Disusun oleh :
Kelompok 9
Kelas HI C / Semester 1
1. Akmal Farrel Maulana (10040222086)
2. Nada Aqila ( 10040222107 )
3. Putri Yasmin Imarotul Mujaddidah (10040222111)
4. Sherly Tifani Azzahrah (10040222115)
Dosen Pengampu :
Dr. Abdulloh Ubet, M. Ag
Ilmu ini disusun dalam rangka mengetahui biografi para perawi hadis bahwa mereka
adalah para periwayat hadis yang sebenarnya. Ilmu Rijal al-Hadith merupakan jenis ilmu hadis
yang sangat penting, karena ilmu ini mencakup kajian terhadap sanad dan matan. Rijal (tokoh-
tokoh) yang menjadi sanad merupakan para perawinya. Mereka itulah yang menjadi obyek
kajian ilmu Rijal al-Hadith. Kata Rijal al-Hadith berarti orang-orang di sekitar hadis atau orang-
orang yang meriwayatkan hadis serta berkecimpung dengan hadis Nabi. Secara terminologis,
ilmu ini didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang keadaan para periwayat hadis baik
dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi-generasi beikutnya. Subhi al-Salih
mendefinisikan ilmu Rijal al-Hadith ini dengan “Ilmu untuk mengetahui para periwayat hadis
dalam kapasitasnya sebagai periwayat hadis”.
Ilmu Rijal al-Hadith membahas keadaan para perawi hadis semenjak masa sahabat,
tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan generasi-generasi berikutnya yang terlibat dalam periwayatan hadis.
Di dalamnya diterangkan sejarah ringkas tentang riwayat hidup para periwayat, para guru-guru
dan murid-murid mereka, tahun lahir dan wafat, dan keadaan serta sifat-sifat mereka. Diantara
kitab-kitab yang membahas ilmu ini adalah al-Bidayah wa al-Nihayah, karya Syekh Imad al-Din
ibn Kathir, al-Muntazam karya Ibn al-Jawzi, al-Rawdatayn oleh Ibn Shammah, dan Tarikh al-
Baghdadi karya Abu Bakar al-Khatib al-baghdadi. Ilmu Rijal al-hadith mempunyai beberapa
cabang, diantaranya:
Secara bahasa, kata tarikh al-ruwah berarti sejarah para periwayat hadis. Menurut pengertian
etimologis, ilmu ini adalah ilmu yang membahas segala hal yang terkait dengan para periwayat
hadis. Ilmu Tarikh al-Ruwat atau ilmu Tarikh al-Rijal ini menjelaskan hal ihwal para rawi dalam
hal periwayatan hadisnya yang meliputi informasi tentang kurun hidupnya (lahir dan wafatnya),
daerah kelahirannya, guru-gurunya, murid-muridnya, negeri-negeri tempat kediaman gurunya,
perlawatannya, tarikh kedatangannya ke Negara-negara yang dikunjungi, pendengaran hadisnya
dari guru sebelum dan sesudah guru mengalami ikhtilat, dalam kasus di antara gurunya ada yang
mukhtalit, madzhab yang dipeganginya dan lain-lain yang ada hubungannya dengan urusan
hadis. Dengan demikian pada dasarnya, ilmu ini memfokuskan diri mengkaji sejarah perjalann
hidup rawi yang terkait dalam perlawatan dan periwayatan hadis.
Melaui ilmu ini, dapat diketahui keadaan para periwayat yang menerima hadis dari Rasullah dan
keadaan para periwayat hadis yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya. Ilmu ini penting
dipelajari karena hadis terdiri atas sanad dan matan. Mengetahui keadaan para periwayat yang
terdapat dalam sanad yang pada akhirnya untuk mengetahui kesahihan hadis-hadis yang mereka
riwayatkan merupakan suatu keharusan. Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip al-Hakim
al-Nasysaburi, suatu hal jika disangka berasal dari Rasulullah mengharuskan kesungguhan untuk
mengetahui metode yang digunakan untuk mencapai kesimpulan itu. Hal ini mengharuskan
mengetahui periwayat hadis dari segi keadilan dan ke-dabit-annya.
Para ulama hadis berariasi dalam menyusun kitab Tarikh al-Ruwah. Ada yang menyusun kitab
berdasar tabaqah (generasi) para periwayat dengan memaparkan keberadaan para periwayat satu
tabaqah kemudian tabaqah berikutnya, ada yang berdasar pada daerah periwayat, ada juga para
ulama yang menulis kitab Tarikh al-Ruwah berdasarkan nama-nama, julukan, gelar, nasab para
periwayat hadis, persaudaraan diantara mereka, serta nama-nama yang mirip.
Ilmu ini menerangkan tentang cacat dan keadilan para periwayat hadis menggunakan redaksi
khusus dan membahas pula tingkatan-tingkatan redaksi itu. Ilmu ini pada dasarnya merupakan
bagian dari ilmu Rijal al-Hadith, tapi karena ilmu ini membahas hal penting dari kepribadian
periwayat hadis, maka dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Kata al-jarh wa al-ta'dil sendiri terdiri dari kata al-jarh dan al-ta’dil. Al-jarh adalah
menampakkan sifat-sifat para periwayat hadis yang mengurangi keadilannya atau meniadakan
keadilan kedabitannya, yang darinya dapat ditentukan gugur, da’if, atau ditolak periwayatannya.
Ilmu ini membahas pribadi periwayat hadis, baik dari segi negative maupun positifnya dengan
lafal-lafal tertentu.
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil muncul bersamaan dengan munculnya para periwayat hadis, karena
untuk mengetahui hadis sahih harus didahului dengan mengetahui periwayatnya, mengetahui
tentang pendapat kritikus periwayat tentang jujur tidaknya periwayat, sehingga memungkinkan
dapat membedakan hadis yang dapat diterima dan ditolak. Karena itu, para ulama hadis mengkaji
tentang para periwayat hadis, mengikuti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui hal ihwal mereka,
sehingga diketahui para periwayat yang sangat kuat hafalannya, yang dabit, yang lebih lama
berguru pada seseorang, dan sebagainya. Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya
harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain
dipenuhi.
Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna; menghapus dan menukil. Sehingga, seolah-olah
yang me-nasakh itu telah menghapuskan yang mansukh. Lalu, memindahkan atau menukilkannya
kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah, “pengangkatan yang dilakukan oleh
penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang
kemudian”. Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang berlawanan yang tidak dapat
dipertemukan dengan ketetapan yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang
kemudian dinamakan nasikh. Imam Ibn Hazm berkata,: “Tidak boleh bagi seorang Muslim yang
beriman dengan Allah dan hari akhir untuk mengatakan ayat Al-Qur’an dan hadis ini telah
dimansukhkan kecuali dengan yakin.”. Al-Qurthubi menuliskan bahwa, “Mengetahui ilmu nasikh
dan mansukh adalah rukun yang paling penting yang sangat diperlukan oleh ulama.”. Hanya
orang yang jahil dan bodoh yang menafikan karena ilmu menerangkan hukum halal dan haram.
Hukum pentinnya nasikh mansukh tidak dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu syarat
ijtihad. Secara asas, seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang dalil secara hukum
khususnya hadis yang akan dijadikan azas hukum. (Fachtur Rahman, 1974,17). Ilmu ini
membahas hadis-hadis yang bertentangan. Hukum hadis yang satu menghapus hukum hadis yang
lain. Hadis yang datang lebih dulu disebut mansukh dan yang datang kemudian adalah nasikh .
G. Ilmu Mukhtalaf
Ilmu mukhtalif al-hadis adalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang jika dilihat dari
lahiriyahnya tampak bertentangan, baik bertentangan dalam arti berlawanan (bertolak belakang),
atau dalam artian tidak sejalan (berbeda), yang bertujuan untuk menghilangkan pertentangan
tersebut atau untuk menemukan pengkompromian antar hadis. Biasanya akan terjadi kontradiksi
antara dalil hadis dengan Al-Qur’an, hadis dengan hadis yang lain. Jika hal ini terjadi maka
terdapat cara menyelesaiankannya. Ilmu mukhtalif al-hadis adalah ilmu yang membahas hadis-
hadis yang jika dilihat dari lahiriyahnya tampak bertentangan, baik bertentangan dalam arti
berlawanan (bertolak belakang), atau dalam artian tidak sejalan (berbeda), yang bertujuan untuk
menghilangkan pertentangan tersebut atau untuk menemukan pengkompromian antar hadis.
Biasanya akan terjadi kontradiksi antara dalil hadis dengan Al-Qur’an, hadis dengan hadis yang
lain. Jika hal ini terjadi maka terdapat cara menyelesaiankannya. mukhtalaf al-hadis secara
sederhana bisa dimaknai dengan kontradiktifitas hadis. Maksudnya, hadis-hadis yang dari sisi
teks atau redaksi maupun kandungannya terkesan kontradiktif atau tampak bertentangan.
Pertentangan dalam hadis dapat terjadi apabila terdapat hadis yang terkesan bertolak belakang
dengan ayat Al-Qur’an yang sudah jelas pengertiannya, atau tampak berseberangan dengan hadis
lain yang sederajat kualitasnya, bahkan juga apabila hadis tampak bertentangan dengan nalar.
Mukhtalif al-hadis adalah hadis-hadis yang dari sisi teks atau redaksi maupun kandungannya
terkesan kontradiktif (tampak bertentangan).
Pertentangan dalam hadis dapat terjadi apabila terdapat hadis yang terkesan bertolak belakang
dengan ayat Al-Qur’an yang sudah jelas pengertiannya, atau tampak berseberangan dengan hadis
lain yang sederajat kualitasnya, bahkan juga apabila hadis tampak bertentangan dengan nalar.
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menyelesaikan mukhtalif al-hadis: 1)
Al-Jam’ (al-Taufiq atau al-Talfiq) yaitu mengkompromikan. Maksudnya, mencari benang
merah antara hadis-hadis yang terkesan kontradiktif sehingga bisa ditemukan titik kompromi
yang menyebabkan hadis-hadis tersebut tidak bertentangan lagi. 2) Al- Naskh yaitu sebuah
proses logis dan dibutuhkan dalam penerapan teks-teks yang tepat dan menunda penerapan teks
yang lain sampai saat memungkinkan penerapan teks itu tiba. 3) Al-Tarjih yaitu memilih salah
satu tetapi bukan dengan cara al-naskh, tetapi meneliti “kekuatan” dan “kelemahan” masing-
masing hadis. selanjutnya dipilih hadis yang dinilai memiliki argumen yang lebih kuat dibanding
hadis yang lain. 4) Al-Tauqif, pada dasarnya bukan metode. Menurut sebagian ulama al-
tauqif merupakan langkah terakhir jika semua metode sudah ditempuh namun tidak ditemukan
solusi atas pertentangan matan hadis yang diteliti.