Anda di halaman 1dari 34

Madzhab Tafsir Sufi dan Bathiniyah

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Madzhahib Tafsir

Disusun oleh:
Isra Maya Safira 22211996
Kartika Anjar Sari 22211976
Maharani Julia Saputri 22211995
Marsyanda Alifia Rohman 22211998

Dosen Pengampu:
Dr. Ali Mursyid, M.Ag.

PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA


1444 H/2024 M
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha pengasih lagi Maha
Penyayang, Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesikan makalah ini tepat waktu, yang membahas mengenai “Madzhab
Tafir Sufi dan Bathiniyah”.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ali Mursyid,


M.Ag. selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Madzhahib Tafsir. Serta teman-
teman yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini, masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu, kami memohon kepada para pembaca agar
bersedia memberikan kritik maupun saran untuk kesempurnaan makalah ini,
dan kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat serta
menambah wawasan para pembaca.

Tangerang Selatan, 03 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I .......................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 1
C. Tujuan Masalah ................................................................................. 2
BAB II......................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ......................................................................................... 3
A. Sejarah Aliran Sufi dan Bathiniyah .................................................... 3
B. Doktrin Ajaran Sufi dan Bathiniyah ................................................. 10
C. Pengaruh Aliran Sufi dan Bathiniyah dalam Penafsiran ................... 16
D. Contoh -contoh Tafsir Ayat dalam Madzhab Sufi dan Bathiniyah ..... 23
E. Kitab-kitab Tafsir Sufi dan Bathiniyah ............................................. 26
BAB III ..................................................................................................... 30
PENUTUP ................................................................................................ 30
A. Kesimpulan ..................................................................................... 30
B. Saran ............................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 31

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi terhadap Al-Qur’an dari berbagai dimensi terutama dimensi
interpretasi akan selalu mengalami perkembangan dan dinamika yang sangat
signifikan, seiring perkembangan budaya dan peradaban manusia. Setiap
generasi sejak awal diturunkannya Al-Qur’an hingga sekarang, senantiasa
melahirkan produk dialektika penafsiran Al-Qur’an yang memiliki corak dan
karakteristik yang bebeda-beda. Hal ini terjadi disebabkan oleh perbedaan
latar belakang kapasitas intelektual seorang mufasir.
Salah satu di antara corak tafsir yang dikenal dalam penafsiran Alquran
adalah tafsir bercorak sufistik, kemudian melahirkan ajaran tasawuf atau
kerohanian yang menekankan kepada kesucian dan kesempurnaan jiwa, hati
(qalb) dan moralitas dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli menuju
manusia paripurna (insan kamil).
Tafsir sufi bermula dari berkembangnya paham tasawuf. Keberadaan
tafsir sufi ini merupakan antitesis dari tafsir fikih yang memahami Alquran
dengan menggunakan pendekatan hukum. Pada tahapan proses, tafsir sufi
melampaui tafsir fikih dengan menggunakan pendekatan batin (ishari) yang
lebih menimbangkan penggunaan hati.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah aliran madzhab Sufi dan Bathiniyah?
2. Apa saja doktrin/ajaran madzhab Sufi dan Bathiniyah?
3. Apa pengaruh Sufi dan Bathiniyah dalam penafsiran?
4. Apa saja contoh-contoh tafsir ayat dalam madzhab Sufi dan
Bathiniyah?
5. Apa saja kitab-kitab tafsir madzhab Sufi dan Bathiniyah?

1
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui sejarah aliran madzhab Sufi dan Bathiniyah.
2. Mengetahui doktrin/ajaran madzhab Sufi dan Bathiniyah.
3. Mengetahui pengaruh Sufi dan Bathiniyah dalam penafsiran.
4. Mengetahui contoh-contoh tafsir ayat dalam madzhab Sufi dan
Bathiniyah.
5. Mengetahui kitab-kitab tafsir madzhab Sufi dan Bathiniyah.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Aliran Sufi dan Bathiniyah
1. Aliran Sufi
Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di
kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan
lanjutan dari gaya keberagaman para zahid dan ‘abid, kesalehan yang
mengelompok di serambi masjid Madinah. Fase awal ini juga disebut
sebagai fase asketisme (belum disebut sufisme), dimana aktivitas
zuhud menjadi penyeimbang dari aktivitas keduniaan. Yang
merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam.
Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu-individu yang lebih
mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk
beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini
setidaknya berlangsung sampai akhir abad II Hijriah, dan memasuki
abad ke III sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke
sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh
(antara lain) pergantian sebutan zahid menjadi Sufi. Di sisi lain, pada
kurun waktu ini percakapan para zahid sudah meningkat pada
persoalan bagaimana jiwa yang bersih itu, apa itu moralitas dan
bagaimana pembinaannya serta perbincangan masalah kerohanian
lainnya. 1
Istilah Sufi mulai dikenal pada abad II Hijriah, tepatnya tahun 150
H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada
dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu
Hasyim al-Kufi. Tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf
baru muncul di dunia Islam pada awal abad III hijriah yang dipelopori

1
Sutera Ibnu Pakar, “Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya”, (2013), hal.7

3
oleh al-Kurkhi, seorang tokoh asal Persia. Tokoh ini mengembangkan
pemikiran bahwa cinta (maḥabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang
tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian
(mawhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya adalah
mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tasawuf kemudian semakin
berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad IV H
dengan sistem ajaran yang semakin mapan. 2
Penyebaran tasawuf ini semuanya dibawa oleh para da’i Islam dari
kalangan tasawuf atau Sufi. Karena gerakan mereka meniru gerakan
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, maka orang-orang yang
dihadapi baik dari kalangan khalifah-khalifah, raja-raja, pembesar-
pembesar kerajaan, dan orang-orang kecil semuanya takut dan
menghormati mereka. Karena dibawa oleh para ahli tasawuf, maka
ajaran tasawuf pun kemudian tersebar dan berkembang pesat sejalan
dengan cepatnya perkembangan Agama Islam itu sendiri ada dan
berkembang. Tasawuf mengalami beberapa fase perkembangan,
diantaranya yaitu: tasawuf awal, sufisme ortodoks, teousufi, dan neo-
sufisme. 3
Ajaran sufisme berkembang bukan tanpa alasan, karena menurut
Mustafa Numsuk ajaran Sufi berkembang karena mampu memberikan
spirit ketuhanan yang bisa menenangkan jiwa dan rohani, menciptakan
kedamaian hati dan melupakan kekejaman duniawi. Melalui ragam
latihan batin (riyādhah) seperti sifat zuhd, wara‘, tawakkal, żikr dan

2
Ibid, h. 28
3
Achmad Muzammil Alfan Nasrullah, “Jalan Panjang Tasawuf: Dari Tasawuf Awal
Hingga Neo-Sufisme”, Journal of Ethics and Spirituality 5, no.1 (2021) hal. 28

4
sebagainya, diyakini bisa menghapus ragam sifat egois, otoriter, dan
angkuh. 4
Kepesatan perkembangan sufisme, nampaknya memperoleh
dorongan setidaknya dari tiga faktor penting, yaitu: pertama adalah
karena gaya kehidupan yang glamour-profanistik dan corak kehidupan
materialis-konsumeris yang diperagakan oleh sebagian besar penguasa
negeri yang segera menular di kalangan masyarakat luas. Dari aspek
ini, dorongan yang paling kuat adalah sebagai reaksi terhadap gaya
murni ethis, melalui pendalaman kehidupan rohaniah-spiritual. Tokoh
popular yang dapat mewakili kelompok ini dapat ditunjuk Hasan al-
Bashri (w. 110H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejahteraan
spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd, al-khauf dan al-raja’. Selain
tokoh ini, juga Rabiah al-Adawiyah (w.185H) dengan ajaran
populernya al-maḥabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w.200H) dengan
konsepsi al-syauq sebagai ajarannya, juga adalah pelopor angkatan
ini. 5
Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal terhadap
radikalisme kaum Khawarij dan polaritas politik yang ditimbulkannya.
Kekerasan pergulatan kekuasaan pada masa itu, menyebabkan orang-
orang yang ingin mempertahankan kesalehan dalam suasana
kedamaian rohaniah dan keakraban cinta sesama, terpaksa memilih
sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai dengan menyepi dan
sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dengan

4
Amir Maliki Abitolkha, “Elektisisme Tasawuf: Metamorfosis Sufisme dan
Relevansinya dengan Tarekat Modern”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 6, no.
2 (2016) hal. 436
5
Zuherni AB, “Sejarah Perkembangan Tasawuf”, Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2,
Oktober 2011, hal. 250

5
pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah
dimana konseptornya adalah Surri al-Saqathi (w. 253H).6
Ketiga, hal ini mungkin disebabkan oleh kodifikasi hukum Islam
(Fiqh) dan rumusan rasional dialektis ilmu kalam (teologi) yang
menyebabkan kurangnya motivasi etis, kehilangan nilai spiritualnya.
Sehingga fiqih menjadi sarana tanpa isi, semacam bentuk tanpa jiwa.
Pemahaman agama formal dirasa semakin menguras dan mencekik ruh
al-din, sehingga mengakibatkan putusnya komunikasi langsung dan
keintiman pribadi antara hamba dan Khalik. Doktrin al-zuhud
misalnya yang tadinya sebagai dorongan untuk meninggalkan ibadah
semata-mata karena takut pada siksa neraka, bergeser kepada demi
kecintaan dan semata-mata karena Allah, agar selalu dapat
berkomunikasi dengan-Nya.
Konsep tawakkal yang tadinya berkonotasi kesalehan yang etis,
kemudian secara diametral dihadapkan kepada pengingkaran
kehidupan duniawi-profanistik di satu pihak dan konsep sentral
tentang hubungan manusia dengan Tuhan, yang kemudian popular
dengan doktrin al-ḥubb. Doktrin ini adalah semacam pra-ma’rifat
yakni mengenal Allah secara langsung melalui pengalaman bathin.
Menurut sebagian Sufi (tasawuf Sunni) ma’rifatullah adalah tujuan
akhir dan merupakan tingkat kebahagiaan yang paripurna yang bisa
dicapai manusia di dunia ini. Untuk bisa mencapai kualitas ilmu seperti
itu, harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat-tingkat
dan hanya dimiliki orang-orang tertentu saja. 7

6
Ibid, h. 251
7
Ibid

6
2. Aliran Bathiniyah
Aliran Bathiniyah, memiliki sejarah panjang, selalu berkembang,
berpecah, dan bisa berganti ‘baju’ pada tiap periode zamannya. Sekte
ini bermetamorfosis, terpecah menjadi banyak aliran dengan berbagai
namanya. Embrio ajarannya telah muncul pada periode awal Islam.
Dapat ditelusuri jejak-jejaknya pada sebuah kelompok yang disebut
Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’) dan beberapa abad kemudian
dikembangkan oleh Maimun bin Daishan, seorang budak beragama
Majusi. Semenjak itu, ajaran ini merasuk ke beberapa sekte dan
kepercayaan. Imam al-Ghazali, menulis catatan khusus kritik terhadap
aliran ini dalam kitabnya yang diberi nama Faḍāiḥ al-Bāṭiniyyah. Di
Indonesia, kita kenal sebuah aliran yang disebut kebatinan yang cukup
marak berkembang menjadi beragam aliran kepercayaan. Dari segi
nama memiliki kesamaan dengan al-Bāṭiniyyah yang disebut al-
Ghazali di atas. Mereka memiliki sejumlah pandangan yang sama,
misalnya ibadah cukup dilakukan dengan niat batin saja. Mereka juga
sama-sama mengedepankan roh dan jiwa tanpa memedulikan praktik
lahir.8
Para ulama menjelaskan aliran Baṭhiniyah sebagai aliran yang
terinfiltrasi oleh pemikiran menyimpang. Baṭhiniyah adalah golongan
yang mendakwahkan bahwa setiap kata zahir dalam Al-Qur’an
memiliki makna batin yang tersembunyi di dalam teks tersebut
sebagaimana kulit yang di dalamnya memiliki esensi. Imam al-Ghazali
menerangkan ciri golongan aliran ini, yaitu tidak mengakui arti literal
Al-Qur’an dan hadis. Teks Al-Qur’an ditakwil batin untuk
mendapatkan makna yang sesuai dengan pemahaman mereka.

8
Kholili Hasib, “Aliran Batiniah; Dulu dan Sekarang”, Kalimah: Jurnal Studi Agama
dan Pemikiran Islam Vol. 14, No. 1, Maret 2016, hal. 82

7
Menurutnya, secara zahir aliran Baṭhiniyah memiliki wajah Rafidhah,
tapi di dalamnya berupa wajah kekufuran yang diramu dari berbagai
aliran pemikiran filsafat Yunani, Majusi, dan Yahudi. Imam al-Ghazali
memiliki perhatian terhadap aliran ini. Ia menulis satu kitab khusus
yang membedah kesesatan Baṭhiniyah, yaitu Faḍāiḥ al-Bāṭiniyyah.
Imam Qadhi Abu al-Fadhl Iyadh dalam al-Syifā bi Ta’rifi Ḥuqūq al-
Muṣṭafa menjelaskan bahwa Bathiniyah adalah mereka yang
berkeyakinan syariah dan sebagaian besar berita yang dibawa oleh
para nabi dan rasul tidak sesuai dengan makna batinnya. 9
Kalangan ahli kalam dan sejarawan Muslim berbeda pendapat
tentang asal-muasal aliran Baṭhiniyah. Ada yang berpendapat bahwa
Baṭhiniyah berasal dari agama Majusi, ada pula yang mengatakan
bersumber dari agama Saba’iyah. Namun yang jelas, praktik
keagamaan Baṭhiniyah dan aliran-aliran lain yang semisalnya
bersumber dari pemikiran Yunani kuno yang menginfiltrasi ke dalam
berbagai golongan Baṭhiniyah. Ahmad al-Khatib dalam riset ilmiahnya
menguraikan kaitan aliran Syiah dan Bathiniyah. Menurutnya, ketika
membicarakan aliran Baṭhiniyah maka kita tidak bisa melepaskan dari
kemunculan Syiah.10
Dalam Islam, Baṭhiniyah memiliki sumber dan asal usul yang
dijadikan pijakan dalam memperbarui pemikiran-pemikirannya.
Sumber-sumber ini ada pada filsafat dan agama kuno sebelum Islam
seperti Gnostisime, yang dalam bahasa Yunani berarti pengetahuan.
Para penganut Gnostisisme menganggap akidah mereka sebagai
akidah yang paling dahulu ada dan Gnostisisme adalah wahyu paling
dahulu yang diturunkan Allah kepada makhluknya. Aliran ini

9
Ibid, h. 83
10
Ibid

8
bersembunyi dibalik kedoknya dengan menamakan diri sebagai Al-
Baṭiniah, Al-Faṭimiyah, Al-Ismailiyah, Al-Qaramiṭah dan lainnya.
Orientalis Bernard Louis menegaskan bahwa gerakan al-Baṭiniah
memiliki kecenderungan kepada paham Gnosis. Al-Baṭiniah juga
muncul pada kaum Yahudi dari sekte Al-Qabaliyah yang dinisbatkan
kepada nama kitab Qabalah yang berisi takwil rahasia dan simbolis
terhadap kitab Taurat. Sekte ini berkeyakinan bahwa taurat memiliki
makna lahir dan batin.11
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa aliran Baṭhiniyah
bermula dari perkembangan dalam kelompok-kelompok Syi'ah,
khususnya di dalam kelompok Isma'iliyah yang mengakui Ismail dan
keturunannya sebagai Imam-imam yang memiliki pengetahuan batin.
Bathiniyah terdiri dari beberapa kelompok di antaranya kelompok
Syiah ekstrim (ghulat) dan kelompok Sufi ekstrim. Kelompok Syiah
sendiri telah ada sebelum munculnya Al-Isma’iliyah. Al-Baṭiniah
adalah manhaj berpikir dan lebih dari sekedar kelompok, madzhab
tertentu atau aturan praktik agama tertentu. Bathiniyah adalah aliran
dalam pemikiran yang tidak terbatas pada masa abad pertengahan,
bahkan ia mempunyai bentuk baru yang tercermin dalam pengikut-
pengikut sekte Isma’iliyah, żuriyah, Nushairiyah dan lainnya. Karena
itu bisa dikatakan aliran ini sebagai aliran sekte Isma’iliyah secara
khusus karena mereka memfokuskan pada batin dan selanjutnya bisa
dikatakan untuk individu yang mengabaikan makna lahir daripada
nash-nash agama dan lebih mengedepankan makna batin. 12

11
Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir, “Ensiklopedi Aliran dan Madzhab
di Dunia Islam”, Al-Majelis Al-A’la Li Asy-Syu’un Al-Islamiyah (2007), hal. 206
12
Ibid, h. 212

9
B. Doktrin Ajaran Sufi dan Bathiniyah
1. Doktrin Ajaran Sufi
Ajaran tasawuf bukan ajaran terpisah dengan ajaran Islam saat itu,
melainkan hanya penyeimbang saja. Karena Islam pada abad pertama
sejak Rasulullah wafat telah dirundung persoalan politik dan
kekuasaan yang berorientasi pada keduniaan semata. Sementara
persoalan akhirat tidak begitu didalami. Oleh karena itu, ajaran Islam
membutuhkan orientesi akhirat sebagai penyeimbang. 13
Secara tidak langsung, ajaran Sufisme bukan sekadar doktrin
semata, melainkan juga gerakan penyeimbang (bukan pembaruan
ataupun purifikasi) terhadap kondisi beragama, bersosial dan
bernegara yang terjadi pada umat Islam. Para zahid yang tergolong
sebagai sufisme merasa kebatilan dan kedzaliman terjadi dimana-
mana, sekalipun tidak berbentuk kejahatan atau kekerasan, melainkan
berupa “Terfokus pada orientasi dunia dan sibuk dengan urusan-urusan
dunia”, dalam ajaran sufisme hal demikian juga termasuk kedzaliman.
Oleh karena itu, sebagai bentuk gerakan sufisme menarik diri dari
pergumulan politik kekuasaan dengan cara mengumpulkan umat
Muslim yang saleh untuk bersikap agamis, sambil juga melancarkan
kritik. Kritik berbentuk tindakan-tindakan moral dan menolak
kekerasan, bukan dalam bentuk peperangan. 14
Dengan demikian, gerakan sufisme mengarah pada dua pola
pergerakan, gerakan doktinal dan gerakan moral spiritual. Gerakan
doktrinal berupa ritual-ritual zikir, kontemplasi, membaca kalimat-
kalimat ṭayyibah, menjauhkan diri dari maksiat, dan sebagainya

13
Amir Maliki Abitolkha, “Elektisisme Tasawuf: Metamorfosis Sufisme dan
Relevansinya dengan Tarekat Modern”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. Vol. 6
No. 2, 2016, hal. 439
14
Ibid 440

10
sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Sementara gerakan
moral spiritual diarahkan pada tindakan kritik secara berjemaah
kepada penguasa Muslim saat itu. Kelompok yang tergabung dalam
gerakan Sufisme adalah para orang-orang saleh yang menyukai
kehidupan menyepi, menyendiri, berkhalwat dan beribadat kepada
Allah. Mereka kurang begitu tertarik pada selain mendekatkan diri
kepada Allah seperti kekuasaan, politik, ekonomi. 15
Pada abad kedua Hijriah, sufisme bergerak pada bidang teologi
dengan menampilkan gerakan anti ritualistik yang menekankan pada
signifikansi kesalehan. Perlawanan gerakan sufisme tidak lagi pada
politik kekuasaan dan keduniaan, melainkan pada ranah yang lebih
saintifik, yakni ilmu fiqih. Abad ke-2 H/8 M dipenuhi dengan
kemunculan ilmu serba fiqih dan kalam pada peradaban kaum Muslim
terutama di kawasan Basrah. Fenomena ini membawa pengaruh besar
bagi perkembangan keilmuan Islam, dimana meletus perbedaan ritual
keagamaan yang berujung pada takfiri dan fanatis. Persoalan
merebaknya pendekatan serba fikih dan teologi (kalām) menyibukkan
umat Islam dengan kajian-kajian hadist yang diwarnai perpecahan
aliran kalām seperti Murji‘ah, Mu‘tazilah, Shī‘ah. Kondisi inilah yang
memancing gerakan Sufisme untuk menegakkan gerakan anti
ritualistik. Pada akhirnya, Sufisme memuncukan kesalehan tinggi
melalui gerakan zuhud tinggi. Pada gerakan ini, zuhud bukan sekadar
anti-sosial, melainkan mengarah pada pemaknaan humilitas dimana
tingkat kezuhudan melupakan masalah keindahan dan kebutuhan fisik
seperti makanan dan pakaian.16

15
Ibid
16
Ibid

11
Bahkan lebih parah dari itu, gerakan sufisme benar-benar berubah
arah dari prinsip keseimbangan dunia-akhirat, bergeser ke akhirat
murni. Semisal konsep tawakal yang semula berada di jalur etis,
akhirnya dimaknai pada posisi Sufi tinggi yaitu berkembang menjadi
doktrin ekstrem tentang pengingkaran dunia. Dalam hal apapun, umat
Islam berserah diri secara total tanpa mengejar dunia, itu artinya,
gerakan Sufi dibentuk pada aspek melakukan ritual zikir dan
memasrahkan diri. Dengan kedua konsep sufisme ini (zuhud dan
tawakal) ini, bukan semata mematikan kerangka perkembangan ilmu
fikih dan ilmu kalam, melainkan juga aktivitas keduniaan manusia.
Masa inilah yang disebut dengan sufisme ekstrem, ternyata setelah
ditelusuri, pernyataan Sufi ekstrem tersebut dikhususkan untuk
melawan umat Islam dengan konsep anti-ritual. 17
Secara wilayah, ajaran tasawuf sudah mapan dan menjadi ciri khas
suatu daerah basis pengembangan ilmu tasawuf, yaitu Tasawuf ‘ala
Khurasān dan Tasawuf ‘ala Baghdād. Aliran Tasawuf Khurasān, pola
tasawuf yang berkembang bercorak doktrin tawakal yakni
memasrahkan seluruh urusan kepada Allah yang cenderung panteistik,
spekulatif, berbeda pada pemaknaan tawakal pada asal katanya dan
mengabaikan ketentuan syariah Islam. Seperti beberapa Sufi
termasyhur yaitu al-Hallāj (w.309 H) dengan doktrin hulūl-nya yang
terkenal anā al-haq. Seperti pula al-Bistāmī (w.201 H) yang terkenal
dengan doktrin fanā’. Pola tasawuf seperti demikian yang banyak
diyakini orang sebagai ilmu tasawuf tingkat tinggi, seolah-olah
menafikan keberadaan dunia dan secara berlebihan berada pada
kekuatan supratural.18

17
Ibid, h. 441
18
Ibid

12
Sementara Tasawuf ala Baghdād tetap kokoh dengan prinsip awal
ideologi akar (growth ideology) yaitu menekankan kesalehan dan
kezuhudan. Secara tegas ajaran tasawuf ini menolak keras asketisme
radikal, doktrin fanā’ dan tetap berpegang pada ketentuan-ketentuan
syariah Islam disamping menjalankan tradisi peribadatan umat Islam
pada umumnya. Model tasawuf seperti ini dirintis dan dikembangkan
oleh Sufi seperti Hārith al-Muḥāsibī (w. 234 H) dan muridnya Junayd
al-Baghdādī (w. 298 H).23 Dari Junayd inilah berkembang model
tasawuf tersebut sampai menjadi besar. 19
Ketegangan antara dua model ajaran tasawuf tersebut memuncak
pada abad keempat Hijriah atau abad ke 10 Masehi. Aliran tasawuf
‘ala Baghdād lebih bisa diterima oleh masyarakat ketimbang aliran
tasawuf Khurasān. Keberhasilan demikian disebabkan oleh dukungan
ulama-ulama ortodoks seprti al-Sarrāj (w. 377 H) dan al-Kalābadhī (w.
390 H) serta banyak ulama-ulama ortodoks lain yang berpengaruh.
Pada abad kelima, tasawuf model Baghdād yang dirintis dan
dikembangkan al-Junaid mencapai puncak kejayaanya saat ditekuni
oleh Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), yang berhasil membawa ilmu
tasawuf sebagai basis keilmuan Sunni. Dengan kepandaian ilmu fikih
dan kalam, al-Ghazali mampu menelurkan ajaran tasawuf moderat
yang bukan hanya merekonstruksi Islam ortodoks, melainkan
menjadikan tasawuf integral antara ajaran tasawuf dan syariah Islam. 20

19
Ibid, h. 442
20
Ibid, h. 443

13
2. Doktrin Ajaran Bathiniyah
Ajaran Baṭhiniyah memiliki beberapa doktrin atau prinsip dasar
yang membedakannya dari pandangan umum dalam Islam. Namun,
penting untuk diingat bahwa aliran Baṭhiniyah sendiri memiliki variasi
internal, dan pengikutnya mungkin memiliki penekanan yang berbeda
pada aspek-aspek tertentu. Berikut adalah beberapa doktrin umum
yang terkait dengan ajaran Bathiniyah:
a. Batinisme
Prinsip utama dalam ajaran Bathiniyah adalah Batinisme, yang
menekankan makna esoteris atau batin dari ajaran Islam. Mereka
meyakini bahwa makna sejati dari ajaran agama tidak hanya
terletak pada pemahaman literal atau zahir, tetapi juga pada
pemahaman batin atau spiritual yang mendalam.
b. Imam Mahdi
Seperti banyak kelompok Syi'ah, Baṭhiniyah meyakini kedatangan
Imam Mahdi. Imam Mahdi dianggap sebagai pemimpin yang
dijanjikan oleh Allah yang akan muncul di akhir zaman untuk
membawa keadilan dan kebenaran. Imam Mahdi yang mereka
yakini adalah Abdullah bin Saba’.
c. Isma'il sebagai Imam Terakhir
Bagian dari Batiniyah, terutama kelompok Isma'ili, meyakini
bahwa Imam Isma'il, putra Imam Jafar Shadiq, adalah Imam
terakhir yang tersembunyi (Imam yang ghaib) dan akan muncul
kembali sebagai Mahdi.
d. Ketidaktersinggungan Tuhan
Beberapa aliran Baṭhiniyah mengajarkan konsep ketidak
tersinggungan Tuhan (tanzih), yang berarti Tuhan tidak dapat
dipahami atau dijelaskan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh

14
makhluk-Nya. Mereka menekankan pemahaman tentang Tuhan
sebagai sesuatu yang luar biasa dan tak terbatas.
e. Paham Tahrif (Distorsi Teks)
Sebagian aliran Baṭhiniyah meyakini bahwa teks-teks suci, seperti
Al-Quran, mengalami distorsi atau tahrif. Namun, perlu dicatat
bahwa tidak semua kelompok Bathiniyah memiliki pandangan ini,
dan ada variasi dalam pandangan mereka terkait dengan
interpretasi teks-teks suci.
f. Ketidakwajiban Terhadap Syari’at
Adapun pendapat Bathiniyah yang menggugurkan syariah seperti
itu berawal dari pandangan yang memisahkan secara dikotomik
antara ibadah zahir dan ibadah batin. Imam al-Ghazali mengecam
keras pandangan dualis seperti itu. Dalam penjelasannya ia
mengatakan, syariah itu adalah sisi zahir dan hakikat itu sisi batin.
Namun dua sisi itu tidak boleh berseberangan atau dipisahkan. Sisi
batinnya adalah kekhusyukan, keikhlasan, dan kesungguhan
ibadah. Maka untuk mencapai ibadah yang berkualitas dan benar,
keduanya tidak boleh dipisahkan. Orang yang memisahkan antara
keduanya dengan meninggalkan ibadah zahir adalah kafir.
g. Menafikan sifat-sifat Allah
Selain itu kaum Baṭhiniyah menafikan sifat-sifat Allah SWT.
Logika yang digunakan seperti logika ketuhanan Aristoteles, yaitu
jika Allah SWT adalah zat murni tanpa ‘arḍ (sifat materi), jika zat
tunggal itu memilki banyak ‘arḍ maka zat-Nya akan berbilang.
Padahal Tuhan itu satu yang mutlak, tidak dapat berbilang.
Keberadaan sifat-sifat-Nya dikira akan mengartikan berbilangnya
zat Tuhan. Mereka meyakini bahwa Allah itu ada, tapi menafikan
sifat wujūd. Logikanya, jika Allah memiliki sifat wujūd, maka Dia

15
membutuhkan terhadap sesuatu, dan ini menurut mereka mustahil.
Tuhan juga menurut pandangan mereka tidak bergerak (unmover).
Karena pergerakan mengakibatkan berbilangnya wujūd. Maka
mereka tidak akan mengatakan Huwa al-Qadir, Huwa al-‘Alim,
dan lain-lain. Logika ini sebenarnya cukup lemah. Keberadaan
sifat-sifat sesuatu tidak secara otomatis menjadikan sesuatu itu
berbilang sesuai dengan jumlah sifat.21

C. Pengaruh Aliran Sufi dan Bathiniyah dalam Penafsiran


1. Aliran Sufi
Tafsir Sufi atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir al-Isyari
merupakan sebuah penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan dari isyarat
atau petunjuk yang diterima oleh mufassirnya melalui ilham. Dalam
tafsir Sufi, seseorang akan melihat makna lain selain makna zahir yang
terkandung dalam Al-Qur’an, namun makna lain itu tidak tampak oleh
setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh
Allah. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum tafsir Sufi,
sebagian ada yang memperbolehkan dengan syarat yang sangat ketat,
dan sebagian ulama melarangnya dengan tegas. Ibnu Abbas berkata:
sesungguhnya Al-Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji,
meliputi yang zahir dan batin, tidak pernah terkuras keajaibannya dan
tak terjangkau puncaknya. Barang siapa yang memasukinya dengan
hati-hati akan selamat, dan barang siapa yang ceroboh akan jatuh dan
tersesat. Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal
dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zahir dan
batin. Zahirnya adalah bacaan sedang batinnya adalah ta’wil. 22

21
Kholili Hasib, “Aliran Batiniah Dulu dan Sekarang”, Kalimah: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam 14, no.1, (2016), hal.87
22
Asep Sulhadi, “Menelaah Metodologi Kaum Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur'an”
2, no. 2 (2018).

16
Tafsir sufistik adalah bentuk penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang
berbeda dengan makna zahirnya ayat (tekstual), karena adanya
petunjuk-petunjuk yang tersirat (ta’wil). Namun, hal ini hanya bisa
dilakukan oleh orang-orang tertentu yaitu orang orang sufi yang
berbudi luhur dan terlatih jiwanya yang telah diberikan petunjuk ilmu
oleh Allah sehingga dapat menjangakau rahasia-rahasia makna yang
tersirat dalam Al-Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
sesuai dengan pemikiran dan pembahasan mereka yang berhubung
dengan kesufian yang justru kadang-kadang pemikiran mereka tertuju
pada hal yang tidak sesuai dengan ajaran islam.
Dalam perkembangnnya, penafsiran sufistik pada prinsipnya
terbagi atas dua bagian yaitu tafsir Sufi Nazari dan tafsir Sufi Isyari.
Tasawuf Nazari yakni ajaran tasawuf yang mengembangkan pemikiran
dan analisis rasional sedangkan tasawuf isyari yang mengembangkan
sifat hidup sederhana dan memutuskan perhatian semata-mata hanya
untuk beribadah kepada Allah. Seperti, zikir, membaca Al-Qur’an,
puasa, dan ibadah-ibadah lainnya. Tafsir sufi isyari adalah penta’wilan
nash Al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan
petunjuk khusus yang diterima pata tokoh sufisme tetapi dianatara
kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Al-Qur’an meliputi apa
yang zahir dan batin, sehingga inilah yang menjadi asumsi dasar
mereka menggunakan istilah tafsir Isyari. Makna zahir yang dimaksud
adalah teks ayat Al-Qur’an sedangkan makna batin yang dimaksud
adalah makna isyarat yang ada dibalik makna ayat Al-Qur’an.
Seorang Sufi yang bernama Nashiruddin Khasr mengatakan
bahwa makna zahir seperti badan, sedangkan makna batin seperti ruh,
badan tapa ruh adalah substansi yang mati. Kemudian untuk
memperoleh makna batin dari ayat Al-Qur’an, diantara kelompok Sufi

17
ada yang mengatakan bahwa riyaḍah ruḥaniyah (latihan rohani) yang
dilakukan oleh seorang Sufi bagi dirinya akan menyampaikannya ke
suatu tingakatan dimana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat qudus
yang terdapat dibalik ungakpan-ungkapan Al-Qur’an, dan akan
tercurah pula kedalam hatinya, pengetahuan Subhani yang dibawa oleh
ayat-ayat Al-Qur’an.
Secara umum metode yang dipakai dalam tafsir sufistik adalah
metode ta’wil dan metode isyarat. Maksud isyarat tersebut yaitu
mengungkapkan makna yang terdapat pada makna lahir suatu ayat
dengan tujuan untuk mengetahui hikmah-hikmahnya secara batin.
Adapun tujuan mereka menggunakan kata isyarat adalah untuk
membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan
buruk. Padahal metode isyarat yang digunakan oleh mereka dalam
praktiknya lebih banyak sama dengan ta’wil. 23
Kemudian, yang dimaksud dengan tafsir Sufi Nazari adalah tafsir
yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori teori
mistik dengan menggeser tujuan Al-Qur’an kepada tujuan target mistis
mufasir. al-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir Sufi Nazari dalam
prakteknya adalah pensyarahan Al-Qur’an yang tidak memperhatikan
segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’. Ulama yang
dianggap kompeten dalam tafsir nadzari yaitu Muhyi al-Din Ibn Arabi
seorang Sufi yang dikenal dengan paham wahdah al wujud.
Penafsirannya selalu dipengaruhi wahdah al wujud yang merupakan
teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah
penafsirannya dijadikan legitimasi atas pahamnya. Menurutnya, tidak
ada wujud selain wujud yang satu, yakni mengajarkan bahwa hanya
ada satu eksistensi sejati, yaitu Allah, sedangkan alam semesta

23
Khaerul Asfar, “Tafsir Sufistik Perspektif Teoritis,”

18
merupakan manifestasi dari wujud yang tunggal, yakni segala sesutu
yang ada di alam semesta adalah manifestasi dari eksistensi tunggal
tersebut. Allah merupakan wujud yang nyata dan yang lain hanyalah
manifestasi atau gagasan dari pengembangan wujud yang satu. Ciri-
ciri tafsir Sufi Nazari yaitu pertama, penafsiran ayat Al-Qur’an sangat
dipenuhi oleh filsafat. Kedua, hal-hal yang gaib dibawa kedalam
sesuatu yang nyata atau tampak atau dengan perkataan lain yang
mengkiaskan gaib ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak
memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang
sejalan dengan ruh jiwa sang penafsir. Ada beberapa penafsiran Al-
Qur’an yang dijadikan alasan atas pendapatnya menenai wahdah al-
wujud, diantaranya surah al-Isra’ ayat 23:
‫ِّل ت َ ْعبُد ُْْٓوا ا َ َّل َربُّكَ َوقَضٰ ى‬ْٓ َ ‫ا َ َحدُهُ َما ْٓ ْال ِكبَ َر ِع ْندَكَ يَ ْبلُغ ََن اِ َما اِحْ سٰ نًا َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن اِيَاهُ ا‬
‫َك ِر ْي ًما قَ ْو ًّل لَ ُه َما َوقُ ْل ت َ ْن َه ْرهُ َما َو َّل اُف لَ ُه َما ْٓ تَقُ ْل فَ َل ِك ٰل ُه َما ا َ ْو‬
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara
keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan (ah) dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS.
Al-Isra [11]:23)

Ibnu ‘Arabi mengatakan para ulama yang cenderung melihat


pernyataan tertulis dalam Al-Qur’an memeberika arti lafal qada
dengan memerintahkan, tetapi ia mengartikan dengan “memutuskan
untuk membuka”, dan inilah arti sebenarnya, karena orang-orang

19
musyrik berkeyakinan bahwa sebenarnya mereka menyembah patung
sesemabahan untuk mendekatkan diri kepada Allah. 24
Tafsir sufi nazari pada umumnya menyimpangkan makna Al-
Qur’an dari maksud dan tujuan yang sebenarnya. Al-Qur’an dengan
nash-nash dan ayat-ayatnya mempunyai maksud tertentu, tetapi
kelompok ini menyimpangkannya kepada maksud lain yang sesuai
dengan pandangan dan ajaran mereka. Terkadang ada kesenjangan dan
kontradiksi diantara kedua tujuan atau maksud tersebut, dakam hal ini
mereka tetap menyimpangkan maksud Al-Qur’an yang sebenarnya
kepada maksud lain yang ingin merek capai. Dengan segala upayanya
ini mereka bermaksud mempopulerkan faham tasawuf kepada orang-
orang yang membaca Al-Qur’an dan bermaksud membangun teori-
teori atau pandangan-pandangan yang didasarkan atas prinsip dari
kandungan kitab suci itu.
Dengan demikian, tafsir sufi nazari adalah penafsiran Al-Qur’an
yang tidak memperhatikan aspek bahasa serta apa yang dimaksudkan
oleh syara’. Sedaangkan tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat
Al-Qur’an yang berebada dengan makna zahirnya sesuai dengan
petunjuk khusus yang diterima oleh para tokoh sufisme, tetapi diantara
kedua makna tersebut dapat dikompromikan. 25
Tafsir sufi kini menjadi arah baru dalam memahami Al-Qur’an
yang diarahkan dengan pemahaman sufistik atas Al-Qur’an.
Perkembangan penafsiran Al-Qur’an bergerak dengan terus
membentuk atau melahirkan pola pemaknaan baru terhadap Al-
Qur’an. Dalam tradisi Sufi, perkembangan ajarah tasawuf atau tarekat
yang semakin besar, memberi andil dari berkembangnya pola

24
Azwarfajri M. Djuned, “Metode Sufistik Dalam Penafsiran Al-Qur’an,” (2012).
25
Muh Said, “Metodologi Penafsiran Sufistik: Perspektif al-Gazali” 2 (2014).

20
pemaknaaan terhadap teks Al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada
argumen bahwa cara pandang sufistik (tasawuf) merupakan aspek
esoteris (batin) dari ijtihad dan interpretasi terhadap Al-Qur’an.
Tafsir Sufi Isyari dapat dibenarkan dengan syarat syarat yang telah
ditetapkan, yakni maknanya lurus, tidak bertentangan dengan hakikat-
hakikat keagamaan, tidak juga dengan lafadz ayat. Tidak mengatakan
bahwa itulah satu-satunya makna untuk ayat yang ditafsirkan. Ada
korelasi antara makna yang ditarik itu dengan ayat. Ada dukungan dari
sumber ajaran agama yang mendukung makna isyari yang ditarik. 26
Perbedaan antara tafsir sufi isyari dan nazari adalah pertama, tafsir
Sufi Nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu yang ada dalam diri
seseorang Sufi sebelumnya, kemudian menafsirkan ayat Al-Qur’an
sesuai dengan landasan ajaran tasawufnya. Sedangkan Sufi Isyari
bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, teapi
didasari oleh ketulusan hati seorang Sufi yang mencapai derajat
teretentu sehingga tersingkaplah isyarat-isyarat Al-Qur’an. Kedua,
dalam tafsir Sufi Nazari, seorang Sufi berependapat bahwa semua ayat
Al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan tidak ada makna
lain yang ada dibalik ayat tersebut. Adapun dalam tafsir Sufi Isyari
asumsi dasarnya ialah ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai makna lain
yang ada dibalik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa Al-Qur’an
terdiri dari makna dzahir dan batin.27
Imam al-Ghazali menegaskan bahwa tidak ada larangan seseorang
menafsirkan Al-Qur’an dengan penafsiran sufistik jika bermaksud
untuk menampilkan makna kekayaan makna Al-Qur’an hingga batas-
batas pemaknaan dengan simbol atau isyarat-isyarat tertentu.

26
Nana Mahrani, “Tafsir Al-Isyari” 14, no. 1 (Juni 2017).
27
Asep Sulhadi, “Menelaah Metodologi Kaum Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur,an.”

21
2. Aliran Bathiniyah
Bersumber dari pemikiran Yunani Kuno yang menginfiltrasi
kedalam berbagai golongan Bathiniyah. Aliran Bathiniyah dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dia menerapkan framework dualisme
teks lahir dan teks batin. Pendapat Bathiniyah yang menggugurkan
makna syariah berawal dari pandangan dualis yang memisahkan secara
dikotomik antara zahir dan batin. Mereka meyakini makna batin ada
dibalik setiap ayat Al-Qur’an. Memahami makna batin nyata Al-
Qur’an dilakukan dengan cara takwil batin. Salah satu contoh ayat
yang ditakwil QS. al-Hijr [15]:99.
ْ‫ْال َي ِقيْنُ َيأ ْ ِت َيكَ َحتّٰى َربَكَ َوا ْعبُد‬
“Dan sembahlah Tuhan mu sampai datang kepadamu yang
diyakini (al-yaqin)”.
Dalam pandangan Bathiniyah, al-yaqin dalam ayat tersebut
diartikan bukan ajal sebagaiamana dalam pandanagan islam. Akan
tetapi al-yaqin, adalah mengetahui hal-hal yang batin dari setiap ayat
Al-Qur’an. Jika seorang hamba telah mengetahuinya, maka kewajiban
syari’ah menjadi gugur, karena cukup dengan al-yaqin tadi. Melalui
ayat tersebut kaum bathiniyah menggugurkan kewajiban shalat bagi
orang ‘khusus’ dengan alasan orang ‘khusus’ tersebut telah mencapai
maqam al-yaqin.
Ahmad al-Khatib dalam riset ilmiyahnya menguraikan kaitan
aliran Syiah dan Bathiniyah. Menurutnya ketika membicarakan aliran
Bathiniyah maka kita tidak bisa melepaskan dari kemunculan Syiah.
Menegaskan apa yang telah digambarkan oleh imam al-Ghazali, al-
Khatib berpendapat bahwa fenomena berada satu garis dengan
Bathiniyah. bahwasanya unsur-unsur ajaran Bathiniyah yang
bersumber dari filsafat plato, yahudi. Ajaran yang paling menonjol

22
yang terindikasi berasal dari pemikiran asing tersebut diantaranya
berupa ajaran ta’wil batin. Setiap huruf dalam kitab suci memiliki
rahasia-rahasia gaib, hanya diketahui oleh para imam mereka atau
orang-orang khusus. Ajaran ini berasal dari Yahudi kelompok
penganut Kabbalah.
Para ulama telah sepakat tentang kesesatan Bathiniyah dengan
berbagai sebutan. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa kaum Batin
telah keluar dari islam, dikarenakan menggugurkan kewajiban
syari’ah, meyakini alam ini Qadim, Allah tidak memiliki sifat. Al-
Ghazali menyebut mereka berwajah syiah. Abdul Qahir al-Baghdadi
menyebut mereka adalah kaum dahriyah zindiq (tidak mempercayai
Tuhan), meyakini keabadian alam dan menolak taklif syari’ah, tidak
percaya nabi. 28

D. Contoh -contoh Tafsir Ayat dalam Madzhab Sufi dan Bathiniyah


1. Aliran Sufi
a. QS. al-Syams ayat 9-10
ْ‫َاب َو َق ْد زَ كّٰى َها َم ْن ا َ ْفلَ َح قَد‬
َ ‫دَسّٰى َها َم ْن خ‬
“sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan
sungguh rugi orang yang mengotorinya”.

Menurut Ibnu al-‘Arabi , penjelasan dari ayat ini adalah bahwa


jiwa itu tidak akan dapat menjadi suci kecuali oleh Tuhannya.
Dalam zat itu tidak ada kemuliaan dan keagungan. Karena kesucian
itu adalah perkembangan, maka siapa saja yang telah mencapai
tingkat dimana visi, pendengarannya, kekuatannya, dan realitas
yang dialami merefleksikan proses penciptaan sebagai manifestasi

28
Kholili Hasib, “Aliran Batiniah Dulu dan Sekarang” 14, no. 1 (2016).

23
al-Haq, maka jiwa orang tersebut dianggap telah murni. Jiwa akan
berkembang dan tumbuh dari semua pasangan yang indah, seperti
nama-nama Allah adalah bagi Allah dan makhluk yang telah suci
seperti itu. Karena itu sungguh merugi orang-orang yang mengotori
jiwanya, karena tidak mau tahu terhadap jiwanya. Dalam hal ini
Ibnu al-‘Arabi berkhayal bahwa orang tersebut telah mengotori
jiwanya menurut pensifatan ini, padahal ia sendiri tidak tahu bahwa
sifat yang ada pada jiwanya merupakan sifat ẓat yang akan selalu
ada padanya dan mustahil akan lenyap. Karena itu ia mensifatnya
dengan ”merugi”, jika ia tidak mengetahui hal ini. Karena itulah
Allah berfirman ”sungguh beruntunglah”, dan Allah menentukan
kekekalannya sifat ẓat tersebut. Padahal kekekalan itu hanyalah
bagi Allah semata atau bagi sesuatu yang ada di sisi-Nya.
b. QS. at-Taubah ayat 122
‫ط ۤا ِٕىفَة ِمنْ ُه ْم فِ ْرقَة كُ ِل ِم ْن نَفَ َر فَلَ ْو َّل َك ۤافَةً ِليَ ْن ِف ُر ْوا ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ َكانَ َو َما‬
َ
ِ ‫يَحْ ذَ ُر ْونَ لَ َعلَ ُه ْم اِلَ ْي ِه ْم َر َجعُ ْْٓوا اِذَا قَ ْو َم ُه ْم َو ِليُ ْنذ ُِر ْوا‬
‫الدي ِْن فِى ِليَتَفَقَ ُه ْوا‬
“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka
tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat
menjaga dirinya?”.
Dalam ayat ini, para mufassir mengartikan bahwa Allah telah
memerintahkan untuk memerangi dan membunuh diri orang-orang
kafir yang ada di sekitar. Ini merupakah pemahaman dari makna
lahir ayat yang ditunjukkan oleh pengertian-pengertian kebahasaan,
sedangkan pemahaman batinnya berasal dari pemahaman para

24
mufassir terhadap makna lahir ayat sesuai dengan pemahaman
konsep sufinya.
2. Aliran Bathiniyah
a. QS. asy-Syuara ayat 1
‫حٰ ۤم‬, ‫ۤع ۤس ۤق‬
Allah berfirman dalam al-Qur’an (ha, mim, ain, sin, qaf),
hururf-huruf tersebut ditafsirkan oleh para mufassir klasik sebagai
rahasia Allah yang hanya diketahui oleh Allah sendiri. Tetapi huruf
itu ditafsirkan secara berbeda dengan mazhab batiniah, yang tentu
saja tidak dapat diterima dan bersifat aneh serta diragukan
kebenarnnya, menurut mazhab Batiniah “Ha” berarti peperangan
antara Ali dan Mu’awiyah, “Mim” merupakan singkatan dari
wilayah bani Marwan, “Sin” mengisyaratkan wilayah Sufyaniyyah,
“Ain” bermakna wilayah Abbasiyah, dan “Qaf” adalah mahdi dan
seterusnya. Interprestasi ini merupakan penyimpangan yang
dilakukan oleh kaum pengingkar. Penafsiran yang kemudian tidaka
di akui oleh ahlu sunnah wal jamaah, karena tidak ada bukti dalam
kitab-kitab hadits mengenai penafsiran-penafsiran seperti itu.
b. QS. al-Baqarah ayat 179
‫اص فِى َولَكُ ْم‬
ِ ‫ص‬َ ‫ب يّْٰٓاُو ِلى َح ٰيوة ْال ِق‬
ِ ‫اّل ْل َبا‬
َ ْ ‫تَتَقُ ْونَ لَعَلَكُ ْم‬
“Dalam kisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-
orang yang berakal agar kamu bertakwa.”
c. QS. Yasin ayat 80

ْ ‫ش َج ِر مِنَ لَكُ ْم َج َع َل الَذ‬


‫ِي‬ َ ْ ‫َارا‬
َ ‫اّل ْخ‬
َ ‫ض ِر ال‬ ً ‫ت ُ ْو ِقد ُْونَ ِم ْنهُ ا َ ْنت ُ ْم فَ ِاذَآْ ن‬
“(Dialah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau.
Kemudian, seketika itu kamu menyalakan (api) darinya.”

25
Kata asy-syajara al-ahḍar ditafsirkan sebagai Ibrahim dan nār
sebagai cahaya atau nur yang mengandung arti Nabi Muhammad saw.
Penafsiran ini termasuk salah satu diantara makna-makna yang ganjil
yang tidak sesuai dengan makna bahasa arab.29

E. Kitab-kitab Tafsir Sufi dan Bathiniyah


1. Aliran Sufi
Kitab-kitab tafsir yang dihasilkan oleh ulam-ulama sufi cukup
banyak bahkan sampai sekarang masih tetap eksis diberbagai
perpustakaan di berbagai Negara baik yang mengupas ayat-ayat al-
Qur’an secara lengkap maupun sebagaian ayat-ayat saja.Diantara
kitab-kitab tafsir tersebut adalah:
a. Tafsir al-Tusturiy yang juga dikenal dengan Tafsir al-Qur’an al-
’Azim karya Abu Muhammad Sahl ibn Abdillah al-Tusturiy (w.283
H) tafsir tidak mengupas semua ayat-ayat al-Qur’an meskipun
lengkap menyebutkan surah-surah al-Qur’an, tafsir ini telah
menempuh jalan sufi, namun disesuaikan dengan ahli Zahir
b. Tafsir Ruh al- Ma’aniy, juga dikenal dengan Tafsir al-Alusi, sebuah
kitab tafsir sufi yang disusun oleh Syihabuddin al-Sayid
Muhammad al- Alusi al-Baghdadi (W 1270H) tafsir ini termasuk
kategori tafsir yang besar dan luas serta lengkap, didalamnya
dijelaskan riwayat-riwayat salaf, selain itu disebutkan pula
pendapat-pendapat ulama khalaf yang mu’tabar.
c. Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan. Tafsir ini dikenal pula
dengan tafsir al-Naisaburiy, disusun oleh Nizamuddin al-Hasan
Muhammad al- Naisaburiy (w 728 H). Tafsir ini cukup terkenal dan
mudah diperoleh karena ditulis pada bahagian tepi tafsir ibn Jariri

29
Ahmad Rifai, “Kesalahan Dan Penyimpangan Dalam Tafsir,” Al Amin: Jurnal
Kajian Ilmu dan Budaya Islam 2, no. 02 (2019) hal:130

26
al-Thabariy, uangkapan bahasanya mudah, selain itu pengarangnya
mentahqiq mana yang perlu ditahqiq.
d. Tafsir Ibn ‘Arabiy, karya Abdullah Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Abdullah Muhyiddin Ibn ‘Arabiy (w 238 H) Beliau ini juga
dijuluki dengan Syikh al-Akbar.
e. Tafsir Raisu al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karya Abu Muhammad
Ruzbihan bin Abi alNash al- Syairazi. (w 606 H) Kitab ini
berjumlah dua juz namun dimuat dalam satu jilid. Sekalipun
penulisnya menyakini bahwa pentafsiran zahir ayat merti menjadi
perhatian lebih dahlu, namun dalam tafsir ini seluruhnya dilakukan
secara isyarah dan tidak menampilkan makna zahir.
f. Haqaiq al-Tafsir disusun oleh Abu Abd al- Rahman Muhammad
bin Husin al-Azdi (w.412 H). Tafsir ini mengupas seluruh surah al-
Qur’an namun tidak mengupas seluruh ayatnya. Penafsirannya
didasarkan pada isyaratisyarat semata tampa memperhatikan zahir
al-Qur’an.
g. Tafsir al-Ta’wilah al-Najimiah karya Najmuddin Dayah dan
Ahmad Daulah al- Samnawi, berjumlah sebanyak 5 jilid. Pada
awalnya disusun oleh Najmuddin Dayah, namun ketika menyususn
jilid keempat tepatnya pada ayat 17 dan 18 surah al-Zariat beliau
sudah meninggal dunia. Kemudian diteruskan oleh Ahmad Daulah
al-Samnawi sebagai penyempurna. Terdapat perbedaan cara
pentafsiran antara kedua penyususn ini. Najmudin dalam
mentafsirkannya selain menggunakan isyarat terkadang terlebih
dahulu menggunkan makna zahir.30
h. Al-Futuhat al-Makiyyah, karya dari syaikh Abdullah Muhammad
Ibn Ahmad Ibn Abdullah Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w.238 H).

30
Wahid, “Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali,” hal. 27

27
i. Tafsir ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karya dari Abu
Muhammad Al Syairazi, yang bernama lengkap Abu Muhammad
Ruzbihan Ibn Abu Nashr (w.666 H).31
2. Aliran Bathiniyah
Sementara Tafsir Mazhab Bathiniyah atau termasuk juga Tafsir
Syiah Ismailiyyah baik dari kalangan Mutaqaddimīn dan
Mutaakhkhirīn tidak disebutkan dengan gamblang oleh al-Zahabi
mengenai karya tafsir yang lahir dari golongan mereka. Akan tetapi al-
Zahabi juga meyebutkan karya mereka yaitu Asās al-Ta`wīl karya al-
Qadhi al-Nu‟man bin Hayyun (w. 363 H) dan Kitāb al-Kasyf karya
Ja‟far bin Mansur al-Yaman, Mir`āh al-Anwār wa Misykah al-Asrār
karya Abdul Latif al-Kazirani, dan Mizāj al-Tasnīm karya Dhiyauddin
Ismail bin Hibbatullah al-Isma’ili al-Sulaimani.
Dalam artikel Abdul Rohman juga disebutkan beberapa tambahan
lagi mengenai tafsir dari kalangan Syi’ah. Di antara beberapa tokoh
besarta karya tafsirnya adalah sebagai berikut:
a. Ismail bin Ali bin Husein al-Saman, yang menyusun sebuah karya
al-Bustān fi Tafsīr al-Qurān.
b. Muhammad bin al-Hasan al-Fatal al-Naisaburi, dengan menyusun
kitab al-Tanwir fi Ma’ānī al-Tafsīr.
c. Al-Sayyid Ali bin al-Husein al-Hairi, yang menulis kitab
Muqtaniyāt al-Durar wa Multaqiṭāt al-Ṡamar.
d. Al-Sayyid Muhammad Maulana, dengan menyusun kitab al-Wajīz.

31
Basit dan Nawawi, “Epistemologi Tafsir Isyari,” hal. 84

28
e. Muhammad Jawad Muhgniyah, yang menulis kitab al-Kāsyif fi
Tafsīr al-Qur`ān f. Al-Sayyid Ayatullah Abu al-Qasim al-Khu`i,
yang menulis kitab al-Bayān fi Tafsīr al-Qur`ān.32

32
Akhdiat Dan Jamarudin, “Mengenal Tokoh-Tokoh Tafsir Syi’ahdan Karya
Tafsirnya,” 116.

29
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah Sufi mulai dikenal pada abad II Hijriah, ajaran Sufi berkembang
karena mampu memberikan spirit ketuhanan yang bisa menenangkan jiwa dan
rohani, menciptakan kedamaian hati dan melupakan kekejaman duniawi.
gerakan sufisme mengarah pada dua pola pergerakan, gerakan doktinal dan
gerakan moral spiritual. Gerakan doktrinal berupa ritual-ritual zikir,
kontemplasi, membaca kalimat-kalimat ṭayyibah, menjauhkan diri dari
maksiat, dan sebagainya sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Sementara gerakan moral spiritual diarahkan pada tindakan kritik secara
berjemaah kepada penguasa Muslim saat itu. Penafsiran sufistik pada
prinsipnya terbagi atas dua bagian yaitu tafsir Sufi Nazari dan tafsir Sufi Isyari.
Aliran Baṭhiniyah sebagai aliran yang terinfiltrasi oleh pemikiran
menyimpang. Baṭhiniyah adalah golongan yang mendakwahkan bahwa setiap
kata zahir dalam Al-Qur’an memiliki makna batin yang tersembunyi di dalam
teks tersebut sebagaimana kulit yang di dalamnya memiliki esensi. Namun
yang jelas, praktik keagamaan Baṭhiniyah dan aliran-aliran lain yang
semisalnya bersumber dari pemikiran Yunani kuno yang menginfiltrasi ke
dalam berbagai golongan Baṭhiniyah. Ahmad al-Khatib dalam riset ilmiahnya
menguraikan kaitan aliran Syiah dan Bathiniyah. Menurutnya, ketika
membicarakan aliran Baṭhiniyah maka kita tidak bisa melepaskan dari
kemunculan Syiah. Aliran Bathiniyah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dia menerapkan framework dualisme teks lahir dan teks batin
B. Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu penulis memohon kepada pembaca untuk memberikan
saran kepada penulis sebagai pembangun, sehingga makalah ini dapat
disempurnakan di kemudian hari.

30
DAFTAR PUSTAKA

AB, Z. (2011) "Sejarah Perkembangan Tasawuf". Jurnal Substantia.


Abitolkha, A. (2016) "Elektisisme Tasawuf: Metamorfosis Sufisme dan
Relevansinya dengan Tarekat Modern". Teosofi: Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam.
Sulhadi, Asep. (2018) “Menelaah Metodologi Kaum Sufi dalam Menafsirkan
Al-Qur,an” 2, no. 2.
Asfar, Khaerul. “Tafsir Sufistik Perspektif Teoritis”.
Asib, K. (2016) "Aliran Batiniah; Dulu dan Sekarang". Kalimah: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam.
Akhdiat, dan Ade Jamarudin. “Mengenal Tokoh-Tokoh Tafsir Syi’ahdan
Karya Tafsirnya” 10, no. 2
Azwarfajri M. Djuned. “Metode Sufistik Dalam Penafsiran Al-Qur’an” .
Basit, Abdul, dan Fuad Nawawi. (2019) “Epistemologi Tafsir Isyari” 13, no.
1
Kholili Hasib. (2016) “Aliran Batiniah Dulu dan Sekarang” 14, no. 1.
Mahrani, Nana. (2017) “Tafsir Al-Isyari” 14, no. 1.
Mesir, T. R. (2007) "Ensiklopedi Aliran dan Madzhab di Dunia Islam". (2007)
Nasrullah, A. M. (2021)"Jalan Panjang Tasawuf: Dari Tasawuf Awal Hingga
Neo-Sufisme". Journal of Ethics and Spirituality. (2021)
Pakar, S. I. "Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya". Yogyakarta: Deepublish.
(2013)
Rifai, Ahmad. (2019). “Kesalahan Dan Penyimpangan Dalam Tafsir.” Al
Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam 2, no. 02.
Said, Muh. (2014). “Metodologi Penafsiran Sufistik:Perspektif al-Gazali”
Wahid, Abd. (2010). “Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali,” no. 2

31

Anda mungkin juga menyukai