Dalam kurun waktu yang panjang, hubungan antara Islam dan Barat diwarnai pasang
surut, bahkan tidak jarang banyak menimbulkan keteganan diantara dua kutub
tersebut. Ketegangan antara Islam dan Barat dapat dilacak sampai pada masa perang
salib. Ketegangan tersebut semakin memperlebar jurang konflik, ketika hubungan
Islam-Barat terprovokasi dengan tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban
(The Clash Of Civilization).
Di antara pandangan yang memlihara konflik Barat-Islam itu adalah, pertama, hingga
kini, Barat, yang “selalu” diasosiasikan dengan Kristen dan Yahudi, masih menyimpan
mitos tentang ketakutan (heterofobia) mereka terhadap Islam.
Dalam kaitan ini, mereka mengutip setidaknya dua karya penting; (1) Edward Gibbon,
The Decline and Fall of The Roman Empire dan (2) Jhon L. Esposito, The Islamic
Threat, Myth or Reality; kedua, mengikuti jalan pikiran pertama, masih banyak
cendekiawan muslim Indonesia, dalam pengamatan mereka, yang mengamini dan
melestarikan mitos itu dengan memelihara jalan pikiran “belah bambu” terhadap umat
Islam; ketiga, wacana pluralisme agama dianggap sebagai ‘teologi baru’ produk Barat
yang berpotensi ‘membunuh agama’.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri, telah terjadi persinggungan positif antara
kebudayaan Islam-Barat, dalam bidang ilmu pengatahuan. Filsafat Barat telah
memberikan pengaruh dalam wilayah pengembangan metodologi studi terhadap Islam
serta pengembangan wawasan keislaman, dengan diadopsinya ilmu-ilmu sekuler yang
berasal dari Barat yang melahirkan studi orientalisme, dimana khazanah keilmuan
Islam dijadikan sebagai objek studi, yang dikaji, dianalisis dan dikritisi dengan
perspektif Barat. Kajian orientalisme ini telah melahirkan orientalis-orientalis
terkemuka, baik di bidang studi Al-Qur’an, Hadits, sejarah, hukum maupun bidang-
bidang kajian keislaman lainnya.
Pesatnya kajian dan penelitian Barat terhadap Islam, menarik perhatian masyarakat
muslim, terutama kalangan cendekiawan muslim, untuk melakukan hal yang sama yaitu
melakukan penelitian yang lebih objektif tentang Barat, yang kemudian melahirkan
kajian oksidentalisme.
Telah terjadi proses pemahaman yang kurang simpatik mengenai Barat dari sebagian
umat Muslim sendiri. Di samping faktor trauma akibat aksi kolonialisme klasik,
lahirnya modernitas Barat dengan segala konsekuensinya masih dihadapi secara
konservatif oleh umat Muslim yang berpandangan fundamentalis.
Persoalan pertama berkenaan dengan orientalisme dan oksidentalisme ialah istilah dan
pengertian "orient" dan "oksiden" itu sendiri: "Barat" dan "Timur" sesungguhnya tidak
mempunyai realita obyektif, kecuali jika dibatasi sebagai cara pengenalan arah angin
yang nisbi (sebab sesuatu ada di barat atau di timur, dengan sendirinya, tergantung
kepada kedudukan orang yang memandangnya).
Salah satu asumsi yang sering menjadi polemik berkenaan dengan kajian orientalisme,
adalah mengenai subjektifitas dan tujuan non-akademis, serta kepentingan imperialis.
Banyak asumsi-asumsi kalangan orientalis yang juga menyudutkan serta merendahkan
Islam dan kaum muslimin. Timur dianggap begitu lestari, seragam, dan tidak sanggup
mendefinisikan diri, sehinga Barat-lah yang berhak untuk mendefinisikan Timur secara
“objektif”. Orientalisme tumbuh dari keinginan tahu orang-orang Barat tentang pola-
pola budaya Timur untuk mendapatkan cara terbaik mengalahkannya atau
mengkonversi penduduknya ke agama mereka (Kristenisasi), maka sulit melepaskan
orientalisme dari konotasinya yang negatif dan berbau kolonial.
Mulanya Orientalisme sekadar sebutan bagi kinerja para orientalis: pengulik hal-hal
terkait Asia dan Afrika yang secara sederhana disebut sebagai Timur. Di abad ke-18
istilah ini digunakan kalangan penjajah Inggris yang mau tidak mau mesti mengkaji
Islam dan Hindu untuk mengetahui aturan sosial masyarakat India yang dijajah.
Orientalisme selanjutnya berkembang di periode dekolonisasi (1939-1945) sebagai
penanda bagi institusi kolonial-imperial yang berkepentingan tidak sekadar mengetahui
melainkan menguasai Timur.
Namun demikian, dengan hilangnya daerah koloni Barat atas Timur, secara pelan tapi
pasti, tujuan imperialisme juga ikut lenyap, sehingga kajian orientalisme semakin
memperlihatkan objektifitasnya dalam ilmu pengetahuan, tanpa kepentingan penjajah.
Meskipun daerah koloni atau dekolonisasi jajahan Barat atas Timur telah hilang, namun
demikian, bagi masyarakat Barat, Islam masih dianggap sebagai suatu kenyataan yang
tak bisa dilupakan dalam sejarah sehingga mereka perlu melakukan penyelidikan dari
segala aspeknya. Motivasi inilah yang banyak memberikan kontribusi pengetahuan bagi
perkembangan khazanah intelektual Islam.
Beberapa pengamat Muslim, seperti Azad Faruqi, juga menilai bahwa motivasi
imperialisme telah lenyap bersamaan dengan diperolehnya kemerdekaan Negara yang
terjajah. Dengan demikian, kajian orientalisme saat ini, sudah tidak lagi semata-mata
karena motivasi kolonialisme, politik atau ekonomi. Tapi lebih karena semangat ilmiah
yang murni. Namun demikian terdapat beberapa kelemahan dalam kajian orientalis,
antara lain, kurangnya penggunaan ilmu-ilmu humaniora dan sosial dalam
mengelaborasi sumber-sumber klasik ajaran Islam.
Selain itu, kaum orientalis juga belum banyak memanfaatkan kemajuan ilmu-ilmu
sosial dan humaniora. Mereka juga cenderung mengabaikan berbagai hal, seperti
doktrin Islam yang tidak tertulis dan tidak terwakili serta hal-hal yang berada di luar
rasionalistas pikiran. Atas berbagai kekurangan kajian-kajian dari para orientalis,
Arkoun kemudian menyusun teorisasinya dalam “Islamologi terapan”.
Kajian yang dilakukan para orientalis memang memiliki banyak kelemahan, namun
menurut Arkoun, mereka telah memberikan sumbangan yang positif bagi kemajuan
ilmu pengetahuan di dunia Islam. mereka telah menggiatkan kembali pemikiran Arab-
Islam. hal itu dapat dilihat dari upaya keras tokoh orientalis semacam Ignaz Goldziher,
Snouck Hurgronje, yang telah menggali teks-teks penting yang telah lama dilupakan.
Namun sayangnya, sumbangan mereka sering kali diabaikan, diacuhkan atau dilihat
negatif oleh masyarakat Arab-Islam.
Di satu sisi, Dunia barat selama ini dipandang sangat mendominasi dalam kajian
ketimuran, khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap
sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa Timur. Hal inilah yang
membangkitkan kekesalan Edward Said dengan menulis buku “orientalism” yang
terkenal itu. Dia mengkritik bahwa kajian Barat atas timur kurang lebih bertujuan
politis ketimbang ilmiah.
Satu lagi gerakan yang mempunyai concern yang sama dengan gerakan-gerakan yang
telah disebut di atas, adalah gerakan yang menamakan dirinya Kiri Islam (al-Yasar al-
Islami) yang dipelopori Hassan Hanafi dari Mesir.
Kiri Islam Hadir untuk menantang dan menggatikan kedudukan peradaban Barat. Jika
Al-Afghani mengingatkan akan imperalisme militer, maka kita pada awal abad ini telah
menghadaou ancaman imperalisme ekonomi berupa korporadi multi nasional, sekaligus
mengingatkan akan ancaman imperialesme kebudayaan. Impelialisme kebudayaan itu
dilakukan dengan cara menyerang kebudayaan dari dalam.
Dan melepas afiliasi umat atas kebudayaannya sendiri, sehingga umat tercerabut dari
akarnya. Kiri Islam memperkuat umat Islam dari dalam, dari tradisinya sendiri dan
berdiri melawan pembaratan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan kebudayaan
nasional dan memperkokoh dominasi kebudayaan Barat. Dengan cara demikian, jika
umat ‘terbelakang’ menurut ukuran Barat, mereka masih mampu mempertahankan
kekuatan mereka dengan ukuran kebudayaannya sendiri.
Dari sinilah Hassan Hanafi menggagas akan perlunya suatu ilmu baru bernama
Oksidentalisme, suatu studi yang menjadikan Barat sebagai objek oleh bangsa non-
Barat, sebagai ganti orientalisme. Gagasan Hanafi ini kemudian di tuangkannya ke
dalam suatu karya yang berjudul muqaddimahfi’Ilm al-Istighrab (Pengantar Ilmu
Oksidentalisme).
Sementara itu, oksidentalisme tidak hanya sekedar respon atas maraknya tradisi
orientalisme, tapi juga menjadi alternatif pembacaan kritis terhadap Barat beserta
kebudayaannya. Oksidentalisme merupakan tawaran atas munculnya penolakan yang
begitu besar terhadap Barat. Sikap yang dibutuhkan untuk menghadapi permasalahan
tersebut, adalah sikap oksidentalistik yang konstruktif, yaitu bagaimana memandang
Barat secara moderat dan rasional, disamping tidak menumpulkan sikap kritis kita.