Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH TASAWUF

KARAKTERISTIK TASAWUF SUNNI DAN FALSAFI

Disusun oleh :
 Ike Maytasari
 Wida Dewi Astuti
 Siska Santi Mulyanti
 Apriliana Nadia Rahmawati
 Faiz

INSTITUT AGAMA ISLAM NGAWI


TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Pertama –tama marilah kita panjatkan rasa puja dan puji syukur atas kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat taufiq serta inayahnya sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah mengenai Pembuatan makalah ini.

Kedua kalinya sholawat serta salam semoga tetap tercurahlan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti syafaatnya diyaumul qiyamah. Dan semoga kita
semua tergolong umatnya yang mendapat syafaatnya .

Ketiga kalinya saya ucapkan banyak terimakasih kepada bapak ibu dosen yang telah
membimbing kmi dalam pembuatan makalah ini, kami harap kami jadi lebih baik lagi
dalam pembuatan makalh-makalah selanjutnya. Kemudian say ucapkan banyak
terimakasih kepada teman-teman yang sudah membantu dan berkerjasama dalam
pembuatan makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................1

DAFTAR ISI ...............................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................3

BAB 2 TERMINOLOGY TASAWUF SUNNI .................................................................6

RENTANG PERKEMBANGAN TASAWUF SUNNI .......................................................7

RAGAMITAS PEMIKIRAN ULAMA TASAWUF SUNNI ................................................8

BAB 3 PENGERTIAN TASAWUF FALSAFI ..................................................................9

BATASAN TASAWUF SUNNI DAN FALSAFI .............................................................10

RENTANG PERKEMBANGAN TASAWUF FALSAFI ...................................................11

RAGAMITAS PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI ........................................................12

KESIMPULAN .........................................................................................................13

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Al-qur’an merupakan kitab Allah yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran


Islam, baik aqidah, syari’ah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak
tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam al-qur’an. Ayat-ayat al-qur’an itu, di
satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriyah, tetapi di sisi lain
juga ada hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniyah. Sebab, jika ayat-ayat
al-qur’an dipahami secara lahiriyah saja, akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak
mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.[1]

Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah dan batiniyah.
Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniyah pada gilirannya
melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup
besar dari sumber ajaran Islam, al-qur’an dan sunnah, serta praktek kehidupan Nabi
dan para sahabatnya.

Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah
perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku, ada pula tasawuf
yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang
lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama
sering disebut sebagai tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi, atau tasawuf sunni. Adapun
tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf
jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof ,
disamping sebagai sufi.4

Pembagian dua jenis tasawuf di atas di dasarkan atas kecenderungan ajaran yang
dikembangkan, yakni kecenderungan pada prilaku atau moral keagamaan dan
kecenderungan pada pemikiran. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga
masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini
akan membahas tentang tasawuf sunni dan tasawuf falsafi

4
TERMINOLOGI TASAWUF SUNNI

Pengertian tasawuf menurut terminologi dari para ahli sufi memiliki varian-varian yang
berbeda. Imam Junaid, seorang sufi yang berasal dari Baghdad mengemukakak bahwa
Tasawuf memiliki definisi sebagai mengambil sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat
rendah. Menurut Imam Abul Hasan Asy-Syadzili seorang syekh yang berasal dari Afrika
Utara, sebagai seorang sufi ia mendefinisikan tasawuf sebagai proses praktek dan
latihan diri melalui cinta yang mendalam untuk ibadah dan mengembailikan diri ke
jalan Tuhan. Secara umum tasawuf dapat diartikan sebagai pelatihan dengan
kesungguhan untuk dapat membersihkan, memperdalam, mensucikan jiwa atau
rohani manusia. Hal ini dilakukan untuk melakukan pendekatan atau taqarub kepada
Allah dan dengannya segala hidup dan fokus yang dilakukan hanya untuk Allah
semata.

Melihat munculnya berbagai aliran yang ada dalam tasawuf, dalam perjalanannya,
para ulama membagi tasawuf menjadi beberapa aliran. Tetapi diantara perbedaan
yang paling menonjol dari aliran tasawuf yaitu terdapat pada tasawuf Sunni dan
tasawuf Falsafi. Meminjam istilah al-Taftazani, bahwa tasawuf yang dikembangkan Ibn
‘Arabi dikenal sebagai tasawuf falsafi, dan sebaliknya ajaran al-Ghazali disebut tasawuf
sunni. Tasawuf falsafi berarti suatu paham tasawuf yang ajarannya sudah bersifat
lebih falsafi, karena meluas ke masalah metafisika, yakni pros es bersatunya manusia
dengan Tuhan dan sekaligus membahas manusia dan Tuhan. Sedangkan Tasawuf
Sunni adalah suatu aliran tasawuf yang tidak dicampuri oleh filsafat atau para
pelakunya hanya berusaha mengikuti Alqur’an dan hadits dengan sebaik-baiknya serta
membersihkan hati dan pikiran, dan juga memperbaiki akhlak dan ibadah mereka di
sisi Allah SWT.

Baik tasawuf sunni ataupun tasawuf falsafi, keduanya memiliki akar yang kuat bagi
perkembangan ajaran tasawuf di Indonesia, baik secara teoritis maupun praktis. Dua
aliran tasawuf ini berkembang pesat hingga saat ini, meski pada awalnya tasawuf
sunni lah yang lebih dikenal dahulu oleh masyarakat pada saat itu. Tasawwuf sunni

5
yang dibawa dan dikenalkan oleh para da’i memiliki karakter khusus, yaitu sebagai
representasi dari ajaran tasawuf Abu Hamid Al-Ghazali. Banyak kalangan yang
menganut ajaran tasawuf ini mempelajari teori dan praktik tasawuf berdasarkan pada
kitab-kitab yang dikarang oleh Al-Ghazali, sedangkan yang terjadi pada tasawuf falsafi,
figur Mansur Al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan lain-lain, memegang teguh ajaran panteisme,
meskipun pada kenyataannya banyak pula para pelaku jalan tasawuf falsafi yang
menyimpang dari yang sebenarnya. Terlepas dari itu semua, pada kenyataannya, pada
masa kini jalan spiritual atau tasawuf merupakan jalan alternatif yang sanggup
menjadi benteng pertahanan tauhid, iman, serta ihsan bagi masyarakat Indonesia
pada khususnya; tanpa menonjolkan doktrin yang dimuat dalam tasawuf sunni
maupun tasawuf falsafi. Bagi mereka, selama dapat menjalani ibadah dan muamalah
dengan tenang dan khusyu’ sudah cukup, dan memilih untuk mengikuti tasawuf sunni
ataupun tasawuf falsafi sebagai jalan untuk ditempuh adalah perkara lain, karena
berkaitan dengan keyakinan sepenuh hati.

Tasawuf sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran Islam telah dikenal
masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lampau, paralel dengan
perkembangan Islam di akhir abad 12. Kendati berbagai teori dimunculkan untuk
menetapkan awal kedatangan Islam, namun akhir abad 12 dapat dijadikan tonggak
awal perkembangan tasawuf di Nusantara. penetrasi Islam nampaknya lebih dilakukan
para guru pengembara sufi yang sejak akhir abad ke-12 datang dalam jumlah yang
semakin banyak ke Nusantara.

Bukti-bukti arkeologi, seperti tulisan pada makam raja-raja dan bangsawan Pasai
(1272-1400 M) membuktikan besarnya pengaruh tasawuf sejak awal tarikh Islam.
Pada makam-makam kuno itu tertulis bukan saja ayat-ayat Al quran yang sufisfik,
tetapi juga sajak-sajak sufisfik karangan Sayidina Ali dan penyair Sufi Persia abad ke-13
M, Mulla Sa`di. Sumber-sumber sejarah Melayu sepeti Hikayat Raja-raja Pasai (abad
ke-15 M), Slalat al-Salatin (karangan Tun Sri Lanang, abad ke-16 M), Hikayat Aceh,
Babad Banten dan lain-lain, juga memaparkan aktivitas para Sufi dan besarnya
pengaruh mereka dalam kehidupan masyarakat Muslim di Nusantara.

6
Para sejarawan telah mengemukakan bahwa inilah yang membuat Islam menarik bagi
orang Asia Tenggara. Perkembangan tasawuf merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan proses Islamisasi Asia Tenggara dapat berlangsung. Ajaran-ajaran
kosmologis dan metafisis tasawuf Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) dapat dengan mudah
dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang dianut
masyarakat setempat. Oleh para ulama selanjutnya, gagasan Ibn ‘Arabi tersebut
dikembangkan lagi menjadi pemikiran-pemikiran tasawuf yang bercorak spesifik
Nusantara, seperti Siti Jenar, Hamzah Fansuri dan Muhyi Al-Din Al-Jawi. Hamzah
Fansuri dikenal sebagai seorang Sufi nusantara dengan pengaruh paham wujudiyyah
Ibn ‘Arabi, yang telah dianggap sebagai ajaran tasawuf yang sesat oleh Nur Al-Din Ar-
Raniri, oleh karena itu Hamzah Fansuri dijatuhi hukuman mati semasa Raniri menjabat
sebagai mufti, karya-karyanya telah habis dibinasakan, hingga dipastikan tidak ada lagi
yang dapat mempelajari apa yang disampaikan oleh Fansuri, nasib serupa juga dialami
para pengikutnya. Para murid dan pengikut ajaran tasawuf Falsafi yang digagas oleh
Fansuri mendapat tekanan dari Syaikh Raniri dan juga pengikutnya.

Begitu pula pada tasawuf Sunni yang condong kepada ajaran al-Ghazali, ajaran-ajaran
Tasawuf al-Ghazali (w. 1111 M) pun dengan cepat diterima masyarakat Asia Tenggara,
melalui para guru-guru sufi dan tarekat. Di Jawa ajaran al-Ghazali dikembangkan oleh
Walisongo, sebagaimana hasil pelacakan sumber oleh Dr. Alwi Shihab, yang
mengungkapkan bahwa tiada sesuatu dari peninggalan Walisongo yang nyata, dan
lebih berharga daripada Primbon, karya al-Sayyid al-‘Arif bi Allah Ibrahim dengan
gelar Sunan Bonang yang memuat hakikat pemikiran dan mazhab yang dianut
Walisongo dalam aspek-aspek aqidah, shari’ah, dan tasawuf. Dalam Primbon tersebut
tercakup ajaran-ajaran Sunan Bonang yang seluruhnya sesuai dengan aliran Ahl al
Sunnah wa al-Jama’ah, yang di bidang tasawuf mengacu pada ajaran al-Ghazali. Selain
Walisongo di Jawa, di Sumatera pemikiran tasawuf sunni al-Ghazali dikembangkan
oleh Shaykh Nuruddin al-Raniri. @2019. G-Haidar.LTNNU.S2.

7
B. Rentang perkembangan tasawuf Sunni

Kehidupan sufi itu sudah terdapat pada diri Nabi. Sehari-hari ia hidup
sederhana dan menderita, disamping ia menghabiskan waktunya dalam ibadat, dalam
mendekati Tuhannya. Nabi Muhammad yang member contoh pertama tentang hidup
sederhana itu, tentang menerima seadanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi dari
pada hidup kebendaan yang mewah, dan mengajak manusia untuk meninggalkan
berebut-rebutan kekayaan dan kesenangan dunia, dengan meninggalkan tujuan
hidup yang pokok. Ia member contoh bahwa kekayaan dan kesenangan itu tidak
abadi, ia mengajak agar mencari kelezatan hidup yang lebih tinggi dari pada itu, yaitu
hidup sepanjang ajaran pencita dunia ini.

Tetapi perkataan tasawuf atau perkataan sufi belum dikenal orang dalam
zaman Nabi atau sahabat-sahabatnya. Hanya dari perkataan yang diucapkan mereka
serata perbuatan-perbuatan yang dikerjakannya dapat ditarik kesimpulan, bahwa
hidup mereka itu lebih banyak diarahkan kepada kehidupan rohani dari pada
kehidupan duniawi. Amal-amal kerohanian ini tampak jelas dilihat dalam ibadat-
ibadat agama mereka. Jika orang lain melakukan ibadat itu hanya untuk memenuhi
syarat rukun agama semata-mata, mereka menunaikannya dengan tujuan yang lebih
mendalam, mencari hikmah-hikmah yang lebih tinggi dari pada amal perbuatan lahir
semata-mata.[4]

Pada abad I Hijrah, lahirlah Hasan Al-Basri (meninggal 110 H.) dengan
ajarannya mengenai khauf, mempertebal takut kepada Tuhan, begitu juga tampil ke
muka-muka guru yang lain, yang dinamakan qari’, mengadakan gerakan
memperbaruhi hidup kerohanian dalam kalangan kaum muslimin. Sebenarnya bibit
sufi sudah muali ada sejak itu, garis-garis besar mengenai tariq atau jalan beribadat
sudah kelihatan disusun, dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan di sana sini sudah
mulai dianjurkan mengurangi makan, juga menjauhkan diri dari kehidupan duniawi,
zuhud dan zimmidunya, termasuk kerinduan kepada harta benda dan kecintaan
kepada keluarga, kethamaan kepada nama dan kedudukan.[5]

8
Dalam abad II Hijrah timbul ajaran-ajaran baru yang penuh dengan hikmah,
orang tidak puas lagi dengan hokum fiqh yang kering. Orang lalu memakai istilah-
istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa, thaharatun nafsi, kemurnian hati, naqaul
qalbi, hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan tanga
sendiri, berdiam diri, menyedikitkan maka, memerangi hawa nafsu dengan khalwat,
melakukan perjalanan dan safar, berpuasa, mengurangi tidur atau sahar, serta
memperbanyak dzikir dan riadlah. Lalu sampailah pada abad yang III Hijrah, orang
membicarakan latihan rohani yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika
pada akhir abad II ajaran sufi merupakan kezuhudan dalam abad III ini orang sudah
meningkatkan kepada wusul atau ittihat dengan Tuhan. Orang sudah ramai
membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan, fana fil mahbub, kekal dengan Tuhan,
melihat Tuhan, musyahadah, bertamu dengan Tuhan, Liqa’, dan menjadi satu dengan
dia, ainul jama’, sebagai yang diucapkan Abu Yazid Busthami, dengan teriakan : “
Sayalah yang Hak itu ” (Ana al-Haq), atau dengan masukan Tuhan, hulul, sebagai yang
dipertahankan oleh Al Hallaj (meningggal 309H.).

Dalam abad III Hijrah dan selanjutnya ilmu tasawuf sudah demikian
berkembang kemajuannya, sehingga sudah merupakan madzhab, bahkan seolah-olah
merupakan agama yang tersendiri. Guru-guru tasawuf itu mempunyai pengaruh
besar, merupakan pengarang-pengarang yang ternama, sehingga kitab mengenai ilmu
apapun yang terdapat dalam isalm diberi corak dan rasa tasawuf itu. Terutama dalam
ilmu akhlak tidak dapat ulama’-ulama’ lebih sanggub menyamai keistimewaan
mereka.[6]

C. Runtuhnya Gerakan Tasawuf (Sufisme)

Orang sufi melihat kerusuhan dalam dunia ini disebabkan oleh dua keadaan,
pertama karena manusia itu tidak percaya adanya Tuhan, kedua karena manusia itu
terlalu mencintai dirinya sendiri. Sebab pertama mengakibatkan tidak takut dan tidak
patuh kepada perintah dan larangan Tuhan. Sebab yang kedua mengakibatkan
mencintai harta benda dan kekayaan, mencintai makanan dan minuman yang lezat,
mencintai anak istri yang berlebih-lebihan, mencintai kedudukan dan pengaruh yang

9
akhirnya membawa kepada kecintaan yang sangat kepada dunia dan ingin hidup kekal
di atas permukaan bumi.[7]

Seorang peneliti mesir modern mencatat adanya penyimpangan tasawuf


dinegerinya sejak terjadi kekalutan-kekalutan ekonomi dan politik pada paruh kedua
abad IX H/15 M. dan awal abad X H/16 M. Gambaran yang tergurat dalam kehidupan
tasawuf dalam kurun-kurun tersebut menyingkapkan betapa kebodohan berjaya
penuh atas nalar normal. Wali-wali kenamaan tak cuma memamerkan penghinaan
keji terhadap kewajiban-kewajiban ritual islami, tapi juga menciptakan bualan agar
shalat ditinggalkan, legenda-legenda tentang keajaiban-keajaiban dikaitkan dengan
tokoh sufi. Khurafat dan tahayul tumbuh subur dan membaurkan perklenikan dengan
cita-cita mulia. Hidup memalukan, berlaku tidak senonoh, bicara tak karuan,
merupakan jalan mulus menuju ketenaran, harta dan tahta. Para sufi akan
menciptakan bualan-bualan khufarat, dan mereka bernafsu meraih pujian masyarakat
disamping menumbuhkan kepercayaan bagi pernyataan-pernyataan mereka tentang
berbagai kekuatan ghaib. Sementara itu magis memperoleh kedudukan yang kian
besar dalam khasanah amalan mereka, sedang tasawuf terdahulu sama sekali bersih
dari berbagai mistik.

Demikianlah masa gelap tasawuf sufisme pada akhir hayatnya. Hal ini
merupakan gambaran yang keseluruhannya berada di hadapan mata pemikir-pemikir
muslim modern, sewaktu nereka menulis tentang gerakan tasawuf secara umum. Bisa
dipahami kebangkitan kembali ilmu pengetahuan dalam Islam dibarengi dengan
reaksi keras terhadap pelbagai penyelewengan dan perklenikan, yang memang pantas
dipandang sebagai biang keterbelakangan umat. Tasawuf kini kian menjadi sasaran
pertama gempuran para cendekiawan yang berang, yang ingin melihat negerinya
merdeka, dan bangsanya terlepas dari belenggu perbudakan spiritual.[8]

10
Tokoh-tokoh Tasawuf Sunni

1. Hasan al-Basri. Hasan al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang
sangat takwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn
Abi al-Ḥasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura.
2. Rabi’ah al-Adawiyah. Nama lengkapnya adalah Rabiah al-adawiyah binti ismail al-
Adawiyah al-Baṣariyah, juga digelari Umm al-Khair. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H,
disebut Rabi’ah karena ia puteri ke empat dari anak-anak Ismail. Diceritakan,
bahwa sejak masa kanak-kanaknya dia telah hafal al-Quran dan sangat kuat
beribadah serta hidup sederhana.Ajaran pokok yang terpenting dari sufi wanita ini
adalah al-mahabbah.
3. Zun Nun Al-Misri. Nama lengkapnya adalah Abu al-Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu
al-Nun alMishri al-Akhimini Qibṭy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Sedikit
sekali yang dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya
karena masih banyak orang yang belum mengungkapkan masalah ini.
4. Imam Al-Ghazali. Menurut Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, ada dua corak
tasawuf yang berkembang di kalangan sufi, yaitu pertama, corak tasawuf sunni, di
mana para pengikutnya memagari tasawuf mereka dengan al-Quran dan
asSunnahserta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan
keduanya.
5. Abu Yazid al-Bustami. Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut
Persia tahun: 188 H – 261 H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid
Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur,
kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah
memelukIslam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.
6. Al-Hallaj. 1. Sejarah Al-Hallaj. Al-Hallaj ini memiliki nama lengkap Husein bin
Mansur al-Hallaj. Lahir pada tahun 244 H atau 858 M di salah satu kota kecil
Persia, yakni kota Baidha. Masa kecilnya ia habiskan di kota Wasiṭ dekat dengan
Bagdadsampai usia 16 tahun. Diusia 16 ini ia mulai meninggalkan kota Wasith
untuk menuntut ilmu kepada seorang Sufi besar dan terkenal, yakni Sahl bin
Abdullah al-Tustur di negri Ahwaz.

11
Para pemikir Islam khususnya ahli tasawuf Indonesia telah berupaya merespon
desakan tersebut dengan menghadirkan tasawuf yang khas. Dari hasil
penelusuran, penulis menemukan delapan macam tawaran konsep tasawuf, yaitu
tasawuf sosial, tasawuf positif, tasawuf perkotaan, tasawuf falsafi, tasawuf irfani,
tasawuf kontekstual, tasawuf Jawa dan tasawuf Muhammadiyah.

Tasawuf Sosial
Tasawuf merupakan kehidupan yang selalu berusaha mendekatkan diri sedekat-
dekatnya kepada Allah melalui peningkatan dan penyempurnaan ibadah, baik
ibadah wajib maupun ibadah sunnah. Kehidupan ini melahirkan kesalehan
individual, tetapi kurang bersikap sosial. Akibatnya tasawuf dipandang sebagai
suatu kehidupan yang memiliki kepedulian kepada Allah, tetapi kurang memiliki
kepedulian kepada sesama manusia. Zuhud sebagai contoh yang selama ini selalu
dianggap sebagai sikap meninggalkan dunia padahal seorang zahid (pelaku zuhud)
juga memiliki keluarga yang membutuhkan dunia (sandang, pangan, papan dan
pembiayaan pendidikan). Apalagi ketika seseorang sufi telah mencapai tingkatan
fana’ (lenyap) pada tingkatan fana’‘an alnafs (lenyap dari dirinya sendiri) maka
tidak ada yang menjadi perhatian termasuk dirinya sendiri, kecuali hanya Allah
semata. Sehingga perilaku tasawuf dipandang makin jauh dari kehidupan sosial.
Oleh karena itu, M. Amin Syukur mencoba menjawab kegelisahan itu dengan
membangun konsep tasawuf sosial dalam sebuahkaryanya yang berjudul Tasawuf
Sosial yang relatif baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sebagaimana
latarbelakang yang memotivasi penyusunannya.

Tasawuf Positif
Tasawuf positif ini ditulis oleh Mohammad Dawami dalam bukunya yang
berjudul, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, yang diterbitkan oleh Fajar
Pustaka Baru Yogyakarta. Dari judul ini bisa diketahui bahwa penulisnya hanya
mencoba mengungkapkan dan menegaskan kembali pemikiran-pemikiran Hamka
yang ditampilkan sebagai tasawuf positif, sedangka dalam tulisan Hamka sendiri
tidak menggunakan judul tasawuf positif, melainkan Tasawuf Modern. Buku

12
tersebut merupakan bentuk lanjutan dari tesis Dawani untuk meraih gelar
magister. Selama ini, penilaian yang bernada mendiskreditkan tasawuf masih
berlangsung. Dawami melaporkan bahwa tasawuf mendapat kesan “negatif ” bagi
kalangan tertentu dari umat Islam.25 Sebagaimana dipaparkan di depan, tasawuf
menghadapi berbagai tantangan, khususnya tantangan-tantangan internal dari
kalangan tokoh Islam modernis maupun reformis. Mereka memvonis tasawuf
sebagai perilaku yang pasif, fatalis, mengabaikan dunia, bahkan biang kerok
kemunduran umat Islam di dunia ini dalam waktu yang relatif lama hingga
sekarang belum terhentikan.

Tasawuf Perkotaan
Tasawuf perkotaan ini disusun oleh Muh. Adlin Sila dan kawankawan dalam
bukunya yang berjudul, Sufi Perkotaan Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah
Kehidupan Modern, yang diterbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta. Buku ini merupakan kumpulan hasil penelitian yang dilakukan
Sumarsih Anwar, Neneng Habibah, Marzani Anwar, Moh. Zahid dan Muh. Adlin
Sila. Buku ini memang menggunakan judul, Sufi Perkotaan, tetapi yang
diungkapkan adalah kegiatan-kegiatan tasawufnya. Maka secara substantif bisa
dikategorikan sebagai tasawuf perkotaan. Materi buku ini menyajikan lima hasil
penelitian yang disebar ke dalam lima bagian: Jamaah Tarekat Naqsyabandiyah
Khalidiyah Surau Nurul Amin Surabaya, Forum Keberagamaan Eksekutif
(PKEUKAZH) dan Ahlussunnah Waljama’ah Palembang, Kelompok Pengajian
Eksekutif Nur Ilahi Semarang, Tarekat Naqsyabandiyah Surau Saiful Amin
Yogyakarta dan Anand Ashram Centre for Holistic Health and Meditation.30
Tempat penelitian ini tidak hanya dilakukan di kota kecil, tetapi juga di kota-kota
terbesar di Indonesia. Bahkan penelitian yang dipaparkan terakhir dalam buku
tersebut dilaksanakan di Jakarta.

13
Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi secara bahasa bisa kita bagi menjadi dua, yaitu antasa Tasawuf
dan Filsafat. Tasawuf artinya kecintaan terhadap tuhan, sedangkan ilmu Filsafat
Islam adalah yang berkenaan dengan akal atau fikiran. Falsafi disini adalah cara
yang digunakan dalam bertasawuf. Baca juga : aliran dalam islam,

Tasawuf Falsafi adalah sebuah aliran dalam bertasawuf yang menggabungkan


antara visi mistik dan visi yang rasional. Tasawuf ini merupakan hasil dari
pemikiran-peminkiran para tokoh-tokoh yang diungkapkan dengan bahasa
filosofis.Tasawuf ini tidak bisa dikatakan sebagai Tasawuf yang murni karena telah
menggunakan pendekatan fikiran dan rasio, namun juga tidak bisa dikatakan
filsafat seutuhnya karena didasarkan pada rasa. Dengan kata lain Tasawuf Falsafi
merupakan penggabungan antara rasa dan rasio.
Secara istilah dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari Tasawuf Falsafi adalah,
kajian terhadap tuhan, manusia dan sebagainya yang menggunakan motode rasio
atau akal.
Batasan-Batasan Tasawuf Sunni dan Falsafi
Baik tasawuf sunni ataupun tasawuf falsafi, keduanya memiliki akar yang kuat bagi
perkembangan ajaran tasawuf di Indonesia, baik secara nadzari (teoritis) dan
amali (praktis). Dua aliran tasawuf ini berkembang pesat hingga saat ini, meski
pada awalnya tasawuf sunni lah yang lebih dikenal dahulu oleh masyarakat pada
saat itu. Tasawwuf sunni yang dibawa dan dikenalkan oleh para da’i memiliki
karakter khusus, yaitu sebagai representasi dari ajaran tasawuf Abu Hamid Al-
Ghazali. Banyak kalangan yang menganut ajaran tasawuf ini mempelajari teori dan
praktik tasawuf berdasarkan pada kitab-kitab yang dikarang oleh Al-Ghazali,
sedangkan yang terjadi pada tasawuf falsafi, figur Mansur Al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan
lain-lain, memegang teguh ajaran panteisme, meskipun pada kenyataannya
banyak pula para pelaku jalan tasawuf falsafi yang menyimpang dari yang
sebenarnya. Terlepas dari itu semua, pada kenyataannya, pada masa kini jalan
spiritual atau tasawuf merupakan jalan alternatif yang sanggup menjadi benteng
pertahanan tauhid, iman, serta ihsan bagi masyarakat Indonesia pada khususnya;

14
tanpa menonjolkan doktrin yang dimuat dalam tasawuf sunni maupun tasawuf
falsafi. Bagi mereka, selama dapat menjalani ibadah dan muamalah dengan
tenang dan khusyu’ sudah cukup, dan memilih untuk mengikuti tasawuf sunni
ataupun tasawuf falsafi sebagai jalan untuk ditempuh adalah perkara lain, karena
berkaitan dengan keyakinan sepenuh hati.

Ragaman Pemikiran Tasawuf Filsafi

Kritik terhadap Tasawuf


Belakangan ini tasawuf mendapat tantangan yang keras dari
kalangan Islam modernis. Seperti dikutip Mohammad Dawami, Djohan
Epistemé, Vol. 9, No. 2, Desember 2014 ж 251
Mujamil Qomar: Ragam Pengembangan Pemikiran
Effendi melaporkan bahwa kalangan modernis sering menganggap
tasawuf sebagai salah satu penyebab kemunduran umat Islam, lantaran
tasawuf itu mengajarkan sikap pasif dan kelemahan vitalitas. Tasawuf
menekankan kesalehan individual sebagai tujuan tertinggi kehidupan,
sehingga melakukan sikap apatis terhadap keberadaan manusia di dunia
dan mendorong mereka melupakan kodratnya sebagai makhluk sosial.1
Mereka menuduh kalangan tradisionalis telah mengabaikan masalah
duniawi dan hanya berorientasi kebahagiaan akhirat melalui praktik
tasawuf sehingga bersikap pasif terhadap modernisasi dan kiainya
memegangi tradisi mati secara ketat.2 Mereka juga menolak pemikiran
tasawuf al-Ghazali maupun Ibnu Arabi.3
Harun Nasution melaporkan bahwa pemikiran Muhammad Abdul
Wahab dalam memperbaiki kedudukan umat Islam, merupakan reaksi
terhadap paham tauhid di kalangan umat Islam waktu itu. Kemurnian
paham tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang
semenjak abad ke-13 telah tersebar luas di dunia Islam.4 Sementara salah
satu penyebab kemunduran Islam menurut Muhammad Iqbal adalah,
pengaruh zuhud yang terdapat pada ajaran tasawuf. Dalam kehidupan

15
zuhud, perhatian harus dipusatkan pada Tuhan dan sesuatu di balik
materi, sehingga menyebabkan umat Islam kurang mementingkan soal
kemasyarakatan.5 Maka baik tarekat maupun zuhud, keduanya sebagai
reeksi kehidupan tasawuf telah menghambat kemajuan umat Islam.
Memang beberapa pemahaman zuhud mengarah pada kehidup
pasif terhadap dunia. Al-Thusi mengutif Syaikh yang mengatakan bahwa
1 Mohammad Dawami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 7.
2 Abdurrahman Wahid, “Foreword”, dalam Greg Barton and Greg Fealy (eds.),
Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (Clayton: Monash
Asia Institute
Monash University, 1996), h. xiii.
3 Ibid., h. 168.
4 Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta:
Mujamil Qomar: Ragam Pengembangan Pemikiran
barang siapa melakukan zuhud maka tidak boleh menghampiri dunia
karena sesungguhnya mencintai dunia sebagai pangkal setiap kesalahan,
sedangkan zuhud dari dunia merupakan pangkal setiap kebaikan dan
ketaatan.6 Syibli menyatakan bahwa zuhud itu adalah lupa. Sebab dunia
tidak berarti sesuatu, sedangkan zuhud dari dunia berarti melupakannya.7
Sedangkan Abu Usman menyatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan
dunia kemudian tidak memperhatikan pada orang yang mengambilnya.8
Dengan demikian, menurut Quraish Shihab, penafsiran yang
disampaikan kaum su terhadap makna zuhud dirasakan kurang
menguntungkan karena hampir semuanya cenderung pesimistik terhadap
kehidupan dunia.9 Oleh karena itu, dibutuhkan penafsiran baru sesuai
dengan tuntutan-tuntutan kontemporer.
Segi-Segi Positif Tasawuf
Melalui penafsiran baru, sesungguhnya tasawuf itu tidak selalu
berkonotasi negatif. M. Amin Syukur menyatakan bahwa dalam

16
tasawuf ada prinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan masa
depan masyarakat, seperti selalu mengadakan introspeksi (muhasabah),
berwawasan hidup moderat dan menghindari jeratan nafsu rendah yang
menyebabkan lupa pada diri dan Tuhannya.10 Pemahaman zuhud sendiri
tidak selalu berarti meninggalkan dunia. Abu Sulaiman al-Daraniy
mengungkapkan makna substantifnya, yaitu zuhud adalah meninggalkan
sesuatu yang mengalihkan perhatian pada Allah.11 Shihab menyatakan
bahwa seorang zahid sejati adalah orang yang mampu bersikap integratif,

17
Kesimpulan
Sebab adanya perbedaan antara pemikiran tasawuf adalah karena ada Mengingat
adanya tuntutan-tuntutan pengembangan, tasawuf sebagai suatu bangunan ilmu
seharusnya mengalami perubahan, dinamika maupun pengembangan-
pengembangan. Para pemikir Islam khususnya ahli tasawuf Indonesia telah
berupaya merespon desakan tersebut dengan menghadirkan tasawuf yang khas.
Dari hasil penelusuran, penulis menemukan delapan macam tawaran konsep
tasawuf, yaitu tasawuf sosial, tasawuf positif, tasawuf perkotaan, tasawuf falsafi,
tasawuf irfani, tasawuf kontekstual, tasawuf Jawa dan tasawuf Muhammadiyah.
Tasawuf dalam perkembangannya dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu
tasawuf akhlaki, tasawuf irfani dan tasawuf falsafi. 48 Tasawuf irfani ditulis lebih
awal daripada tasawuf lainnya, dalam rangka memberikan wawasan dasar untuk
al-salik (orang yang menempuh perjalanan spiritual menuju Allah) yang berusaha
menghampiri Al-Haqq sebagai Dzat Yang Maha Suci, dapat terbimbing dengan
baik seperti ketika menghampirinya melalui salat, puasa dan haji. Al-Haqq sebagai
Dzat Yang Maha Suci tidak bisa dihampiri melainkan oleh orang-orang yang suci
badan, tempat, kondisi, batin dan lain sebagainya. Maka dengan kehadiran buku
ini, al-salik sedikit terbantu agar penghampirannya benar dan cepat.49 Karena
buku ini bisa dijadikan sebagai panduan bagi al-salik ketika akan menjalankan
aktivitas-aktivitasnya.

18
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, M. Afif, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta:
Gelombang Pasang, 2004.
Chusnan, Masyitoh, Tasawuf Muhammadiyah Menyelami Spiritual Leadership
AR. Fakhruddin, Jakarta: Kubah ilmu, 2012.
Dawami, Mohammad, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2000.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 1992.
Al-Naisaburiy, Abi al-Qasim ‘Abd al-Karim Hawazin al-Qusyairiy, Risalah
al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, t.t.p: Dar al-Khair, t.t.
Sila, Muh. Adlin (et.al.), Sufi Perkotaan Menguak Fenomena Spiritualitas di
Tengah Kehidupan Modern, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta, 2007.
Nasution, Harun, Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Purwadi, Tasawuf Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2003.
Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat
Wirid Hidayat Jati, Jakarta: UI Press, 1988.
Syukur, M. Amin, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
______, Tasawuf Sosial, Umar Natuna (peny.), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
______, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Tamrin, Dahlan, Tasawuf Irfani Tutup Nasut Buka Lahut, Malang: UIN

19

Anda mungkin juga menyukai