Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf itu telah ada sejak masa Rasulullah saw. Namun tasawuf
sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu
keislaman lainnya. Pada masa Rasulullah saw, belum dikenal istilah tasawuf, yang
dikenal hanya sebutan sahabat Nabi saw. Sesudah beliau wafat, pengikut yang
tidak dijumpai beliau disebut tabi’in.Selain itu ada juga istilah “Ahlus Suffah”
bagi sebagian sahabat nabi yang memilih kesederhanaan hidup. Istilah yang
berkembang pada saat itu bukan tasawuf melainkan Zuhud telah menjadi
kebiasaan Rasulullah Saw dari nenek moyang yang kemudian diikuti oleh
sebagian sahabat.
Kajian tasawuf di Indonesia adalah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kajian Islam. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak
unsur tasawuf yang mengisi kehidupan beragama masyarakat Indonesia, bahkan
saat inipun kajian mengenai tasawuf masih menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari Indonesia, dapat dibuktikan dengan semakin maraknya kajian Islam.
Menurut Dr. Alwi Shihab, tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam
secara luas di Asia Tenggara. Meski setelah itu terjadi perbedaan pendapat
mengenai kedatangan tasawuf, apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau
datang kemudian. Perbedaan yang sama terjadi pula mengenai tasawuf falsafi
yang diasumsikan sebagai sumber inspirasi bagi penentuan metode dakwah yang
dianut dalam penyebaran Islam tersebut. Maka dri itu, dalam makalah ini kami
akan membahas tentang tasawuf menurut Syekh Yusuf Al Maksari, dan Nawawi
Al Bantani dan Hamka.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tasawuf menurut Syekh Yusuf Al Makasari ?
2. Bagaimana Tasawuf menurut Nawawi Al Bantani ?
3. Bagaimana Tasawuf menurut Hamka ?

1
PEMBAHASAN
A. Syekh Yusuf Al Makasari
1. Riwayat Hidup
Syekh Yusuf Al Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang
berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 syawal 1036 H atau
bersamaan dengan 3 juli 1629 M, yang berarti belum berapa lama setelah
kedatangan tiga orang penyebar Islam ke Sulawesi, (yaitu datuk Ri Bandung
dan kawan-kawannya dari minangkabau). Dalam salah satu karangannya ia
menulis ujung namanya dengan bahasa arab “Al-Maksari” yaitu nama kota
di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang).1
Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan
kecintaannya pada pengetahuan keislaman. Dalam tempo yang relatif
singkat, ia telah tamat mempelajari Al-Quran 30 juz. Setelah lancar dan
hafal Al-Quran, ia mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain seperti ilmu
nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, maani, badi', balaghah, dan manthiq. Ia pun
belajar pula ilmu fiqih, ilmu ushuluddin dan ilmu tasawuf. Ilmu yang
terakhir ini nampaknya lebih serasi pada pribadinya. Di masa Syeikh Yusuf,
hampir setiap orang menggemari ilmu tasawuf. Orang yang hidup di zaman
itu lebih mementingkan mental dan materiel. Ini dilakukan untuk
mengimbangi berbagai agama dan kepercayaan yang memang menjurus ke
arah itu pula.
2. Pemikiran Syekh Yusuf Al Makasari tentang Tasawuf
Berbeda dengan kecenderungan sufisme pada masa-masa awal yang
mengelakkan kehidupan duniawi, Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma
sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi 2 aspek,
yaitu lahir (syariat) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan Hakikat harus
dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.2
Meskipun berpegang teguh pada transedesi Tuhan, ia meyakini
bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan
sesuatu. Mengenal hal ini, Syekh Yusuf mengembangkan istilah al-

1
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm 349
2
Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, Jakarta:Yayasan
Obor,1994,hlm.173

2
ilathah (peliputan), dan al-ma'iyyah (kesertaan). Kedua istilah itu
menjelaskan bahwa Tuhan turun (tanazul), sementara manusia naik (taraqi),
suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh
Yusuf mengarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk
kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Sebab al-ihathah dan al-
ma'iyyah i Tuhan terhadap hamba-Nya adalah secara ilmu. Menurutnya,
fana’ adalah hamba yang tidak memiliki kesadaran tentang dirinya, merasa
tidak ada, hannya ia menyadari sebagai yang mewujudkan, yang
diwujudkan, dan perwujudan. Pandangannya tentang Tuhan di atas secara
umum mirip dengan wahdaat Al-Wujuud dalam filsafat mistik Ibnu Arabi.
Syekh Yusuf berbicara pula tentang insaan kaamil dan proses
penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba
walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun
turun pada diri hamba. Dalam proses penyucian jiwa, ia menempuh cara
moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan
hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju
Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan
disiplin diri atas dasar orentasi ketuhanan yang senantiasa melindungi
manusia. Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya ke
dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar (orang-orang terbaik), yaitu
dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca Al-Quran, naik haji,
berjihad di jalan Allah SWT. Kedua, cara mujahadat asy-syaqa' (orang-
orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras
untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan
lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan
lahir. Ketiga, cara ahl adz dzikr, yaitu jalan bagi orang yang
telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu jalan bagi orang-
orang yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat
menjaga keseimbangan kedua aspek ketaatan itu3

3
Prof.Dr.Rosihon Anwar,M.Ag, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2010.hlm 352

3
B. Syekh Nawawi Al Bantani
1. Riwayat Hidup
Syekh Nawawi al-Bantani (lahir di Tanara, Serang, 1230 H/1813 M
dan meninggal di Mekkah, Hijaz 1314 H/1897 M) adalah seorang
ulama Indonesia bertaraf Internasional yang menjadi Imam Masjidil
Haram. Ia bergelar al-Bantani karena berasal dari Banten, Indonesia. Ia
adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif menulis kitab,
jumlah karyanya tidak kurang dari 115 kitab yang meliputi bidang
ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis.
Karena kemasyhurannya, Syekh Nawawi al-Bantani kemudian
dijuluki Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz), al-Imam al-
Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang Mumpuni
ilmunya), A'yan Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh Ulama
Abad 14 Hijriyah), hingga Imam Ulama al-Haramain, (Imam 'Ulama Dua
Kota Suci).4
2. Pemikiran Syekh Nawawi Al Bantani tentang tasawuf
Menurut Syekh Nawawi tasawuf berarti pembinaan etika (adab).
Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan
berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha
menguasai ilmu bathin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus
ke dalam zindiq (kafir zindiq). Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam
upaya pembinaan etika atau moral (adab).
Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai seorang tokoh ulama‟
terbesar, tapi beliau juga dikenal sebagai seorang sufi yang berlian karena
kemahiran dan kepintaran beliau dalam bidang agama. Sejauh itu, dalam
bidang tasawuf, Syekh Nawawi dengan aktivitas intelektualnya
mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama.
Dari karya-karya yang dituliskannya Syekh Nawawi menunjukkan seorang
sufi brilian, beliau banya memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat
dijadikan sebagai rujukan stradar bagi seorang sufi. Pandangan tasawufnya
meski tidak tergantung pada guru beliau yaitu Syekh Khatib Sambas,

4
https://id.wikipedia.org/wiki/Nawawi_al-Bantani diakses pada 24 mei 2018 pukul 21:58

4
seorang Ulama‟ tasawuf asal Jawa yang memimpin sebuah organisasi
tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun beliau memiliki
pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat
sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan itu, Syekh
Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan
lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh
dengan kapal berlayar di laut.
Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat
merupakan awal dari perjalanan (ibtida‟i) seorang sufi, sementara hakikat
adalah hasil dari syariat dan tarekat. Pandangan ini mengidentifikasikan
bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama
tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan
ajaran Islam, syariat. Paparan konsep tasawuf Syekh Nawawi tampak pada
konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama‟
salaf. Tema-tema yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf
klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Syekh Nawawi harus
dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Berbeda dengan sufi
Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori
genostik Ibnu Arabi, Syekh Nawawi justru menampilkan tasawuf yang
moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan
tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqih dan tasawuf.
Beliau lebih mengikuti al-Ghazali dan dalam kitab tasawufnya “Salalim al-
Fudlala” terlihat Syekh Nawawi bagai sosok seorang al-Ghazali di era
modern. Beliau lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqih dan
tasawuf.
Dilihat dari pandangan beliau tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam
bathin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta‟allum (berguru)
dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajad „alim sedangkan ilmu
bathin dapat diperoleh melalui proses dzikir, muraqqabah, dan
musyahadah sehingga mencapai derajad „Arif.50 Seorang hamba

5
diharapkan tidak hanya menjadi „alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu
lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu bathin. 5

C. Hamka
1. Riwayat Hidup
Hamka [Haji Abdul Malik Karim Amrullah] dilahirkan ditanah sirah,
Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, tepatnya pada tanggal 13
Muharam 1362 H, bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayahnya
adalah Abdul Karim Amrullah Ayah Hamka termasuk keturunan Abdul
Arif, gelar tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo, salah seorang
Paderi. Tuanku Nan Tuo adalah salah satu ulama yang memainkan
peranan peting dalam kebankitan kembali pembaharuan di Minangkabau
dan sebagai guru utama Jalal Ad-Din. Kondisi soasial keagamaan pada
masa Hamka menuntut adanya pikiran-pikiran baru yang membawa umat
pada ajaran Al-Qur’an dan Hadits yang lurus, yang tidak bercampur
dengan adat-istiadat.
Hamka mengawali pendidikannya dengan belajar membaca Al-
Qur’an di rumah orang tuanya. Setahun kemudian, setelah mencapai usia
tujuh tahun, Hamka dimasukkan ayahnya kesekolah desa. Pada tahun
1916, ketika Jainuddin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah diniyah
petang hari, di Pasar Usang Padang Panjang, hamka lalu dimasukkan
ayahnya ke sekolah ini. Setelah ayahnya Abdul Karim Amrullah, kembali
dari pelawatan pertamanya ke tanah jawa. Surau Jembatan Besi, tempat
ayah Hamka memberi pengajaran agama dengan sistem lama, diubah
menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan Thawalib School, dan
hamka dimasukkan ke sekolah itu.
Hamka tidak sempat memperoleh pendidikan tinggi, akan tetapi,
tampaknya ia berbabakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai
bahasa Arab, termasuk terjemahan- terjemahan dari tulisan-tulisan barat.
Pada tahun 1930, Hamka bukan hanya pergi ke Jawa, melainkan juga ke

5
www.jejakpendidikan.com, diakses pada 24 mei 2018 pukul 21:56

6
Mekah, Sulawesi Selatan dan Sumatra Utara. Hamka juga telah diilhami
kesadaran tentang kesatuan indonesia jauh sebelum 1928.
2. Pemikiran Hamka tentang Tasawuf
Menurut Hamka, walaupun pengambilan kata tasawuf itu, dari
bahasa Arab atau Yunani, dari asal-asal pengambilan itu, nyata bahwa
yang dimaksud dengan kaum tasawuf atau kaum sufi ialah kaum yang
telah menyusun perkumpulan untuk menyisihkan diri dari orang banyak,
dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat-kaca terhadap Tuhan,
atau memakai pakaian yang sederhana, tidak menyerupai pakaian orang
dunia, biar hidup kelihatan kurus-kering bagai kayu di padang pasir, atau
memperdalam penyelidikan tentang perhubungan makhluk dengan
Khaliqnya, sebagaimana yang dimaksud perkataan Yunani itu.
a. Hakikat tasawuf
Menurut Hamka, tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang
bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan bathin.
Artinya, tasawuf adalah alat untuk membentengi dari kemungkinan-
kemungkinan seseorang terpleset ke dalam lumpur keburukan budi
dan kekotoran bathin yang intinya, antara lain dengan berzuhud
seperti teladan hidup yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah
SAW lewat As-sunnah yang shahih.
Hamka merinci beberapa hal sebagai berikut:
Tasawuf menjadi negatif, bahkan sangat negatif kalau tasawuf:
1. Dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan
oleh ajaran agama Islam yang terumus dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
2. Dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan
terhadap pandangan bahwa dunia ini harus dibenci.
Tasawuf akan menjadi positif, bahkan sangat positif kalau tasawuf:
1. dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah
dengan muatan-muatan peribadahan yang telah dirumuskan
sendiri oleh Al-Qur’an dan As Sunnah.

7
2. Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada
kepekaan sosial yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat
mendukung “pemberdayaan umat Islam” agar kemiskinan
ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas.
a. Fungsi tasawuf
Menurut pendapat Hamka, tasawuf yang bermuatan zuhud yang
benar, yang juga dilaksanakan lewat peribadahan agama yang
didasari i’tiqad yang benar, mampu berfungsi sebagai media
pendidikan moral keagamaan (moral religius) yang efektif.
b. Tasawuf modern
Tasawuf yang ditawarkan Hamka disebut “tasauf modern” atau
“tasawuf positif” berdasar pada prinsip “tauhid”, bukan pencarian
pengalaman “mukasyafah”.
Secara garis besar, konsep sufistik yang ditawarkan Hamka adalah
sufisme yang berorientas “ke depan” yang ditandai dengan
mekanisme dari sebuah sistem ketasawufan yang unsur-unsurnya
meliputi: prinsip “tauhid”, dalam arti menjaga transendensi Tuhan
dan sekaligus merasa “dekat dengan Tuhan”. Memanfaatkan
peribadahan sebagai media bertasawuf. Dan menghasilkan refleksi
hikmah yang berupa sikap positif terhadap hidup dalam wujud
memiliki etos sosial yang tinggi.
c. Qana’ah
Menurut Hamka, maksud qana’ah itu matlah luas. Menyuruh benar-
benar percaya akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan kita
sabar menerima ketentuan Ilahi jiga ketentuan itu tidak
menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjami-Nya nikmat. Itulah
maksud qana’ah.
d. Tawakal
Hamka menjelaskan tawakal sebagai berikut: Di dalam qana’ah,
tersimpullah tawakal, yaitu menyerahkan keputusan segala perkara,
ikhtiar, dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Dia yang kuat dan
kuasa, sedangkan kita lemah dan tak berdaya. Tidaklah keluar dari

8
garisan tawakal, jiga kita berusaha menghindarkan diri dari
kemelaratan, baik yang menyangkut diri, harta-benda, anak turunan,
baik kemelaratan yang yakin akan datang, atau berat pikiran akan
datang, atau boleh jadi akan datang.6

6
sufiroad.blogspot.com/2011/04/sufi-road-tasawuf-menurut-buya-hamka.html, diakses pada 24
mei 2018 pukul 20:47

9
PENUTUP
Kesimpulan
Ajaransyekh Yusuf Al Makasari adalah dengan mengembangkan
istilah al ilathah (peliputan) dan al ma’iyyah (kesetaraan). Menurut beliau cara
juga cara menuju tuhan ada tiga tingkatan yaitu tingkatan akhyar, tingkatan
mujahadat, dan tingkatan ahl adz dzikir.
Menurut Syekh Nawawi tasawuf berarti pembinaan etika (adab).
Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat
terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu
bathin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq
(kafir zindiq). Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan
etika atau moral (adab).
Menurut Hamka, tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang
bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan bathin.

10

Anda mungkin juga menyukai