PENYUSUN:
1. Fauzan Akbar Novianto (2285120004)
2. Putri Grizki (2285120022)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
A. Perkembangan Tasawwuf
1. Sufisme Awal
1
Isa Abduh Ahmad Isma’il Yahya, Dr, Hakikat al-Insan, Dar al-Ma’arif, tp, tt, hal. 85
2
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, 1986, hal. 93-94.
3
Lihat al-Qur’an: QS: Al-Baqarah: 86; QS: Al-Baqarah; 115; QS; QS: Al-Maidah: 54; QS: Ali
Imran: 30; Qaf: 16.
4
Carl W. Ernst, Shambhala Guide to Sufism, terj: Arif Anwar, Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003,
hal. 153.
5
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan Malaysia: Pustaka Aman
Press, 1977), hal. 67-78.
Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di
kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan
lanjutan dari gaya keberagaman para zahid dan ‘abid, kesalehan yang
mengelompok di serambi mesjid Madinah.6 Fase awal ini juga
disebut sebagai fase asketisme yang merupakan bibit awal
tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai
oleh munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan
mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya
berlangsung sampai akhir abad II Hijriah, dan memasuki abad ke III
sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme.
Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh (antara
lain) pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun
waktu ini percakapan para zahid sudah meningkat pada persoalan
bagaimana jiwa yang bersih itu, apa itu moralitas dan bagaimana
pembinaannya serta perbincangan masalah kerohanian lainnya.
Tindak lanjut dari diskusi ini, bermunculanlah berbagai konsepsi
tentang jenjang perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi (al-
maqamat) serta cir-ciri yang dimiliki oleh seorang salik (calon sufi)
pada tingkatan tertentu (al-ahwal).7
2. Sufisme Orthodox
Sebenarnya apabila ditinjau secara cermat dan menyeluruh
ketegangan yang terjadi seperti yang disebutkan di atas, bukan
semata mata karena masalah sufisme atau karena perbedaan sufisme
6
Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al- Mazhab Ahl al-Tasawwuf,
(Beirut Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah,, 1993), hal. 15.
7
A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan, Mizan,
Jakarta, 1991, hal. 81-90. 8 Julian Baldick, Mystical
atau karena perbedaan pemahaman agama, tetapi juga karena telah
ditunggangi kepentingan politik, yakni kaum Sunni versus kaum
Syi’i. Sebab, sejak abad ketiga hijriah sudah mulai popular sebutan
sufisme ortodoks, yang dirintis oleh Harits al-Muhasibi seperti telah
disebutkan terdahulu sebagai tandingan bagi sufisme popular yang
didukung sepenuhnya oleh kaum Syi’ah. Tujuan sufisme ortodoks
adalah ihya atsar al-salaf reaktualisasi paham salafiyah dengan
mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan sufi terdahulu
yakni para sahabat dan generasi sesudahnya dengan tetap
mempraktekkan kehidupan yang bersifat lahiriah. Dengan kata lain,
bahwa gagasan al-Muhasibi itu adalah untuk merentang jembatan di
atas jurang yang memisahkan Islam ortodoks dan mengawal kesucian
sufisme agar tetap berada dalam wilayah Islam yang murni.8
3. Sufisme-Theosufi
Paparan terdahulu menunjukkan, bahwa sufisme sebagai ilmu teoritis
maupun praktis telah sampai pada tingkat kematangan (fase
keempat), yang ditandai dengan terpilahnya sufisme kepada dua
aliran besar yaitu sufisme Sunni dan sufisme Syi’i yang disebut juga
sufisme falsafi atau sufisme-theosufi.9 Sebab ternyata pada akhirnya
intisari pengalaman kesufian yang menurut al-Ghazali tidak mungkin
diungkapkan menerobos juga lewat konsepsi Ibn Arabi (w.638H).
corak ma’rifat yang dikembangkan tokoh popular dari Murcia ini,
tidak sejalan dengan konsepsi ma;rifat sebelumnya. Ia bukan saja
mengungkapkan kasatuan manusia dengan Tuhan seperti halnya
dengan Abu Yazid al-Bistami tetapi ia menyodorkan satu bentuk
8
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), hal. 301.
9
Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 204
olahan esoterik yang mirip dengan filsafat. Ia berusaha mencerahkan
hubungan antara fenomena alam yang pluralistic dengan Tuhan
sebagai prinsip keesaan yang melandasinya. Berangkat dari pendapat
sufisme bahwa yang mutlak hanya Allah, ia lalu mengatakan bahwa
alam ini adalah (mazhar) dari asma dan sifat Allah, yang sebenarnya
adalah zat-Nya. Yang Mutlak itu merupakan diri dalam citra
keterbatasan yang empiris yang kemudian popular dengan doktrin
wahdah al-wujud. 10
4. Neo Sufisme
Apa yang ingin dicoba ungkapkan dari sufisme terdahulu adalah
bahwa sufisme secara tegas menempatkan penghayatan keagamaan
yang paling benar pada pendekatan esoterik, pendekatan batiniyah.
Dampak dari pendekatan esoterik ini adalah timbulnya kepincangan
dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih mengutamakan
makna batiniyahnya saja atau ketentuan yang tersirat saja dan sangat
kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya. Oleh karena itu
adalah wajar apabila kemudian dalam penampilannya, kaum sufi
tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan, bahkan terkesan mengarah ke privatisasi agama. Di
sisi lain, terdapat kelompok muslim yang mengutamakan aspek-aspek
formal-lahiriyah ajaran agama melalui pendekatan eksoteris-rasional.
Mereka lebih menitik-beratkan perhatian pada segi-segi syariah,
sehingga kelompok ini disebut kaum lahiri. Seperti disebut terdahulu,
bahwa dalam sejarah pemikiran Islam pernah terjadi polemik panjang
yang menimbulkan ketegangan antara dua kubu yang berbeda
orientasi penghayatan keagamaan.11
10
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik…, hal.304.
11
Fazlur Rahman, Islam.., hal. 213.
B. Sejarah Tasawwuf salafi, falsafi, dan amali
1. Tasawwuf Salafi (Akhlaqi)
Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari
pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman
sahabat dan tabi’in, kecendrungan pandangan orang terhadap
ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam
mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah dan
aspek batiniah. Sejarah dan perkembangan tasawuf salafi
(akhlaki) mengalami beberapa fase barikut:
a. Abad Kesatu dan Kedua Hijriyah ( Gerakan Zuhud )
Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai
pengantar kemunculan tasawuf. Fase asketisma ini
tumbuh pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Pada masa
ini, terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang
lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka
menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupannya, yaitu
tidak mementingkan makanan, pakaian maupun tempat
tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan
mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan
tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer
dikalangan mereka adalah Hasan Al-Bashri (meninggal
pada 110 H) dan Rabi’ah Al-Adawiyah (meningga pada
185 H) kedua tokoh ini dijuluki sebagai zabhid.12
2. Tasawwuf Falsafi
Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan
tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional sebagai pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf
ssalafi (akhlaqi), tasawuf filosofis menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah
memengaruhi para tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul
dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah,
meskipun para tokohnya bbaru dikenal seabad kemudian. Sejak
itu tsaswuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di
kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-
akhir ini. Pemaduan antara tasawuf dan filsafat telah membuat
ajaran-ajaran tasawuf filosofis bercampur dengan sejumlah
ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan
agama Nashrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap
tidak hilang, karena para tokohnya ̶ meskipun mempunyai latar
belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda sejalan
ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu ̶ tetap berusaha
menjaga kemandirian ajaran-ajarannya, terutama bila dikaitkan
dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dapat
menjawab pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf filosofis
begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal
dari luar Islam kedalam tasawuf mereka, serta menggunakan
terminologi filsafat yang maknnya telah disesuaikan dengan
ajaran-ajaran tasawuf yang mereka anut.
Pada abad keenam merupakan awal mulai muncul dengan jelas
aliran tasawuf filosofis dalam khasanah Islam. Adanya pemaduan
antara tasawuf dengan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis ini
dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf
bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran filsafat di luar islam,
seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Namun
orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena
meskipun para tokohnya mempunyai latar belakang budaya dan
pengetahuan yang berbeda dan beraneka, mereka tetap berusaha
menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila
dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Ciri-ciri
umum dari tasawuf filosofis ialah:
a. kesamar-samaran ajarannya karena banyaknya ungkapan dan
peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka
yang memahami tasawuf filosofis.
b. Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf filosofis
mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai
alirannya, misalnya Socrates, Plato, dan aliran Stoa
c. Para sufi dan filosof sering mendapat kritikan dari kalangan
fuqaha karena pendapat mereka tentang kesatuan wujuh, teori
quthh, kesatuan agama, serta akibat-akibat yang
ditimbulkannya, yang menurut fuqaha bertentangan dengan
akidah Islam.
d. Perhatian para penganut aliran tasawuf filosofis terutama
diarahkan untuk menyusun toeri-teori wujuh dengan
berlandaskan rasa yang merupakan titik tolak ajaran mereka.
e. Tumbuhnya gerakan panteisme dalam aliran tasawuf filosofis,
gerakan ini tumbuh dari Andalusia.
f. Sebagian para sufi mutakhir (sufi-filosof) begitu didominasi
perasaan cinta Illahi yang mereka ungkapkan dalam bentuk
puisi secara filosofis. Tokoh yang terkenal adalah Ibn al-
Faridh dan Jalaludin al-Rumi.
Beberapa tokoh yang terkenal dari aliran tasawuf filosofis ini
adalah Syukhrawandi Al-Maqtul [meninggal pada tahun 549 H],
penyusun kitab Hikmah Al-Isyariqiyah, Syekh Akbar Muhyiddin
Ibnu Arabi [meninggal pada tahun 638 H], penyair sufi Mesir,
Ibnu Faridh [meninggal pada tahun 632 H], Abdul Haqq Ibnu
Sab’in Al-Mursi [meninggal pada tahun 669 H].
3. Tasawwuf Amali
Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari
pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman
sahabat dan tabiin, kecenderungan pandangan orang terhadap
ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam
mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu lahiriyah
(seremonial) dan aspek batiniah (spiritual), atau apek luar dan
aspek dalam. Pendalaman dan pengamalan aspek “dalamnya”
mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa
mengabaikan aspek ‘luarnya” yang dimotivasikan untuk
membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih
berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih
mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan Tuhan dan
bebas dari egoisme.13 Sejarah dan perkembangan tasawuf ‘amali
mengalami beberapa fase, yaitu:
a. Abad kesatu dan kedua Hijriyah, tasawuf masih berupa
perilaku zuhud yang didasari rasa khauf dan masih bersifat
praktis (belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu).
b. Abad ketiga Hijriyah, kata tasawuf mulai digunakan. Orang
ahli ibadah sebelumnya disebut ‘abid atau nasik, pada abad ini
disebut sebagai sufi.
c. Abad keempat Hijriyah, perkembangan tasawuf semakin
pesat dan munculnya istilah shari’at, tarekat, hakikat dan
ma’rifat, sebagai penjelasan perbedaan ilmu lahir dan ilmu
batin. Ciri-ciri lain yang terdapat pada abad ini, ditandai
dengan semakin kuatnya unsur filsafat yang memengaruhi
corak tasawuf, karena banyaknya buku filsafat yang tersebar
di kalangan umat Islam dari hasil terjemahan orang-orang
muslim sejak zaman permulaan Dinasti Abbasiyah. Pada abad
ini pula mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu
batin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat
macam, yaitu14: Ilmu Syariat, Ilmu tariqah, Ilmu haqiqah,
Ilmu ma’rifah
d. Abad kelima Hijriyah, adanya pemancangan ajaran tasawuf
sesuai dengan prinsip-prinsip Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
oleh Imam al-Ghazali.
13
M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 61-67
14
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tashawwuf Fi al-Islam (Kairo: Dar al-
Thaqafah, 1976), 65
e. Abad keenam Hijriyah, munculnya para sufi yang
mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang
kemudian berkembang pesat sampai sekarang.
PENUTUP
KESIMPULAN
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya.
Berasal dari gerakan zuhud yang personal, selanjutnya berkembang menjadi
gerakan tasawuf massif yang melahirkan kelompok dan ordo-ordo tertentu.
Berawal abad kedua hijriyah sikap asketism yang tumbuh adalah apresiasi
terhadap perilaku kehidupan Nabi Muhammad yang penuh sahaja. Beliau
sebagai model ‘abid sejati menginspirasi para sahabat yang hidup pada
masanya untuk melakukan praktik-praktik ibadah sebagai proses pendakian
jiwa menuju Allah. Sentuhan filsafat juga mewarnai corak tasawuf. Pada
abad ke enam sampai ke delapan Hijriyah, lewat konsepsi Ibn Arabi, corak
ma’rifat yang dikembangkan adalah hubungan antara fenomena alam yang
pluralistic dengan Tuhan sebagai prinsip keesaan yang melandasinya, yang
popular dengan doktrin wahdah al-wujud.
DAFTAR PUSTAKA