Anda di halaman 1dari 7

TRADISI ILMIAH DI PONDOK PESANTREN MENGGUNAKAN KITAB

MATAN, SYARAH, HASYIAH DAN MAUSU’AH


Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Kepesantrenan
Dosen : Dr. Asmaji Mochtar

Oleh :
Habib M. Faqih Muqoddam
Toha Mahasin
Zulfah Kirom
Amin Ma’ruf

PROGRAM PASCASARJANA ( S2 )
PROGRAM ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR ( IAT )
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
Kalibeber Mojotengah Wonosobo 2020

1
A. Pendahuluan
Umat muslim di Indonesia adalah komunitas muslim terbesar di Dunia dengan
jumlah sekitar 200 juta jiwa, disusul India dengan jumlah komunitas muslim sekitar
190 juta jiwa1. Jumlah yang sangat besar melebihi jumlah komunitas muslim di seluruh
negara arab jika digabungkan. Hal ini perlu disyukuri, meskipun menyisakan dilema ;
mayoritas adalah muslim awam yang pemahaman tentang ajaran agama islam mungkin
sangat minim. Para ulama Indonesia dari zaman wali songo sampai sekarang berikhitar
semaksimal mungkin agar muslim Indonesia memahami dan mendalami ilmu syar’iy,
dengan mengadakan pengajian-pengajian di langgar/surau, pengajian selapanan, dan
puncaknya mendirikan pondok pesantren. Lembaga pendidikan islam tertua di
Indonesia tiada lain adalah pondok pesantren. Pondok pesantren sudah terbukti
mencetak kader-kader yang moderat, cinta tanah air, dan muslim yang progresif, yang
mampu menghadapi tantangan globalisasi.2 Dan yang paling utama yaitu sudah
mencetak kader mutafaqqih fiddin yang termotivasi dari hadits :
ِ ‫اَّلل بِِه خْيا ي َف ِقهه ِِف‬ ِ
‫الدي ِن‬ ُ ُ ُ ًْ َ ُ‫َم ْن يُِرد ه‬
Artinya : “ Barang siapa oleh Allah Swt dikehendaki baik, maka Dia akan
memberinya kefahaman dalam ilmu agama” (HR. Bukhori)
Imam Ibnu Hajar al-Asqolaniy menjelaskan bahwa hadist ini mencakup tiga point
besar. Pertama ; keutamaan belajar agama, kedua ; hakikatnya yang memberi ilmu
adalah Allah Swt, ketiga ; sebagian umat ini akan terus konsisten dalam jalan
kebenaran3. Hadist ini sering sekali dinukil oleh para ulama salaf dan diletakkan pada
pembukaan kitabnya. Secara otomatis siapa pun yang membuka kitab tersebut akan
membaca hadist tadi, dan baik secara langsung atau tidak pasti akan termotivasi oleh
hadist tersebut, kamudian menjadi power semangat untuk belajar ilmu syar’iy.
Demikian pula yang dilakukan oleh para ulama/kiyai di indonesia.
Proses tafaqquh fiddin yang intens di pondok pesantren dilaksanakn dengan
berbagai metode seperti bandongan, sorogan, musyawarah/bahtsul masail dan
muhafadzah. Adapun buku rujukan yang dijadikan kurikulum pembelajaran adalah
kitab turost, atau yang biasa disebut kitab kuning. Yang menarik untuk dikaji salah
satunya ; bagaiman metode penulisan/penyusunan kitab kuning tersebut dengan
berpijak pada jenjang dan tingkat pengkajinya, serta kedalaman/keluasan materi yang
disampaikan? Dimulai dari tingkatan dasar yakni matan, kemudian syarah, hingga
hasyiyah. Di tahap selanjutnya disusun pula kitab-kitab komparatif yakni mausu’ah.
Bagaiman pondok pesantren menererapkan kitab-kitab ini pada kurikulumnya?

B. Kitab Matan, Syarah, Hasyiah, dan Mausu’ah


Pendidikan pesantren sesungguhnya merupakan perpaduan dari sistem
pendidikan Islam yang berkembang di Timur Tengah dan telah memperoleh unsur-
unsur serapan dari budaya lokal di Indonesia. Unsur-unsur budaya lokal inilah yang
memberikan citra dan cita rasa pada pendidikan pesantren sebagai pendidikan yang
tumbuh dan lahir dari dalam rahim ibu pertiwi, sehingga memiliki kekebalan terhadap
sistem pendidikan Barat. Berbeda dengan pendidikan tradisional di Turki seperti

1
Gus Yahya Staquf, pada louncing buku PBNU Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama
2
Nina Nurmila, “Pesantren As The Womb to Moderate and Progresive Muslims”, Internasional Journal of
Pesantren Studies: Vol. 7, No. 1, 2015, Hal 2.
3
Imam Ibnu Hajar al-Asqolaniy, Fathul Bari [Maktabah Syamilah] juz 1, hlm. 164

2
madrasah, kuttab yang terkena dampak badai modernisasi sehingga sistem pendidikan
tersebut bermetamorfosis menjadi sekolah-sekolah formal ala barat4.
Kitab turost sebagai rujukan utama kerikulum Pendidikan pesantren , adalah
buku berbahasa arab yang kebanyakan dikarang oleh ulama-ulama timur tengah, yang
berisi fan-fan dari ilmu syar’iy. Secara garis besar bentuk penulisan kitab turost terbagi
menjadi :
1. Matan
Matan adalah kitab turost yang berisi kerangka dasar atau materi inti dari
suatu fan ilmu. Oleh sebab itu kitab matan biasanya singkat padat berisi.
Mengapa semikian, karena untuk memudahkan para pemula (mubtadi’) dalam
menguasai fan ilmu tersebut. Hal ini bisa kita lingat dari alasan yang
disampaikan sendiri oleh para pengarangnya. Misalnya kitab ghoyah wa taqrib,
Imam Abu Suja’ menyampaikan:

5
‫يقرب على المتعلم درسه ويسهل على المبتدئ حفظه‬
Artinya : “ Hal tersebut (kitab dibuat singkat dan ringkas) untuk memudahkan
para murid (pemula) dalam mempelajarinya, serta mudah dihafalkan.”
Pengarang kitab Imrithiy, Syekh Sarofuddin Yahya al-Imrithiy juga sama,
beliau membuat penjelasan alasan menyusun kitab matan :
6
‫نظتها نظما بديعا مقتدي * باألصل في تقريبه للمبتدئ‬
Artinya : “ Aku membuat nadzom ini dengan indah, sesuai dengan kitab asal
karena memudahkan bagi para pemula.”
Alasan yang sama disampaikan Imam Ibnu Malik di dalam nadzom Alfiyah-
nya.
Kitab matan dilihat dari gaya bahasa (uslub) penulisannya terbagi dua :
prosa (natsar) misalnya ghoyah wa taqrib, qurrotul ‘ain, minhaju tholibin,
ummul barohin, jurumiyah dll. Yang kedua kitab matan yang berbentuk puisi
(nadzom) misalnya ; imrithy, alfiyah, jazariyah , zubad dll.
Melihat alasan penulisan kitab matan yang disampaikan oleh para
pengarangnya , yakni untuk memudahkan para pemula dalam memahami pola
dasar fan ilmu tertentu, ternyata di sisi lain menimbulkan problem. Kitab yang
ringkas semacam itu sering kali mengandung kata-kata yang samar/kurang
jelas, tidak mengikut sertakan rincian-rincian dan pengecualian-pengecualian7.
Dari kondisi inilah lahir penulisan kitab syarah dan hasyiyah.

2. Syarah
Syarah adalah kitab yang ditulis untuk mengupas frasa dan makna kitab
matan8. Kitab yang ringkas sering kali membutuhkan penjelasan agar makna
yang tersirat di dalam redaksi kitab tersebut tersampaikan dengan jelas.
Terutama matan dengan bentuk nadzam, karena nadzam memiliki aturan

4
Sarwijin, Kitab Syarah dan Tradisi Intelektual Pesantren, MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan
Keagamaan Volume 4, No. 2, hlm. 87-88
5
Imam Abu Syuja’ , Ghoyah wa taqrib, Surabaya : Dar al-Ilm, hlm. 3
6
Syekh Imrithy, Imrithy, Surabaya : Dar al-Ilmi , hlm. 5
7
Irfan Salim, Tradisi Penulisan Hasyiyah di Dunia Islam, Al-QALAM, vol. 29, no. 2, hlm. 345
8
Sarwijin, Kitab Syarah dan Tradisi Intelektual Pesantren, MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan
Keagamaan Volume 4, No. 2, hlm. 88

3
penulisan sendiri yang terkadang mengharuskan kata yang berada di awal
dipindah ke akhir kalimat. Walaupun kebanyakan kitab matan bentuk nadzam
lebih memilih menggunakan bahr rojaz9, namun masih tetap membutuhkan
penjelasan.
Ada yang menilai kitab syarah pada mulanya lahir saat kondisi umat
muslim mengalami stagnasi ilmiah, terutama dalam bidang fikih yang
mewajibkan umat muslim taqlid kepada para imam madzhab. Penilaian
semacam ini dilontarkan oleh salah satunya tokoh muslim indonesia, Nurchlois
Madjid10. Tuduhan ini perlu dijawab dengan tegas, bahwa adanya syarah
khususnya dalam fan fikih justru memperdalam kajian-kajian pembahasan
dalam fikih, dan kenyataannya tetap mencetak para ulama-ulama mujtahid yang
mempunyai gagasan-gagasan baru. Hanya saja mujtahidnya dalam tingkatan
mujtahid munasib11 atau muqayyad. Lantas apakah lahirnya mujtahid yang
kapasitasnya di bawah para imam madzhab juga dituduh stagnasi? Coba kita
analogikan, pada tahun 1876 Alexander Graham bell menemukan telepon,
kemudian dikembangkan terus sampai sekarang. Pertanyaanya, bukankah para
pengembang teknologi ini yang semakin canggih ini taqlid kepada Alexander
Graham Bell? Lalu kenapa mereka tidak dikatakan melakukan stagnasi? Sama
halnya dengan para mujtahid setelah era imam madzhab, mereka juga
mengembangkan teori-teori para imam madzhab, yang kemudian ditulis di
dalam kitab syarah.
Nadirsyah Hosen menanggapi kritik terhadap tradisi syarah dan hasyiyah
sebagai bentuk kemunduran intelektual Islam karena tidak mampu melahirkan
kreatifitas dan orisinalitas ilmiah, tidak selamanya benar, karena sebuah
orisinalitas tidak lahir begitu saja, ia sebenarnya berpijak pada hasil-hasil
penelitian awal dengan melakukan review terhadap literatur yang ada. Ini
merupakan langkah awal bagi seorang peneliti, karena tanpa melakukan review
ini, orang tidak akan pernah tahu apakah kajian dia itu orisinil atau tidak12.
Contoh kitab syarah sangat banyak, seperti ; fathul qorib syarah dari
ghoyah wa taqrib, fathul mu’in syarah dari qorrotul ‘ain, fathul wahab syarah
dari manhaju tullab.
Matan Manhaju Thullab
‫ نكحها بما ال يملكه وجب مهر مثل أو به وبغيره بطل فيه فقط‬:‫فصل‬

Syarah Fathul Wahab


.ُ‫ في الصداق الفاسد َو َما يُذْك َُر َمعَه‬:‫فصل‬
‫َاء ك َْونِ ِه َم ااال‬ِ ‫ق ِبا ْنتِف‬
ِ ‫صدَا‬َّ ‫ب َم ْه ُر ِمثْ ٍل ) ِلفَ َسا ِد ال‬ َ ‫ب ( َو َج‬ ٍ ‫صو‬ ُ ْ‫لَ ْو ( نَ َك َح َها ِب َما َال َي ْم ِلكُهُ ) َكخ َْم ٍر َو ُح ٍر َودَ ٍم َو َمغ‬
‫ط َل‬َ َ‫ي بِ َما َال يَ ْم ِلكُهُ ( َو ِبغَي ِْر ِه ب‬ْ ‫ج َس َوا ٌء أ َ َكانَ َجا ِه اًل ِبذَ ِل َك أ َ ْم َعا ِل اما ِب ِه ( أ ْو ) نَ َك َح َها ( بِ ِه ) أ‬
َ َ َّ ‫أ َ ْو َم ْملُو اكا ِل‬
ِ ‫لز ْو‬
‫ص ْفقَ ِة‬
َّ ‫ق ال‬ ِ ‫ع َم اًل بِت َ ْف ِري‬
َ ‫ي د ُونَ َغي ِْر ِه‬ ْ َ‫ط ) أ‬ ْ َ‫ي فِي َما َال يَ ْم ِل ُكهُ ( فَق‬ْ َ ‫فِي ِه) أ‬
Perkembangan ilmiah tidak berhenti sampai di sini, masih berlanjut pada
tahap selanjutnya, yakni hasyiah, yang mengupas lebih mendalam.

9
Bahr dengan mengikuti nada wazan ‫ مستفعلن‬6x
10
Nurcholish Madjid, Tradisi Syarah dan Hasyiah dalam Fiqih dan Masalah Stagnasi Pemikiran Islam, hlm. 4
11
Mujtahid yang masih mengikuti teori ushul dari imam madzhab.
12
Nadirsah Hosen, Misrawi, 2010: xxiv-xxv

4
3. Hasyiah
Hasyiah adalah komentar terhadap kitab syarah yang membutuhkan
penjelasan mendalam13. Kitab hasyiyah berbeda dengan kitab syarah, karena
hasyiah tidak menjelaskan setiap frasa yang terdapat pada syarah. Hasyiah
menguraikan secara mendalam tema yang dibahas, bahkan terkadang
menampilkan perbedaan pendapat antar ulama. Beberapa hal yang melatar
belakangi munculnya penulisan hasyiah adalah :
a) Keinginan seorang ulama untuk memperluas wawasan para pembacanya
agar mendapatkan faidah ilmiah. Atau mengakomodir sekian pendapat
yang kemudian dikorelasikan, atau ditarjih. Sebagaimana Imam
Qulyubiy di dalam Hasiyah Qulyubi yang mengupas Mahalliy syarah
dari minhaju tholibin. Beliau menyampaikan :
‫ ُم ْشت َِم ٌل‬...ِ ‫اج َوش َْر ِح ِه ِل ْل َج ًَل ِل ْال َم َح ِلي‬ ِ ‫ فَ َهذَا َما تَيَس ََّر َج ْمعُهُ ِم ْن ْال َح َوا ِشي َعلَى ْال ِم ْن َه‬: )ُ ‫(أ َ َّما بَ ْعد‬
‫ َو ُمنَبِهٌ َعلَى دَ ْف ِع‬،‫ارتِ ِه َما‬ َ َ‫ي ِم ْن ِعب‬ َ ‫ض َما َخ ِف‬ ِ ‫ َو ُمبَيِ ٌن ِلغ ََو ِام‬،‫ف فِي ِه َما‬ ِ ‫َعلَى ْال ُم ْعت َ َم ِد ِم ْن ْال ِخ ًَل‬
‫ت‬ ٍ ‫ َم َع ِز َيادَا‬،‫غي ِْر ِه َما‬ َ ‫ام ٌع ِل َما تَف ََّرقَ ِفي ْال َح َوا ِشي َعلَ ْي ِه َما َو‬ ِ ‫ َو َج‬،‫ت ِم ْن ُه َما َو ِم ْن َغي ِْر ِه َما‬ ٍ ‫ضا‬ َ ‫ا ْع ِت َرا‬
‫وف َعلَ ْي َها‬ِ ُ‫َاج ِل ْل ُوق‬
ٍ ‫ت َج َّم ٍة ُم ْحت‬ َّ ‫ َوفَ َوائِدَ ُم ِه َّم ٍة يَ ْع ِرفُ َها ْال ُم‬،‫اظ ُر إلَ ْي َها‬
ٍ ‫ َو ُمنَاقَشَا‬،‫ط ِل ُع َعلَ ْي َها‬ ِ َّ‫يُ َس ُّر ِب َها الن‬
ْ ْ ْ
ِ‫َال َع ْن ال َح ْش ِو َوالتَّط ِوي ِل َو َع ْن العَ ْز ِو غَا ِلباا ِ ِِل َرادَة‬ ٍ ‫ُّف َوا ْحتِ َما ِل ِه َوخ‬ ِ ‫ع ْن التَّعَس‬ َ ُ‫ِم َّم ْن َج َّردَ فَ ْه َمه‬
14 ْ َ ْ ْ
‫ع َعلى ال ُم َرا ِد ِمن أق َوا ِل ِه‬َ َ َّ َ ِ ْ ِ‫الت َّ ْس ِهي ِل َوكَثْ َرة‬
ِ ‫س ْر َع ِة ِاال ِطًل‬ ُ ‫ َو‬،‫صي ِل‬ ِ ‫اِلفادَةِ َوالت ْح‬
Di dalam redaksi ini Imam Qulyubiy intinya ingin menjelaskan lebih
mendalam terhadap kitab Mahalliy, dan menampilakn qaul kuat dari
perbedaan pendapatn.
b) Hasyiah awalnya komentar-komentar ilmiah dari suatu kiab syarah
yang kemudian ada keinginan atau permintaan untuk dikumpulkan dan
dibukukan. Misalnya hasyiah i’anathu tholibin, Sayyid Bakri Syatho
menyampaikan :
‫كتبت عليه هوامش تحل مبناه وتبين معناه ثم بعد تمام القراءة طلب مني جملة من األصدقاء‬
15
‫ تجريد تلك الهوامش وجمعها‬،‫ أصلح هللا لي ولهم الحال والشان‬،‫والخًلن‬
c) Hasyiah merupakan catatan-catatan yang didapatkan dari halaqah-
halaqah yang kemudian dikumpulkan dan dibukukan16.

Selain ada hal yang melatar belakangi munculnya kitab-kitab hasyiah,


kitab ini juga memiliki posisi penting lain yakni sebagai bentuk tahqiq dari kitab
tertentu. Dalam men-tahqiq suatu kitab memang tidak mesti berbentuk hasyiah,
terkadang juga berbentuk syarah, tapi hasyiah tetap punya peran penting.
Perkembangan tradisi ilmiah pun tidak berhenti di hasyiah, muncul pula
kajian komparasi yang mengakomodir sekian madzhab, baik dalam fan fikih,
ushul fikih, ilmu tafsir, dsb.

4. Mausu’ah
Mausu’ah secara bahasa berarti ‘ensiklopedia’ yakni buku/kitab yang
menghimpun keterangan tentang berbagai hal di bidang ilmu pengetahuan.
Kitab mausu’ah berarti kitab yang menghimpun berbagai penjelasan dari ilmu
13
Sarwijin, Kitab Syarah dan Tradisi Intelektual Pesantren, MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan
Keagamaan Volume 4, No. 2, hlm. 89
14
Imam Qulyubiy, Hasyiatain Qulyubi Uamiroh, Al-Haromain, juz 1 , hlm. 3
15
Sayyid Bakri Syatho, I’anathu Tholibin, Al-Haromain, juz 1 , hlm. 3
16
Irfan Salim, Tradisi Penulisan Hasyiyah di Dunia Islam, Al-QALAM, vol. 29, no. 2, hlm. 346

5
syar’iy. Misalnya mausu’ah fiqhiyyah al-kuwaitiyah, al-fiqh ‘ala madzhabi
arba’ah, al-fiqhu al-islamiy wa adillatuhu, kitab-kitab ini menghimpun
berbagai pendapat dari empat madzhab fikih, al-mausu’ah al-muyassaroh fil
adyan wal madzahib yang membahas tentang berbagai macam aliran akidah.
Penulisan kitab mausu’ah disusun dengan cara mengumpulkan semua data
dan materi dari berbagai sumber yang representatif. Hal ini adakalanya
dilakukan oleh seorang ulama secara pribadi, adakalanya secara kolektif.

C. Urgensi kitab matan, syarah, hasyiah, dan mausu’ah di Pesantren


Setiap lembaga pendidikna pasti menerapkan sistem tingkatan kelas, di mulai
dari kelas pemula sampai pada kelas ahli/pengembangan. Di pondok pesantren pun
sama, biasanya ada kelas Ibtida’, Tsanawiy, ‘Aliyah, hingga Ma’had Aly. Setiap
jenjang akan mendapatkan materi yang berbeda dengan jenjang yang lain. Adanya kitab
dengan standar kedalaman yang berbeda seperti matan, syarah, hasyiah, dan mausu’ah
akan mempermudah sistem pendidikan di pondok pesantren. Tingkatan ibtida’ masih
banyak menggunakan kitab matan, tingkatan tsanawiy mulai menggunakan kitab
syarah, aliyah menggunakan hasyiah, hingga ma’had aly yang menggunkan semua
kategori kitab.
Klasifikasi para murid sebenarnya sudah dibahas oleh ulama salaf. Ulama salaf
membagi tiga tingkatan murid; mubtadi’, mutawasith, dan muntahi’. Mubtadi’ adalah
murid yang baru memulai memahami dasar ilmu tertentu. Mutassith adalah seorang
murid yang telah menguasai dasar dan furu’ suatu ilmu namun belum mampu
menjelaskan hujjahnya. Sedangkan muntahi’ adalah seorang murid yang menguasai
ilmu dasar, furu’ dan mampu mengupas hujjahnya 17.

D. Kesimpulan
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang fokus pada tafaqquh
fiddin memiliki tradisi ilmiah yang sangat luar biasa lewat pengajian terhadap kitab
matan, syarah, hasyiah, sampai mausu’ah. Terbukti para ulama-ulama di indonesia
yang benar-benar ‘alim, ahli dalam bidang ilmu agama, kebanyakan adalah alumni
pondok pesantren.
Tradisi ilmiah ini harus dilestarikan dan harus dijaga, jangan sampai dengan
alasan menyesuaikan kondisi zaman, pondok pesantren justru tercerabut dari tradisi
ilmiahnya, yang selama ini sudah terbukti mencetak kader-kader mutafaqqih fiddin.

17
Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Ad-Duroh Al-bahiyah, Surabaya : Dar al-Ilmi, hlm. 5

6
DAFTAR PUSTAKA
Imam Abu Syuja’ , Ghoyah wa taqrib, Surabaya : Dar al-Ilmi.
Imam Ibnu Hajar al-Asqolaniy, Fathul Bari , Maktabah Syamilah.
Imam Qulyubiy, Hasyiatain Qulyubi Uamiroh, Al-Haromain.
Irfan Salim, Tradisi Penulisan Hasyiyah di Dunia Islam, Al-QALAM, vol. 29, no. 2.
Nadirsah Hosen, Misrawi, 2010: xxiv-xxv.
Nina Nurmila, “Pesantren As The Womb to Moderate and Progresive Muslims”, Internasional
Journal of Pesantren Studies: Vol. 7, No. 1, 2015.
Nurcholish Madjid, Tradisi Syarah dan Hasyiah dalam Fiqih dan Masalah Stagnasi Pemikiran
Islam.
Sarwijin, Kitab Syarah dan Tradisi Intelektual Pesantren, MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi
dan Keagamaan Volume 4, No. 2 .
Sayyid Bakri Syatho, I’anathu Tholibin, Al-Haromain, juz 1.
Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Ad-Duroh Al-bahiyah, Surabaya : Dar al-Ilmi.
Syekh Imrithy, Imrithy, Surabaya : Dar al-Ilmi.

Anda mungkin juga menyukai