Anda di halaman 1dari 17

TASAWWUF DI INDONESIA DAN PARA TOKOHNYA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak tasawwuf
Yang di ampu oleh bapak MOCH. CHOLID WARDI, M.H.I

Yang di susun oleh :


1.Sriyana(22383042098)
2.Nur Hevi Aisyah Jamil(22383042099)
3.Anis Safitri(22383042100)
4.Dewi Ama Rohmatul Liana(22383042101)

PROGRAM STUDI AKUNTASI SYARIAH


FAKULITAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

i
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah “Bahasa Indonesia” yang berjudul
“TASAWWUF DAN PARA TOKOHNYA”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Pamekasan, 12 November 2022

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI………………………………………………..………………………………..iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............…….……………………………………………..…………..1
B. Rumusan Masalah....………….......……………………………...…………………..1
C. Tujuan penelitian .…………...……..…………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
A.Sejarah Perkembangan Tasawwauf diIndonesia…….........…………………………2
B.Tokoh-Tokoh Tasawwuf di Indonesia.……….....……….……….……………………4
C. Pengaruh Dan Pengalaman Tasawwuf Di Indonesia.............................................11
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan….…………………………………………………………………............13
b.Saran.…………………………………………………………………………...............13
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...........

iii
BAB I
A.Latar Belakang Masalah
Perkembangan-perkembangan tasawuf di Indonesia erat kaitanya dengan budaya-
budaya bangsa Indonesia yang bersifat mistik, tasawuf dapat berkembang secara cepat
dalam persebarannya. Tasawuf merupakan bagian dari metode penyebaran ajaran
Islam yang sangat mempunyai kemiripan dalam metode pendekatan-pendekatan agama
Hindu-Budha yang merupakan sistem keagamaan masyarakat Indonesia sebelum
Islam. Kemiripan dalam metode pendekatan dengan latihan kerohanian, inilah yang
kemudian mempermudah berkembangnya tasawuf di Indonesia. Tasawuf merupakan
alat dari salah satu persebaran islam di Indonesia.Hal tersebut disebabkan karena
sebagian besar penyebaran islam di nusantara merupakan jasa para sufi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia?
2. Bagaimana aliran tasawuf di Indonesia?
3. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia?
4. Mengapa Tasawwuf di terima di Indonesia?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia
2. Untuk mengetahui aliran tasawuf di Indonesia
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia
4. Untuk mengetahui di terimanya tasawwuf di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PEKEMBANGAN TASAWWUF DI INDONESIA
Tasawuf dari segi kebahasaan (linguistik) memiliki beberapa makna. Harun Nasution
menyebutkan lima kata untuk menggambarkan pengertian tersebut yaitu al- suffah
(ahl suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf
yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama'ah, sufi yaitu bersih
dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf yaitu kain wol kasar 1. Pengertian-
pengertian tersebut jika ditelaah lebih jauh akan berorientasi kepada sifat-sifat dan
keadaan yang terpuji, kesederhanaan, dan kedekatan kepada Tuhan.
Dengan demikian tasawuf menggambarkan keadaan untuk senantiasa berorientasi
kepada kesucian jiwa, berpola hidup sederhana, mendahulukan kebenaran, dan rela
berkorban untuk tujuan mulia.2Ajaran-ajaran tasawuf merupakan pengalaman
(tajribah) spiritual yang bersifat pribadi yang dilandasi oleh keinginan sesorang sufi
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, oleh karena bersifat pribadi, maka
pengalaman seorang sufi yang satu dengan yang lainnya memiliki kesamaan-
kesamaan di samping perbedaan yang tidak bisa diabaikan. Kesamaan-kesamaan
tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk maqamat dan ahwal (station). Dalam
sejarah Islam tasawuf mengacu pada prilaku Rasulullah Muhammad Saw dan sahabat-
sahabatnya.
Dalam masa pertumbuhannya muncul bermacam-macam konsep ajaran tasawuf yang
disampaikan oleh para sufi, yaitu
1. al-khauf dan al-raja' yang diperkenalkan oleh Al-Hasan al-Basri (642-728 M.),
mahabbah oleh Rabi'ah al-Adawiyah (714-801 M.)
2. hulul oleh Al-Hallaj, al-ittihad oleh Yazid al-Bustami (814-875 M.)
3. ma'rifah oleh Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M.).
pada abad ke 5 H/13 M kegiatan para sufi kemudian mulai melembaga hingga
memunculkan tarekat. Hal ini ditandai dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi
yang lahir pada abad itu yang selalu dikaitkan dengan silsilahnya. Setiap tarekat
mempunyai syekh, kaifiyat zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing. Biasanya
syekh atau mursyid mengajar murid-muridnya di asrama atau tempat latihan rohani
yang dinamakan suluk atau ribath3. Mula-mula muncul tarekat Qadiriyah yang
dikembangkan oleh Syekh Abdul Qadir di Asia Tengah, Tibristan tempat
kelahirannya, Muncul pula tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat
Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat
itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid yang diangkat menjadi
khalifah, dengan cara mereka menyebarkan ke negeri-negeri Islam, hingga bercabang
dan beranting dalam jumlah yang banyak4. Ketika daulah Usmaniyah berdiri, peranan
tarekat (Bahtesyi) sangat besar baik dalam bidang politik maupun militer. Islam yang
1
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 56-57.
2
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam
3
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), h.6
4
Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Muktabarah di Indonesia., h. 7.

2
masuk di Indonesia pada mulanya bercorak tasawuf yang dibuktikan oleh beberapa
data yang ditunjukkan oleh para sejarawan. Marrison ketika menjelaskan tentang
masuknya Islam di Indonesia menyebutkan fakta bahwa yang mengislamkan
Nusantara berasal dari India Selatan yaitu Mu’tabar (malabat) yang dilakukan oleh
para muballig yang bergelar fakir. Gelar fakir mengingatkan pada gelar yang
diberikan kepada seorang sufi yang meninggalkan keduniaan dan memilih hidup
untuk keagamaan. Dari teori Marrison ini kemudian muncul teori berikut, yaitu:
1. Teori Hill menyebutkan bahwa dalam Hikayat Raja-Raja Pasai yang disusun
pada abad ke 14 mengatakan Islam yang datang di Nusantara beraliran
tasawuf.
2. Teori Bech menyatakan dalam teks Sejarah Melayu dijelaskan tentang
kesenangan Sultan malaka kepada ilmu tasawuf di mana pada suatu waktu
seorang ulama, yaitu Maulana Abu Iskak datang memberi hadiah kepada
sultan berupa kitab yang berjudul Durrul Mandhum (mutiara yang tersusun).
3. Teori Raffles menyebutkan peristiwa terakhir dalam Sejarah Melayu adalah
penyerangan Sultan Malaka yang kemudian lari ke Johor
Dari teori-teori yang menyebutkan peranan para sufi dalam penyiaran Islam di
Indonesia tersebut menurut Azyumardi Azra berhasil membuat korelasi antara
peristiwa-peristiwa politik dan gelombang-gelombang konversi kepada Islam. Meski
peristiwa-peristiwa politik dalam hal ini kekhalifaan Abbasiyah- merefleksikan hanya
secara tidak langsung pertumbuhan massal masyarakat muslim, orang tak dapat
mengabaikan peranan para sufi ini, karena semua itu mempengaruhi perjalanan
masyarakat muslim di bagian-bagian lain dari dunia Islam. Teori ini juga berhasil
membuat korelasi penting antara konversi dengan pembentukan dan perkembangan
institusi-institusi Islam yang menurut Bulliet, akhirnya membentuk dan menciptakan
ciri khas masyarakat tertentu sehingga benar-benar dapat dikatakan sebagai
masyarakat muslim. Institusi-institusi yang terpenting itu ialah madrasah, tarekat sufi,
futuwwah (persatuan pemuda), dan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan
tangan. Semua insitusi ini menjadi penting berperanan hanya pada abad ke 115.
Para sufi pertama yang mengajarkan tasawuf dan tarekat di Indonesia ialah
Hamzah Fansuri (1590), Syamsuddin as-Samatrani ( 1630), Nuruddin ar-Raniri
(1658), Abd. Rauf as-Singkeli (1615-1693) dan Syekh Yusuf al-Makassar (1626-
1699). Sufi-sufi tersebut merupakan tokoh-tokoh yang memiliki konstribusi yang
besar dalam penyiaran dan perkembangan Islam di Indonesia. Disamping mereka
terdapat para ulama yang juga menyiarkan Islam dengan menggunakan metode yang
akomodatif dalam dakwahnya seperti wali songo yang menyebarkan Islam di tanah
Jawa, Rajo Bagindo ke Kalimantan Utara dan Kepulauan Sulu, Syekh Ahmad ke
Negeri Sembilan daqn lain-lain.
Membahas perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian
proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di
Nusantara merupakan jasa para sufi.Kemunculan Tasawuf tersebut ada yang
beranggapan, bahwa tasawuf muncul dan berkembang disebabkan adanya beberapa
alasan adalah hal yang tidak dapat diingkari. Dalam perspektif sejarah, tasawuf
muncul dan berkembang sebagai akibat dari kondisi sosio kultur dan politik pada

5
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengahdan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII., h. 16

3
masa rezim pemerintahan kaum ‘Umawi di Damaskus.6 Dari sekian banyak naskah
lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa
Melayu, berorientasi sufisme. Di kawasan Sumatra bagian utara, ada empat sufi
terkemuka, antara lain:
1. Hamzah Fansuri (+ abad 17 M ) yang terkenal dengan karya tulisnya Asrar
Al-‘Arifin dan Syarab Al-‘Asyikin, serta beberapa kumpulan syair sufistik.
2. Syamsudin Pasai penulis kitab Jauhar Al-Haqoriq dan Mirat Al-Qulub. Dia adalah
murid dan pengikut dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan dokritn Wahdat
Al-Wujud Ibnu Arabi.
3. Abd Rauf Singkel (1639 M) merupakan penganut Tarekat Syattariyah, karyanya
berjudul Mira’at Ath-Thullab.
4. Nuruddin Ar-Raniri (w. 1644 M) penulis Bustan As-Salatin.7

Perkembangan Islam di Jawa, umumnya digerakkan oleh ulama yang diketahui dan
dikenal dengan panggilan Wali Sanga atau Wali Sembilan. Semenjak penyiaran Islam
di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, kelihatannya secara pelan terjadi
proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat
bergesernya nilai keislaman sufisme karena telah tergantikan oleh model spiritualis
non religious. Maka kehidupan di Indonesia secara berangsur bergeser dari garis
lurus yang diletakkan para sufi terdahulu. Sehingga warna kejawen lebih tampil ke
depan ketimbang sufismenya sendiri.
Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara
perlahan-lahan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi
lokal. Karena faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, kehidupan sufisme di
Indonesia secara berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi
terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya.8
Dalam perkembangan islam selanjutnya, sistem pendidikan masyarakat
peninggalan Hindu dan Budha diteruskan oleh para penyiar Islam. Proses tranformasi
ilmu keislaman dilakukan secara “sorongan” yang kemudian meningkat dengan cara
“bandongan” dan ”wetonan”. Dari embrio model ini kemudian bermunculan model
pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren dan tarekat sebagai lembaga
tasawuf.
Semakin kuatnya pengaruh Madzhab Syafi’i, maka sufisme yang dipelajari di
pesantren adalah tasawuf Sunni yang bersumber dari tasawuf Al-Ghazali. Terutama
bagi yang ingin mendalami tasawuf dapat memilih diantara dua kemungkinan, yakni
apakah tasawuf dilihat sebagai suatu aspek ilmu yang mandiri ataukah sebagai suatu
tarekat yang melembaga. Apabila pilihan jatuh pada yang pertama, maka mulailah
dari tasawuf akhlak dan meningkat ke tasawuf amali dan tasawuf falsafi.9

B. Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia


6
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies/Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 114.
7
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 338.
8
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 339.
9
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 63.

4
Awal kedatangan Islam ke Indonesia tidak pernah diketahui secara pasti, tapi
ada beberapa patokan yang sering dijadikan rujukan untuk mengetahui perkembangan
Islam di Indonesia. Proses islamisasi di Indonesia secara Intelektual secara struktural
telat dibentuk oleh tiga komponen dan institusi yang saling melengkapi, yaitu:
Kesultanan dengan maritimnya di sepanjang pantai utara Jawa yang berusaha
menaklukkan negara-negara pedalaman.
Islam yang pertama kali masuk Indonesia adalah Islam dengan versi sufisme.
Kuatnya pengaruh sufisme pada masa itu disebabkan berbagai alasan. Pertama, dakwa
Islam mengalami kemunduran sejak abad ke – 2 H ( abad ke-9 M) dan baru aktif
kembali sejak abad ke -7 H ( abad ke – 13 M) berkat sumbangan dakwah para ahli
tasawuf dan ahli tarekat. Kedua, masuknya Islam ke Indonesia melalui hubungan
dagang dengan India dan Iran, dua negara yang pengaruh Hindu dan mistismenya
cukup kuat. Dengan kedua alasan itu, tampak bahwa pengaruh tasawwuf sangat besar.
Masuknya para guru sufi dan ahli mistik ke pedalaman Jawa menjelang abad ke- 16
dengan metode dakwah yang khas, yaitu melakukan sinkretisme dengan kebiasaan
penduduk pribumi, seperti mengubah pertapaan dan kependetaan orang Hindu Budha
dengan tata cara masyarakat muslim, semakin menguatkan ajaran tasawwuf dan
tarekat di pedesaan10.
Ketika orang pribumi Nusantara mulai menganut Islam, corak pemikiran Islam
diwarnai oleh tasawwuf, pemikiran pada sufi besar seperti Ibn al-Arabi dan Abu
Hamid al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengalaman-pengalaman muslimin
generasi pertama. Justru karena tasawwuf ini penduduk nusantara mudah memeluk
agama Islam, apalagi ulama generasi pertama juga menjadi pengikut sebuah tarekat
atau lebih11. Hampir semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar
kepercayaan asalnya dari Annimisme, Dinamisme, Budhisme, dan Hinduisme, karena
tertarik kepada ajaran tasawwuf12. Berikut akan dikemukakan beberapa tokoh
tasawwuf di Nusantara dan ajaran-ajarannya, ialah:

1. Hamzah Al-Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang oleh seorang
Arab pada zaman dahulu dinamai Fansur. Itulah sebabnya kemudian disebut
Fansuri, Tidak diketahui dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian
Hamzah fansuri, tetapi masa hidupnya diperkirakan hingga akhir masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan mungkin wafat beberapa
tahun sebelum kedatangan Nurudin Ar-Raniri yang kedua kalinya di Aceh pada
tahun 1637. Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut
keyakinannya.
Pemikiran-pemikiran Fansuri tentang tasawwuf banyak dipengaruhi Ibn
‘Arabi dalam faham wahdat wujud-Nya. Inti ajaran-ajarannya adalah tentang
tuhan dan hakikat wujud penciptaan, hingga pada manusia sempurna. Tentang
Tuhan, maka Allah adalah Dzat yang mutlak dan qadim sebab Dia adalah yang
pertama dan pencipta alam semesta. Allah lebih dekat daripada leher manusia
sendiri, dan Allah tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan Dia ada dimana-
10
Dadang Ahmad, Tarekat dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, Pustaka Setia, Bandung, 12-15
11
Sri Mulyati (et al.), Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2011,
cet. Ke-4, 8
12
Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2011, 241-242

5
mana. Para sufi menafsirkan “wajah Allah” sebagai sifat-sifat Tuhan seperti
Pengasih, Penyayang, Jalal dan Jamal. Sementara tentang hakikat Wujud dan
Penciptaan, menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatannya banyak.
Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (madzhar, kenyataan lahir)
dan ada yang berupa isi (kenyataan batin).
Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa walaupun manusia sebagai tingkat
terakhir dari penjelmaan, tapi ia adalah tingkat yang paling penting dan
merupakan penjelmaan yang paling penuh dan sempurna. Ia adalah aliran atau
pancaran langsung dari Dzat yang mutlak13.
2. Nuruddi Ar-Raniri Gema
Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad Ibn Ali ibn Hasanji ibn
Muhammad ar-Raniri. Silsilah keturunannya berasal dari India, keturunan Aceh.
Dipanggil Ar-Raniri karena dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak
dekat Gujarat, India pada tahun yang tidak diketahui. Ia meninggal pada 22
Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Pendidikannya dimulai dengan
belajar di tempat kelahirannya, kemudian dilanjutkan ke Tarim (Arab Selatan).
Dari kota ini ia kemudian pergi ke Mekkah pada tahun 1030 H/ 1583 M untuk
melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah. 14 Menurut catatan Azyumardi
Azra, Ar-Raniri merupakan tokoh pembaharuan di Aceh. Ia mulai melancarkan
pembaharuan Islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat. Di Istana
Aceh, Pembaharuan utamanya adalah memberantas aliran wujudiyyah yang
dianggap sebagai aliran sesat. Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam
yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran wujudiyah
ini.
Nuruddi Ar- Raniri memainkan peranan penting dalam membawa tradisi
Islam sunni ke wilayah Indonesia dengan menghalangi kecenderungan kuat
intrusi lokal ke dalam Islam. Tanpa mengabaikan peranan ulama-ulama lain
sebelumnya, Ar-Raniri merupakan suatu mata rantai yang sangat kuat, yang
menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam di Nusantara.
Dan dia merupakan salah seorang penyebar terpenting dalam penyebaran Islam di
Nusantara.
Kehadiran Nuruddin Ar-Raniri harus diakui telah berhasil mematahkan
pemikiran wujudiyyahnya Syamsuddin Sumatrani. Pemikiran Nuruddin A-Raniri,
baik yang ditunjukkan pada tokoh dan penganut wujudiyah maupun pemikirannya
secara umum, dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bidang berbagai
pembahasan.
a. Tentang Tuhan
Dalam masalah ketuhanan pada umumnya ia bersifat kompromis. Ia
berupaya menyatukan faham mutakallimin dengan faham para sufi yang
diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan “Wujud Allah dan
Alam Esa” berarti bahwa alam ini merupakan sisi lahiriyah dari hakikatnya
yang batin, yaitu Allah. Pandangan Ar-Raniri ini hampir sama dengan
pandangan Ibn ‘Arabi, yakni alam ini merupakan tajalli Allah. Namun

13
Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2011, 247-249
14
M. Sholihin, Sejarah dan pemikiran Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2001, 38

6
penafsirannya diatas membuatnya terlepas dari ‘Label’ pantheisme Ibn
‘Arabi.
b. Tentang alam
Ar-Raniri berpendapat bahwa alam ini diciptakan Allah melalui
tajalli. Ia menolak teori al-Faidh (emanasi) Al-Farabi karena akan
membawa pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga jatuh dalam
kemusyrikan. Alam dan falak adalah wadah tajalli pada alam akal.; nama
Rahman bertajalli pada ‘Arsy; nama Rahim bertajalli pada Kursy; nama
Raziq bertajalli pada falak ketujuh.
c. Tentang manusia
Ar-Raniri berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk Allah
yang paling sempurna di dunia. Manusia merupakan khalifah Allah di
bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Manusia juga merupakan
madzhar. Konsep insan kamil pada dasarnya hampir sama dengan yang
digariskan oleh Ibn ‘Arabi.
d. Tentang wujudiyah
Ar-Raniri berpendapat bahwa inti ajaran wujudiyah berpusat pada
wahdat al-wujud, yang disalah artikan kaum wujudiyah menjadi
kemanunggalan Allah dengan alam. Pendapat Hamzah Fansuri tentang
wahdat al-wjud dapat membawa pada kekafiran. Menurut Ar-Raniri, jika
benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa
manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia. Sehingga akhirnya
seluruh makhluk adalah Tuhan.
e. Tentang hubungan syariat dan hakikat
Ar-Raniri berpendapat bahwa pemisahan antara syariat sebagai
landasan esensial dalam tasawuf (hakikat).

3. Syekh Abdur Rauf As-Sinkili


Tokoh utama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-
1637) ini bernama lengkap Abdur Rauf bil Ali al-Jawi al-fansuri as-Sinkili.
Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Namun, ada yang
menyebutkan pada tahun 1024 H / 1615M. Abdur Rauf As-Sinkili adalah
ulama Aceh yang berupaya “mendamaikan” ajaran martabat-martabat alam
tujuh yang dikenal di Aceh sebagai faham wahdatul wujud atau wujuditah
(patheisme) dengan faham sunnah. Tetapi, beliau tetap menolak faham
wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba.
Ajaran inilah yang keudian dibawa oleh muridnya, Syekh Abdul Muhyi
Pamijahan ke Jawa.
Pemikiran tasawuf As-Sinkili dapat dilihat pada persoalan merekonsiliasi
tasawuf dengan syariat. Demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsudin
As-Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniri, yaitu menganut faham satu-satunya
wujud hakiki, yakni Allah. Alam ciptaan-Nya bukan merupakan wujud hakiki,
tetapi bayangan dari yang hakiki, jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam.
Pada hakikatnya, setiap perbuatan manusia adalah perbuatan Allah. As-Sinkili
juga mempunyai pemikiran tentang dzikir. Dalam pandangannya, dzikir

7
merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan
berdzikir hati selalu mengingat Allah.
Ajaran tasawuf as-Sinkili yang lain adalah bertalian dengan martabat
perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan, yaitu:
a. Martabat ahadiyah atau la ta’atun, alam pada waktu itu masih merupakan
hakikat gaib yang masih berada dalam ilmu Tuhan
b. Martabat wahdah atau ta’ayun awwal, yang sudah tercipta haqiqat
muhammadiyah yang potensial bagi terciptanya alam.
c. Martabat wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga a’yaan ats-
tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta. Pada tingkatan wahidiyah atau
ta’ayyun tsani, alam telah memiliki sifatnya sendiri, dan Tuhan adalah
cermin bagi insan kamil dan sebaliknya. Namun ia bukan pula yang
lainnya. Bagi AsSinkili, jalan untuk mengesakan Tuhan adalah dengan
berdzikir “Laa Ilaha Illallah” hingga tercapai kondisi fana.15.

4. ABDUS SHOMAD AL-PALIMBANI


Abdus Shomad Al-Palimbani adalah seorang ulama sufi kelahiran Palembang
pada permulaan abad ke-18, kira-kira tiga atau empat tahun setelah 1700 M dan
meninggal kirakira tidak lama setelah tahun 1203 H/ 1788 M. Abdus Shomad
lama belajar di Mekkah dan Madinah dari ulama-ulama sufi, diantaranya Syekh
Muhammad As-Samman. Abdus Shomad Al-Palimbani pernah bermukim
bertahun-tahun di Mekkah untuk mempelajari agama Islam. Pada akhir abad ke-
18 M, ia kembali ke tanah kelahirannya dengan membawa mutiara baru dalam
agama Islam. Mutiara baru yang dimaksud adalah suatu pendekatan (metode)
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Pemikiran tasawwuf Al-Palimbani dapat dilihat antara lain:
1. Tentang nafsu
Ia tidak puas dengan ajaran al-Ghazali tentang tiga tingkatan jiwa
(nafs) manusia (amarah, lawwamah, dan muthma’innah) yang berakhir
dengan ketentraman dan kemantapan menerima segala keadaan yang
dihadapi dalam hidup di dunia ini. Ia memilih ajaran tujuh tingkatan
(amarah, lawwamah, mulhammah, muthma’innah, radhiyah, mardhiyyah,
dan kamilah) yang berakhir dengan kemampuan mengarungi dan
menggumuli kehidupan dunia yang penuh dengan kesesatan untuk
melaksanakan misi sucinya; membawamanusia ke jalan Allah.
2. Tentang martabat tujuh
Menurutnya, wujud Allah ta’ala dapat dikenal dengan tujuh martabat
sebagai berikut :
a. Martabat ahadiyatul ahad
b.Martabat al-Wahidah, dan dinamakan pula martabat at-ta’ayyun al-
awwal
c. Martabat alwahidiyah dan dinamakan pula haqiqah al-insaniyyah
d. Martabat alam arwah, dan dinamakan pula nur Muhammad
e. Alam mitsal
f. Martabat alam al-ajsam

15
M. Sholihin, Sejarah dan pemikiran Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2001, 49-52

8
E. Martabat alam aljami’ah
3. Tentang syariat
Al-Palimbani percaya bahwa Tuhan hanya dapat didekati melalui
keyakinan yang benar pada keesaan Tuhan yang mutlak dan kepatuhan
pada ajaran-ajaran syariat. Dia memberikan tekanan dalam tasawwufnya
lebih banyak pada penyucian pikiran dan perilaku moral daripada
pencarian mistisme spekulatif dan filosofis. Ini berarti tasawwufnya
falsafi.
4. Tentang makrifat
Menurutnya, kesempurnaan seorang sufi belum tercapai dalam
pengasingan diri dari segala kesibukan hidup kemasyarakatan, beruzlah
dan berdzikir mengingat Allah saja, melainkan juga dalam keterlibatan
aktif dalam arus kehidupan dunia nyata ini dan memancarkan asma Allah
yang Mulia melalui amal perbuatan nyata, sehingga keesaan Allah yang
mutlak dalam keanekaragaman yang memenuhi alam kehidupan ini dapat
dipandang dalam keesaan mutlak.

5. Syekh Yusuf Al-Makassari


Ia dilahirkan pada tanggal 8 syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli
1629 M. Dalam salah satu karangannya, ia menulis ujung namanya dengan
Bahasa Arab “Al Makassari”, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan. Sejak kecil
telah nampak kecintaannya akan pengetahuan keislaman. Syekh Yusuf pernah
melakukan perjalanan ke Yaman. Ajaran-ajaran tasawwuf Syekh Yusuf meliputi :
1. Syariat dan Hakikat
Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma surfistiknya bertolak dari
asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir
(syariat) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan hakikat harus dipandang
dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.
2. Transendensi Tuhan
Ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat
dengan sesuatu. Mengenai hal ini, Syekh Yusuf mengembangkan istilah
al-lhathoh dan al-ma’iyyah. Kedua istilah tersebut menjelaskan bahwa
Tuhan turun (tanazul), sementara manusia naik (taraqi), suatu proses
spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Pandangannya tentang
Tuhan secara umum mirip dengan wahdat al-wujud dalam filsafat mistik
Ibn ‘Arabi.
3. insan kamil dan proses penyucian jiwa
Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun
telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada
diri hamba. Dalam proses penyucian jiwa, ia menempuh cara yang
moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah sesuatu yang harus
ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup diarahkan
untuk menuju Tuhan. Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia
membaginya ke dalam tiga tingkatan:
a. Tingkatan akhyat, yaitu dengan memperbanyak sholat, puasa,
membaca al-Quran, ibadah haji dan berjihad di jalan Allah.

9
b. Cara mujahadat asy-syaqo (orang-orang yang berjuang melawan
kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan
perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih
memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan
lahir
c. Cara ahl dzikr, yakni jalan bagi orang yang telah kasyf untuk
berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai
Tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat menjaga
keseimbangan kedua aspek ketaatan itu.

6. Syekh Nawawi al–Bantani Abu abdul Mu’thi Muhammad bin Umar


bin An-Nawawi al-Jawi
Dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M di desa Tanara. Sebelum
melakukan perjalanan ke Mekkah, ia sempat berguru kepada ayahnya sendiri,
kyai H. Umar, seorang penghulu dari Tanara. Ia pun sempat belajar kepada
Kyari H. Sahal, seorang ulama terkenal di Banten saat itu. Pendidikannya
kemudian diteruskan di Mekkah. Produktivitasnya sebagai pengarang
membuatnya menjadi terkenal. Ketenarannya tidak hanya di Jawa saja. Akan
tetapi, meluas di dunia Arab. Untuk ukuran masa itu, pencapaiannya cukup
luar biasa. Tidak aneh, bila ia mendapat gelar “Sayyid Ulama Al-Hijaz”, yang
berarti “Tokoh Ulama Hijaz”.
Pemikiran Nawawi tentang tasawwuf dapat dilacak dari karya-
karyanya seperti Tanqih Al-Qaul, Mirqoh Shu’ud At-Tashdiw dan Syaray
Maraqi al-Ubudiyah. Pikiran-pikiran tentang tasawuf meliputi:
1. Tarekat
Ia mengatakan, orang-orang yang mengambil tarekat, jika
perkataan dan perbuatannya sesuai dengan syariat Nabi Muhammad
SAW, tarekat yang diambilnya maqbul. Jika tidak demikian, tentulah
tarekatnya seperti yang banyak terjadi pada murid-murid Syekh Ismail
Minangkabai. Mereka mencela dzikir Allah, mencela orang yang tidak
masuk dalam tarekat.
2. Ghibah
Beliau menjelaskan, diharuskan melarang siapapun melakukan
ghibah melalui lisannya jika tidak dimungkinkan melarang orang itu
denga tangannya. Jika tidak mungkin melakukan pelarangan itu dan
tidak memungkinkan meninggalkan tempat ghibah berlangsung,
haram untuk mendengarkannya. Lakukan hal itu dengan cara berdzikir
kepada Allah SWT.
3. Sifat manusia
Beliau menjelaskan, pada diri manusia berkumpul empat macam
sifat, yaitu kebinatang-buasan (sabu’iyyah), kebinatangjinakan
(bahimiyyah, kesetanan (syaithoniyyah), dan ketuahanan (rabbaniyah).
Semuanya berkumpul dalam hati.
7. Buya Hamka Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Dilahirkan di Tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Danau Maninjau,
tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1362 H/16 Februari 1908 M. Untuk

10
menelusuri pemikiran beliau tentang tasawuf dapat dilacak pada dua buku.
Pertama, Tasawuf Modern, Kedua Tasawuf Positif dalam pemikiran HAMKA.
Dari dua buku tersebut kita dapat menemukan pemikiran-pemikiran beliau.
1. Tentang tasawuf.
Menurut beliau, tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan
untuk memperbaiki budi dan membersihkan batin.
2. Fungsi tasawuf
Menurutnya, tasawuf yang bermuatan zuhud yang benar, yang juga
laksanakan lewat peribadahan agama yang didasari i’tiqad yang benar,
mampu berfungsi sebagai media pendidikan moral keagamaan yang efektif.
3. Tasawuf modern
Tasawuf yang ditawarkan HAMKA berdasarkan prinsip “Tauhid”, bukan
pencarian pengalaman “Mukasyafah”. Jalan tasawufnya melalui sifat zuhud
yang dapat dilaksanakan dalam peribadahan resmi sikap zuhud, tidak perlu
terus menerus bersepi-sepi diri dengan menjauhi kehidupan normal.
4. Qona’ah
Menurutnya, maksud qona’ah amatlah luas. Menyuruh benar-benar
percaya akan adanya kekuasaan yang lebihi kekuasaan kita, sabar menerima
ketentuan ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika
dipinjami-Nya nikmat.
5. Tawakkal
Beliau menjelaskan bahwa tawakkal adalah menyerahkan keputursan
segala perkara, ikhtiar, dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Dia yang kuat
dan kuasa, sedangkan kita lemah dan tak berdaya.16
C.    Pengaruh dan Pengalaman Tasawuf Di Indonesia
Beberapa orang tokoh di Indonesia, uraian ringkas itu telah menggambarkan
paham dan usaha-usaha di masa lalu di dalam berbagai lapangan dan keahlian
masing-masing dan semuanya ini tentu saja akan meninggalkan kesan dan pengaruh,
baik secara langsung maupun sementara dalam waktu yang relatif singkat. Ajaran
tasawuf pada kemudiannya adalah berhubungan erat dengan tarikat. Di Indonesia
tarikat-tarikat yang telah berkembang dan memiliki pengaruh ialah seperti,
Tarikat Qadariyah, Naqsabandiyah, Syattariyah, Saziliyah, Khai Awatiyah dan
sebagainya.
Jauh sebelum ajaran islam menyentuh bumi Indonesia, di kalangan masyarakat
sebenarnya telah tumbuh dan berkembang sikap hidup kerohanian yang selalu
mendambakan diri kepada sesuatu yang maha ghaib, telah bersemi, dan mendarah
daging dalam diri setiap bangsa Indonesia. Dalam keadaan dan kondisi sikap mental
seperti ini, ajaran islam pun datang bersama dengan paham tasawufnya yang
kemudian berkembang menjadi ajaran tarikat.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar yang masuk
ke dalam Islam. Sebagian penulis ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasar dari
kebiasaan rahib-rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kesenangan material.
Pendapat lain mengatakan pula bahwa ajaran tasawuf timbul atas pengaruh ajaran
Hindu dan disebutkan pula bahwa ajaran tasawuf berasal dari filsafat Phyitagoras
16
M. Sholihin, Sejarah dan pemikiran Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2001, 49-52

11
dengan ajaran-ajarannya yang meninggalkan kehidupan material dan memasuki
kehidupan kontemplasi. Dikatakan pula bahwa tasawuf masuk ke dalam Islam karena
pengaruh filsafat Plotinus. Disebutkan bahwa roh memancar dari zat Tuhan dan
kemudian akan kembali kepada-Nya. Tetapi dengan masuknya roh ke dalam materi,
ia menjadi kotor dan untuk dapat kembali ke tempat yang maha suci terlebih dahulu ia
harus disucikan, dan pensucian roh ini terjadi dengan meninggalkan hidup kematerian
dan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin dan kalau bisa
hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih berada dalam hidup ini.
Pengaruh-pengaruh agama Hindu terhadap tasawuf Islam sangatlah kuat,
seperti; nirwana adalah ajaran dalam Hindu yang mempengaruhi tasawuf Islam,
mereka menggambarkan bahwa jiwa manusia, hilang lenyap sendirinya dalam
ketentraman yang mutlak tidak terganggu oleh indera dan syahwat. Ajaran ini sangat
berbeda dengan ajaran tasawuf Islam, ajaran fana dalam tasawuf Islam meskipun juga
meniadakan diri (hilangnya sang diri), namun dia memandang kepada kekekalan yang
tetap dan tetap ada dalam menyaksikan dan merasa lezat cita-cita keindahan Tuhan
Kemudian juga di samping pengaruh-pengaruh agama Hindu, Kristen juga sangat
mempengaruhi tasawuf Islam, di antaranya sebagai berikut:
1. Pengaruh Kristen dan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri
dalam biara-biara. Dikatakan bahwa Jahid dan Sufi Islam meninggalkan
dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah pengaruh cara
hidup rohib-rohib Kristen.
2. Filsafat Mistik Phytagoras yang berpadat bahwa roh manusia bersifat kekal
dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan Jasmani merupakan penjara
bagi roh. Ketenangan roh adalah di alam samawi untuk memperoleh hidup
sengan di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan
meninggalkan hidup materi, yaitu Zuhud. Namun, demikian terlepas atau
tidak adanya pengaruh dari luar itu, yang jelas bahwa dalam suber ajaran
Islam al-Qur’an dan hadits terdapat ajaran yang dapat membawa kepada
timbulnya tasawuf.
Dakwah Islam melalui ajaran tasawuf cukup mudah diterima oleh masyarakat
indonesia karena ajaranya mementingkan pembinaan moral yang penuh dengan
kelembutan, kepedulian kepada sesama makhluk serta sesuai dengan kebutuhan
jasmani, terutama rohani sehingga menjadi solusi dari problem yang dihadapi
masyarakat dan juga, jalur tasawuf sangat mudah diterima oleh masyarakat yang
mana ajarannya tidak memposisikan diri menjadi sesuatu yang berseberangan dengan
budaya yang ada, tetapi menjadi bagian dari budaya yang ada.17

17
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 71.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di sini di simpulkan bahwa Tasawwuf adalah ajaran yang cepat di terima oleh masyarakat
indonesia karena cara menyampaikan dakwahnya dengan penuh kelembutan dan kesabaran
sehingga masyarakat tidak bosan.
Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Hamzah Al-Fansuri
2. Nuruddin Ar-Rani
3. Syekh Abdur Rauf As-Sinkili
4. Syekh Yusuf Al-Makasari
5. Syekh Yusuf Al- Makassari
6. Syekh Nawawi al–Bantani Abu abdul Mu’thi Muhammad bin Umar bin An-Nawawi
al- Jawi
7. Buya Hamka Haji Abdul Malik Karim Amrullah

B. SARAN
Kita sebagai makhluk Allah hendaknya bercermin kepada para tokoh yang berdakwah
dengan cara halus dan lemah lembut, yang mana harus kita contoh ketika kita berbicara
kepada orang lainapalagi kepada saudara kita sendiri. Karena kalau kita berkata dengan kasar
kepada orang lain maka mereka tidak akan senang terhadap sikap kita, dan hal itu membuat
kita tidak di sukai olehmereka.

13
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Hikamudin Suyuti. Buku Ajar Ilmu Akhlak Tasawwuf.Jawa Tengah: Lakeisha,
2019
M. Sholihin. Sejarah dan pemikiran Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2011
Abudin Nata, MA. Akhlak Tasawuf,Rajawali Pers, Jakarta, 2002

14

Anda mungkin juga menyukai