Anda di halaman 1dari 20

TASAWUF DAN PEMIKIRAN IMAM ABU YAZID AL BUSTAMI

MAKALAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu Muchamad Toif Chasani, M.A
Program Studi Ekonomi Syariah

Oleh:
Semester II (Dua)

Sisma Heriana
NPM: 22420311438
FAKULTAS SYARIAH, DAKWAH DAN USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TAKENGON
2023
KATA PENGANTAR

﴾ ‫﴿ِبۡس ِم ٱِهَّلل ٱلَّر ۡح َٰم ِن ٱلَّر ِح يِم‬


Segala puji dan syukur hanya tercurah kepada Allah Subhanahu
Wata’ala Dzat yang Maha Agung yang kekuasaan-Nya meliputi langit dan
bumi serta isinya yang membukakan jalan yang terang pada penulis sehingga
dapat merampungkan makalah ini. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa
keberhasilan penulis menuntaskan mata kuliah Akhlaq Tasawuf dengan
sebuah karya berbentuk makalah sederhana ini merupakan bentuk campur
tangan dari Allah SWT berupa Rahmat, Taufik, dan Hidayah-Nya. Untaian
salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu
Alayhi Wasallam Nabi yang telah mengantarkan ilmu dan pengetahuan bagi
kita manusia sehingga dapat mengantarkan manusia menuju jenjang
kehidupan yang lebih mulia. Salawat juga disampaikan kepada para keluarga,
para sahabat dan orang-orang yang tetap istiqomah dijalan-Nya.
Penulisan makalah yang berjudul “Pemikiran Imam Aabu Yazid Al
Bustami”. ini tidak lepas dari bimbingan Bapak Muchamad Toif Chasani,
M.A selaku dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf.
Dengan penuh pengharapan, semoga penulisan makalah ini bisa
memberikan manfaat bagi penulis khususnya, semua pembaca pada
umumnya, Penulis ucapkan banyak terimah kasih dan semoga diberikan
balasan berupa kebaikan dari Allah Subhanahuwata’ala.

Jazakillah khairal jazaa

Takengon, 12 Juni 2023


Sisma Heriana

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan Penulisan................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
A. Biografi Abu Yazid al-Bustami..........................................................3
B. Faham al-Fana’ dan al-Baqa’.............................................................5
C. Konsep Ittihad.....................................................................................8
D. Karya-karya Abu Yazid Al-Bustami..................................................14

BAB III PENUTUP.........................................................................................15


A. Kesimpulan.........................................................................................15
B. Saran...................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai
yang cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan
kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai
perkembangan pemikiran keislaman melalui data-data yang dihasilkan oleh
para pemikir terdahulu (ulama terdahulu) menjadi sesuatu yang mutlak harus
terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah
tersebut pun sangat beragam dan diantara tema yang cukup dominan serta telah
banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.
Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa tasawuf merupakan aspek
esoteric atau aspek batin yang harus dibedakan dari aspek eksoterik atau aspek
lahir dalam islam. Tasawuf adalah istilah yang khusus dipakai untuk
menggambarkan mistisesme dalam islam, adapun tujuan tasawuf adalah
memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan tuhan, sehingga dirasakan
benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya, yang intisarinya adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan
tuhan dengan mengasingkan diri.
Dalam islam kita mengenal dua aliran tasawuf, pertama, aliran tasawuf
falsafi, dimana para pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil
(syatahiyyat), serta bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang
terjadinya penyatuan antara hamba dengan tuhan. Kedua, aliran tasawuf amali,
dimana para penganutnya selalu memagari tasawuf dengan timbangan syariat
yang berlandaskan al-quran dan as-sunnah, serta mengaitkan keadaan dan
tingkat rohaniah mereka dengan keduanya. Dan ada juga yang membaginya
menjadi tiga yaitu: tasawuf akhlaqi, tasawuf irfani, dan tasawuf falsafi.
Diantara para sufi yang menganut aliran tasawuf irfani adalah sufi yang
terkenal dengan konsep fana, baqa, dan al-ittihad yang kita kenal dengan nama
Abu Yazid Al-Bustami.

1
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan biografi Abu Yazid al-Bustami?
2. Jelaskan faham al-fana’ dan al-baqa’?
3. Jelaskan konsep ittihad?
4. Jelaskan karya-karya Abu Yazid Al-Bustami?

C. Tujuan Makalah
1. Bisa memahami biografi Abu Yazid Al-Bustami.
2. Bisa memahami pengertian dari Al-fana’ dan Al-baqa’.
3. Bisa memahami konsep dan pengertian ittihad.
4. Bisa mengetahui dan memahami karya-karya Abu Yazid Al-Bustami.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Abu Yazid al-Bustami


Sufi Persia yang satu ini merupakan salah satu di antara generasi pertama
kaum sufi yang berperan penting dalam membangun sistematika sejarah
tasawuf. Nama lengkapnya yakni Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami.
Dia lahir sekitar tahun 200H/814M di Bustam, timur laut Persia. Di Bustam
pulalah ia meninggal pada tahun 216H/875M. Dan makamnya masih ada
hingga saat ini. Makammya yang terletak di tengah kota menarik banyak
pengunjung dari berbagai tempat.
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam
menurut madzhab Hanafi. Abu Yazid adalah seorang Zahid yang terkenal.
Baginya Zahid itu adalah seseorang yang menyediakan dirinya untuk hidup
berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase yaitu Zuhud
terhadap dunia, Zuhud terhadap akhirat, Zuhud terhadap selain Allah.
Sebagai master mistik yang tidak ingin dipuja dan dikenal oleh banyak
orang, terutama bila dilihat dari sebagian perilakunya yang masuk dalam
kategori Malamatiyah (kelompok yang suka mencela diri sendiri). Abu Yazid
adalah seorang sufi yang membawa ajaran berbeda dengan ajaran-ajaran
tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya benyak bertentangan dengan para
fuqaha sehingga berimplikasi keluar masuk penjara. Namun demikian ia
mempunyai banyak pengikut yang mana para pengikutnya menamakan diri
Taifur.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang
sebagai pembawa faham fana’ dan Baqa’ serta sekaligus pencetus paham al-
Ittihad. Dan A.J. Arberry menyebutnya sebagai first of the intoxicated
sufis (Sufi pertama yang mabuk kepayang).
Pada umur 10 tahun Abi yazid mulai mengembara dalam mencari ilmu
dan memilih hidup sebagai seorang sufi. Ia berkelana ke berbagai daerah
selama 30 tahun. Sepanjang pengembaraannya, ia banyak belajar kepada guru-

3
guru mistik, dan selalu selektif dalam mencari pembimbing spiritualnya.
Begitu pentingnya kedudukan seorang guru bagi Abu Yazid al-Bustami.
Pada usia 40 tahun ia mulai kembali ke daerah asalnya dan mulai
memberikan pengajaran spiritual kepada para pengikutnya. Banyak nama-nama
sufi yang melakukan kontk dengannya, mulai dari Abu Musa al-dyabuli,
Ahmad bi Khadruyah, Dhu al-Nun al- Misri, tetapi yang paling menjadi
sorotan adalah ketika Abu Yazid berguru pada Abu Ali al-Sindi. Yang mana
menurut salah seorang peneliti bahwa faham tentang fana’ ialah berasal dari
Abu ali al-Sindi. Kejadian ini pula membuat sejumlah orientalis beranggapan
bahwa ajaran Abu Yazid itu terpengaruh oleh ajaran mistik-filsafat Hinduisme
India dan teks suci Vedenta-nya, sebab Abu Ali al-Sindi berasala dari kawasan
yang amat kental dengan ajaran filasaf kuno tersebut.1
Sebagai seorang figur yang mendapat kritik dari kalangan lahiriyah-
literalisme, Abu Yazid sebetulnya adalah seorang sufi yang tekun dalam
menjalankan sariat bukan seperti yang dijelaskan didepan bahwa ia
mempelajari fiqih bermadzab Hanafi, berdedikasi moral yang tinggi, dan
mengagumi pribadi Nabi Muhammad SAW. Abu Yazid tidak meninggalkan
sebuah tulisan, tetapi para pengikutnya yang mengumpulkan ucapan dan
ajaran-ajarannya.2
Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada didaerahnya tetapi
ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, konon
kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata baha ketika
dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau
menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Abu Yazid Al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang membawa paham
yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi
sebelumnya. Ajaran tasawuf yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama
fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara. Abu Yazid
meninggal di Bustam pada tahun 261 H/875 M.
1
Aun Falesten. Tasawuf Falsafi Persia dimasa Islam klasik.(Surabaya: Dakwah Digital
Press, 2007), hal.92-93
2
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf. (Solo: Ramadhani, 1984), hal.259

4
B. Faham al-Fana’ dan al-Baqa’
Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan
Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami, yang sekaligus pembawa
ajaran fana’ dan baqa’. Faham ini merupakan peningkatan dari
faham ma’rifah dan mahabbah. Irfan Abd al-Hamid Fattah mengatakan bahwa
dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa
arah timbulnya aliran “ kesatuan wujud “ atau ittihad. Perkembangan ajaran
Tasawuf ini digambarkan oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh.
Lalu sampailah pada abad ke-3 orang membicarakan latihan rohani, yang
dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad ke-2 ajaran
sufi merupakan kezuhudan (asketisme), dalam abad ke-3 ini orang sudah
meningkat kepada wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistisme). Orang sudah
ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan, fana fil mahbub, brsatu
dengan Tuhan, liqa’, dan menjadi satu dengan Dia, ‘ainul jama’ sebagai mana
yang diucapkan oleh Abu Yazid Bustami.3
Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan (ittihad),
ia harus terlebih dahulu dapat melenyapkan kesadarannya melalui fana’.
Pelenyapan kesadaran diri itu dalam khasanah sufi itu diiringi dengan baqa’.
Secara lugawi atau estimologis, fana’ berarti hancur, lebur, musnah,
lenyap, hilang atau tiada. Sementara baqa’ berarti tetap, kekal, abadi, atau
hidup terus (kebalikan dari fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua
dan dalam arti bahwa adanya fana’ menunjukan adanya baqa’.4
Hal ini memang dapat dilihat dari faham-faham sufi sebagai berikut:
a. Jika kejahilan dari seseorang hilang (fana’), yang akan tinggal (baqa’) ialah
pengetahuannya.
b. Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah
takwanya.
c. Siapa yang menghancurkan sifat-sifat buruk, tinggal baginya sifat-sifat baik.

3
Aboebakar, Pengantar Sejarah,...hal.57
4
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994),
hal.152

5
d. Siapa yang meninggalkan sifat-sifatnya, ia akan mempunyai sifat-sifat
Tuhan.5
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’an
al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’an al-nafs ialah hancurnya perasaan
atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitar.
Sehubungan dengan hal itu al-Qusyairi mendefiniskan fana’ sebagai berikut :
Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain terjadi dengan hilangnya
kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya
tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada
mereka dan pada dirinya.
Dr. Ibrahim Basyuni setelah mengumpulkan beberapa definisi, ia
merumuskan pengertian fana’ ini sebagai berikut : Fana’ialah kondisi batin
yang merasakan hilangnya hubungan seseorang dengan alam dan bahkan
dengan dirinya sendiri, tanpa hilangnya sifat-sifat kemanusiaannya.
Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana’ kata
Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan semuannya dapat diringkas
sebagai berikut:
a. Transformasi moral yang dicapai melalui pengendalian nafsu dan keinginan
b. Abstraksi mental pada seluruh objek persepsi, pemikiran, tinbdakan, dan
perasaan yang kemudian memusatkan pikiran pada Tuhan.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana’yang
tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentang fana’ itu sendiri juga
hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal fana’dalam kefana’an atau
lenyapnya kesadaran tetang tiada.6
Selanjutnya kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah lenyaplah
kesadaran diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa’yang
artinya berkesinambungan dalam Tuhan.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana’ ini, materi manusia
tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya
5
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hal.80
6
Asmaran, Pengantar Studi,... hal.154-155

6
kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan
eksistensi jasad kasarnya.
Abu yazid yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama
yang membawa faham fana’ dan baqa’ ini mengartikan fana’ sebagai
hilangnya kesadaran aksistensi diri pribadi (al-fana an al-nafs) sehingga ia
tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia. Kesadarannya
menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan wujudNya. Lebih
jelas paham ini tersimpul dalam kata-katanya : “Aku tahu pada Tuhan melalui
diriku, hingga aku hancur, kemudia aku tahu padaNya melalui dirinNya maka
akupun hidup.” Dan katanya pula: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga
aku mati, kemudian Ia membuat aku gila padaNya dan akupun hidup. Aku
berkata: gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padaMu adalah kelanjutan
hidup.” 7
Jadi kalau seorang sufi telah mencapai al-fana’ an al-nafs, yaitu kalau
wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi), maka yang
akan tinggal ialah wujud rohaninya, dan ketika itu dapatlah ia “bersatu” dengan
Tuhan. Dan kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah
tercapainya al-fana an al-nafs.
Dalam konsep fana’ ini al-Qusyairi menguatkan dengan sebuah ilustrasi
sebagai berikut: barangkali anda pernah melihat seseorang datang menemui
seorang penguasa atau seorang yang berpengaruhpada saat seperti itu, orang
tersebut terkadang lupa terhadap dirinya dan orang-orang yang ada
disekitarnya, karena perasaan yang bergejolak yang dialaminya, sehingga kalau
ditanya setelah ia keluar dari pertemuan itu dan gejolak dalam dadanya telah
mereda serta dirinya telah tenang dia tidak bisa cerita tentang apa yang
dialaminya.
keadaan seperti yang digambarkan diatas dikuatkan oleh al-Qusyairi
dengan ayat Alquran. Beliau berkata Allah SWT berfirman : maka tatkala

7
Harun, Filsafat dan Mistisme,...hal.81

7
wanita –wanita itu melihatnya mereka kagum pada ( keelokan rupa)-Nya. Dan
mereka melukai (jari) tangannya sendiri.8
fana’ menurut kalangan sufi adalah karunia Allah sebagai pemberian
kepada hambanya. Fana’ tersebut tidak bisa diperoleh lewat usaha atau latihan.
Al-Kalabazi juga menegaskan: “seseorang yang mengalami
keadaan fana’ bukanlah disebabkan hilangnya kesadaran (pingsan), bukan
karena kebodohan dan bukan pula sirnanya sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya
sehingga dia menjadi malaikat atau seorang spiritualis, tetapi fana’ dari
penyaksian akal hal-hal yang berkenan dengan dirinya.” dengan demikian,
keadaan fana’ yang dialami seseorang tidaklah menyebabkannya dapat
menanggalkan kewajiban agama. Karena itu dapatlah dipahami mengapa al-
Thusi dalam kitabnya al-Luma’ memperingatkan bahaya yang mungkin timbul
dari keadaan fana’, yaitu antara lain adanya anggapan bahwa kefanaan adalah
kefanaan sifat-sifat kemanusiaan dan dia bersifatkan dengan sifat-sifat
ketuhanan; padahal sifat kemanusiaan tidak dapat sirna dari manusia.

C. Konsep Ittihad
Konsep ittihad ini merupakan imbas dari konsep sebelumnya
yaitu fana’ dan baqa’ sebagai mana telah diuraikan diatas.
Ittihad ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat sufi bahwa
jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi. Atau dengan kata lain, ”Aku” nya
manusia itu adalah pancaran dari yang Mahasa Esa. Siapapun yang bisa
membebaskan diri dari alam lahiriahnya atau mampu meniadakan kepribadian
dari kesadaranya, maka dia akan mendapat jalan menuju sumber yang
asal. Pengertian ittihad sendiri dalam sudut pandang etimologi yaitu persatuan.
dalam kamus sufisme berarti persatuan antara manusia dengan Tuhan.9
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihad ialah
satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu

8
Asmaran, Pengantar Studi,... hal.157
9
Asmaran, Pengantar Studi,... hal.158

8
dengan Tuhan: suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang
bersangkutan, karena fana’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara
dengan nama Tuhan.
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan
ajaran fana’ dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan. Pengalaman
kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya
dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia
berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku
menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu
kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku
dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku,
mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka
lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.Puncak pengalaman kesufian
al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut: “Tuhan
berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku.
Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah
Engkau.”10
Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu.
Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab,
Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu.
Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”Dalam
ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah
mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu.
Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu
Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah

10
Asmaran, Pengantar Studi,... hal.160

9
Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau
diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada
Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan
karena ucapannya membingungkan golongan awam.
Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai
Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah
Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses
Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan
melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya
yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia
tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia
yang dilihat.
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan,
namun perkataannya menimbulkan berbagai tanggapan. At-Thusi mengatakan:
Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan
intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang Sufi yang
sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam qalbunya
dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh
pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi sedang
Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan
sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan
sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an
adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan.
Terlepas dari semua itu, hal yang paling utama dan mungkin bisa
membebaskan Abu Yazid dari justifikasi negatif yang ditimpakan padanya
adalah bahwa ungkapan Syatahat itu hanya muncul ketika Abu Yazid sedang
dalam keadaan “mabuk ilahi”; tidak sadar dan terjebak dalam
situasi fana’. Karena itu, tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi

10
pertama yang berhasil mengoperasikan gagasan fana’ dalam sistematika ajaran
tasawufnya.11
Sejauh yang tampak dari ucapan eksperimental itu, terlibat fase bertahap
yang dialami Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah. Akan tetapi yang
paling dramatis adalah beritanya yang menyebutkan jika ia sudah pernah
terbang tinggi (Mi’raj) menuju keharibaan Allah. Mengenai hal yang satu ini,
Abu Yazid adalah sufi pertama yang memvisualisasikan pengalaman
spiritualnya dalam tajuk mi’raj, yakni sebuah perjalanan surgawi yang dahulu
juga pernah dilakukan Nabi Muhammad.
Diceritakan Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan surga, menolak
segala tawaran hadiah yang ada di dalamnya, dan hanya berkeinginan untuk
bertemu Allah SWT. Ia mengutarakan pengalamannya ini: “... dan ketika Allah
sepenuhnya mengetahui ketulusanku bahwa aku hanya ingin bertemu dengan-
Nya, maka ia memanggilku, Mari, datanglah mendekat pada-Ku. Lihatlah
dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di atas karpet kesucian-
Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku. Kamu adalah pilihan-Ku,
kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus”. Mendengar perkataan-Nya
itu, aku merasa seakan-akan meleleh seperti timah yang sedang mencair.
Lantas Dia memberiku minuman dari mata air kasih sayang-Nya dalam sebuah
cangkir keakraban. Lalu membawaku ke dalam kedaan yang tidak bisa ku
gambarkan. Dia membawaku mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga
lebih dekat daripada jiwa dengan sebatang tubuh”.
Pengalaman mi’raj ini dijadikan Abu Yazid sebagai sufi yang paling
unik dan eksentrik untuk ukuran masanya, bahkan sesudahnya. Bersamaan
dengan hal itu, puncak dari segala kontroversial Abu Yazid tentu saja adalah
keluarnya sejumlah syatahat dari mulutnya. Sejumlah kalangan kemudian
mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu Yazid sebagai bentuk persatuan
(Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.
Abu Yazid dilaporkan pernah berkisah di suatu kesempatan, Ia
mengangkatku ke atas, menempatkanku di depan-Nya, dan berkata kepadaku:

11
A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, ..., hal.340

11
“Wahai Abu Yazid, makhluk ciptaan-Ku pasti akan senang untuk mencarimu.”
Lalu aku berkata: “Hiasilah aku dengan sifat tunggal-Mu (Wahdaniyah),
pakaianilah aku dengan subjektifitas-Mu (Ananiyah), dan bawalah aku menuju
keesaan-Mu (Ahadiyah), sampai kelak ketika ciptaan-Mu melihatku, maka
mereka akan berkata, “Kami sudah melihatmu,” padahal Engkaulah yang ada
di situ, dan aku tidak berada dihadapan mereka”.
Atau sebagaimana yang terjadi di lain waktu, tentang Abu Yazid yang
sedang kedatangan tamu. “Seseorang mendatangi Abu Yazid dan mengetuk
pintu rumahnya. Abu Yazid bertanya, “Siapakah yang hendak kau cari?” Orang
itu menjawab, “Abu Yazid”. Abu Yazid lantas menyahut, “Pergilah, di rumah
ini tidak ada Abu Yazid; yang ada dalam jubah ini hanyalah Allah SWT.
Ia juga berkata; “Maha suci aku, Maha suci aku (Subhani, Subhani)
alangkah agungnya kebesaranku. Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada
lagi Tuhan selain aku; maka menyembahlah kepadaku”.
Abu Yazid juga memberikan pesan tentang kedudukan fana’; “Tidak ada
hal yang lebih baik bagi seorang manusia daripada menjadi ‘tidak ada’, tanpa
asketisme, tanpa teori, dan tanpa praktek. Ketika seseorang tanpa semuanya,
maka sebenarnya ia dengan semuanya.”
“Makhluk hanyalah sebuah subjek menuju keadaan, tapi orang yang
memilih menjadi gnostik tidaklah memiliki keadaan, sebab bekasnya telah
terhapus dan indivualitanya sudah melebur dalam individualitas yang lain.
Jejaknya juga ditutupi dengan jejak yang lain.”
Sepertinya sudah ada hal yang lumrah bila syatahat itu kemudian hanya
bisa terjadi pada sufi yang sudah tidak mengenali dirinya sendiri. Abu Yazid
bisa sampai pada ‘stasiun’ ini dikarenakan ia telah melenyapkan dirinya hingga
untuk sementara waktu ia sanggup mencapai dunia kesatuan antara dia dengan
Allah. Kesatuan yang dialaminya tentu hanya bersifat rohaniah semata.
Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar tentu tidak bisa dikenakan
hukum atas segala perkataannya. Ketidak sadaran atau fana’menjadi basis yang
sangat penting dalam memahami kemunculan syatahat sehingga substansi
kekontroversialannya sebetulnya bermuara dari ketidakmampuan seorang sufi

12
untuk mengedalikan dirinya, karena dirinya tersebut telah menjadi tidak ada.
Kondisi ini sering diiliustraasikan dengan air yang bervolume banyak, tetapi
mengalir dalam sungai yang sempit. Sebagai efeknya tentu terjadi luapan air
yang menggenang ke sejumlah tempat.
Akibat ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai
keluarnya syatahat itu bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan sabda
Allah yang disuarakan melalui perantara lidah Abu Yazid. Abu Yazid telah
mempraktekkan hampir 35 tahun untuk bersikap zuhud dan belajar membumi-
hanguskan kepribadiannya. Layaknya seekor ular yang melepaskan kulit
luarnya, sehingga yang tersisa seakan-akan yang tersisa dalam dirinya hanyalah
pengaruh Tuhan yang senantiasa menggerak-gerakkan kadar kemauannya.
Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang
sedang ditiup oleh nafas Tuhan. Tuhanlah yang memainkan nada-Nya sendiri.
Saat Abu Yazid berteriak, Subhani maka hal itu merupakan perkataan Tuhan
melalui dirinya. Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan agaknya menjadi
perhatian khusus tatkala sebagian kalangan menganggap kondisi seperti itu
adalah puncak dari segala perjalanan spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila
memperhatikan maqam fana’ yang dialami Abu Yazid sehingga sanggup
terbang menuju keharibaan Tuhan.
Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan
tidak sadar (fana’), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap
munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu. sebab ada juga riwayat yang
menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu, Abu Yazid
lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam situasi itu
dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan
tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian
dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam pengakuannya,
“Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami sesuatu selain
Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.”

13
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola
dan sikap misktik Abu Yazud yang tidak lagi bisa dikategorikan pada arus
kelompok ’sufi mabuk’ (sukr); tidak juga menganggap petualang teofaniknya
sebagai legenda yang paling agung.

D. Karya-karya Abu Yazid Al-Bustami


Abu Yazid tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan
sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pemahaman tasawufnya yang
disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawuf
klasik, seperti ar-risalah al-qusyairiyyah, tabaqat as-sufiyyah, kasyf al-
mahjub, tazkirah al-auliya, dan al-luma. Di antara ungkapannya disebut oleh
kalangan sufi dengan istilah satahat, yaitu ungkapan sufi ketika berada dipintu
gerbang ittihad (kesatuan dengan Allah SWT). Ucapan dan ungkapannya yang
digolongkan satahat adalah seperti berikut:
“maha suci aku, alangkah agung kebesaranku.”
“tiada tuhan selain aku, maka sembahlah aku.”
“aku adalah engkau, engkau adalah aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu,
Abu Yazid bertanya, “siapa yang engkau cari?” orang itu menjawab, “Abu
Yazid’, Abu Yazid baerkata. “pergilah, dirumah ini tidak ada, kecuali Allah
yang maha kuasa dan mahatinggi.”
Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid atau yang juga dikenal
Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai tuhan dan atau sama dengan
tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya
aku adalah engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog yang
terjadi sebenernya adalah monolog. Kata-kata itu adalah firman tuhan yang
disalurkan melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.

BAB III
PENUTUP

14
A. Kesimpulan
1. Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami lahir sekitar tahun 200H/814M
di Bustam, timur laut Persia. Di Bustam pulalah ia meninggal pada tahun
216H/875M. sejarah perkembangan tasawuf Abu Yazid dipandang sebagai
pembawa faham fana’ dan Baqa’ serta sekaligus pencetus paham al-Ittihad.
2. Irfan Abd al-Hamid Fattah mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan
tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “
kesatuan wujud “ atau ittihad.
3. Secara lugawi atau estimologis, fana’ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap,
hilang atau tiada.
4. baqa’ berarti tetap, kekal, abadi, atau hidup terus (kebalikan dari fana’).
5. Al-Kalabazi juga menegaskan: “seseorang yang mengalami
keadaan fana’ bukanlah disebabkan hilangnya kesadaran (pingsan), bukan
karena kebodohan dan bukan pula sirnanya sifat-sifat kemanusiaan dari
dirinya sehingga dia menjadi malaikat atau seorang spiritualis,
tetapi fana’ dari penyaksian akal hal-hal yang berkenan dengan dirinya.”
6. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihad ialah satu
tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan
Tuhan: suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu.

B. Saran
Segala puji bagi Allah,dengan kekuatan dan kekuasaan yang di
anugerahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini
dengan segala kekurangan. Akhirnya penulis sadar bahwa dalam penulisan
dan penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan.maka
saran dan keritik yang akan membangun sangat penulis harapkan. Demi
memberikan manfaat bagi perkembangan khasanah keislaman dimasa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

15
AS, Asmaran. 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Atjeh, Aboebakar. 1984. Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf. Solo: Ramadhani.
Falesten, Aun. 2007. Tasawuf Falsafi Persia dimasa Islam klasik. Surabaya:
Dakwah Digital Press
Nasution, Harun. 1973. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Rif’i, A. Bachrun dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf.

16

Anda mungkin juga menyukai