Anda di halaman 1dari 7

Pengantar Tasawwuf Nusantara (Review)

Samsul Hadi
MAY IIA

TASAWWUF NUSANTARA
            Secara historis tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak
pertumbuhan hingga keadaannya sekarang. Pada tahap awal kemunculannya, tasawuf telah
membawa angin segar dalam kancah keIslaman lantaran ajaran maupun amalan yang
dilakukan oleh para sufi. Di tengah carut marutnya politik dan semakin merambahnya
kecintaan terhadap ke duniawian, Tasawuf hadir menawarkan sebuah solusi yang indah dan
efektif.
Pada tahap selanjutnya muncullah beberapa golongan sufi yang mengamalkan amalan
dengan tujuan pensucian jiwa dan mendekatan diri kepada Allah Swt, para sufi yang hadir
pada periode ini mulai membedakan antara pengertian-pengertian syariah, thariqat,
hakikat maupun ma’rifat. Syariat di artikan untuk memperbaiki amalan lahir,
sedang thariqat untuk memperbaiki amalan batin, hakikat untuk mengamalkan segala rahasia
yang ghaib, adapun ma’rifat merupakan tujuan akhir dari perjalanan spiritual seorang sufi.
Tasawuf yang datang dan berkembang di kepulauan nusantara adalah tasawuf yang
sudah terlebih dahulu dirumuskan oleh para sufi yang ada di Timur Tengah. Para sufi yang
menyebarkan ajaran tasawufnya di nusantara tinggal berusaha untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sufi-sufi tersebut ada yang memang sengaja datang
dari luar untuk berdakwah di nusantara dan ada pula putra daerah yang belajar langsung ke
Timur Tengah kemudian pulang ke tanah air untuk mengembangkan ajarannya.
Paham-paham yang berkembang dalam ajaran tasawuf bagi kepulauan nusantara
bukan lah fenomena yang asing dan aneh. Bagi mayoritas masyarakat muslim yang tersebar
di seluruh kepulauan nusantara, tasawuf  sudah tertanam dalam hati sejak dari awal. Sejak
mengucapkan dua kalimat syahadat (pernyataan masuk Islam), mereka sudah mulai
bersentuhan dengan dunia tasawuf, meskipun terkadang tasawufnya hanya bersifat praktis
saja. Ada berbagai pengertian mengenai tasawuf diantaranya yaitu:

 Secara Etimologi  (Bahasa)  Berasal dari kata Ahl Al-Shuffah yaitu sebutan bagi orang - orang


yang pada zaman Rasulullah Saw. hidup di sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah
Saw. di sekitar Masjid Madinah, mereka ikut nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Karena
hijrah dengan meninggalkan harta benda mereka, mereka hidup miskin dan papa, pada
akhirnya mereka bertawakal (berserah diri) dan mengabdikan hidupnya untuk beribadah
kepada Allah Swt. Mereka tinggal di sekitar masjid nabi dan tidur di atas bangku yang terbuat
dari batu dan pelana yang disebut suffah sebagai bantalnya. Kata sofa dalam bahasa Eropa
berasal dari kata suffah. Mereka Ahl Al-Suffah berhati dan berakhlak mulia walaupun miskin,
itu merupakan sebagian dari sifat-sifat sifat kaum sufi.
Ada juga berasal dari kata Shafa' (suci bersih) yaitu sekelompok orang yang menyucikan hati
dan jiwanya karena Allah. Sufi berarti orang-orang yang hati dan jiwanya suci bersih dan
disinari cahaya hikmah, tauhid, dan kesatuan dengan Allah Swt.
Ada yang  berasal dari kata shuf (pakaian dari bulu domba atau wol) Mereka di sebut sufi
karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari bulu domba
menjadi pakaian khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu bukanlah wol lembut seperti
sekarang melainkan wol yang sangat kasar, itulah lambang dari kesederhanaan pada saat itu.
Berbeda dengan orang kaya saat itu yang memakai kain sutra. Mereka hidup sederhana dan
miskin tetapi berhati mulia, saat awal suluk (perjalanan menuju Allah dalam agama) mereka
hidup sangat wara' (menjaga diri dari berbuat dosa dan maksiat).
Dan juga Berasal dari wazan “tafa’ala” dalam ilmu tashrif bahasa arab yaitu
“tafa’alayatafa’alu- tafa’ulan”, kata tasawuf berarti berasal
dari mauzun  “tashawwafayatashawwafu- tashawwufan”.
Dalam arti istilah tasawuf bisa disamakan dengan mistik, yaitu suatu sistem cara
bagaimana orang ingin mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan Yang Maha kekal dan
Maha Sempurna. Agama manapun, apakah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi dan lain
sebagainya pasti mempunyai satu aspek yang disebut dengan aspek mistik (mistisisme).
Annemarie Schimmel menyatakan bahwa mistik adalah arus besar kerohanian yang mengalir
dalam semua agama.  Di dalam Islam aspek mistik itu dikenal dengan nama tasawuf atau
sufisme. Pandangan seperti ini teguhkan oleh Harun Nasution yang menyatakan bahwa
mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, yang oleh para orientalis barat disebut dengan
sufisme. Dengan demikian kata “sufisme” dalam istilah para orientalis barat khusus dipakai
untuk menyebut mistisisme atau mistik Islam. Sufisme tidak pernah dipakai untuk menyebut
mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Oleh sebab itu sebutan tasawuf atau
sufisme adalah sebutan yang bersifat khas, yang hanya diperuntukkan untuk menyebut aspek
mistik (mistisisme) dalam agama Islam dan tidak untuk agama lain. Sehingga tidak ada
tasawuf Kristen, tasawuf Hindu atau pun tasawuf Budha, karena bila disebut tasawuf pasti
berkaitan dengan mistik Islam dan tidak untuk agama-agama tersebut.
Para penulis tasawuf memberikan pengertian yang berbeda-beda dalam
mendefinisikan tasawuf. Menurut Abu Bakar Aceh tasawuf adalah mencari jalan untuk
memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Harun Nasution menyatakan bahwa
tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan
Tuhan melalui pengasingan diri dan berkontemplasi.  Muhammad Abdul Haq Ansari
menyatakan bahwa ketika Abu Husein An-Nuri ditanya tasawuf itu apa, beliau menjawab :
tasawuf bukanlah gerak lahiri (rasm) atau pengetahuan (‘ilm), tetapi ia adalah kebajikan
(khulq). Al-Junaid menyatakan tasawuf adalah penyerahan dirimu kepada Allah, dan bukan
untuk tujuan lain. Sedang Sahl Ibn Abdullah al-Tustari mengatakan tasawuf adalah makan
sedikit  demi mencari damai dalam Allah SWT dan menarik diri dari pergaulan ramai. Ma’ruf
al-Kharkhi mengatakan tasawuf adalah memilih Tuhan dan berputus asa terhadap apa saja
yang ada di tangan para makhluk. Abu Muhammad al-Jurarai menyatakan bahwa tasawuf
adalah masuk ke dalam budi menurut contoh yang ditinggalkan Nabi dan keluar dari budi
yang rendah.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa pengertian tasawuf itu sangat banyak dan
beragam (tidak sama). Ibrahim Basyuni bahkan telah memilih 40 definisi tentang tasawuf
yang diambil dari rumusan para ahli sufi yang hidup pada abad III, yaitu antara tahun 200-
334 H.  Namun demikian, definisi itu tetap saja tidak mampu memberikan pengertian yang
menyeluruh dan mewakili terhadap makna tasawuf. Dari berbagai pengertian tentang tasawuf
yang mungkin sama dan tidak diperselisihkan adalah bahwa tasawuf itu adalah moralitas-
moralitas yang berdasarkan Islam. Sebab itu Ibn al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin,
menyatakan bahwa tasawuf adalah moral. Tasawuf adalah semangat Islam, karena semua
hukum Islam berdasarkan landasan moral.
Dari beragam definisi yang telah dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya, maka
penulis berkesimpulan bahwa tasawuf merupakan sebuah ajaran kebatinan yang terdapat
dalam dunia Islam. Dan tasawuf nusantara adalah aliran tasawuf (kebatinan Islam) yang
tersebar diseluruh kepulauan nusantara.
 Sejarah Kedatangan Tasawuf di Nusantara yaitu tasawuf merupakan bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari pengkajian Islam di Indonesia, Irak Palestina dan lain-lain. Sejak Masuknya
Islam ke nusantara, unsur tasawuf  telah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan
hingga saat inipun, nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tidak terhapuskan
dari pengalaman keagamaan kaum muslim di nusantara.
Diskusi tentang keberadaan tasawuf di Nusantara berkaitan erat dengan pengkajian
proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tersebar
luasnya Islam di kepulauan nusantara sebagian besar adalah karena jasa para Sufi. Akan
tetapi belakangan ini, sufisme yang melandasi ethos kerja mereka itu, kelihatannya hampir
terlupakan dan sedikit demi sedikit mulai dikesampingkan kecuali di kalangan tertentu saja.
Seperti berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang dimulai di kota, begitu pula
dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke kawasan pinggiran atau urban, kemudian ke
wilayah pedalaman dan pedesaan. Sufi-sufi awal seperti Hasan Basri dan Rabiah al-
Adawiyah memulai kegiatannya di Basra, kota yang terletak di sebelah selatan Iraq yang
pada abad ke-8-10 M merupakan pusat kebudayaan. Makruf al-Karqi, Junaid al-Baghdadi,
dan Mansur al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad yang merupakan pusat kekhalifatan
Abbasiyah dan kota metropolitan pada abad ke 8-13 M. `Attar lahir dan besar di Nisyapur,
yang pada abad ke 10-15 M merupakan pusat keagamaan, intelektual dan perdagangan
terkemuka di Iran.
Bila membicarakan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di nusantara, Aceh
memainkan peran yang sangat penting. karena Aceh merupakan wilayah yang tidak dapat
dipisahkan dari sejarah Indonesia khususnya, umumnya dengan Malaysia, Thailand, Brunei
Darussalam, dan negara semenanjung malaya. Untuk itu tentang sejarah pemikiran tasawuf di
Indonesia, Aceh menempati posisi pertama dan strategis, karena nantinya akan mewarnai
perkembangan tasawuf di nusantara secara keseluruhan. Menelusuri aliran ini di nusantara,
maka hal ini tidak lepas dari andil orang-orang yang melakukan belajar ke negara Timur
Tengah. Diantara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di nusantara, sebagaimana
yang disebutkan dibeberapa literatur diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri ( wafat tahun
1658 M ), Abdur Rauf As Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary ( 1629-
1699 M ). Mereka ini belajar di kota Makkah, dan lain-lain.
Dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan
Melayu yang belajar di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan
ajaran tasawuf (thariqat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan
disini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang
ajarannya masih berwujud. Mereka adalah Abdus Shamad al Palimbani dan Muhammad
Arsyad al Banjari (1710,1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mampu merombak wajah
Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di
beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil Al Muhtadiin, kini diabadikan sebagai
nama masjid besar di Kota Banjar Masin, dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya.
 Perkembangan Ajaran tasawuf di Nusantara bermula Sejak kedatangan Islam ke nusantara
telah tampak unsur-unsur tasawuf yang mewarnai kehidupan keagamaan masyarakatnya,
bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih tampak menjadi bagian  tak terpisahkan
dari pengalaman keagamaan sebagian kaum musliminnya.
Para pelopor dakwah di Indonesia, pertama-tama memperkenalkan tauhid kepada
orang-orang kala itu yang masih menganut Hindu-Budha. Setelah mereka memeluk Islam
para da’i menunjukkan cara terbaik mengaktualisasikan diri dalam proses transformasi
spiritualitas dan moralitas keagamaan. Melalui keteladanan yang baik, pendidikan
dilancarkan agar terbentuknya sifat-sifat terpuji dan kemampuan melepaskan diri dari sifat-
sifat tercela. Meskipun para da’i tidak memproklamasikan aliran tasawufnya, dalam
melaksanakan dakwah mereka namun sebenarnya mereka mempraktekkan tradisi dalam
tasawuf, sebab tasawuf mengarahkan pada moralitas agama. Hal demikian yang telah
dilakukan penyebar Islam awal di Indonesia seperti wali songo dan Syekh Siti Jenar.
Layak diketahui bahwa Wali songo tidak dikenal sebagai sufi karena istilah itu belum
popular di kalangan orang-orang Indonesia kecuali pada tahun-tahun belakangan. Itu pun
terbatas pada kalangan intelektual. Di kalangan masyarakat umum istilah yang lebih dikenal
adalah istilah wali yang dalam pengertian orang Indonesia tidak berbeda dengan konotasinya
dalam bahasa arab. Ini membuktikan bawasannya mereka adalah sufi.
Perkembangan Islam yang pada umumnya diketahui adalah digerakkan oleh ulama
yang telah disebutkan di atas, dikenal dengan sebutannya wali songo atau wali Sembilan.
Dari sebutan itu saj sudah cukup beralasan untuk mengatakan, bahwa mereka adalah
penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat wali “sufi”. Bukti ini diperkuat lagi oleh
hikayat jawa (babad jawa) yang mengisahkan drama pertentangan antara sunan giri dan sunan
kalijaga di satu pihak melawan Syekh Siti Jenar di pihak lain, adalah petunjuk yang kuat
bagaimana kehidupan tasawuf yang berkembang pada masa itu. Para wali itu bukan saja
berperan sebagai penyiar islam, tetapi mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan
kerajaan dan karena posisi itu mereka mendapat gelar susuhanan yang bisa disebut Sunan.
Dari peran itu mereka “meminjam” menggunakan sedikit kekuasaan kerajaan dalam
menyebarkan dan memantapkan ajaran Islam sesuai keyakinan sufisme yang dianut.
Pada generasi Islamisasi. Mungkin, bisa dibilang banyak penyebar Islam di Indonesia
yang bernafaskan tasawuf tapi sedikit yang tercatat, di sumatera melahirkan cukup banyak
ulama tasawuf, diwakili oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri,
‘Abd Rauf Singkel, ‘Abd al-Shamad al-Palembangi, Ismail al-Minangkabawi, dan ‘Abd al-
Wahhab Rokan. Dari Kalimantan diwakili oleh Muhammad Nafis al-Banjari, dan Ahmad
Khatib Sambas. Dari pulau jawa, yaitu oleh Syekh ‘Abdal-Karim dari Banten, KH. A.
Shahibulwafa Tajul ‘arifin dari Tasikmalaya, Syekh Muslih ibn ‘Abd al-Rahman dari
Mrengen, Jawa tengah, KH. Romly Tamim dari Jombang, dari Indonesia Timur diwakili oleh
sekh Yusuf al-Makassari.
Orientasi tasawuf di Indonesia Nampak kental bila ditelisik dari sekian banyak
naskah-naskah lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis dalam bahasa arab maupun
bahasa melayu. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsure yang cukup
dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lain dapat pula ditunjuk dari
bagaimana peran ulama dalam struktur kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh sampai
pada masa Wali Songo di Jawa. Kepemimpinan Raja atau sultan selalu didampingi dan
didukung oleh kharisma ulama tasawuf.
Para pelaku tasawuf atau sufi dari awal hingga di Indonesia memperkenalkan ajaran
tasawufnya juga dengan beragam polemik yang terjadi dan berkepanjangan, akan tetapi hal
itu tidak menjadi pokok yang dipertentangkan oleh masyarakat. Hanya saja menjadi tugas
dan kewajiban dalam penyelesaiannya pada tahap level intelektual sufi pada waktu itu.
Proses bergulirnya waktu yang menggiring semuanya sampai pada ruang gerak
selanjutnya, hal ini diteruskan oleh kalangan pesantren. Warna sufisme jelmaan dari ajaran
tasawuf pun kental terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi ajaran tasawuf al-
Ghazali yang bernafaskan aliran tasawuf Sunni. Tidak tertutup juga ditemukan literatur
tasawuf-falsafi, seperti Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jili serta Futuhat al-
Makkiyah dan Fusus al_Hikam karya Ibn `Arabi.
Dalam kaitan dengan di atas, hal ini disebutkan sebagai reformasi tasawuf di
Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang mendukung dan penghayat
ajaran tasawuf. NU cukup berhati-hati dalam meletakkan ajaran tasawufnya demi
menghindari penyimpangan dari ajaran tasawuf sufi terdahulu, maka NU meletakkan dasar-
dasar tasawufnya sesuai dengan khittah aswaja (Ahlussunnah wal Jama`ah) dalam hal ini Nu
membina keselarasan antara tasawuf al-Ghazali dengan tauhid Asy`ariyah dan maturidiyah
serta hukum fiqh sesuai dengan salah satu mazhab sunni yang empat. Sedangkan dalam aspek
tarekat sebagai aspek lembaga, NU juga memiliki lembaga yang diberi nama Jam`iyyah
Thariqoh Mu`tabaroh, yang bersumber dari tasawuf junaid al-Baghdadi.Dengan demikian
NU menganut tasawuf, bertasawuf dan pada fase perkembangannya ingin membumikan
tasawuf di Indonesia.
Dengan demikian, Nampak jelas kaitan antara tasawuf dan Islam di Indonesia, dalam
prosesnya memiliki nuansa yang kental dan sangat kuat. Meskipun terdapat sekelumit
polemik perihal yang diajarkan, antara tasawuf sunni dan tasawuf-falsafi. Dengan kehadiran
dua aliran tasawuf yang berbeda haluan ini, bahwa bernar telah terjadi tarik-menarik sehingga
menjadi sebuah polemik, akan tetapi keduanya saling menguatkan argumen ajarannya
masing-masing. sehingga hal itu tidak menjadi bagian yang merusak proses Islamisasi tapi
lebih ke proses menerima perbedaan sehingga menjadi warna yang unik dan fleksibel,
dimana Islam bisa diterima oleh masyarakat Islam, dari awal hingga sampai saat ini.
Tasawuf tidak pernah terlepas dari pergerakan fase zaman yang terus bergerak maju
dan dinamis. Ia menjelmakan dirinya sebagai sesuatu yang layak, diterima dan bisa dipelajari
semua kalangan.
Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan Tasawuf di Nusantara dan Ajarannya Sebenarnya ada
banyak tokoh yang ikut andil dalam menyebarkan ajaran tasawuf di nusantara. Namun, dalam
makalah ini penulis hanya membahas beberapa tokoh saja, diantaranya:
1.       Hamzah Fansuri (1588-1604 M).
            Beliau adalah tokoh yang mengembangkan aliran wahdatul wujud Ibnu
‘Arabi. Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus atau Fansur, sekarang merupakan kota
kecil Pantai Barat Sumatra, antara Sibolga (Sumatra Utara) dan Singkel (Aceh Selatan).
Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat, seperti; Aceh, Jawa, Tanah Melayu, India,
Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang paling berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al-
Kurani (Madinah).
            Sekembalinya dari perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di
Aceh melalui lembaga pendidikan “Dayah” (pesantren) di Oboh Simpang Kanan, yang
merupakan cabang dari Dayah Simpang Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekj Ali
Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkili. Hamzah ternyata tidak hanya beraktifitas
sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah
tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh lawan-lawannya yang
menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.
2.       Syamsuddin as-Sumatrani (1575-1630 M)
            Ia adalah murid dari Hamzah Al Fansuri. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua
karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah
yaitu: Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh Syamsuddin di
antaranya: Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi dari pengembara
dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa Syamsuddin lahir kira-kira
1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny Lombard. Syaikh
Syamsuddin banyak melahirkan karya bermutu seperti: Jawhar al-Haqaiq, Risalah
Tubayyin Mulahazah, Nur al-Daqaiq, Thariq al-Sahlikin, I’raj al-Iman dan karya
lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan
ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab.           Pemberian makna “Tiada wujud selain
Allah” bagi kalimat tauhid la ilaha illa  Allah hanya dilakukan oleh kalangan sufi
penganut paham wujudiyyah saja, dan itu menjadi ciri khas yang membedakan kalangan
penganut paham wujudiyyah dengan kalangan sufi lainnya. Pengakuan bahwa tidak ada
wujud selain Allah disebut dalam pengajaran Syamsuddin sebagai tauhid hakiki (al-
tawhid al-haqiqi) atau tauhid yang murni (al-tawhid al-khalish). Menurutnya, tauhid
hakiki atau tauhid murni itu baru ada pada seseorang jika ia mengakui bahwa tidak ada
pelaku atau pembuat selain Allah, tidak ada yang ditaati atau disembah selain Allah dan
tidak ada wujud selain Allah.
Syamsuddin, dalam pengajarannya tentang maksud kalimat-kalimat tauhid itu,
juga mengingatkan pengikutnya tentang perbedaan pendirian mereka sebagai penganut
tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin) dengan kaum yang ia sebut sebagai
orang-orang zindiq. Menurutnya kedua pihak itu sepakat dalam hal menetapkan maksud
kalimat tauhid la ilaha illa Allah, yakni tiada wujud selain Allah, sedangkan wujud
sekalian alam adalah bersifat bayang-bayang, majazi atau fatamorgana, dibandingkan
dengan wujud Allah. Sedangkan paham kaum zindiq, wujud Tuhan tidak ada kecuali
dengan kandungan wujud alam seluruhnya; semua wujud alam adalah wujud Tuhan dan
wujud Tuhan adalah wujud alam, baik dari segi wujud maupun dari
segi ta’ayyunta’ayyun  (penampakan-penampakan). Mereka menetapkan kesatuan hakiki
dalam kejamakan alam tanpa membedakan martabat Tuhan dengan alam.[23] Paham
demikian, menurut Syamsuddin adalah paham batil, tidak benar dan ditolak oleh
penganut tauhid yang benar.
3.       Abdurrauf as-Singkili (1620-1693 M)
            Beliau adalah seorang ulama dan mufti besar Kerajaan Aceh pada abad ke XVII.
Nama lengkapnya adalah Syeikh Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri. Sejarah telah mencatat
bahwa As-Sankli merupakan murid dari dua orang ulama sufi yang menetap di Mekah
dan Madinah. Sebelum As-Sankili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah
berkembang ajaran tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf wujudiyah yang kemudian dikenal
dengan nama wahdad Al-Wujud. As-Sankili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan
syari’at. Ajaran tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin yaitu menganut
paham satu-satunya wujud Hakiki, yakni Allah. Alam dan manusia ciptaan-Nya
bukanlah merupakan wujud yang hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki.
4.       Yusuf al Makassari (1629 M)
            Beliau adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan
pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M, yaitu ketika
Sulawesi baru saja kedatangan tiga orang penyebar islam yaitu Datuk Ri Bandang dan
Kawan-kawannya dari Minangkabau. Dalam salah satu karangannya dia
menulisbelakang namanya dengan bahasa Arab “Al Makasari”, yaitu nama kota di
Sulawesi Selatan (Ujung Pandang).
            Berbeda dengan kecenderugan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakkan
kehidupan duniawi Syeikh Yusuf mengungkapkan paradigma Sufistiknya bertolak dari
asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syari’at) dan
aspek batin (hakikat). Syari’at dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu
kesatuan.
Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan
melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Berkenaan dengan cara-cara
menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar (orang-
orang terbaik) yaitu degan memperbanyak shalat, Puasa, membaca Al-Qur’an, naik Haji,
dan berjihad di jalan Allah. Kedua, cara Mujahadat Asy-Syaqa’ batin dengan (orang-
orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk
melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih
memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga cara ahli
ad-dzikir, yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan,
yaitu orang-orang yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat
menjaga keseimbangan kedua aspek ketaatan itu.

Anda mungkin juga menyukai