Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ILMU TASAWWUF

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWWUF: SALAFI, FALSAFI,


AMALI

PENYUSUN:
1. Fauzan Akbar Novianto (2285120004)
2. Putri Grizki (2285120022)

Dosen: Syahrul Kirom, M.phil.


NIP: 198407232019031006
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
IAIN SYEKH NUR JATI CIREBON
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah yang masih


memberikan kita semua kesempatan mempelajari mata kuliah (MK) Ilmu
Tasawwuf dengan dosen pengampu Bapak Syahrul Qirom, M.Phil. Kami
berdoa pada Allah SWT menjadikan kami mempunyai ilmu baru yang
bermanfaat dan memberikan balasan kebaikan pada para pengajar kami
aamiin. Sholawat serta salam tak kita lupa curahkan pada junjungan alam
Nabi Muhammad SAW, yang mengajarkan pada kita semua Akhlaq yang
mulia sehingga Menjadikan kita akademisi yang selalu meneladani Nabi
Muhamad SAW.
Makalah ini kami buat dengan mengambil referensi-referensi yang
hasilnya mungkin jauh dengan kata sempurna dan kami berharap untuk
memaklumkan apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan perkataan,
dan kami berharap kritik dan saran yang membangun sehingga dapat kami
dapatkan untuk mengembangkan tulisan kami kedepannya.
Kami harap dengan adanya makalah ini dapat meberikan kontribusi
dalam dunia Pendidikan khususnya pada MK Ilmu Tasawwuf, dan semoga
Allah berkenan dari tulisan kami menjadikan pembacanya mendapatkan ilmu
yang bermanfaat dan juga mendapat keberkahan.
Cirebon, 3 Februari
2023

Fauzan Akbar Novianto & Putri Grizki

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman, tasawuf mengalami


perkembangan dan perubahan. Terdapat beberapa aliran dalam tasawuf yang
memiliki pendekatan yang berbeda-beda, di antaranya adalah aliran Salafi,
Falsafi, dan Amali.

Aliran Salafi merupakan aliran tasawuf yang menekankan


pentingnya ketaatan kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Aliran ini juga
mengutamakan praktik-praktik ibadah, seperti shalat, puasa, dan sedekah,
sebagai sarana untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Beberapa tokoh
terkenal dari aliran Salafi adalah Imam Ghazali, Imam Nawawi, dan Imam
Ibn Qayyim Al-Jauziyah.

Aliran Falsafi, seperti namanya, lebih menekankan pada aspek


filosofis dan intelektual dari tasawuf. Aliran ini lebih cenderung
menggunakan filsafat Yunani dan Persia dalam pengembangan konsep-
konsep tasawuf. Beberapa tokoh terkenal dari aliran Falsafi adalah Al-
Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Arabi.

Sedangkan aliran Amali lebih menekankan pada praktik-praktik


spiritual dan pengalaman pribadi dalam mencapai kedekatan dengan Tuhan.
Aliran ini lebih mengutamakan praktik-praktik seperti dzikir, meditasi, dan
renungan dalam pencapaian spiritual. Beberapa tokoh terkenal dari aliran
Amali adalah Al-Junaid dan Abu Yazid Al-Bustami.

Dalam sejarah tasawuf, ketiga aliran ini memiliki pengaruh yang


besar dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Meskipun memiliki
pendekatan yang berbeda-beda, semua aliran tersebut memiliki tujuan yang
sama, yaitu mencapai kedekatan dengan Tuhan melalui pengembangan
spiritual.
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Tasawwuf

Kehidupan spiritual sejatinya merupakan fase dimana manusia


berotasi pada eksistensi dirinya, dimana fokus utama terletak pada dimensi
spiritualnya dan nafs, ruh, qalb adalah sasaran dari kontemplasi tersebut,1
yang lebih dikenal dengan asketisme. 2 Jika diruntun lebih jauh lagi, bahwa
kehidupan asketis tidak dapat dipisahkan dari literatur dalam tradisi Islam,
dimana dapat dijumpai sejumlah dalil-dalil dalam al-Qur’an maupun Hadits3
yang menegaskan potensi manusia terutama dimensi spiritual yang mampu
meninggalkan belenggu jasmani (nasitiyah) untuk menanjak naik melalui
potensi lahitiyahnya. Inilah yang menjadikan perbincangan seputar teori dan
konsep yang lahir berikutnya menjadi unik dan beragam.4

Sebagai salah satu dimensi keagamaan yang muncul di tengah


agama dan peradaban lainnya, sufisme dalam Islam juga tidak luput dari
keterpengaruhan tersebut. Mulai konsep-konsep ketuhanan Neo-Platonisme
Yunani sampai tradisi gnostik dan asketik yang berkembang di agama-agama
Yahudi, Nasrani, Zoroaster, Hindu dan sebagainya, kemudian dengan
dominasi warna Islamlah Sufisme berkembang.5

1. Sufisme Awal

1
Isa Abduh Ahmad Isma’il Yahya, Dr, Hakikat al-Insan, Dar al-Ma’arif, tp, tt, hal. 85
2
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, 1986, hal. 93-94.
3
Lihat al-Qur’an: QS: Al-Baqarah: 86; QS: Al-Baqarah; 115; QS; QS: Al-Maidah: 54; QS: Ali
Imran: 30; Qaf: 16.
4
Carl W. Ernst, Shambhala Guide to Sufism, terj: Arif Anwar, Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003,
hal. 153.
5
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan Malaysia: Pustaka Aman
Press, 1977), hal. 67-78.
Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di
kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan
lanjutan dari gaya keberagaman para zahid dan ‘abid, kesalehan yang
mengelompok di serambi mesjid Madinah.6 Fase awal ini juga
disebut sebagai fase asketisme yang merupakan bibit awal
tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai
oleh munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan
mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya
berlangsung sampai akhir abad II Hijriah, dan memasuki abad ke III
sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme.
Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh (antara
lain) pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun
waktu ini percakapan para zahid sudah meningkat pada persoalan
bagaimana jiwa yang bersih itu, apa itu moralitas dan bagaimana
pembinaannya serta perbincangan masalah kerohanian lainnya.
Tindak lanjut dari diskusi ini, bermunculanlah berbagai konsepsi
tentang jenjang perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi (al-
maqamat) serta cir-ciri yang dimiliki oleh seorang salik (calon sufi)
pada tingkatan tertentu (al-ahwal).7

2. Sufisme Orthodox
Sebenarnya apabila ditinjau secara cermat dan menyeluruh
ketegangan yang terjadi seperti yang disebutkan di atas, bukan
semata mata karena masalah sufisme atau karena perbedaan sufisme

6
Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al- Mazhab Ahl al-Tasawwuf,
(Beirut Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah,, 1993), hal. 15.
7
A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan, Mizan,
Jakarta, 1991, hal. 81-90. 8 Julian Baldick, Mystical
atau karena perbedaan pemahaman agama, tetapi juga karena telah
ditunggangi kepentingan politik, yakni kaum Sunni versus kaum
Syi’i. Sebab, sejak abad ketiga hijriah sudah mulai popular sebutan
sufisme ortodoks, yang dirintis oleh Harits al-Muhasibi seperti telah
disebutkan terdahulu sebagai tandingan bagi sufisme popular yang
didukung sepenuhnya oleh kaum Syi’ah. Tujuan sufisme ortodoks
adalah ihya atsar al-salaf reaktualisasi paham salafiyah dengan
mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan sufi terdahulu
yakni para sahabat dan generasi sesudahnya dengan tetap
mempraktekkan kehidupan yang bersifat lahiriah. Dengan kata lain,
bahwa gagasan al-Muhasibi itu adalah untuk merentang jembatan di
atas jurang yang memisahkan Islam ortodoks dan mengawal kesucian
sufisme agar tetap berada dalam wilayah Islam yang murni.8

3. Sufisme-Theosufi
Paparan terdahulu menunjukkan, bahwa sufisme sebagai ilmu teoritis
maupun praktis telah sampai pada tingkat kematangan (fase
keempat), yang ditandai dengan terpilahnya sufisme kepada dua
aliran besar yaitu sufisme Sunni dan sufisme Syi’i yang disebut juga
sufisme falsafi atau sufisme-theosufi.9 Sebab ternyata pada akhirnya
intisari pengalaman kesufian yang menurut al-Ghazali tidak mungkin
diungkapkan menerobos juga lewat konsepsi Ibn Arabi (w.638H).
corak ma’rifat yang dikembangkan tokoh popular dari Murcia ini,
tidak sejalan dengan konsepsi ma;rifat sebelumnya. Ia bukan saja
mengungkapkan kasatuan manusia dengan Tuhan seperti halnya
dengan Abu Yazid al-Bistami tetapi ia menyodorkan satu bentuk
8
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), hal. 301.
9
Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 204
olahan esoterik yang mirip dengan filsafat. Ia berusaha mencerahkan
hubungan antara fenomena alam yang pluralistic dengan Tuhan
sebagai prinsip keesaan yang melandasinya. Berangkat dari pendapat
sufisme bahwa yang mutlak hanya Allah, ia lalu mengatakan bahwa
alam ini adalah (mazhar) dari asma dan sifat Allah, yang sebenarnya
adalah zat-Nya. Yang Mutlak itu merupakan diri dalam citra
keterbatasan yang empiris yang kemudian popular dengan doktrin
wahdah al-wujud. 10

4. Neo Sufisme
Apa yang ingin dicoba ungkapkan dari sufisme terdahulu adalah
bahwa sufisme secara tegas menempatkan penghayatan keagamaan
yang paling benar pada pendekatan esoterik, pendekatan batiniyah.
Dampak dari pendekatan esoterik ini adalah timbulnya kepincangan
dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih mengutamakan
makna batiniyahnya saja atau ketentuan yang tersirat saja dan sangat
kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya. Oleh karena itu
adalah wajar apabila kemudian dalam penampilannya, kaum sufi
tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan, bahkan terkesan mengarah ke privatisasi agama. Di
sisi lain, terdapat kelompok muslim yang mengutamakan aspek-aspek
formal-lahiriyah ajaran agama melalui pendekatan eksoteris-rasional.
Mereka lebih menitik-beratkan perhatian pada segi-segi syariah,
sehingga kelompok ini disebut kaum lahiri. Seperti disebut terdahulu,
bahwa dalam sejarah pemikiran Islam pernah terjadi polemik panjang
yang menimbulkan ketegangan antara dua kubu yang berbeda
orientasi penghayatan keagamaan.11
10
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik…, hal.304.
11
Fazlur Rahman, Islam.., hal. 213.
B. Sejarah Tasawwuf salafi, falsafi, dan amali
1. Tasawwuf Salafi (Akhlaqi)
Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari
pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman
sahabat dan tabi’in, kecendrungan pandangan orang terhadap
ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam
mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah dan
aspek batiniah. Sejarah dan perkembangan tasawuf salafi
(akhlaki) mengalami beberapa fase barikut:
a. Abad Kesatu dan Kedua Hijriyah ( Gerakan Zuhud )
Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai
pengantar kemunculan tasawuf. Fase asketisma ini
tumbuh pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Pada masa
ini, terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang
lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka
menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupannya, yaitu
tidak mementingkan makanan, pakaian maupun tempat
tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan
mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan
tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer
dikalangan mereka adalah Hasan Al-Bashri (meninggal
pada 110 H) dan Rabi’ah Al-Adawiyah (meningga pada
185 H) kedua tokoh ini dijuluki sebagai zabhid.12

b. Abad ketiga Hijriah


12
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tashawwuf Fi al-Islam (Kairo: Dar al-
Thaqafah, 1976), 78
Sejak abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh
perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan
tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah
laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di
tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang
ketika itu. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya,
mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang
berkaitan dengan akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikanh
tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana
dan mudah dipraktikkan semua orang. Kesederhanaanya
dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur
berpikirnya. Tasawuf pada akhir yang sederhana ini
tampaknya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian
mereka lebih tertuju pada realitas pengalaman Islam
dalam praktik yang lebih menekankan keterpujian
perilaku manusia. Mereka melaksanakan amalan-amalan
tasawuf dengan menampilkan akhlak-akhlak atau moral
yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan
batiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak
mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji.
Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan
lahiriah yang sangat formal dan cenderung kurang
diterima oleh mereka yang mendambakan konsitensi
pengaalaman ajaran Islam sampai pada aspek terdalam.
Oleh karena itu, ketika menyaksikan ketidak beresan
perilaku (akhlak) di sekitarrnya, mereka menanamkan
kembali akhlak mulia. Pada masa ini, tasawuf identilk
dengan akhlak.

c. Abad keempat Hijriah


Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang
lebih pesat dibandingkanb pada abad ketiga hijriyah,
karna usaha maksimal para ulama tasawuf untuk
mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing.
Akibatnya, kota Baghdad yang hanya satu-satunya koa
yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling
besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar
lainnya

d. Abad kelima Hijriah


Tasawuf pada abad kelima cenderung mengadakan
pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke
landasan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Tokoh tokoh yang
menonjol pada masa ini adalah al-Qusyairi, al-Harawi dan
al-Ghazali. Mereka membawa tasawuf kearah aliran
sunni. Dengan demikian, pada abad kelima Hijriyah ini,
tasawuf sunni berada pada posisi yang menentukan yang
memungkinkannya tersebar luas di kalangan dunia islam
dan membuat fondasinya terpancang begitu dalam untuk
jangka lama pada berbagai masyarakat islam. Al-Qusyairi
(w. 465 H) adalah salah seorang tokoh utama sufi yang
kedudukannya demikian penting, mengingat karya-
karyanya tentang para sufi dan tasawuf abad ketiga dan
keempat Hijriyah yang membuat terpeliharanya pendapat
dan khasanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis
maupun praktis. Karya dari al-Qusairi yang terkenal
adalah al-Risalah al-Qusyairiyah. Al-Harawi dipandang
sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan
penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan
ungkapan-ungkapannya, seperti al-Busthami dan al-
Hallaj. beliau juga seorang penyusun teori kefanaan dalam
kesatuan yang mirip dengan teori al-Junaid. Karyanya
yang paling terkenal adalah Manazil al-Sa’irin ila Rabb
al-‘Alamin. Dalam karyanya yang ringkas tersebut, beliau
menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah sufi, dimana
tingkatan-tingkatan itu menurutnya mempunyai awal serta
akhir. Dalam islam,al-Ghazali dipandang sebagai pembela
terbesar tasawuf sunni, yakni tasawuf yang berdasarkan
doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga berdasarkan
kehidupan yang asketis,kehidupan yang sederhana, dan
pendidikan maupun pembinaan jiwa. Karya al-Ghazali
yang paling terkenal adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din.
Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak
mengurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdad.
Bahkan penulisan kitab-kitab tasawuf di sana mulai
bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qulbi Fi
Mu’amalatil Mahbub, yang dikarang oleh Abu Thalib Al-
Makky [meninggal di baghdad tahun 386 H]. Dalam
pengajaran ilmu tasawuf di berbagai negeri dan kota, para
ulama tersebut menggunakan sistem tarekat, sebagaimana
yang dirintis oleh para ulama tasawuf pendahulunya.
Sitem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru
terhadap murid-muridnya yang bersifat teoritas serta
bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang
disebut “suluk” dalam ajaran tasawuf. Sistem pengajaran
tasawuf yang sering disebut tarekat, diberi nama yang
sering dinisbatkan kepada nama penciptanya [gurunya],
atau sering pula dinisbatkan kepada lahiarnya kegiatan
tarekat itu.

2. Tasawwuf Falsafi
Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan
tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional sebagai pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf
ssalafi (akhlaqi), tasawuf filosofis menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah
memengaruhi para tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul
dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah,
meskipun para tokohnya bbaru dikenal seabad kemudian. Sejak
itu tsaswuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di
kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-
akhir ini. Pemaduan antara tasawuf dan filsafat telah membuat
ajaran-ajaran tasawuf filosofis bercampur dengan sejumlah
ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan
agama Nashrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap
tidak hilang, karena para tokohnya ̶ meskipun mempunyai latar
belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda sejalan
ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu ̶ tetap berusaha
menjaga kemandirian ajaran-ajarannya, terutama bila dikaitkan
dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dapat
menjawab pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf filosofis
begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal
dari luar Islam kedalam tasawuf mereka, serta menggunakan
terminologi filsafat yang maknnya telah disesuaikan dengan
ajaran-ajaran tasawuf yang mereka anut.
Pada abad keenam merupakan awal mulai muncul dengan jelas
aliran tasawuf filosofis dalam khasanah Islam. Adanya pemaduan
antara tasawuf dengan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis ini
dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf
bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran filsafat di luar islam,
seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Namun
orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena
meskipun para tokohnya mempunyai latar belakang budaya dan
pengetahuan yang berbeda dan beraneka, mereka tetap berusaha
menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila
dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Ciri-ciri
umum dari tasawuf filosofis ialah:
a. kesamar-samaran ajarannya karena banyaknya ungkapan dan
peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka
yang memahami tasawuf filosofis.
b. Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf filosofis
mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai
alirannya, misalnya Socrates, Plato, dan aliran Stoa
c. Para sufi dan filosof sering mendapat kritikan dari kalangan
fuqaha karena pendapat mereka tentang kesatuan wujuh, teori
quthh, kesatuan agama, serta akibat-akibat yang
ditimbulkannya, yang menurut fuqaha bertentangan dengan
akidah Islam.
d. Perhatian para penganut aliran tasawuf filosofis terutama
diarahkan untuk menyusun toeri-teori wujuh dengan
berlandaskan rasa yang merupakan titik tolak ajaran mereka.
e. Tumbuhnya gerakan panteisme dalam aliran tasawuf filosofis,
gerakan ini tumbuh dari Andalusia.
f. Sebagian para sufi mutakhir (sufi-filosof) begitu didominasi
perasaan cinta Illahi yang mereka ungkapkan dalam bentuk
puisi secara filosofis. Tokoh yang terkenal adalah Ibn al-
Faridh dan Jalaludin al-Rumi.
Beberapa tokoh yang terkenal dari aliran tasawuf filosofis ini
adalah Syukhrawandi Al-Maqtul [meninggal pada tahun 549 H],
penyusun kitab Hikmah Al-Isyariqiyah, Syekh Akbar Muhyiddin
Ibnu Arabi [meninggal pada tahun 638 H], penyair sufi Mesir,
Ibnu Faridh [meninggal pada tahun 632 H], Abdul Haqq Ibnu
Sab’in Al-Mursi [meninggal pada tahun 669 H].

3. Tasawwuf Amali
Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari
pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman
sahabat dan tabiin, kecenderungan pandangan orang terhadap
ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam
mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu lahiriyah
(seremonial) dan aspek batiniah (spiritual), atau apek luar dan
aspek dalam. Pendalaman dan pengamalan aspek “dalamnya”
mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa
mengabaikan aspek ‘luarnya” yang dimotivasikan untuk
membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih
berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih
mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan Tuhan dan
bebas dari egoisme.13 Sejarah dan perkembangan tasawuf ‘amali
mengalami beberapa fase, yaitu:
a. Abad kesatu dan kedua Hijriyah, tasawuf masih berupa
perilaku zuhud yang didasari rasa khauf dan masih bersifat
praktis (belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu).
b. Abad ketiga Hijriyah, kata tasawuf mulai digunakan. Orang
ahli ibadah sebelumnya disebut ‘abid atau nasik, pada abad ini
disebut sebagai sufi.
c. Abad keempat Hijriyah, perkembangan tasawuf semakin
pesat dan munculnya istilah shari’at, tarekat, hakikat dan
ma’rifat, sebagai penjelasan perbedaan ilmu lahir dan ilmu
batin. Ciri-ciri lain yang terdapat pada abad ini, ditandai
dengan semakin kuatnya unsur filsafat yang memengaruhi
corak tasawuf, karena banyaknya buku filsafat yang tersebar
di kalangan umat Islam dari hasil terjemahan orang-orang
muslim sejak zaman permulaan Dinasti Abbasiyah. Pada abad
ini pula mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu
batin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat
macam, yaitu14: Ilmu Syariat, Ilmu tariqah, Ilmu haqiqah,
Ilmu ma’rifah
d. Abad kelima Hijriyah, adanya pemancangan ajaran tasawuf
sesuai dengan prinsip-prinsip Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
oleh Imam al-Ghazali.

13
M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 61-67
14
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tashawwuf Fi al-Islam (Kairo: Dar al-
Thaqafah, 1976), 65
e. Abad keenam Hijriyah, munculnya para sufi yang
mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang
kemudian berkembang pesat sampai sekarang.
PENUTUP
KESIMPULAN
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya.
Berasal dari gerakan zuhud yang personal, selanjutnya berkembang menjadi
gerakan tasawuf massif yang melahirkan kelompok dan ordo-ordo tertentu.
Berawal abad kedua hijriyah sikap asketism yang tumbuh adalah apresiasi
terhadap perilaku kehidupan Nabi Muhammad yang penuh sahaja. Beliau
sebagai model ‘abid sejati menginspirasi para sahabat yang hidup pada
masanya untuk melakukan praktik-praktik ibadah sebagai proses pendakian
jiwa menuju Allah. Sentuhan filsafat juga mewarnai corak tasawuf. Pada
abad ke enam sampai ke delapan Hijriyah, lewat konsepsi Ibn Arabi, corak
ma’rifat yang dikembangkan adalah hubungan antara fenomena alam yang
pluralistic dengan Tuhan sebagai prinsip keesaan yang melandasinya, yang
popular dengan doktrin wahdah al-wujud.
DAFTAR PUSTAKA

A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj:


Bambang Herawan, Jakarta: Mizan, 1991.

Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al- Mazhab


Ahl al-Tasawwuf, Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, Beirut Libanon,
1993.

Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Kelantan


Malaysia: Pustaka Aman Press, 1977.

Aqib, Kharisudin, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah


wa Naqsabandiyah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004.

Carl W. Ernst, Shambhala Guide to Sufim, terj: Arif Anwar,


Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, Bandung:


Pustaka, 1997.

Ghanimi al, Abd al-Wafa, al-Taftazani. Madkhal Ila al-Tashawwuf


alIslami. al-Qahirah: Dar al-Thaqafah, 1976.

Hakim al, Abd, Abd al-Ghani Qasim. Al-Madzahib Al-Shufiyah Wa


Madarisuha. t.t: Maktabah Madbuli, 1989.

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta:


Universitas Indonesia Press, 1986.

Hawazin, Abd al-Karim al-Qushairi. Risalah Qusyairiyah Sumber


Kajian Ilmu Tasawuf, Cet. I. Jakarta: Pustaka Amani, 1998.

Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, London: I.B.


Tauris & Co Ltd , 1989

Jumantoro Totok, Munir Amin Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf.


Wonosobo AMZAH, 2005.

Nur Syaifan, Alim Roswantoro. Peta Kecenderungan Kajian


AgamaAgama Dan Filsafat Islam Pada Program Pascasarjana.
Jogjakarta: Sukses Offset, 2007.
Sholihin M, Rosihan Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2008.

Anda mungkin juga menyukai