Anda di halaman 1dari 6

TRADISI NU

TAWASUL

DISUSUN OLEH :

DIRHAM AFANDI

7A

MTS ARROBI’AH AZZAIN GRINTING

Jl. D. Sudrajat No. 2 Grinting Kec. Bulakamba – Kab Brebes


TAWASUL
A. Pengertian Tawasul
Secara etimologi tawassul berasal dari kata tawassala yatawassalu tawassulan yang berarti
mengambil perantara (wasilah), taqarrub atau mendekat. Dan secara terminology, tawassul
adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menggunakan wasilah (perantara).
Wasilah sendiri berarti kedudukan di sisi Raja, jabatan, kedekatan dan setiap sesuatu yang
dijadikan perantara pendekatan dalam berdo’a. Imam An-Nasafi berkata: “Wasilah adalah
semua bentuk di mana seseorang bertawassul atau mendekatkan dirinya dengannya.”
Arti ini bisa kita temukan dalam beberapa firman Allah berikut ini;
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS 5:35)

Imam At-Thabari berkata: “Wabtaghuu ilaihi al-wasiilata, berarti carilah kedekatan (jalan
apapun atau bentuk kedekatan apapun) yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT).
(juz 10/ 290)

“Orang-orang yang mereka seru itu,


mereka sendiri mencari jalan kepada
Tuhan mereka siapa di antara mereka
yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut
akan azab-Nya; sesungguhnya azab
Tuhanmu adalah suatu yang (harus)
ditakuti.” (QS 17:57)

B. Pengertian Tawasul yang Masyru’ dan Mamnu’


1. Tawasul Masru’
Tawassul Masyru’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang dicintai dan
diridloi Allah SWT seperti taqarrub dengan ibadah wajib atau sunnah dan amal-amal saleh
yang lain. Dan tawassul masyru’ ini ada tiga jenis yang telah disepakati oleh Ulama. Yaitu;

a) Tawassul kepada Allah SWT dengan nama-namaNya yang baik dan atau sifat-sifatNya yang
mulya. Sebagaiman FirmanNya;
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS 7:180)

Ayat ini secara eksplisit memerintahkan hamba-hamba Allah untuk berdo’a kepadanya
dengan menggunakan nama-namaNya. Karena do’a yang menggunakan nama-nama dan
sifat-sifatNya mudah dan lebih dekat dikabulkan. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah swt memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu,
siapa saja yang menjaganya (menghafalnya) niscaya ia kan masuk surga. Dan Dia adalah
witir (ganjil) mencintai yang witir.” (HR Al-Bukhari Muslim)

Dalam hadits shahih yang lain Beliau bersabda:


“Ya Allah, sesungguhnya aku memhon kepadaMu dengan semua nama yang Engkau miliki.
Engkau telah menamakan Dirimu dengannya atau Engkau telah menurunkannya dalam
Kitabmu atau engkau telah mengajarkannya kepada seseorang dari makhlukmu atau Engkau
simpan sendiri dalam ilmulghaib (rahasia ilmu) yang ada di sisiMu, semoga Engkau
menjadikan Al-Quran al-Adziim kebahagian hati-hati kami….”
b) Twassul kepada Allah dengan amal saleh, di mana seorang hamba memohon kepada Allah
dengan amalnya yang palik baik seperti shalat, puasa, keimanan, ketauhidan, kecintaan,
meninggalkan kemaksiatan dan semacamnya. Sebagaiman yang pernah dilakukan oleh
Ashhabul ghaar (Orang-orang yang masuk gua) yang terperangkap dalam gua. Lalu setiap
mereka berdo’a kepada Allah dengan amal-amal mereka agar Allah membukakan pintu gua
yang tertutup dengan batu besar. Satu di anatara mereka bertawassul dengan iffahnya
(penjagaannya) dari zina, yang kedua dengan birrul walidain dan yang ketiga dengan amanah
atas upah pegawainya. (HR Al-Bukhari Muslim)
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami
ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi
(tentang keesaan Allah)”.(QS 3:53)

c) Tawassul kepada Allah dengan do’a orang-orang yang saleh. Apabila seorang muslim
mendapatkan musibah, kepayahan dan ujian yang berat dalam hidupnya ia boleh minta tolong
kepada orang yang lebih saleh untuk mendo’akannya agar Allah memudahkan dan
menyingkap tabir-tabir ujian tersebut. Karena merupakan bentuk pertolongan antara mukmin
dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah berfirman;
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS 5:2)

Rasulullah bersabda:
“Allah SWT senantiasa membantu hambaNya selama hamba itu membantu saudaranya.”

Dan kisah istisqo’ yang terjadi pada masa Rasulullah saw ketika seorang sahabat yang datang
pada hari Jum’at meminta Beliau berdo’a agar Allah menurunkan hujan kepadanya. Lalu
Rasul berdo’a di atas mimbar dan selanjutnya hujan turun dengan deras. (HR Ahmad dan Al-
Bukhari)
Rasulullah saw juga mencontohkan kepada kita tentang hal ini, ketika Beliau berkata kepada
Umar di saat minta izin umrah: “Jangan lupakan kami wahai saudaraku dalam doamu.”

2. Tawassul Mamnu’
Tawassul Mamnu’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan
diridloi, baik dengan perbuatan, perkataan maupun keyakinan. Tawassul semacam ini tidak
diperbolehkan oleh Islam karena mengandung kesyirikan, bidah dan sumpah dengan
makhluk. Dan tawassul ini memiliki beberapa jenis berikut ini;
a) Tawassul kepada Allah dengan berdo’a dan memohon pertolongan kepada orang yang telah
mati atau ghaib dan semacamnya. Hal ini digolongkan sebagai syirik besar yang bertentang
dengan tauhid. Karena mayit tidak akan memberikan manfaat dan madharat dalam tawassul.
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan.
Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-
orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis
kulit ari.” (QS 35:13)

b) Tawassul kepada Allah dengan melakukan berbagai bentuk ketatan dan kebaikan yang
dilarang Islam, seperti makan-makan di atas kuburan wali atau orang yang saleh lainnya,
membuang sesajen ke tengah lautan, mandi di sumur yang di keramatkan dan semacamnya.
Hal ini bertentangan dengan tauhid dan kesempurnaan tauhid. Bahkan ini bentuk neo-
paganisme yang muncul pada zaman sekarang. Mereka meyakini adanya kekuatan lain yang
mampu memberikan pertolongan selain Allah SWT. Sebagian ada yang percaya dengan
adanya Dewa-dewi dan Jin-jin yang menguasai lautan dan daratan sehingga mereka
melakukan perayaan dan sesajen sebagi bentuk tawassul atau bahkan memohon langsung
pada berhala-berhala yang mereka tuhankan ini. Allah berfirman;
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat
menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan
berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya
dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS
7:191-192)
Begitu juga Islam tidak membenarkan bertawassul dengan barang-barang atau tempat
peninggalan para Nabi dan para Wali. Karena barang-barang ini tidak memliki kemulyaan,
keutamaan dan kelebihan sama sekali. Imam Abu Hanifah tidak membenarkan orang yang
bersumpah dengan Ka’bah dan Masy’aril Haram. Bagitu juga yang dilakukan Umar bin
Khattab ra. Diirwayatkan bahwa Umar setelah menunaikan salat shubuh berjalan-jalan ke
suatu tempat di mana banyak manusia datang ke sana. Lalu orang-orang itu berkata kepada
Umar: “Rasulullah saw mengerjakan shalat si tempat ini.” Kemudian Umar berkata:
“Sungguh telah binasa orang-orang ahlul Kitab kerena mereka menjadikan bekas-bekas para
Nabi mereka sebagai sinagog dan tempat ibadah. (HR Syu’bah)
Imam Malik juga melarang orang yang datang ke makam Rasulullah saw untuk tujuan
tawassul. Ketika ditanya seseorang yang mendatangi kuburan Nabi, ia berkata: “Jika
bermaksud ke kuburan janganlah dan jika bermaksud ke masjid maka lakukanlah.” (Al-
Mabsuth, Isma’il bin Ishaq)

c) Tawassul kepada Allah dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh. Tawassul
dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh adalah merupakan khilaf fiqhy yang
menjadi perdebatan para Ulama. Oleh karena itu, Imam Hasan Al-Banna dalam Ushul Al-
‘Isyriin berkata:
“Dan berdo’a apabila disertai dengan tawassul kepada Allah dengan seseorang dari
makhlukNya adalah khilaf far’I (fiqhy) dalam cara berdo’a dan bukan merupakan masalah-
masalah aqidah.”
Begitu juga Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian
yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya, maka inilah
tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang diperselisihkan
oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah
1/264) Ia juga berkata:
“Bahkan maksudnya adalah menjadi muara ijtihad dan apa-apa yang diperselisihkan
Ummat ini harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa 1/179)
Hal ini juga diungkapkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albaany (At-Tawassul wa
Anwa’uhu wa Ahkamuhu), Syekh Ibnu Baaz (Muhadlorat, DR ‘Ishaam Al-Basyiir) dan
Syekh Muhammad Najib Al-Muthi’I (Minhaj Al-Quran Fii ‘Ardhi Aqiidatil Islam) Meskipun
demikian sebagai muslim harus mengambil pendapat yang rajih setelah melihat dalil-dalil
dari setiap pendapat para Ulama. Inilah beberapa pendapat para Ulama tentang tawassul
dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh;
1) Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tawassul ini tidak dibenarkan dalam
Islam. Karena perbuatan manusia hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Allah SWT.
Sebgaimana firman Allah di bawah ini;
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS 53:39)
Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di sisi Allah hanya bermanfaat bagi dirinya
sendiri, tidak bagi orang lain. Adalah suatu kesalahan besar orang yang menganalogikan
Allah dengan manusia. Jika dalam hubungan sesama manusia kita sering menggunakan
perantara karena adanya manfaat tertentu yang diperolehnya, maka kepada Allah hal itu tidak
dibutuhkan. Untuk memperoleh keridloan Allah seorang hamba tidak perlu menggunakan
perntara. Itulah sebabnya para sahabat tidak melakukan hal dengan kedudukan Rasulullah
saw di sisiNya. Mereka setelah wafatnya Rasul justru memohon kepada Abbas untuk
mendo’akan mereka. Hal ini yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ra.
Dalam shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Umar meminta hujan (kepada Allah)
bertawassul dengan (do’a) Al-Abbas –Paman Rasul- dan ia berkata:“Ya Allah, sesungguhnya
kami apabila tertimpa kepayahan/kekringan, kami bertawassul kepada Engkau dengan Nabi
kami, kemudian Engkau menghujani kami. Dan apabila kami bertawassul kepada Engkau
dengan paman Nabi kami, hendaklah Engkau menghujani kami, akhirnya mereka diberikan
hujan.”

Di sini Imam Ibnu Taimaih berkata: “Do’a Umar dalam istisqo ini Menunjukan bahwa
tawassul merupakan bentuk tawassul yang dibenarkan. Itulah tawassul dengan do’a dan
syafaatnya bukan meminta dengan dzatnya. Karena seandainya hal ini (meminta dengan
dzatnya) diperbolehkan maka Umar, sahabat Muhajirin dan Anshar niscaya bertawassul
dengan dzat Nabi, tidak bertawassul dengan Al-Abbas.” (Qoidah Jaliah fii at-Tawassul, Ibnu
Taimiah, 58)
Adapun hadits tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah saw“Aku bertawassul
denganmu wahai Muhammad kepada Tuhanmu.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi),
maksudnya adalah permohonan kepada Rasulullah utnuk mendo’akannya. Karena Rasulullah
selanjutnya berkata kepada orang itu; “Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya krenaku.” (Imam
Ahmad). Hal ini dengan mengasumsikan bahwa hadits ini adalah shahih, sebab sebenarnya
sanadnya terputus. (Lihat Almadkhal liddirasati al-aqidat al-islamiah ‘alaa madzhabi ahli
as-sunnah wa al-jama’ah, DR Ibrahim Al-Buraikan)
Adapun hadits “Bertawassullah kamu dengan kedudukanku kerena kedudukanku di sisi
Allah matlah besat.” Adalah maudlu’ (dipalsukan). (Lihat Silsilat al-ahaadits ad-dho’ifah wa
al-maudhu’at, Al-Baany) Dan sementara bertawassul dengan dzat orang-orang yang saleh
juga mengandung banyak pengertian yang semua dilarang dan bertentangan dengan syari’at;
 Bertawassul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah
 Dengan lafadz itu ia ingin bersumpah kepada Allah. Dan bersumpah kepda Allah dengan
selainnya adalah haram dan termasuk syirik kecil.
 Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan hamba-hambaNya dalam mendatangkan
manfaat dan menolak madharat.
 Dengan lafadz ini ia bermaksud memohon berkah yang tidak dibenarkan.
2) Imam Izzuddin Abdus Salam membolehkan tawassul dengan dzat Rasulullah saw khusus
dan tidak dibenarkan dengan selainnya. Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal, sementara
Imam As-Subki membolehkan tawassul dengan dzat orang-orang yang saleh selain Nabi.
Dalil mereka adalah istisqonya Umar yang bertawassul dengan dzat paman Nabi dan hadits
orang yang buta yang meminta dikembalikan matanya. Dan beberpa hadits ini dijawab para
Ulama yang tidak memperbolehkan bahwasanya yang dimaksud dengan tawassul di sana
adalah permohonan do’a kepada Rasulullah saw dan sebenarnya hadits yang berkaitan
dengan orang buta adalah dho’if.

C. Tawasul yang disyariatkan


Tawasul yang disyariatkan yaitu tawasul dengan menyebut dzat Allah seperti ucapanmu:
Ya Allah..., dan dengan menyebut salah satu nama-Nya,
seperti ucapanmu: ya Raiman, Ya Rahim, Ya Hayyu Ya Qayyum..., atau tawasul dengan
menyebut sifat-sifat-Nya
seperti ucapanmu: Allahumma birahmatika astaghitsu.
Termasuk tawasul yang disyariatkan adalah melalui doa orang shalih yang masih hidup,
berada dihadapan kita seperti engkau mengatakan wahai ustadz berdoalah kepada Allah
untuk saya dan yang sepertinya, seperti shahabat yang meminta kepada Rasulullah untuk
berdoa kepada Allah agar menurunkan hujan.
Macam tawasul yang disyariatkan lainnya adalah tawasul dengan amal stratitr seperti
kisah orang-oran yang terperangkap di dalam gua, gua tersebut tertutup dengan batu yang
besar sehingga mereka tidak dapat keluar gua, maka mereka berdoa kepada Allah dengan
menyebutkan amal shalih mereka lalu Allah selamatkan mereka dari kebinasaan dan dapat
keluar dengan selamat. Untuk macam yang ini anda dapat berdoa seperti: 'yaa Allah saya
memohon kepada-Mu melalui cintaku kepada Nabi-Mu, dengan sebab taatku dan tauhidku
kepada-Mu agar Engkau mernberi ini dan itu.
Adapun permohonan kepada Allah melalui kedudukan Nabi atau kedudukan orang shalih
disisi Allah atau bersumpah dengan nama makhluk agar Allah mengabulkan permohonannya
maka hal tersebut adalah bid'ah yang bisa menjurus kepada kesyirikan, serta haram hukumnla
(jika tidak sampai kepada kesyirikan) dikarenakan ia memohon kepada Allah. Adapun kalau
seseorang memohon kepada orang yang telah meninggal atau memohon kepada orang yang
hidup tetapi tidak berada ditempat dan diyakininya mengetahui hal yang ghaib maka hal
tersebut sebagai syirik akbar (yang mengeluarkan seseorang dari keislaman, pent) Allah telah
membimbing kepada hamba-hamba-Nya agar memohon kepada-Nya semata, jangan
memohon kepada selain-Nya, Allah menjanjikan untuk mengabulkan setiap permohonan
hamba-Nya, Ia berfirman :
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dolam kebenaran.', (Q.
S.Al Baqarah: 186)

Dan firman-Nya:
"Berdoalah kepada-Ku, akan Kuperkenankan bagimu." (Q. S. Al Mu'min:60)

Allah telah membimbing kita pula agar meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Kita selalu
mengucapkan dalam shalat setiap rakaat' :
"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan" (Q.S. Al Fatihah:5)

Meskipun demikian engkau dapatkan diantara orang-orang yang menjalankan shalat


apabila permintaan mereka belum terpenuhi segera mereka mendatangi kuburan untuk
memohon dari mereka' Padahal Allah Maha Berkuasa untuk mengabulkan permohonannya
dalam waktu sekejap, tetapi Allah tunda sebagai suatu ujian untuk hamba-hamba-Nya apakah
dia orang yang jujur sehingga dia tetap istiqamah dalam menghadapi musibah, ia tidak akan
memohon kepada selain-Nya meskipun harus ditimpa gunung atau ditelan bumi, dia tetap
kuat kepercayaannya kepada Allah, hanya memohon pertolongan dan tawakal kepada Allah
semata'
Adapun orang yang lain lagi tertipu ketika diuji, ia lemah dalam imannya sehingga tidak
meminta pertolongan kepada Allah, dihiasinya oleh syaitan agar ia meminta pertolongan
kepada kuburan sehingga ia keluar dari agama Islam karena telah berbuat syirik, sesuai
dengan janji syaitan:
"Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-
hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka." (Q. S. Shaad: 82-83)
Ujian dari Allah terhadap makhluk-Nya tertera dalam Al Qur'an diantaranya adalah
firman Allah:
"Alif Laan Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
"Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami lelah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orong yang
benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang Yang dusta." (Q.S.Al Ankabutl:1- 3)

"'Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali
atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula)
mengambil pelaiaran?" (Q. S.Al Taubah:126)

Anda mungkin juga menyukai