TAWASUL
DISUSUN OLEH :
DIRHAM AFANDI
7A
Imam At-Thabari berkata: “Wabtaghuu ilaihi al-wasiilata, berarti carilah kedekatan (jalan
apapun atau bentuk kedekatan apapun) yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT).
(juz 10/ 290)
a) Tawassul kepada Allah SWT dengan nama-namaNya yang baik dan atau sifat-sifatNya yang
mulya. Sebagaiman FirmanNya;
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS 7:180)
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan hamba-hamba Allah untuk berdo’a kepadanya
dengan menggunakan nama-namaNya. Karena do’a yang menggunakan nama-nama dan
sifat-sifatNya mudah dan lebih dekat dikabulkan. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah swt memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu,
siapa saja yang menjaganya (menghafalnya) niscaya ia kan masuk surga. Dan Dia adalah
witir (ganjil) mencintai yang witir.” (HR Al-Bukhari Muslim)
c) Tawassul kepada Allah dengan do’a orang-orang yang saleh. Apabila seorang muslim
mendapatkan musibah, kepayahan dan ujian yang berat dalam hidupnya ia boleh minta tolong
kepada orang yang lebih saleh untuk mendo’akannya agar Allah memudahkan dan
menyingkap tabir-tabir ujian tersebut. Karena merupakan bentuk pertolongan antara mukmin
dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah berfirman;
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS 5:2)
Rasulullah bersabda:
“Allah SWT senantiasa membantu hambaNya selama hamba itu membantu saudaranya.”
Dan kisah istisqo’ yang terjadi pada masa Rasulullah saw ketika seorang sahabat yang datang
pada hari Jum’at meminta Beliau berdo’a agar Allah menurunkan hujan kepadanya. Lalu
Rasul berdo’a di atas mimbar dan selanjutnya hujan turun dengan deras. (HR Ahmad dan Al-
Bukhari)
Rasulullah saw juga mencontohkan kepada kita tentang hal ini, ketika Beliau berkata kepada
Umar di saat minta izin umrah: “Jangan lupakan kami wahai saudaraku dalam doamu.”
2. Tawassul Mamnu’
Tawassul Mamnu’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan
diridloi, baik dengan perbuatan, perkataan maupun keyakinan. Tawassul semacam ini tidak
diperbolehkan oleh Islam karena mengandung kesyirikan, bidah dan sumpah dengan
makhluk. Dan tawassul ini memiliki beberapa jenis berikut ini;
a) Tawassul kepada Allah dengan berdo’a dan memohon pertolongan kepada orang yang telah
mati atau ghaib dan semacamnya. Hal ini digolongkan sebagai syirik besar yang bertentang
dengan tauhid. Karena mayit tidak akan memberikan manfaat dan madharat dalam tawassul.
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan.
Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-
orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis
kulit ari.” (QS 35:13)
b) Tawassul kepada Allah dengan melakukan berbagai bentuk ketatan dan kebaikan yang
dilarang Islam, seperti makan-makan di atas kuburan wali atau orang yang saleh lainnya,
membuang sesajen ke tengah lautan, mandi di sumur yang di keramatkan dan semacamnya.
Hal ini bertentangan dengan tauhid dan kesempurnaan tauhid. Bahkan ini bentuk neo-
paganisme yang muncul pada zaman sekarang. Mereka meyakini adanya kekuatan lain yang
mampu memberikan pertolongan selain Allah SWT. Sebagian ada yang percaya dengan
adanya Dewa-dewi dan Jin-jin yang menguasai lautan dan daratan sehingga mereka
melakukan perayaan dan sesajen sebagi bentuk tawassul atau bahkan memohon langsung
pada berhala-berhala yang mereka tuhankan ini. Allah berfirman;
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat
menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan
berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya
dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS
7:191-192)
Begitu juga Islam tidak membenarkan bertawassul dengan barang-barang atau tempat
peninggalan para Nabi dan para Wali. Karena barang-barang ini tidak memliki kemulyaan,
keutamaan dan kelebihan sama sekali. Imam Abu Hanifah tidak membenarkan orang yang
bersumpah dengan Ka’bah dan Masy’aril Haram. Bagitu juga yang dilakukan Umar bin
Khattab ra. Diirwayatkan bahwa Umar setelah menunaikan salat shubuh berjalan-jalan ke
suatu tempat di mana banyak manusia datang ke sana. Lalu orang-orang itu berkata kepada
Umar: “Rasulullah saw mengerjakan shalat si tempat ini.” Kemudian Umar berkata:
“Sungguh telah binasa orang-orang ahlul Kitab kerena mereka menjadikan bekas-bekas para
Nabi mereka sebagai sinagog dan tempat ibadah. (HR Syu’bah)
Imam Malik juga melarang orang yang datang ke makam Rasulullah saw untuk tujuan
tawassul. Ketika ditanya seseorang yang mendatangi kuburan Nabi, ia berkata: “Jika
bermaksud ke kuburan janganlah dan jika bermaksud ke masjid maka lakukanlah.” (Al-
Mabsuth, Isma’il bin Ishaq)
c) Tawassul kepada Allah dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh. Tawassul
dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh adalah merupakan khilaf fiqhy yang
menjadi perdebatan para Ulama. Oleh karena itu, Imam Hasan Al-Banna dalam Ushul Al-
‘Isyriin berkata:
“Dan berdo’a apabila disertai dengan tawassul kepada Allah dengan seseorang dari
makhlukNya adalah khilaf far’I (fiqhy) dalam cara berdo’a dan bukan merupakan masalah-
masalah aqidah.”
Begitu juga Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian
yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya, maka inilah
tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang diperselisihkan
oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah
1/264) Ia juga berkata:
“Bahkan maksudnya adalah menjadi muara ijtihad dan apa-apa yang diperselisihkan
Ummat ini harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa 1/179)
Hal ini juga diungkapkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albaany (At-Tawassul wa
Anwa’uhu wa Ahkamuhu), Syekh Ibnu Baaz (Muhadlorat, DR ‘Ishaam Al-Basyiir) dan
Syekh Muhammad Najib Al-Muthi’I (Minhaj Al-Quran Fii ‘Ardhi Aqiidatil Islam) Meskipun
demikian sebagai muslim harus mengambil pendapat yang rajih setelah melihat dalil-dalil
dari setiap pendapat para Ulama. Inilah beberapa pendapat para Ulama tentang tawassul
dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh;
1) Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tawassul ini tidak dibenarkan dalam
Islam. Karena perbuatan manusia hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Allah SWT.
Sebgaimana firman Allah di bawah ini;
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS 53:39)
Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di sisi Allah hanya bermanfaat bagi dirinya
sendiri, tidak bagi orang lain. Adalah suatu kesalahan besar orang yang menganalogikan
Allah dengan manusia. Jika dalam hubungan sesama manusia kita sering menggunakan
perantara karena adanya manfaat tertentu yang diperolehnya, maka kepada Allah hal itu tidak
dibutuhkan. Untuk memperoleh keridloan Allah seorang hamba tidak perlu menggunakan
perntara. Itulah sebabnya para sahabat tidak melakukan hal dengan kedudukan Rasulullah
saw di sisiNya. Mereka setelah wafatnya Rasul justru memohon kepada Abbas untuk
mendo’akan mereka. Hal ini yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ra.
Dalam shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Umar meminta hujan (kepada Allah)
bertawassul dengan (do’a) Al-Abbas –Paman Rasul- dan ia berkata:“Ya Allah, sesungguhnya
kami apabila tertimpa kepayahan/kekringan, kami bertawassul kepada Engkau dengan Nabi
kami, kemudian Engkau menghujani kami. Dan apabila kami bertawassul kepada Engkau
dengan paman Nabi kami, hendaklah Engkau menghujani kami, akhirnya mereka diberikan
hujan.”
Di sini Imam Ibnu Taimaih berkata: “Do’a Umar dalam istisqo ini Menunjukan bahwa
tawassul merupakan bentuk tawassul yang dibenarkan. Itulah tawassul dengan do’a dan
syafaatnya bukan meminta dengan dzatnya. Karena seandainya hal ini (meminta dengan
dzatnya) diperbolehkan maka Umar, sahabat Muhajirin dan Anshar niscaya bertawassul
dengan dzat Nabi, tidak bertawassul dengan Al-Abbas.” (Qoidah Jaliah fii at-Tawassul, Ibnu
Taimiah, 58)
Adapun hadits tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah saw“Aku bertawassul
denganmu wahai Muhammad kepada Tuhanmu.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi),
maksudnya adalah permohonan kepada Rasulullah utnuk mendo’akannya. Karena Rasulullah
selanjutnya berkata kepada orang itu; “Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya krenaku.” (Imam
Ahmad). Hal ini dengan mengasumsikan bahwa hadits ini adalah shahih, sebab sebenarnya
sanadnya terputus. (Lihat Almadkhal liddirasati al-aqidat al-islamiah ‘alaa madzhabi ahli
as-sunnah wa al-jama’ah, DR Ibrahim Al-Buraikan)
Adapun hadits “Bertawassullah kamu dengan kedudukanku kerena kedudukanku di sisi
Allah matlah besat.” Adalah maudlu’ (dipalsukan). (Lihat Silsilat al-ahaadits ad-dho’ifah wa
al-maudhu’at, Al-Baany) Dan sementara bertawassul dengan dzat orang-orang yang saleh
juga mengandung banyak pengertian yang semua dilarang dan bertentangan dengan syari’at;
Bertawassul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah
Dengan lafadz itu ia ingin bersumpah kepada Allah. Dan bersumpah kepda Allah dengan
selainnya adalah haram dan termasuk syirik kecil.
Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan hamba-hambaNya dalam mendatangkan
manfaat dan menolak madharat.
Dengan lafadz ini ia bermaksud memohon berkah yang tidak dibenarkan.
2) Imam Izzuddin Abdus Salam membolehkan tawassul dengan dzat Rasulullah saw khusus
dan tidak dibenarkan dengan selainnya. Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal, sementara
Imam As-Subki membolehkan tawassul dengan dzat orang-orang yang saleh selain Nabi.
Dalil mereka adalah istisqonya Umar yang bertawassul dengan dzat paman Nabi dan hadits
orang yang buta yang meminta dikembalikan matanya. Dan beberpa hadits ini dijawab para
Ulama yang tidak memperbolehkan bahwasanya yang dimaksud dengan tawassul di sana
adalah permohonan do’a kepada Rasulullah saw dan sebenarnya hadits yang berkaitan
dengan orang buta adalah dho’if.
Dan firman-Nya:
"Berdoalah kepada-Ku, akan Kuperkenankan bagimu." (Q. S. Al Mu'min:60)
Allah telah membimbing kita pula agar meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Kita selalu
mengucapkan dalam shalat setiap rakaat' :
"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan" (Q.S. Al Fatihah:5)
"'Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali
atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula)
mengambil pelaiaran?" (Q. S.Al Taubah:126)