Anda di halaman 1dari 3

Abah Najih Maimoen; Ciri Khas Pesantren Salaf Berjiwa Tasawuf

Dalam acara Apel Ta'aruf Ma'had Aly Iqna' Ath-Thalibin PP. Al-Anwar, KH. M. Najih
Maimoen memberikan tausyiah kepada para Mahasantri. Dalam kesempatan itu,
Beliau dawuh:
"Kekurangan pelajaran Fiqh yang kita pelajari sangat sedikit mauidhohnya, bahkan
hampir dikatakan nihil. Saya sangat ingin ilmu fiqh ada sisipan mauidhohnya.
Mungkin karena alasan ini, kitab Fathul Mu'in membawa berkah.
Kitab tersebut dikaji luas oleh para kiai-kiai pesantren. Letak rahasia kitab Fathul
Mu'in membawa berkah adalah kitab tersebut merupakan resapan ilmu yang
disampaikan oleh guru pengarangnya, Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami. Beliau memiliki
kitab az-Zawajir yang di dalamnya terkandung mawa'idz yang dianggap lebih dari
cukup. Di kitab tersebut juga dijelaskan ilmu fiqh dan terdapat hadist-hadist Nabi
SAW yang bermuatan tasawuf.
Indahnya bertasawuf yang kita dambakan tidak hanya berperilaku tasawuf, namun
juga mengaji kitab Fiqh. Nah meskipun kamu misalnya orang yang paling bersih
hatinya, menjadi seorang wali, namun tidak senang mengaji dan akhirnya
pengikutnya sama-sama tidak senang mengaji, itu merupakan tindakan yang
sembrono. Naudzubillah min dzalik.
Kalian jangan lupa untuk mengaji kitab hadist secara lengkap dan syumul
(menyeluruh dan detail). Karena kitab hadist banyak menjelaskan tentang tasawuf.
Juga jangan lupa mengaji kitab tafsir, karena al-Qur'an mengandung banyak
pelajaran tasawuf.
Al-Hamdulillah, abahku (Syaikhuna Maimoen Zubair) mengaji sore bersama para
santrinya kitab al-Arba'in fi Ushuliddin karya Imam Ghozali. Beliau asalnya sebelum
mengarang kitab Arba'in, mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an yang disebut ad-Duror
wal Jawahir. Karena saking jeniusnya, beliau bisa memilah ribuan ayat al-Qur'an
yang berkaitan dengan isi kitab tersebut. Jika di bab ad-duror berisi tentang segala
sesuatu yang berkaitan dengan Allah, sedangkan bab al-Jawahir berisi tentang
akhlakh, hukum-hukum syari'at seperti Qishos dan lainnya.
KH. Muh Najih Maimoen sependapat dengan petuah adiknya, KH. Abdur Ro'uf
Maimoen, bahwa santri seharusnya tidak hanya belajar ilmu tentang Fiqh saja,
namun juga diimbangi dengan pelajaran tasawuf. KH. Muh Najih MZ juga
menambahkan keterangan: "Jika kalian belajar mulai dari kelas Ibtida' (kelas
pemula), itu tidak terlalu bagus seandainya terlalu menjiwai tasawuf. Sebab nantinya
akan menganggap Musyawaroh dan Bahtsu Masa'il yang diwarnai dengan
perdebatan panas, ngotot dengan pendapatnya termasuk ilmu Jadal yang tidak
diperbolehkan. Hingga akhirnya itu membawanya malas mengaji kitab Fathul Mu'in,
Musyawaroh kitab Fathul Qorib dan Fathul Mu'in (Program musyawaroh yang diikuti
oleh santri-santri Ma'had Aly).
Kalian (Santri-santri Ma'had Aly) yang menekuni jurusan tasawuf di Ma'had Aly ,
jangan terlalu sombong (Jawa: engkek) karena bisa menta'liqi kitab Ihya' Ulumuddin
(Karya monumental Hujjatul Islam, Imam Ghozali). Sebab menta'liqi kitab Ihya'
tersebut mestinya jangan hanya menggunakan bahasa arab saja, namun juga diberi
makna jawa gandul (Jawa Pegon). Jika tidak demikian, siapa yang ingin mempelajari
ta'liqan kitab Ihya' ? Karena masyarakat sekarang tidak bisa membaca kitab kuning.
Di samping itu juga sudah banyak terjemah kitab Ihya'. Bahkan ta'liqan Ihya' tidak
lebih baik dari pada Syarah Ihya’, Kitab Ithaf Saddah al-Muttaqin, karangan Imam
Zabidi.
Pondok Pesantren aslinya tidak ingin berhubungan dengan pemerintah (Siri'an,
Jawa Red). Karena kebanyakan Pondok Pesantren memiliki karakter Tasawuf
dengan pengajian kitab Ihya' Ulumuddin yang menjadi ciri khasnya. Diceritakan
bahwa pendiri Pondok Pesantren Langitan, Kiai Nur Ubaidillah pernah Dawuh: " Aku
gak ridho nek santri langitan dadi pegawai negeri" (Saya tidak meridhoi Santri
Langitan menjadi Pegawai Negeri pemerintah). Dulunya, Kiai Nur Ubaidillah pernah
menjabat Penghulu. Kemudian setelah beliau membaca kitab Ihya', beliau bertaubat
(meninggalkan jabatan penghulu) dan beralih membangun pondok pesantren
Langitan.
Kiai Jauhari, Kencong, Jember juga pernah ngendikan " Harom nak anak-anakku do
dadi pegawai Negeri". Mbah Ahmad bin Syu'aib Sarang juga pernah dawuh:" Anak
turunku ojo ono seng dadi pegawai negeri".
Dalam kitab Ihya' Ulumuddin dijelaskan bahwa bab-bab Fiqh yang meliputi bab
munakahat, mu'amalat dan jinayat termasuk bagian dari hukum-hukum dunia (min
ahkamit dunya) jika yang didalami masalah-masalah nadziroh (masalah yang jarang
terjadi). Jika yang dikaji adalah problematika masyarakat yang sering terjadi, maka
itu termasuk bagian hukum-hukum akhirat. Karena itu adalah sebuah kewajiban.
Kalian jangan terlalu sombong. Para Siswa kelas Ibtida', Tsanawi tidak mau belajar
tasawuf dan para santri-santri Ma'had Aly tidak mau belajar ilmu Fiqh. Rasulullah
SAW bersabda:
‫(من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار ) رواه الترمذي‬
Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaingi para ulama, mendebat
orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia(hormat) kepadanya,
maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.
Imam Malik juga berkata:
َ‫ َو َم ْن َج َم َع بَ ْي َن ُه َما فَقَ ْد تَ َحقَّق‬، َ‫ف فَقَ ْد تَفَسَّق‬ َ َ ‫ َو َم ْن تَفَقَّهَ َولَ ْم يَت‬، َ‫ف َولَ ْم يَتَفَقَّ ْه فَقَ ْد ت َزَ ْندَق‬
ْ ‫ص َّو‬ َ َ ‫َم ْن ت‬
َ ‫ص َّو‬
Artinya: "Barangsiapa yang bertasawuf tanpa Ilmu Fiqih, maka dia disebut zindiq
(orang yang pura-pura beriman), dan barangsiapa yang mendalami Ilmu Fiqih tanpa
bertasawuf maka dia disebut fasiq. Barangsiapa yang menyeimbangkan antara
keduanya maka dialah ahli haqîqat yang sesungguhnya"
Dawuhnya Imam Malik di atas sangat cocok dan relevan. Jika kalian ingin belajar
Fiqh dan Tasawuf bersamaan, maka belajarlah kitab hadist secara lengkap. Seperti
mempelajari kitab al-Buchori, Jami' Shohih Muslim, Riyadus sholihin dan kitab hadist
lainnya. Insya Allah, Mengaji kitab hadist secara lengkap dapat menghasilkan ilmu
tasawuf dan Fiqh secara bersamaan.
Sarang sejak dulu itu sudah terkenal fikihnya, namun kita tidak boleh sombong
lantas tidak mau belajar tasawuf. Begitu juga saat ini Ma'had Aly Al Anwar yang
dalam proses perkembanganya diamanati pemerintah untuk berkosentrasi dalam
prodi tasawwuf, namun jangan lantas terus membuat kita sombong tidak mau ngaji
fikih. Mbah Muslih Mranggen itu seorang mursyid thoriqoh, namun beliau ngajinya
kitab fikih, melatih masyarakat tentang tata cara berwudlu, sholat dan lain-lain.
Kita (Santri Sarang) sudah ditata rapi oleh para Masyayaikh Sarang, berdasarkan
pertimbangan yang terbaik (min nadhoiri masyayikhuna). Kalian jangan sampai
setelah mengaji kitab Hikam, Karya Ibnu Atho'illah musyawaroh kitab Fathul Qorib
dan Fathul Mu'innya melempem dan kocar kacir. Dua kitab klasik itu, Fathul Qorib
dan Fathul Muin bisa populer dan masyhur karena tasawwuf. Syaikh Ahmad Rifa'i,
seorang guru spiritualnya Abu Suja' itulah justru yang memerintahkan beliau untuk
mengarang kitab tersebut . Begitu juga kitab Fathul Mu'in, masyhur dan terkenal
karena isi dan kandungan fikihnya menjiwai tasawwuf.
Terakhir beliau berpesan kepada Santri-santri Ma'had Aly yang hadir:" Kepada kiai
yang bertakhasus (berkonsentrasi) dengan fiqh, kita harus tawadhu', dan Kiai yang
bertakhasus tasawuf yang bukan ahlu bid'ah juga wajib kita ta'dzimi dan hormati".

Anda mungkin juga menyukai