MAKALAH
Dosen Pengampu:
Dra. Robingatun, M.Pd
Penyusun:
Habib Sanabudin Sulton NIM. 21101022
Mohammad Ginanjar Erfan NIM. 21101026
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan rahmat dan hidayahNya baik berupa kenikmatan maupun kesehatan lahir
dan batin, sehingga kita senantiasa dalam lindungan dan limpahan rahmat-Nya. Tidak
lupa shalawat serta salam tak henti-hentinya kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. beserta seluruh keluarga serta sahabatnya, dan seluruh umat
manusia yang mengikutinya.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf dari
Ibu Dra. Robingatun, M.Pd selaku pengampu mata kuliah. Selain itu, makalah ini
adalah sebagai tolak ukur kemampuan mahasiswa dalam menganalisis. Kami selaku
penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak lepas dari bimbingan,
dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, yang akhirnya dapat terlaksanakannya
pembuatan makalah ini dengan sempurna.
Semoga apa yang kami tulis ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca
maupun pendengar dan orang yang telah mempercayai makalah ini sebagai referensi.
Tidak lupa kami selaku penulis memohon maaf apabila selama proses pembuatan
makalah ini ada hal-hal yang tidak patut dan tidak semestinya antara adab seorang
mahasiswa dengan dosen. Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan
kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik
dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membaca dan membutuhkannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................ii
Daftar Isi.........................................................................................................................iii
Bab I Pendahuluan...........................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................1
C. Tujuan ....................................................................................................................1
Bab II Pembahasan..........................................................................................................2
1. Pengertian Neo Sufisme..........................................................................................2
2. Sejarah Perkembangan Neo Sufisme......................................................................3
3. Karakteristik Neo Sufisme…………………………………………...………...…4
Bab III Penutup................................................................................................................8
A. Kesimpulan.............................................................................................................8
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………..9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dampak era modernitas saat ini menyebabkan pengurangan esensi dalam
pemahaman metafisik dan peran agama, yang kemudian digantikan oleh fokus pada
hal-hal material dan substansial. Sebagai hasilnya, pandangan agama hampir
menghilang dalam era modern saat ini. Namun, dalam konteks ini, terdapat
fenomena menarik yang muncul di tengah kehidupan modern, yaitu meningkatnya
perhatian terhadap dimensi spiritualitas. Saat ini, spiritualitas semakin memiliki
tempat penting dalam masyarakat modern.
Fenomena keagamaan ini menarik untuk diperhatikan karena belakangan ini
terlihat kecenderungan "rekonsiliasi" antara nilai-nilai sufistik dengan dunia
modern. Ada kecenderungan baru di mana dimensi spiritualitas yang berasal dari
agama mulai menarik perhatian kembali di kalangan masyarakat Barat, karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mereka membuktikan bahwa
masalah yang muncul sebagai hasil kemajuan dunia global belum terpecahkan
sepenuhnya.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Neo Sufisme?
2. Bagaimana Sejarah Neo Sufisme?
3. Bagaimana Karakteristik Neo Sufisme?
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Neo Sufisme.
2. Untuk mengetahui Sejarah Neo Sufisme.
3. Untuk mengetahui karakteristik Neo Sufisme.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Neo Sufisme
istilah "sufi" dan "tasawuf" tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad
SAW dan Khulafaurrasyidin. Istilah ini mulai diperkenalkan pada pertengahan
abad pertama Hijriyah oleh Abu Hasyim Al-Khufi,1 yang menambahkan kata "as-
sufi" di belakang namanya. Terkait dengan asal kata "tasawuf", ada perbedaan
pendapat di antara para ahli. Mayoritas sepakat bahwa kata "tasawuf" berasal dari
kata "suf" yang berarti bulu domba. Beberapa juga mengatakan bahwa kata
"tasawuf" berasal dari kata "suffah" yang merujuk kepada tempat di Masjid
Nabawi yang dihuni oleh sebagian sahabat Ansar. Ada yang mengatakan bahwa
"tasawuf" berasal dari kata "saff" yang berarti barisan, dan ada pula yang
mengatakan bahwa berasal dari kata "safa" yang berarti jernih.
1
Emroni. HISTORISITAS DAN NORMATIVITAS TASAWUF DAN TAREKAT. (Kalimantan : komdes
Kalimantan). 2014. Hal.
2
Sutoyo. Sutoyo. “Tasawuf Hamka dan Rekonstruksi Spiritualitas Manusia Modern”. ISLAMICA.
Vol. 10. 2016. Hal. 113.
2
2. Sejarah Perkembangan Neo Sufisme
Sejak akhir dekade abad ke-2 Hijriah, sufisme telah menjadi populer di
kalangan masyarakat di wilayah dunia Islam. Hal ini merupakan perkembangan
lanjutan dari gaya keberagaman para zuhud dan 'abid, yang merupakan kelompok
yang menjalani kehidupan asketisme di serambi masjid Madinah. Fase awal ini,
yang juga dikenal sebagai fase asketisme, merupakan awal dari pertumbuhan
sufisme dalam peradaban Islam. Pada fase ini, individu-individu mulai lebih fokus
pada kehidupan akhirat, dengan beribadah sebagai pusat perhatian mereka,
sementara mengabaikan urusan duniawi.3
Fase asketisme ini berlangsung setidaknya hingga akhir abad ke-2 Hijriah,
dan pada abad ke-3, terjadi peralihan dari asketisme ke sufisme. Fase ini bisa
disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh perubahan sebutan dari zuhud
menjadi sufi. Pada periode ini, percakapan para zuhud telah berkembang menjadi
pembahasan tentang kebersihan jiwa, konsep moralitas, pembinaannya, serta
pembicaraan mengenai masalah-masalah rohani lainnya.4
3
Achmad Muzammil Alfan Nasrullah. JALAN PANJANG TASAWUF: DARI TASAWUF AWAL HINGGA
NEO-SUFISME. Volume 5, Number 1, 2021. Hal. 28.
4
H.A. Rivay SIregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990),
hlm. 231- 232.
3
tidak sepenuhnya akurat, karena perkembangan agama Islam pada umumnya
melibatkan peran tarekat.
4
sufi dan tempat-tempat yang dianggap kramat atau suci. Fenomena ini dapat
mengakibatkan runtuhnya iman dan merusak konsep tauhidullah.
c. Menolak ajaran wahdah al-wujud: Neo-Sufisme menolak pemahaman wahdah al-
wujud yang kontroversial, terutama dengan pandangan umum orang awam dan
ulama fikih. Dalam Neo-Sufisme, konsep ini dipahami sebagai kerangka
transendensi Tuhan yang tetap mengakui Tuhan sebagai Pencipta.
d. Penlakan fanatisme murid terhadap guru: Dalam Sufisme tradisional, terdapat
pandangan bahwa kemajuan spiritual murid tergantung pada ketaatan dan loyalitas
mutlak terhadap guru. Namun, dalam Neo-Sufisme, murid tidak harus mematuhi
perintah guru jika bertentangan dengan syariat. Hubungan antara guru dan murid
dalam Neo-Sufisme didasarkan pada komitmen sosial dan moral yang sejalan
dengan Al-Quran dan As-Sunnah.
e. Penekanan pada Nabi Muhammad sebagai pendiri tarekat: Neo-Sufisme
menempatkan Nabi Muhammad sebagai pendiri tarekat dan menjadi teladan dalam
berfikir, berdzikir, dan menjadi contoh dalam segala hal.
f. Organisasi massa yang terstruktur dan tersentralisasi: Neo-Sufisme cenderung
menciptakan organisasi massa yang hierarkis di bawah otoritas pendiri tarekat dan
para khalifah, dengan fokus yang masih bersifat komunal atau sosial.
g. Penekanan pada kajian hadis atau sunnah: Neo-Sufisme menitikberatkan pada
kajian hadis atau sunnah yang sahih, terutama dalam tema yang berhubungan
dengan rekonstruksi sosial-moral masyarakat, daripada hanya mengikuti ketentuan
hukum fikih.
h. Menolak taklid dan mendorong ijtihad: Neo-Sufisme menolak taqlid (peniruan
buta) dan mendorong individu Muslim untuk memiliki kapasitas keilmuan dan
kemampuan berijtihad, daripada hanya mengikuti pendapat ulama tanpa
pemahaman yang mendalam.
i. Keterlibatan dalam politik dan patriotisme militer untuk membela Islam: Neo-
Sufisme menekankan keterlibatan dalam politik dan memiliki semangat heroik
dalam membela Islam.
Tasawuf lama cenderung mengambil sikap uzlah, yaitu menjauh dari realitas
sosial yang buruk dalam pertumbuhan keislaman. Namun, Neo-Sufisme memiliki
5
karakter aktivis yang siap menghadapi tantangan dan memberikan respons perubahan
konstruktif dan positif dalam melawan ekspansi imperialisme Barat, terutama pada
abad ke-18.
Pandangan hidup mekanistik dan atomistik yang muncul akibat modernisme
di Barat telah melahirkan perubahan pola kognitif manusia. Industrialisasi dan
kemajuan teknologi telah mempengaruhi kehidupan manusia menjadi lebih terfokus
pada materi dan cenderung mengabaikan aspek spiritual. Hal ini dapat menyebabkan
manusia kehilangan jati diri, kehilangan nilai-nilai saling menghormati, tolong-
menolong, dan pada tingkat yang paling krusial, kehilangan identitas yang berdampak
pada hilangnya nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks ini, aspek batiniah atau spiritualitas manusia menjadi sangat
penting. Spiritualitas mampu memberikan penghidupan batin yang memberi siraman
pada hati manusia yang merasa terasing dalam eksistensinya dan dunianya sendiri.
Meskipun modernisasi menantang agama atau religiusitas, agama tidak dapat
sepenuhnya dihilangkan dari dunia ini.6
Dengan demikian, Neo-Sufisme hadir sebagai respons terhadap perubahan
sosial dan tantangan modernitas. Melalui karakter aktivisnya, Neo-Sufisme berusaha
untuk membangun perubahan yang konstruktif dan positif, menjaga nilai-nilai spiritual
dalam konteks dunia yang semakin materialistik dan menghadapi dampak negatif
modernisasi terhadap agama.7
Semakin seseorang terbentur oleh kebuntuan makna hidup, semakin ia akan
aktif mencari jawaban atas keterasingannya dan berusaha menemukan spiritualitas
yang sesungguhnya. Dalam hal ini, tasawuf memainkan peran yang sangat signifikan
dalam memperkaya dimensi esoteris atau batiniah. Tasawuf dalam bentuk neo-sufisme
merupakan bentuk esoterisme yang mendorong individu untuk hidup secara aktif dan
terlibat dalam pembentukan sosial masyarakat, bukan hanya mencapai kesolehan
individu, tetapi juga membentuk kesolehan sosial yang universal.8
6
Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001), hlm. 45.
7
Muhammad Wayuni Nafis. Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta: Paramadina,
1996), hlm. 288.
8
Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam
Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006).
6
Neo-Sufisme menekankan penghayatan positif terhadap agama, yang
memahami keseimbangan antara dunia material dan akhirat. Dalam konteks ini, corak
dan karakter neo-sufisme, sebagai dimensi esoterisme Islam, sangat dibutuhkan oleh
orang-orang modern yang telah kehilangan penghayatan batin mereka. Tidak perlu
takut bahwa praktik neo-sufisme akan mengorbankan partisipasi dalam kompetisi
dunia, karena neo-sufisme menekankan sikap aktivisme dalam berpikir dan bertindak,
bukan menjauh seperti dalam tasawuf yang dianggap ekstrem.
Prospek pengembangan neo-sufisme sangatlah cerah, terutama ketika
modernisasi mencapai puncaknya. Fenomena bermunculannya berbagai komunitas
yang mengklaim diri sebagai agama atau aliran di perkotaan saat ini adalah bukti
nyata. Dengan demikian, fenomena tersebut menunjukkan bahwa neo-sufisme
memiliki potensi untuk berkembang pesat di masa depan, karena mampu menawarkan
alternatif spiritual yang mencari keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan
spiritual.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan pesat sufisme tampaknya didorong oleh setidaknya tiga
faktor utama. Pertama, gaya hidup glamor-profanistik dan orientasi materialistik-
konsumeristik yang dipraktikkan oleh sebagian besar penguasa negara dan cepat
menular di kalangan masyarakat luas. Faktor ini menjadi pendorong utama sebagai
reaksi terhadap gaya hidup sekuler yang berasal dari kelompok elit penguasa dinasti.
Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai respons yang kuat terhadap
radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik yang mereka sebabkan. Kekerasan
dan konflik kekuasaan pada masa itu menyebabkan individu yang ingin
mempertahankan kesalehan dan kedamaian batin serta kasih sayang sesama manusia,
memilih menjauh dari keramaian masyarakat dan menciptakan kesunyian, sekaligus
menghindari terlibat secara langsung dalam pertentangan politik.
Ketiga, faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh) dan perumusan ilmu kalam
(teologi) yang bersifat dialektis dan rasional, namun kurang memberikan motivasi etis
yang menyebabkan kehilangan nilai-nilai spiritual, sehingga menjadi semacam bentuk
kosong tanpa jiwa.
Kebangkitan sufisme dalam Islam dengan sebutan neo-sufisme tidak dapat
dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama sebagai penolakan
terhadap ketergantungan yang berlebihan pada sains dan teknologi sebagai produk
modernisme. Modernisme dianggap gagal memberikan makna hidup yang bermakna
bagi manusia, sehingga orang kembali kepada agama. Salah satu fungsi agama adalah
memberikan makna dalam kehidupan. Tujuan neo-sufisme adalah menekankan
penguatan iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam, dan menganggap bahwa
kehidupan dunia sama pentingnya dengan kehidupan akhirat.
8
DAFTAR PUSTAKA
H.A. Rivay SIregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme, (Jakarta: Rajawali Pers,
1990), hlm. 231- 232.
Muhammad Wayuni Nafis. Rekonstruksi dan Renungan Releguis Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 288.
Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam
Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006).
Sutoyo. Sutoyo. “Tasawuf Hamka dan Rekonstruksi Spiritualitas Manusia Modern”.
ISLAMICA. Vol. 10. 2016. Hal. 113.
Tita Rostitawati. PEMBAHARUAN DALAM TASAWUF (STUDI TERHADAP KONSEP
NEO-SUFISME FAZLURRAHMAN). Vol. 18 No. 2, Desember. 2018. Hal. 76.