: “aku membonceng Al-Fadl di atas keledai
betina lalu kami datang sedangkan Rasulullah saw. tengah melakukan salat
beserta sahabat-sahabatnya di Mina kemudian kami turun darinya, lalu kami
mendatangi barisan, kemudian keledai tersebut lewat di hadapan mereka dan
tidak memutuskan salat mereka. Dalam hal ini terdapat hadis dari ‘Āisyah,
Al-Fadl bin Abbãs dan Ibnu Umar. Abu Īsa berkata: Hadis Ibn Abbãs adalah
hadīs hasan şahīh. Hadis ini diamalkan menurut kebanyakan para ahli ilmu
dari para sahabat Rasulullah saw. Dan para tabi’in sesudah mereka, mereka
berkata: Tidak ada sesuatu yang memutuskan salat. Dan pendapat ini diikuti
oleh Sufyãn dan Asy-Syãfi’i.
112
Abī al-‘Ula Muhammad Abdurrahmãn bin Abdirrahīm al-Mubãr al-Kafūrī, op. cit., hlm.
268-269. Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطعterdapat dalam
Sunan al-Tirmiżī bab as-şalãt dengan no. hadis 309.
67
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullãh bin Numair dan
Ishãq bin Ibrahīm, Ishãq berkata: telah memberitakan kepada kami, Ibn
Numair, telah memceritakan kepada kami 'Umar bin 'Ubaid al-Ţanăfisī dari
Simãk ibn Harbin, dari Mūsa bin Thalhah dari ayahnya ia berkata: Kami
sedang salat dan binatang melata melintas di antara kami kemudian kami
beritahukan itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah berkata letakkanlah
semacam tiang kayu (patok) di antara keduanya. Ibn Numair berkata maka
tidak dikhawatirkan lagi sesuatu melintas di antaranya.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullãh bin Yūsuf berkata, telah
mengkabarkan kepada kami Mãlik, dari Abī Nadhr Maula ‘Umar bin
Ubaidillãh dari Busrin bin Sa’īd, sesungguhnya Zaid bin Khãlid menyuruh
dia pergi kepada Abū Juhaim menanyakan apa yang telah didengarnya dari
Rasulullah tentang perkara orang yang melintas di hadapan orang yang salat.
Abū Juhaim berkata: Rasulullah saw. bersabda: Kalau sekiranya orang yang
melintas di hadapan orang yang salat itu mengetahui akan dosanya, niscahya
berdiri empat puluh tahun lamanya lebih baik daripada melintas di hadapan
113
Al-Nawãwī, Sahīh Muslim bi Syarh an-Nawãwī, op. cit.,hlm. 216-217.
114
Imãm Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’il bin Ibrahīm ibn Mughīrah bin Bardazaih al-
Bukhari al-Ju’fi, op. cit., hlm. 129.
68
orang yang salat. Abu Nadr berkata: aku tidak mengetahui yang
dimaksudkannya empat puluh hari, bulan atau tahun.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-‘Alã, telah menceritakan
kepada kami Abū Usãmah, dari Mujãlid, dari Abī al-waddãk, dari Abī Sa’īd
berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada sesuatupun yang dapat
memutuskan salat dan tolaklah mereka semampumu karena sesungguhnya dia
adalah setan.”
3. Kritik Konfirmatif
Untuk memahami hadis-hadis tentang putusnya salat karena melintasnya
anjing, keledai dan wanita dengan pemahaman yang mendekati kebenaran, maka
harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Oleh karena itu, tidak ada hadis sahih yang kandungannya bertentangan
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkamat. Jikalau masih ada pertentangan
antara keduanya, maka terdapat beberapa kemungkinan, diantaranya pemahaman
terhadap hadis kurang tepat atau pertentangan pada hadis tersebut bersifat semu
atau tidak hakiki.
Hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai
dan wanita, ketika dikonfirmasikan dengan ayat al-Qur’an dalam surat al-
Mu’minun (23) ayat 2-3 sebagai berikut:
115
Dari penelusuran CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf dengan kata kunci قطعterdapat dalam
Sunan Abū Dãwud dengan no. hadis 617.
69
َّ َِّ ِ ِ ِ َِّ
ون
َ ضُ ين ُه ْم َع ِن الل ْغ ِو ُم ْع ِر َ صاَل ت ِه ْم َخاش ُع
َ الذ. ون َ ين ُه ْم في
َ الذ
Artinya:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang
yang khusyuk dalam sembahyangnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.116
اش ِعين
ِ الصاَل ِة وإِ َّنها لَ َكبِيرةٌ ِإاَّل علَى اْل َخ
َ َ َ َ َّ َّب ِر َو ْ استَ ِع ُينوا بِالص
ْ َو
Artinya:
Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.117
Allah menciptakan jin dan manusia agar beribadah kepada-Nya dengan
keikhlasan dan kekhusyukan sebagaimana dijelaskan dalam surat adz-Dzariyat
(51) ayat 56:
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.118
Ibid.,hlm. 16.
118
Ibid., hlm. 862.
70
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.119
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
119
Ibid., hlm. 847.
71
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.120
ضٍ ض ُك ْم ِم ْن َب ْع ِ ِ ِ ِ
ُ اب لَهُ ْم َربُّهُ ْم أَِّني اَل أُض يعُ َع َم َل َعام ٍل م ْن ُك ْم م ْن َذ َك ٍر أ َْو أ ُْنثَى َب ْع
َ اس تَ َج
ْ َف
ُخ ِر ُج وا ِم ْن ِدَي ِار ِه ْم َوأُو ُذوا ِفي َس بِ ِيلي َوقَ اتَلُوا َوقُتِلُ وا أَل ُ َكفَِّر َّن َع ْنهُ ْمْ اج ُروا َوأ َ ين َه
َِّ
َ فَالذ
ات تَ ْج ِري ِم ْن تَ ْحتِهَا اأْل َْنهَ ُار ثََو ًابا ِم ْن ِع ْن ِد اللَّ ِه َواللَّهُ ِعْن َدهُ ُح ْس ُن
ٍ س يَِّئاتِ ِهم وأَل ُْد ِخلََّنهم جَّن
َ ُْ َْ َ
ِ الثَّو
اب َ
Artinya:
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke
dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di
sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."121
C. Analisis Hadis
Dalam penilaian matan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena
melintasnya anjing, keledai dan wanita, penulis menggunakan pendekatan
bahasa (linguistik), historis dan sosiologis. Juga dengan mempertimbangkan
120
Ibid., hlm. 114 dan 123.
121
Ibid., hlm. 110.
72
122
Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw. antara Pemahaman Tekstual
dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 160.
123
Ahmad bin Alī bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī ,op. cit., hlm. 588-590. Lihat juga Abu
Abbãs Syihãb al-Dīn Ahmad bin Muhammad bin al-Qasţalanī, Irsyãd al-Sãrī li Syarh Şahīh al-
Bukhãrī (Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.), hlm. 469-473.
124
Abū Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Abadi, ‘Aun al-Ma’būd, op. cit., hlm. 402-406.
73
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair
dan Ishãq bin Ibrahīm, Ishãq berkata: memberitakan kepada kami, Ibn
Numair berkata, telah memceritakan kepada kami 'Umar bin 'Ubaid al-
Ţanăfisī dari Simãk ibn Harbin, dari Mūsa bin Thalhah dari ayahnya ia
berkata: “Kami sedang salat dan binatang melata melintas di antara kami
kemudian kami beritahukan itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah
berkata letakkanlah semacam tiang kayu (patok) di antara keduanya” dan
Ibn Numair berkata: “maka tidak dikhawatirkan lagi sesuatu melintas di
antaranya.”
125
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, op. cit.,hlm. 216-217.
74
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullãh bin Yusūf berkata, telah
mengkabarkan kepada kami Mãlik, dari Abī Nadhr Maula ‘Umar bin
Ubaidillãh dari Busrin bin Sa’īd, sesungguhnya Zaid bin Khãlid
menyuruh dia pergi kepada Abū Juhaim menanyakan apa yang telah
didengarnya dari Rasulullah tentang perkara orang yang melintas di
hadapan orang yang salat. Abū Juhaim berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Kalau sekiranya orang yang melintas di hadapan orang yang
salat itu mengetahui akan dosanya, niscahya berdiri empat puluh tahun
lamanya lebih baik daripada melintas di hadapan orang yang salat. Abu
Nadr mengatakan aku tidak tahu yang dimaksudkannya empat puluh hari,
bulan atau tahun.
َس لَ َم َع ْن َعْب ِد ِ ْ َح َّدثََنا أَُبو ُك َر ْي ٍب َح َّدثََنا أَُبو َخ ِال ٍد اأْل
ْ َح َم ُر َع ِن ْاب ِن َع ْجاَل َن َع ْن َز ْي د ْب ِن أ
َح ُد ُك ْم َّ يه قَا َل قَا َل رسو ُل اللَّ ِه صلَّى اللَّهم علَْي ِه وسلَّم ِإ َذا ِ ِالر ْحم ِن ْب ِن أَبِي س ِع ٍيد ع ْن أَب
َ صلى أَ ََ َ َ َ ُ َ َ َ َ َّ
126
Imãm Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’il bin Ibrahīm ibn Mughīrah bin Bardazaih al-
Bukhari al-Ju’fi, Şahīh Bukhãrī, Juz I, op. cit., hlm. 129. Lihat juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-
Asqalãnī, Fath al-Bãrī ,op. cit., hlm. 584-586. Lihat juga Abū Abbãs Syihãb al-Dīn Ahmad bin
Muhammad bin al-Qasţãlanī, Irsyãd al-Sãrī li Syarh Şahīh al-Bukhãrī, op. cit., hlm. 471.
75
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Abū Kuraib, telah menceritakan kepada
kami Abū Khãlid al-Ahmar, dari Ibn ‘Ajlãn, dari Zaid bin Aslam dari
Abdurrahman bin Abī Sa’īd, dari ayahnya berkata: Rasulullah saw.
bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu salat menghadap kepada
sesuatu yang menjadi pembatas dari seseorang yang melintas, kemudian
jika ada seseorang yang tetap melintas dihadapanmu, hendaklah
menolaknya kalau ia tidak mau hendaklah dilawan, karena sesungguhnya
ia itu adalah setan.”
Sehubungan dengan bentuk hadis Nabi, hadis dari Ibn Abbãs yang
menyatakan tidak ada sesuatupun yang dapat memutuskan salat adalah qaul
sahãbat atau diistilahkan hadīs mauqūf.128 Hadis yang diriwayatkan Ibn
Abbãs yang menyatakan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya
anjing dan wanita dewasa berupa qaul sahãbat juga.129 Ada sebuah hadis lagi
dari Ibn Abbãs berbentuk hadīs mauqūf juga, yang menyatakan bahwa ada
127
Ibid., Lihat juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī, op. cit., hlm. 581-584.
Lihat juga Abū Abdullãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, op. cit., hlm. 301-302.
Dari penelusuran hadis melalui CD Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf dengan kata kunci سترditemukan
dalam Sunan Ibn Mãjah bab Iqãmah al-Şalãt dengan no. hadis 944.
128
Abū al-Ula Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr Katūrī Tuhfat al-Ahważī,
op. cit., hlm.268-269. Lihat juga Abū Muthīb Muhammad Samsul al-Haq, ‘Aun al-Ma’būd, op. cit.,
hlm. 405.
76
keledai yang melintas di depan sekelompok orang salat dan salat tidak
menjadi batal karenanya.130 Namun Ibn Abbãs juga meriwayatkan hadis yang
menyatakan bahwa yang dapat memutuskan salat adalah anjing hitam dan
wanita dewasa yang berbentuk hadīs qauliyyah131 yang mana hadīs qauliyyah
memiliki level pertama dalam hadis Nabi karena periwayat mendengar
langsung ucapan atau hadis Nabi tersebut sehingga tidak diragukan lagi
kebenarannya.
129
Jalãluddīn al-Suyūtī, Sunan an-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, op. cit., hlm. 64.
Lihat juga Abū Muthīb Muhammad Samsul Haq, ‘Aun al-Ma’bud, op. cit., hlm. 400.
130
Ibid., hlm. 403-404.
131
Abū Abdullãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, op. cit., hlm. 302-303.
132
Ibid., hlm. 302-303. Lihat juga al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, op. cit.,
hlm. 227-228.
133
Al-Nawãwī, op. cit., hlm. 226-227. Lihat juga Abū Abdullah Muhammad bin Yazīd al-
Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, op. cit., hlm. 303. Lihat juga Abū al-‘Ula Muhammad Abdurrahmãn ibn
Abdurrahīm al-Mubãr Kafurī, Tuhfat al-Ahważī, op. cit., hlm.270-271. Lihat juga Jalãluddīn al-Suyūtī,
Sunan an-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, op. cit., hlm. 63-64.
134
Ibid., hlm. 227-229. Lihat juga Imãm Abū Abdillãh Muhammad bin Ismã’il bin Ibrãhīm
ibn Mughīrah bin Bardazaih al-Bukhãrī al-Ju’fī, Şahīh Bukhãrī, op. cit., hlm. 130. Hadis yang sama
dimuat dalam Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī,op. cit., hlm. 588-590. Lihat juga
Abū Abbãs Syihãbal-Dīn Ahmad bin Muhammad bin al-Qasţalãnī, Irsyãd al-Sãrī li Syarh Şahīh al-
Bukhãrī, op. cit., hlm. 469-473.
77
anjing dan keledai.135 Hal ini disebabkan karena ‘Āisyah sebagai wanita
merasa dilecehkan dan direndahkan karena pengaruh melintasnya wanita yang
dapat memutuskan salat dan adanya penyerupaan wanita dengan anjing dan
keledai. Dalam hadis itu dijelaskan bahwa Nabi sedang salat dengan keadaan
‘Āisyah yang terbaring di depannya, namun karena ‘Āisyah tidak mau
mengganggu salatnya Nabi, lalu ia bergeser ke dekat kedua kaki Nabi. Dalam
hal ini, Nabi tidak menegur dan menyuruh ‘Āisyah untuk bergeser. Di sinilah
muncul inisiatif dari ’Āisyah sendiri untuk menggeserkan kakinya perlahan-
lahan ke dekat kaki Nabi, agar tidak mengganggu salat beliau.
Ada yang mengatakan hadis dengan jalur periwayatan dari Abū
Hurairah dan Anas mendapat ziyãdah pada hadis Abū Żar. Ziyãdah ini akan
menjadikan diterimanya hadis tersebut atau bahkan menguatkannya.
Mengenai pengkhususan pada anjing hitam itu hanya dari periwayatan Abū
Żar, yang tidak ada pada periwayatan Abū Hurairah dan Anas. Dalam hal ini,
lafal الكلب االسواد شيطان, adalah ziyãdah pada hadis dari jalur periwayatan dari
Abī Żar saja, sehingga lafal الكلب االسواد شيطانtidak diterima, masih diragukan
keberadaan lafal tersebut.136 Mengenai anjing hitam itu adalah salah satu
wujud dari setan. Setan adalah satu bentuk dari jin. Sehingga anjing hitam
menyandang simbol setan yang mengajak atau berbuat kejahatan.137
Mengenai melintasnya keledai di depan orang yang sedang salat,
Syaikh Ahmad Syãkir berkomentar dalam kitab Al-Muhallã,138 dalam kaitan
sebuah riwayat yang antara lain berbunyi sebagai berikut : ”…Saya
mendengar Umar bin Abdul Azīz menceritakan dari ‘Ayyasy bin Abī Rabī’ah,
katanya: Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw. sedang mengimami salat
bersama para sahabatnya, tiba-tiba ada seekor keledai lewat di antara kami,
lalu ‘Ayyasy berkata: Subhanallah! Maka setelah menyelesaikan salat,
Rasulullah saw. bertanya: Siapa di antara kalian yang mengucapkan
subhanallah? Berkata ‘Ayyasy: saya, ya Rasulullah! Saya dengar bahwa
keledai menghentikan salat. Maka beliau bersabda: Tidak ada sesuatu yang
135
Ibid.
136
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, Juz IV (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 9-11.
137
Lebih jelasnya mengenai bentuk matan hadis yang berupa ungkapan simbolik dapat
diperoleh pada Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Tela’ah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 18-22.
138
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, op. cit., hlm. 15.
78
139
Ibid.
140
Ibid.
141
Ibid.
.
142
Ibid.
143
Ahmad bin Alī bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī, op. cit., hlm. 579. Lihat juga Abū
Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Muhallã, op. cit., hlm. 13-15. Lihat juga Muhammad al-
Ghazali, Studi Kritis atas Nabi saw. antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan,
1993), hlm. 160-161.
144
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, op. cit., hlm. 8-10.
79
145
Ibid., hlm. 11-13.
146
Fatima Mernissi-Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan
dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi (Yogyakarta: LSSPA, 1995), hlm. 169-174.
80
bahwa koleksi hadis adalah bagian dari realitas tradisi keislaman yang
bersinggungan dengan budaya (culture) dalam sebuah dimensi masyarakat,
yakni pada masa Nabi dan para sahabatnya.
Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh pada pemaknaan hadis
dengan metode ma’ãnī al-hadīs, diperlukan adanya analisis historis yang
meliputi situasi makro dan mikro jika ada, yakni sebab munculnya suatu hadis
(asbãb wurūd al-hadīs). Setelah mengadakan penelusuran pada kitab-kitab
yang membahas asbãb wurūd al-hadīs dan kitab syarh hadis, penulis tidak
mendapatkan sebab khusus yang melatarbelakangi hadis-hadis tentang
terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Oleh sebab
itu, dalam analisis historis hadis tersebut, maka penulis mencoba untuk
memaparkan situasi makro yakni situasi sosial tempat salat, masjid atau dalam
bentuk lainnya sebagai tempat ibadah kepada Allah di masa Nabi dan para
sahabatnnya.
Pada masa Nabi, masa-masa awal masuknya Islam ke Arab yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw., belum terdapat tempat ibadat yang
khusus, dalam arti masjid yang dapat digunakan sebagai tempat ibadat,
bermunajat kepada Allah swt. Umat Islam pada masa awalnya melaksanakan
salat di mana saja, baik itu di jalan, tanah lapang, hutan, gurun dan tempat-
tempat lainnya yang suci.
Hakikatnya, seluruh jagad raya adalah masjid bagi muslim. Hal ini
berarti bahwa seluruh bumi adalah tempat tempat memperhamba diri pada
Tuhan, tempat meluhurkan Tuhan. Anas memberitakan bahwa Rasulullah
biasa salat di mana saja apabila waktunya salat sudah datang, meskipun di
kandang kambing. Untuk hubungan vertikal antara Allah dengan makhluk-
Nya, tidak perlu mengkhususkan tempat karena seluruh bumi ini adalah suci
dan bersih. Maka, dimanapun seseorang berada boleh melakukan salat apabila
waktunya telah tiba.
Pada masa awal Islam sebelum terdapat masjid, salat dilakukan oleh
umat muslimin di mana saja baik itu jalan, tanah lapang, gurun, atau tempat-
tempat lainnya. Rasululah baru membangun masjid, setelah hijrah ke
Madinah, beliau membangun masjid Quba, selanjutnya dibangunlah masjid
Nabawi di Madinah. Jika melihat kondisi tempat salat pada masa Rasulullah
dan sahabat, kadang-kadang salat dilakukan di tanah lapang bukan di masjid.
Selanjutnya mulai muncul masjid-masjid yang dibangun di berbagai kota di
wilayah Islam, sehingga umat Islam dapat melakukan salat dengan tempat
khusus untuk menghadap kepada Allah, tanpa gangguan sesuatu hal yang
dapat berseberangan di depannya.
Dengan melihat sedikitnya masjid dan jarak yang jauh antara
masyarakat dengan masjid serta kondisi kehidupan masyarakat Makkah dan
82
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah dan al-Harś
bin Maskīn, dan aku mendengarnya dari Ibn Qãsim berkata: telah
menceritakan kepadaku Mãlik, dari Nafi’, dari Abdullãh bin Umar
berkata: “Di hari penaklukan Makkah Rasulullah saw. bersama Usãmah
ibn Zaid, Bilãl dan Usman Ibnu Thalhah Al-Hajabi masuk ke dalam
ka’bah, kemudian beliau menutup pintunya. Ketika beliau keluar, maka
aku bertanya pada Bilal: “Apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw.
ketika ada di dalam ka’bah?” jawab Bilãl: “Rasulullah saw.
bersembahyang dengan menghadap ke salah satu dinding ka’bah dan
147
Jalãluddīn al-Suyūtī, Sunan an-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, op. cit., hlm. 63.
83
Di samping itu, keadaan wanita pada masa awal Islam masih amat
memprihatinkan karena masih terakulturasi dengan tradisi budaya jahiliyah
yang menganggap wanita adalah makhuk yang lemah dan hina, yang tidak
mampu melakukan hal yang terhormat apapun juga. Kaum perempuan saat itu
dianggap tidak lebih berharga dari suatu komoditi.148 Kehidupan bangsa Arab
pra Islam terdiri dari kabilah-kabilah, yang mana hidupnya berpindah-pindah
dari daerah ke daerah, sehingga hal itu juga mempengaruhi mata pencaharian
mereka. Mereka ada yang memelihara ternak hewan dan berdagang, ada pula
yang melakukan perampokan antar kabilah sebagai sumber pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehadiran anak laki-laki dianggap sebagai
simbol kekuatan yang memberikan kehormatan dan kebanggaan tersendiri
terkait dengan kebiasaan pola hidup merampok dalam kehidupan mereka.
Bahkan, kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik
kekerasan (violence) yang merupakan implikasi dari sebuah ideologi yang
merendahkan kaum perempuan, yang menyebar di dunia Arab pra-Islam.149
Kondisi bangsa Arab mengalami perubahan yang radikal dan
mendasar setelah kenabian Muhammad saw. Ikatan kabilah berubah menjadi
ikatan tauhid yang berlaku universal tanpa tersekat fanatisme kelompok.
Begitu pula dalam interaksi yang dulu dengan pemberlakuan hukum rimba
berubah menjadi pola interaksi yang penuh kejujuran, kedamaian dan
ketundukan terhadap syariat Islam.
Begitu pula dalam persoalan interaksi laki-laki dan perempuan, risalah
kenabian memandang laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang
sama dan mengajak untuk menghilangkan fanatisme golongan dan fanatisme
terhadap jenis kelamin tertentu.150 Bahkan risalah kenabian pertama telah
disambut oleh seorang perempuan, yakni Khadijah. Dengan adanya
persamaan ini, peran perempuan tidak lagi di bawah dominasi laki-laki.
Kemudian pada masa Nabi, perempuan banyak muncul mengambil peran
148
Uraian mengenai ini dapat dilihat dalam buku Asghar Ali Engineer, The Rights of Women
in Islam, dalam bab 2 berjudul “Status of Women during Jahiliya”, London: C. Hurst and Co., 1992.
149
Hasan Ibrahim Hasan, Tarīkh al-Islãm al-Siyãsi wa al-Dinī wa al-Saqãfī wa al-Ijtimã’i,
Juz I (Qãhirah: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1964), hlm. 65. Baca juga Muhammad Abd al-
Hãmid Abū Zaid, Makãnah al-Mar’ah fi al-Islãm (tkp.: Dãr an-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979), hlm. 64.
Lihat juga Mansour Fakih, Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya:
Risalah Gusti, 2000), hlm. 51.
150
Muhammad Abd al-Hãmid Abū Zaid, Makãnah al-Mar’ah fi al-Islãm (tkp.: Dãr an-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979), hlm. 47.
84
dalam pendidikan dan peran sosial seperti laki-laki misalnya ‘Āisyah dan
Asmã’ bin az-Zubair yang merupakan ahli dalam periwayatan hadis. Di
sinilah jelas bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama
dan kesetaraan, namun kesamaan dan kesetaraan itu tidak bersifat mutlak
karena ada beberapa hal bagi perempuan yang bersifat kodrati yang tidak
dimiliki laki-laki seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui.
Dengan demikian, laki-laki memang memiliki kesamaan dan kesetaraan, tidak
ada subordinasi dominasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga hubungan
keduanya dapat dipahami secara fungsional. Artinya, adanya perbedaan peran
laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang dikarenakan masing-masing
memiliki keterbatasan yang hanya bisa disempurnakan oleh lawan jenisnya.
Karena memang laki-laki dan perempuan memiliki keterikatan dan
ketergantungan satu sama lain.
Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam
menunjukkan pada dasarnya mengakui, bahwa kedudukan laki-laki dan
perempuan adalah adil. Keduanya diciptakan dari satu “nafs” (living entity),
dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain.
3. Analisis Generalisasi
Qur’an sebagai konstitusi dasar yang paling pertama dan utama, sumber
utama dan paling sentral dalam pengambilan hukum dalam syariat. Untuk itu,
sebelum adanya pe-naskh-an, agar hadis tersebut tidak terkesan misoginis,
maka harus dikompromikan dahulu, sebenarnya wanita yang dimakudkan di
sini bukan keseluruhan wanita, namun hanya dikhususkan pada wanita
tertentu yang memiliki sifat-sifat jahat dan jelek yang mencerminkan sifat-
sifat setan, yang selalu mengajak kepada kemaksiatan dan mengganggu
kekhusyukan salat.
Problem yang sebenarnya adalah problem pemahaman terhadap hadis.
Sebuah hadis harus dipahami dengan tepat, proporsional dan komprehensif
dilihat dari berbagai sudut pandang di antaranya kebahasaan, sosio historis
dan variabel-variabel lainnya sehingga memunculkan pemahaman yang
mendekati kebenaran, sehingga tidak terkesan menitikberatkan pada satu sisi
seperti membaca hadis dengan kesan misoginis tanpa dapat menanggalkan
subyektivitas dari pembaca dan pengkaji teks hadis tersebut. Wanita di sini
bukan dipahami keseluruhan wanita namun wanita tertentu yang memiliki
sifat mengajak pada kejahatan dan mengganggu kedekatan hamba dengan
Tuhannya melalui ibadah salatnya. Jelasnya adalah wanita yang menyandang
sifat setan yang dapat mengganggu kekhusyukan salat. Ada pula yang
memahami bahwa wanita di sini maksudnya adalah setan, bukan wanita
secara hakiki sebagaimana hasil pengkompromian hadis-hadis tersebut.
Kemudian mengenai anjing dapat memutuskan salat tersebut karena
dikhawatirkan najis yang ditimbulkan dari air liurnya dapat menimbulkan
najis orang yang sedang salat, sehingga akhirnya dapat membatalkan salat
tersebut. Dalam beberapa redaksi hadis yang lain, ada pengkhususan pada
anjing hitam yang dapat memutuskan salat. Di sinilah terkesan terdapat
keunikan anjing hitam dibanding dengan anjing lainnya. Ada pemahaman
yang muncul bahwa anjing hitam adalah setan. Anjing hitam adalah sebuah
simbol dari setan yang dapat mengganggu kekhusyukan salat. Dengan
demikian, ada dua pemahaman terhadap anjing, yakni anjing secara hakiki
karena najis yang dibawanya dan anjing sebagai simbol dari setan saja,
hakikatnya adalah setan, bukan anjing sebenarnya.
Mengenai keledai dapat memutuskan salat, hal itu masih diragukan
karena terdapat hadis dari Ibn Abbãs bahwa Ibnu Abbãs pernah melintas
dengan menunggangi keledai di depan sekelompok orang yang sedang salat,
namun salat mereka tidak menjadi batal karenanya. Sedangkan kedudukan
hadis tersebut adalah hadis hasan şahīh, seluruh periwayatnya adalah śiqah.
Kajian linguistik adalah salah satu dari problem solver dalam
memahami hadis tersebut. Lafal قطع الصالة memiliki 2 pemaknaan
yaitu membatalkan salat, dalam arti salat menjadi batal karenanya sehingga
harus diadakan pengulangan salat dari awal dan merusak salat, dimaksudkan
86
151
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Jilid IV, op. cit., hlm. 227-228. Lihat juga
Ahmad bin Ali ibn Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Barī, op. cit., hlm. 589.
87
BAB IV
Setelah kritik historis dan proses pemahaman dengan kritik eiditis telah dilakukan
ternyata masih ada masalah lagi yang terkait dengan penumbuhan hadis terhadap
realitas kehidupan kekinian, yakni yang disebut kritik praksis. Konstruk rasional
universal atau tujuan moral-sosial universal yang diperoleh dari proses
generalisasi tersebut diproyeksikan ke dalam realitas kehidupan kekinian
sehingga memiliki makna praksis bagi penyelesaian problematika hukum dan
kemasyarakatan kekinian. Ia harus ditumbuhkan (embodied) dengan meminjam
bahasa Rahman dalam konteks sosio historis yang konkrit di masa sekarang.152
Berkaitan dengan ini diperlukan penelitian dan pengkajian yang teliti dan cermat
terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai realitas yang dihadapi, sehingga
dapat dinilai situasi kekinian, kemudian mencoba untuk mengubah kondisinya
sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa
mengimplementasikan nilai-nilai hadis secara baru pula. Dalam analisis realitas
kekinian maupun analisis realitas historis masa lalu jelas dibutuhkan keterlibatan
interdisipliner. Artinya perlu adanya konfirmasi dengan historisitas hadis dan
sosial-budaya kemasyarakatan masa lalu dan sekarang.
Keseluruhan aspek yang terkait dengan penafsiran yaitu teks, penafsir dan
audiens tercakup dalam pemahaman hadis model ini, yakni meliputi sisi
kebahasaan, sosio historis dan analisis pemaknaan hadis yang digeneralisasikan
kemudian dikontekstualisasikan dengan mencari relevansi antara teks dan
konteksnya.
152
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 159.
88
Salat adalah ritual ibadah umat muslimin yang terdiri dari serangkaian
gerakan dan do’a yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Salat
adalah sebuah media komunikasi hubungan vertikal antara Tuhan dengan
manusia. Salat memiliki aturan-aturan dan tata cara tesendiri (kaifiyah şalãt)
sesuai ketentuan syariat.153
Dalam salat terdapat rukun-rukun salat, syarat sah salat, dan hal-hal yang
dapat membatalkan salat. Kesemuanya telah dijelaskan dalam Bab II dari
skripsi ini. Tata cara salat (kaifiyah şalãt) itu telah diatur oleh syariat, dengan
penjelasan terperinci dari hadis-hadis Nabi, qaul sahãbat dan ijma’ para
fuqaha. Salat harus dilakukan dengan penuh kekhusyukan menghadap-Nya
dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Perlu diketahui juga, sejauh
mana pengaruh dari kekhusyukan terhadap essensi dan inti daripada salat
tersebut.
153
Abdul Qãdir ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab, peterj. Zeid Husein al-Hãmid dan M.
Hasanuddin, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994), hlm. 206-215. Lihat juga M. Hasbi ash-
Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 98-102. Lihat juga Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: al-Ma'arif , 1977), hlm.219-233.
154
Abū Abdullãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, Juz I (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 302-303.
89
Menurut ketentuan syariat, salah satu dari syarat sah salat adalah suci badan,
pakaian dan tempat salat dari najis. Sedangkan salat menjadi batal jika tidak
terpenuhi syarat sah salat dan rukun-rukun salat. Jika orang yang salat atau
tempat salat tersebut terkena najis yang ditimbulkan dari melintasnya anjing
tersebut, maka salah satu syarat sah salat tidak terpenuhi sehingga salat
menjadi batal karena tidak terpenuhi salah satu dari syarat sah salat tersebut.
Hal ini berangkat dari redaksi matan hadis yang sedikit berbeda yakni dari
jalur periwayatan dari Abū Żar155 dan salah satu hadis dari jalur periwayatan
155
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Juz IV (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981), hlm.
226-227. Lihat juga Abū Abdullãh Muhammad bin Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mãjah, op. cit., hlm.
303. Lihat juga Abū al-Ulã Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr Kafūrī, Tuhfat al-
Ahważī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995), hlm.270-271. Lihat juga Jalãluddin al-Suyūtī, Sunan an-
Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II (Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th.), hlm. 63-64. Data yang serupa
diperoleh dalam Abū Muhammad bin Bahramī al-Dãrimi, Sunan ad-Dãrimi, Juz I, (Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th.), hlm. 329.
90
Ibn Abbãs156 yaitu dengan pengkhususan pada anjing hitam, bukan anjing
kuning atau anjing merah. Anjing hitam dijelaskan sebagai simbol dari setan
yang memang memiliki profesi mengganggu segala tindakan kebaikan
manusia termasuk di dalamnya salat sebagai media mendekatkan diri kepada
Allah dan salah satu wujud ketakwaan kepada-Nya. Hal tersebut juga
diperkuat argumen dengan adanya hadis lain yang relevan dengan kajian ini
adalah sebagai berikut157:
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa anjing adalah hewan yang merupakan
umat juga yang tidak boleh dibunuh kecuali anjing hitam. Disini terdapat
pengkhususan pada anjing hitam, tentunya ada sebab yang
melatarbelakanginya. Dijelaskan bahwa anjing hitam adalah simbol dari setan
yang mengajak pada kejahatan dan akan mengganggu serta menghancurkan
segala kebaikan dan tidak memberikan kemanfaatan. Anjing hitam adalah
dari golongan jin yang paling lemah yaitu setan.158 Bagi penulis, setan dapat
menjelma dalam bentuk apa saja karena setan dapat berupa sifat atau tabiat
yang buruk yang selalu ingin menghancurkan segala bentuk kebaikan dan
dapat pula berupa jenis makhluk yang memiliki profesi mengganggu
ketenangan hidup manusia yang berada dalam kebaikan dan kebahagiaan
yang hakiki, yakni derajat ketakwaan di sisi Allah.
Ternyata setelah dilihat dari kedudukan hadis tersebut dari kedua redaksi
yang menyatakan anjing saja dan pengkhususan pada anjing hitam tersebut
sejajar sama-sama hadīs hasan şahīh, yang masing-masing memiliki tadlīs,
dari salah satu periwayatnya, namun karena periwayat-periwayat lainnya
adalah seorang yang śiqah, jujur dan terpercaya, maka tetap dapat diterima
kredebilitas perawi dan validitas hadisnya. Namun konsekuensinya hadis
tersebut menduduki level hadīs hasan şahīh.
156
Lihat dalam CD Mausū’ah al-Hadīs al-Syarīf al-Kutub al-Tis’ah dalam Sunan Abū Dãwud
hadis no. 602.
157
Imãm Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainūrī, Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs (Beirūt:
Dãr al-Fikr, 1995), hlm. 125-126.
158
Ibid.,hlm. 126-129.
91
yang dapat memutuskan salat seseorang. Hal ini harus ditinjau kembali untuk
hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbãs bahwa ia pernah melintas di depan
sekelompok orang yang sedang salat dengan menunggangi keledai dan salat
ور َع ِن اْل َح َكِم َع ْن َي ْحَيى ْب ِن اْل َج َّز ِار َع ْن ٍ ص ُ َح َّدثََنا ُم َس َّد ٌد َح َّدثََنا أَُبو َع َو َانةَ َع ْن َم ْن
ت أََنا َو ُغاَل ٌم ٍ الصاَل ةَ ِعْن َد ْاب ِن َعب
ُ َّاس فَقَ ا َل ِج ْئ َّ ُطع َ ال تَ َذا َك ْرَنا َما َي ْق
َ َاء ق ِ أَبِي الصَّهب
َْ
ص لِّي َّ ِ َّ َّ ِ َّ ِ َِّ ِ ِ ِ
َ ص لى اللهم َعلَْي ه َو َس ل َم ُي َ م ْن َبني َعْب د اْل ُمطل ِب َعلَى ح َم ٍار َو َر ُس و ُل الله
ان ِم ْن َبنِي ِ َت َج ِارَيت ْ اء
َ ف فَ َما َب ااَل هُ َو َج ِّ الص
َّ َم َام ِ
َ ت َوتََر ْكَنا اْلح َم َار أ ُ فََن َز َل َوَن َزْل
ان ْب ُن أَبِي َش ْيَبةَ َو َد ُاو ُد ُ ك َح َّدثََنا ُعثْ َم َ َّف فَ َما َبالَى َذِل ِّ َع ْب ِد اْل ُمطَِّل ِب فَ َد َخلَتَا َب ْي َن الص
َ َيث بِِإ ْس َن ِاد ِه ق
ال ِ ور بِه َذا اْلح ِد
َ َ ٍ ص ُ ق اْلف ْرَي ابِ ُّي قَ ااَل َح َّدثََنا َج ِري ٌر َع ْن َم ْن
ِ ٍ ْبن ِم ْخ را
َ ُ
ع َب ْيَنهُ َما
َ ان فَفَ َّر ُ ال ُعثْ َم َ ان ِم ْن َبنِي َع ْب ِد اْل ُمطَِّل ِب ا ْقتَتَلَتَا فَأ
َ ََخ َذ ُه َما ق ِ َت َج ِارَيت ْ اء
َ فَ َج
َ ُخ َرى فَ َما َبالَى َذِل
ك ُ ع ِإ ْح َد
ْ اه َما َع ِن اأْل َ َوقَا َل َد ُاو ُد فََن َز
Artinya:
Musaddad telah menceritakan kepada kami, Abū Awãnah telah
menceritakan kepada kami dari Mansūr dari al-Hakam dari Yahyã bin
Jazzãr dari Abū Shabhãi dia berkata: Pernah kami memgadakan
pembicaraan tentang sesuatu yang membatalkan salat di dekat Ibnu Abbãs
r.a. lalu dia berkata: Aku pernah tiba bersama seorang pemuda dari Bani
Abdul Muţalib mengendarai keledai, sedangkan Rasulullah sedang
mengerjakan salat. Lalu pemuda itu dan aku turun dan kami tinggalkan
keledai itu di depan shaf, tetapi beliau tidak menghiraukannya. Kemudian
159
Abū Muthīb Muhammad Samsul Haq, ‘Aun al-Ma’būd Syarh Sunan Abū Dãwud,
(Madīnah: Maktabah Salafiyah, 1968), hlm. 403-405.
92
datang pula dua orang gadis Bani Abdul Muţalib bertengkar, maka beliau
pisahkan keduanya, lalu beliau tidak menghiraukannya.
salat tersebut memiliki beberapa redaksi yang berbeda yaitu bahwa suatu saat
ia meriwayatkan hadis bahwa tidak ada sesuatu yang dapat memutuskan salat
dan dalam redaksi lain, salat dapat terputus karena melintasnya wanita dan
anjing serta mengenai keledai tidak dapat memutuskan salat dalam redaksi
ketidak konsistenan pada diri Abdullah bin Abbãs sehingga akan meragukan
tingkat ke-dabit-annya.
hadis yang diriwayatkan oleh ‘Āisyah yang dimuat dalam Şahīh Bukhãrī
diletakkan pada bab “salat tidak dibatalkan oleh sesuatu”. 160 Ternyata, hadis
‘Āisyah ini adalah bentuk hadis bantahan atas hadis-hadis yang menyatakan
karena ia pernah tidur berbaring di depan Nabi ketika beliau sedang salat, di
160
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī bi Syarh Şahīh Imãm Abī Abdillah
Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī, (t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th.), hlm. 588.
93
anjing, keledai dan wanita. Dalam analisis ini sedikit dipaparkan mengenai
sebagai tempat ibadah atau salat tidak seperti agama lain. Ia bukanlah penata
Sehingga ka’bah yang berada di Makkah yang menjadi simbol tempat yang
kepadanya.
sebuah lorong, kebun dan bahkan dalam peperangan serta berbagai tempat
161
Seorang tokoh feminis muslim Maroko yang awalnya pada masa kecil menekuni studi al-
Qur’an. Setelah dewasa, ia mulai menggeluti studi hadis. Fatima ini mendengar hadis putusnya salat,
ketika duduk disekolah menengah. Sehingga muncullah daya kekreatifan dan kekritisannya untuk
mengkaji hadis tersebut. Seiring dengan hal itu, Kristen-Yahudi memainkan peranan penting dalam
menggalakkan persamaan hak antar jenis kelamin, namun jutaan wanita Yahudi dan Kristen sekarang
ini menikmati privelese ganda, yaitu hak asasi penuh di satu pihak dan akses kepada tradisi keagamaan
insipirasional di satu pihak. Persentuhannya dengan tradisi Barat amat mempengaruhi pemikirannya
daya kritisnya terhadap teks-teks klasik dan rekonstruksinya di era kontemporer. Daya kritisnya yang
masih bersinggungan dengan cara berfikir seorang politikus yaitu adanya kepentingan kelompok
tertentu dibalik interpretasi terhadap teks. Cara berfikir Fatima dipengaruhi oleh kondisi sosial dan
politik bangsanya, Maroko sebagai negara bekas jajahan Perancis.
162
Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I (Bandung: Pustaka,
1994), hlm. 83-92.
94
lainnya asal memenuhi syarat sah salat sesuai ketentuan syariat. Rasulullah
hadis ini secara tersurat, wanita disamakan dengan anjing dan keledai dan
wanita dengan anjing dan keledai, berarti sama saja memasukkan wanita
dimuat dalam Sahīh Bukhãrī, namun setelah diteliti ternyata dalam Sahīh Bukhãrī tidak terdapat hadis Abū Hurairah,
hanya ada hadis sanggahan dari ‘Āisyah sebagai respon adanya hadis terputusnya salat.
Fatima Mernissi juga menuduh Abū Hurairah sebagai sosok yang menjenuhkan kehidupan sehari-hari perempuan
Muslim modern. Penilaian Fatima terhadap Abū Hurairah itu memiliki dua argumen, yaitu perdebatan misteri nama Abū
Hurairah, yang sebelumnya bernama Abdu asy-Syamsy (hamba sang matahari) dan peran Abū Hurairah sebagai pembantu
Nabi yang selalu mengikuti gerak langkah Nabi, kadangkala membantu di tempat kediaman perempuan. Hal ini
menunjukkan ketidakjantanan Abū Hurairah.
teks Al- Işãbah166 secara lengkap teksnya, justru akan tampak kehormatan dan
Bahkan dalam kitab Difã’an Abī Hurairah167 dijelaskan bahwa Abū Hurairah
pernah terjun dalam peperangan bersama Nabi yaitu perang Dzat ar-Riqa’,
sesudah itu ikut perang melawan murtadin, perang di Yarmuk, Armenia dan
Georgia.
perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah pada masa pra Islam.
166
Ibnu Hajar al-Asqalãnī, Al-Işãbah fi Tamyīz al-Şahãbah, Juz VII (Beirūt: Dãr al-Kutub al-
Ilmiyyah, t.th), hlm.202
167
Abdul Mun’īm Şãlih al-Aly al-Izzī, Difã’an Abī Hurairah, Cet. II (Beirūt: Dãr al Qalam,
1981), hlm. 48-54.
96
fisik dan akal bersifat kontekstual dan tidak bisa dijadikan sebagai pijakan
yang konsisten.
yang sama dan setara, namun kesamaan dan kesetaraan itu tidak secara
mutlak karena ada beberapa hal yang kodrati bagi perempuan seperti
dan ketergantungan satu sama lain, artinya bahwa tidak ada perbedaan
kedudukan laki-laki dan perempuan. Jelas, dalam kehidupan ini yang ada
97
melintasnya perempuan itu tidak dapat dipahami secara tekstual. Di sini ada
dengan hadis ‘Āisyah, wanita yang dimaksud di sini adalah wanita tertentu
bahwa jika ada laki-laki yang melintas di depan orang salat, maka akan
merusak salat pula, yakni mengurangi kekhusyukan salat. Hal itu juga akan
mengurangi adanya bias jender yang terjadi pada hadis tersebut. Islam
tidak dapat memutuskan salat dalam arti membatalkan salat, namun dapat
menghadap Tuhan dalam ritual salatnya. Hal tersebut diperjelas oleh hadis
boleh melintas di depan orang yang salat. Tidak ada pembedaan antara laki-
laki atau perempuan. Hal ini dapat dilihat dari lafal المارyang menunjukan
keumumannya yang mencakup seluruh jenis manusia baik itu laki-laki atau
jenis tertentu, sehingga keduanya mendapat bagian atas larangan ini karena
memungkinkan dilintasi oleh tiga hal tersebut yang telah menerapkan konsep
satir sebagai pembatas salat. Dengan bentuk bangunan yang sedemikian rupa
akan memberikan ketenangan dan kekhusyukan orang yang salat tanpa ada
menghadap-Nya.
Dari berbagai informasi yang ada, dapat diambil satu nilai ajaran Islam
tentang salat bahwa salat yang dilaksanakan di kebun, jalan, tanah lapang atau
tempat terbuka maka harus menggunakan satir sebagai pembatas salat yang
sesuatupun yang dapat melintas di depan orang yang salat yang dapat
membatalkan salat.
karena melintasnya anjing, keledai dan wanita, penulis juga mencoba melihat
pemahaman terhadap hadis tersebut dilihat dari berbagai lingkup kajian dan
juga perspektif keilmuan baik dari fikih maupun tasawuf. Dilihat dari kajian
100
salat dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai derajat
ketakwaan di sisi-Nya.
Dengan demikian, hadis tersebut harus dilihat melalui kacamata, cara pandang
dan perspektif yang berbeda. Jika ditinjau dari perspektif fikih, bahwa salat
memiliki tata cara sesuai ketentuan syariat. Dalam syariat, tidak ada yang
menjelaskan bahwa melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat memutuskan
salat dalam arti membatalkan salat, namun merusak salat. Para fuqahã’, yaitu
Hanafī, Hambalī, Syãfi’ī dan Malikī dalam menanggapi hadis tersebut,
mereka sepakat memahami bahwa salat itu dapat terputus karena melintasnya
anjing, keledai dan wanita dalam arti hanya merusak salat yakni mengurangi
konsentrasi dan kekhusyukan salat di saat bermunajat dengan Allah.
Implikasinya adalah mengurangi kesempurnaan ritual salat. Di sini proporsi
kekhusyukan salat itu berkurang karena adanya beberapa gangguan yang
melintasinya yakni anjing, keledai dan wanita. Dengan begitu salat tidak
menjadi batal sehingga tidak harus mengulang salat dari awal ritualnya.
Pemahaman yang demikian itu berangkat dari adanya ketentuan syariat bahwa
ada beberapa hal yang dapat membatalkan salat dalam arti fatal dan makna
kebahasaan serta dari berbagai data-data sebagaimana dalam Bab III dari
hadis-hadis tematik, konfirmasi petunjuk al-Qur’an dan analisis terhadap data
yang ada. Sehingga term hadis ini, hanya masuk pada kategori merusak salat.
Kemudian tiga hal ini pula tidak dapat diartikan secara tekstual, apa kata teks,
namun harus dipahami secara lebih luas, ada kemungkinan tiga hal tersebut
hanya sebagai simbol dari setan yang memang telah memiliki profesi
169
Al-Nawãwī, Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, op. cit., hlm. 227-228. Lihat juga Ahmad
bin Ali ibn Hajar al-Asqalãnī, Fath al-Bãrī, op. cit., hlm. 589.
101
kondisi sekarang, maka ketiga hal tersebut tepatnya dimaknai dengan setan
yang mengganggu salat dari sisi kekhusyukannya. Setan adalah bentuk atau
sifat yang dapat menimpa pada semua makhluk yang memiliki profesi
diartikan secara tekstual, maka hadis tersebut tidak berarti apapun juga bagi
dengan kondisi kekinian. Hal itu disebabkan kondisi kekinian yang sudah
sepanjang zaman. Untuk itu, anjing, keledai dan wanita akan lebih tepat
Satu hal yang tak terlupakan bahwa setan dapat berwujud dalam bentuk apa
Allah.
kebahasaan teks hadis serta data-data syarh matan hadis dengan peluasan
kekhusyukan salat. Di sinilah nilai dan substansi dari kesempurnaan salat itu
dengan bangunan dan fasilitas kehidupan yang memadai, maka salat tidak
disebut dengan masjid atau musholla. Dengan bentuk bangunan masjid atau
satir yang diinginkan sudah terpenuhi dengan adanya dinding tembok yang
membatasinya.
dijaga dan diperhatikan karena salat yang dilakukan dengan khusyuk akan
Ditinjau dari sisi historis, inti dari hadis tersebut adalah bahwa jika
salat dilaksanakan pada tempat yang terbuka seperti jalan, tanah lapang dan
lain-lain maka harus mengunakan pembatas salat (satir) agar terhindar dari
beberapa hal yang dapat melintas di depannya baik itu berupa anjing, keledai,
wanita, kendaraan atau bentuk lain yang dapat memecahkan konsentrasi dan
kekhusyukan seseorang yang salat. Dalam konteks kekinian hal yang banyak
hal saja anjing, keledai dan wanita saja yang dapat memutuskan salat, namun
juga meluas pada segala bentuk-bentuk lain seperti benda yang indah dan
menarik, jenis hewan yang selain kedua tersebut di hadis, atau kendaraan
dalam konteks sekarang yang sering melintas di mana saja yang dapat
mengurangi kekhusyukan salat. Hadis ini hanya saja mengambil sampel pada
dua hewan tersebut dan wanita yang biasanya mereka menjadi simbol dari
yang suka mengajak pada kejahatan dan menjauhi serta membenci segala
tindakan kebajikan.
Ketiga hal yang terdapat dalam hadis tersebut yaitu anjing, keledai
segala bentuk kebajikan termasuk halnya ibadah salat. Setan adalah salah satu
golongan jin yang dapat menjelma dalam berbagai bentuk rupa. Ada pula
yang mengatakan bahwa setan adalah sifat jahat yang mengajak pada
kebatilan dan menjauhi segala kebajikan yang dapat melekat pada siapa saja.
dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah dalam ritual ibadah salatnya.
105
tidak menjadi batal secara fatal karena beberapa hal yang dapat mengganggu
substansi salat tersebut. Hal itu hanya berada dalam kategori merusak salat,
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Pembahasan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing,
keledai dan wanita dengan kajian ma’ãnī al-hadīs, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Pemaknaan hadis tentang teputusnya salat karena melintasnya anjing,
tiga hal tersebut, yakni anjing, keledai dan wanita merupakan simbol
adalah segala sesuatu bentuk atau wujud yang menyandang sifat setan
membatalkan salat secara fatal dan juga beberapa hal yang dapat
masjid dan musholla sebagai tempat salat di mana-mana, maka hal ini
salat, jika dilihat dari perspektif tasawuf. Kemudian ketiga hal tersebut
yang dapat memutuskan salat dalam arti merusak salat adalah setan
Saran-saran
yang baru, sehingga metodologi kritik hadis itu tidak statis, namun
matan hadis dilihat dari berbagai perspektif. Ada banyak sisi dan cara
Kata Penutup
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan ampunan-
Nya yang tak pernah henti, cahaya ilmu yang selalu terpancarkan, yang telah memberikan kekuatan, kemampuan dan
kesabaran bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
109
Juga pada semua pihak yang ikut berperan dalam menyelesaikan skripsi ini.
maka kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Semoga
hadis. Akhirnya, hanyalah syukur yang dapat kami sampaikan kepada Allah
Ta’ala yang selalu melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada hambanya ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Abi Tayyib Muhammad Syamsul Haq. Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu
Dawud. Madinah: Maktabah Salafiyah,1968
Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd bin Hazm, al-Muhallã, Juz IV. Beirūt: Dar
al-Fikr, t.th
Adlabi, Sholehuddin. Manhaj Naqd al-Matan. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983
Asqalãnī, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Barī bi Syarh Sahīh Imãm Abī Abdillah
Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah, t.th
Asqalãnī, Ibnu Hajar. Al-Ishãbah fi Tamyīz ash-Shahãbah, Juz VII. Beirūt: Dãr al-
Kutub al-Ilmiyyah, t.th
Dainuri, Imam Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainūrī. Ta’wil Mukhtalif al-
Hadis. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Darimi, Abū Muhammad bin Bahramī. Sunan ad-Dãrimi, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr,
t.th
Gazãlī, Imam Abū Hamid. Ihyă' Ulūm ad-Dīn, cet. II. Beirūt: Dãr al-Kitab al-Islami,
t.th
Ghafur, Waryono Abdul. Gender dan Islam Teks dan Konteks.Yogyakarta: PSW
IAIN Sunan Kalijaga, 2003
Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW., antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1993
Ibn Mandhur, Abū Fadhl Jamãluddīn Muhammad bin Makram. Lisãn al-‘Arab, Jilid
VIII. Beirut: Dar Shadir, t.th
Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001
111
Isma’il, Syuhudi. hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Tela’ah Ma’ani al-
Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporaal dan Lokal. Jakarta:
Bulan Bintang, 1994
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994
Izzī, Abdul Mun’īm Shãlih al-Aly. Difã’an Abī Hurairah, Cet. II. Beirūt: Dãr al
Qalam, 1981
Kafūrī, Abū al-Ulã Muhammad Abdurrahmãn ibn Abdurrahīm al-Mubãr. Tuhfat al-
Ahważī, Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Khallãf, Abdul Wahhãb. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terj. Moch. Tholchah Mansoer.
Marãgī, Ahmad Musţofă. Tafsīr al-Marăgī, Jilid I. Mesir: Multazam at-Tiba' wa an-
Nasyr Syirkah Maktabah wa Matha'ah Mustofa al-Babi, 1970
Mernissi, Fatima, Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan
Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSSPA-Yayasan
Prakarsa,1995
Mernissi, Fatima. The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens
Rights in Islam, Terj. Mary Jo Lakeland. Addison: Wesley Publishing
Company, 1991
Mernissi, Fatima. Wanita dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I. Bandung:
Pustaka, 1994
Mughīrah, Abī Abdillah Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah. Sahīh
Bukhãrī, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Naisyabury, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairy. al-Jami’
al-Sahih Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Nawãwī. Sahīh Muslim bi Syarh an-Nawãwī, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, terj. Muhammad al-
Baqir. Bandung: Karisma, 1995
Qasthalany, Abu Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad. Irsyad al-Sary li Syarh
Sahih al-Bukhary. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Qazwiny, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid. Syarh Sunan Ibn Majah. Beirut: dar
al-Fikr, t.th
Rahbawī, Abdul Qãdir. Salat Empat madzhab. terj. Zeid Husein al-Hãmid dan M.
Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994
Ridhã, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur'an al-Hakīm, as-Syahīr min Tafsīr al-
Manăr, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibã'at wa an-Nasyr, t.th
Shieddieqy, M. Hasbi. Pedoman Shalat. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS,1999
Suyūtī, Jalãluddin. Sunan an-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II. Beirūt: Dãr
al-Fikr, t.th
Tabarī, Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr. Jămi al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I.
Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibă'at Wa Nasyr, 1982
113
Wensick, A. J.. Mu’jam Mufahras Li alfadhil Hadis al-Nabawi. Juz V. Leiden: E.J.
Brill,1965
Zaid, Muhammad Abd al-Hãmid Abu. Makãnah al-Mar’ah fi al-Islãm. tkp.: Dar an-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979
114
115
DAFTAR PUSTAKA
Ābadi, Abī Tayyib Muhammad Syamsul Haq. Aunul Ma’būd Syarh Sunan Abū
Dãwud. Madīnah: Maktabah Salafiyah,1968
Al-Adlabi, Şalãh al-Dīn. Manhãj Naqd al-Matan. Beirūt: Dãr al-Afaq al-Jadīdah,
1983
116
Al-Asqalãnī, Ahmad bin Alī bin Hajar, Fath al-Bãrī bi Syarh Sahīh Imãm Abī
Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah,
t.th
_______. Al-Işãbah fi Tamyīz al-Şahãbah, Juz VII. Beirūt: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah,
t.th
Al-Dainūrī, Imam Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah. Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs.
Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Al-Darimi, Abū Muhammad bin Bahramī. Sunan al-Dãrimi, Juz I. Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
F.A.. Yogyakarta: LSSPA, 2000
Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993
Ibn Hazm, Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd, al-Muhallã, Juz IV. Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th
Ibn Mandur, Abū Fadl Jamãluddīn Muhammad bin Makram. Lisãn al-‘Arab, Jilid
VIII. Beirūt: Dar Shadir, t.th
Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001
_______. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Tela’ah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang,
1994
_______. Kaedah kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Izzī, Abdul Mun’īm Sãlih al-Aly. Difã’an Abī Hurairah, Cet. II. Beirūt: Dãr al
Qalam, 1981
Mernissi, Fatima, Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan
Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSSPA-Yayasan
Prakarsa,1995
_______. The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens Rights
in Islam, terj. Mary Jo Lakeland. Addison: Wesley Publishing Company, 1991
_______. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I. Bandung: Pustaka,
1994
Al-Mughīrah, Abī Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah.
Şahīh Bukhãrī, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Al-Naisyãbūrī, Imãm Abū Husain Muslim bin Hajjãj Ibn Muslim al-Qusyairī. al-
Jãmi’ al-Şahīh Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Al-Nawãwī. Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Al-Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-
Baqir. Bandung: Karisma, 1995
Al-Qazwīnī, Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd. Syarh Sunan Ibn Mãjah. Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th
Rahbawī, Abdul Qãdir. Salat Empat madzhab, terj. Zeid Husein al-Hãmid dan M.
Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994
Ridhã, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur'an al-Hakīm, as-Syahīr min Tafsīr al-
Manăr, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibã'at wa an-Nasyr, t.th
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS,1999
Suyūtī, Jalãluddīn. Sunan al-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II. Beirūt: Dãr
al-Fikr, t.th
Tabarī, Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr. Jămi’ al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I.
Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibă'at Wa Nasyr, 1982
_______. Miftãh Kunūz as-Sunah, terj. Muhammad Fu’ad Abdul al-Baqiy. Mesir:
Maktabah al-Misriyyah, 1924
Zaid, Muhammad Abd al-Hãmid Abu. Makãnah al-Mar’ah fī al-Islãm. tkp.: Dãr an-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979
Zayd, Nasr Hamid Abu. Dekonstruksi Gender, Kritik Wacana Perempuan dalam
Islam, terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta:
SAMHA, 2003
DAFTAR PUSTAKA
Ābadi, Abī Tayyib Muhammad Syamsul Haq. Aunul Ma’būd Syarh Sunan Abū
Dãwud. Madīnah: Maktabah Salafiyah,1968
Al-Adlabi, Şalãh al-Dīn. Manhãj Naqd al-Matan. Beirūt: Dãr al-Afaq al-Jadīdah,
1983
120
Al-Asqalãnī, Ahmad bin Alī bin Hajar, Fath al-Bãrī bi Syarh Sahīh Imãm Abī
Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl al-Bukhãrī. t.tp.: al-Maktabah al-Salafiyah,
t.th
_______. Al-Işãbah fi Tamyīz al-Şahãbah, Juz VII. Beirūt: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah,
t.th
Al-Dainūrī, Imam Abdullãh bin Muslim bin Qutaibah. Ta’wīl Mukhtalif al-Hadīs.
Beirūt: Dãr al-Fikr, 1995
Al-Darimi, Abū Muhammad bin Bahramī. Sunan al-Dãrimi, Juz I. Beirūt: Dãr al-
Fikr, t.th
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
F.A.. Yogyakarta: LSSPA, 2000
Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993
Ibn Hazm, Abū Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’īd, al-Muhallã, Juz IV. Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th
Ibn Mandur, Abū Fadl Jamãluddīn Muhammad bin Makram. Lisãn al-‘Arab, Jilid
VIII. Beirūt: Dar Shadir, t.th
Ilyas, Hamim dkk. Keadilan Gender dalam Syari’at Islam, Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syari’ah. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN SUKA, 2001
_______. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Tela’ah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang,
1994
_______. Kaedah kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Izzī, Abdul Mun’īm Sãlih al-Aly. Difã’an Abī Hurairah, Cet. II. Beirūt: Dãr al
Qalam, 1981
Mernissi, Fatima, Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki dan
Perempuan dalam Tradisi Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSSPA-Yayasan
Prakarsa,1995
_______. The Veil and The male Elite: a Feminist Interpretation of Womens Rights
in Islam, terj. Mary Jo Lakeland. Addison: Wesley Publishing Company, 1991
_______. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Cet. I. Bandung: Pustaka,
1994
Al-Mughīrah, Abī Abdillãh Muhammad bin Ismã’īl bin Ibrahīm ibn al-Mughīrah.
Şahīh Bukhãrī, Juz I. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Al-Naisyãbūrī, Imãm Abū Husain Muslim bin Hajjãj Ibn Muslim al-Qusyairī. al-
Jãmi’ al-Şahīh Juz II. Beirūt: Dãr al-Fikr, t.th
Al-Nawãwī. Şahīh Muslim bi Syarh al-Nawãwī, Juz IV. Beirūt: Dãr al-Fikr, 1981
Al-Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-
Baqir. Bandung: Karisma, 1995
Al-Qazwīnī, Abū Abdillãh Muhammad bin Yazīd. Syarh Sunan Ibn Mãjah. Beirūt:
Dãr al-Fikr, t.th
Rahbawī, Abdul Qãdir. Salat Empat madzhab, terj. Zeid Husein al-Hãmid dan M.
Hasanuddin. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1994
Ridhã, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Qur'an al-Hakīm, as-Syahīr min Tafsīr al-
Manăr, Jilid I. Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibã'at wa an-Nasyr, t.th
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS,1999
Suyūtī, Jalãluddīn. Sunan al-Nasã’ī bi Syarh Jalãluddīn al-Suyūtī, Juz II. Beirūt: Dãr
al-Fikr, t.th
Tabarī, Abū Ja'far Muhammad bin Jarīr. Jămi’ al-Bayăn fī Tafsīr al-Qur’ãn, Jilid I.
Beirūt: Dãr al-Ma'rifah li Tibă'at Wa Nasyr, 1982
_______. Miftãh Kunūz as-Sunah, terj. Muhammad Fu’ad Abdul al-Baqiy. Mesir:
Maktabah al-Misriyyah, 1924
Zaid, Muhammad Abd al-Hãmid Abu. Makãnah al-Mar’ah fī al-Islãm. tkp.: Dãr an-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1979
Zayd, Nasr Hamid Abu. Dekonstruksi Gender, Kritik Wacana Perempuan dalam
Islam, terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta:
SAMHA, 2003