Khalyend Nayakiza A.
Zahraini Jannatul F.
Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut
Agama Islam Negeri Kediri.
Abstract
This article purpose to find out and understand the history of the origins of Sufism,
the development of Sufism in the world, and the development of Sufism in Indonesia.
The research method in this article is a naturalistic research method or a qualitative to
descriptive method with data collection techniques sourced from online journals on
social media. The author uses this method to explain the object of discussion, namely
the history and development of Sufism. Sufism is an important science for living
human life, especially Muslims in the modern era like today. Before studying the
science of Sufism itself, we should first know how the history and development of
Sufism. With this Sufism, it is hoped that a person can live his life carefully, and can
protect himself from heart disease.
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui serta memahami bagaimana sejarah asal-usul
tasawuf, perkembangan tasawuf di dunia,dan perkembangan tasawuf di Indonesia.
Metode penelitian dalam artikel ini adalah metode penelitian naturalistik atau metode
deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang bersumber pada jurnal
online yang terdapat pada media sosial. Penulis menggunakan metode ini untuk
menjelaskan objek pembahasan yakni berupa sejarah dan perkembangan tasawuf.
Tasawuf menjadi ilmu yang penting untuk menjalani kehidupan umat manusia
khususnya umat islam di era modern seperti saat ini. Sebelum mempelajari ilmu
tasawuf itu sendiri, sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui bagaimana sejarah serta
perkembangan tasawuf. Dengan ilmu tasawuf ini diharapkan seseorang dapat
menjalani kehidupannya dengan berhati-hati, dapat menjaga diri dari penyakit hati.
Tasawuf adalah salah satu bagian dari ilmu islam yang sangat penting untuk
kehidupan umat muslim. Dalam islam, terdapat tiga ilmu dasar yang harus dipahami umat
Isla, salah satunya adalah ilmu tasawuf. Ilmu inilah yang mengajarkan untuk membangun
pribadi yang sederhana dalam menjalani kehidupan. Tasawuf merupakan proses pendekatan
diri kepada Tuhan dengan cara mensucikan hati maupun jiwa agar dapat menuju kepada
Tuhan hingga mencapai tingkat makrifat. Untuk mencapai tingkat makrifat, maka tentu ada
cara-cara tertentu yang perlu dilakukan oleh seorang hamba. Sehingga hamba tersebut tidak
lagi mengkhawatirkan urusan yang bersifat duniawi, namun lebih senang mendekatkan diri
kepada Allah.
Nilai-nilai tasawuf sebenarnya sudah nampak pada zaman nabi Muhammad SAW,
yakni melalui praktik yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW sendiri dengan cara
berkhalwat untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun istilah tasawuf sendiri belum
muncul. Nilai-nilai inilah yang menjadi cikal bakal hadirnya tasawuf dalam dunia Islam.
Seiring berjalannya waktu tasawuf memiliki perubahan dalam setiap ajaran-ajaran yang
dikembangkan oleh para tokoh tasawuf. Dalam artikel ini kami akan membahas lebih rinci
tentang bagaimana sejarah serta perkembangan dari tasawuf.
II. Pembahasan
Arti kata tasawuf menurut pendapat kebanyakan tokoh tasawuf adalah sesuatu yang
dapat dijadikan standar bagi orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan hidup sederhana, suci lahir dan bathin, serta selalu mengedepankan dalam masalah
ketuhanan, dimana ingin menjadi hamba yang terdepan di sisi Tuhan, seperti mengambil
saff yang pertama ketika melaksanakan salat berjama’ah. Namun demikian, arti tasawuf
yang banyak diterima adalah yang merujuk kepada suuf yang berarti wol atau kain bulu
kasar bukan halus seperti sekarang. Bahkan dikatakan, tashawwafa al-rajul, kalau
memakai wol. Pada masa awal perkembangan asketisisme atau paham yang mengajarkan
kezuhudan, pakaian bulu domba adalah simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis.
Tasawuf sebenarnya tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya
Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Tingkah laku hidup sufi dapat terlihat dalam
kesehariannya yang selalu penuh dengan kesederhanaan. Tak hanya itu, nabi Muhammad
sering berdoa kepada Allah selama berbulan-bulan, hal itu dilakukan hingga beliau
menjadi rasul dan telah menerima wahyu pertama. Setelah resmi menjadi nabi, ia hanya
tinggal hidup dan waktunya digunakan semata-mata untuk menyiarkan agama islam dan
beribadah kepada Allah SWT. Ketika malam hari dia hampir tidak tidur karena waktunya
dikhususkan untuk tawajjuh kepada Allah, meningkatkan ibadah da senantiasa berdzikir.
Para sahabat kemudian mengikuti perilaku Rasulullah SAW, khususnya para Ahlu Shuffa,
orang yang bermigrasi dari Mekah ke Madinah, orang yang sedang berada dalam
kemiskinan dan tidak memiliki apa-apa. Mereka hidup berdekatan dengan Nabi dan
bermalam di atas batu yang dilapisi pelana. Setelah itu, pengembangan tasawuf
dilanjutkan oleh Tabi’in.
Perkembangan tasawuf terjadi di berbagai belahan dunia dengan perkembangan
Islam. Bahkan pertumbuhan Islam ke Afrika, Asia Kecil, Asia Timur, Asia Tengah,
negara-negara pantai Samudra Hindia, negara kita Indonesia, semua ini dibawa oleh para
pendakwah Islam di kalangan sufi. Sifat dan cara hidup mereka yang sederhana, kata-kata
yang lembut dan mudah dipahami, serta sikap alim dari ahlu suffah. Semua sikap serta
sikap yang muncul dari sufi itulah yang lebih menarik daripada ribuan kata-kata teoretis
belaka. Dalam hal ini, mereka adalah pengkhotbah sejati. Pengikutnya adalah para
sukarelawan yang ikhlas, dengan puluhan ribu orang yang memiliki, harta, bahkan untuk
melindungi Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, raja-raja, pejabat pemerintah,
dan rakyat kecil, selalu ikhlas, meninggalkan hal duniawi. Ajaran tasawuf yang dibawa
oleh tokoh tasawuf dengan cepat menyebar dan berkembang sejalan dengan pesatnya
perkembangan Islam itu sendiri. Benih-benih tasawuf yang diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari oleh Nabi Muhammad SAW berupa perbuatan Nabi SAW.
Sebelum diangkat menjadi Nabi beliau selalu menghabiskan waktu untuk berkhalwat
di Gua Hira selama bulan Ramadhan pada setiap tahunnya. Di sana, Nabi SAW
bermeditasi dengan banyak dzikir untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para ulama
berbeda pendapat tentang waktu lahirnya ajaran tasawuf. Sebagian dari mereka
mengetahui bahwa kata sufi sudah dikenal sejak zaman jahiliyah. Di sisi lain, ada yang
mengetahui bahwa kata sufi hanya dikenal dalam penanggalan Hijriah abad ke-2. Ibn
Taymiyah mengklaim bahwa kata Sufi baru muncul pada awal abad II penanggalan Islam,
baru setelah abad ketiga Ibnu Taymiyah mengatakan tasawuf pertama kali muncul di
Basra.
Mulai dekade terakhir pada abad kedua Hijriah, tasawuf telah dikenal di golongan
masyarakat dunia Islam, sebagai perkembangan beragam gaya zahid dan 'abid, yang
dikelompokkan bersama di serambi masjid Madinah. Awal mula lahirnya tasawuf dalam
peradaban Islam. Keadaan ini ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih
mengejar akhirat, sehingga perhatiannya terfokus pada ibadah dan melalaikan kesenangan
duniawi. Fase asketisme ini berlangsung kurang lebih sampai abad kedua Hijriyah,
kemudian memasuki abad ketiga sudah terjadi pergeseran dari asketisme ke tasawuf. Fase
ini bisa disebut sebagai fase kedua, yang ditandai dengan perubahan sebutan Zahid
menjadi Sufi. Di sisi lain, pada periode ini pembicaraan para zahid semakin meningkat
tentang pertanyaan tentang bagaimana jiwa yang bersih, apa yang dimaksud dengan
akhlak dan bagaimana ia dibudidayakan, serta diskusi tentang masalah spiritual lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari diskusi tentang jiwa yang bersih akhirnya berkembang berbagai
konsepsi tentang tahapan yang harus dilewati seorang sufi (al maqamat) dan sifat-sifat
yang dimiliki oleh seorang salik (calon sufi) pada tingkat tertentu (al ihwal) dalam
perjalanan menuju kepada Allah.1
Pada abad kedua ini, pembahasan tasawuf berupa tingkatan fana dan ittihad telah
berkembang. Berbarengan dengan pembahasan tersebut kemudian muncul penulis-penulis
1
Zuherni Abi, Sejarah Perkembangan tasawuf, Jurnal Substantia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011. Hlm.250
tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (wafat 234H), al-Harraj (wafat 277H), dan al-
Junaidi al-baghdadi (wafat 297H), dan penulis-penulis lainnya. Secara konseptual-tekstual
tasawuf hanya ada pada periode ini, dimana sebelumnya hanya berupa pengetahuan
individu dan/atau semacam corak keagamaan. Kemudian tasawuf terus berkembang ke
arah penyempurnaan dan spesifikasi terminologi seperti konsep intuisi, dzauq, dan al-
kayf.2 Salah satu ajaran dasar dalam Islam adalah bahwa manusia terdiri dari dua unsur,
yaitu ruh dan jasad. Unsur jasmani pada manusia selanjutnya disebut unsur materil, yaitu
badan yang bernyawa, sedangkan unsur ruh disebut unsur immateriil berupa jiwa yang
mempunyai dua daya diantaranya daya pikir yang disebut daya reasen daya perasaan yang
disebut daya pikir. zauq atau zhin. Berbicara tentang tasawuf sebagai ajaran spiritual yang
menekankan tidak hanya teori, tetapi juga praktik dan yang tidak dapat dipahami kecuali
melalui perasaan langsung (dzauq), yaitu pengalaman langsung. Al-Ghazali kembali
menegaskan keyakinannya bahwa ia harus berdamai dengan masa lalu jika tidak ingin
kehilangan harapan dalam kehidupan pribadinya.
Pada abad ketiga ini, muncul doktrin yang dipelopori oleh Abu Yazid al-Busthani
berupa ajaran Al-ittihad melalui al-fana. Sebagai contoh, apabila seseorang yang telah
melakukan usaha untuk meleburkan sifat kemanusiaan yang ada dalam dirinya menuju
sifat ilahiyah, maka terjadi penyatuan terhadap diri seseorang tersebut dengan Tuhan
dalam Fana. Hadirnya doktrin al-fana dan al-ittihad memberikan dampak dalam dunia
pemikiran Islam, yakni terjadi pergeseran tujuan akhir dari sufisme. Awalnya sufisme
memiliki tujuan agar manusia dapat berkomunikasi secara langsung dengan Allah,
kemudian tujuan itu bertambah derajatnya pada tingkat penyatuan diri dengan Tuhan.
Akibatnya, muncul sikap pro-kontra terhadap konsep al-ittihad. Kemudian konflik dalam
pemikiran Islam pun terjadi, baik dari intern fuqoha maupun dengan fuqaha dan para
teolog. Dua kelompok ini secara berbarengan menuding bahwa penganut sufisme al-
ittihad sebagai gerakan sempalan yang telah merusak prinsip-prinsip Islam. Apabila dilihat
dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini adalah fase ketiga yang ditandai dengan
adanya unsur-unsur yang berasal dari luar Islam yang berakulturasi dan bahkan sinkretis
dengan sufisme.4
Dan mulai abad ketiga hijriyah ini, terdapat sebutan sufisme ortdoks yang dirintis oleh
Harits al-Muhasibi, yang kemudian didukung sepenuhnya oleh kaum Syi’ah. Pada abad ni
pula terjadi ketegangan antara kaum orthodoks islam dan penganut sufisme awal
(kesalehan asketis) yang disebabkan tidak hanya karena masalah sufisme atau perbedaan
pemahaman agama namun karena dipengaruhi faktor politik, yakni adanya ketegangan
antara kaum sunni dengan kaum Syi’i.5 Namun untuk menentukan kapan peralihan antara
gerakan asketisme menjadi tasawuf dalam Islam sulit untuk ditentukan. Pada awal abad
ketiga, mulai meluasnya ilmu tasawuf karena para sufi telah memberikan perhatian
terhadap segala hal yang bersangkutan dengan jiwa dan tingkah laku manusia.
Perkembangan ajaran-ajaran dan tingkah laku sufi ditandai dengan moral yang
berkarakter, sehingga tasawuf pun dapat berkembang menjadi suatu ilmu moral
keagamaan.6
Dengan kata lain, bahwa gagasan al-Muhasibi itu adalah untuk merentang jembatan di
atas jurang yang memisahkan Islam ortodoks dan mengawal kesucian sufisme agar tetap
berada dalam wilayah Islam yang murni.7 Gerakan sufisme ortodoks mencapai puncaknya
pada abad lima hijriah melalui tokoh monumental al-Ghazali (w.503H). gerakan ini
terutama bertujuan untuk membendung invasi berkembangnya teologi sufisme yang
3
Zuherni Abi, Sejarah Perkembangan tasawuf, Jurnal Substantia: malaysia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011. hal.
251.
4
Zuherni Abi, Sejarah Perkembangan tasawuf, Jurnal Substantia: malaysia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011.
hal.252.
5
Ibid. Hal.25.
6
Umar Fauzi, “Nilai-Nilai Tasawuf dalam Dunia Modern”, Jurnal Al-Ashriyyah, vol.4. 2017, hal.137.
7
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 301.
menurut pandangan kaum ortodoks dapat merusak sendi-sendi ketauhidan, maka al-
Ghazali merumuskan suatu konsepsi yang diharapkan dapat menampung aspirasi kedua
belah pihak.8 Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani antara kesadaran mistik
dengan syari’at Islam. Gerakan sufisme ortodoks mencapai puncaknya pada abad lima
hijriah dengan tokoh sentralnyal Imam Al-Ghazali. munculah Imam al-Ghazali yang
sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasar al-Qur’an dan as-Sunnah serta
bertujuan asketisme, kehidupan sederhan, pelurusan jiwa , dan pembinaan
moral .Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam, sementara disis
lain ia melancarkan kritikan tajam terhadap filosof, kaum Mu’tazilah, dan Batiniyah . Al-
Ghazali lah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang
seiring dengan aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, dan bertentangan dengan jenis tasawuf
al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami mengenai soal karakter manusia.
Kehadiran Imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang
berdasar pada al-Qur’an dan as-Sunnah serta bertujuan asketisme,menjalani kehidupan
yang sederhana, pelurusan jiwa , dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf yang
dikaji oleh Al-Ghazali dengan begitu mendalam, sementara disisi lain ia melampiaskan
kritikan tajam terhadap filosof, kaum Mu’tazilah, dan Batiniyah . Al-Ghazali lah yang
berhasil mematok prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah, dan bertentangan dengan jenis tasawuf al-Hallaj dan Abu Yazid al-
Bustami mengenai soal karakter manusia. Sejak mulai abad keenam Hijriyah, sebagai
akibat pengaruh kepribadian al-Ghazali yang begitu besar yang begitu besar, pengaruh
taswuf sunni semakin meluas dalam dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi
munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tariqat-tariqat dalam rangka mendidik
nurid , mereka, semisal Sayyid Ahmad al-Rifa’i (meninggal pada tahun570 H) dan Sayyid
al-Qadir al-Jailani(meninggal pada tahun 651H).
3. Pada masa Sufisme-Theosufi
Sufisme sebagai ilmu teoritis maupun ilmu praktis yang telah sampai pada tingkatan
keempat, yang ditunjukkan dengan terpecahnya aliran besar yakni sufisme-theosufi. 9 Oleh
hanya mengungkapkan kasatuan manusia dengan Tuhan seperti halnya dengan Abu Yazid
al-Bistami tetapi ia menyodorkan satu bentuk olahan esoterik yang mirip dengan filsafat.
Ia berusaha mencerahkan hubungan antara fenomena alam yang pluralistic dengan Tuhan
sebagai prinsip keesaan yang melandasinya.10 Demikianlah telah terlihat bahwa masa
kejayaan sufisme cukup lama dan tersebar di seantero dunia Islam. Namun memasuki abad
kedelapan Hijriyah nampaknya sufisme telah mengalami kemunduran. Karena sejak masa
itu tidak ada lagi konseo-konsep sufisme yang baru dan orisinil. Yang berjalan terus
hanyalah sekedar ulasan-ulasan terhadap karya lama. Praktek pengamalan sufisme
berjalan semarak tetapi lebih didominasi tarekat sebagai lembaga sufisme dan lebih
menampakkan aspek ritusnya, bukan pada aspek substansinya.11
8
Ibid. hal. 304.
9
Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997), hal.204.
10
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),hal.301.
11
Zuherni Abi, Sejarah Perkembangan tasawuf, Jurnal Substantia: malaysia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011.
Hlm.254.
4. Neo-Sufisme
Dari segi penyebutan kata neo-sufisme merupakan istilah yang baru berkembang
ketika abad ke-dua puluh, yang dipopulerkan oleh Fazlur Rahman. Tetapi, dalam
perkembangannya neo-sufisme telah ada sejak abad ke delapan Hijiriyah yang berupa
suatu corak tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah, dan adalah Ibn Taymiyyah
(w.728H), sebagai pencetus gagasan yang selanjutnya diteruskan oleh muridnya Ibn
Qayyim. Kejayaan sufisme di dunia Islam dengan julukan nep-sufisme tidak dapat
dipisahkan dari kebangkitan agama sebagai penolakan kepercayaan yang berlebihan
terhadap sains dan teknologi yang merupakan produk modernism. Modernism dinilai telah
gagal memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya upaya kembali ke
agama dianggap sebagai solusi paling tepat sebagai jalan pemaknaan terhadap kehidupan
secara universal.
Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis
dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu, berorientasi sufisme. Di kawasan
Sumatra bagian utara, ada empat sufi terkemuka, antara lain:
Sejak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara
perlahan-lahan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi
lokal. Karena faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, kehidupan sufisme di
Indonesia secara berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi
terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya.
b.Nuruddi Ar-Raniri
Gema pemikiran Ar-Raniri sampai juga ke daerah nusantara lainnya sehingga buku-
bukunya banyak di pelajari orang. Beliau memang seorang pengarang yang sangat
produktif. Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin Ar-Raniri terhadap kaum sufi yang
menganut paham wujudiyah. Nuruddin berkata bahwa ayat itu telah di tafsirkan oleh
kaum wujudiyah secara salah, yaitu bahwa alam atau insane ke luar dari Allah dan
kembali bersatu dengan-Nya.
-Tentang Tuhan
-Tentang Alam
-Tentang Manusia
-Tentang Wujudiyah
Syekh Abd. Rauf Al-Sinkili tetap menolak paham wujudnya yang menganggap adanya
penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa oleh
muridnya, Syekh Abd. Muhyi pemijahan ke Jawa. Pemikiran tasawuf Al-Sinkili dapat
dilihat antara lain pada persoalan untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syari’at.
Ajaran Abdul Rauf singkat ialah boleh dikatakan tidak mempunyai paham atau ajaran
yang tersendiri. Dalam masalah keagamaan beliau mengikuti paham Ahlussunnah
Walja’ah dan khusus dalam bidang fikih beliau adalah pengikut Syafi’iyah, sedangkan
dalam tasawuf mengikuti Thariqat Syattariyah dan paham-paham ini pulalah yang ia
sebarkan dalam semua kegiatan dakwahnya.
III. Penutup
III.1 Kesimpulan
Arti kata tasawuf menurut pendapat kebanyakan tokoh tasawuf adalah sesuatu yang
dapat dijadikan standar bagi orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan dengan
hidup sederhana, suci lahir dan bathin, serta selalu mengedepankan dalam masalah
ketuhanan, dimana ingin menjadi hamba yang terdepan di sisi Tuhan, seperti mengambil saff
yang pertama ketika melaksanakan salat berjama’ah.
12
Hurin Ainin, Nurun najah, Indriyani, dkk. “Tasawuf di Indonesia dan tokohnya”, Pamekasan, 2017.
Perkembangan tasawuf terjadi di berbagai belahan dunia dengan perkembangan
Islam. Bahkan pertumbuhan Islam ke Afrika, Asia Kecil, Asia Timur, Asia Tengah, negara-
negara pantai Samudra Hindia, negara kita Indonesia, semua ini dibawa oleh para pendakwah
Islam di kalangan sufi. Sifat dan cara hidup mereka yang sederhana, kata-kata yang lembut
dan mudah dipahami, serta sikap alim dari ahlu suffah. Semua sikap serta sikap yang muncul
dari sufi itulah yang lebih menarik daripada ribuan kata-kata teoretis belaka.
Pengaruh dan Pengalaman Tasawuf Di Indonesia Beberapa orang tokoh di Indonesia,
uraian ringkas itu telah menggambarkan paham dan usaha-usaha di masa lalu di dalam
berbagai lapangan dan keahlian masing-masing dan semuanya ini tentu saja akan
meninggalkan kesan dan pengaruh, baik secara langsung maupun sementara dalam waktu
yang relatif singkat.
III.2 Saran
Daftar Pustaka
Abi, Zuherni. “Sejarah Perkembangan tasawuf”. Jurnal Substantia: malaysia, Vol. 13, No. 2, 2011.
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/substantia/article/view/4828 Diakses pada tanggal 22 Maret
2022.
Fauzi, Umar. “Nilai-Nilai Tasawuf dalam Dunia Modern”. Jurnal Al-Ashriyyah vol.4. 2017.
http://jurnal.nuruliman.or.id/index.php/alashriyyah/article/view/30 Diakses pada tanggal 21 Maret
2022.
Siregar, Rivey. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002).
Ainin, Hurin. Najwa,Nurun. Indriyani, dkk. Tasawuf di Indonesia dan tokohnya. Pamekasan,
2017. http://ahlaktasawuf2017.blogspot.com/2017/12/tasawuf-di-indonesia-dan-
tokohnya_11.html?m=1 (Diakses pada tanggal 22 Maret 2022).