Anda di halaman 1dari 60

Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih, Dan Ilmu Jiwa

A. Keterkaitan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Kalam


Ilmu kalam merupakan disiflin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang
persoalan-persoalan kalam Tuhan. Pembicaraan materi-materi yang tecakup dalam ilmu kalam terkesan tidak
menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, serta
kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemikan pembahasan jalan atau metode praktis
untuk merasakan keyakinan dan ketentraman.
Allah berfirman :
Artinaya: Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman,
tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam.
2. Berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf.
3. Berpungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam.
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak
kaku tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.
B. Keterkaitan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Fiqh
Disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqh dalam persoalan-persoalan tersebut?
Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini berhasil memberikan corak
batiniah terhadap ilmu fiqh. Dahulu para ahli fiqh mengatakan “ barang siapa mendalami fiqh, tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tapi belum mendalami fiqh, berarti ia zindiq, dan barang
siapa melakukan keduanya berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).
Ajadi paparan diatas telah dijelaskan bahwa ilmu tasawuf dan ilmu fiqh adalah dua disiflin ilmu yang paling
melengkapi.
C. Keterkaitan ilmu tasawuf dengan filsafat
Ilmu tasawuf yang berkembang didunia islam tidak dapat dinafikan sebagai sumbangan pemikiran
kefilsafatan. Kajian-kajian mereka tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata banyak memberikan
sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia islam. Namun perlu juga d
icatat bahwa istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah Qalb (hati).
D. Hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa ( treanspersonal psikologi )
Tasawuf selalu membicarakan persoalan-persoalan yang berkisar pada jiwa manusia, hanya saja,
dalam jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim. Dalam pandangan sufi akhlak dan sifat seseorang
bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu
merasakan kebagaian dalam hidup, pada prilaku orang sehat mental akan tanpak sebuah sikap yang tidak
ambisius, sombong, rendah diri, dan apatis, tapi ia bersikap waja, menghargai orang lain, merasa percaya
kepada diri dan selalu gesit.
Gejala-gejala umum yang tergolong orang yang kurang sehat dapat dilihat dalam beberapa segi, antara lain :
1. Perasaan
2. Pikiran
3. Kelakuan
4. Kesehatan

*******************************************************************************

TOKOH-TOKOH TASAWUF BESERTA PEMIKIRANNYA


Posted by Rafa Aoleng, Jumat, 25 November 2011 , in artikel

Sesugguhnya banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW, untuk hidup
seadanya dan tidak tamak, tapi kami disini akan membahas siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu
tasawuf :
A.Tokoh-tokoh Ilmu Tasawuf klasik :

Tokoh-tokoh ilmu tasawuf yang tersohor pada zaman dahulu adalah :

1. Ibn Athaillah as Sakandary

Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang
Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al
Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan
akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al
Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab
lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai
dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut
terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang
guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil
Hasan.

2. Al Muhasibi

Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi"
mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia
tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya
dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al
Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi
menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.

3. Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)


Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat
Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan
dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh
Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai
Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya
untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling
populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban).
Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah
tharikat yang paling pertama berdiri.

4. Al Hallaj

Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus
yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum
mati. Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada
Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak.
Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah
Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan
"melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara
manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung
perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj
dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut
sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro
dan kontra.

B.Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat dan Ajarannya

Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat,
bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan
dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini
(Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak
hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan
qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”.
Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka
mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa
mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah
sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan
personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti,
al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni.
Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau
konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode
tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali
kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada
nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis.
Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif)
secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
1. A. Junaid Al-Baghdadi

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia
adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari
Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang luar
biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah
seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman
akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan
luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`.
Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-
Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari
Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah
berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus
gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya
untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid.
Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara
lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang
merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak
beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang
selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan
hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada
ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup
dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan
kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan
karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.

2. B. Al-Qusyairi An-Naisabury

Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya
pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul
Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul
Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir
sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab
pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan
kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada
awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy
merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa
saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan
meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin
ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy
bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-
Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq.
Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar
dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama
Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas
Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua
pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-
Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk
menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan
wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu
Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath
Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim. Disamping berguru pada mertuanya,
Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-
Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada
Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr
Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq
Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn
Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-
Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal
Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak
mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang
Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy
cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras
doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy
pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang
menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri Perburuan terhadap
para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya,
Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik
Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada
Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-
Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan
ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan,
khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada
masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan
perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang
memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani,
Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi,
Kairo,1983).
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak
memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan
sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya
monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang
menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu.
Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya,
hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul
Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu
as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya
tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul
Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-
Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-
Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini
merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut
Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16
Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang
telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan
tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang
pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai
bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.

3. C. Al-Harawi

Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H.
di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab
hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad
kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang
memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang
terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam
karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para
sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini
sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti
halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para
sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang
maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan:
“peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan
ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan
membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan
ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-
lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang
membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa
ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah
bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang
menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan
kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya
sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu
seorang nabi atau wali.

Apa sebenarnya Filsafat Islam, Ilmu Kalam dan Tasawuf itu? Apakah mereka itu sama atau berbeda?
Mungkin pertanyaan ini sempat terlintas di benak kita. Seiring dengan ilmu-ilmu pengetahuan di dalam
Islam yang semakin berkembang setelah wafatnya Nabi penutup Muhammad SAW, banyak ilmu-ilmu
keislaman yang lahir dan melahirkan berbagai pemikiran dari para ulama hingga akhirnya umat Islam
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan dan aliran. Khususnya pada ilmu kalam, filsafat islam dan
tasawuf. Lalu sebenarnya topic apakah yang mereka bahas sehingga mereka menjadi terpecah-pecah
kedalam aliran-aliran Ilmu yang berbeda? Jika mereka sama-sama membahas tentang Tuhan lalu mengapa
nama ilmunya berbeda-beda? Mengapa tidak sama?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan kami coba jawab di dalam makalah ini, tentang bagaimana ketiga
ilmu itu lahir, objek apa yang mereka bahas, metode apa yang mereka gunakan sehingga kita dapat
menemukan dan mengetahui perbedaan antara ketiga ilmu itu meskipun di sisi yang lain mereka memiliki
kesamaan.

2. Tujuan

Selain demi memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen kami, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
untuk dapat mengetahui perbedaan yang mendasar antara Filsafat Islam, Ilmu Kalam, dan Tasawuf, juga
untuk dapat memahami dasar-dasar pokok pembahasan dari masing-masing ketiga ilmu itu.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah Singkat Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf Beserta Aliran-alirannya

A. Sejarah Singkat lahirnya Ilmu Kalam beserta Aliran-alirannya

Kelahiran Ilmu Kalam dilatarbelakangi oleh topik-topik pembahasan seputar Ketuhanan seperti jabr (doktrin
yang menganggap bahwa Tuhan telah menetapkan sebelumnya apa yang akan terjadi, sehingga garis
ketetapan itu tak dapat diubah. Dan mengenai kehendak bebas (ikhtiyar), serta topic mengenai keadilan Ilahi
berlangsung di kalangan Muslim pada paro pertama abad kedua hijriah. Ada tokoh-tokoh yang senantiasa
mendukung kehendak bebas (ikhtiyar) seperti Ma’bad Al-Juhani paro abad kedua pertama (wafat tahun 80
H/699 M). Dan ada juga yang menentang kehendak bebas dan lebih mendukung jabr. Kaum yang memiliki
kehendak bebas dinamakan Qodariah sedangkan lawannya adalah Jabariyah. Maka berangsur-angsur pokok-
pokok perselisihan antara kedua kelompok ini meluas ke bidang teologi dan masalah-masalah lain yang
berhubungan dengan manusia dan kebangkitan, diantaranya juga masalah jabr dan ikhtiyar.[1] Maka
bermunculan aliran-alirab teologi dengan dasar ajaran dan keyakinannya masing-masing. Berikut adalah
penjelasan singkat mengenai aliran-aliran kalam :

1. 1. Aliran Khawarij

Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad
al_syahrastani, Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para
jamaah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Khawarij sebagai sebuah aliran teologi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali Ibn Abi Thalib yang
meninggalkan barisan, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Ibn Abi Thalib yang menerima kesepakatan
damai sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awyiyah Ibn Abi Sufyan.

Mereka pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya dipadang pasir yang serba
tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun cara berpikir. Golongan-
golongan Khawarij yangterbesar menurut al-Syahrastani ada delapan. Yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-
Najdat, al-Baihasiyyah, al-Ajaridah, al-Sa’alibah, al-Ibadiah dan al-Shufriyah.

a. Al-Muhakkimah.

Al-Muhakkirnah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa tahkim. Pimpinan
mereka diantaranya Abdullah bin Al-Kawa, Utab bin al- A’war, Abdullah bin Wahab al-Rasiby. Al-
Muhakkimah ini adalah golongan Khawarij pertama yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Merekalah yang
berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibnu al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta
semua orang yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang bersalah dan menjadi kafir.

b. AI-Azariqah

Al-Azarigah adalah bagian dari golongan Khawarij yang dapat menyusun barisan baru yang besar dan kuat.
Daerah kekuasaannya terletak di perbatasan Irak dan. Iran. Khalifah yang pertama mereka pilih adalah Nafi’
sendiri, dan kepadanya mereka memberi gelar Amir al- Mu’minin. Sub sekte al-Azariqah ini sikapnya lebih
radikal dari Muakimah. Mereka mengubah term kafir menjadi term musyrik.

c. Al-Najdat

Al-Najdat adalah golongan khawarij yang ketiga. Nama golongan ini diabil dari nama pemimpinnya
yang bernama Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah. Mereka ini pada mulanya ingin bergabung dengan
kaum Azariqah. Namun rencanan ini tidak terwujud, karena terjadi perselisihan paham antara pengikut al-
Azariqah dengan al-najdat. Para pengikut Nafi’ Ibnu al-Azraq yang bernama Abu Fudaik, Rasyid al_Tawil
dan Atiah al-Hanafi dalam tidak menyetujui paham al-Azariqah yang mengatakan bahwa orang Azraqy yang
tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik.

Najdah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar dan dapat menjadi kafir serta kekal dalam neraka
hanyalah orang Islam yang, tak sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika mengerjakan
dosa besar, betul akan mendapat balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.

2. Aliran Murji’ ah

Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir
mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran
Khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di
hadapan Tuhan karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang
mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang
melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad
sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap
mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut
masih tetap mukmin, bukan kafir. Pada golongan Murji’ah yang moderat ini terdapat nama al-Hasan Ibnu
Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Au Yusuf dan beberapa ahli hadis.

3. Aliran Qadariyah

Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan.
Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu Kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang
memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-
perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia dipandang mempunyai gudrat atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada
qadar atau qada Tuhan. Aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam
gerak laku dan perbuatannya. Qodariah dosebut juga dengan aliran Mu’tazilah.

4. Aliran Jabariyah

Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Paham Jabariyah disebut fatalism
atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh
qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini tidak memilki kebebasan dan
inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Aliran Jabariyah ini selanjutnya
mengembangkan pahamnya sejalan dengan perkembangan masyarakat pada masa itu. Sebagaimana telah
disebutkan di atas bahwa Jabariyah ini mengajarkan paham bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya
berada dalam keadaan terpaksa. Manusia dianggap tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan.

Dalam sejarah tercatat, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah di kalangan umat
Islam adalah Al-Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Mad ini kemudian disebarluaskan oleh para
pengikutnya.

B. Sejarah Singkat Tasawuf beserta Aliran-alirannya

Kata tasawuf dan sufi belum dikenal pada masa awal Islam, namun tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah
ada walaupun istilah sufi dan nama ilmu tersebut belum muncul. Ilmu kesufian atau ilmu tasawuf adalah
ilmu yang didasari oleh al-Qur’an dan al-Hadits dengan tujuan utama mengesakan Allah dengan amar
ma’ruf nahi munkar. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyah oleh Abu
Hasyim al-Kufi (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang namanya menjadi Abu Hasyim Al-Sufi.
Dalam sejarah Islam sebelum muncul aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud
timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyah. Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan
hidup kematerian.[2]

Akan tetapi setelah tasawuf menjadi sebuah ilmu pengetahuan maka pengertian tentang tasawuf sebagai ilmu
kerohanian maupun sebagai mistisisme dalam Islam, masih perlu dilihat dari tipe-tipe atau mazhab-mazhab
tasawuf. tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu; tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi
etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah ketiga adalah tasawuf
falsafi yang bermakna mistik metafisis. Apabila tasawuf diartikan sebagai upaya agar berada sedekat
mungkin dengan Tuhan maka tasawuf dapat dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” antara manusia
dengan Tuhan. Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf Syi’I dan tipe pertama disebut tasawuf Sunni.
Apabila konsepnya dipandang telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam,” maka ia dikelompokkan
kepada tasawuf Syi’i, sebaliknya apabila ajaran tasawuf itu masih berada dalam garis garis islam disebut
tasawuf Sunni. Dalam Ilmu tasawuf terminologi tarekat tidak hanya berarti sebagai metoda tertentu atau
jalan yang dapat mengantarkan seorang agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, tatpi ia juga bermakna
segenap ajaran Islam adalah tarekat menuju umat menuju perjumpaan Tuhan. Tarekat dalam terminologi
tasawuf adalah gaya yang ditempuh seseorang sufi dalam memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh
aspek ajaran islam agar ia selalu berada dekat dengan Tuhan. Berdasarkan kode etik keilmuan dan penyajian
yang lebih bersifat akademik, maka penulis membedakan tasawuf kepada dua aliran, vaitu TASAWUF
SUNNI dan TASAWUF FALSAFI.

Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf Sunni dengan tasawuf falsafi, ada sejumlah kesamaaan
yang jelas disamping adanya perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama mengakui ajarannya
bersumber dari al-Quran dan sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuen. Tasawuf sunni
berpendapat, bahwa antara makhluk dengan Khalik tetap ada Jarak yang terpisah sehingga tidak mungkin
tumbuh karena keduanya tidak seesensi. Lain halnya dengan tasawuf falsafi, mengatakan manusia seesensi
dengan Tuhan karena manusia berasal dan tercipta dari esensi-Nya.

Terjadinya perbedaan itu bersumber dari perbedaan kecenderungan dan minat terhadap pemikiran-pemikiran
spekulatif filsafat. Tasawuf ini kurang memperhatikan ide-ide spekulatif karena mereka sudah, merasa puas
dengan argumentasi yang bersifat naqli agamawi. Nampaknya perbedaan dan sebab penamaan itu tidak
terletak pada menyimpang atau tidaknya dari ajaran Islam atau karena perbedaan nilai, tetapi perbedaan itu
hanyalah bersifat instrumental belaka yakni sistem pemecahan masalah. Di satu pihak membatasi diri hanya
menggunakan landasan naqli, sedangkan dipihak lainnya menggunakan alat bantu yang bersifat aqli filsafati,
filsafati timur, filsafat dari belahan dunia barat.

C. Sejarah Singkat Filsafat Islam beserta aliran-alirannya

Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah
pemerintahan Harun al-rasyid, dimulailah penerjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab.
Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip Awalnya yang
dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain
termasuk filsafat.

Penerjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme,
karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan
Yunani lainnya yang dapat dibaca oleh ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filosof dan
ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam. Dan muncullah beberapa aliran filsafat
Islam. Aliran-alirannya adalah yang akan kami jelaskan sebagai berikut :

A. Aliran Paripatetik

Istilah paripatetik merujuk kepada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya.
Dengan demikian istilah paripatetik ini merujuk kepada para penbgikut Aristoteles. Tokoh-tokoh yang
dikategorikan dalam aliran ini diantaranya adalah al-Kindi (w.866), al-Farabi (W.9540), ibn Sina (w. 1037),
Ibn Rusyd (W.1196), dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274).

Ciri khas dari aliran ini adalah penjelasan yang bersifat diskursif, yakni menggunakan logika formal
berdasarkan penalaran akal. Lalu sifatnya tidak langsung karena mereka menggunakan symbol dalam
menangkap objek dan cirri lainnya adalah penekanan yang kuat pada daya-daya rasio.
B. Aliran Iluminasionis (Isyraqi)

Aliran ini didirikan oleh Pemikir Iran bernama Suhrawardi al-Maqtul yang dijatuhi hukuman mati karena
dituduh oleh para ulama Suriah yang iri padanya bahwa ia telah menyebarkan aliran sesat.

Karakteristik dalam filsafat iluminasionis ini diantaranya adalah mementingkan posisi pengetahuan intuitif
(irfani) sebagai pendamping dari penalaran rasional. Jadi Suhrawardi mensintesiskan dua pendekatan
burhani dan irfani dalam sebuah system pemikiran yang solid dan holistic.

C. Aliran Irfani (Tasawuf)

Dalam perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Bahkan
Suhrawardi sendiri mengatakan bahwa tasawuf merupakan fundamental bagi filsafat. Sebagaimana yang kita
ketahui tasawuf didasarkan oleh pengetahuan intuitif. Persepsi intuitif berbeda dengan persepsi intelektual,
karena persepsi intuitif ini bisa langsung menembus langsung jantung objeknya. Rumi menyatakan
pandangannya dengan sebuah pertanyaan retorik:” Bisakah anda menyunting mawar dengan M.A.W.A.R?”
Tidak, anda baru menyebut nama” kata Rumi, “Carilah yang empunya Nama!”

Tentu saja pertanyaan ini menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas objeknya. Menurut para
sufi, “Cinta” pun tidak akan bisa dipahami oleh akal kecuali jika kita mengalaminya sendiri.

D. Aliran Hikmah Muta’aliyah

Aliran ini diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w.1641) yang
lebih dikenal dengan Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga
aliran filsafat yaitu Paripatetik, Iluminasi, dan Irfani.

Filsafat hikmah percaya bukan hanya pada akal diskursif, melainkan juga pada pengalaman mistik. Namun
filsafat Hikmah disini menekankan bahwa pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan
secara diskursif-logis, melainkan “harus” diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi public. Mulla
shadra juga membicarakan antara kesatuan akal dan ma’qul. Tidak mungkin ada yang dipikirkan (al-ma’qul)
kalau tidak ada yang berpikir (aqil). Maka ma’qul tidak akan menjadi yang dipikirkan kalau dilepas
hubungannya dengan yang berpikir, atau kalau yang terakhir dipandang sama sekali lain daripada dirinya.
Karena itu maka yang dipikir (ma’qul) haruslah sama dengan sesuatu yang bisa berpikir (‘aql), yang pada
gilirannya harus sama juga dengan yang berpikir (‘aqil). Mulla Shadra juga menciptakan ajaran Wahdatul
Wujud sebagaimana Ibn Arabi tetapi tentunya dengan perbedaan yang cukup signifikan.[3]

2. Pengertian dan Pembahasan Ilmu Kalam (Teologi), Filsafat Serta Tasawuf

A. Pengertian Teologi dan Objek Pembahasannya

Teologi merupakan suatu ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam istilah Arab ajaran-
ajaran dasar tersebut biasa disebut dengan Usul al-Din, aqa’id dan disebut pula credos. Teologi dalam Islam
disebut juga dengan ilmu tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan
Islam, sebagai agama monoteisme, merupakan sifat terpenting dari segala sifat-sifat Tuhan. Teologi dalam
Islam disebut juga dengan Ilmu Kalam. Arti Kalam adalah kata-kata. Jika yang dimaksud dengan kalam
adalah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm kalam, karena persoalan mengenai kalam (Sabda
Tuhan) atau al-Qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di
abad IX dan X masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama
muslim waktu itu. Jika yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam
disebut dengan ‘ilm kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan
pendapat dan pendirian masing-masing.[4]

Ilmu Kalam membahas iman dan akidah dari berbagai aspek dan memaparkan alasan-alasan yang
memperkuat pembahasan tersebut. Ilmu kalam ini merupakan studi tentang doktrin (akidah) dan iman Islam.
Secara sederhana Murtadha Muthahhari mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang
mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam. Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah
pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok
tersebut. karena sebagian besar perdebatan tentang akidah-akidah Islam berkisar seputar huduts
(kemakhlukan, keterciptaan, temporalitas) atau qidam (keabadian) firman atau kalam Allah, maka disiplin
yang membahas akidah utama agama Islam pun mendapat sebutan “ilmu kalam” (secara harfiah, ilmu
firman).

B. Pengertian Filsafat Islam dan Objek Pembahasannya

Filsafat adalah usaha manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara
radikal dan universal hakikat semua yang ada, yakni meliputi hakikat Tuhan, hakikat Alam Semesta, dan
hakikat manusia serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham dan pemahamannya.[5]

Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang
disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Menurut Mustofa Abdur Razik,
Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa
memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya.[6] Menurut Ahmad Fu’ad al-Ahwani filsafat Islam ialah
pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.

Pendapat lain mengatakan bahwa filsafat Islam adalah filsafat Qur’aniah, yaitu filsafat yang berorientasi
kepada al-Qur’an untuk mencari jawaban-jawaban mengenai masalah-masalah asasi filsafat kepada wahyu.
[7] Namun penamaan istilah filsafat Islam pada dasarnya adalah karena Islam ini bukan hanya sekedar
agama namun termasuk juga di dalamnya kebudayaan. Jadi pemikiran filsafat ini juga tentunya terpengaruh
oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis
orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya
maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam
satu kesatuan.[8] Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan
segala sesuatu yang ada. Filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui sebab-sebab
yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap
wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena pengetahuan secara terperinci menjadi
lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda
pada umumnya atau kehidupan pada umumnya. Filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup
yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha
untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-
fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian
itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan
nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.

Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat
mempelajarinya ialah:
1. Dapat menolong dan menididik, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari
bahwa Ia mahluk Tuhan.

2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan.

C. Pengertian Tasawuf dan Objek Pembahasannya

Tasawuf berasal dari kata shafw yang artinya bersih atau shafaa, dari kata shuffah yang artinya suatu kamar
disamping mesjid Rasulullah di kota Madinatul Munawwarah, berasal dari kata shaff yang artinya barisan
dikala sembahyang sholat, dari kata shaufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak
sekali tumbuh di padang pasir, dan kaum sufi mengenakan baju berbulu seperti buah itu, dalam
kesederhanaannya.[9]Tasawuf juga berasal dari kata shuf’ wol. Konon, dulu para sufi (ahli tasawuf) biasa
berpakaian shuf atau bulu domba. Secara istilah tasawuf bisa disamakan dengan mystic, yaitu satu system
cara bagaimana agar seseorang bisa mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan yang Mahakekal dan
Mahasempurna. Hubungan ini adalah berdasarkan cinta dan kasih.[10] Ibn Khaldun berpendapat bahwa
“Tasawuf adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah,
konsentrasi secara penuh kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjauhan diri dari
kelezatan, harta dan pangkat dan pemisahan diri dari orang lain untuk menyendiri dan beribadah,”[11] yang
tujuannya menurut Abd-al-Hakim Al-Hasan adalah sampai (wusul) kepada Zat Yang Haq dan atau Zat Yang
Mutlak dan bersatu (ittihad) dengan-Nya.[12] Sedangkan tasawuf menurut Abu Nasar al-Sarraj adalah
menghindari hal-hal yang terlarang, melakukan kewajiban-kewajiban agama dan menolak dunia. Menurut
Abu Bakar al-Kalabadhi Tasawuf adalah menarik diri dari dunia, meninggalkan semua hal yang sudah
mapan, terus menerus berkelana, menolak kesenangan-kesenangan hawa nafsu bagi jiwa, menyucikan
perilaku dan memberikan hati nurani.[13]

Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Muslim berada sedekat mungkin
dengan Allah. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Ilmu tasawuf bersifat
sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Para sufi mengembangkan suatu cara
bagaimana bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan yang hendak dicapainya adalah kebahagiaan, yakni
dengan persatuannya dengan Kekasih. Kesengsaraan yang memilukan bagi mereka bukanlah masuk Neraka,
tetapi apabila Tuhan telah menjauhi dan tidak mau bicara dengan mereka. [14] Objek kajian tasawuf adalah
Tuhan (Al-Haq), yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya.

D. Korelasi antara Filsafat Islam, ilmu Kalam dan Tasawuf

1. Filsafat Islam dan Ilmu Kalam

Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran antara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam
menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid.
Yaitu pembahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles
sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan
nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli juga tampak
pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup
Filsafat Islam.

Jadi Filsafat Islam bertujuan untuk menyelaraskan antara firman dan akal, ilmu pengetahuan dengan
keyakinan, agama dengan filsafat serta menunjukkan bahwa akal dan firman tidak bertentangan satu sama
lain. Walaupun orientasinya bersifat religius, namun isu-isu penting dalam filsafat tidak diabaikan, seperti
waktu, ruang, materi, kehidupan dan masalah-masalah kontemporer.

Filsafat Islam dan ilmu kalam sangat kuat pengaruhnya satu sama lain. Kalam mencuatkan masalah-masalah
baru bagi filsafat, dan filsafat membantu memperluas area, bidang, atau jangkauan kalam, dalam pengertian
bahwa pembahasan tentang banyak masalah filsafat jadi dianggap penting dalam kalam. Filsafat Islam
mengandalkan akal dalam mengkaji objeknya-Allah, Alam dan Manusia-tanpa terikat dengan pendapat yang
ada (pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya berfungsi sebatas masukan dan relative). Nash-nash
agama hanya sebagai bukti untuk membenarkan hasil temuan akal. Sebaliknya, ilmu kalam mengambil dalil
akidah sebagaimana tertera dalam wahyu, yang mutlak kebenarannya untuk menguji objeknya – Allah dan
sifat-sifatnya, serta hubungan dengan Allah dengan Alam dan Manusia sebagaimana tertuang dalam kitab
suci – menjadikan filsafat sebagai alat untuk membenarkan nash agama. Seperti keberadaan Allah, Filsafat
Islam mengawali pembuktiannya dengan argumentasi akal, barulah pembenarannya diberikan oleh wahyu,
sementara ilmu kalam mencari wahyu yang berbicara tentang keberadaan Allah, baru kemudian didukung
oleh argumentasi akal. Walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda, tapi saling melengkapi dalam
memahami Islam dan pembentukan akidah Muslim.[15]

2. Filsafat dan Tasawuf

Tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah
terbagi ke dalam dua bagian, yakni Tasawuf Amali/Akhlaqi dan Tasawuf Falsafi (Ibn Arabi dan Al-Hallaj).
Dari pengelompokkan ini tergambar adanya unsur-unsur filsafat dalam ajaran tasawuf, seperti logika dalam
penjelasan maqomat (al-fana-al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al-wujud).

Tasawuf Falsafi yang biasanya juga disebut dengan irfan yakni secara teknis diterapkan pada persepsi-
persepsi khas yang ditangkap melalui pemusatan perhatian relung terdalam jiwa dan tidak melalui
pengalaman inderawi dan rasional. Irfan sejati diperoleh semata-mata melalui keterikatan Allah dan ketaatan
kepada segenap perintah-Nya. Keterikatan tanpa pengetahuan mustahil adanya, dan pengetahuan ini mesti
bersandar pada sejumlah prinsip filsafat. Penyingkapan dan visi irfan memunculkan masalah-masalah baru
untuk diuraikan dan dikupas tuntas oleh filosof, dan memperluas cakrawala pandang filsafat. Dalam
pemecahan berbagai masalah dalam ilmu-ilmu kefilsafatan, visi-visi irfan bisa dianggap sebagai
pendamping. Banyak hal yang terbukti secara rasional dalam filsafat, terungkap pula melalui penglihatan
kalbu.[16]

Kajian-kajian Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan
ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf
dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf.
Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf.

3. Hubungan Antara Ilmu Kalam, filsafat dan Tasawuf

A. Titik Persamaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah
ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam merupakan salah satu ilmu Islam
yang mengkaji akidah (doktrin)[17]. Objek kajian filsafat adalah masih dalam masalah ketuhanan di
samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah
Tuhan, yakni upaya-uapaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, di lihat dari objeknya, ketiga ilmu itu membahas
masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.

Argumen filsafat- sebagai mana ilmu kalam- dibangun di atas logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya
bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental). Kerelatifan
hasil karya logika itu menyebabkan beragamannya kebenaran yang dihasilkannya.

Bagi ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Ilmu kalam
dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat
dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang
belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuaan karena berada di luar atau di atas jangkauanya),
atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikai berusaha menghampiri
kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spritual menuju Tuhan.

Pada intinya bahwa ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf memliki kesamaan dalam segi bojek kajiannya,
yaitu tentang Tuhan dan segala yang berkaitan dengan-Nya. Namun dalam kajian objek tersebut hanya
dibedakan dalam penamaannya saja. Ilmu kalam dalam objek kajiannya dikenal dengan sebutan kajian
tentang Tuhan, sedangkan dalam filsafat di kenal dengan sebutan kajian tentang Wujud dan dalam ilmu
tasawuf (irfan) dikenal dengan sebutan kajian tentang Al-Haq. Akan tetapi pada dasarnya ketiga ilmu
tersebut mengkaji kajian tentang Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya.

B. Titik Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

1. Ilmu Kalam

Setelah membahas tentang persamaan dari ketiga ilmu tersebut, yaitu terdapat persamaan dalam objek
kajiannya, maka akan ditemukan juga titik perbedaannya. Perbedaan di antara ilmu tersebut terletak pada
aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-
argumentasi naqliah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-
nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga dengan
istilah dialog keagamaan. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-
keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan
dengan pendekatan rasional.

Meskipun ilmu kalam merupakan sebuah disiplin ilmu yang rasional dan logis, namun kalau dilihat adari
asas-asas yang dipakai dalam argumentasinya terdiri dari dua bagian, yaitu ; Aqli dan Naqli[18]. Bagian Aqli
ini terbangun dengan dasar pemikiran yang rasional murni, itupun kalau ada relevansinya dengan Naqli.
Karena naqli tersebut adalah untuk menjelaskan dan menegaskan pertimbangan rasional supaya memperkuat
argumen-argumennya.

2. Ilmu Filsafat

Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode
yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan
akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa
terikatat oleh apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat
sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan
konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity). Murthadha muthahari berkata bahwa metode filsafat
hanya bertumpu pada silogisme (qiyas), argumentasi rasional (istidal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan
aqli).[19]

Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika maka dalam filsafat dikenal apa
yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam pandangan korespodensi, kebenaran adalah persesuaian
antara kenyataan sebenarnya di alam nyata. Disamping kebenaran korespodensi, di dalam filsafat juga
dikenal kebenaran korehensi. Dalam pandangan korehensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu
pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen.
Jadi, kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama
umum.

Disamping dua kebenaran di atas, di dalam filsafat dikenal juga kebenaran pragmatis. Dalam pandangan
pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat dikerjakan
(workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak tampak
manfaatnya secara nyata dan sulit untuk di kerjakan.

3. Ilmu Tasawuf

Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan
tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifat
subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering
tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sulit dibahasan. Pengalaman rasa
lebih muda dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh kebenaranya dan mudah digambarkan
dengan bahasa lambang, sehingga sangat interpretable dapat diinterpretasikan bermacam-macam). Sebagian
pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari
tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu
kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri. Itulah sebabnya dalam sains dikenal istilah
objeknya tidak objektif. Ilmu seperti ini dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama atau tacit
knowledge, dan bukan ilmu proporsional.

Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional.
Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman,sosial,
dan humaniora; sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat
modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.

4. Manfaat Dari Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya), teologi diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang
baru untuk mengenal rasional sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan
sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan
secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya langsung. Dengan cara ini, orang
yang telah mempunyai rasio sangat prima diharapkan dapat mengenal Tuhan secara meyakinkan melalui
rasionya. Adapaun tasawuf lebih perperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah
melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.

5. Tabel persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf


Ilmu kajian Objek kajian Metodologi kajian
Kalam Tuhan Aqli dan Naqli
Filsafat Wujud Aqli (empiris)
Tasawuf (Irfan) Al-Haq Kasyf (pengalaman)

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan awal, bahwa table tersebut menjelaskan objek
kajian ilmu kalam, filsafat dan tasawuf itu sama, yaitu kajian tentang Tuhan namun hanya dalam segi
penamaannya saja yang berbeda. Adapun dalam segi perbedaanya jelas bahwa kalam menggunakan aqli
yang diseimbangkan atau diperjelas oleh naqli, sedangkan filsafat hanya menggunakan aqli (rasional) saja,
yaitu melakukan kajian secara empiris dan menggunakan akal secara prima, dan tasawuf dengan
menggunakan metode rasa (rasio) dan hati (intuisi), dengan menggunakan pengalaman dengan melakukan
tiga proses penting, yaitu takhali (pengosongan dir dari perbuatan buruk), tahali (penghiasan diri dengan
perbuatan-perbuatan baik) dan tazali (penyucian diri).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ilmu Kalam lahir setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Diawali dengan permasalahan pengangkatan
khalifah yang selanjutnya setelah Rasulullah, hingga membahas soal jabr (takdir) dan ikhtiyar (free will).
Akhirnya terpecahlah beberapa aliran yang membahas antara kedua itu dengan dalilnya masing-masing.
Diantaranya adalah aliran Jabariyah dan Qodariyah. Dan akhirnya lahirlah ilmu kalam yang pokok
pembahasannya adalah mengenai akidah dan Iman.

Lalu pada masa Harun ar-Rasyid (Dinasti Abbasyiah) terjadi penerjemahan buku-buku dari Yunani. Selain
buku-buku pengetahuan Sains, juga terdapat buku-buku filsafat. Karena pemikiran filsafat Yunani
bertentangan dengan ajaran Islam, maka akhirnya para pemikir Islam mencoba membuktikan bahwa antara
agama dan filsafat itu tidak bertentangan. Dan akhirnya lahirlah ilmu filsafat Islam yang objek kajiannya
adalah segala wujud yang fisik maupun metafisik. Bila berbicara tentang wujud metafisik tentu Tuhan juga
termasuk objek kajian filsafat Islam ini. Maka dari situlah permasalahan ilmu kalam dan filsafat bercampur
karena kedua ilmu ini sama-sama menggunakan daya penalaran (aqli) dan juga bersumber dari Kalam Allah
dan Sunnah (Al-Qur’an dan Hadits). Sehingga ilmu kalam dan filsafat ini saling mempengaruhi satu sama
lain dan tak terpisahkan. Akan tetapi ternyata daya akal pun tidak cukup untuk mencapai pengetauan tentang
Tuhan. Maka tasawuf di sini ikut memberikan andil. Dalam tasawuf, pengetahuan hakiki tentang Tuhan
sebenarnya akan diperoleh melalui perjalanan spiritual dengan tahap-tahap hingga mencapai maqom fana.
Ketika sudah mencapai puncaknya maka akan ada ittihad, yakni penyatuan kita dengan Tuhan. Sehingga kita
akan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan secara hudhuri dan langsung melalui pengalaman spiritual
itu. Maka pengetahuan tentang Tuhan dalam tasawuf ini juga menjadi sumber pengetahuan bagi filsafat dan
ilmu kalam. Mau tak mau mereka harus mengakuinya meski pengalaman itu sifatnya subjektif. Letak
perbedaan ketiga ilmu ini secara umum ada pada metodenya. Jika ilmu kalam berawal dari nash dahulu dan
untuk menguatkan argumennya mereka memakai penalaran akal, sedangkat filsafat sebaliknya, mereka
menggunakan daya penalaran akal dulu barulah penguatan dan pembuktian argumennya itu memakai nash,
sedangkan tasawuf sendiri mencapai pengetahuannya melalui intuisi.
Apakah Tasawuf Sudah Ada Di Jaman Rasulullah
S.A.W. ?
Kamis, 18 April 2013

Muhammad Idris Jauhari (2003) mengemukakan bahwa ibadah sesungguhnya terbagi dalam dua
kelompok besar, yakni mahdlah dan ghairu mahdlah. Ibadah mahdlah meliputi semua interaksi
dengan Sang Khalik seperti shalat,puasa, berhaji, dan sejenisnya. Sementara ghairu mahdlah
merupakan ibadah yang berkaitan dengan mahluk seperti tidur, belajar, jual-beli,menikah, dan
sebagainya. Selanjutnya kedua jenis ibadah tersebut masing-masing memiliki syarat dan rukun yang
biasa disebut Syariah ditambah dengan hakikat atau esensi yang lebih dikenal dengan Tasawuf.
Asal-usul Tasawuf sampai saat ini masih diperdebatkan namun bukan berarti tidak punya ‘akar’ sama
sekali dalam sejarah perkembangan Islam. Jauh sebelum diangkat menjadi Rasulullah, Muhammad
SAW sering menyepi (uzlah) ke Gua Hira untuk ber- tahannuts (menghindari penyembahan berhala)
dan berzikir (menyebut dan mengingat Allah) atau tafakkur (merenungi kekuasaanNya). Menurut KH
Jamaluddin Kafie (2003), setelah pengangkatan beliau sebagai Rasul, Nabi Saw juga membiarkan para
sahabatnya melakukan uzlah di pojok-pojok serambi mesjid (shuffah) sambil i’tikaf untuk mencapai
ridha Allah Swt dengan cara mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs) maupun untuk mencapai level
kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

Ada kerancuan pemahaman Tasawuf yang disinyalir marak berkembang di kalangan masyarakat
berikut bergentayangannya para pendusta yang mengaku menjalani Tasawuf dan mengklaim diri
sudah sedemikian ‘akrab’nya dengan Rabb hingga dibebaskan dari kewajiban menjalankan ibadah
mahdlah. Padahal Rasul Saw saja sampai ke akhir hayat pantang melepaskan peribadatan berikut
semua ketentuan Syariah yang mengikatnya.

Sebenarnya apa sih Tasawuf itu? KH Jamaluddin Kafie dalam bukunya Tasawuf Kontemporer
mengupas pemahaman mengenai Tasawuf dengan dasar pemikiran QS Al-Maidah : 35 yang
terjemahannya sebagai berikut :
‘Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan carilah wasilah yang
menyampaikan kamu kepadaNya, dan berjuanglah di jalanNya agar kamu mendapat keberuntungan’

Selanjutnya penjabaran ayat di atas merujuk pada enam pilar utama yang membentuk struktur ibadah,
yakni ‘Wahai orang-orang yang beriman’ (=Mukmin), ‘bertakwalah kamu kepada Allah’ (Hakikat), ‘dan
carilah wasilah’ (Tasawuf), ‘yang menyampaikan kamu kepadaNya’ (Makrifat), ‘dan berjuanglah kamu’
(Thariqat), ‘di jalanNya’ (Syariat), ‘agar kamu mendapat keberuntungan’ (Hadiah).

Berdasarkan penjabaran di atas didefinisikanlah Tasawuf sebagai ‘wasilah (medium) yang ditempuh
seorang Mukmin dalam rangka berproses menghakikatkan syariat melalui thariqat untuk mencapai
makrifat’. KH Jamaluddin Kafie menyederhanakan pemahaman di atas dengan menganalogikan
Tasawuf sebagai sebutir telur ayam kampung.

Telur Tasawuf memiliki cangkang Syariat, putih telurnya Thariqat, kuning telurnya Hakikat, dan inti
kuning telurnya adalah Makrifat. Tak ada telur tanpa cangkang keras pelindung bagian dalam
sebagaimana tak mungkin Tasawuf berjalan sendiri tanpa Syariah. Retaknya cangkang telur dapat
mengakibatkan busuknya seluruh isi yang terkandung di dalamnya, maka cangkang harus dijaga
sebaik mungkin keutuhannya.

Unsur terpenting dalam sebutir telur adalah inti kuning telurnya (Makrifat). Inti kuning telur tersebut
takkan kita jumpai dalam telur ayam negeri yang dirangsang produksinya dengan asupan pakan
ternak tertentu alias telur bikinan dan Tasawuf tanpa inti merupakan Tasawuf Palsu (Pseudo Sufi).
Jenis terakhir inilah yang laris manis digunakan oleh para Mustawif (orang yang pura-pura menjalani
Tasawuf) untuk merekrut massa dan mengeruk keuntungan tertentu.

Inti kuning telur hanya akan kita peroleh di dalam kuning telur karena tidak ada Makrifat sebelum
mencapai Hakikat. Kuning telur diselaputi oleh putih telur sebagaimana Hakikat merupakan hasil yang
diperoleh seseorang setelah menjalani Thariqat. Lalu keseluruhan bagian telur terbungkus rapi dalam
cangkang yang solid dan maknanya sistem ibadah harus tetap berada dalam koridor Syariat.

Setelah menapaki secara benar keseluruhan sistem ibadah di atas maka Rabb akan berkenan
menganugerahi kita Hadiah, berupa Ma’unah (pertolongan dan perhatian), Barokah (adanya kebaikan
Illahi atas sesuatu), dan Karomah (kemuliaan dari Allah bagi para waliNya).
Tolong Jelaskan Lebih Lanjut Mengenai Tarekat...
Kamis, 18 April 2013

Tarekat (tulisan dalam bahasa Indonesia) atau Thariqah (lugot Bahasa Arab) adalah jalan menuju
Allah SWT. Orang yang menjalani thariqah disebut shaliq. Dan gurunya disebut Mursyid/pembimbing.
Thariqah merupakan buah dari syari'at, oleh karena itu thariqah tidak bisa lepas dari syari'at. Semua
thariqah yang mut'thabarah ada gurunya masing-masing dan mempunyai sumber yang sama, yaitu
Baginda Nabi Muhammad SAW, melalui jalur beberapa sahabat, di antaranya Sayyidina Abu Bakar Ash-
Shiddiq RA, Umar bin Khaththab RA, Ali bin Abi Thalib RA, Anas RA, Salman Al-Farisi RA. Karena itu,
tidak mungkin thariqah yang mu'tabarah itu sesat atau lepas dari ajaran Islam.

Tapi untuk meringankan beban umatnya, Rasulullah SAW mengajarkan bermacam-macam cara
berdzikir kepada para sahabat sesuai dengan kemampuan mereka. Misalkan, ada yang mampu
berdzikir dalam hitungan puluhan, maka disediakanlah pintunya. Sedangkan bagi yang mampu hingga
hitungan ribuan, juga disediakan pintunya. Tapi, semua dzikir itu berdasarkan ayat : "Alladziyna
aamanuu watathmai'n. Quluubuhum bidzikri Allah. Ala bidzikri Allahi tathmai'n, alquluub", (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram. (QS. Ar Ra'du : 28)

Dan firman Allah SWT yang memerintahkan kita untuk memperbanyak dzikir.
"Yaa Ayyuhalladziyna aamanuu adzkuruw Allaha dzikran katsiiran" Hai orang-orang yang beriman,
brdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.
(QS. 33 : 41)
Sementara inti dari dzikir-dzikir tersebut sama, yaitu supaya umat Islam tidak lalai kepada Allah SWT.

Sekarang Ini ada bermacam-macam thariqah, dan semuanya mempunyai peraturan yang berasal dari
Baginda Nabi Muhammad SAW sendiri. Inti dari semua thariqah tersebut adalah dzikir Laa Ilaaha
Illaallah Muhammadur Rasulullah, dan dzikir sirrnya yaitu Allah, Allah, Allah atau Hu, Hu, Hu (Dia, Dia,
Dia), serta dzikir lain yang terkait dengan mentauhidkan Allah SWT.

Dzikir dalam thariqah tersebut bukan sekedar bacaan untuk mencari pahala, tetapi meraih buahnya,
yaitu selalu mengingat Allah SWT. Buah ini akan mewarnai kehidupan individu atau pribadi yang
menjalankan thariqah tersebut.

Jika diumpamakan, tapi perumpamaan ini bukan berarti membandingkan kalimah Laa Ilaaha Illaallah
dengan dunia, melainlan untuk mempermudah memahami.
Seseorang yang mempunyai cincin yang dihiasi batu permata yang tiada ternilai harganya, maka cincin
itu akan dijaganya baik-baik. Ketika hendak makan saja, cincin itu disimpannya di kantung khusus agar
tidak kotor atau terjatuh.
Itu baru batu. Lalu bagaimana dengan kalimah Laa Ilaaha Illaallah Muhammadur Rasulullah, yang
nilainya tidak bisa ditakar seperti cincin bertatahkan batu permata tersebut?
Kalimat tahlil ini mesti mengiringi dan mewarnai kita saat kita makan. Maksdunya, nasi yang kita
makan sekadar sebagai sarana mencari kenyang, sementara yang memberikan rasa kenyang hanyalah
Allah SWT.
Jadi, kita akan selalu ingat bahwa tiada dzat yang wajib disembah kecuali Allah SWT. Dan kita juga
akan selalu ingat akan perintah dan larangan-Nya.
Kita akan merasa didengar dan dilihat oleh Allah SWT. Dan bila sudah demikian, mungkinkah kita akan
banyak melakukan hal yang tidak disukai Allah SWT dan Rasul-Nya?

Tentu saja tidak. Ketika kita menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya pun kita kembalikan
kepada Allah SWT. Sehingga muncul lah keikhlasan dalam setiap perilaku kita.
Nah, inilah pengertian thariqah. Jadi bukan hanya untuk mencari pahala, atau pendekatan diri kepada
Allah SWT di waktu mengamalkan. Akan tetapi mampukah kita membawa buah dari kalimah tahlil ini
dalam kehidupan kita sehari-hari.

Keistimewaan kalimah tahlil dalam setiap thariqah itu berbeda-beda. Seperti keistimewaan tumbuh-
tumbuhan yang diciptakan Allah SWT. Misalnya daun kumis kucing berkhasiat bagi orang yang kena
penyakit air seni. Ada juga daun delima atau keci beling, dan sebagainya. Tumbuhan itu diberi
kelebihan masing-masing oleh Allah SWT.

Begitu juga dengan kalimah tahlil dalam setiap thariqah. Kalimah ini bak lautan yang tak bertepi.
Walau keistimewaannya dibagi-bagi kepada Thariqat Qadiriyyah, Naqsabandiyyah, Syazdaliyyah,
Maulawiyyah, An-Nahdiyyah, dan sebagainya, tak akan pernah habis. Justru kita akan melihat
keagungan ilmu Allah SWT yang ditunjukkan kepada kita.

Thariqah-thariqah yang dipegang oleh para awliya', seperti Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, Syaikh Abu
Hasan Asy-Syadzily, Sayyid Ahmad Ar-Rifa'i, Sayyid Ahmad Al-Badawi, Syaikh Ibrahim Ad-Dasuqi dan
tokoh-tokoh ulama yang lain, yang semisal mereka yang disebutkan sebelumnya, tidak mungkin akan
menyesatkan dengan ajarannya. Sebab, di pundak mereka ini terdapat amanah Rasulullah SAW.
Bukankah ulama itu waratsatul anbiya?
Dan para ulama itu, yang takutnya hanya kepada Allah SWT, tidak mungkin akan menyesatkan.
Jadi jelaslah bahwa thariqah yang bersumber dari para awliya' tersebut tidak akan lepas dari Al-Qur'an
dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Tapi thariqah yang jelas kemu'tabarahannya. Artinya silsilah guru-gurunya sampai kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW.

****Bagaimana Asal-Usul Tarekat Sufi?


Kamis, 18 April 2013

Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada
waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia
Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Di antara murid dan
pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan
Sufi (ribbat, pesantren). Di antara Sufi yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-
Baghdadi dan Abu Said al-Khayr.

Dalam mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat bimbingan dan pelatihan spiritual
untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu dalam ilmu suluk. Di samping itu beberapa di
antara mereka mendapat pengajaran ilmu agama, khususnya fiqih, ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.

Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori
tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknyaahwal, keadaan rohani). Di antara maqam
penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf
ialah mahabba atau `isyq (cinta),fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal
dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), sertakasyf (tersingkapnya
penglihatan hati).

Arti Tariqa /Tarekat


Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian.
Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan
syariat agama, karena kata syar (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya
ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang
ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu,
merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah
kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.

Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah
perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya saling terkait
dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada Hadis yang menyatakan, “Setiap
orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para
Sufi, melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan
mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka
segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka
menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling
penting dalam jalan kerohanian Sufi.
Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf, yaitu
persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan
Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.

Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang merupakan cikal
bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan
diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai
organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam
bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang
konon pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad.
Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.

Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kerabat dan
sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah ekonomi, keagamaan, rumah
tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara prakteknya yang berkembang menjadi
budaya hingga sekarang, ialah melayani kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya
sang tamu menerima layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi
saling tukar informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama dalam perdagangan,
serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak mereka.

Kanqah
Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid
atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-
mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian
masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi.
Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak
terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul,
tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan
pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat
kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya,
saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti
harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai
tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah,
menyepi).
Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan
komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya
peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif
lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para
Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka. Ribat biasanya adalah sebuah komplek
bangunan yang terdiri dari madrasah, masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk
asrama, dapur umum, klinik dan perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang
tamu dan kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribat setiap kali dikunjungi banyak orang,
selain tempat berkumpulnya banyak orang.
Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta ribat dan zawiyah
berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi kanqah tidak sama.
Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber
swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat. Kanqah yang mendapat
dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut futuh (kesatria), dan mengembangkan
etika futuwwa (semangat kesatria).
Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada zaman Bani
Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam kanqah itu hidup tiga
ratus darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak aktivitas sosial
keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis.

Peranan
Sebagai bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah perkumpulan yang menjalankan kegiatan latihan
rohani menggunakan metode tertentu. Biasanya metode itu disusun oleh seorang guru tasawuf yang
juga ahli psikologi. Tarekat kadang disebut madzab, ri`aya dan suluk. Dalam tarekat seorang guru
sufi (pir) membimbing seorang murid (talib) dalam cara berpikir dan berzikir; merasakan pengalaman
keagamaan dan berbuat di jalan agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani)
tertinggi seperti makrifat, fana dan baqa`, serta faqir.
Pada mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah) dan penyucian diri atau jiwa (tadzkiya
al-nafs). Oleh karena semakin banyak orang yang ingin mendapat latihan rohani tersebut, maka
tarekat kemudian tumbuh menjadi organisasi yang kompleks. Penerimaan dan pembai`atan murid pun
harus melalui ujian tertentu yang cukup berat.

Pada abad ke-10 M tarekat dapat dibedakan dalam dua model:


1. Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi.
2. Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami.
Perbedaan keduanya mula-mula disebabkan karena mengartikan tawakkul berbeda. Tetapi perbedaan
yang paling jelas antara keduanya terlihat pada ciri dan penekanan latihan rohaniannya. Tarekat
model Khurasan menekankan pada ghalaba (ekstase) dan sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan
model Iraq menekankan pada sahw (sobriety).
Perbedaan lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di ribat, yang pada mulanya merupakan pos
perhentian, rumah penginakan yang dahulunya ialah tangsi tentara. Sedangkan di Khurasan para sufi
biasa berkumpul di kanqah atau sebuah pesanggrahan yang didirikan pengikut sufi yang
kaya.Pesanggarahan berperanan sebagai rumah pristirahatan dan pertemuan informal.
Tarekat-tarekat sufi yang besar dan memiliki banyak pengikut, yang tersebar di berbagai negeri dan
saling berhubungan satu dengan yang lain secara aktif, biasa mendirikan organisasi sosial keagamaan
atau organisasi dagang, yang disebut ta`ifa. Organisasi semacam ini pada mulanya tumbuh di
Damaskus pada akhir abad ke-13 setelah penaklukan tentara Mongol. Organisasi ini segera tumbuh di
berbagai negeri Islam. Di antara tarekat-tarekat besar yang aktif membina afilisasi dengan gilda-gilda
yang banyak bermunculan pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia Islam ialah Tarekat Qadiriyah,
Tarekat Shadiliyah, Tarekat Sattariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Sanusiyah, Tarekat Tijaniyah,
dan lain sebagainya.
Pada akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol (Hulagu Khan) atas Baghdad ahli-ahli
tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di India dan
kepulauan Nusantara. Ini disebabkan hancurnya perlembagaan Islam dan terbunuhnya banyak ulama,
cendekiawan, fuqafa, qadi, guru agama, filosof, ilmuwan, dan lain-lain akibat penghancuran kota-kota
kaum Muslimin oleh tentara Mongol dan juga akibat Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-
12 M. Hal ini dapat dimaklumi karena pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan lain-lain
itu berada di pusat-pusat kota dan sebagian besar bekerja di istana, sehingga ketika istana dan kota
dihancurkan mereka pun ikut terbunuh.
Sebaliknya, para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri dan suka mengembara ke berbagai
pelosok negeri untuk mencari ilmu atau menyebarkan agama. Mereka memiliki banyak pos-pos
perhentian di seantera negeri Islam dan murid-murid yang bertebaran di berbagai tempat. Di antara
pengikut mereka tidak sedikit pula para pedagang yang aktif melakukan pelayaran ke berbagai negeri
disertai rombongan pemimpin tarekat serta para pengikutnya.
Di tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam,
menyeru raja-raja Nusantara memeluk agama Islam, seraya mempelajari sistem kepercayaan
masyarakat setempat dan kebudayaannya. Tidak sedikit pula dari mereka mempelopori lahir dan
berkembangny tradisi intelektual dan keterpelajaran Islam, termasuk penulisan kitab keagamaan
dalam bahasa setempat dan kesusastraan. Bangkitnya kesusastraan Islam di luar sastra Arab, seperti
dalam bahasa Persia, Urdu, Turki Usmani, Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam kenyataan
dimulai dengan munculnya pengarang yang juga ahli tasawuf. Misalnya Hamzah Fansuri dan Bukhari
al-Jauhari dalam kesusastraan Melayu.
Tokoh-tokoh mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian tidak hanya menguasai ilmu tasawuf,
tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti fiqih, hadis, syariah, tafsir al-Qur’an, usuluddin, ilmu kalam,
nahu, adab atau kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya. Bahkan juga tidak jarang yang
menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab (arithmatika), mantiq (logika), falsafah, ilmu falaq (astronomi),
perkapalan, perdagangan, geografi, pelayaran, dan lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang
mereka menggunakan media kesenian dan juga menggunakan budaya lokal. Dengan itu segera agama
ini mempribumi dan berkat kegiatan mereka pula, terutama di kepulauan Melayu, kebudayaan
penduduk setempat dengan mudah diintegrasikan ke dalam Islam.

(Sumber Rujukan: (1) Tirmingham, The Sufi Order in Islam, 1972; (2) Anthony H. John, “Sufism as a
Category in Indonesian Literature and History” JSAH 2, July 1961; (3) Seyyed Hossein Nasr, Living
Sufism, 1980; (4) Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam; (5) Abdul Hadi W. M., Tasawuf
Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, 2001; (6) S. A. Rizvi, A
History of Sufism in India, 1978. AH WM)

Apakah Cukup Belajar Tasawuf Tanpa


Bertarekat?
Kamis, 18 April 2013

Sebagian orang sering tumpang-tindih dalam memahami tasawuf dan tarekat (thariqah). Kadang,
keduanya juga dianggap berdiri sendiri dan terpisah. KH Luqman Hakim yang dikenal sebagai pakar
sekaligus pelaku thariqah membeberkan mengenai tasawuf, thariqah, mursyid, mu’tabaroh dan ghoiru
mu’tabaroh, dan beberapa hal mengenai thariqah.

Berikut petikan wawancara Abdullah Alawi dari NU Online bersama KH Luqman Hakim beberapa
waktu lalu dalam sebuah acara pertemuan para sufi dunia di Jakarta yang diselenggarakan oleh PBNU.

Bagimana kaitan antara tasawuf dan tarekat?


Orang yang bertasawuf tapi tidak bertarekat, itu nol. Orang bertarekat, tapi tak bertasawuf, juga nol.

Penjelasannya bagaimana?
Kalau orang bertasawuf saja, tapi tidak berthariqah, dia akan sulit mengamalkan ilmunya. Jadi, ibarat
begini, untuk masuk ke dalam Masjidil Haram, lho pintunya kok banyak banget ini. Padahal dia kan
butuh satu pintu saja untuk masuk. Nah, kalau dia ngawur, malah dia ingin manjat. Masjidil Haram
masa dipanjat. Padahal udah ada pintunya. Atau begini, orang banyak sekali memiliki bumbu.
Bumbunya sudah lengkap. Ini ilmunya sudah lengkap. Gimana ya, ngulek ini? Oh, dia butuh seorang
pemandu. Kalau bikin sayur asem itu, ini bumbunya. Kalau sayur lodeh itu, ini bumbunya. Kalau dia
ngawur, wah, saya punya bumbu lengkap. Saya bikin makanan yang lengkap juga. Semua bumbu diulek
semua di situ. Begitu dimasak, rasanya jadi heran.Nggak kemakan. Banyak orang mabuk dia, sinting
dia, nah, itu syetan masuk.

Tapi kalau sebaliknya, thariqah tanpa ilmu tasawuf itu bagaimana?


Artinya dia, ibaratnya, dia nggak tahu makanan itu beracun apa nggak. Dia nggak tahu porsi maknnya
seberapa. Padahal kalau anda misalnya, mas ini satu meja ini berbagai makanan untuk anda. Kalau
orang tidak punya tasawuf, ini milik saya semua. Makan semua kalau begitu. Keracunan dia. Padahal
yang dibutuhkan satu piring. Ambil saja yang pas. Udah. Walaupun itu milik anda semua. Masak anda
makan semua? Kalau nggak ada ilmunya, bisa-bisa begitu, kan.

Kalau sudah berthariqah, bukannya sudah berguru, dan kalau sudah berguru, bukannya secara otomatis
sudah dibimbing?
Artinya, kalau gurunya, pasti sudah bertasawuf. Muridnya juga dibimbing bertasawuf. Diajarin ngaji,
ini itu, itu sekaligus bertasawuf. Maksudnya begitu.
Di NU ada Jam’iyah Ahlu Thoriqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman). Nah, di Jatman terdiri dari
berbagai thariqah. thariqahnya yang mu’tabaroh (silsilah menyambung dari seorang guru mursyid ke
gurunya sampai kepada para sahabat Nabi saw dan Nabi Muhammad saw.,red).

Berarti kalau ada mu’tabaroh ada yang ghairu mu’tabaroh


Jadi, tarekat itu begini, mu’tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu hanya soal silsilah, sanad. Ada yang
disebut tidak mu’tabaroh karena ada toriqoh yang sanad tidak jelas sampai ke Rasulullah. Kalau
silsilah sanadnya ‘an ini ‘an ini sampai Rasulullah, jelas betul, sohibul musnid ini bener-bener diakui, oh
ya, ini memang benar dari Rasulullah. Misalnya orang bikin sanad sendiri, nggak jelas, nggak dikenal
semua, ya nggak mu’tabar. Gitu aja. Seperti hadist sohih,daif, hasan dan seterusnya.

Yang berhak mengatakan mu'tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu siapa?


Itu kesepakatan kaum sufi, seperti kesepakatan ahli hadis. Ahli hadist sendiri menentukan ini sahih,
ini daif, itu kan bukan dari Kanjeng Nabi. Itu kan kesepakatan komunitas aja.

Setuju dengan adanya label ghair mu’tabaroh kepada kalangan sufi tertentu?
NU menolak memasukan sebagai toriqoh mu’tabaroh karena sanadnya ada yang tidak sampai
Rasulullah. Jadi seperti itu. Banyak orang, oh saya mau bikin majlis zikir, itu bagus. Tetapi tidak disebut
sebagai toriqoh, kan begitu aja. Jadi beginilah, di toriqah itu kan ada amaliyahnya. Amaliyahnya itu
memang dari Rasulullah.

Diajarkan langsung?
Iya. Melalui zikir. Zikirnya begini. Rasulullah dulu mengajarkan kepada para sahabat itu ada yang satu
per satu dipanggil. Ada yang lima orang dipanggil. Sepuluh orang dipanggil. Nah, dari masing-masing
itu, mengajarkan pula kepada tabi’in ada yang satu per satu. Nah, ini kenapa sehingga toriqoh itu jadi
banyak.

Tapi kenapa penamaan thariqah, misalnya pas zaman Syeikh Abdul Qodir, sementara dia lahir jauh
masa Nabi?
Makanya penamaan itu pun tidak mutlak. Suatu ketika, sebenarnya alurnya ini sama dengan Syekh
Abdul Qodir, tapi suatu ketika tokoh utamanya, misalnya Tijani, syekh Tijani. Padahal dia sebelumnya,
adalah orang Qodiriyah. Itu contohnya. Jadi, ada yang alurnya nanti sanadnya ada yang melalui Abu
Bakar, melalui Sayidina Anas, Sayidina Ali. Nah, ini sanadnya itu tadi, sayidina Umar, sayidina Utsman
pun ada. Ada yang Uwais al-Qorony, ada. Nabi itu kenapa berbeda-beda ngajarin zikir karena masing-
masing harus mengamalkan menurut format sakilah. Sakilah itu menurut kemampuan indiviidual,
spiritual masing-masing yang berbeda-beda. Oh, ini yang pas zikirnya Allah saja. Yang ini La Ilaha
Illallah. Ini solawatnya begini. Solawatnya kadang berbeda-beda

Berarti kalau begitu, Nabi Muhammad itu sebagai, katakanlah seorang mursyid itu mengetahui watak
para sahabat?
Lha iya. Dan seorang mursyid yang benar harus tahu si murid, calon murid ini bentuknya gelas, apa
piring, apa coet. Oh, kalau piring, nasi isinya. Jangan coca cola. Kalau gelas ya, minuman, jangan diisi
sambel.
Tapi ada yang harus dibacakan secara umum oleh murid-murid di seluruh thariqah?
Ya, kalau umum itu, kalau makan itu, ibarat nasinya. Nasinya sama, lauknya yang berbeda-beda.
Seorang mursyid harus tahu.

Dan itu sudah ada dalam diri mursyid ya? Nggak bisa dipelajari?
Makanya di Al-Quran, surat Kahfi itu, disebutkan waman yudlil falan tazida lahu, waliyyam mursyida.
Siapa yang hidupnya dholalah, tersesat, maka dalam hidupnya tidak akan menemukan waliyyan
mursyida. Seorang wali yang mursyid. Syarat seorang mursyid harus wali. Banyak wali, tapi belum
tentu mursyid. Banyak mursyid, belum tentu wali.

Bagaimana penjelasannya?
Kan banyak mursyid-mursyid itu. Belum tentu dia itu, memiliki kapasitaswaliyyan mursyida.

Kalau begitu, tipikal mursyid itu bagaimana?


Mungkin dia masih punya mursyid lagi. Dia hanya diberi lisensi untuk ngajarin thariqah. Tapi
posisinya ini bukan mursyid, sebenarnya. Tapi ada yang mengaku mursyid, begitu.
Kayak khalifah, begitu, ya?
Iya. Khalifah ya khalifah.
Kalau nggak salah, saya pernah mendengar tipikal mursyid yang kamil mukamil?
Kamil mukamil itu sama dengan waliyyam mursyida.

Ada kamil. Ada mukammil?


Kamil mukamil adalah mursyid yang sudah paripurna. Suduh wushul dia sendiri kepada Allah dan diberi
opsional, yang memang dari Allah juga untuk membimbing seseorang supaya sampai juga kepada Allah,
jiwanya. Sempurna dan juga bisa menyempurnakan orang lain mukammil lighairih.
Pak, kalau melihat sejarah, tasawuf dan kalangan tarekat pernah dituding sebagai penyebab
kemunduran umat Islam? Bagaiamana ini, pak?
Itu akibat tekanan sosial, politik, ekonomi, macam-macam, lalu dia lari ke tarekat, dalam kondisi
ekslusif. Ada lagi yang dia memang, dia memerankan betul bahwa thariqah itu sebenarnya Islam yang
utuh. Jadi, begini, saya sering menggambarkan proses spiritualnya Nabi, di dalam Isra’ Mi’raj. Nabi,
ketika mi’raj itu meninggalkan semuanya. Segala hal selain Allah ditinggalkan. Ketika begitu,
kelihatannya ekslusif, nih. Begitu ketemu Allah, rupanya belum puncak. Oleh Allah, kamu sekarang
dapat tugas, balik ke dunia. Orang sufi yang benar, dia kembali ke dunia. Iya, menjadi biasa lagi. Tidak
tampilnya eksklusif. Ini belum selesai nih tasawufnya. Apalagi yang mazdub, wah… belum selesai.
Proses.
Justru ketika Nabi ketemu Tuhan itu bukan puncak, ya?
Bukan. Puncaknya ya ketika kembali ke dunia. Tapi ke dunia bersama Allah sehingga rahmatan lil
alamin.
Anggapan penyebab kemunduran umat Islam itu bagaimana?
Itu yang diamati sufi-sufi yang belum selesai tadi.
Kalau misalnya seseorang, saya misalnya, dengan cara yang entah, kemudian, tiba-tiba bisa ketemu
seorang mursyid itu karena apa?
Ya macam-macam. Orang bertemu seorang mursyid itu karena macam-macam. Faktor itu nggak bisa
kita duga. Bisa karena kita mencari, baru ketemu. Ada orang yang ngak sengaj, ketemu. Ada orang
yang, begini, ibarat berjalan. Ada orang tiba-tiba ketemu di jalan. Ada yang bisa tiba-tiba-tabrakan di
jalan. Lho, siapa ini? Mursyid ternyata.
Itu udah petunjuk Tuhan?
Ya. Cara Allah saja. Tapi kalau orang yang sedang mencari mursyid, itu biasanya ditaqdirkan
berthariqah. Tanda-tandanya begini. Kalau belum ketemu, itu soal lain. Suatu ketika akan berthariqah.
Bapak sendiri pengamal thariqah juga?
Ya ada. Sadziliyah, Qodiriyah, Naqsyabandiyah. Tiga.
Bisa mengikuti tiga thariqah berbarengan?
Asal mursyidnya satu. Ibarat kapal, ini ada kapal, sekoci-sekoci, tapi nakhodanya satu. Kalau oh ini ada
kapal, kapal, nakhodanya sendiri-sendiri, nggak bisa. Naik sebelah mana? Atau satu nih, nakhodanya
banyak. Bingung. Nggak bisa. Silakan kita belajar kepada ulama, kiai, macam-macam ilmu
pengetahuan. Tapi soal toriqoh, mursyidnya harus satu.
Kenapa?
Kalau belajar itu kan ibarat membuat menu yang bagus. Ibarat mobil, bengkel sana yang bagus,
bengkel sini yang bagus. Tapi tujuan mobil ini kemana, ini harus ada satu tujuan.
Bukannya tujuan setiap thariqah itu sama? Menghadap Gusti Allah?
Semua sama. Ini berkaitan dengan mursyid itu harus satu. Hati kita itu menolak untuk terbelah,
sebenarnya.
Mursyidnya siapa, Pak?
Syekh Solahudin Abdul Jalil Mustaqin dari Tulung Agung.
Ada tokoh sufi atau buku yang paling dikagumi?
Saya sangat mengagumi kitab al-Hikam.
Ibnu ‘Athoillah?
Ya.
Kenapa?
Karena Ibnu ‘Athoillah itu menyederhanakan wacana tasawuf yang universal sekali, disederhanakan
beliau. Dari satu hikmah ke hikmah lain itu adalah urutan perjalanan psikografic para penempuh jalan
Allah. Mengalami semua. Semua pengamal thariqah mana pun, mengalami seperti yang di al-Hikam
itu. Ada lagi satu kitab, yang saya terjemah juga ke Indonesia, yaitu Risalatu Qusyairiyyah. Kitabnya al-
Qusyairi itu kitab utama dalam dunia sufi. Ada lagi kitabnya Abu Thalib Al-Makki. Saya juga kagum
sama tafsirnya Syekh Abdul Qodir Al-Jilani, yang enam jilid, yang baru ditemukan oleh cucunya itu.
Kitab tafsir yang terbaik di dunia, sekarang ini, karena memadukan syariat dan tasawuf.
Apa nama tafsirnya, Pak?
Tafsir al-Jilani.
Kok bisa baru ditemukan, Pak?
Ditemukan oleh cucunya selama 30 tahun riset beliau dari berbagai perpustakaan di dunia, dan
terbagus, terlengkap di Vatican.
Berceceran begitu, ya?
Iya.
Di Sunda, Manaqib Syekh Abdul Qodir Jilani dinamakan Layang Syekh. Itu sudah menyunda sekali. Orang
sudah nggak paham, bahwa dulunya ini kegiatan orang thariqah. Itu bagaimana?
Itu nggak apa-apa. Ibaratnya begini, kalau toriqoh itu sebuah pohon, Qodiriyah, pohon ini, berbuah.
Dia hanya memetik salah satu buahnya saja. Tapi tidak bisa diklaim ini adalah sebuah pohon, daun,
bunga, dan buah. Salah satu buah saja.
Kalau yang semuanya, ya masuk thariqah itu?
Iya. Kita berharap sebanrnya, pelajaran tasawuf harus mulai masuk kurikulumnya mulai TK sampai
perguruan tinggi Islam.
Pendidikan Akhlak, Akidah Akhlak yang ada sekarang itu nggak cukup?
Nggak cukup. Jadi, karena begini, kalau kita lihat buku agama, itu isinya, iman, islam dan taqwa.
Ihsannya itu hilang kemana. Hanya saja bagaimana dirumuskan, tasawuf untuk anak TK itu bagaimana.
Sebenarnya yang mengajari akhlak juga sebanrnya buah dari tasawuf juga. Tapi harus lebih
diperdalam. Misalnya zikir apa yang bisa membimbing anak-anak itu terus-menerus dengan Allah.
Kalau saya begini, ngajarin tasawuf itu dari bayi. Contohnya, biasanya ibu-ibu, kalau punya anak, selalu
mengajari anak-anak dengan ucapan bayi pertama kali; papa, mama, ibu, bapak, kalau saya nggak.
Kalimat yang diajarkan pertama adalah Allah. Entah kedengarannya awoh, awoh, awoh. Allah.
Di pelajaran, ada iman, ada Islam, dan ihsannya nggak ada. Apakah itu dimungkinkan karena tasawuf
itu tidak terukur? Atau memang bagaimana?
Karena memang belum tersistematisir. Seperti ketika dalam munculnya ilmu tasawuf itu muncul baru
di abad ketiga hijriyah. Kenapa tidak muncul di zaman sahabat? Karena, kata NABI, sebaik-baik
abadku, khoiru quruni, qorni, tsuma qorni, tsuma qorni, tiga abad. Tiga abad ini, umat Islam masih
utuh. Setelah itu, nggak karuan akhlaknya. Inilah, para sufi bergerak untuk mensistematisir, menulis
buku tasawuf, ini, dan seterusnya. Dulu kenapa nggak ditulis, nggak kayak fiqih? Lha, orang
kepribadiannya masih bagus semua, masih utuh.

Apa itu Tasawuf dan Tarekat ?


Kamis, 18 April 2013

A. Tasawuf:
Definisi tasawuf satu dengan yang lainnya berbeda-beda tergantung dari sisi mana si pakar tadi
meninjaunya. Ada yang melihat dari sisi sejarah kemunculannya, ada yang melihat dari sisi fenomenan
sosial di abad klasik dan pertengahan, juga ada yang melihatnya dari sisi substansi ajarannya dan ada
juga yang melihat dari sisi tujuannya.

1. Asal-usul Tasawuf:
Teori pertama menyatakan bahwa secara etimologis tasawuf diambil dari kata “Suffah” yaitu sebuah
tempat di mesjid Rasulullah Saw. (Mesjid Nabawi) yang dihuni oleh sekelompok sahabat yang hidup
zuhud yang konsentrasi beribadah kepada Allah sambl menimba ilmu dari Rasulullah.
Teori kedua, menyatakan bahwa tasawuf diambil dari kata “sifat” dengan alasan bahwa para sufi suka
membahas sifat-sifat Allah sekaligus mengaplikasikan sifat-sifat Allah tersebut dalam perilaku mereka
sehari-hari.
Teori ketiga berpendapat bahwa kata “tasawuf” daiambil dari akar kata “sufah” artinya selembar bulu,
sebab para sufi dihadapan Tuhannya merasa begaikan selembar bulu yang terpisah dari kesatuannya
yang tidak mempunyai nilai apa-apa.
Teori keempat menyatakan bahwa “tasawuf” diambil dari kata “shofia” yang artinya al-hikmah
(bijaksana) sebab para sufi selalu mencari hikmah ilahiyah dalam kehidupannya.
Teori kelima, sebagaimana dikemukakan oleh al-Busti seorang fakar tasawuf, menyatakan bahwa
taswuf berasal dari kata “as-safa” yang artinya suci, bersih dan murni, sebab para sufi membersihkan
jiwanya hingga berada dalam kondisi suci dan bersih.
Ada juga teori yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari akar kata “suf” yang artinya bulu domba
(wool), dengan argumentasi wool kasar yang terbuat dari bulu binatang sebagai tanda kesederhanaan
hidup mereka.
Diantara berbagai pendapat tenang asal usul “taswuf” menrut Ahmad as-Sirbasi, pendapat al-Bustilah
yang paling kuat dan rajih, sebab kenyataannya tasawuf itu adalah upaya pensucian hati supaya dekat
dengan Allah.
Dilihat dari tujuannya, seperti telah disinggung di atas, tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada
Allah dengan cara mensucikan hati (tashfiat al-Qalbi).

2. Pengertian Tasawuf secara Terminologis:


Menurut Muhammad bin Ali al-Qasab, guru Imam Junaidi al-Bagdadi, tasawuf adalah akhlak mulia
yang nampak di zaman yang mulia dari seorang manusia mulia bersama kaum yang mulia.
Sedang menurut al-Junaidi al-bagdadi (W. 297 H) tasawuf adalah :
“Engkau ada bersama Allah tanpa ‘alaqah (tanpa perantara)”.
Usman al-Makki berpendapat bahwa tasawuf adalah keadaan dimana seorang hamba setiap waktu
melakukan perbuatan (amal) yang lebih baik dari waktu sebelumnya.
Sirri as-Saqati (W. 251 H) berkata :
“Tasawuf adalah suatu nama bagi tiga makna : yakni (1) nur ma’rifat nya tidak memadamkan cahaya
kewaraannya, (2) tidak berbicara tentang ilmu batin yang bertentangan dengan makna zahir al-Kitab
atau sunnah, dan (3) tidak terbawa oleh karomahnya untuk melanggar larangan Allah”.
Syekh Abdul Qodir al-Jilani berpendapat bahwa taswuf adalah mensucika hati dan melepaskan nafsu
dari pangkalnya dengan kholwah, riyadoh dan terus-menerus berdzikir dengan dilandasi iman yang
benar, mahabbah, taubat dan ikhlas.
Sedangkan ilmu tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui keadaan jiwa manusia, terpuji atau tercela,
bagaimana cara-cara mensucikan jiwa dari berbagai sifat yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-
sifat terpuji dan bagaimana cara mencapai jalan menuju Allah.

3. Obyek Ilmu Tasawuf:


Obyek ilmu taswuf adalah perbuatan hati dan panca indera ditinjau dari segi cara pensuciannya.

4. Buah Ilmu Tasawuf:


Buah taswuf adalah terdidiknya hati mengetahui (ma’rifah) terhadap ilmu gaib secara ruhani, selamat
di dunia dan bahagia di akhirat, dengan mandapat keridoan Allah.

5. Keutamaan Ilmu Tasawuf:


Ilmu tasawuf adalah ilmu yang paling mulia karena berkaitan dengan ma’rifah kepada Allah Ta’ala dan
mahabbah kepada-Nya.

6. Hubungan ilmu taswuf dengan ilmu yang lainnya:


Nisbah ilmu taswuf terhadap ilmu yang lain baagikan nisbah ruh bagi jasad. Ilmu tasawuf adalah ruh,
sementara ilmu yang lain adalah jasad. Jasad tidaklah dapat hidup tanpa ruh.

7. Pencipta Ilmu Tasawuf


Pencipta ilmu tasawuf adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala. Allah menciptakan ilmu ini kepada Rasulullah
dan para Nabi yang sebelumnya.

8. Nama Ilmu Taswuf


Ilmu tasawuf mempunyai beberapa nama, antara lain sebagai berikut:
a. Ilmu Batin
b. Ilmu al-Qalbi
c. Ilmu Laduni
d. Ilmu Mukasyafah
e. Almu Asrar
f. Ilmu Maknun
g. Ilmu Hakikat

9. Pilar Ilmu Tasawuf


Pilar ilmu tasawuf ada lima perkara
a. Taqwallah (bertakwa kepada Allah) baik sewaktu sirr maupun ‘alabiyah (terbuka).
b. Mengikuti Sunnah baik qauli maupun fi’li serta mengaktualisasikannya dalam penjagaan diri dan
akhlak yang baik.
c. Berpaling dari makhluk yang diwujudkan dalam sikap sabar dan tawakkal.
d. Rida terhadap ketentuan Allah yang diwujudkan dengan sikap qona’ah dan menerima (tafwid).
e. Kembali kepada Allah baik sikala senang maupun di waktu susah.

10. Sumber Ilmu Tasawuf


Ilmu tasawuf diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Juga dari atsar assabitah (jejak yang
sudah tetap) dari umat-umat pilihan di masa silam.

11. Hukum Mempelajari Ilmu Tasawuf


Hukum mempelajarai ilmu tasawuf adalah wajib ain atrinya kewajiban yang mengikat kepada setiap
individu muslim.
Oleh karena itu sebagian ulama ahli ma’rifah berkata :
Barang siapa yang tidak memiliki ilmu ini sedikitpun (ilmu batin), aku hawatir ia berakhir dengan su’ul
khatimah. Paling tidak seorang mukmin harus membenarkan akan ilmu ini dan menyerahkan kepada
ahlinya.

12. Masalah-masalah yang dibahas dalam ilmu Tasawuf


Masalah inti yang dibahas dalam ilmu tasawuf adalah sifat-sifat jiwa manusia, cara-cara pensucian
jiwa, dan penjelasan istilah-istilah yang khas dalam disiplin ilmu ini misalnya; maqamat, taubat, zuhud,
wara’, al-mahabbah, fana baqa dan yang lainnya.
B. Rukun Tasawuf
Al-Kalabazi dengan mengutip pendapat Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad al-Farisi menerangkan
bahwa rukun tasawuf ada sepuluh macam, antara lain :
1. Tajrid at-Tauhid (memurnikan tauhid)
2. Memahami informasi. Maksudnya mendengar tingkah laku bukan hanya mendengar ilmu saja.
3. Baik dalam pergaulan.
4. Mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri.
5. Meninggalkan banyak pilihan.
6. Ada kesinambungan antara pemenuhan kepentingan lahir dan batin.
7. Membuka jiwa terhadap intuisi (ilham).
8. Banyak melakukan bepergian untuk menyaksikan keagungan alam ciptaan Tuhan sekaligus
mengambil pelajaran.
9. Meninggalkan iktisab untuk menumbuhkan tawakkal.
10. Meninggalkan iddikhar (banyak simpanan) dalam keadaan tertentu kecuali dalam rangka mencari
ilmu.
C. Perkembangan Tasawuf
Secara keilmuan, tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam syari’at Islam, demikian menurut Ibnu
Khaldun. Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah,
meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari akhluk. Ketika kehidupan
materialistik mulai mencuat dalam peri kehidupan masyarakat muslim pada abad kedua dan ketiga
hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang konsentrasi
beribadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid al-Fikr ad-Dini al-
Islam” berpendapat bahwa tasawuf telah ada semenjak Nabi. Riyadoh Diniyyah telah lama menyertai
kehidupan manusia sejak awal-awal Islam bahkan kehidupan ini semakin mengental di dalam sejarah
kemanusiaan.
Menurut sebagian fakar, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang memunculkan istilah
taswuf. Menurut yang lain Salman al-Farisi. Menurut pendapat yang lain Hudzaefah bin al-Yaman
sebab Hasan Basri (tokoh sufi di abad kedua Hijriyyah) berguru kepada Hudzefah.
Akar-akar tasawuf dalam Islam merupakan penjabaran dari ihsan. Ihsan sendiri merupakan bagian
dari trilogi ajaran Islam. Islam adalah satu kesatuan dari iman, islam dan ihsan. Islam adalah
penyerahan diri kepada Allah secara zahir, iman adalah I’tikad batin terhadap hal-hal gaib yang ada
dalam rukun iman, sedangkan ihsan adalah komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
Islam, iman dan ihsan adalah landasan untuk melakukan suluk dan taqqarub kepada Allah. ‘Iz bin
Abdissalam berpendapat bahwa sistematika keberagamaan bagi kaum muslimin, yang pertama adalah
Islam. Islam merupakan tingkat pertama beragama bagi kaum awam. Iman adalah tingkatan pertama
bagi hati orang khusus kaum mukminin, sedangkan ihsan adalah tingkatan pertama bagi ruh kaum
muqarribin.

D. Tahapan-tahapan Supaya bisa Dekat Dengan Allah


Dalam menempuh jalan ruhani menuju Tuhan taqarrub ilallah(mendekatkan diri kepada Allah), ada
stasion-stasion (al-Maqamat)“hal” adalah kondisi yang dialami oleh seorang sufi dalam dirinya atau
batinnya sebagai hasil dari usahanya dalam maqamat tadi. Dengan demikian perbedaan maqam dan
ahwal ialam maqam merupakan usaha seorang sufi untuk berada dalam tingkatan tertentu sedangkan
ahwal adalah suatu pemberian (karunia) Allah yang diberikan kepada seorang sebagai hasil usahanya
dalam maqam tadi.yang mesti ditempuh oleh seorang salik. Maqam adalah kedudukan atau tahapan
dimana seorang sufi berada. Kedudukan ini hanya akan di dapat oleh seorang sufi atas usahanya
sendiri dengan penuh kesungguhan dan istiqamah. Sedangkan ahwal yang bentuk mufranya
“Ahwal adalah pemberian sementara maqamat adalah usaha”.
Dengan demikian ahwal bertingkat-tingkat. Pada umumnyapara sufi menulis sepuluh tingkatan.
1. Taubah
Taubah adalah maqam pertama yang mesti dilalui oleh setiap salik.
Taubah ada tiga tingkatan :
a) Taubah orang sadar
Awalnya kebiasaan yang terjadi dalam linngkungan beragama tetapi akhirnya menjadi tinggi dalam
perasaan tambah-tambah menjadi peringatan.
b) Taubat Salik
Taubah orang salik bukan dari dosa dan kesalahan dan bukan dari penyesalan dan istigfar tetapi
terjadi karena perpindahan kondisi jiwa yang naik menjadi sempurna sehingga dapat menghadirkan
Allah dalam setiap gerak nafasnya.
Dalam sebuah syair yang indah Abdullah al-Mubarok menyatakan :
Aku melihat dosa mematikan hati
Lalu diikuti dengan kehinaan di setiap-setiap zamannya
Meninggalkan dosa adalah cara menghidupkan hati
Maka pilihlah bagi dirimu untuk menyalahi dosa-dosa.
c) Taubat ‘Arif
Taubat seorang ‘arif (orang yang ma’rifah) bukan dari dosa atau dari menyalahi jiwa tetapi taubah dari
kelupaan terhadap dirinya sendiri bahwa dirinya itu dalam gemgaman Tuhannya.
2. Zuhud
Awal mula zuhud adalah sikap wara’ dalam beragama yakni menjauhi hal-hal yang diharamkan syara’.
Memang kewara’an dapat menimbulkan keinginan untuk berlaku zuhud secara ruhani secara
mendalam. Hanya makna zuhud secara sufistik lebih jauh dari itu. Misalnya halal menurut syari’at
adalah apa-apa yang tidak menyalahi aturan Allah, sementara halal secara sufistik adalah apa-apa yang
tidak menyebabkan lupa kepada Allah.
3. Wara (al-Wara’)
Secraa lugawi wara’ artinya hati-hati. Secara istillahi wara’ adalah sikap menahan diri agar hatimu
tidak menyimpang sekejap pun dari mengingat Allah.
Wara’ ada empat tingkatan
a. Wara’ orang awam
Ialah wara’ orang kebanyakan yaitu menahan diri dari melakukan hal-hal yang dilarang Allah.
b. Wara’ orang saleh
Menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang mungkin akan jatuh kepada haram.
c. Wara’ muttaqin
Menahan diri dari sesuatu yang tidak diharamkan dan tidak syubhat karena takut jatuh kepada haram.
Nabi bersabda, yang artinya :
“Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak
berdosa karena takut akan apa yang dapat menimbulkan dosa” (Ibnu Majah).
d. Wara’ orang benar
Menahan diri dari apa yang tidak berdosa sama sekali dan tidak khawatir jatuh ke dalam dosa, tapi dia
menahan diri melakukannya kaena takut tidak ada niat untuk beribadat kepada Allah.
4. Faqr (al-Faqr)
Faqr berarti kekurangan harta dalam menjalankan kehidupan di dunia. Sikap faqr harus dimiliki oleh
seorang salik sewaktu menjalankan suluknya.
5. Sabar (as-Sabr)
Sabar berarti tabah dalam menghadapi segala kesulitan tanpa ada rasa kesal dan menyerah dalam diri.
Sabar juga dapat berarti tetap merasa cukup meskipun kenyataannya tidak memiliki apa-apa.
6. Syukur (as-Syukr)
Syukur yang berarti berterima kasih. Allahlah yang telah memberikan nikmat dan berokah kepada
umat manusia. Allah berfirman : Jika kamu bersyukur, maka kami akan menambahkan nikmat
kepadamu (al-Baqarah : 7)
7. Tawakal (at-Tawakkal)
Tawakkal arti dasarnya berserah diri kepada Allah. Secara sufistik tawakkal adalah penyerahan diri
hanya kepada ketentuan Allah.
8. Rida (ar-Rida)
Rida artinya meninggalkan ikhtiar. Menurut al-Muhaisibi rida adalah tentramnya hati dibawah
naungan hukum.
Menurut an-Najjar, ahli rida terbagi empat tipe. Pertama, golongan orang yang rida atas segala
pemberian Al-Haq dan inilah makrifat. Kedua, golongan orang rida atas segala nikmat, itulah dunia.
Ketiga, golongan yang rida atas musibah dan itlah cobaan yang beragam. Keempat, golongan yang rida
atas keterpilihan, itulah mahabbah.
9. Al-Ma’rifah
Ma’rifah artinya mengenal atau melihat (melihat tuhan dengan mata hati).
Dzunnun al-Misri membagi ma’rifah menjadi tiga bagian : 1) Ma’rifah mukmin, 2) Ma’rifah ahli kalam,
3) Ma’rifah Auliya muqarrabin. Sufi membagi manusia pada tiga klasifikasi. Pertama, tingkatan kaum
‘arif yang mendapatkan kebahagiaan sebab hikmah (wisdom). Kedua, tingkatan orang-orang mukmin
yang mendapatkan kebahagiaan karena memiliki keimanan. Ketiga, tingkaatn orang-orang bodoh dan
mereka ini orang-orang yang binasa.

E. Tasawuf dan Tarekat


Mazhab dalam tasawuf disebut tarekat. Harun Nasution memandang tarekat dari sisi institusi. Ia
beranggapan bahwa tarekat adalah organisasi para pengamal ajaran Syaikh pendiri tarekat termaksud.
K.H.A. Sahibulwafa Tajul’arifin (Abah Anom) menjelaskan bahwa tasawuf adalah proses pendekatan
diri kepada Tuhan sedangkan tarekat adalah metodenya. Dengan demikian TQN adalah salah satu
metode tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah guna dapat keridoan-Nya.
Sebuah tarekat dianggap mu’tabarah apabila terpenuhi kriteria sebagai berikut.
1. Substansi ajarannya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, dalam arti bersumber dari
al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Tidak meninggalkan syari’ah.
3. Silsilahnya sampai dan bersambung (ittisal) kepada Rasulullah Saw.
4. Ada mursyid yang membimbing para muridnya.
5. Ada murid yang mengamalkan ajaran gurunya.
6. Kebenaran ajarannya bersifat universal.
Tarekat yang tidak memenuhi kriteria seperti tertulis di atas dianggap gair mu’tabarah yakni tidak
dibenarkan mengamalkannya apalagi meyebarkannya.
Berdasarkan kelima kriteria di atas jelaslah bahwa TQN bukanlah ajaran yang baru apalagi dianggap
ajaran yang tidak berasal dari Rasul, karena ia adalah ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan
sunnah sahihah dan secara mutawatir diamalkan oleh setiap generasi dibawah bimbingan Syaikh
Mursyid pada setiap zamannya.

F. Sumber Ajaran Tasawuf


Kalau kita kaji al-Qur’an secara tematik, kita kana menemukan peta ayat secara zahir yakni ada empat
tentang teologi, fikih, tasawuf, falsafah dan seterusnya. Dari pendektana semacam ini ulama
melahirkan ilmu tauhid, ilmu fikih, tasawuf, filsafat dan lain-lain.
Sebagian sufi misal Ibnu ‘Arabi, al-Qusyaeri, Ibnu ‘Atolilah as-Sakandari dan sufi-sufi kontemporer
lainnya berpendapat bahwa semua ayat adalah tauhid, semua ayat adalah fikih begitu juga semua ayat
adalah taswuf. Paradigma yang berbeda dengan statemen di atas ini muncul karena ada hadis nabi
yang menyatakan bahwa setiap ayat ada mengandung makna zahir dan makna batin.
Makna batin hanya dapat dipahami oleh ulama yang secara istiqamah mensucikan hatinya dengan
riyadah. Ulama yan g dawam dalam riyadah adalah para sufi. Para sufilah orangnya yang dapat
menangkap makna batin ayat sehingga melahirkan ilmu haqiqah.
Dari pendekatan semacam ini pula, pada gilirannya melahirkan apa yang disebut tafsir isyari (tafsir
sufi). Dari tafsir isyarilah lahirnya ilmu hakikat, taswuf dan tarekat, termasuk Tareka Qadiriyyah wa
an-Naqsabandiyah (TQN).

G. Buah dari Pengamalan Tasawuf


Buah pengamalan ilmu taswuf adalah akhlak al-Karimah akhlak al-Karimah adalah kepribadian
seimbang seorang manusia dalam kedudukannya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah.
Dalam konsep universal dapat disebutkan bahwa akhlak al-Karimah adalah kepribadian yang sesuai
dengan petunjuk (hidayah) Allah dan Rasulnya.

H. Tarekat dalam Sistem Ajaran Islam:


Tarekat merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Islam tanpa tarekat bukanlah Islam kaffah
sebagai yang diajarkan Rasulullah Saw. Islam kaffah adalah Islam yang terpadu di dalamnya aspek
akidah, syari’ah dan haqiqah.tarekat qadiriyyah wa an-Naqsabandiyah adalah salah satu alian dalam
tasawuf yang substansi ajarnnya merupakan gabungan dari dua tarekat yaitu Qadiriyyah dan
naqsabandiyah.Secara keilmuan dari aqidah lahir ilmu aqa’id, ilmu tauhid, teologi Islam dan ilmu
kalam, dari syariah lahir ilmu Fikih dengan segala cabangnya dan dari aspek haqiqah lahir ilmu
tasawuf dan tarekat.
Arti dasar tarekat adalah jalan. Dan yang dimaksud adalah jalan yang mesti dilalui oleh seorang salik
utuk menuju pintu-pintu tuhan. Imam Malik berkata sebagai dikutip oleh Imam al-Gazali :
“Barang siapa bertasawuf tanpa fikih maka dia zindik dan barang siapa berfikih tanpa tasawuf maka ia
masih fasik dan barang siapa yang berislam dengan memadukan antara fikih dan tasawuf benarlah dia
dalam berislam”.
Secara eksplisit kedua tarekat ini dipadukan oleh seorang Maha Guru tasawuf yaitu Syaikh Ahmad
Khatib Sambas. Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang dinisbahkan kepada pendirinya yaitu
Sultan al-Auliya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Sementara Naqsabandiyah adalah tarekat yang
dinisbahkan kepada pendirinya yaitu Syaikh Bahauddin an-Naqsabandi.

TASAWUF AKHLAKI, FALSAFI DAN IRFANI


=========================

A. Tasawuf Akhlaki (Tasawuf Sunni)


Tasawuf Akhlaki adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran
yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang
telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki
ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih.
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadibaik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk
menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb.Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-
Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi
(165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470
– 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.

B. Tasawuf Falsafi:
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan falsafah.
Tasawuf falsafi ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang filosof.
Ibnu Khaldun berendapat bahwa objek utama yang menjadi perhatian tasawuf falsafi ada empat
perkara. Keempat perkara itu adalah sebagai berikut:
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul dari dirinya.
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat rabbani, ‘arasy, kursi,
malaikat, wahyu kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang nampak,
dan susunan yang kosmos, terutama tentang penciptanya serta penciptaannya.
3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang brepengaruh terhadap berbagai bentuk
kekeramatan atau keluarbiasaan.
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahiyyat) yang
dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui atau
menginterpretasikannya.
Tokoh-tokoh penting yang termasuk kelompok sufi falsafi antara lain adalah al-Hallaj (244 – 309 H/
858 – 922 M) Ibnu’ Arabi (560 H – 638 H) al-Jili (767 H – 805 H), Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H) as-
Sukhrawardi dan yang lainnya.

C. Tasawuf ‘Irfani:
Tasawuf ‘Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyikap hakikat kebenaran atau ma’rifah diperoleh
dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran tetapi melalui pemebirian Tuhan
(mauhibah). Ilmu itu diperoleh karena si sufi berupaya melakukan tasfiyat al-Qalb. Dengan hati yang
suci seseorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah
dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat kebenaran tersingkap lewat ilham (intuisi).
Tokoh-tokoh yang mengembangkan tasawuf ‘irfani antara lain : Rabi’ah al-Adawiyah (96 – 185 H),
Dzunnun al-Misri (180 H – 246 H), Junaidi al-Bagdadi (W. 297 H), Abu Yazid al-Bustami (200 H – 261
H), Jalaluddin Rumi, Ibnu ‘Arabi, Abu Bakar as-Syibli, Syaikh Abu Hasan al-Khurqani, ‘Ain al-Qudhat al-
Hamdani, Syaikh Najmuddin al-Kubra dan lain-lainnya.

SEJARAH KODIFIKASI HADITS NABI


Posted: 13 Februari 2012 in Pendidikan
Tag:ajaran islam, Allah, ayat al quran, hadits, khalifah abu bakar, kodifikasi, nabi, nabi muhammad, sejarah, tugas rasul
0

Pendahuluan

Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas
nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai
pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan
al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.

Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang
sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan
dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar
al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan
masa Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru
dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun
99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai
spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.

Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun
teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya
Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada
masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Beberapa penulis muslim seperti halnya Ahmad Amin, juga
Isma’il Ad’ham sebagaimana dikutip Mustafa al-Siba’i telah membuat kesimpulan serupa berkaitan dengan
otentisitas al-Hadits ini.

Tulisan ini selanjutnya akan membahas berkaitan dengan proses kodifikasi al-Hadits. Sebuah pertanyaan
yang diajukan, benarkah bahwa otentisitas al-Hadits patut diragukan mengingat kodifikasi al-Hadits baru
dilakukan pada akhir abad pertama hijriyah? Untuk menjawab pertanyaan ini dalam tulisan ini akan
disinggung tentang keberadaan al-Hadits sebelum masa kodifikasi khususnya berkaitan dengan adanya
penulisan al-Hadits sebelum kodifikasi resmi. Selain itu disingung pula pembahasan tentang adanya larangan
penulisan al-Hadits. Tentang Penulisan al-Hadits yang merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta
gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah suatu yang melekat pada
diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai di setiap event yang dialami oleh Rasulullah saw. Setiap event
dari episode kehidupan Rasul saw adalah al-Hadits.

Dari sinilah kebanyakan para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan al-Hadits secara lengkap
tentu sulit, karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang menyertai Rasulullah.
Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang
mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan
mereka tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi
menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih
banyak terekam dalam bentuk hafalan.

Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran untuk menghafalkan al-Hadits serta
menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya; Semoga Allah memperindah wajah orang yang
mendengar perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain), Mungkin
saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi
pula orang yang membawa informasi itu bukan orang yang faqih.? (Sunan Abi Dawud Juz III: hal 321)

Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, tidak
menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu
dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah
meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang
dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena
sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak. Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal. 32. hadits
tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39) Tentang penulisan al-Hadits
oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah
saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: Dari Abdullah
bin Amr beliau berkata: Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan,
maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu
dengar dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara
dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?, maka akupun menghentikan penulisan
itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, Tulislah!
Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang
hak (Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162)

Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau
sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam
kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari
Rasulullah saw(Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127)

Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis
oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain Shahifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah Saad bin
Ubaddah. Sekitar Larangan Penulisan al-Hadits Sebagaimana telah disebutkan, adanya kegiatan penulisan
al-Hadits telah berlangsung semenjak Rasulullah saw masih hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan
bahwa Abdullah bin Amr menulis al-Hadits atas restu dari Rasulullah sendiri.

Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis al-Hadits untuk
Abu Sah sebagimana sabdanya: Bersabda Rasulullah saw,tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah (Shahih
Bukhari Juz 1, hal 31)

Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits
sebagaimana hadits dari Abu Said al Khudri Dari Abu Said Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda, Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka
hendaklah menghapusnya (Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21)

Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan al-Hadits dan
perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal
ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits
perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah
Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para
sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu
menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa
larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat
menimbulkan kerancuan.

Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer
yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang
menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat
menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-nasakh dengan hadits
perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw.

Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan
menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits.
Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya
larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika illat itu tidak ada, maka otomatis
pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran
karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana
diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar: Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk
menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa
kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya
tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya”

Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku
untuk penulisan hadits bersama al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi
percampuran antara Hadits dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa
Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua,
adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw.
Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat
khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Quran.

Proses Kodifikasi al-Hadits

Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara
resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz
(memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk
memelihara perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah
kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits
yang akan hilang pada masa sesudahnya.

Abu Naim menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan
pesan perhatikan hadits Nabi dan Kumpulkan. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz
mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: Perhatikanlah apa yang ada
pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan
hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw�. (Shahih al-Bukhari, Juz I. hal
29)

Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan
hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Saad bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H)
dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq

Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar
bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab
al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling
menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk
menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits
(penulisan al-Hadits).

Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya
secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits
sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus
hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis muslim kontemporer
bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat
adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut M M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam
melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits.
Bahkan beberapa orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah sengaja melakukan
kecerobohan dalam hal ini untuk menciptakan keraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Tetapi amat
disayangkan banyak penulis kontemporer termasuk dari kalangan Muslim telah menjadikan karya Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht sebagai rujukannya. Sungguh aneh karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht
telah ditelan mentah-mentah oleh kelompok liberal Islam untuk menghantam karya-karya ulama terdahulu
tentang hadits.

Dalam bukunya a Studies In Early Hadith Literature� yang diterjemahkan oleh Ali Musthafa Yaqub
dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, M M. Azami telah mengurakian secara rinci dalam
bab tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadits mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan abad
ke dua Hijriyah. Tampak sekali dari penelitian Azami, bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat
Hadits dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat hingga masa tabiin kecil dan tabittabiin tidak saja
dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash
yang terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu Subrah. Shahifah
tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syuaib bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syuaib
ini berlanjut ke tangan putra dari Syuaib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin
Syuaib.

Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini
tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami dan mushannaf. Demikian juga belum
terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab
Hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih
saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa tadil telah semakin mantap dengan tampilnya
Muhammad bin Ismail al-Bukhari.

Kesimpulan

Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh
pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits, karena kegiatan
penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih. Berangkat dari
realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau
tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Tentang adanya larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan
al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau
menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Sejarah Pengumpulan / Kodifikasi Al-Qur'an


Bismillahirrahmaanirrahiim
Sejarah Penyusunan Al Qur’an
( Jam’ul Qur’an )

Pengertian Jam’ul Qur’an ( pengumpulan Al Qur’an )


Empat Fase Kodifikasi Al Qur’an :
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Rasulullah :
1. Kodifikasi Al Qur’an dengan hafalan
2. Kodifikasi Al Qur’an dengan tulisan
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Abu Bakar As Shiddiq
2. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Umar bin Khattab
3. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Utsman bin Affan
Perbedaan Fase Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ,Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan
ra.

1. Pengertian Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al Qur’an )


Kalimat Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al Qur’an ) yang di dalam bahasa Indonesia akhirnya memiliki
istilah khusus, yaitu Kodifikasi[1] Al Qur’an, di artikan oleh para Ulama dengan dua makna :
1. Pengumpulan Al Qur’an dengan menjaganya atau menghafalnya di dalam hati. Pemngumpulan Al Qur’an
ini di simpan di dalam hati
2. Jam’ul Qur’an di artikan sebagai penulisan Al Qur’an secara keseluruhan, baik secara huruf, surat dan
sistematika ayat-ayatnya. Pengumpulan Al Qur’an ini disimpan di dalam mushaf.[2]

2. Empat Fase Penyusunan Al Qur’an


Untuk menjadi sebuah mushaf, Al Qur’an memerlukan beberapa proses yang melibatkan beberapa orang
dalam kurun waktu yang relative panjang dari zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga zaman
Khalifah Ustman Bin Affan. Mushaf adalah Al Qur’an hasil penulisan atau kodifikasi panitia yang telah di
bentuk oleh Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf inilah yang lazim disebut Mushaf Utsmani atau Mushaf
Imam. Proses kodifikasi atau pembukuan Al Qur’an di lakukan melalui penyampaian, pencatatan,
pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf Al Qur’an yang disebut jam’ul Qur’an. Semua
proses ini merupakan bagian penting dari upaya pengamanan dan pelestarian kitab suci Al Qur’an.
Penyusunan Al Qur’an melewati empat fase menurut zamannya :
1. Fase Pertama adalah Pengumpulan Al Qur’an pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pada masa ini Al Qur’an di kumpulkan dengan dua cara :
1. Pengumpulan Al Qur’an dengan hafalan
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, pengamanan dan pelestarian Al Qur’an pertama diakukan
dengan menghapalnya. Cara seperti ini umum dilakukan orang Arab dalam upaya menjaga dan melestarikan
karya-karya sastra mereka. Cara paling lazim dalam menjaga Al Qur’an pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan sahabatnya ialah hapalan. ( Al Jam’u Fi As Sudur ). Ini dilakukan disamping banyaknya sahabat
yang buta huruf ( ummy ), juga hapalan orang Arab ketika itu yang terkenal sangat kuat.
Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang pertama kali menghapal Al Qur’an dan para
sahabat mencontoh suri tauladannya, sebagai usaha menjaga dan melestarikan Al Qur’an.
Upaya pelestarian Al Qur’an pada masa nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dilakukan oleh
Rasulullah sendiri setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah itu, beliau langsung mengingat dan
menghapal serta menyampaikannya kepada kepada para sahabat. Lalu sahabat langsung menghapalnya dan
menyampaikannya kepada keluarga dan para sahabat lainnya. Tidak hanya itu, mereka para sahabat langsung
mempraktekkan perintah yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya. Hal ini bisa kita lihat pada ayat tentang
turunnya hijab.
Dalam menerima wahyu yang berupa Al Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat bersemangat
untuk segera menghapalnya. Suatu ketika beliau pernah menggerakkan bibir dan lidahnya untuk membaca
Al Qur’an tatkala wahyu turun kepadanya sebelum malaikat Jibril menyelesaikan wahyu itu, sebagai upaya
keras untuk menghapalnya. Dari kejadian ini turunlah ayat QS. Al Qiyamah 75 : 16-19 ) :
“16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya.[3] 17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. 18. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu. 19. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya”.
Di dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman :
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al
Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah
kepadaku ilmu pengetahuan.” ( QS. Thaha, 20 : 114 )

2. Pengumpulan Al Qur’an dengan tulisan


Penulisan Al Qur’an pada zaman Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah dikenal secara umum.
Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki beberapa sekretaris penulis Al Qur’an dari golongan
sahabantnya, antara lain Abu Bakar As Siddhiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Muawiyah bin Abi Sofyan, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Amir bin
Fuhairah, Amr bin Ash, Ab Musa Al Asy’ari dan Abu Darda’. Apabila turun ayat-ayat Al Qur’an, Rasulullah
Sallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk menulisnya, dan mengarahkan mereka letak dan
sistematik peletakan surat-suratnya, lalu mereka menulis wahyu tersebut di atas kepingan tulang-belulang,
pelepah korma, lempengan batu, di atas kulit bahkan di atas pelana kuda.
Gambaran nyatanya bisa kita saksikan dari kisah Ibnu Abbas. Beliau berkata :
“Dahulu, apabila turun surat ( Al Qur’an ), beliau memanggil beberapa orang untuk menulisnya. Rasulullah
bersabda :”Letakkanlah surat ini, di tempat yang disebutkan di dalamnya ini dan ini…
Dari Zaid bin Tsabit ia berkata :”Dahulu kami berada disisi Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam menyusun
Al Qur’an di atas kulit binatang”.
Keterangan :
Pada zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, penulisan Al Qur’an telah rampung dan tertulis
seleuruhnya, hanya saja ayat-ayat dan suratnya masih terpisah. Penulisannya pun mencakup tujuh qira’ah
sebagaimana Al Qur’an turun. Di antara para sahabat ada yang mengumpulkan, menulis dan menghafalnya.
Pada waktu itu pula Al Qur’an belum sempat di kumpulkan menjadi sebuah mushaf. Sekarang
pertanyaannya….
Mengapa pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam Al Qur’an tidak di bukukan menjadi
mushaf ?
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam belum ada upaya untuk melakukan unifikasi atau kodifikasi
Al Qur’an. Hal itu di karenakan beberapa faktor :
1. Al Qur’an tdak di bukukan pada zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam karena belum ada
kebutuhan yang mendesak untuk melakukan upaya itu. Berbeda pada zaman Khalifah Abu Bakar As
Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra, upaya untuk melakukan pembukuan dan penggandaan
Al Qur’an sangatlah mendesak. Disampng itu dari segi teknis, alat tulis-menulis ketika itu masih sulit di
dapatkan, sehingga tidak heran kalau mereka menggunakan alat apa adanya seperti pelepah daun korma,
lempengan batu, pecahan telang, kulit binatang dsb sebagai cara menjaga kelestarian Al Qur’an.
2. Al Qur’an tidak turun hanya sekali. Akan tetapi Al Qur’an turun secara berangsur-angsur selama lebih dari
dua puluh tahun. Jikalau pengumpulan Al Qur’an dilakukan dan wahyu masih terus turun, maka yang akan
terjadi mushaf tersebut tidak mencakup seluruh Al Qur’an.
3. Sistematika peletakan ayat dan surat tidak sesuai dengan sebab turunnya ayat tersebut. Dan kita semua
tahu jikalau Al Qur’an di kumpulkan menjadi mushaf, sedangkan factor-faktor di atas masih saja
berlingsung, maka mushaf yang telah terkumpulkan tadi jelas akan terjadi perobahan dan penyelewangan.

2. Fase Kedua adalah Kodifikasi Al Qur’an pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq
Setelah Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, Abu Bakar As Shiddiq terpilih menjadi Khalifah
dan pemimpin kaum muslimin. Pada masa kekhilafahannya, banyak terjadi kekacauan dan peristiwa yang di
timbulkan oleh orang-orang murtad, pengikut nabi palsu Musailamah Al Kadzab. Kondisi inil
mengakibatkan terjadinya perang Yamamah yang terjadi pada tanggal 12 H. dalam pertempuran itu, banyak
sekali sahabat pembaca dan penghapal Al Qur’an yang gugur di medan perang. Data yang tercatat
,enunjukkan 70 sahabat dari para penghapal Al Qur’an. Riwayat lain ada yang menyebutkan bahwa jumlah
sahabat yang gugur di medan perang sebnayka 500 sahabat.
Peristiwa tersebut menggugah hati Umar bin Khattab untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar Ash
Shiddiq agar Al Qur’an segera di kumpulkan dan di tulis dalam sebuah kitab yang nantinya dinamakan
dengan mushaf. Usulan ini disampaikan karena beliau merasa cemas dan khawatir bahwa Al Qur’an sedikit
demi sedikit akan musnah bila hanya mengandalkan hapalan, apalagi para penghapal Al Qur’an semakin
berkurang dengan banyaknya mereka yang gugur di medan perang.
Semula Khalifah Abu Bakar merasa ragu untuk menerima gagasan Umar bin Khattab itu, sebab Rasulullah
Sallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan Al Qur’an kepada kaum
muslimin. Sehingga suatu saat Allah membukakan hati Abu Bakar dan menerima gagasan itu setelah betul-
betul mempertimbangkan kebaikan dan manfaatnya. Abu Bakar ra tahu bahwa dengan mengumpulkan Al
Qur’an sebagaimana yang diusulkan oleh Umar bin Khattab sarana yang sangat penting untuk menjaga kitab
suci Al Qur’an dari kemusnahan, perobahan dan penyelewengan.

Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa perbuatan Abu Bakar Ash Shiddiq dengan mengumpulkan Al
Qur’an bukanlah perkara bid’ah yang menyesatkan. Akan tetapi perbuatan ini berasarkan dari kaedah yang
diletakkan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam penulisan Al Qur’an semasa hidupnya. Al
Imam Abu Abdillah Al Muhasibi berkata di dalam kitabnya ( Fahmu As Sunan ) :
“Penulisan Al Qur’an bukanlah perbuatan bid’ah, karena Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
memerintahkan untuk menulisnya. Akan tetapi ketika itu masih tercecer dan terpisah di atas kulit binatang,
tulang an pelepah daun korma. Perintah Ash Shiddiq tidak lain hanyalah memindah dari tempat ke tempat
lain untuk di kumpulkan. Di antaranya kumpulan kertas berupa Al Qr’an yang terdapat di dalam rumah
Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kertas-kertas tersebut di kumpulkan dan diikat dengan tali supaya
tidak hilang”.
Ketika itu juga Abu Bakar Ash Shiddiq mengumumkan kepada kaum muslimin untuk mengumpulkan Al
Qur’an dalam satu mushaf. Beliau lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengepalai proyek ini,
dikarenakan kapabelitas dan kemampuannya yang mumpuni, baik bacaan, tulisan, pemahaman disamping
itu, umur beliau masih muda.
Sebagaimana halnya dengan Abu Bakar dahulu, Zaid bin Tsabit pada awalnya menolak perintah Abu Bakar
ra tersebut. Kemudian timbullah diskusi panjang antara Abu Bakar ra dan Zaid bin Tsabit hingga beliau
menerima permintaan Abu bakar Ash Shiddiq.
Diskusi antara Zaid bin Tsabit dan Abu bakar Ash Shiddiq termaktub di dalam kitab Shahih Bukhari. Zaid
bin Tsabit berkata :
“Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah[4]. Ternyata
Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata :”Umar telah datang kepadaku dan mengatakan,bahwa perang di
Yamamah menelan banyak korban dari kalangan penghapal Al Qur’an. Dan ia khawatir kalau-kalau
terbunuhnya para penghapAl Qur’an itu juga akan terjadi tempat lainnya, sehingga banyak dari akan hilang.
Ia memerintahkan aku agar menyuruh seseorang untuk mengmpulkan Al Qur’an. Maka aku katakana kepada
Umar, bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Sallahu
‘Alaihi wa Sallam ? tetpai Umar menjawab dan ia bersumpah, demi Allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus-
menerus mengatakan seperti itu sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerimausulannya, dan
akhirnya aku sependapat dengan Umar”. Zaid berkata lagi :”Abu bakar berkata kepadaku :”Engkau seorang
pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk
Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, oleh karena itu carilah Al Qur’an dan kumpulkanlah”. Kata Zaid lebih
lanjut :”Demi Allah, sekirangnya mereka memintaku untuk meminahkan gunung, rasanya lebih ringan
bagiku daripada memintaku untuk mengumpulkan Al Qur’an”. Karena itu aku menjawab :”Mengapa anda
berdua inin melakukan sesuatu yang tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ?
Abu Bakar menjawab :”Demi Allah, itu perbuatan baik”. Abu bakar terus-menerus menyemangatiku
sehingga Allah membukakan hatiku senbagaimana Ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka
akupun mulai mencari Al Qur’an . kukumpulkan Al Qur’an dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan
dari hapalan para penghapal Al Qur’an. Sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At Taubah berada
pada Khuzaimah al Anshati, yang tidak dapat kudapatkan dari orang lain.
“Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap
orang-orang mukmin”. ( QS. At Taubah : 128 )
Hingga akhir surat. Lembara-lembaran ( hasil kerjaku ) tersebut, kemudian di simpan di tangan Abu Bakar
hinga wafatnya. Sesudah itu berpindah tangan kepada Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada di
tangan Hafshah binti Umar”. ( HR. Bukhari )
Undang-Undang Abu Bakar Dalam Penulisan Mushaf
Zaid bib Tsabit mengumpulkan Al Qur’an tersebut sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang di
letakkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Zaid bin Tsabit tidak mencukupkan diri dengan hapalan di
luar kepala, dengan apa yang ia tulis dan dengan apa yang ia dengar. Bahkan di dalam pengumpulan Al
Qur’an ia berpatokan dengan dua sumber :
1. Al Qur’an yang di tulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam
2. Hapalan para penghapal Al Qur’an.
Ia sangat teliti dan hati-hati di dalam penulisannya. Bahkan ia tidak menerima apa yang tertulis kecuali
dengan dua orang saksi adil yang melihatnya bahwa tulisan ini di tulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi
wa Sallam.
Hal ini berdasakan dari riwayat Yahya bin Abdurrahman bin Hathib ia berkata : Umar datang dan
berkata :”Barangsiapa yang mendapatkan Al Qur’an dari rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallamhendaknya ia
sampaikan. Mereka menuliskannya dalam lembaran dan pelepah, dan ia tdak menerima periwayatan
seseorang sampai ada dua orang saksi yang menerimanya”. ( HR. Abu Daud )
Dalam riwayat lainnya, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa Abu baker berkata kepada Umar dan
Zaid :”Duduklah kalian berdua dipintu masjid. Apabila ada yang datang kepada kalian dengan membawa
dua orang saksi atas sesuatu dari Kitab Allah, maka tulislah !”. ( HR. Abu Daud )
Ibnu hajar berkata :”Yang di maksud dengan dua saksi ini adalah : Hapalan dan Tulisan”. Sedangkan As
Sakhawi berkata di dalam kitab ( Jamalul Qurra’) :”Maksudnya ialah dua orang saksi atas tulisan yang
tertulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kesimpulan
Kodifikasi yang di lakukan atas perintah Abu Bakar Ash Shiddiq adalah seluruh ayat Al Qur’an di
kumpulkan dan di tulis menjadi sebuah mushaf setelah melalui proses penelitian yang sangat detail, teliti dan
cermat. Para ulama berpendapat bahwa penyebutan Al Qur’an dengan mushaf mulai berlaku sejak zaman
Abu Bakar Ash Shiddiq.
Ali bin Abi Thalib ra berkata :
“Orang yang mendapatkan pahala paling besar di dalam ( pengumpulan ) mushaf adalah Abu Bakar.
Kesejahteraan Allah ata Abu Bakar. Dialah orang pertama kali yang mengumpulkan Al Qur’an”.

3. Fase Ketiga adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Umar bin Khattab
Sebelum Abu Bakar meninggal dunia, ia menyerahkan mushaf tersebut kepada Umar bin Khattab. Mushaf
tersebut terjaga di tangan dengan sangat ketat di bawah tangung jawab Umar bin Khattab selaku Khalifah
kedua pengganti Abu Bakar ra.
Pada masa Umar bin Khattab ra, mushaf tersebut diperintahkan untuk di salin kembali ke dalam lembaran
( shahifah ) yang lebih baik. Umar bin Khattab tidak lagi menggandakan lembaran tersebut karena memang
hanya untuk di jadikan sebagai naskah orisinil ( master ), bukan sebagai bahan hapalan. Setelah seluruh
rangkaian penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Hafshah bin Umar, anak beliau selaku istri
Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Fase ini sering sekali tidak mendapat perhatian dari pakar ilmu Al Qur’an, kekosongan ini akan membuka
peluang baru bagi para orientalis untuk mencari celah dimana mereka dapat menyisipkan tujuan-tujuan
negatif. Maka pada saat ini, sebaiknya di sebutkan bahwa pada masa Umar bin Khattab, Jam’ul Qur’an tetap
ada dalam arti menggunakanya di waktu shalat jama’ah, taraweh dan dirumah-rumah sahabat.
4. Fase Keempat adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin Khattab meninggal dunia, banyak pula para sahabat, mujahidin, dan huffadh
meninggal dunia. Perang Adzerbaijan dan Armenia yang terjadi pada tahun 24 H, banyak menelan korban.
Sejarawan At Thabari meriwayatkan bahwa ada sekitar 10.000 orang yang ikut di dalam pertempuran
tersebut. Hal ini menjadikan fikiran bagi khalifah Utsman bin Affan sebagai penerusnya. Beliau khawatir
dengan banyaknya sahabat yang meninggal dunia, maka akan semakin sedikit orang-orang yang hapal Al
Qur’an
Sementara itu, agama Islam semakin meluas ke Negara-negara yang di kuasai oleg Romawi dan Persia di
zaman Umar. Pada zaman Utsman bin Affan dunia Islam mengalami banya kemajuan dan perkembangan..
Mengingat wilayah penyebaran Islam sudah sedemikian luas di luar Jazairah Arab. Kebutuhan umat untuk
mengkaji Al Qur’an pun semakin meningkat. Banyak ahli qira’ah dan penghapal Al Qur’an mulai terpencar
dibeberapa kota dan berbagai propinsi untuk menjadi imam, seklaigus ulama, bertugas mengajar dan
mendidik umat. Dari sini, mulailah terasa adanya perbedaan bacaan Al Qur’an. Sedangkan para ahli bacaan
tentu mengajarkan Al Qur’an sesuai dengan bacaan yang diberikan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa
Sallam kepada mereka.
Umat Islam yang tersebar dalam wilayah yang demikian luas itu mendapat pelajaran dan menerima bacaan
Al Qur’an ( qiraat ) dari setiap sahabat yang ditugaskan di daerah. Penduduk Syiria misalnya memperoleh
pelajaran dan qiraah dari sahabat Ubay bin ka’ab ra. Penduduk Kufah, Irak, berguru kepada sahabat Abu
Musa Al Asy’ary. Versi qiraah yang dimiliki dan di ajarkan oleh satiap sahabat yang ahli qira’ah itu berlainan
satu sama lain. Keadaan ini ktika itu tentu saja menimbulkan dampak negative di kalangan kaum muslimin.
Di antara mereka ada yang saling membanggakan versi qira’ahnya dan merendahkan yang lain. Mereka
mengklaim bahwa versi qira’ahnya yang paling benar. Situasi seperti ini mencemaskan Khalifah Utsman ibn
Affan. Karena itu ia segera mengundang para sahabat penghapal Al Qur’an untuk memecah permasalah
tersebut. Akhirnya, dicapai kesepakatan bahwa mushaf yang ditulis pada masa Abu baker harus disalin
kembali menjadi beberapa mushaf. Lalu mushaf hasil salinan tersebut di kirimkan ke berbagai kota atau
daerah untuk di jadikan rujukan utama kaum muslimin ketika menemui masalah dalam bacaan Al Qur’an.
Inisiatif Utsman bin Affan untuk segera membukukan dan menggandakan Al Qur’an muncul setelah ada
usulan dari Khuzaifah al Yamani. Kemudian Khalaifah Utsman bin Affan mengirim sepucuk surat yang
isinya meminta agar Hafshah mengirim mushaf yang disimpannya untuk disalin kembali menjadi beberapa
naskah. Setelah itu Khalifah Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, said bin Ash dan
Abdurrahman bin harits untuk bekerjasama menggandakan Al Qur’anutsman bin Affan berpesan bahwa
“Jika terjadi perbedaan di antara kalian mengenai Al Qur’an, tulislah menurut dialek Quraisy, karena Al
Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.
Setelah tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya, Khalifah Utsman bin Affan mengembalikan mushaf
orisinil ( master ) kepada Hafshah. Kemudian, beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut di kirimkan ke
berbagai kota, sementara mushaf-mushaf lainnya yang masih ada saat itu , Khalifah Utsman bin Affan
memerintahkan untuk segera di baker. Pembakaran mushaf ini di lakukan untuk mencegah terjadinya
pertikaiandi kalangan umat karena setiap mushaf yang di baker mempunyai kekhususan. Para sahabat
penulis wahyu pda masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak terikat oleh ketentuan penulisan yang
seragam dan baku, sehingga perbedaan antara koleksi seorang sahabat dan sahabat lainnya masih mungkin
terjadi. Ada yang kelihatannya mencampurbaurkan antara wahyu dengan penjelasan-penjelasan dari Nabi
Sallahu ‘Alaihi wa Sallam atau sahabat senior, walaupun sesungguhnya yang bersangkutan dapat mengenali
dengan pasti mana ayat dan mana penjelsan ayat, misalnya dengan membubuhi kode-kode tertentu yang
mungkin hanya di ketahui oleh yang bersangkutan.
Perbedaan Antara Empat Fase Pengumpulan Al Qur’an
1. Pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, penulisan Al Qur’an dilakukan ketika wahyu Al Qur’an di
turunkan dengan menyusun urutan ayat-ayat dalam surat-surat tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi. Ayat-
ayat tersebut di tulis secara terpisah pada kepingan-kepingan tulang, pelepah daun korma dsb.
2. Pada masa Khalifah Abu Bakar, motivasi pengumpulan Al Qur’an pada zaman ini ialah upaya memelihara
Al Qur’an dari kepunahannya dengan wafatnya orang-orang yang membaca dan menghapalnya. Penulisan
dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali catatan-catatan Al Qur’an menjadi sebuah mushaf.
Tertib suratnya menurut turunnya wahyu.
3. Pada Masa Khlaifah Umar bin Khattab, pada masa ini bisa di bilang tidak ada penulisan ulang yang di
lakukan oleh Umar bin Khattab. Namun sekalipun demikian beliau sangat bertanggung jawab dalam
penyimpanan Mushaf yang telah selesai di kumpulkan pada zaman Abu Bakar Ash Shiddiq.
4. Pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra motivasi untuk mengumpulkan Al Qur’an ialah banyaknya
perbedaan bacaan Al Qur’an yang meluas ke segenap penjuru negeri dan telah mengakibatkan perselisihan
sengit antar kaum muslimin. Lebih parah lagi mereka saling menyalahkan satu sama lain, maka Khlaifah
khawatir adakn terjadi pertumpahan darah yang lebih besar., beliau memerintahkan untuk menhulis Al
Qur’an dalam sat mushaf dengan tertib ayat dan suratnya seperti yag ada sekarang ini. Beliau mengambil
jalan tengah untuk menulis Al Qur’an dengan dialek bahas Qurasy dengan alas an bahwa Al Qur’an di
turunkan dengan bahasa mereka, meskipun tujuh bacaan ini terdiri dari beberapa bahasa.
****************8

Sumber Utama Ajaran Islam


Ajaran islam berpedoman dan berasal dari Al-Qur an dan Sunnah (Hadis). Sedangkan cara menggali atau
mencari hukum islam itu sendiri terdiri dari 3 cara:

1. Ijtihad

Ijtihad dapat diartikan berupaya secara sungguh-sungguh untuk menggali atau mencari hukum dari
seumbernya.

2. Ijma`

Ijma ialah kesepakatan hukum tertentu yang digali dari sumbernya secara bersama sama

3. Qias

Qias ialah upaya menggali hukum dengan menyamakan kasus tertentu dengan kasus lain yang sudah ada
hukumnya dalam sumber asli karena adanya kesamaan alasan tertentu.

Penjelasan Lebih Luas Arti Islam, Iman dan Ihsan.

Iman, islam, dan ihsan adalah tiga kata yang maknanya saling berkaitan, sebagaimana yang diterangkan
dalam hadits Rasulullah Saw:

“Diriwayatkan dari Umar bin Khatab, “Suatu hari, disaat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah
Saw. Tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang mengenakan pakaian serba putih, rambutnya hitam pekat,
tidak berjejak, dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya, sampai dia duduk di depan Nabi
Saw. dan menyandarkan kedua lututnya pada lutut Nabi Saw. seraya meletakkan kedua telapak tangannya
diatas paha beliau. Kemudian ia berkata, Wahai Muhammad, ajarilah aku tentang islam, Nabi bersabda,
islam adalah hendaknya engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad adalah Rasul-Nya, engkau mendirikan solat, mengeluarkan zakat, berpuasa ramadhan, dan
menunaikan ziarah haji ke baitullah jika engkau mampu menempuh perjalanannya. Segera saja laki-laki itu
berkata, “Engkau benar wahai Muhammad.”.

Dia kembali berkata, Wahai Muhammad kabarilah aku tentang iman,

OOOOOOOOOOOOOOOOoo
1. Menurut sejarah, Mushhaf al-Qur`an pertama kali dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq
atas usulan Umar bin Khaththab. Berdasarkan Mushhaf tersebut kemudian Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
melakukan kodifikasi Mushhaf al-Qur’an yang dikirim ke beberapa negara pada masa itu. Upaya kodifikasi
Mushhaf al-Qur`an ini tentu saja mempunyai alasan dan tujuan tertentu sesuai dengan dinamika komunitas
umat Islam yang terus berkembang dan meluas.

Soal:
a. Jelaskan latar belakang dan faktor-faktor kodifikasi Mushhaf al-Qur`an pada masa Khalifah ‘Utsman bin
‘Affan dan siapa nama sahabat yang mengusulkan upaya kodifikasi tersebut kepada Khalifah ‘Utsman bin
‘Affan?
b. Sebutkan dan jelaskan standard Mushhaf al-Qur`an yang dipakai berdasarkan Rasm ‘Utsmani dan sebutkan
pula hikmah kodifikasi tersebut bagi umat Islam masa kini?

1. Secara historis, Mushhaf al-Qur`an pertama kali dicetak dengan mesin cetak modern pada tahun 1694
M di Hamburg, Jerman. Kemudian, penerbitan Mushahf al-Qur`an dengan label Islam baru dimulai pada
tahun 1787 M. Pada masa-masa berikutnya, pencetakan Mushhaf al-Qur`an mulai berkembang di negeri-
negeri Muslim, termasuk Indonesia.

Soal:
a. Jelaskan upaya pemerintah Indonesia dalam menjaga dan melestarikan kemurnian Mushhaf al-
Qur`an?
b. Bagaimana pendapat Anda tentang pembudayaan bacaan al-Qur`an dan pengamalan pesan-pesannya
dalam kehidupan umat Islam zaman kini?

BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam makalah kami yang berjudul “Islam dalam Pengertian yang
Sebenarnya” ini akan menguraikan mengenai pengertian Islam, sumber
hukum Islam dan ajarannya, Kodifikasi Al-Qur’an dan Hadist, serta
perbedaan ilmu kalam dari tauhid, tasawuf, tarikat dan fiqh.
Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang
berkenaan dengan Islam perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat
menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif. Hal ini penting
dilakukan, karena kualitas pemahaman ke Islaman seseorang akan
mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan ke Islaman yang
bersangkutan. Untuk itu uraian di bawah ini diarahkan untuk
mendapatkan pemahaman tentang Islam.
Dalam makalah ini, tentunya hanya mengulang untuk
mengingatkan kembali pelajaran yang telah lewat atau untuk lebih
memahami lagi tentang islam, semoga dalam membahas tentang islam
ini, kita semua dapat meningkatkan keimanan kita.
B.
Rumusan Masalah

Apakah pengertian islam?

Apa saja sumber ajaran islam?

Bagaimana kodifikasi Al-Qur’an?

Bagaimana kodifikasi hadist?

Apa perbedaan ilmu kalam dari tauhid, tasawuf, tarikat dan fiqih?
C.
Tujuan

Untuk memenuhi Mata Kuliah Pengantar Study Islam

Sebagai penambah wawasan dan pengetahuan tentang islam
dalam pengertian yang sebenarnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Islam
Pengertian islam dapat di tinjau dari 2 segi, yaitu dari segi bahasa
(etimologis) dan segi istilah (terminologis).
1.
Pengertian islam secara etimologis
Secara etimologis kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima
yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya
menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang
ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati”
(Q.S. 2:112).
Dari kata
aslama
itulah terbentuk kata
Islam
. Pemeluknya disebut
Muslim
. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada
Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya
1
Pengertian Islam menurut Al-Quran tercantum dalam sejumlah ayat.
1. Islam berasal dari kata "as-silmu " yang artinya damai
“dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
(QS. Al-Anfal:61).
1
Drs. Nasruddin Razak,
Dienul Islam
, Al-Ma’arif Bandung, 1989, hlm. 56-57.
2. Islam berasal dari kata "aslama " yang artinya menyerahkan diri
(pasrah).
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”
(QS. An-Nisa:125).
3. Islam berasal dari kata "istalma mustaslima " yang artinya
penyerahan total kepada Allah.
”Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri”
(QS. Ash-Shaffat:26 )
4. Islam berasal dari kata "saliimun salim " yang artinya bersih dan suci.
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”
(QS. Asy-Syu ' ara:89 )
5. Islam berasal dari kata "salamun " yang artinya selamat.
“Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku
akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia
sangat baik kepadaku” (QS. Maryam:47).
2.
Pengertian islam secara Terminologis
Secara terminologis Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau
keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw
sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun
dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Cukup banyak ahli dan ulama yang berusaha merumuskan definisi atau
pengertian Islam secara terminologis. KH Endang Saifuddin Anshari
2
mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan tentang agama Islam,
lalu menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan pengertian Islam,
2
Endang Saifuddin Anshari,
Kuliah Al-Islam
, Pusataka Bandung, 1978, hlm. 46.
bahwa agama Islam adalah:
1.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk
disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa.
2.
Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala
perikehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam berbagai hubungan
dengan Allah SWT, sesama manusia, dan alam lainnya.
3.
Bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah, rahmat bagi segenap
alam,dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
4.
Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariat dan akhlak.
Bersumberkan Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi wahyu
Allah SWT sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang
ditafsirkan oleh Sunnah Rasulullah Saw.
B.
Sumber Ajaran Islam
Sumber – sumber ajaran islam di bedakan menjadi 3, yaitu:
1.
Al – Qur’an
Pengertian Al-Qur’an secara Etimologi berasal dari kata Qara’a –
Yaqra’u – Qur’anan yang berarti bacaan.
Sedangkan secara Terminologi Al-Qur’an adalah Kalam Allah swt. yang
merupakan mu’jizat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.,
ditulis dalam Mushaf, diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya
adalah ibadah. Adapun isi kandungan Al-Qur’an yaitu sebagai berikut :
a.
Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah swt., malaikat, rasul, hari
akhir, qadha dan qadar, dan sebagainya.
b.
Janji dan ancaman.
c.
Kisah para nabi dan Rasul Allah swt. serta umat-umat terdahulu (
sebagai i’tibar / pelajaran ).
d.
Konsep ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang masalah
ketuhanan ( agama ), manusia, masyarakat maupun tentang alam
semesta.
Selain itu, Al-Qur’an juga memiliki Keutamaan yang ditegaskan dalam
Sabda Rasullullah, antara lain:
1.
Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-
Qur’an dan mengajarkannya
2.
Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an (HR.
Turmuzi)
3.
Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat-
malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan
kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya
dapat dua pahala (HR. Muslim).
4.
Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah
hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
5.
Bacalah Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur’an
sebagai penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
1. Hukum I’tiqadiah
,
yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia
dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum
ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid,
Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2. Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan
manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta
manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun
Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Fikih.
3. Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal
manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial.
Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
2. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama
manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah
sebagai berikut:
· Hukum munakahat (pernikahan).
·
Hukum faraid (waris).
· Hukum jinayat (pidana).
· Hukum hudud (hukuman).
· Hukum jual-beli dan perjanjian.
· Hukum tata Negara/kepemerintahan
· Hukum makanan dan penyembelihan.
·
Hukum aqdiyah (pengadilan).
· Hukum jihad (peperangan).
· Hukum dauliyah (antarbangsa).
Fungsi Al-Qur’an antara lain adalah:
1.
Menerangkan dan menjelaskan (QS. 16:89; 44:4-5)
2.
Al-Qur’an kebenaran mutlak (Al-Haq) (QS. 2: 91, 76)
3.
Pembenar (membenarkan kitab-kitab sebelumnya) (QS. 2: 41, 91, 97; 3:
3; 5: 48; 6: 92; 10: 37; 35: 31; 46: 1; 12: 30)
4.
Sebagai Furqon (pembeda antara haq dan yang bathil, baik dan buruk)
5.
Sebagai obat penyakit (jiwa) (QS. 10: 57; 17:82; 41: 44)
6.
Sebagai pemberi kabar gembira
7.
Sebagai hidayah atau petunjuk (QS. 2:1, 97, 185; 3: 138; 7: 52, 203, dll)
8.
Sebagai peringatan
9.
Sebagai cahaya petunjuk (QS. 42: 52)
10.
Sebagai pedoman hidup (QS. 45: 20)
11.
Sebagai pelajaran
2.
Hadist / As-Sunnah
Pengertian Hadist / As-Sunnah secara Etimologi yaitu jalan / tradisi, kebiasaan,
adat istiadat, dapat juga berarti undang-undang yang berlaku. Sedangkan secara
Terminologi yaitu berita / kabar, segala perbuatan, perkataan dan takrir ( keizinan /
pernyataan ) Nabi Muhammad saw. Sunnah merupakan “penafsir” sekaligus “juklak”
(petunjuk pelaksanaan) Al-Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang
kewajiban shalat dan berbicara tentang ruku’ dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-
lah yang memberikan contoh langsung bagaimana shalat itu dijalankan. As-sunnah
adalah sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Ada tiga peranan al-Hadis
disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam, yakni sebagai
berikut :
1. Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya
dalam Al-Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara
pelaksanaannya dijelaskan oleh Nabi.
2. Sebagai penjelasan isi Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintahkan
manusia mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan
banyaknya raka’at, cara rukun dan syarat mendirikan shalat.
3. Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-
samar ketentuannya di dalam Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi
mengawini seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat
dalam larangan-larangan perkawinan di surat An-Nisa (4) : 23. Namun, kalau
dilihat hikmah larangan itu jelas bahwa larangan tersebut mencegah rusak atau
putusnya hubungan silaturrahim antara dua kerabat dekat yang tidak disukai
oleh agama Islam.
Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa Al-Qur’an dan hadist sangat
berbeda sekalipun Al-qur’an dan hadist sama-sama sumber hukum islam namun
diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara
lain sebagai berikut :
1. Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak ) kebenarannya, sedangkan As-Sunnah
bersifat Dzhanni ( relatif ), kecuali Hadits Mutawatir.
2. Seluruh ayat al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Sedangkan
Tidak seluruh Hadits dapat dijadikan pedoman hidup karena disamping ada
Hadits Shahih, ada pula Hadits yang Dhaif .
3. Al-Qur’an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya. sedangkan As-Sunnah
belum tentu autentik lafadz dan maknanya.
4. Apabila al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal
yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya. Dan Apabila as-Sunnah
berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap
muslim tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya mengimani al-Qur’an.
5. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka :
- Penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur’an hendaknya didasarkan pada
keyakinan yang kuat, sedangkan;
- Penerimaan seorang muslim terhadap as-Sunnah harus didasarkan atas keragu-
raguan ( dugaan-dugaan ) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi,
tetapi ragu apakah Hadits itu benar-benar berasal dari Nabi atau tidak karena
adanya proses sejarah kodifikasi hadits yang tidak cukup memberikan jaminan
keyakinan sebagaimana jaminan keyakinan terhadap al-Qur’an
.
3.
Ijtihad
Pengertian Ijtihad berasal dari kata
ijtihada
yang berarti mencurahkan
tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri
berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum
syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan
sumber hukum ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila
ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun
hadist, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan
tetap mengacu pada Alquran dan hadist.
Pelakunya di sebut
Mujtahid,
adapun
macam – macam ijtihad yang di kenal menurut syariat islam yaitu :
1
. Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat.
Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi
Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu
perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan
bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Qiyas,yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya.
Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk
membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok
masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra
ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak
diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai
memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3. Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas
lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat
diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan
hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya,
menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya
belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan
rukhsah
(kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan
system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4. Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum.
Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi
kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak
terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran.
Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5. Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan
menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi
makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan
meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk
tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang
tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6.
I
stishab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum
tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu
atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan
sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah
bila tidak berwudhu.
7. Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli
menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya
tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara
penjual dan pembeli.
C.
Kodifikasi Al-Qur’an
1.
Pengertian kodifikasi Al-Qur’an
Kata jama’a atau dalam bahasa populer adalah kodifikasi. Dalam bahasa
Arab kata jama’a dari segi bahasa mempunyai arti menyusun yang terpisah atau
yang tak beraturan. Yaitu mengumpulkan sesuatu dengan mendekatkan bagian
satu dengan bagian yang lain.
3
Dalam Ilmu al-Qur’an, kata jama’a mempunyai dua arti yang nantinya
dari makna itu akan melahirkan ma’lumat-ma’lumat yang luas. Yang pertama
jama’a mempunyai makna yaitu: menghafal semuanya. Dan makna yang kedua
yaitu: membukukan al-Qur’an semuanya dalam bentuk tulisan dari ayat dan
surat yang masih terpisah-pisah berkumpul menjadi satu
4
3
Dr. Fathi Muhammad ghorib, huququ mahfudzoh lilmualif, cet. I, hal 14.
4
ibid.
Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Rosulullah SAW.
Pengumpulan Al Quran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
1. Pengumpulan Al-Qur’an dalam konteks Hafalan
(
Al Jam'u Fis Sudur)
Rosulullah SAW sangat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu kedatangan
wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memehaminya, persis seperti
dijanjiakan Allah;
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya”.
Oleh sebab itu, ia adalah
hafidz
(penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan
contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai bentuk
kepada sumber aama dan risalah Islam.
5
Al-Qur’an diturunkkan selama 20 tahun lebih. Proses penurunannya terkadang
hanya turun hanya satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap
kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan diletakkan dalam hati, sebab
bangsa Arab secara kodrati memeng memiliki daya haal yang kuat. Sebab pada
umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair
dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati mereka
Al-Bukhori mengemukakan tujuh penghafal Al-Qur’an dengan tiga riwayatnya,
sebagai berikut:
- Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia berkata: Aku mendengar
Rosulullah SAW bersabda,
“Ambillah Al-Qur’an dari empat sahabatku; Abdullah
bin MAs’ud, Mu’adz dan Ubay bin Ka’ab”
6
5
Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hal: 152
6
HR. Al-Bukhori
PERTANYAAN DISKUSI STUDI AL-QURAN

Topik Kajian : Kronologi dan Sistematika Al-Quran

1. Apa yang dimaksud dengan kronologi Al-Quran?


2. Mengapa Mushaf Al-Quran tidak disusun berdasarkan urutan turun ayat dan/ atau surah?
3. Bagaimana susunan kronologi Al-Quran?
4. Mengapa kronologi Al-Quran terjadi?
5. Tentang waktu turun Al-Quran yang pertama dan seterusnya!
6. Tetang ayat terakhir yang turun!
7. Mengapa terjadi perbedaan pendapat antara ulama tentang ayat yang terakhir turun?
8. Apakah ada targert tertentu dengan turunnya Al-Quran dalam kurun waktu 23 tahun itu?
9. Apa manfaat mempelajari kronologi Al-Qur’an?
10. siapa yang memerintahkan penyusunan Al-Quran secara sistematis?
11. Apa dasar penyusunan sistematika Al-Qur’an?
12. Apa dampak yang timbul jika Al-Quran tidak disusun secara sistematis?
13. Apa dasar pemberian nama surah dalam A-Qur’an?
14. Mengapa surat surah al-Taubah tidak diawali dengan basmallah?
15. Mengapa surah yang pendek diletakan pada bagian akhir Al-Qur’an?
16. Mengapa surah al-fatihah diletakan pada bagian awal Al-Qur’an, mengapa bukan surah al- alaq yang
merupakan surah yang pertama di wahyukan?
17. apa manfaat mempelajari sistematika Al-Qur’an?

LEMBAR KERJA MAHASISWA

Tugas : Kelompok

Topik : Kopilasi dan Kodifikasi Al-Qur’an

Mahasiswa dibagi menjadi tujuh kelmpok. Masaing-masing kelompok membahas dan menjawab dua nomor
pertanyaan berkut. Hasil kajian dilaporkan dalam bentuk paper yang disertai dengan catatan referensi.

Berkaitan dengan topik kajian kompilasi dan kodifikasi Al-Qur’an terdapat beberapa pertanyaan yang dapat
diajukan untuk dibahas, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan kompilasi dan kodifikasi Al-Qur’an?
2. Apa bentuk kompiasi Al-Qur’an yang dilakukan pada masa Rasulullah saw?
3. Siapa yang menghafal Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw?
4. Apa latar belakang penulisan Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw?
5. Siapa penulis Al-Qur’an pada masa Rasulullah?
6. Mengapa Al-Qur’an tidak dibukukan (dikodifikasi) pada masa Rasulullah saw?
7. apa latar belakang pembukuan pembukuan (kodifikasi) Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar
r.a?
8. Siapa yang bertugas mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar
r.a?
9. Apa kreteria yang ditetapkan tim pengumpul Al-Qur’an dan untuk setiap ayat yang dikumpulkan dan
dikodifikasi?
10. Setelah khalifah Umar bin Khatfab wafat, mengapa muskhaf Al-Qur’an disimpan oleh Hafsah?
11. Apa latar belakang penulisan kembali dan pembukuan Al-Qur’an pada masa khalifah Ustman bin
Affan r.a?
12. Siapa tim yang bertugas mengumpukan dan membukukan Al-Qur’an pada masa Khlalifah Utsman
bin Affan r.a?
13. Apa standar yang ditetapkan Khlifah Utsman bin Affan r.a untuk mushaf yang boleh beredasr?
14. Berapa jumlah mushaf standar yang dibuat oleh tim yang dibentk oleh khalifah Utsman bin Affan r.a
dan ke daerah mana di distribusikan?
15. Apa perbedaan penulisan Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar r.a dan masa Khalifah Utsman
bib Affan r.a?
16. Mengapa Allah Swt menggunakan kata ganti laki-laki (dhamir) untuk diri-Nya dalam al-
Qur’an? Dan mengapa kata ganti laki-laki ini bersifat general bahkan terhadap kata ganti
perempuan?
17. Jawaban Global
18. Sebab mengapa Allah Swt al-Qur’an menggunakan kata ganti orang ketiga laki-laki untuk
diri-Nya adalah lantaran al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan penggunaan kata
ganti laki-laki (dhamir, pronomina) bagi Allah Swt telah sesuai dengan kaidah dan sastra
bahasa Arab. Karena Allah Swt bukan muannats (feminim) hakiki dan juga bukan mudzakkar
(maskulin) hakiki dan juga tidak menggunakan penggunaan qiyâsi (mengikuti kaidah tertentu)
dan simâi muannats majâzi (figuratif). Karena itu, berdasarkan kaidah bahasa Arab yang
harus digunakan untuk Zat Allah Swt adalah kata ganti-kata ganti dalam bentuk maskulin
figuratif (mudzakkar majâzi). Di samping itu, tanda-tanda literal maskulin dan feminin bukan
sebagai penjelas kedudukan dan derajat yang mengandung nilai (value).

19. III. Bahasan Ilmu Kalam


20. Pokok-pokok bahasan dalam Ilmu Kalam adalah :
21. 1. Masalah ketuhanan :
22. a. Wujud Allah
23. b. Sifat-sifat Allah
24. c. Perbuatan Allah
25. 2. Al-Quran
26. a. Apakah Al-Quran itu makhluk atau bukan
27. 3. Akhirat
28. a. Apakah kebangkitan itu dengan jasad apa ruh saja.
29. b. Apakah dapat melihat Allah di akhirat nanti.
30. 4. Iman
31. 5. Dosa besar
32. 6. Takdir dan keadilan Allah
33. 7. Khilafah dan imamah
34. 8. Filsafat
35. 9. Ayat-ayat mutasyabih
36. a. Tentang tajsim
37. b. Tentang tasybih
38. c. Tentang dimana Allah

Anda mungkin juga menyukai