Anda di halaman 1dari 6

KAJIAN KITAB TAFSIR DI PESANTREN1

Sekilas perkembangan tafsir di pesantren:


- Tafsir yang pertama kali disusun oleh ulama Indonesia yang dikenal sampai saat ini
adalah “Turjumaanul Mustafiid” karya Syekh Abdurrauf As Sinkiily al Fansuri (1693
M) seorang mufti Aceh yang puluhan tahun belajar di Timur Tengah. Tafsir ini
menggunakan metode analitik dan mengikuti tartib mushafi, menjelaskan berbagai
informasi terkait ayat, seperti namanya, jumlah ayatnya, makkiyah atau madaniyyah,
keutamaannya, lalu mencantumkan teks ayat dan meletakkan terjemahnya dalam bahasa
Melayu beserta tafsirnya, beliau juga menjelaskan asbab nuzul, menyebutkan beberapa
wajah qiroat serta munasabat antar ayat.
- Sejak abad 16 M, Pengajian-pengajian tafsir juga mulai tumbuh sejak para ulama
nusantara berkenalan dengan kitab tafsir dari Timur Tengah khususnya “tafsir jalalain”
(disusun akhir abad 15 M). Mereka membacakan tafsir jalalain dalam pengajian-
pengajian mereka.
- Sejak Syekh Abdurrauf As Sinkiily al Fansuri (1693 M) menyusun tafsirnya yang
monumental, hampir bisa dikatakan bahwa bangsa Indonesia lebih dari 2 abad tidak
menyaksikan lahirnya produk tafsir karya ulama Nusantara. Diantara faktornya adalah:
1- Situasi dan kondisi penjajahan yang membatasi ruang gerak penyebaran pemikiran
Islam, sehingga pelajaran-pelajaran agama yang diajarkan cukup terbatas.
2- Proses pembacaan tafsir jalalain yang menjadi satu-satunya kitab tafsir yang populer
pada kurun tsb kurang memberi kesempatan para santri untuk memikirkan proses
penafsiran dan membatasi ruang penalaran ilmiah mengingat tafsir jalalain
menggunakan metode Ijmali.
- Pengajian-pengajian tafsir tetap dipertahankan di berbagai pesantren, hanya saja ia hanya
bersifat pengajian kedua (tambahan) dan tidak menjadi fokus utama. Pada umumnya
pesantren-pesantren lebih menekankan pada pengajian fiqih dan bahasa Arab. Hal itu
tentu saja imbas dari penjajah berabad-abad yang membatasi ruang nalar yang lebih
terbuka, berbeda dengan zaman Syekh as Sinkily yang pada saat itu kedudukan VOC
belum begitu kuat.
- Di era abad 20 an (1900 M), Para ulama nusantara yang menuntut ilmu di Timur Tengah
kembali ke Indonesia dan mendirikan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan pondok-
pondok pesantren dan menyebarkan semangat pembaruan dan gerakan perlawanan
kepada penjajah, seperti Muhammadiyah (1912 M), NU (1926), Syekh Sulaiman ar
Rasuli (PERTI 1928 M), juga madrasah-madrasah dan pesantren seperti PUI Jabar (1917
M), Madrasah al Irsyad (1913 M), Pondok Tebuireng (), Pondok Gontor (1926 M),
Madrasah al Khairat Sulteng (1930 M), Madrasah Nahdatul Watan Lombok (1936) ,
Madrasah Najah wal Falah Kalbar (1918 M) dll yang masih banyak lagi.
- Lembaga dan Pesantren ini rata-rata mengajarkan tafsir Jalalain, beberapa sudah
mengajarkan tafsir al Baidhawi dan tafsir al Khazin. di samping beberapa pondok

1
Disampaikan oleh M. Afifuddin Dimyathi, dalam kegiatan PKL daring, Fakultas Ushuluddin IAIN Kudus pada 16
September 2020.

1
pesantren dan madrasah “modern” yang sudah mulai mengajarkan tafsir Juz Amma karya
Syekh Muhammad Abduh.
- Tempat pengajaran tafsir yang sebelumnya hanya bertempat di masjid dan musholla,
pada perkembangan selanjutnya sudah mulai menempati ruang-ruang kelas.
- Kurikulum tafsir juga sudah mulai diterapkan di beberapa pesantren dalam berbagai
jenjang tingkatan yaitu tsanawi dan aliyah. Untuk jenjang ibtida’i, pada umumnya tafsir
belum menjadi materi pembelajaran.

Kitab tafsir yang dihasilkan di pesantren:


Ada puluhan kitab tafsir karya ulama Nusantara yang disusun oleh mereka untuk
membantu pemahaman umat islam terhadap kitab suci, dan semuanya adalah karya-karya yang
bermanfaat. Hanya saja secara spesifik yang lahir dari kalangan pesantren di antaranya sebagai
berikut:
- Faid ar Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al Malik ad Dayyan: Tafsir ini disusun oleh
Pengasuh pondok pesantren Darat, KH. Shalih bin Umar al Samarani (1903 M) dengan
menggunakan bahasa Arab-Jawi (pegon) dalam dua jilid besar. Jilid pertama mulai surah
al Fatihah sampai surah al Baqarah sejumlah 503 halaman, dan jilid kedua mulai surah
Ali Imron sampai surah an Nisa sejumlah 705 halaman. Tafsir ini dicetak di Singapura
oleh percetakan Haji Muhammad Amin.
- Raudhatu al Irfaan fi Ma’rifat al Qur’an: Tafsir ini disusun oleh KH Ahmad Sanusi
(1950 M), seorang pendiri al ittihadiyah al Islamiyyah (persatuan umat Islam) dan putra
KH Abdurrahim bin Yasin pengasuh PP. Centayan Sukabumi. Martin Van Bruinsen
menyebut beliau sebagai salah satu tokoh yang orisinil dan bukan sebagai pensyarah.
Tafsir ini banyak digunakan di berbagai prsantren ranah Parahyangan untuk materi
belajar, begitu pula pengajian-pengajian kampung di lingkungan masyarakat. Kitab ini
terdiri dari 2 jilid, jilid pertama berisi tafsir juz 1-15 dan jilid kedua berisi tafsir juz 16-
30. Cara penyajiannya dengan memberi makna miring di bawah masing-masing teks
ayat, disertai dengan penjelasan dan kesimpulan di sisi kanan dan kiri setiap halaman.
Keterangan-keterangan yang diberikan berisi penjelasan asbab nuzul, jumlah ayat, jumlah
huruf, kemudian penjelasan masalah akidah yang bercorak Asyariyah dan feqh
bermadhab Syafii. Tafsir ini banyak menjelaskan tafsir-tafsir tasawuf, ini tidak
mengherankan mengingat Kiai Ahmad Sanusi dikenal sebagai pengikut Tarekat
Qaadiriyyah.
- Al Ibriz Li Ma’rifat Tafsir al Kitab al Aziz: Tafsir ini disusun oleh pengasuh PP Kasinan
Rembang, KH Bisri Musthofa (1977 M) dengan menggunakan format kitab kuning, yaitu
pemberian makna jawa di bawah teks ayat al Quran, ditambah dengan terjemah tafsiriyah
yang diletakkan di bagian pinggir. Kitab ini terdiri dari 2250 halaman dan sangat familier
di kalangan pesantren khususnya di jawa, karena kemudahan memahaminya. Secara
umum kitab tafsir ini merujuk ke beberapa tafsir khususnya al Jalalain, Anwarut Tanzil
wa Asrarut Ta’wil dan Lubabut Ta’wil Fi Maanin Tanzil. Tafsir ini diterbitkan oleh
menara Kudus.
- Al Iklil fi Ma’ani at Tanziil: Tafsir ini disusun oleh pengasuh pondok pesantren al
Balagh Bangilan, KH. Misbah Musthofa (1994 M) dengan menggunakan format kitab
kuning, yaitu pemberian makna jawa di bawah teks ayat al Quran, ditambah dengan
terjemah tafsiriyah. Kitab ini cukup tebal terdiri dari 4800 halaman, uraian-uraian KH.
Misbah dalam tafsirnya lebih luas dan disertai pembahasan terkait keilmuan al Quran.

2
- Tafsir al Muniir: Tafsir ini disusun oleh Mantan Ketua MUI Kab Soppeng dan guru di
Madrasah Arabiyyah Islamiyah Wajo Sulawesi, KH Daud Ismail (2006 M) dengan
menggunakan bahasa Bugis yang mudah dipahami. Tafsir ini menggunakan metode bil
ma’tsur dengan cara menafsirkan ayat dengan ayat, dan ayat dengan hadist lalu
dipadukan dengan pendapat-pendapat ulama salaf. Beliau juga cenderung mengkaji
beberapa ayat ahkam dengan pendekatan feqih. Cara yang digunakannya adalah
menuliskan teks ayat di sebelah kanan, dan terjemahnya di sebelah kiri, lalu menuliskan
no surah sesuai urutan mushaf dan mengklasifikasikan beberapa ayat dalam satu tema.
- Firdaus an Naim Bitaudhihi Ma’ani Ayaat al Quran al Karim: Tafsir ini disusun oleh
pendiri dan pengasuh PP as Sadad, Sumenep, KH. Thoifur Ali Wafa (lahir 1964 M)
dengan menggunakan berbahasa Arab. Kitab ini dicetak dalam 6 jilid ukuran sedang dan
cukup komprehensif mengkaji beberapa aspek ayat seperti kajian kebahasaan, qiroat-
qiroat ayat, riwayat-riwayat terkait ayat dan hukum-hukum fiqh. Kitab ini sampai
sekarang masih dingajikan di pesantren beliau.
- dll

Kitab tafsir yang diajarkan dan dipelajari di pesantren:


- Metode dan sistem pengajian tafsir di pondok pesantren sudah berjalan sejak ratusan
tahun yang lalu dan selalu mengalami perkembangan, pada mulanya pengajian-pengajian
tafsir diadakan dalam sebuah halaqah-halaqah umum di pesantren (hal ini masih
dipertahankan sampai sekarang) dengan cara guru membacakan teks tafsirnya dan
menerjemahkan kata perkata dan menjelaskannya, lalu sistem ini dikembangkan menjadi
kurikulum di madrasah-madrasah lanjutan, dengan cara yang hampir sama ditambah
ruang untuk tanya jawab jika mendapati kesalahan. Kedua sistem ini tetap dilestarikan
oleh beberapa pondok pesantren, bahkan sebagian sudah mencoba membuka pengajian
tafsir al Quran secara online pada era modern ini.
Berikut ini adalah kajian tentang beberapa kitab tafsir yang dikaji di kalangan pesantren:
- Tafsir Jalalain: Kitab Tafsir al-Jalalain merupakan salah satu kitab tafsir yang sangat
familiar di pesantren Indonesia. Di pesantren-pesantren salafiyah, kitab tafsir ini mudah
ditemui. Pengajiannya pun menjadi salah satu agenda rutin pengasuh pesantren.
Mendampingi kitab Ihya’ Ulumiddin, Tafsir al-Jalalain biasa diikutsertakan dalam acara
tasyakuran khataman. Tafsir al-Jalalain juga sering jadi ukuran minimal seorang santri
dalam taraf belajar. “Sudah ngaji Tafsir Jalalain belum? Kok mau pulang?” Ungkapan ini
menjadi pendorong agar santri pesantren, minimal dalam memahami tafsir sudah ikut
pengajian kitab ini. Tafsir ini ditulis dalam dua periode. Penulisnya juga dua tokoh ulama
beda masa. Penulis pertama adalah al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin
Ibrahim bin Ahmad, yang masyhur sebagai Imam Jalaluddin al-Mahalli (864 H/1455 M).
Beliau menulis tafsir ini mulai dari surat al-Kahfi hingga an-Nas, lalu al-Fatihah.
Sebelum menuntaskan penulisan tafsirnya, Imam Jalaluddin al-Mahalli wafat. Penulis
kedua, yang menyelesaikan penulisan kitab tafsir ini adalah al-Imam Abdurrahman bin
Abi Bakr bin Muhammad al-Suyuthi yang lebih dikenal dengan panggilan Imam as-
Suyuthi (911 H). Oleh banyak kalangan, beiau didesak agar menyelesaikan tafsir karya
Imam al-Mahalli, yang termasuk salah satu gurunya. Menurut beberapa riwayat, beliau
memulai penulisan lanjutan Tafsir al-Mahalli pada hari Rabu di awal Ramadhan 870 H.
Dikisahkan dalam kitab tersebut, penulisan selesai pada hari Ahad, 10 Syawal tahun itu
juga. Hanya 40 hari. Tapi untuk menyempurnakan dan menggabungkan dengan bagian

3
tulisan Imam al-Mahalli baru selesai 3 bulan kemudian, tepatnya hari Rabu, 6 Shafar 871
H.
Pengajian tafsir al Jalalain di Nusantara dimulai sejak abad 16 M-18 M, Pemilihan
tafsir ini oleh para ulama Nusantara sangat tepat sekali, karena itu sesuai dengan
kondisi umat yang baru mengenal Islam, tafsir ini praktis dan sistematis, tidak berbelit-
belit dan bahasa Arabnya cukup sederhana dan familier.
- Tafsir al Badhawi: Kitab tafsir ini juga cukup familier di kalangan pesantren, karena
disamping cukup ringkas, tafsir ini secara tegas membela akidah ahlu Sunnah wal Jamaah
Asy’ariyyah, disusun oleh al Qadhi Nashiruddin Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin
Muhammad bin Ali al-Baidhawi Al-Syairazi. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,
al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus dalam menggunakan
corak tafsir yang spesifik, Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik
kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Hal ini didukung oleh keluasan
keilmuan beliau dalam berbagai bidang keagamaan. dan sebagai seorang Sunni,
penafsiran al-Baidhawi memang sangat sesuai dengan orientasi keagamaan pondok-
pondok pesantren di Indonesia.
- Turjuman al Mustafid: Tafsir ini dijadikan sebagai materi pengajian oleh beberapa
pesantren yang menggunakan bahasa Melayu. Meskipun tidak secara luas, namun
pengajian tafsir ini cukup populer di pesantren-pesantren Sumatra.
- Tafsir al Muniir Li Maalim at Tanzil: Tafsir ini berjudul “al-Munir li Ma’alim at-
Tanzil” atau “Marah Labid Likasyfi Ma’na Qur’an Majid”. Tafsir ini disusun oleh Syaikh
Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi dan terdiri dari 2 jilid, yang diselesaikan pada
rabiul akhir 1305 H. Tafsir ini dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir dengan metode
ijmali (global), Syeikh Nawawi menjelaskan setiap ayat dengan ringkas dan padat serta
mudah dipahami. Sistematika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat dalam mushaf.
Tafsir al Munir li Ma’alim at Tanzil terlihat sangat detail dalam menafsirkan setiap kata
per-kata pada setiap ayat. Karya-karya Imam Nawawi sangat banyak yang dijadikan
materi pengajian di pondok pesantren di Indonesia seperti Tanqih al-Qaul, Nashaihul
Ibad, Nihayatuz Zain dan Tafsir al Muniir.
- Tafsir at Thabary: Pengajian tafsir ini relatif sangat terbatas di Indonesia, ia hanya dikaji
di lingkungan terbatas dan dalam pengajian-pengajian yang terbatas. Hal ini tentu saja
dikarenakan ketebalan kitab ini yang tidak memungkinkan dingajikan dalam waktu
singkat, disamping pengadaan kitab ini yang cukup terbatas di Indonesia. Tafsir ini
disusun oleh Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabary
dikenal dengan Ibnu Jarir al-Thabary (310 H). Metode penafsiran yang digunakan imam
Thabary adalah dalam kitab ini adalah bi al-Ma’tsur, yaitu menafsirkan al-Qur’an
dengan Qur’an, atau dengan hadist Rasul, atau keterangan-keterangan dari para sahabat
dan juga tabi’in dengan menggunakan uslub tafsir Tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi
ayat secara mendetil dari al-Fatihah hingga an-Nas.
- Tafsir Ibnu Katsir: Tafsir Ibnu Katsir merupakan salah satu kitab tafsir terbaik, jika tidak
bisa dikatakan sebagai tafsir terbaik. Kitab ini disusun oleh Imaduddin Ismail bin Umar
bin Katsir (774 H). Pengajian Tafsir Al Quran Ibnu Katsir cukup banyak di pondok-
pondok pesantren salaf, khususnya untuk jenjang lanjut setelah santri menyelesaikan
level Aliyah. Keunggulan tafsir Ibnu Katsir terletak pada ketelitian penafsiran ayat Al
Quran dan dikuatkan dengan menukil perkataan para salafus shaleh. Ibnu Katsir
menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami, menerangkan ayat

4
dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya.Selain itu,
disebutkan pula hadis-hadis yang berhubungan dengan sebuah ayat, serta penafsiran para
shahabat dan tabi'in. Beliau juga sering mentarjih di antara beberapa pendapat yang
berbeda, juga mengomentari riwayat yang sahih atau yang dhaif (lemah).
- Tafsir al Manaar: Pengajian tafsir al Manar biasa diselenggarakan di beberapa pesantren
modern di Indonesia secara terbatas. Tafsir ini tidak lengkap dan ditulis oleh dua tokoh
pembaharu Islam, yaitu Syekh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida. Corak
pemikiran yang mewarnai Tafsir al-Manar yang kemudiannya dikenali dengan corak
tafsir adabi ijtima’i. Tafsir al-Manar menggunakan bahasa yang mudah difahami oleh
semua kalangan masyarakat Islam, juga mulai mengenalkan ruang tafsir tematik (tafsir
mawdu’i) yang mengumpulkan banyak ayat al-Quran yang saling berkaitan dalam satu
tema yang ingin ditafsirkan. Muhammad Rasyid Rida meyakini bahawa ayat-ayat al-
Quran saling menafsirkan antara satu sama lain dalam satu pertalian munasabah yang
kuat. Tafsir ini juga menjelaskan pertalian kumpulan ayat tersebut dengan kumpulan
ayat lain yang telah ditafsirkan sebelumnya. serta menyebutkan status dan kedudukan
hadis dan riwayat tafsir berkaitan dengan asbab nuzul ayat ataupun dalam perkara tafsir
yang lain. Cara seperti ini membekalkan kepada peminat tafsir pengetahuan tambahan
berkaitan derajat hadis yang disebutkan serta krtikan beliau terhadap sanad dan matan
hadis. Dan yang paling Nampak dalam tafsir ini adalah ia mengaitkan tafsiran ayat al-
Quran dengan realiti kekinian masyarakat Islam ketika itu baik dalam masalah politik
ataupun sosial kemasyarakatan. Lalu menyebutkan kesimpulan di akhir sebagian surah
yang berupa inti sari pengajaran, hukum dan maqasid surah tersebut.
- Tafsir al Maraghi: Sama dengan al Manaar, Pengajian tafsir al Maraghi juga
diselenggarakan di beberapa pesantren modern di Indonesia secara terbatas. Tafsir ini
ditulis oleh Syekh Ahmad Musthofa al-Maraghi dengan memadukan antar bir’ro’yi dan
bil ma’tsur dan dalam beberapa penafsiran mengandung corak Tasawuf. Karena di dalam
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an terdapat pengkhususan pembahasan pada tasawuf. Sebagai
tafsir al-Qur’an kontemporer, Tafsir al-Maraghi memberikan kemudahan dalam
memahami al-Qur’an bagi masyarakat dengan sistematis, gaya bahasa yang mudah
dipahami, dan masalah-masalah yang dibahas benar-benar didukung dengan hujjah,
bukti-bukti nyata serta berbagai percobaan yang diperlukan. Al-Maraghi menafsirkan al-
Qur’an ini sesuai dengan Tartibul mushaf yaitu menafsirkan ayat dari surat al-Fatihah
sampai surat an-Nass, dalam penafsiran al-Maraghi menggunakan metode tahlili
(analisis), pendekatan naqli dan aqli, serta memiliki banyak sumber rujukan yang
digunakan dalam penafsiran yang lebih cenderung terhadap tafsir lughawi/adabi/ijtimai.
metode-metode yang digunakan dalam kitab tafsirnya, yakni: Menyampaikan ayat-ayat di
awal pembahasan, Menjelaskan ‘kosa kata’ (syarh al-mufrodat), Menjelaskan
pengertian ayat secara global (ijmaliy), dengan tujuan memberikan pengertian ayat-ayat
di atasnya secara global, Menyertakan pembahasan asbabun-nuzul jika terdapat riwayat
shahih dari hadits yang menjadi pegangan para mufassir dan mengesampingkan istilah-
istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, seperti ilmu Shorof, Nahwu,
Balaghah, dan lain sebagainya.
- Tafsir Nur al Ihsaan: Hampir sama dengan Turjuman al Mustafid, tafsir ini juga cukup
familier di kalangan pesantren berbahasa melayu. Kitab ini ditulis oleh H. Muhammad
Said bin Umar Kedah Malaysia (1932 M). Tafsir ini menggunakan tulisan jawi, yang

5
diintisarikannya dari Tafsir Jalalain, Tafsir al Baidhawi dan Tafsir al Jamal serta
beberapa tafsir lainnya.
- Tafsir al Ibriiz:
- Tafsir Raudhat al Irfan:
- Al Iklil Li Maani at Tanziil:
Disamping tafsir-tafsir di atas yang cukup familier di kalangan pesantren, ada beberapa
pengajian kitab tafsir modern yang mulai dibuka di berbagai pondok pesantren,
diantaranya adalah:
- Rowa’iul Bayan karya Syekh Muhammad Ali as Shabuuni:
- Shofwatu at Tafaasir karya Syekh Muhammad Ali as Shabuuni:
- Tafsir al Muniir karya Syekh Wahbah Zuhaily:
- Tafsir al Wasith karya Syekh Muhammad Thanthawi:
Pengajian-pengajian kitab tafsir di pesantren, rata-rata diberikan kepada santri-santri
lanjut atau senior, dan beberapa di antaranya diberikan sebagai materi pengajian umum
untuk masyarakat.

Demikian sedikit ulasan tentang Kajian Kitab Tafsir di Pesantren, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai