Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ASWAJA II
“ TAWASUL DALAM PANDANGAN ASWAJA“

DOSEN PENGAMPU :
KAMARULLAH, S.Ag.,MA.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK : 4

FAHRUNNISA AULIA ( 2202060242 )

LAILY AXZMI ( 2202060107 )

BUNDA ATTAHIRAH ( 2202060107 )

AZLIA RAEHANI ( 2202060128 )

ISTIARA PUTRI ( 2202060107 )

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA ( UNU ) NTB
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah tentang "Tawassul Dalam Pandangan Aswaja".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan Makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika
tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam Makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.
Kami berharap semoga Makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.
Mataram, 22 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1) Latar Belakang Masalah
2) Rumusalan Masalah
3) Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tawasul
B. Pengertian Tawasul yang Masyru’ dan Mamnu’
C. Tawasul yang disyariatkan
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tawassul adalah mengadakan wasilah (perantara) antara seorang hamba dan Rabbnya
saat hamba tersebut berdoa. Dalam tradisi keagamaan umat Islam di Nusantara, tradisi
tawassul merupakan sebuah ritual yang sudah mengakar bahkan telah menjadi kekhususan
tersendiri dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah proses peribadahan ini
(berdoa).
Namun demikian, dalam praktiknya tawassul seringkali dibumbui oleh hal-hal negatif
yang justru bertentangan dengan aqidah Islamiyah, yang dalam hal ini dapat menjerumuskan
seseorang ke dalam dosa yang paling besar dalam Islam, musyrik. Karena dalam beberapa
praktiknya, kegiatan tawassul justru kemudian memberikan hak dan sifat-
sifat uluhiyah (ketuhanan), yang seharusnya menjadi hak milik Allah semata, kepada sang
perantara. Atas dasar ini, sebagian orang kemudian berpendapat bahwa seluruh jenis tawassul
yang tidak dicontohkan Rasulullah merupakan kemusyrikan. Sedangkan sebagian lagi
berpendapat bahwa seluruh jenis tawassul merupakan kegiatan yang diperbolehkan karena
hal ini tidaklah berkaitan dengan aqidah, melainkan permasalahan furu’ (cabang) dalam tata
cara berdoa kepada Allahu ta’ala.

B. Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan Tawasul?
2) Apa itu Tawasul yang Masyru’ dan Mamnu’?
3) Apa saja Tawasul yang disyariatkan?

C. Tujuan
1) Mengetahuai pengertian Tawasul.
2) Memahami pengertian tawasul Masyru’ dan Mamnu’.
3) Mengetahui Tawasul yang disyariatkan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tawasul
Secara etimologi tawassul berasal dari kata tawassala yatawassalu tawassulan yang
berarti mengambil perantara (wasilah), taqarrub atau mendekat. Dan secara terminology,
tawassul adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menggunakan wasilah
(perantara). Wasilah sendiri berarti kedudukan di sisi Raja, jabatan, kedekatan dan setiap
sesuatu yang dijadikan perantara pendekatan dalam berdo’a. Imam An-Nasafi berkata:
“Wasilah adalah semua bentuk di mana seseorang bertawassul atau mendekatkan dirinya
dengannya.” Arti ini bisa kita temukan dalam beberapa firman Allah berikut ini;
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS 5:35)

Imam At-Thabari berkata: “Wabtaghuu ilaihi al-wasiilata, berarti carilah kedekatan (jalan


apapun atau bentuk kedekatan apapun) yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT).
(juz 10/ 290)
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka
siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada  Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS
17:57)

B. Pengertian Tawasul yang Masyru’ dan Mamnu’


1. Tawasul Masru’
Tawassul Masyru’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang dicintai dan
diridloi Allah SWT seperti taqarrub dengan ibadah wajib atau sunnah dan amal-amal
saleh yang lain. Dan tawassul masyru’ ini ada tiga jenis yang telah disepakati oleh
Ulama. Yaitu;
a) Tawassul kepada Allah SWT dengan nama-namaNya yang baik dan atau sifat-
sifatNya yang mulya. Sebagaiman FirmanNya;
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan hamba-hamba Allah untuk berdo’a
kepadanya dengan menggunakan nama-namaNya. Karena do’a yang menggunakan
nama-nama dan sifat-sifatNya mudah dan lebih dekat dikabulkan. Rasulullah saw
bersabda:
“Sesungguhnya Allah swt memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang
satu, siapa saja yang menjaganya (menghafalnya) niscaya ia kan masuk surga. Dan
Dia adalah witir (ganjil) mencintai yang witir.” (HR Al-Bukhari Muslim)
Dalam hadits shahih yang lain Beliau bersabda:
“Ya Allah, sesungguhnya aku memhon kepadaMu dengan semua nama yang Engkau
miliki. Engkau telah menamakan Dirimu dengannya atau Engkau telah
menurunkannya dalam Kitabmu atau engkau telah mengajarkannya kepada
seseorang dari makhlukmu atau Engkau simpan sendiri dalam ilmulghaib (rahasia
ilmu) yang ada di sisiMu, semoga Engkau menjadikan Al-Quran al-Adziim
kebahagian hati-hati kami….”
b) Twassul kepada Allah dengan amal saleh, di mana seorang hamba memohon kepada
Allah dengan amalnya yang palik baik seperti shalat, puasa, keimanan, ketauhidan,
kecintaan, meninggalkan kemaksiatan dan semacamnya. Sebagaiman yang pernah
dilakukan oleh Ashhabul ghaar (Orang-orang yang masuk gua) yang terperangkap
dalam gua. Lalu setiap mereka berdo’a kepada Allah dengan amal-amal mereka agar
Allah membukakan pintu gua yang tertutup dengan batu besar. Satu di anatara
mereka bertawassul dengan iffahnya (penjagaannya) dari zina, yang kedua dengan
birrul walidain dan yang ketiga dengan amanah atas upah pegawainya. (HR Al-
Bukhari Muslim)
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan
telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang
yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)”.(QS 3:53)

c) Tawassul kepada Allah dengan do’a orang-orang yang saleh. Apabila seorang muslim
mendapatkan musibah, kepayahan dan ujian yang berat dalam hidupnya ia boleh
minta tolong kepada orang yang lebih saleh untuk mendo’akannya agar Allah
memudahkan dan menyingkap tabir-tabir ujian tersebut. Karena merupakan bentuk
pertolongan antara mukmin dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah berfirman;
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS 5:2)
Rasulullah bersabda:
“Allah SWT senantiasa membantu hambaNya selama hamba itu membantu
saudaranya.”
Dan kisah istisqo’ yang terjadi pada masa Rasulullah saw ketika seorang sahabat yang
datang pada hari Jum’at meminta Beliau berdo’a agar Allah menurunkan hujan
kepadanya. Lalu Rasul berdo’a di atas mimbar dan selanjutnya hujan turun dengan
deras. (HR Ahmad dan Al-Bukhari)
Rasulullah saw juga mencontohkan kepada kita tentang hal ini, ketika Beliau berkata
kepada Umar di saat minta izin umrah: “Jangan lupakan kami wahai saudaraku dalam
doamu.”

2. Tawassul Mamnu’
Tawassul Mamnu’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai
dan diridloi, baik dengan perbuatan, perkataan maupun keyakinan. Tawassul semacam ini
tidak diperbolehkan oleh Islam karena mengandung kesyirikan, bidah dan sumpah
dengan makhluk. Dan tawassul ini memiliki beberapa jenis berikut ini;
a) Tawassul kepada Allah dengan berdo’a dan memohon pertolongan kepada orang
yang telah mati atau ghaib dan semacamnya. Hal ini digolongkan sebagai syirik besar
yang bertentang dengan tauhid. Karena mayit tidak akan memberikan manfaat dan
madharat dalam tawassul.
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam
dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang
ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah
kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai
apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS 35:13).

b) Tawassul kepada Allah dengan melakukan berbagai bentuk ketatan dan kebaikan
yang dilarang Islam, seperti makan-makan di atas kuburan wali atau orang yang saleh
lainnya, membuang sesajen ke tengah lautan, mandi di sumur yang di keramatkan dan
semacamnya. Hal ini bertentangan dengan tauhid dan kesempurnaan tauhid. Bahkan
ini bentuk neo-paganisme yang muncul pada zaman sekarang. Mereka meyakini
adanya kekuatan lain yang mampu memberikan pertolongan selain Allah SWT.
Sebagian ada yang percaya dengan adanya Dewa-dewi dan Jin-jin yang menguasai
lautan dan daratan sehingga mereka melakukan perayaan dan sesajen sebagi bentuk
tawassul atau bahkan memohon langsung pada berhala-berhala yang mereka
tuhankan ini. Allah berfirman;
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat
menciptakan sesuatupun?  Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan
berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-
penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat
memberi pertolongan.” (QS 7:191-192)
Begitu juga Islam tidak membenarkan bertawassul dengan barang-barang atau
tempat peninggalan para Nabi dan para Wali. Karena barang-barang ini tidak memliki
kemulyaan, keutamaan dan kelebihan sama sekali. Imam Abu Hanifah tidak
membenarkan orang yang bersumpah dengan Ka’bah dan Masy’aril Haram. Bagitu
juga yang dilakukan Umar bin Khattab ra. Diirwayatkan bahwa Umar setelah
menunaikan salat shubuh berjalan-jalan ke suatu tempat di mana banyak manusia
datang ke sana. Lalu orang-orang itu berkata kepada Umar: “Rasulullah saw
mengerjakan shalat si tempat ini.” Kemudian Umar berkata: “Sungguh telah binasa
orang-orang ahlul Kitab kerena mereka menjadikan bekas-bekas para Nabi mereka
sebagai sinagog dan tempat ibadah. (HR Syu’bah)
Imam Malik juga melarang orang yang datang ke makam Rasulullah saw untuk
tujuan tawassul. Ketika ditanya seseorang yang mendatangi kuburan Nabi, ia berkata:
“Jika bermaksud ke kuburan janganlah dan jika bermaksud ke masjid maka
lakukanlah.” (Al-Mabsuth, Isma’il bin Ishaq)

c) Tawassul kepada Allah dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh.
Tawassul dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh adalah merupakan
khilaf fiqhy yang menjadi perdebatan para Ulama. Oleh karena itu, Imam Hasan Al-
Banna dalam Ushul Al-‘Isyriin berkata :
“Dan berdo’a apabila disertai dengan tawassul kepada Allah dengan seseorang dari
makhlukNya adalah khilaf far’I (fiqhy) dalam cara berdo’a dan bukan merupakan
masalah-masalah aqidah.”
Begitu juga Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan
sebagian yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan
dzatnya, maka inilah tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan
apa-apa yang diperselisihkan oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan
RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah 1/264) Ia juga berkata:
“Bahkan maksudnya adalah menjadi muara ijtihad dan apa-apa yang diperselisihkan
Ummat ini harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa 1/179)
Hal ini juga diungkapkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albaany (At-Tawassul wa
Anwa’uhu wa Ahkamuhu), Syekh Ibnu Baaz (Muhadlorat, DR ‘Ishaam Al-Basyiir)
dan Syekh Muhammad Najib Al-Muthi’I (Minhaj Al-Quran Fii ‘Ardhi Aqiidatil
Islam) Meskipun demikian sebagai muslim harus mengambil pendapat yang rajih
setelah melihat dalil-dalil dari setiap pendapat para Ulama. Inilah beberapa pendapat
para Ulama tentang tawassul dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh :
1) Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tawassul ini tidak
dibenarkan dalam Islam. Karena perbuatan manusia hanya bermanfaat bagi
dirinya sendiri di sisi Allah SWT. Sebgaimana firman Allah di bawah ini;
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS 53:39)
Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di sisi Allah hanya bermanfaat
bagi dirinya sendiri, tidak bagi orang lain. Adalah suatu kesalahan besar orang
yang menganalogikan Allah dengan manusia. Jika dalam hubungan sesama
manusia kita sering menggunakan perantara karena adanya manfaat tertentu
yang diperolehnya, maka kepada Allah hal itu tidak dibutuhkan. Untuk
memperoleh keridloan Allah seorang hamba tidak perlu menggunakan
perntara. Itulah sebabnya para sahabat tidak melakukan hal dengan kedudukan
Rasulullah saw di sisiNya. Mereka setelah wafatnya Rasul justru memohon
kepada Abbas untuk mendo’akan mereka. Hal ini yang pernah dilakukan
Umar bin Khattab ra.
Dalam shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Umar meminta hujan (kepada
Allah) bertawassul dengan (do’a) Al-Abbas –Paman Rasul- dan ia
berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami apabila tertimpa
kepayahan/kekringan, kami bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami,
kemudian Engkau menghujani kami. Dan apabila kami bertawassul kepada
Engkau dengan paman Nabi kami, hendaklah Engkau menghujani kami,
akhirnya mereka diberikan hujan.”
Di sini Imam Ibnu Taimaih berkata: “Do’a Umar dalam istisqo ini
Menunjukan bahwa tawassul merupakan bentuk tawassul yang dibenarkan.
Itulah tawassul dengan do’a dan syafaatnya bukan meminta dengan dzatnya.
Karena seandainya hal ini (meminta dengan dzatnya) diperbolehkan maka
Umar, sahabat Muhajirin dan Anshar niscaya bertawassul dengan dzat Nabi,
tidak bertawassul dengan Al-Abbas.” (Qoidah Jaliah fii at-Tawassul, Ibnu
Taimiah, 58)
Adapun hadits tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah saw “Aku
bertawassul denganmu wahai Muhammad kepada Tuhanmu.” (HR Ibnu
Majah dan At-Tirmidzi), maksudnya adalah permohonan kepada Rasulullah
utnuk mendo’akannya. Karena Rasulullah selanjutnya berkata kepada orang
itu; “Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya krenaku.” (Imam Ahmad). Hal ini
dengan mengasumsikan bahwa hadits ini adalah shahih, sebab sebenarnya
sanadnya terputus. (Lihat Almadkhal liddirasati al-aqidat al-islamiah ‘alaa
madzhabi ahli as-sunnah wa al-jama’ah, DR Ibrahim Al-Buraikan)
Adapun hadits “Bertawassullah kamu dengan kedudukanku kerena
kedudukanku di sisi Allah matlah besat.” Adalah maudlu’ (dipalsukan). (Lihat
Silsilat al-ahaadits ad-dho’ifah wa al-maudhu’at, Al-Baany) Dan sementara
bertawassul dengan dzat orang-orang yang saleh juga mengandung banyak
pengertian yang semua dilarang dan bertentangan dengan syari’at;
- Bertawassul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah
- Dengan lafadz itu ia ingin bersumpah kepada Allah. Dan bersumpah
kepda Allah dengan selainnya adalah haram dan termasuk syirik kecil.
- Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan hamba-hambaNya dalam
mendatangkan manfaat dan menolak madharat.
-  Dengan lafadz ini ia bermaksud memohon berkah yang tidak dibenarkan.
2) Imam Izzuddin Abdus Salam membolehkan tawassul dengan dzat Rasulullah
saw khusus dan tidak dibenarkan dengan selainnya. Begitu juga Imam Ahmad
bin Hanbal, sementara Imam As-Subki membolehkan tawassul dengan dzat
orang-orang yang saleh selain Nabi. Dalil mereka adalah istisqonya Umar
yang bertawassul dengan dzat paman Nabi dan hadits orang yang buta yang
meminta dikembalikan matanya. Dan beberpa hadits ini dijawab para Ulama
yang tidak memperbolehkan bahwasanya yang dimaksud dengan tawassul di
sana adalah permohonan do’a kepada Rasulullah saw dan sebenarnya hadits
yang berkaitan dengan orang buta adalah dho’if.

C. Tawasul yang disyariatkan


Tawasul yang disyariatkan yaitu tawasul dengan menyebut dzat Allah seperti ucapanmu:
Ya Allah..., dan dengan menyebut salah satu nama-Nya, seperti ucapanmu: ya Raiman, Ya
Rahim, Ya Hayyu Ya Qayyum..., atau tawasul dengan menyebut sifat-sifat-Nya, seperti
ucapanmu: Allahumma birahmatika astaghitsu.
Termasuk tawasul yang disyariatkan adalah melalui doa orang shalih yang masih hidup,
berada dihadapan kita seperti engkau mengatakan wahai ustadz berdoalah kepada Allah
untuk saya dan yang sepertinya, seperti shahabat yang meminta kepada Rasulullah untuk
berdoa kepada Allah agar menurunkan hujan.
Macam tawasul yang disyariatkan lainnya adalah tawasul dengan amal stratitr seperti
kisah orang-oran yang terperangkap di dalam gua, gua tersebut tertutup dengan batu yang
besar sehingga mereka tidak dapat keluar gua, maka mereka berdoa kepada Allah dengan
menyebutkan amal shalih mereka lalu Allah selamatkan mereka dari kebinasaan dan dapat
keluar dengan selamat. Untuk macam yang ini anda dapat berdoa seperti: 'yaa Allah saya
memohon kepada-Mu melalui cintaku kepada Nabi-Mu, dengan sebab taatku dan tauhidku
kepada-Mu agar Engkau mernberi ini dan itu.
Adapun permohonan kepada Allah melalui kedudukan Nabi atau kedudukan orang shalih
disisi Allah atau bersumpah dengan nama makhluk agar Allah mengabulkan permohonannya
maka hal tersebut adalah bid'ah yang bisa menjurus kepada kesyirikan, serta haram hukumnla
(jika tidak sampai kepada kesyirikan) dikarenakan ia memohon kepada Allah. Adapun kalau
seseorang memohon kepada orang yang telah meninggal atau memohon kepada orang yang
hidup tetapi tidak berada ditempat dan diyakininya mengetahui hal yang ghaib maka hal
tersebut sebagai syirik akbar (yang mengeluarkan seseorang dari keislaman, pent) Allah telah
membimbing kepada hamba-hamba-Nya agar memohon kepada-Nya semata, jangan
memohon kepada selain-Nya, Allah menjanjikan untuk mengabulkan setiap permohonan
hamba-Nya, Ia berfirman : "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dolam
kebenaran.', (Q. S.Al Baqarah: 186)
Dan firman-Nya:
"Berdoalah kepada-Ku, akan Kuperkenankan bagimu." (Q. S. Al Mu'min:60)

Allah telah membimbing kita pula agar meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Kita
selalu mengucapkan dalam shalat setiap rakaat' :
"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolongan" (Q.S. Al Fatihah:5)
Meskipun demikian engkau dapatkan diantara orang-orang yang menjalankan shalat
apabila permintaan mereka belum terpenuhi segera mereka mendatangi kuburan untuk
memohon dari mereka' Padahal Allah Maha Berkuasa untuk mengabulkan permohonannya
dalam waktu sekejap, tetapi Allah tunda sebagai suatu ujian untuk hamba-hamba-Nya apakah
dia orang yang jujur sehingga dia tetap istiqamah dalam menghadapi musibah, ia tidak akan
memohon kepada selain-Nya meskipun harus ditimpa gunung atau ditelan bumi, dia tetap
kuat kepercayaannya kepada Allah, hanya memohon pertolongan dan tawakal kepada Allah
semata'.
Adapun orang yang lain lagi tertipu ketika diuji, ia lemah dalam imannya sehingga tidak
meminta pertolongan kepada Allah, dihiasinya oleh syaitan agar ia meminta pertolongan
kepada kuburan sehingga ia keluar dari agama Islam karena telah berbuat syirik, sesuai
dengan janji syaitan:
 "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-
Mu yang mukhlis diantara mereka." (Q. S. Shaad: 82-83)
Ujian dari Allah terhadap makhluk-Nya tertera dalam Al Qur'an diantaranya adalah firman
Allah:
"Alif Laan Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
"Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami lelah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-
orong yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang Yang dusta." (Q.S.Al
Ankabutl:1- 3)

"'Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali
atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula)
mengambil pelaiaran?" (Q. S.Al Taubah:126)

BAB III
PENUTUP

Untuk menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha
menjauhkan dirinya dari bentuk tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang oleh Islam.
Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan berpengaruh pada terkabulnya
do’a itu sendiri.
Dan seharusnya setiap mukmin memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran dan
As-Sunnah. Tentunya selain menjaga etika-etika berdo’a yang telah ditetapkan para Ulama
seperti yang paparkan Imam Ibnu Qoyyim dalam Kitab Al-Jawaab Al-Kaafi. Hal ini
dimaksudkan agar do’a cepat dan mudah dikabulkan Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Suara Muhammadiyah. 1 – 15 Januari 2005. Agama yang Membebaskan

Anda mungkin juga menyukai