Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH STUDI HADITS

ILMU HADITS DAN CABANG CABANGNYA

DOSEN: HJ. UMAYAH, M.AG.

PENYUSUN:

1. MUHAMMAD WILDAN MIFTAH KHOIRON (2285120003)


2. FAUZAN AKBAR NOVIANTO (2285120004)

IAIN SYEKH NUR JATI CIREBON


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan nikmat kasih sayang-
Nya kepada kami selaku pembuat makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikannya dengan
tepat waktu. Adapun materi makalah yang kami bawakan ini yaitu mengenai pemahaman
tentang Ilmu Hadits dan cabang- cabangnya.

Tak lupa pula kami sadari bahwa makalah yang kami susun ini masih belum layak dari
kata sempurna, maka dari itu melalui kata pengantar ini pula kami selaku penyusun memohon
maaf bila ada kesalahan dari segi apapun yang berkaitan dengan penyusunan dan materi
makalah ini.

Cirebon, 17 September 2022

M. Wildan Miftah K. & F. Akbar N.


PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH


Salah satu hal yang melatar belakangi munculnya ilmu hadits dan cabang cabangnya
ini yaitu ke wara’an ulama ulama terdahulu yang ingin menjaga kemurnian tutur kata dan
perilaku Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh para ulama periwayat yang di
identifikasi dari segi perawi ataupun dari segi periwayatannya.
Adapun faktor utama yang menjadi latar belakang dari ilmu hadits dan cabang
cabangnya yaitu perkataan Nabi Muhammad

‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى ََّل‬


ُ ‫ول قَا َل َر َأيْ ُت َر ُسو َل ا ِهل َص ىَّل‬ ُ ‫َع ْن َجا ِب ِر ْب ِن َع ْب ِد هللا ي َ ُق‬
‫ِِف َح ىج ِت ِه ي َ ْو َم َع َرفَ َة َوه َُو عَ ََّل َنَ قَ ِت ِه الْ َق ْص َوا ِء َ َْي ُط ُب فَ َس ِم ْع ُت ُه ََي َأُّيه َا النى ُاس‬
َ ‫يُك َما ا ْن َأخ َْذ ُ ُْت ِب ِه ل َ ْن ت َِضلهوا ِك َت‬
‫اب الهِى َو ِع ْ َْت ِِت َأ ْه َل بَيْ ِت‬ ْ ُ ‫ا ِّن قَ ْد تَ َر ْك ُت ِف‬
ِ ِ
Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pada hari Arafah di dalam haji beliau, yang beliau di atas ontanya yang bernama Al-
Qashwa, beliau sedang berkhutbah. Aku mendengar beliau bersabda: "Wahai manusia,
sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kamu sesuatu jika kamu memeganginya
niscaya kamu tidak akan sesat: Kitabullah dan 'itrah-ku (keturunanku/sanak keluargaku),
ahli bait-ku. (HR at-Tirmidzi, Ahmad dalam Al-Musnad).
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ILMU HADITS


Ulumul Hadis adalah istilah Ilmu Hadis di dalam tradisi Ulama Hadis.
(Arabnya: 'Ulum al-Hadits). 'Ulum al Hadits terdiri atas dua kata, yaitu ulum dan
al-Hadits. Kata 'ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari "ilm, jadi berarti
"ilmu-ilmu"; sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadis berarti "segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat."
Dengan demikian, gabungan kata 'Ulum al-Hadits mengandung pengertian "ilmu-
ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi SAW"1
Dengan pengertian diatas kita dapati bahwa pembahasan dari ilmu hadits
yaitu bagaimana sebuah hadits diriwayatkan dari segi periwayat, cara, dan kualitas
hadits yang diriwayatkan.

B. PEMBAGIAN ILMU HADITS


1. ILMU DIRAYAH
Ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk
mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis,
sifat rawi, dan lain-lain. Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah untuk
mengetahui dan menetapkan maqbul (diterima) dan mardud (ditolak)-nya suatu
hadis.2

2. ILMU RIWAYAH
Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu yang mempelajari cara periwayatan,
penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW.

Objek kajiannya ialah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan
pemeliharaannya yang meliputi:

1. Cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan


penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.

1
DR. Nawir Yuslem, MA. “Ulumul Hadits” cet. 2001, PT. Mutiara Sumber Widya
2
DR. ALAMSYAH, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 28
2. Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan
hadis. Jadi ilmu Ilmu Hadis Riwayah ini tidak membicarakan kualitas
sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada matan dan lainnya.3

3. CABANG CABANG ILMU HADITS


1. ILMU RIJALUL HADITS
Ilmu Rijal al-Hadis ialah ilmu untuk mengetahui para perawi
hadis dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadis. Keberadaan ilmu ini
sangat penting untuk dipelajari, sebab di dalam hadis terdapat dua objek
kajian yaitu matan dan sanad. Ilmu iniilah yang membahas tentang
persoalan-persoalan yang terdapat di dalam sanad.4
Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah hadῑś semakin
berkembang pesat sesuai dengan perkembangan teorinya. Teori-teori
tersebut kemudian disempurnakan dalam bentuk tulisan, yang pertama kali
muncul pada abad kedua hijriyah, baik yang mereka mengkhususkan diri
pada bidang hadis, maupun pada bidang lainnya, sehingga menjadi satu
disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Dalam sejarah perkembangannya,
penulisan teori-teori hadis terutama yang membahas tentang perawi yakni:
- Yahya bin Ma‟in (w. 234 H) menyusun kitab tentang biografi perawi.
- Muhammad bin Sa‟ad (w. 230 H), menyusun kitab tentang Ṭabaqāt para
rawi dan kitabnya merupakan kitab yang paling bauk. Ahmad bin Hanbal
(241 H) Al-I„lal wa al-Ma‟rifah al-Rijāl. Seorang Imam yang sangat mahir
dalam menyusun dan menulis kitab, yakni Ali bin Abdullah bin Al-Madini
(w. 234 H) guru Imam Al-Bukhari, menyusun kitab tentang banyak hal yang
mencapai dua ratus judul.5
- al-Qadhi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (wafat 360 H), kitabnya
bernama al-Muhaddῑś al-Fāşil Baina al-Rāwῑ wa al-Wā„i, kemudian muncul
al-Hakim Abu Abdillah An-Naysaburi (321-405) Ma‟rifah „Ulum al-Hadῑś,
setelah itu, Abu Nu‟aim Ahmad bin Abdillah alAsfahani (336-430 H),

3
DR. Alamsyah, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 26
4
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Cet, I, hal, 76
5
Nuruddin „Itr, Op Cit, hal, 53
kemudian Khatib al-Baghdadi dengan kitabnya yang berjudul al-Kifāyah Fῑ
Qawānin al-Riwāyah.6 Ulama yang pertama kali memperkenalkan dan
mempelajari secara serius ilmu ini ialah al-Bukhari, Izzad-Bin bin al-Atsir
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Atsir (630 H), ulama abad ke
tujuh hijriyah yang berhasil menyusun kitab Usdu al-Ghābah Fῑ Asmā al-
Şahābah. Kitab ini memuat uraian tentang para sahabat Nabi Saw atau Rijāl
al-Hadῑś pada Ṭabaqāt pertama, meskipun di dalamnya terdapat nama-nama
yang bukan sahabat.7

2. ILMU JARH WA TA’DIL


Ilmu yang membahas hal ihwal rawi dari segi keadilan dan
keburukannya, sehingga periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Muhammad Ajjaj al-Khatib, ahli hadis kontemporer dari Suriah,
mengelompokkan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela para periwayat.8
Sejarah perkembangan jarh wa ta’dil adalah seiring dengan sejarah
periwayatan dalam Islam. Ketika untuk mendapatkan kabar yang shahih,
orang mau tidak mau harus terlebih dulu mengetahui para perawinya,
mengetahui dedikasi mereka sebagai ahli ilmu (jujur ataukah tidak),
Sehingga dengan demikian dapat diketahui kabar mana yang
perlu ditolak dan mana yang diterima, maka merekapun ikut pula
menanyakan hal ihwal para perawi tersebut, berbagai kegiatan ilmiahnya,
bahkan berbagai tingkah lakunya dalam keseharian. Mereka kemudian
menyelidiki dengan seksama keadaan para perawi tersebut, sehingga
mereka benar-benar mengetahui secara jelas mana perawi kualits
hafalannya baik, yang cerdas, baik, dan lain sebagainya.

3. ILMU ILAL AL HADITS


Ilmu „Ilal dalam hadis sangat urgen untuk menentukan shahîh
tidaknya suatu hadis. Hadis yang secara lahir tampak shahîh, setelah diteliti

6
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet II, hal, 24-25
7
Sohari Sahrani, Op Cit, hal, 76
8
DR. Alamsyah, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 36
lebih mendalam ternyata ada cacat di dalamnya. Inilah yang menjadi titik
tolak pembahasan ilmu ilal.
Selain itu, ada juga ilal yang bersumber dari hadis dhaif. Ilal
yang bersumber dari hadis dhaif ini relatif lebih mudah ditentukan
kecacatannya dari pada hadis yang bersumber dari hadis yang tampak
shahîh secara lahir.9
Untuk mengetahui validitas sebuah hadis, para ulama telah
mengemukakan bahwa barometernya adalah hadis shahih yang
didefinisikan secara lebih konkrit dan terurai oleh Imam al-Syafi’i di dalam
kitabnya yang berjudul al-Risâlah. Dia menyatakan bahwa hadis ahad tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali jika memenuhi dua syarat, pertama,
diriwayatkan oleh orang yang tsiqah (adil dan dhabit), kedua, rangkaian
riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi atau dapat juga tidak sampai
kepada Nabi.10
Kemudian, untuk memperjelas definisi hadis shahih, muncullah
pendapat para ulama mutaakhirin seperti yang dikemukakan oleh Ibnu
Shalah bahwa hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit sampai ahir sanadnya, dan
tidak tedapat kejanggalan (syadz) maupun cacat (‘illat).11

4. ILMU GHORIB AL HADITS


Gharib al-hadits, yang secara harfiah berarti “sesuatu yang asing
(maknanya) pada hadis”.12 Ini tidak berarti ulama yang meriwayatkan hadis
tidak memahami apa yang sebenarnya yang ia riwayatkan. Namun kajian
gharib al-hadits ini menjadi niscaya berkembang seiring dengan tersebar
luasnya hadis pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat
meriwayatkan hadis-hadis Nabi kepada banyak orang, di berbagai kota,
yang pada awalnya boleh jadi bahasa Arab bukan bahasa ibu. Sehingga, ada
perbedaan atau misinformasi ketika memaknai kata tertentu dalam sebuah
hadis.

9
DR. H. Makhrusin Muhsin, MA. “Studi Ilal Hadits”: 1
10
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
11
Al-Shalih, Subhi, ‘Ulûm al-Hadîs Wa Musthalahuhu, Beirut: Dâr al-‘Ilm Li al-Malâyîn, 2006
12
Ibn Faris , Maqaayis al-Lughah
Contoh dari hadits Diriwayatkan dalam hadits Imam Ath
Thabrani, Rasulullah SAW bersabda: "Demam adalah bagian dari panas
Jahannam. Ia merupakan jatah bagi orang mukmin dari api neraka."
Secara harfiyah hadis tersebut sulit dipahami karena demam ada
di dunia sementara Jahannam persoalan ghaib. Oleh karena itu hadis itu
harus dipahami secara takwil bahwa penyakit demam itu sangat panas
seolah-olah panas neraka jahannam.13 Ulama perintis di bidang ini adalah
Abu Ubaidah Ma'mar bin Mussana at-Taimi (w. 210 H) dan kemudian Abu
al-Hasan an-Nadr bin Syumail alMazini (w. 203 H). Keduanya telah
menulis kitab tentang garib al-hadis. Namun, Muhammad Adib Salih (ahli
hadis kontemporer dari Suriah) mengatakan bahwa kitab tersebut
merupakan kitab kecil dan banyak masalah yang belum terdapat di
dalamnya.Kitab yang terkenal ialah al-Fa' iq fi Gharib al-hadis karya Abu
Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari dan an-Nihayah ff Gharib al-
hadls karya Majduddin Abu as-Sa 'adah al-Mubarak bin Muhammad yang
terkenal dengan nama Ibnu al-Asir (544-606H).

ILMU ASBABUL WURUD HADITS


'IIm Asbab Wurud al-Hadis yakni ilmu yang membahas sebab
atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Sebab atau hal
tersebut adakalanya berupa pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat, lalu
Rasulullah SAW memberikan jawabannya, dan adakalanya berupa
peristiwa yang disaksikan atau dialami sendiri oleh Rasulullah SAW
bersama sahabatnya, kemudian beliau menjelaskan hukumnya.
Hadis-hadis yang mempunyai asbab al-wurud ini harus dipahami
sesuai dengan sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis
tersebut. Ilmu ini bertujuan mengantarkan seseorang untuk dapat
memahami hadis sesuai konteksnya.14 Contohnya hadis: “Barang siapa
menyerupai suatu kaum maka termasuk golongan mereka”.15 Berdasarkan
hadis tersebut maka sebagian ulama mengatakan tidak boleh memakai
celana, jas, dasi, dll, karena dianggap menyerupai orang Barat yang kafir.

13
Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’aml ma’a al-Sunnah (Bandung: Mizan1993) h. 183
14
DR. Alamsyah, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 36
15
Riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor hadis 3512
Pemahaman seperti ini keliru karena salah dalam menangkap
maksud dan latar belakang munculnya hadis. Padahal hadis tersebut muncul
ketika berkecamuk peperangan, yang di dalamnya sulit dibedakan antara
pasukan muslim dan kafir. Untuk membedakannya, maka nabi
memerintahkan umat Islam memakai tanda tertentu dan jangan menyerupai
orang kafir. Sebaliknya jika ada yang menyerupai mereka, maka dapat
terbunuh karena dikira termasuk pasukan kafir. Jadi hadis tersebut berlaku
khusus dalam situasi peperangan.

5. ILMU TALFIQ AL HADITS


IIm Mukhtalif al-Hadis yakni ilmu yang membahas hadis-hadis
yang ajarannya secara lahirIah tampak saling bertentangan. Ilmu ini
mempunyai arti penting dalam mengantarkan seseorang untuk dapat
menyelami makna hakiki daN terdalam suatu hadis, karena pada hakikatnya
tidak mungkin hadis-hadis Rasulullah SAW benar-benar bertentangan satu
sama lain.
Apabila tampak bertentangan, maka pertentangan itu hanyalah
pada makna lahiriahnya, bukan pada maksud sesungguhnya yang dituju.
Menurut al-Shan’ani, kedua hadis tidak bertentangan karena
hadis yang pertama sebagai dalil yang bersifat umum, sedangkan hadis
kedua sebagai kasus khusus untuk pengecualian.16

6. ILMU NASAKH WAL MANSUKH HADITS


'IIm Nasikh wa Mansukh al-Hadis yakni ilmu yang membahas
hadis-hadis yang muncul lebih dahulu dan hadis yang muncul belakangan,
di mana hadis yang muncul belakangan membatalkan hadis yang muncuL
sebelumnya.
Ilmu ini berguna untuk menyelesaian hadis-hadis yang
bertentangan dan tidak dapat dikompromikan dengan cara mempelajari
sejarah kemunculan setiap hadis yang tampak kontradiktif tersebut.
Penyelesaian dilakukan dengan kaidah an-nasikh, yaitu hadis yang datang
kemudian membatalkan hadis yang datang lebih dahulu. Selanjutnya, hadis

16
Muhammad ibn Isma’il al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar, juz II, h. 426
yang membatalkan dijadikan hujah dan diamalkan, sedangkan hadis yang
telah dibatalkan (dihapus) harus ditinggalkan.
Misalnya pada masa awal Nabi pernah melarang ziarah kubur
dan menyimpan daging kurban, kemudian beliau membolehkan keduanya,
seperti dalam hadis berikut:

‫ َوت ُْد ِم ُع‬،‫ فَان ى ُه ُي ِر هق الْ َقلْ َب‬،‫ُك ْن ُت َنَ َ ْي ُت ُ ُْك َع ْن ِز ََي َر ِة الْ ُق ُب ِور َأ ََل فَ ُز ُوروهَا‬
ِ
‫ َو ََل تَ ُقولُوا ُُهْر‬،َ‫ َوت َُذكِ ُر ْالآ ِخ َرة‬،‫الْ َع ْ َْي‬
Artinya: “Saya telah melarang kalian dari ziarah kubur maka berzirahlah sekarang, dan saya
pernah melarang kalian menyimpan daging-daging kurban lebih dari tiga hari maka simpanlah
sekarang untuk kebaikan kalian”.17

7. ILMU TAKHRIJUL HADITS


'Ilm Takhrij al-Hadis yakni ilmu yang membahas tentang cara
mencari dan menemukan hadis dari kitab sumber asli untuk kemudian
menjelaskan kualitas hadis tersebut. Kitab sumber asli hadis adalah kitab
hadis yang ditulis langsung oleh periwayat dengan memaparkan jalur
sanadnya secara utuh, seperti al-kutub as-sittah (kitab hadis yang enam,
yaitu sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, sunan at- Tarmizi,
Suna an- Nasa'I dan Sunan Ibn Majah), al-Muwatta' Imam Malik,
Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan Sunan ad-Darimi.18
Ilmu Takhrij al-Hadis bertujuan mengantarkan seseorang untuk
menelusuri kualitas sanad hadis dengan meneliti nama-nama periwayat
yang terdapat dalam jalur sanadnya.19

17
Riwayat Muslim nomor hadis 1623
18
DR. Alamsyah, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 43
19
Abu Muhammad Abdul Hadi, Thuruq Takhrij Hadis Rasulillah
DAFTAR PUSTAKA

DR. Nawir Yuslem, MA. “Ulumul Hadits” cet. 2001, PT. Mutiara Sumber Widya
DR. ALAMSYAH, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 28
DR. ALAMSYAH, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 26
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Cet, I, hal, 76
Nuruddin „Itr, Op Cit, hal, 53
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
cet II, hal, 24-25
Sohari Sahrani, Op Cit, hal, 76
DR. Alamsyah, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 36
DR. H. Makhrusin Muhsin, MA. “Studi Ilal Hadits”: 1
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Shalih, Subhi, ‘Ulûm al-Hadîs Wa Musthalahuhu, Beirut: Dâr al-‘Ilm Li al-Malâyîn,
2006
Ibn Faris , Maqaayis al-Lughah,
Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’aml ma’a al-Sunnah (Bandung: Mizan1993) h. 183
DR. Alamsyah, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 36
Riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor hadis 3512
Muhammad ibn Isma’il al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar, juz II, h. 426
Riwayat Muslim nomor hadis 1623.
DR. Alamsyah, M.Ag. “Ŭlūm al-Hadīś”: 43
Abu Muhammad Abdul Hadi, Thuruq Takhrij Hadis Rasulillah

Anda mungkin juga menyukai