Anda di halaman 1dari 24

PERKEMBANGAN TOKO DAN PAHAM-PAHAM DALAM

TASAWUF

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas ujian akhir semester.

Dosen pengampuh : Hatim Badu Pakuna M.Ag

Nama : Rifqy Firdaus Suud

NIM : 193042025

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH


JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah membimbing
manusia dengan petunjuk-petunjukNya yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
Sunnah, petunjuk ke jalan yang lurus dan jalan yang di ridhai-Nya. Demikian
juga, penulis bersyukur kepada Nya Yang telah memudahkan penulisan sederhana
ini hingga dapat terselesaikan.

Sholawat serta salam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan Nabi


Muhammad Sholallah ‘alaih Wasallam, para sahabat, keluarga dan pengikutnya
Ilaa yaumil Qiyamah.

Pembahasan Makalah ini mengenai “Perkembangan Tokoh Dan Paham-Paham


Dalam Tasawuf. Tentunya dalam makalah ini, dengan segala keterbatasan, tidak
lepas dari kekurangan, penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk
meminimalisir kekurangan-kekurangan tersebut. Oleh karena itu, diharapkan
kritik dan saran dari pembaca. Semoga bermanfaat bagi penulis dan khususnya
para pembaca umumnya.

Gorontalo 29 juni 2020

Penulis

Rifqy Firdaus Suud


SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DARI ZAMAN KE
ZAMAN

A. PENDAHULUAN.
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama
islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad SAW diutus Rasulullah
untuk segenap ummat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul
telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira
disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang
sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Juga Muhammad
berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa
noda-noda yang menghingapi masyarakat pada waktu itu. (Muhammad
Fauqi H, 2013: 7 ).
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan
untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh
liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh
petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat
kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi
yang sedemikianlah Muhammad Menerima wahyu dari Allah SWT yang
penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk
ummat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Segala pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat Muhammad
sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul meruapakan manifestasi dari
kebersaihan hati dan kesucian jiwanya yang sudah menjadi pembawaan
sejak kecil
Dengan turunnya wahyu yang pertama pada tanggal 17 Ramadhan atau
16 Agustus 571 M, berarti nabi Muhammad SAW telah diangkat dan
diutus
menjadi Rasul untuk mengembangkan amanat Allah dan menyelamatkan
ummat manusia dari lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai
kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Demikian juga wahyu yang
diturunkan itu Rasulullah dapat membenahi masyarakat Arab Jahiliyah
menjadi masyarakat yang maju sesuai dengan perkembangan peradaban
dan kebudayaan manusia.
Adapun tentang sumber-sumber yang menjadi landasan tasawuf Islam
itu terdapat bermacam-macam pendapat. Diantaranya ada yang
menyatakan
bahwa sumber tasawuf islam adalah dari ajaran Islam itu sendiri. Selain itu
pula ada yang berpendapat bahwa sumber tasawuf itu berasal dari persia,
Hindu Nasrani dan sebagainya. (Syamsun Ni'am, 2014: 122).
Orientalis Messignon dalam “Encyclopedie de Islam” berkata tentang
sumber tasawuf bahwa :”ulama-ulama Islam masih bersimpang siur dalam
memecahkan dan mencari sebab-sebab terjadinya perselisihan besar dalam
bidang Aqidah islam diantara pelbagai mazhab didalam Islam, yaitu antara
mazhab tasawuf dan mazhab ahli Sunnah wal-Jama`ah”. Menurut
penadapat merx :”Tasawuf merupakan aliran yang datang kedalam islam
yang berasal dari pendeta-pendeta Syam. Menurut Jones, tasawuf islam itu
berasal dari Filsafat Neo Platonisme atau berasal dari agama Zoroaster
Persia atau agama Hindu. Tentang tasawuf Islam itu berorientasi R.A
Nicholson menjelaskan sebagai berikut : “Menetapkan tasawuf Islam
merupakan import ke dalam Islam, tidaklah dapat diterima, yang
sebenarnya ialah kita melihat sejak lahir agama Islam, bahwa bibit berfikir
seperti dasar-dasar tasawuf itu ada yang telah tumbuh didalam hati setiap
keluarga Jama`ah Islam yaitu sewaktu orang islam itu sedang membaca
Al-Qur`an dan Hadist Nabinya”. (Harun Nasution,1990:58).
Dari pendapat-pendapat tersebut diatas jelas adanya perbedaan
pandangan tentang sumber tasawuf Islam itu, namun demikian dapat
dinyatakan bahwa para orientalisten yang kurang jujur berpendapat bahwa
tasawuf Islam itu berpendapat bahwa islam itu sendiri sudah ada
benihbenih
untuk tumbuh dan berkembang sesudah disemaikan didalam lubuk hati
setiap muslim, karena tidak dapat dipungkiri lagi ajaran yang menyatakan
bahwa: Islam itu tinggi dan tidak ada yang dapat mengatasinya,” dengan
pengertian lain dapat ditegaskan bahwa kemurnian ajaran islam itu benar-
benar mengandung nilai-nilai kerohanian yang menjadi sumber akhlak
bagi setiap muslim, terutama bagi para sufi yang senantiasa berusaha
membersihkan hati dan mensucikan jiwa mereka dan berhias dengan
perangkai terpuji serta menjauhkan diri dari perangai tercela. (Harun
Nasution,1990:58).
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa sumber dan landasan
tasawuf
islam itu sendiri, tetapi dalam perkembangan selanjutnya mendapat
pengaruh dari luar islam. Tasawuf Islam itu dalam perkembangannya
mempunyai unsurunsur yang jauh. Unsur yang dekat dan unsur-unsur yang
jauh. Unsur yang dekat ialah Al-Quran, Hadist, Sirah Nabi, Sirah
Khulafaurrasyidin, Struktur Sosial dan Firqah-firqah sedangkan unsur jauh
ialah pengaruh agama Nasrani, yahudi, budha dan Persia.

B. PEMBAHASAN
1. Sejarah perkembangan tasawuf dan fase-fasenya
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami
beberapa fase, yaitu: Pada abad pertama dan kedua hijriah, yaitu
fase asketisme (zuhud). Sikap ini banyak dipandang sebagai
pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini terdapat individu-
individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya
pada ibadah dan tidak mementingkan makanan, pakaian,
maupun tempat tinggal. (Muhammad Fauqi H , 2013: 17).
Tahap pertama, tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian
yang masih sangat sederhana. Yaitu, ketika pada abad ke-1 dan
ke-2 H, sekelompok kaum Muslim memusnahkan perhatian
memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah
untuk mengejar keuntungan akhirat Mereka adalah, antara lain:
Al-hasan Al-Basri (w. 110 H) dan Rabi`ah Al-Adawwiyah
(w.185 H) kehidupan “model” zuhud kemudian berkembang
pada abad ke-3 H ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-
aspek teoritis psikologis dalam rangka pembentukan prilaku
hingga tasawuf menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan.
Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong lahirnya
pendalaman studi
psikologis dan gejala-gejala kejiwaan yang lahir selanjutnya
terlibat dalam masalah-masalah ini berkaitan langsung dengan
pembahasan mengenai hubungan manusia dengan Allah SWT.
Sehingga lahir konsepsi-konsepsi seperti Fana`, terutama Abu
Yazid Al-Busthami (w. 261 H)
Dengan demikian, suatu ilmu khusus telah berkembang
dikalangan kaum sufi, yang berbeda dengan ilmu fiqh, baik dari
segi objek, metodologi, tujuan, maupun istilah-istilah keilmuan
yang digunakan. Lahir pula tulisan-tulisan antara lain : Al-
Risalah Al-Qusyairiyyah karya Khusairi dan `Awarif Al-
Ma`arif karya AlSuhrawardi Al-baghdadi. Tasawuf kemudian
menjadi sebuah ilmu setelah sebelumnya hanya merupakan
ibadah-ibadah praktis.
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku
tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau
ilmu akhlak keagamaan. Pada masa ini tasawuf identik dengan
akhlak (berkembang ± satu abad). Pada abada ketiga hijriah,
muncul jenis – jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkan
pemikiran yang eksekutif yang diwakili oleh AL-Hallaj yang
kemudian dihukum mati karena menyatakan pendapatnya
mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi Al-Hallaj mengalami
peristiwa naas seperti ini karena paham hululnya ketika itu
sangat
kontraversional dengan kenyataan di masyarakat yang tengah
mengandrungi tasawuf akhlaqi. (Samsul Munir Amin, 2015:
209).
Dari sisi lain, pada abad ke-3 dan ke-4 muncul tokoh-
tokoh tasawuf seperti Al-Juanid dan Sari Al-Saqathi serta
Al-Kharraz yang memberikan pengajaran dan pendidikan
kepada para murid dalam sebuah bentuk jamaah. Untuk
pertama kali dalam islam terbentuk tarekat yang kala itu
merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan
berbagai pengajaran teori dan praktik kehidupan sufisfik,
kepada para murid dan orang orang yang berhasrat memasuki
dunia tasawuf. Demikian juga ajaran tasawuf
al-Suhrawardi, pendiri mazhab isyraqiyyah yang memaklumkan
dirinya sebagai seorang nabi yang menerima limpahan nur Illahi
dan berakhir dengan fatwa ulama bahwa dia adalah seorang
kafir yang halal darahnya. Lalu dia digantung di Aleppo pada
tahun 587 H dalam usia 38 Tahun. Demikian pula halnya
dengan Ibn Sab`in yang telah mengambil jalan pintas dengan
membunuh diri karena serangan para ulama yang sangat gencar
terhadap ajaran tasawuf yang diajarinya. Tidak sedikit pila para
ulama yang membantah ajaran tasawuf Ibn Arabi yang
mengajar paham pantheisme bahwa Tuhan dan alam merupakan
suatu kesatuan yang dipisahkan. Perbedaannya hanya pada
nama, sedangkan pada hakikat adalah satu.
Dengan banyaknya ajaran yang menyimpang dari syari`at,
maka ilmu tasawuf pada akhirnya mengalami kemunduran yang
luar biasa sehingga berakhir dengan kehilangan peranannya
dalam ilmu-ilmu Islam dan telah berubah wujudnya dalam
bentuk pengalaman tarikat yang tidak membawa sesuatu yang
baru dalam ajaran kerohanian Islam selain dari pengagungan
para guru atau mursyid serta warisan ajaran yang mereka terima
Pada abad ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil menentang jenis-
jenis tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran
dan Sunnah dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf
kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan
jiwa pembentukan moral. Pemikiranpemikiran yang
diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat
sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya.
Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran
filsafat, pemikiran-pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan
bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi
tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran
teologis Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. (Samsul Munir Amin,
2015: 233).
Dalam orientasi umum dan rincian-rinciannya yang
dikembangkannya berbeda dengan konsepsi disebut tasawuf
Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz minAl-
Dhalal, sebagai berikut: pertama, Sejak tampilnya Al-
Ghazali ,pengaruh tasawuf Sunni mulai menyebar di Dunia
Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang
membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh
Akhmad Al-Rifa`I (w.570 H) dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-
jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf
Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara
lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan Al-
Syadzili (w.650 H) dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi
(w.686 H), serta Ibn
Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H). model tasawuf yang
mereka kembangkan ini adalah kesinambungan tasawuf Al-
Ghazali; Kedua, Pada abad ke enam hijriah , sebagai akibat
pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh
tasawuf sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia.Pada
abad ke enam Hijriah,muncul sekelompok tokoh tasawuf yang
memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori
mereka yang bersifat setengah-setengah . diantara mereka
terdapat Syukhrawardi AL-Maqtul (w.549 h), syeikh Akbar
Muhyiddin Ibnu Arabi (w.635 h) dan sebagainya.

2. MACAM-MACAM TASAWUF.
Jenis tasawuf menurut perkembangannya zaman ke zaman
terbagi menjadi dua, yakni:
a) Tasawuf Sunni.
Tasawuf Akhlaqi disebut juga Tasawuf Sunni. Tasawuf
ini menitik beratkan pada perbaikan akhlak atau moral
pada diri seseorang. Orientasinya adalah untuk mencari
hakikat kebenaran yang dapat mengantarkan manusia
untuk mencapai tingkatan ma’rifat. Ma’rifat adalah
bersatunya manusia dengan Allah dengan metode
tertentu yang telah ditetapkan. Tasawuf akhlaqi ini juga
banyak dikembangkan oleh para Ulama Salafussalih.
(Samsul Munir Amin, 2015: 2).
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya”. (QS Asy Syams : 7-8)
Dari ayat di atas dijelaskan bahwa manusia memiliki
potensi untuk berbuat baik dan potensi berbuat buruk.
Potensi untuk berbuat baik adalah Al Aql dan Al Qalb.
Potensi untuk berbuat baik disebut dengan Nafsu yang
dibantu dibisikkan keburukannya oleh Setan yang tiada
henti menggoda manusia.
Menurut para sufi, untuk masuk kepada tasawuf tentu
membutukan mental dan juga aspek lahiriah yang siap.
Pada awal memasuki tasawuf, maka seseorang harus
berkonsentrasi agar dapat menghindarkan diri dari
akhlak buruk atau tercela (mazmumah) dan terus
konsisten mewujudkan akhlak yang baik yaitu
mahmudah. (Samsul Munir Amin, 2015: 332).
Ajaran ini, menurut para sufi, melatih manusia untuk
dapat menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu
bagkan sampai pada mematikan hawa nafsu jika
memungkinkan. Tentu saja membutuhkan pelatihan dan
pembiasaan yang ketat.
Para Sufi yang mengembangkan ajaran tasawuf ini
diantaranya adalah Hasan al-Basri (21 H – 110 H), Al-
Muhasibi (165 H – 243 H), AlQusyairi (376 H – 465 H),
Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir alJilani
(470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Gajali
(450 H – 505 H), Ibnu Atoilah As-Sakandari. (Samsul
Munir Amin, 2015: 141).
Pelaksanaan ajaran tasawuf tentu saja tidak bisa
dilakukan hanya satu atau dua kali untuk mencapai
proses tertinggi, yaitu tujuan mendapatkan ma’rifat.
Proses ini dilakukan agar akhlak baik atau mahmudah
selalu melekat kepada manusia. Akhlak tercela dan
buruk lainnya akan hilang dan tidak mengusik atau
mengganggu jiwa manusia yang suci.
Jiwa yang buruk atau dipenuhi akhlak tercela tentu
akan
memudahkan nafsu manusia semakin banyak
mendorong untuk melakukan hal hal yang buruk. Untuk
itu, kesucian jiwa harus dipenuhi dan terus dipupuk.
Berikut adalah proses atau langkah untuk mendapatkan
tujuan dari
tasawuf akhlaqi.
Takhali adalah proses awal yang dilakukan oleh sufi.
Aktivitas Takhali ini adalah usaha untuk mengosongkan
diri manusia dari perilaku yang tercela. Salah satu
akhlak tercela yang disoroti oleh tasawuf adalah
kecintaan manusia yang berlebihan terhadap urusan
duniawi, hingga melalaikan pada kesucian jiwa dan
kesiapan untuk kembali kepada Allah. Takhalli berbeda
dengan Tahalli. (M. Hamdani Bakran adz-Dzaky, 2002:
259).
Tahalli adalah proses untuk mengisi dan menghiasi
diri manusia dengan pembiasaan perilaku dan akhlak
yang baik. Proses ini dilakukan oleh para sufi dengan
mengosongkan jiwanya dari segala akhlak yang buruk.
Mereka menjalankan ketentuan agama dengan
mengintegrasikan ke dalam dan keluar dirinya. Aspek
luar adalah kewajiban seperti shalat, puasa, haji, dan
sebagainya. Sedangkan, untuk yang bersifat ke dalam
adalah keimanan, keaatan, dan kecintaan kepada Allah.
(Mustafa Zahri, 1998: 82).
Tajalli adalah proses pemantaapan dan pendalaman
materi yang sudah dilalui pada proses tahalli. Tajalli
berarti terungkapnya nur ghaib. Proses ini adalah
memantapkan dan membuat akhlak-akhlak baik tersebut
tetap ada dalam jiwa. Untuk itu, pada proses ini benar-
benar menumbuhkan kecintaan dan kerinduan yang
mendalam pada Allah SWT. Praktis tasawuf
ini tentu saja perlu diperhatikan agar tetap mampu
menjawab masalah utama manusia yaitu yang berkenaan
dengan Tujuan Penciptaan Manusia , Proses Penciptaan
Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep
Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut
Islam sesuai dengan fungsi agama yang terdapat dalam
Al-Quran. (Mustafa Zahri, 1998: 245).
b) Tasawuf irfani
Secara etimologis, kata Irfan merupakan kata jadian
(mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan).
Secara terminologis, ‘irfan diindentikkan dengan
ma’rifat sufistik. Ahli irfan adalah orang yang
berma’rifat kepada Allah. Irfan diperoleh seseorang
melalui jalan al-idrak al- mubasyir al wujudani
(penagkapan langsung secara emosional), bukan
penangkapan secara rasional.
Sebagai sebuah ilmu, irfan memiliki dua aspek, yakni
aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya
adalah bagian yang menjelaskan
hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap
dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian
ini menyerupai etika. Bagian praktis ini
disebut sayr wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini
menjelaskan bagaimana seseorang penempuh rohani
(salik) yang ingin mencapai tujan puncak kemanusiaan,
yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh
tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara
berurutan, dan keadaan jiwa (hal) yang bakal dialaminya
sepanjang perjalanannya tersebut. (Samsul
Munir Amin, 2015: 241)
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan
perhatiannya pada masalah wujud (ontologi),
mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta.
Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi
(falsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan
tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini
mendefinisikan berbagai prinsip dan problemanya.
Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya
pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri
pada ketersibukan mistik yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
(Samsul Munir Amin, 2015: 241)
Tokoh-tokoh tasawuf irfani adalah Rabi’ah adalah
Rabi’ah binti Ismail Al Adawiyah AL Bashriyah Al
Qaisiyah. Dalam perkembangan
mistisme Islam, Rabi’ah Al Adawiyah tercatat sebagai
peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah.
Rabi’ah Al Adawiyah adalah wanita satusatunya dalam
Islam yg terkenal kesufiannya. Sebagaimana dikutip
oleh Eko Ariwidodo, B.R.Wolfman menyatakan bahwa :
Posisi wanita akan selalu ada di bawah kedudukan laki-
laki. “Kaum wanita tidak dapat diberi kedudukan yang
tinggi, karena tidak tahu bagaimana mengambil
keputusan yang sulit’’. (Eko Ariwidodo, 2016: 333).
Tidak sulit bagi Rabi’ah Al-Adawiyah
mengembangkan khazanah keilmu agamaannya
mencapai tingkat mahabbah. Menguraikan secara
feministik rasa tulus ikhlas ke dalam cinta sebenar-
benarnya kepada Allah. Melebihi dari para sufi lainnya
yang notabene laki-laki. Sementara generasi sebelumnya
merintis aliran astisketisme Islam berdasarkan rasa takut
dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang
pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas
dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti
dari Allah. (Samsul Munir Amin, 2015: 242).
Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin
Muhammad alAnshari (772 -860 M) yang dijuluki
Sahib al-Hut (pemilik ikan). Ia dikenal sebagai sufi yang
mengembangkan teori tentang ma’rifat. Ma’rifat dalam
terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan
istilah ‘ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui
jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan
ma’rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian
salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai
tingkatan spiritual. Termasuk meyakini bahwa ma’rifat
sebenarnya adalah puncak dari etika baik
vertical maupun horizontal. Jadi, ma’rifat terkait erat
dengan syari’at, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan
seseorang dapat membatalkan atau melecehkan
kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh
Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesama, seorang
‘arif akan senantiasa mengedepankan sikap kelapangan
hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan keadilan.
Ia membagi tingkatan ma’rifat yaitu ma’rifat al-tauhid,
yakni doktrin bahwa seorang mu’min bisa mengenal
Tuhannya karena memang demikian ajaran yang telah
dia terima; ma’rifat al-hujjah wa al-bayan, yakni
ma’rifat yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar
dan logika. Bentuk kongkritnya, mencari dalil atau
argument penguat dengan akal sehingga diyakini adanya
Tuhan. Tetapi, ma’rifat kaum teolog ini belum bisa
merasakan lezatnya ma’rifat tersebut; ma’rifat sifat al-
wahdaniyah wa alfardhiyah, yakni ma’rifat kaum
muqarrabin yang mencari Tuhannya dengan pedoman
cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl
(limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan
tabir antara Tuhan dengan manusia). Karena pada
tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah
hati dan bukannya akal;
Abu Yazid Tahifur bin Isa dari Al-Bisthami
dilahirkan pada tahun 188 H. di Bistham Khurasan,
Persia. Dari berbagai riwayat diketahui bahwa Abu
Yazid adalah seorang faqih, pengikut Abu Hanifah
tetapi kehidupannya berubah dengan memasuki dunia
tasawuf. Menurut Abu Yazid, Wali Allah itu ada tiga
macam, seorang zahid karena zuhudnya, seorang Abid
karena ibadahnya, dan seorang Alim karena ilmunya.
(Samsul Munir Amin, 2015: 254).

Abul Mubhist Al-Husain Bin Manshur Al-Khallaj


di lahirkan di
Baidha Persia pada tahun 244H/858.Al Khallaj selalu
hidup berpindahpindah dalam pengembaraan yang
panjang. Di dalam pengembaraan itu ia telah tinggal
Tustur, Khurasan, Sijistan, Karman, Persia, Ahwaz,
Basrah dan Baghdad. Al-Khallaj juga mengembara ke
daerah Timur dimulai dari Turkistan, Mesir dan
beberapa daerah di India. Selama dalam perjalanan ia
mendapat gelaran yang bermacam-macam. Di Baghdad
ia digelari
dengan Al-Mushtalam, di Tukistan dengan Al-Mukiths,
di India dengan AlMugihst dan sebagainya.
Buku-buku karangannnya antara lain As-Sahaihur Fi
Naqshid Duhur, Kaifa Kana Wakaifa Yakun, Al-Abad
Wa Al-Mabud, Kitab Huwa-Huwa, Sirru Al-Alam Wa
Al-Tauhid, Al-Thawasin Al-Azal. Kitab-kitab itu hanya
tinggal catatan, karena ketika hukuman mati
dilaksanakan, kitab yang ia karang pun ikut
dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan
pendukungnya yaitu Ibnu Atha dengan judul Al-
Thawasi Al-Azal. Dari kitab ini dan sumber-sumber
muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran Al-
Khallaj dalam tasawuf.
c) Tasawuf falsafi.
Tasawuf Falsafi secara bahasa bisa kita bagi menjadi
dua, yaitu antasa Tasawuf dan Filsafat. Tasawuf artinya
kecintaan terhadap tuhan, sedangkan ilmu Filsafat
Islamadalah yang berkenaan dengan akal atau fikiran.
Falsafi disini adalah cara yang digunakan dalam
bertasawuf. (Samsul Munir Amin, 2015: 264)
Tasawuf Falsafi adalah sebuah aliran dalam
bertasawuf yang menggabungkan antara visi mistik dan
visi yang rasional. Tasawuf ini merupakan hasil dari
pemikiran-peminkiran para tokoh-tokoh yang
diungkapkan dengan bahasa filosofis.Tasawuf ini tidak
bisa dikatakan sebagai Tasawuf yang murni karena telah
menggunakan pendekatan fikiran dan rasio, namun juga
tidak bisa dikatakan filsafat seutuhnya karena
didasarkan pada rasa. Dengan kata lain Tasawuf Falsafi
merupakan penggabungan antara rasa dan rasio.
Secara istilah dapat kita simpulkan bahwa pengertian
dari Tasawuf Falsafi adalah, kajian terhadap tuhan,
manusia dan sebagainya yang menggunakan motode
rasio atau akal. Aliran dalam Tasawuf Falsafi terkesan
tidak jelas, karena banyaknya istilah-istilah yang
diungkapkan oleh tokohtokkohnya dalam aliran ini yang
tidak bisa dimengerti, lantaran menggunakan
istilah Filsafat.
Tokoh-tokoh dalam Tasawuf Falsafi pada umumnya
mengerti dan akrab dengan ilmu Filsafat. Mereka
mempelajari Filsafat Barat, Yunani Kuno,dan Filsafat
Islam, serta mengenal para filosof barat seperti,
Socrates,
Aristoteles serta pemikiran-pemikiran filosof Islam
seperti Al Farabi dan Ibnu Sina. (Abdul Kadir Riyadi,
2014: 199).
Menurut Ibnu Khaldun dikutip dalam karyanya Al
Ma’rifat, objek dari kajian Tasawuf Falsafi ini ada
empat: pertama, Latihan yang bersifat kebatinan atau
rohaniyah dengan menggunakan rasa, intuisi dengan dan
introspsesi diri dengan tingkatan maqam, hal dan rasa;
kedua, Kajian
tentang hakekat dari sifat-sifat tuhan, malaikat,arsy,
kursy, wahyu, kenabian, roh, hakekat dari alam ghaib
dan yang nyata serta susunan kosmos dan
penciptaannya. Biasanya para filosoh dalam kajiannya
dan latihan rohaniahnya melakukan zikir-zikir dengan
meninggalkan keduniaan dan membuka kekhusukan
terhadap Allah; ketiga, Peristiwa yang luar. Kejadian
yang terdapat di alam ini atau kosmos, yang
mempengaruhi kekeramatan; keempat, Pengungkapan
teory dengan istilah yang filosofis. Istilah tersebut tidak
bisa dipahami seutuhnya oleh masyarakat awam. Istilah
Tasawuf Falsafi hanya bisa dimengerti oleh para tokoh
Tasawuf Falsafi itu sendiri.
Pada intinya, ciri dari Tasawuf Falsafi adalah
mengabungan antara pemikiran atau rasionalitas dengan
perasaan (dzuq). Aliran ini mendasarkan pada dalil naqli
dan diungkapkan dalam istilah filosofis. (Achmad
Mubarok, 2001: 124).
Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi lainnya adalah Ibnu
‘Arabi, Nama lengkap dari Ibnu Arabi yaitu Muhammad
bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath tha’I Al Haitami.
Beliau dilahirkan di Murcia, daerah Andalusia tenggara,
Spanyol. Pada tahun 560 H. Ia tinggal di Hijaz dan
wafat di sana, pada tahun 638 H. karya Ibnu ‘Arabi yang
paling fenomenal adalah Al Futuhat Al Makiyah yang
ditulis pada tahun 1201 H. (Samsul Munir Amin, 2015:
274). Ajaran dari Ibnu ‘Arabi ada tiga: Wahdad al wujud
– Kesatuan Wujud. Intinya wujud dari semua makhluk
itu adalah satu, yaitu wujud dari khaliqnya; Hakiqat
Muhammadiyah – Lanjutan dari wahdad Al Wujud
adalah Hakikat Muhammadiyah, yang menurut Ibnu
Arabi, bahwa penciptaan alam semesta ini adalah
pelimpahan dari wujud yang satu yaitu tuhan. Dari yang
satu itu, Lalu lahirlah semua wujud dengan segala proses
penciptaannya; Wahdad Al Adyan – Turunan ketiga dari
Wahdatul Wujud adalah Wahdatul Adyan yaitu
kesamaan agama. Semua agama itu adalah satu yang
bersumber dari tuhan.(Amin Syukur, 2002: 7)
Al Jilli, Nama lengkap Al Jilli adalah Abdul Karim
bin Ibrahin Al- Jilli yang lahir tahun 1365 M dan wafat
tahun 1417 M. Baliau lahir di Jilan propinsi di selatan
Kaspi. Tempat lahirnya Jilli (Gilan) yang kemudian
menjadi nama dari Al Jilli. Beliau adalah sufi yang
terkenal di Bagdad. Ia pernah berguru pada tokoh tarekat
Qadariyah yaitu Abdul Qadir Al Jailani, seorang sufi
dari India. Ajaran dari Al Jilli adalah: Insan Kamil –
Pemahaman tentang insan kamil atau manusia sempurna
sebagai wujud dari tuhan yang diumpamakan bagai
cermin. Seseorang tidak bisa melihat dirinya sendiri
kecuali dengan cermin; Maqamat – Al Jilli merumuskan
tahapan atau tingkatan yang harus dilalui seorang sufi
adalah : Islam, Iman, Ihsan, Shalah, Shahadah,
Sidqiyyah dan Qurbah. (Samsul Munir Amin, 2015:
281).
Ibnu Sab’in, Nama lengkap dari Ibnu Sab’in adalah
Abdul Haq Ibnu Ibrahim Muhammad Ibnu Nashr.
Beliau lahir tahun 614 H di Murcia. Ibnu
Sabi’in adalah anak dari keluarga bangsawan, yang
hidup berkecukupan. Namun beliau memilih untuk
mengasingkan dari segala bentuk kemewahan tersebut.
Beliau mempelajari ilmu-ilmu seperti Bahasa dan Sastra
Arab, Ilmu Agama, Ilmu fiqih (fiqih pernikahan, fiqih
muamalah jual beli), Ilmu Filsafat dan Logika. Ajaran
dari Ibnu Sab’in adalah: Kesatuan mutlak – Kesatuan
mutlak adalah ajaran pemahaman tentang wujud itu
hanya satu yaitu wujud tuhan; Menolak paham
Aristotelian – Intinya Ibnu Sab’in berusaha menyusun
logika baru yang membantah adanya konsep jamak.
Konsep ini disusun untuk mencapai kesatuan mutlak
tadi. Menurut Ibnu Sab’in logika ini menggunakan
penalaran ketuhanan atau ilahi. Pemikiran ini yang
membuat manusia melihat dan mendengar sesuatu yang
baru, yang belum pernah dilihat dan didengar sekalipun.
(Mustafa Zahri, 1998: 82-89).
3. Manfaat tasawuf dalam dunia Islam
Tasawuf memiliki banyak manfaat dalam kehidupan dan
dunia islam, di bawah ini adalah 10 manfaat tasawuf yaitu:
Dalam bidang kecerdasan emosional, apabila dapat
mengamalkan tasawuf dengan baik maka dapat mengendalikan
emosionalnya dengan baik pula; Dalam bidang kecerdasan
spiritual, tasawuf mengingatkan manusia tentang kemaitian,
agar umat manusia selalu beribadah, beramal shaleh, serta
menjauhi perbuatan maksiat dan kejahatan; Dalam bidang
Agama, tasawuf ini sangat diperlukan agar umat islam bisa
mengamalkan teori Islam secara kaffah dan juga untuk
mengembangkan integrasi sosial dan kerukunan hidup dalam
beragama serta bebangsa; Dalam bidang etos kerja, tasawuf
dapat memperkuat etos kerja karena dalam ajaran Islam bekerja
itu wajib untuk memenuhi keperluan diri sendiri, keluarga dan
umat. (Amin Syukur, 2002: 7).
Dalam bidang Pendidikan, tasawuf merupakan salah satu
mata pelajaran yang perlu diajarkan di Madrasah dan mata
kuliah di Perguruan Islam untuk mengembangkan kehidupan
agama yang komprehensif dan utuh serta untuk
mengembangkan masyarakat dan bangsa yang bersih, sehat dan
maju; Dalam bidang Ilmu Pengetahuan, tasawuf mendidik
anggota masyarakat untuk mengambil keputusan yang bijaksana
dan rasional serta mendidik untuk memiliki tanggung jawab
sosial; Sumber Pengingat, apa yang akan membantu kita
terhadap hal ini adalah mengingat Allah bahwa Allah menjamin
kita akan penyediaan, dan pengetahuan dan kekuatan-Nya
sempurna, dan bahwa Dia terlepas dari penciptaan dan jauh dari
kelupaan dan dari ketidakmampuan. Syaikh Ibn Ataillah
menulis dalam bukunya The Abandonment of the Management
of Affairs: “Percayakan urusan kita kepada Allah juga
merupakan kualitas yang sangat penting untuk diperoleh.
(Mustafa Zahri, 1998: 82-89).
Landasan Hidup, tanpa pemahaman ini muslim akhirnya
lumpuh. Tapi dengan itu kaum Muslim bebas menjadi budak,
yaitu mematuhi dengan cara tanpa hambatan. Masalah mencoba
taat tanpa pengertian adalah bahwa Anda hanya bisa melakukan
apa yang Anda bisa. Tapi untuk menaati Allah sambil
mempercayai Dia adalah untuk meninggalkan semua
keterbatasan praktis, dan untuk memulai pencapaian apa yang
telah Allah
perintahkan agar kita lakukan; Pembatas Ilmu Islam, tasawwuf
membuat semua pengetahuan lain tunduk pada pengetahuan
tertinggi yaitu La ilaha illallah. Dengan Tasawwuf kita
menyadari bahwa pengetahuan tentang Allah berada di atas
setiap pengetahuan lainnya. Tasawwuf memungkinkan kita
untuk mencicipi La hawla wa la quwwata illa billah seperti
tasawuf amali; Lebih Mencintai Allah, dalam Qur’an, Allah
menghubungkan bahwa orang beriman di antara orang-orang
Firaun berkata:” Saya telah mempercayakan perselingkuhan
saya kepada Allah. “Kenyataannya adalah keinginan kita
kepada Allah untuk melestarikan kita dari semua yang memiliki
bahaya di dalamnya dan yang dengannya kita tidak memiliki
keamanan. (Abudin Nata 1996: 13).
C. KESIMPULAN
Tasawuf adalah ilmu jalan menuju Allah. Tasawuf adalah ilmu yang
sesuai dengan jalur Islam melalui pengalaman langsung sang Nyata dan
bukan melalui lidah atau belajar dari buku. Ini menyiratkan
ditinggalkannya
teologi apapun. Tauhid tidak logis. Dalam hal ini Tasawwuf adalah
pelindung Tauhid: La ilaha illallah. Muslim menegaskan: La hawla wa la
quwwata illa billah. Ini menyiratkan bahwa tidak ada dua kekuatan di alam
semesta. La hawla wa la quwwata illa billah juga berarti ada satu sumber
kekuatan. Allah memberi kita kuasa-Nya dan membimbing kita dengan
keterbatasan kita.
Oleh karena itu kita adalah sumber kesengsaraan kita sendiri. Semua
sarana tersedia bagi kita. Dari sinilah datang tawakkul: hasbunullahu wa
ni’mal wakil, “Allah sudah cukup bagi kita dan Dia adalah wali terbaik”
seperti hakikat tasawuf falsafi. Tasawuf tidak menjadi konsumen pasif dan
jinak dalam masyarakat ini dengan malam yang tercerahkan. Tasawuf
adalah transformasi hati Anda sehingga Anda menyadari bahwa Anda
bertanggung jawab atas dunia, dan dunia tidak bertanggung jawab atas
Anda.
Hal ini memungkinkan kita untuk memahami bahwa apa yang Allah
perintahkan adalah mungkin, dan ini menunjukkan jalan kita untuk
mencapai tujuan tertinggi kita fisabilillah. Tasawuf memungkinkan kita
untuk memahami bahwa perbuatan hati lebih kuat daripada 8perbuatan
anggota badan.
DAFTAR PUSTAKA

Fauqi H, Muhammad. (2013). Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta :


Amzah.
Mubarok, Achmad. (2001). Psikologi Qur’ani. Jakarta : Pustaka
Firdaus.
Munir Amin, Samsul. (2015). Ilmu Tasawuf. Jakarta. Amzah.
Ni'am, Syamsun. (2014). Pengantar Belajar Tasawuf. Jakarta :
Ar-ruz Media.i
i

Anda mungkin juga menyukai