TASAWUF
NIM : 193042025
Penulis
A. PENDAHULUAN.
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama
islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad SAW diutus Rasulullah
untuk segenap ummat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul
telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira
disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang
sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Juga Muhammad
berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa
noda-noda yang menghingapi masyarakat pada waktu itu. (Muhammad
Fauqi H, 2013: 7 ).
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan
untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh
liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh
petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat
kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi
yang sedemikianlah Muhammad Menerima wahyu dari Allah SWT yang
penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk
ummat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Segala pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat Muhammad
sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul meruapakan manifestasi dari
kebersaihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah menjadi pembawaan
sejak kecil
Dengan turunnya wahyu yang pertama pada tanggal 17 Ramadhan atau
16 Agustus 571 M, berarti nabi Muhammad SAW telah diangkat dan
diutus
menjadi Rasul untuk mengembangkan amanat Allah dan menyelamatkan
ummat manusia dari lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai
kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Demikian juga wahyu yang
diturunkan itu Rasulullah dapat membenahi masyarakat Arab Jahiliyah
menjadi masyarakat yang maju sesuai dengan perkembangan peradaban
dan kebudayaan manusia.
Adapun tentang sumber-sumber yang menjadi landasan tasawuf Islam
itu terdapat bermacam-macam pendapat. Diantaranya ada yang
menyatakan
bahwa sumber tasawuf islam adalah dari ajaran Islam itu sendiri. Selain itu
pula ada yang berpendapat bahwa sumber tasawuf itu berasal dari persia,
Hindu Nasrani dan sebagainya. (Syamsun Ni'am, 2014: 122).
Orientalis Messignon dalam “Encyclopedie de Islam” berkata tentang
sumber tasawuf bahwa :”ulama-ulama Islam masih bersimpang siur dalam
memecahkan dan mencari sebab-sebab terjadinya perselisihan besar dalam
bidang Aqidah islam diantara pelbagai mazhab didalam Islam, yaitu antara
mazhab tasawuf dan mazhab ahli Sunnah wal-Jama`ah”. Menurut
penadapat merx :”Tasawuf merupakan aliran yang datang kedalam islam
yang berasal dari pendeta-pendeta Syam. Menurut Jones, tasawuf islam itu
berasal dari Filsafat Neo Platonisme atau berasal dari agama Zoroaster
Persia atau agama Hindu. Tentang tasawuf Islam itu berorientasi R.A
Nicholson menjelaskan sebagai berikut : “Menetapkan tasawuf Islam
merupakan import ke dalam Islam, tidaklah dapat diterima, yang
sebenarnya ialah kita melihat sejak lahir agama Islam, bahwa bibit berfikir
seperti dasar-dasar tasawuf itu ada yang telah tumbuh didalam hati setiap
keluarga Jama`ah Islam yaitu sewaktu orang islam itu sedang membaca
Al-Qur`an dan Hadist Nabinya”. (Harun Nasution,1990:58).
Dari pendapat-pendapat tersebut diatas jelas adanya perbedaan
pandangan tentang sumber tasawuf Islam itu, namun demikian dapat
dinyatakan bahwa para orientalisten yang kurang jujur berpendapat bahwa
tasawuf Islam itu berpendapat bahwa islam itu sendiri sudah ada
benihbenih
untuk tumbuh dan berkembang sesudah disemaikan didalam lubuk hati
setiap muslim, karena tidak dapat dipungkiri lagi ajaran yang menyatakan
bahwa: Islam itu tinggi dan tidak ada yang dapat mengatasinya,” dengan
pengertian lain dapat ditegaskan bahwa kemurnian ajaran islam itu benar-
benar mengandung nilai-nilai kerohanian yang menjadi sumber akhlak
bagi setiap muslim, terutama bagi para sufi yang senantiasa berusaha
membersihkan hati dan mensucikan jiwa mereka dan berhias dengan
perangkai terpuji serta menjauhkan diri dari perangai tercela. (Harun
Nasution,1990:58).
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa sumber dan landasan
tasawuf
islam itu sendiri, tetapi dalam perkembangan selanjutnya mendapat
pengaruh dari luar islam. Tasawuf Islam itu dalam perkembangannya
mempunyai unsurunsur yang jauh. Unsur yang dekat dan unsur-unsur yang
jauh. Unsur yang dekat ialah Al-Quran, Hadist, Sirah Nabi, Sirah
Khulafaurrasyidin, Struktur Sosial dan Firqah-firqah sedangkan unsur jauh
ialah pengaruh agama Nasrani, yahudi, budha dan Persia.
B. PEMBAHASAN
1. Sejarah perkembangan tasawuf dan fase-fasenya
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami
beberapa fase, yaitu: Pada abad pertama dan kedua hijriah, yaitu
fase asketisme (zuhud). Sikap ini banyak dipandang sebagai
pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu-
individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya
pada ibadah dan tidak mementingkan makanan, pakaian,
maupun tempat tinggal. (Muhammad Fauqi H , 2013: 17).
Tahap pertama, tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian
yang masih sangat sederhana. Yaitu, ketika pada abad ke-1 dan
ke-2 H, sekelompok kaum Muslim memusnahkan perhatian
memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah
untuk mengejar keuntungan akhirat Mereka adalah, antara lain:
Al-hasan Al-Basri (w. 110 H) dan Rabi`ah Al-Adawwiyah
(w.185 H) kehidupan “model” zuhud kemudian berkembang
pada abad ke-3 H ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-
aspek teoritis psikologis dalam rangka pembentukan prilaku
hingga tasawuf menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan.
Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong lahirnya
pendalaman studi
psikologis dan gejala-gejala kejiwaan yang lahir selanjutnya
terlibat dalam masalah-masalah ini berkaitan langsung dengan
pembahasan mengenai hubungan manusia dengan Allah SWT.
Sehingga lahir konsepsi-konsepsi seperti Fana`, terutama Abu
Yazid Al-Busthami (w. 261 H)
Dengan demikian, suatu ilmu khusus telah berkembang
dikalangan kaum sufi, yang berbeda dengan ilmu fiqh, baik dari
segi objek, metodologi, tujuan, maupun istilah-istilah keilmuan
yang digunakan. Lahir pula tulisan-tulisan antara lain : Al-
Risalah Al-Qusyairiyyah karya Khusairi dan `Awarif Al-
Ma`arif karya AlSuhrawardi Al-baghdadi. Tasawuf kemudian
menjadi sebuah ilmu setelah sebelumnya hanya merupakan
ibadah-ibadah praktis.
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku
tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau
ilmu akhlak keagamaan. Pada masa ini tasawuf identik dengan
akhlak (berkembang ± satu abad). Pada abada ketiga hijriah,
muncul jenis – jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkan
pemikiran yang eksekutif yang diwakili oleh AL-Hallaj yang
kemudian dihukum mati karena menyatakan pendapatnya
mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi Al-Hallaj mengalami
peristiwa naas seperti ini karena paham hululnya ketika itu
sangat
kontraversional dengan kenyataan di masyarakat yang tengah
mengandrungi tasawuf akhlaqi. (Samsul Munir Amin, 2015:
209).
Dari sisi lain, pada abad ke-3 dan ke-4 muncul tokoh-
tokoh tasawuf seperti Al-Juanid dan Sari Al-Saqathi serta
Al-Kharraz yang memberikan pengajaran dan pendidikan
kepada para murid dalam sebuah bentuk jamaah. Untuk
pertama kali dalam islam terbentuk tarekat yang kala itu
merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan
berbagai pengajaran teori dan praktik kehidupan sufisfik,
kepada para murid dan orang orang yang berhasrat memasuki
dunia tasawuf. Demikian juga ajaran tasawuf
al-Suhrawardi, pendiri mazhab isyraqiyyah yang memaklumkan
dirinya sebagai seorang nabi yang menerima limpahan nur Illahi
dan berakhir dengan fatwa ulama bahwa dia adalah seorang
kafir yang halal darahnya. Lalu dia digantung di Aleppo pada
tahun 587 H dalam usia 38 Tahun. Demikian pula halnya
dengan Ibn Sab`in yang telah mengambil jalan pintas dengan
membunuh diri karena serangan para ulama yang sangat gencar
terhadap ajaran tasawuf yang diajarinya. Tidak sedikit pila para
ulama yang membantah ajaran tasawuf Ibn Arabi yang
mengajar paham pantheisme bahwa Tuhan dan alam merupakan
suatu kesatuan yang dipisahkan. Perbedaannya hanya pada
nama, sedangkan pada hakikat adalah satu.
Dengan banyaknya ajaran yang menyimpang dari syari`at,
maka ilmu tasawuf pada akhirnya mengalami kemunduran yang
luar biasa sehingga berakhir dengan kehilangan peranannya
dalam ilmu-ilmu Islam dan telah berubah wujudnya dalam
bentuk pengalaman tarikat yang tidak membawa sesuatu yang
baru dalam ajaran kerohanian Islam selain dari pengagungan
para guru atau mursyid serta warisan ajaran yang mereka terima
Pada abad ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil menentang jenis-
jenis tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran
dan Sunnah dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf
kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan
jiwa pembentukan moral. Pemikiranpemikiran yang
diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat
sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya.
Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran
filsafat, pemikiran-pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan
bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi
tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran
teologis Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. (Samsul Munir Amin,
2015: 233).
Dalam orientasi umum dan rincian-rinciannya yang
dikembangkannya berbeda dengan konsepsi disebut tasawuf
Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz minAl-
Dhalal, sebagai berikut: pertama, Sejak tampilnya Al-
Ghazali ,pengaruh tasawuf Sunni mulai menyebar di Dunia
Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang
membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh
Akhmad Al-Rifa`I (w.570 H) dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-
jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf
Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara
lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan Al-
Syadzili (w.650 H) dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi
(w.686 H), serta Ibn
Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H). model tasawuf yang
mereka kembangkan ini adalah kesinambungan tasawuf Al-
Ghazali; Kedua, Pada abad ke enam hijriah , sebagai akibat
pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh
tasawuf sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia.Pada
abad ke enam Hijriah,muncul sekelompok tokoh tasawuf yang
memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori
mereka yang bersifat setengah-setengah . diantara mereka
terdapat Syukhrawardi AL-Maqtul (w.549 h), syeikh Akbar
Muhyiddin Ibnu Arabi (w.635 h) dan sebagainya.
2. MACAM-MACAM TASAWUF.
Jenis tasawuf menurut perkembangannya zaman ke zaman
terbagi menjadi dua, yakni:
a) Tasawuf Sunni.
Tasawuf Akhlaqi disebut juga Tasawuf Sunni. Tasawuf
ini menitik beratkan pada perbaikan akhlak atau moral
pada diri seseorang. Orientasinya adalah untuk mencari
hakikat kebenaran yang dapat mengantarkan manusia
untuk mencapai tingkatan ma’rifat. Ma’rifat adalah
bersatunya manusia dengan Allah dengan metode
tertentu yang telah ditetapkan. Tasawuf akhlaqi ini juga
banyak dikembangkan oleh para Ulama Salafussalih.
(Samsul Munir Amin, 2015: 2).
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya”. (QS Asy Syams : 7-8)
Dari ayat di atas dijelaskan bahwa manusia memiliki
potensi untuk berbuat baik dan potensi berbuat buruk.
Potensi untuk berbuat baik adalah Al Aql dan Al Qalb.
Potensi untuk berbuat baik disebut dengan Nafsu yang
dibantu dibisikkan keburukannya oleh Setan yang tiada
henti menggoda manusia.
Menurut para sufi, untuk masuk kepada tasawuf tentu
membutukan mental dan juga aspek lahiriah yang siap.
Pada awal memasuki tasawuf, maka seseorang harus
berkonsentrasi agar dapat menghindarkan diri dari
akhlak buruk atau tercela (mazmumah) dan terus
konsisten mewujudkan akhlak yang baik yaitu
mahmudah. (Samsul Munir Amin, 2015: 332).
Ajaran ini, menurut para sufi, melatih manusia untuk
dapat menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu
bagkan sampai pada mematikan hawa nafsu jika
memungkinkan. Tentu saja membutuhkan pelatihan dan
pembiasaan yang ketat.
Para Sufi yang mengembangkan ajaran tasawuf ini
diantaranya adalah Hasan al-Basri (21 H – 110 H), Al-
Muhasibi (165 H – 243 H), AlQusyairi (376 H – 465 H),
Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir alJilani
(470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Gajali
(450 H – 505 H), Ibnu Atoilah As-Sakandari. (Samsul
Munir Amin, 2015: 141).
Pelaksanaan ajaran tasawuf tentu saja tidak bisa
dilakukan hanya satu atau dua kali untuk mencapai
proses tertinggi, yaitu tujuan mendapatkan ma’rifat.
Proses ini dilakukan agar akhlak baik atau mahmudah
selalu melekat kepada manusia. Akhlak tercela dan
buruk lainnya akan hilang dan tidak mengusik atau
mengganggu jiwa manusia yang suci.
Jiwa yang buruk atau dipenuhi akhlak tercela tentu
akan
memudahkan nafsu manusia semakin banyak
mendorong untuk melakukan hal hal yang buruk. Untuk
itu, kesucian jiwa harus dipenuhi dan terus dipupuk.
Berikut adalah proses atau langkah untuk mendapatkan
tujuan dari
tasawuf akhlaqi.
Takhali adalah proses awal yang dilakukan oleh sufi.
Aktivitas Takhali ini adalah usaha untuk mengosongkan
diri manusia dari perilaku yang tercela. Salah satu
akhlak tercela yang disoroti oleh tasawuf adalah
kecintaan manusia yang berlebihan terhadap urusan
duniawi, hingga melalaikan pada kesucian jiwa dan
kesiapan untuk kembali kepada Allah. Takhalli berbeda
dengan Tahalli. (M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, 2002:
259).
Tahalli adalah proses untuk mengisi dan menghiasi
diri manusia dengan pembiasaan perilaku dan akhlak
yang baik. Proses ini dilakukan oleh para sufi dengan
mengosongkan jiwanya dari segala akhlak yang buruk.
Mereka menjalankan ketentuan agama dengan
mengintegrasikan ke dalam dan keluar dirinya. Aspek
luar adalah kewajiban seperti shalat, puasa, haji, dan
sebagainya. Sedangkan, untuk yang bersifat ke dalam
adalah keimanan, keaatan, dan kecintaan kepada Allah.
(Mustafa Zahri, 1998: 82).
Tajalli adalah proses pemantaapan dan pendalaman
materi yang sudah dilalui pada proses tahalli. Tajalli
berarti terungkapnya nur ghaib. Proses ini adalah
memantapkan dan membuat akhlak-akhlak baik tersebut
tetap ada dalam jiwa. Untuk itu, pada proses ini benar-
benar menumbuhkan kecintaan dan kerinduan yang
mendalam pada Allah SWT. Praktis tasawuf
ini tentu saja perlu diperhatikan agar tetap mampu
menjawab masalah utama manusia yaitu yang berkenaan
dengan Tujuan Penciptaan Manusia , Proses Penciptaan
Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep
Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut
Islam sesuai dengan fungsi agama yang terdapat dalam
Al-Quran. (Mustafa Zahri, 1998: 245).
b) Tasawuf irfani
Secara etimologis, kata Irfan merupakan kata jadian
(mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan).
Secara terminologis, ‘irfan diindentikkan dengan
ma’rifat sufistik. Ahli irfan adalah orang yang
berma’rifat kepada Allah. Irfan diperoleh seseorang
melalui jalan al-idrak al- mubasyir al wujudani
(penagkapan langsung secara emosional), bukan
penangkapan secara rasional.
Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua aspek, yakni
aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya
adalah bagian yang menjelaskan
hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap
dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian
ini menyerupai etika. Bagian praktis ini
disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini
menjelaskan bagaimana seseorang penempuh rohani
(salik) yang ingin mencapai tujan puncak kemanusiaan,
yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh
tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara
berurutan, dan keadaan jiwa (hal) yang bakal dialaminya
sepanjang perjalanannya tersebut. (Samsul
Munir Amin, 2015: 241)
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan
perhatiannya pada masalah wujud (ontologi),
mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta.
Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi
(falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan
tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini
mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya.
Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya
pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri
pada ketersibukan mistik yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
(Samsul Munir Amin, 2015: 241)
Tokoh-tokoh tasawuf irfani adalah Rabi’ah adalah
Rabi’ah binti Ismail Al Adawiyah AL Bashriyah Al
Qaisiyah. Dalam perkembangan
mistisme Islam, Rabi’ah Al Adawiyah tercatat sebagai
peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah.
Rabi’ah Al Adawiyah adalah wanita satusatunya dalam
Islam yg terkenal kesufiannya. Sebagaimana dikutip
oleh Eko Ariwidodo, B.R.Wolfman menyatakan bahwa :
Posisi wanita akan selalu ada di bawah kedudukan laki-
laki. “Kaum wanita tidak dapat diberi kedudukan yang
tinggi, karena tidak tahu bagaimana mengambil
keputusan yang sulit’’. (Eko Ariwidodo, 2016: 333).
Tidak sulit bagi Rabi’ah Al-Adawiyah
mengembangkan khazanah keilmu agamaannya
mencapai tingkat mahabbah. Menguraikan secara
feministik rasa tulus ikhlas ke dalam cinta sebenar-
benarnya kepada Allah. Melebihi dari para sufi lainnya
yang notabene laki-laki. Sementara generasi sebelumnya
merintis aliran astisketisme Islam berdasarkan rasa takut
dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang
pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas
dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti
dari Allah. (Samsul Munir Amin, 2015: 242).
Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin
Muhammad alAnshari (772 -860 M) yang dijuluki
Sahib al-Hut (pemilik ikan). Ia dikenal sebagai sufi yang
mengembangkan teori tentang ma’rifat. Ma’rifat dalam
terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan
istilah ‘ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui
jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan
ma’rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian
salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai
tingkatan spiritual. Termasuk meyakini bahwa ma’rifat
sebenarnya adalah puncak dari etika baik
vertical maupun horizontal. Jadi, ma’rifat terkait erat
dengan syari’at, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan
seseorang dapat membatalkan atau melecehkan
kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh
Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesama, seorang
‘arif akan senantiasa mengedepankan sikap kelapangan
hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan keadilan.
Ia membagi tingkatan ma’rifat yaitu ma’rifat al-tauhid,
yakni doktrin bahwa seorang mu’min bisa mengenal
Tuhannya karena memang demikian ajaran yang telah
dia terima; ma’rifat al-hujjah wa al-bayan, yakni
ma’rifat yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar
dan logika. Bentuk kongkritnya, mencari dalil atau
argument penguat dengan akal sehingga diyakini adanya
Tuhan. Tetapi, ma’rifat kaum teolog ini belum bisa
merasakan lezatnya ma’rifat tersebut; ma’rifat sifat al-
wahdaniyah wa alfardhiyah, yakni ma’rifat kaum
muqarrabin yang mencari Tuhannya dengan pedoman
cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl
(limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan
tabir antara Tuhan dengan manusia). Karena pada
tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah
hati dan bukannya akal;
Abu Yazid Tahifur bin Isa dari Al-Bisthami
dilahirkan pada tahun 188 H. di Bistham Khurasan,
Persia. Dari berbagai riwayat diketahui bahwa Abu
Yazid adalah seorang faqih, pengikut Abu Hanifah
tetapi kehidupannya berubah dengan memasuki dunia
tasawuf. Menurut Abu Yazid, Wali Allah itu ada tiga
macam, seorang zahid karena zuhudnya, seorang Abid
karena ibadahnya, dan seorang Alim karena ilmunya.
(Samsul Munir Amin, 2015: 254).