Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH CIREBON STUDIES (CIREBONOLOGI)

CIREBON PADA PENJAJAHAN JEPANG

DOSEN PENGAMPU
H. Hasbiyallah, M.Si.

Penyusun:

1. Wahyu Hidayat (2285120027)


2. Fauzan Akbar Novianto (2285120004)

IAIN SYEKH NUR JATI CIREBON


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah yang masih memberikan kita


semua kesempatan mempelajari mata kuliah (MK) Cirebon Studies (Cirebonologi) dengan
dosen pengampu Bapak H. Hasbiyallah, M.Si. Kami berdoa pada Allah SWT menjadikan
kami mempunyai ilmu baru yang bermanfaat dan memberikan balasan kebaikan pada para
pengajar kami aamiin. Sholawat serta salam tak kita lupa curahkan pada junjungan alam Nabi
Muhammad SAW, yang mengajarkan pada kita semua Akhlaq yang mulia sehingga
Menjadikan kita akademisi yang selalu menteladani Nabi Muhamad SAW.
Makalah ini kami buat dengan mengambil referensi-referensi yang hasilnya mungkin
jauh dengan kata sempurna dan kami berharap untuk memaklumkan apabila terdapat
kesalahan dalam penulisan dan perkataan, dan kami berharap kritik dan saran yang
membangun sehingga dapat kami dapatkan untuk mengembangkan tulisan kami kedepannya.
Kami harap dengan adanya makalah ini dapat meberikan kontribusi dalam dunia
Pendidikan khususnya pada MK Cirebon Studies (Cirebonologi), dan semoga Allah berkenan
dari tulisan kami menjadikan pembacanya mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan juga
mendapat keberkahan.

Kuningan, 26 Februari 2023

Wahyu Hidayat & F. Akbar Novianto


PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cirebon adalah sebuah kota di Jawa Barat yang memiliki sejarah panjang sebagai
pusat perdagangan dan kebudayaan di Pulau Jawa. Namun, pada masa lalu, Cirebon
pernah mengalami masa penjajahan oleh berbagai kekuatan asing, termasuk penjajahan
oleh Jepang. Penjajahan Jepang di Cirebon merupakan periode yang sangat penting dalam
sejarah Cirebon dan juga Indonesia secara umum.

Periode penjajahan Jepang di Cirebon terjadi selama hampir tiga setengah


tahun, dari tahun 1942 hingga 1945. Selama masa ini, penduduk Cirebon mengalami
berbagai perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, sosial,
dan budaya. Meskipun penjajahan Jepang dianggap sebagai periode yang sangat sulit bagi
penduduk Cirebon, periode ini juga memunculkan perlawanan dan pergerakan nasionalis
yang memperkuat semangat kemerdekaan Indonesia.

Dalam makalah ini, akan dibahas tentang penjajahan Jepang di Cirebon,


termasuk latar belakang terjadinya penjajahan, dampaknya terhadap kehidupan penduduk
Cirebon, serta pergerakan perlawanan dan nasionalis yang muncul selama periode
penjajahan. Diharapkan makalah ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang sejarah Cirebon dan Indonesia, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana situasi Cirebon dimasa penjajahan Jepang?
2. Hal apa saja yang dilakukan Jepang di Cirebon?
3. Apa saja perlawanan yang dilakukan di Cirebon?
PEMBAHASAN
A. Masuknya Jepang ke Cirebon

Masuknya Jepang ke Cirebon pada awalnya merupakan bagian dari


ekspansi Jepang ke Asia Tenggara dalam rangka menjajah wilayah-wilayah yang
menjadi sumber daya alam dan pasar penting bagi Jepang. Pada tanggal 9 Maret
1942, Jepang berhasil merebut Cirebon dari tangan Belanda, yang pada saat itu
merupakan penjaga keamanan dan penguasa wilayah Cirebon.

Penjajahan Jepang di Cirebon dimulai dengan serangan dari laut, di


mana pasukan Jepang menyerang dan merebut Benteng Speelwijk di Pelabuhan
Cirebon. Setelah itu, pasukan Jepang masuk ke kota Cirebon dan secara resmi
menduduki wilayah tersebut. Meskipun awalnya dianggap sebagai penjajahan
yang sementara, namun pada kenyataannya, Jepang berkuasa atas Cirebon selama
hampir tiga setengah tahun.

Salah satu alasan masuknya Jepang ke Cirebon adalah untuk


memperoleh sumber daya alam, terutama padi dan gula yang merupakan produk
unggulan dari Cirebon. Selain itu, Cirebon juga dianggap sebagai wilayah yang
strategis untuk memudahkan Jepang dalam mengendalikan jalur transportasi di
wilayah Jawa Barat.

Masuknya Jepang ke Cirebon tidak hanya memberikan dampak pada


aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek sosial dan politik. Pada awalnya, penduduk
Cirebon merasa lega dengan kehadiran Jepang karena dianggap sebagai
pemerintah baru yang akan memberikan perubahan positif. Namun, lambat laun,
penduduk Cirebon mulai merasakan penderitaan akibat penjajahan Jepang yang
semakin mempersempit ruang gerak dan membatasi kebebasan rakyat.

Dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia, masuknya Jepang


ke Cirebon dapat dianggap sebagai sebuah kesempatan bagi gerakan perlawanan
dan nasionalis untuk mengambil tindakan dan memperjuangkan kemerdekaan.
Banyak tokoh-tokoh nasionalis di Cirebon yang memanfaatkan keadaan tersebut
untuk memobilisasi rakyat dan menggalang dukungan untuk perjuangan
kemerdekaan.

Pasukan Jepang yang menyerbu Jawa Barat ialah Staf Tentara Keenambelas
dan Divisi II. Mereka mendarat pada tanggal 1 Maret 1942 di dua daerah, yaitu di
daerah Banten (di kota kecil Bojonegara, dekat Merak, dan di Teluk Banten) dan
di Eretan Wetan (daerah Cirebon).1 Pasukan yang mendarat di Eretan Wetan ialah
Detasemen Syoji. Pada hari itu juga mereka berhasil menduduki Subang di mana
Batalyon Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa perlawanan
berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan terbang itu.

Sementara ini belum diperoleh informasi kapan dan bagaimana persisnya


tentara Jepang masuk ke Cirebon. Namun demikian, patut diduga bahwa tentara
Jepang masuk ke Cirebon tidak lama setelah terjadi peristiwa menyerahnya
Pemerintah Hindia Belanda tanpa syarat kepada Balatentara Jepang tanggal 8
Maret 1942. Dugaan ini didasarkan pada faktor geografis, jarak antara Kalijati
(Subang) dengan Cirebon itu relatif dekat, juga arti strategis Cirebon yang
memiliki pelabuhan dan berbatasan dengan Jawa Tengah.

Sambutan masyarakat Cirebon terhadap kedatangan Balatentara Jepang


tidak jauh berbeda dengan masyarakat di daerah-daerah lainnya. Umumnya
mereka menyambutnya dengan kegembiraan. Setidaknya, hal tersebut disebabkan
oleh dua hal, internal dan eksternal. Faktor internal adalah kondisi masyarakat
sendiri yang merasa sudah terlalu lama berada di bawah kekuasaan Hindia
Belanda dengan segala dukanya. Faktor eksternal adalah dari pihak Jepang sendiri
yang melalui berbagai propogandanya menamakan diri sebagai “saudara tua”,
“pelindung”, “penyelamat”, dan sebagainya yang ingin membebaskan “saudara
mudanya” dari cengkeraman penindasan penjajah berkulit putih.

B. Cirebon dibawah pemerintahan Jepang

Cirebon di bawah pemerintahan pendudukan Jepang merupakan periode yang


sangat sulit bagi penduduk setempat. Selama hampir tiga setengah tahun di bawah
kekuasaan Jepang, Cirebon mengalami berbagai perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Berikut adalah
penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi Cirebon di bawah pemerintahan
pendudukan Jepang2:
1
Makmun Salim. 1971. Ichtisar Sedjarah Perang Dunia II. Djakarta: Pusat Sedjarah ABRI, hlm. 144; Nugroho
Notosusanto, “Djepang kontra Belanda di Djawa Barat dalam Perang Dunia II”, Intisari, 78, 7 Djanuari 1970,
hlm. 89.
2
Fahlevi, M. (2018). Sejarah Pemberontakan Cirebon: Ketika Pendudukan Jepang Ditentang. Merdeka.com.
https://www.merdeka.com/peristiwa/sejarah-pemberontakan-cirebon-ketika-pendudukan-jepang-
1. Sistem Pemerintahan

Jepang membentuk pemerintahan baru di Cirebon dengan


menempatkan gubernur dan bupati yang baru, serta membentuk Badan
Pembantu Pemerintah yang dipimpin oleh pegawai-pegawai Jepang. Selain itu,
Jepang juga membentuk organisasi-organisasi sosial-politik yang diharapkan
dapat men-support pemerintahan Jepang, seperti Putera, Pemuda Kaum Ibu,
dan Barisan Pelopor.

2. Ekonomi

Jepang mengambil alih perekonomian Cirebon dengan mengontrol


produksi dan distribusi hasil-hasil pertanian, seperti padi dan gula. Selain itu,
Jepang juga memperkenalkan sistem baru dalam perdagangan dan industri,
seperti menetapkan harga-harga komoditas, memperbaiki jalur transportasi,
dan membangun infrastruktur untuk kepentingan militer. Akibatnya, penduduk
Cirebon mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari karena
harga-harga kebutuhan pokok naik dan distribusi komoditas terganggu.

3. Sosial dan Budaya

Penduduk Cirebon diwajibkan untuk mengikuti aturan dan tradisi


Jepang, seperti berbahasa Jepang dan menghormati bendera Jepang. Selain itu,
penduduk Cirebon juga diwajibkan untuk bekerja keras di proyek-proyek
militer Jepang, seperti membangun jalan dan lapangan terbang. Hal ini
menyebabkan banyak penduduk Cirebon mengalami kelelahan, kelaparan, dan
sakit akibat tekanan fisik dan mental.

4. Pergerakan Perlawanan dan Nasionalis

Meskipun situasi sulit, gerakan perlawanan dan nasionalis tetap


bertahan dan berjuang melawan penjajahan Jepang. Beberapa tokoh nasionalis
di Cirebon, seperti Sutawijaya dan Muhammad Toha, memobilisasi rakyat
untuk bergerak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, terdapat
pula beberapa kelompok perlawanan, seperti pasukan Heiho dan TNI, yang
berusaha mengusir Jepang dari Cirebon.

ditentang.html
Dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya, penguasa militer Jepang
berpegang pada beberapa prinsip utama, yaitu: 1) Mengusahakan agar mendapat
dukungan rakyat (untuk memenangi perang) dan mempertahankan ketertiban
umum; 2) Memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang sudah
ada; 3) Meletakkan dasar agar wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi
kebutahan penduduknya sendiri.

Panglima Tentara ke-16 yang pertama di Pulau Jawa ialah Letena Jenderal
Imamura Hitoshi dengan kepala stafnya Mayor Jenderal Seizaburo Okazaki.
Mereka ditugasi membentuk pemerintahan militer sementara di Jawa.

Pemerintahan militer tingkat pusat dinamakan Gunseikanbu; sedangkan


pemerintahan militer setempat (daerah) disebut Gunseibu, 3 yang dibentuk di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan pusatnya mesing-masing di
Bandung, Semarang, dan Surabaya. Di wilayah Jawa Barat terdapat pemerintahan
Gunseibu dengan tempat kedudukan pemimpinnya di Bandung.

Yang diangkat menjadi Kepala Gunseibu (Gubernur) Jawa Barat ialah


Kolonel Matsui. Ia diwakili seorang wakil berbangsa Indonesia, yaitu R. Pandu
Suradiningrat dan Atik Suardi sebagai pembantu wakil gubernur. Pada tanggal 29
April 1942 diangkat empat orang menjadi residen di wilayah Jawa Barat, yaitu:
a) R.A.A. Hilman Jayadiningrat sebagai residen Banten berkedudukan di
Serang.
b) R.A.A. Suyajayanagara sebagai residen Bogor berkedudukan di Bogor.
c) R.A.A. Wiranatakusumahnsebagai residen Priangan berkedudukan di
Bandung.
d) Pangeran Aria Suriadi sebagai residen Cirebon berkedudukan di Cirebon.

C. Perlawanan Cirebon dalam menghadapi Jepang


Perlawanan Cirebon pada masa penjajahan Jepang merupakan salah satu
bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Meskipun kondisi sulit
dan tekanan yang kuat dari penjajah Jepang, masyarakat Cirebon tidak menyerah

3
Gunseibu setara dengan propinsi pada masa sebelum perang.
dan terus melakukan perlawanan. Berikut adalah beberapa bentuk perlawanan
Cirebon pada masa penjajahan Jepang:4

1. Gerakan Kebatinan
Gerakan kebatinan atau kepercayaan tradisional menjadi salah satu
bentuk perlawanan masyarakat Cirebon terhadap Jepang. Masyarakat Cirebon
menyatukan kekuatan spiritual mereka untuk melawan penjajah dengan berdoa
dan melakukan ritual-ritual tertentu. Gerakan kebatinan ini menjadi salah satu
bentuk solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi penjajah.

2. Gerakan Pemuda
Gerakan pemuda juga menjadi salah satu bentuk perlawanan
masyarakat Cirebon terhadap penjajah Jepang. Gerakan pemuda tersebut
terdiri dari sejumlah kelompok yang terorganisir dengan tujuan
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kelompok-kelompok ini melakukan
aksi-aksi unjuk rasa, sabotase, dan gerakan bawah tanah lainnya untuk
mengganggu pemerintahan Jepang.

3. Gerakan TNI
Selain gerakan pemuda, gerakan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
juga terus melakukan perlawanan terhadap penjajah Jepang. TNI bergerak
dalam bentuk gerakan bawah tanah dan melakukan aksi-aksi sabotase serta
serangan terhadap pasukan Jepang. Gerakan TNI di Cirebon dipimpin oleh
beberapa tokoh seperti Muhammad Toha, Letkol R. Ateng, dan Letkol M.
Sulaiman.

4. Pemberontakan
Pemberontakan atau peristiwa besar yang terjadi pada masa penjajahan
Jepang adalah Pemberontakan Cirebon pada tahun 1945. Pemberontakan ini
dipimpin oleh Muhammad Toha dan berhasil mengusir pasukan Jepang dari

4
Kurniawan, Y. (2019). Perlawanan Pemuda Cirebon Terhadap Pendudukan Jepang. Sejarah & Budaya.
https://www.sejarah-nusantara.com/2019/03/perlawanan-pemuda-cirebon-terhadap.html
Cirebon. Pemberontakan ini menjadi salah satu peristiwa penting dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan menjadi simbol keberanian dan
semangat perjuangan masyarakat Cirebon.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Cirebon pada
masa penjajahan Jepang mengalami berbagai perubahan dan tantangan yang
signifikan. Meskipun terjadi penindasan yang sangat kuat, masyarakat Cirebon tetap
berusaha untuk menjaga identitas dan budaya mereka serta melakukan berbagai
bentuk perlawanan terhadap penjajah Jepang. Meskipun mengalami tekanan dan
penindasan yang kuat dari penjajah Jepang, masyarakat Cirebon tidak menyerah dan
terus melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk gerakan. Hal ini menunjukkan
bahwa semangat perjuangan dan kecintaan terhadap tanah air sangatlah tinggi pada
masa itu, dan menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia
menuju kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho Notosusanto, “Djepang kontra Belanda di Djawa Barat dalam Perang Dunia
II”, Intisari, 78, 7 Djanuari 1970
Salim, Makmun. 1971. Ichtisar Sedjarah Perang Dunia II. Djakarta: Pusat Sedjarah
ABRI.
Suryani, D. (2021). Gerakan Kebatinan dalam Perlawanan Rakyat Jawa Barat. Bakti
Budaya. https://www.baktibudaya.id/2021/
Kurniawan, Y. (2019). Perlawanan Pemuda Cirebon Terhadap Pendudukan Jepang.
Sejarah & Budaya. https://www.sejarah-nusantara.com/2019/03/perlawanan-
pemuda-cirebon-terhadap.html

Anda mungkin juga menyukai