Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AJARAN DAN KARAKTERISTIK KAUM SUFI


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu:

Dr. Ach. Faridul Ilmi, M.Ag

Disusun oleh Kelompok 3:

Roifatul Hasanah 232101030067

Eka Khoirena Firdausy 232101030069

Yusmi Afrida 232101030070

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ACHMAD SHIDDIQ JEMBER

2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.

Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang telah membantu penyusun
dalam menyelesaikan tugas mata kuliah “Akhlak Tasawuf” ini, khususnya kepada Dr. Ach
Faridul Ilmi, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan bimbigan
dalam proses pembuatan makalah ini sehingga dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Akhlak Tasawuf”.

Makalah ini tentunya masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
maupun penyampaian materi di dalamnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca agar penyusunan makalah ini dapat terus ditingkatkan dan juga dapat
terus ditingkatkan dan juga dapat menjadi wawasan baru bagi pembaca.

Jember, 18 Maret 20024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL SAMPUL.......................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2

1.3 Tujuan Masalah................................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................3

PEMBAHASAN........................................................................................................................3

2.1 Pengertian Tarekat, Syariat Dan Hakikat.........................................................................3

2.2 Ajaran dan Karakteristik Kaum Sufi................................................................................4

BAB III.......................................................................................................................................9

PENUTUP..................................................................................................................................9

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada berbagai macam perbedaan dalam mendefinisikan tasawuf. Beberapa
definisi dirumuskan dari pengalaman, kegiatan dan kesungguhan dalam menempuh
jalan kesufian, ada pula yang merumuskan dengan berangkat dari akar kata tasawuf
itu sendiri. Apa pun definisinya, jelaslah bahwa tasawuf merupakan suatu proses
budaya spiritual, yang dilaksanakan untuk ketenangan jiwa.
Pada akhir abad XI H atau 822 M, ketika Bani Umayyah berhasil merebut
kekuasaan di Damaskus, pola hidup masyarakat sangat berubah. Pola hidup glamour
dan bersenang-senang menjadi style hidup masyarakat. Demi memperebutkan
kekayaan, mereka tidak segan-segan lagi untuk berbuat korup. Halal dan haram
dikesampingkan. Perubahan ini akhirnya memicu reaksi yang sebaliknya, yaitu
munculnya golongan orang yang suka menyendiri, mengasingkan diri dari kehidupan
duniawi yang gemerlap dan mengutamakan pada kehidupan akhirat dan rohani.
Kehidupan duniawi dan kecenderungan hidup yang materialistis mendorong
orang untuk berpikir formalistis. Dalam keadaan demikian, ajaran Islam yang
formalistis dan kering dari penghayatan kerohanian berkembang pesat dalam ajaran
Syariah dan Fiqh. Sedang ajaran-ajaran kerohanian berkembang sendiri dan
membentuk ajaran-ajaran dalam Tasawuf.
Penolakan terhadap kemewahan dunia memunculkan sebuah gerakan moral
yang menamakan diri Tasawuf. Sedangkan orang yang menjalankan disebut Sufi. Sufi
adalah orang yang cara berpikirnya mengutamakan rasa dan penghayatan yang gaib.
Bisa berkomunikasi dengan roh-roh yang gaib. Dalam hal ini dia perkuat dengan
kitab Al-munqidz Min Al-dalal, karangan Imam Ghazali kalau orang yang sudah
mencapai fana' dan kasyaf, maka ia bisa bertemu dengan para malaikat dan roh-roh
para nabi. mereka bisa berbicara dan mengambil manfaatnya.
Sufisme, dari sejak kemunculannya sampai dengan hari ini, masih dan akan
tetap menjadi fenomena dan diskursus yang menarik perhatian para ahli di bidang
sosial-keagamaan. Terutama terkait dengan eksistensi dan perannya di dalam
kehidupan masyarakat Muslim kontemporer.

1
Sufisme, dalam sejarah perjalanannya bukanlah sesuatu yang bersifat statis.
Sufisme terus mengalami perkembangan seiring dengan dinamika perubahan
kehidupan masyarakat. Mulai dari definisi atau makna sufisme, praktik dan aliran-
aliran yang berkembang di dalam sufisme, model keanggotaan sufisme, hingga
perannya dalam kehidupan sosial masyarakat Muslim pun terus mengalami
perkembangan yang kompleks dan dinamis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari syariat, tarekat dan hakikat?
2. Bagaimana ajaran dan karakteristik kaum sufi?

1.3 Tujuan Masalah


1. Agar dapat mengetahui pengertian syariat, tarekat, dan hakikat
2. Agar dapat mengetahui ajaran dan karakteristik kaum sufi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tarekat, Syariat Dan Hakikat


Problematika dan salah paham mengenai kaum sufi di kalangan orang awam adalah
bahwa kaum sufi menyepelekan keharusan menaati kewajiban-kewajiban syariat yang
diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Justru, kaum sufi pada saat yang sama dikenal
dengan seorang ‘abid atau ‘ubbad (para ahli ibadah). Dalam tasawwuf, tidak ada cara lain
dalam menempuhnya kecuali dengan melaksanakan ibadah-ibadah syar’i. Semakin ia
menjadi sufi, semakin intens pula ibadahnya.1

Antara syariat, tarikat dan hakikat bukanlah tiga hal yang saling terpisah, namun
merupakan suatu tatanan hirarkis dalam perjalanan spiritual seseorang. Syariat mengandung
ajaran etika dan moral yang merupakan dasar dari tasawwuf. Syariat diberikan kepada setiap
muslim tanpa terkecuali dan memberi petunjuk kepada setiap orang untuk hidup secara tepat.
Syariat didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits sebagaimana yang dijelaskan dalam makna
harfiah bahwa syariat adalah berjalan menuju sumber air yang berarti syariat membawa kita
ke sumber asalnya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Syariat juga disebut hukum keagamaan
eksoterik atau merupakan syarat pertama dalam tahapan kesufian dan akan mengantarkan
seseorang yang menempuh perjalanan sufi ke dalam hakikat.2

Tarekat merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan untuk
sampai kepada-Nya. Metode tarekat ini harus ditempuh seorang sufi dengan berdasarkan
petunjuk dari guru atau mursyid dari masing-masing tarekat. Tarikat juga dapat diartikan
sebagai metode pendidikan jiwa bagi mereka yang menempuh perjalanan sufi dan lebih
mendekati suatu alam pikiran yang dipergunakan untuk memperdalam syariat sampai ke
hakikatnya demi mencapai maqamat atau ahwal tertentu.3

Di dunia sufi, hakikat merupakan aspek lain dari syariat yang bersifat eksoterik, yaitu
aspek esoterik (batiniah). Secara terminologi, hakikat dapat diartikan sebagai rahasia yang

1
Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. Bandung : Mizan, 2005. Hlm 139
2
Azra, Azyumardi, dan tim. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung : Angkasa, 2008. Hlm 1187
3
Eliade, Mercea. The Encyclopedia of Religion. New York : Macmillan Publishing Company. Hlm 14.

3
paling dalam dari segala amal, inti dari syariat dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh
seorang sufi.4

2.2 Ajaran dan Karakteristik Kaum Sufi


Tasawuf sebagai aspek mistisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran adanya
hubungan komunikasi dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat
dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual manusia
dengan Tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah
kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi tidak ada artinya di hadapan
eksistensi yang absolut.

Menurut al-Taftazani, sufisme dapat diklasifikasikan ke dalam 4 tipe, 5 yaitu 1)


Asketisme, yaitu tipe tasawuf yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. 2) Moralisme,
yaitu tipe yang memiliki karakter menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
jiwa dan tingkah laku. Doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan moral dan
akhlak sehingga tasawuf berkembang menjadi ilmu moral keagamaan. 3) Ekstase, yaitu tipe
tasawuf yang memiliki karakter menekankan pada penyatuan diri dengan Tuhan. 4)
Ortodoka, yaitu tipe tasawuf yang memiliki karakter yang mendasarkan semua aktifitas
tasawufnya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana,
pelurusan jiwa dan pembinaan moral.

Sufisme di Indonesia yang dikembangkan oleh para sufi mengarah pada tipe dan
corak yang bersifat ortodoks, meskipun berkembang pula yang bersifat heterodoks. Misalnya
Nuruddin ar-Raniri sangat dikenal sebagai tokoh sufisme yang mendukung paham ma’rifah
dan penentang aliran wujudiyah yang dikembangkan oleh Syamsuddin as-Sumatrani.
Kerasnya sikap ar-Raniri terhadap wujudiyah diduga berasal dari pertentangan yang
berkembang di India antara Ahmad Sirhindi yang mengembangkan wahdah asy-Syuhud.
Pemikiran wujudiyah berkembang pesat dan mendominasi pada masa pemerintahan Sultan
Akbar (1542-1605). Akan tetapi setelah Sultan Akbar mengemukakan sinkretisme agama atau
gagasan Din Ilahi, terbuka jalan lebar pertentangan pemikiran wujudiyah oleh ulamaulama
pengikut ahmad Sirhindi.

4
Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Hlm 101.
5
Abu al-Wafa al-Ganimi at-Taftazani, Madhal ila at-Tasawuf al-Islam, Kairo: Dar as-Saqafat Li an-Nasyr wa
at-Tauzi, 183, h. 135

4
Berbeda dengan ar-Raniri, Abdur Rauf as-Sinkili merupakan tokoh sufi yang tidak
mau terlibat dalam kegiatan menyerang ajaran wujudiyah. As-Sunkili tidak pernah
menyatakan menolak suatu aliran atau suatu ajaran yang dipandangnya salah. Corak sufisme
as-Sinkili dapat dilihat pada karyanya Kifayah Al-Muhtajin Ia Masyrab al-Muwahhidin al-
Qailin bi Wahdah al-Wujud. As-Sunkili mempertahankan transedensi Tuhan atas ciptaannya
dan tidak setuju dengan pendapat wujudiyah yang menekankan emanasi Tuhan dalam
ciptaannya. Ajaran-ajaran ini oleh para sufi disebut dengan maqamat dan ahwal.6

1. Maqamat
Para sufi mendefinisikan maqamat sebagai suatu tahap adab kepada Allah
dengan bermacam usaha yang diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran
tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi
tersebut, serta tingkah laku riyadah menuju kepada-Nya. 7 Lebih mudahnya, maqamat
adalah tahap atau titik pemberhentian untuk mencapai tujuan tasawuf yang harus dilalui satu
demi satu oleh salik.
2. Ahwal
Ahwal tidak lain adalah sesuatu anugerah spiritual pemberian Allah swt
kepada sang salik karena ketaatan dan ibadahnya yang secara terus menerus. Jadi
ahwal adalah bersifat pemberian, bukan diusahakan sebagaimana maqamat.
3. Ajaran-ajaran yang Diperdebatkan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat beberapa ajaran yang
masih dalam polemik. Ajaran-ajaran ini pada umumnya merupakan ajaran-ajaran yang
masuk dalam kategori madzhab tasawuf falsafi dan sedikit dalam madzhab tasawuf
sunny. Ajaran-ajaran tersebut antara lain:
a. Al-Ma’rifah
Secara harfiah, al-ma’rifah berarti pengetahuan. Sedangkan dalam terma
tasawuf ia diartikan sebagai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan melalui
hati sanubari. Dan pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas, sehingga hati
merasa bersatu dengan yang diketahui. Jadi, perantara antar keduanya, hamba dan
Tuhan, dalam al-ma’rifah ini adalah hati. Maka dari itu, menurut penganut ajaran
ini hati dan pembersihan atasnya adalah sangat fital dan penting. Dalam
prosesnya, ruh berfungsi untuk mencintai atau rindu kepada Allah Swt. dan sirr,

6
Khairunnas Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 25, 2007, h. 1-28.
7
Imam al-Qusyairy al-Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah, terj. Lukman Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h.
23

5
yang dikandung ruh, berfungsi untuk kontemplasi dan berfikir tentang Allah
sehingga sang salik dapat berkomunikasi dengan-Nya. Selain al-ma’rifah, ajaran
ini juga dikenal dengan al-kasyf, mukasyafah, musyahadah.8
Tokoh-tokoh sufi yang sangat getol memperjuangkan ajaran ini antara lain Imam
al-Ghazali, Ma’ruf al-Karkhi, Abu Sulaiman al-Darani, dan Dzun Nun al-Misri.9
b. Al-Mahabbah
Al-mahabbah dicetuskan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, dan menurutnya ia adalah
inti dari tasawuf. Menurutnya, al-hubb akan membawa seseorang pada keridaan
atau memberikan ketaatan tanpa disertai dengan penyangkalan, shawq (kerinduan
yang mendalam untuk bertemu Tuhannya), dan Uns (mempunyai hubungan
spiritual yang intim yang terjalin antara sang pecinta dengan dengan yang
dicinta,Tuhan).10
c. Al-Fana’
Menurut al-Ghazali, al-fana’ adalah maqamat terakhir sebelum menuju atau
memperoleh al-ma’rifah. Jadi, poin sangat penting dilalui oleh sang-salik, jika ia
ingin mendapatkan pengetahuan sejati dari Tuhannya. Poin ini, masih menurut al-
Ghazali, merupakan proses beralihnya kesadaran diri dari alam inderawi ke alam
kejiwaan dan alam ketuhanan. Dalam perkembangannya, al-Fana’ terbagi menjadi
dua, yakni al-Fana’ fi at-Tauhid, hilangnya kesadaran tentang segala sesuatu selain
Allah ketika seseorang larut dalam pengalaman ketuhanan; dan al-Fana’ fi al-
Ittihad, yaitu sirnanya segala sesuatu selain Allah sehingga sang salik tidak
mampu lagi menyaksikan dirinya sendiri karena telah lebur dengan yang
disaksikan, Allah.11
d. Al-Ittihad
Al-ittihad merupakan proses kelanjutan dari al-fana’ dan al-ma’rifah. Sebab, ia
adalah kondisi puncak penghayatan salik atas al-fana’ dan al-ma’rifah, sehingga
dirasakan telah bersatu dengan Tuhan. Pandangan ini adalah sebagai konsekuensi
logis dari dasar filosofi jiwa manusia yang merupakan aspek immateri manusia
yang mempunyai relasi ontologis dengan Tuhan. Barangsiapa yang mampu

8
Al-Qusayiri, Risalah Qusyairiyah, h. 98.
9
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, h. 152-153.
10
Zarrina, “Tokoh Sufi Wanita , h. 29-43
11
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, h. 146-147.

6
melepaskan dirinya dari ikatan materi, maka ia akan memperoleh jalan kembali
kepada Tuhan yang tidak lain adalah sumbernya.12
e. Al-Hulul dan Wahdah al-Wujud
Kedua ajaran ini adalah kelanjutan dari ajaran al-ittihad. Al-hulul, yang
diperkenalkan oleh Abu Mansur al-Hallaj, merupakan kelanjutan langsung dari al-
ittihad sementara wahdah al-wujud oleh Ibnu ‘Arabi, kelanjutan atau perluasan
dari al-hulul.13

Secara umum, corak-corak aliran di atas merupakan inti cita tasawuf. Inti dan cita
tasawuf ini dapat dikelompokkan ke dalam dua corak utama, yaitu sufisme sunni dan sufisme
falsafi. Sufisme sunni bersifat amali karena yang menjadi pokok pembicaraannya adalah
akhlak, penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Tuhan. Termasuk dalam sufisme sunni
adalah aliran asketisme, moralisme dan ortodoks. Tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh
seorang sufi hanyalah sampai ma’rifah dan aliran ini menolak paham penyatuan wujud Allah
dengan manusia atau alam. Kelompok ini mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan
pemahaman yang sederhana dan dapat dipahami oleh manusia pada tataran awam, dan pada
sisi lain akan melahirkan pemahaman yang kompleks dan mendalam, dengan bahasa-bahasa
simbolik filosofis. Tokoh-tokohnya antara lain Al-Junaid, Al-Qusyairi dan Al-Ghazali.

Sufisme falsafi lebih bersifat ekstase dan yang menjadi pembicaraannya adalah
penyatuan diri dengan Tuhan, yaitu menyangkut wujud Tuhan, termasuk di dalamnya adalah
pemikiran tentang ittihad, hulul, dan wahdatul wujud. Kalangan penganut tasawuf falsafi ini
melahirkan teori-teori seperti fana, baqa, ittihad yang dipelopori oleh Abu Yazid al Busthami,
hulul yang dipelopori oleh Al-Hallaj, Wahdat al-Wujud yang dipelopori oleh Ibn Arabi dan
Insan Kamil yang dipelopori oleh Al-Jilli, yang tidak diakui oleh kalangan tasawuf sunni.
Baginya Insan kamil adalah dia yang berhadapan dengan Pencipta dan pada saat yang sama
juga dengan makhluk. Kendati sufi sunni juga mengakui kedekatan manusia dengan
Tuhannya, hanya saja masih dalam batas-batas syariat yang tetap membedakan manusia
dengan Tuhan.

Teori-teori tersebut lahir karena kaum sufi falsafi mengakui “kebersatuan”.


Konsekuensi terhadap adanya paham “kebersatuan” yang diajarkan kaum sufi falsafi
membuat mereka melacak asal usul dirinya dan segala wujud yang ada. Menurut mereka,
12
Ibid., h. 158.
13
Ibid, h. 162 dan 167.

7
manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran atau turunan dari wujud sejati yang
menurunkan wujud-wujud-Nya dari alam rohani ke alam materi dalam bentuk manifestasi
wujud secara berurutan (gradasi wujud, hierarki wujud).

Meskipun berbeda-beda pendapat dan perwujudan, secara garis besar, para praktisi
tasawuf bisa dikatakan sepakat bahwa ajaran tasawuf ialah Tazkiyyah al-Nafs (penyucian
diri, baik penyucian badan, ucapan, pemikiran, hati, maupun jiwa; dan pengesaan Allah
Swt.), melalui Takhalliyyah al-Nafs, Tahalliyyah al-Nafs, dan Tajalliyyah al-Nafs guna
mencapai kedekatan atau penyatuan dengan Allah Swt. Adapun beberapa cara untuk
merealisaikan dalam bertasawuf diantaranya:

1. Takhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan dirinya dekat
denganAllah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan
perhatiannya dari Allah. Takhalli merupakan segi filosofis terberat, karena terdiri dari
mawas diri, pengekangan segala hawa nafsu dan mengkosongkan hati dari segala-
galanya, kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Allah Swt.
2. Tahalli berarti berhias. Maksudnya adalah membiasakan diri dengan sifat dan sikap
serta pebuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak prilaku selalu berjalan
diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar maupun kewajiban dalam ketaatan lahir
maupun batin. Ketaatan lahir maksudnya adalah kewajiban yang bersifat formal,
seperti : salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin,
seperti : iman, ihsan, dan lain sebagainya.
3. Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut, maka tahap ketiga yakni tajalli,
seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab), yaitu sifat-sifat kemanusian atau
memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (Ghaib) atau fana segala selain Allah
ketika nampak (tajalli) wajah-Nya. Tajalli bermakna pecerahan atau penyingkapan.
Suatu term yang berkembang di kalangan sufisme sebagai sebuah penjelamaan,
perwujudan dari yang tunggal. Sebuah pemancaran cahaya batin, penyingkapan
rahasia Allah, dan pencerahan hati hamba-hamba saleh.

8
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Karakteristik dan kecenderungan utama ulama sufi di Indonesia dalam
mengamalkan tasawufnya adalah rekonsiliasi syariat dan hakekat. Para sufi meyakini
bahwa Nabi Muhammad adalah tokoh teladan dari manusia sufi yang sempurna.
Sebagai seorang sufi, Nabi tidak pernah meninggalkan syari’at Islam. Karena itu para
ulama sufi juga menekankan makna penting dari syariat tanpa perlu
mengesampingkan kesetiaan dan kecintaannya pada sufisme. Mereka menyatakan
bahwa setiap ayat Al-Qur’an tidak hanya mempunyai makna atau muatan esoteric
(sufisme-hakekat) melainkan juga makna eksoteris (hukum-syariat).
Secara garis besar madzhab dalam tasawuf ada tiga, yakni tasawuf falsafi yang
ajarannya dekat dengan filsafat, tasawuf salafi yang ajarannya ketat merekat pada al-Qur‟an
dan al-Hadis, dan tasawuf akhlaqi yang ajarannya menempati posisi tengah-tengah diantara
kedua madzhab sebelumnya, dia selain mendasarkan diri pada al-Qur’an dan al-Hadis juga
mengaitkan dengan ihwal dan maqamat.
Langkah pertama yang harus ditempuh oleh para sufi adalah takhalli, artinya
membebaskan diri dari perilaku ketergantungan pada kesenangan duniawi dengan
menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha menghilangkan
dorongan hawa nafsu, karena nafsu seperti itulah yang utama. Sehabis pembersihan ataupun
pengosongan diri dari seluruh watak serta perilaku mental tidak baik (Takhalli) bisa dilalui,
hingga langkah berikutnya merupakan Tahalli. Dalam rangka pemantapan serta pendalaman
modul yang sudah dilalui pada fase tahalli, hingga rangkaian pembelajaran itu disempurnakan
pada fase tajalli.

9
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam, al-Mukasyafat al-Qulub, Terj. Ahmad Sunarji (Bandung: Pustaka


Husaini, 1996)

Al-Harawi, „Abdullah al-Anshari, Kitab Manazil al-Sairin (Beirut: Dar al-Kutub


„Ilmiyyah, 1988).

Al-Naisaburi, Imam al-Qusyairy, Risalah Qusyairiyyah, Terj. Lukman Hakim,


(Surabaya: Risalah Gusti, 1999).

Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 200

Azra, Azyumardi, dan tim. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung : Angkasa, 2008.

Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. Bandung : Mizan, 2005.

Daulay, H. P., Dahlan, Z., & Lubis, C. A. (2021). Takhalli, Tahalli Dan Tajalli.
Pandawa, 3(3), 348-365.

Eliade, Mercea. The Encyclopedia of Religion. New York : Macmillan Publishing


Company.

Jaya, Yahya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan


Kesehatan Mental (Jakarta: Pustaka Ruhama, 1994).

Mashar, A. (2015). Tasawuf: Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya. Al-A'raf: Jurnal
Pemikiran Islam dan Filsafat, 12(1), 97-117.

Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf: Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun


Tasawuf (Kudus: STAIN Kudus Press, 2007).

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Bulan
Bintang, 1993).

Rajab, Khairunnas “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, dalam Jurnal


Usuluddin, Bil. 25, 2007, h. 1-28.

10

Anda mungkin juga menyukai