Anda di halaman 1dari 9

MUNCULNYA KAJIAN AL-QUR’AN DI INDONESIA

MAKALAH

Guna memenuhi tugas mata kuliah Kajian Tafsir Indonesia

Dosen Pengampu:

Muhammad Labib Syauqi, S.Th.I, M.A

Disusun oleh:

Faza Sulistiawan 1617501016


Kholid Nur Setyono 1717501019
Rahayu Ningtyas 1717501029
Rotala Sofiyatunnisa 1717501035

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan


Dalam sejarah dunia Islam, kajian terhadap Al-Qur’an telah dilakukan
semenjak masa Rosululloh saw hingga kini. Usia penafsiran AL-Qur’an juga sama
dengan usia Al-Qur’an itu sendiri. Berjuta-juta karya tafsir Al-Qur’an telah
dihasilkan oleh para ulama. Kajian Al-Qur’an terus dilakukan dengan berbagai
metode, sistematika dan pendekatan. Para sarjana Barat juga banyak yang telah
mengkaji Al-Qur’an dan menghasilkan karya terkait studi Al-Qur’an.
Lain halnya dengan kajian Al-Qur’an di Nusantara. Bukti paling awal
penulisan tafsir Al-Qur’an di Nusantara baru tampak setelah kurang lebih 300 sejak
komunitas muslim masuk ke kekuasaan politik1. Bersamaan dengan masuknya
Islam ke Nusantara, Al-Qur’an diperkenalkan oleh para penjuru dakwah kepada
warga pribumi. Sejak awal umat Islam di Indonesia mempunyai perhatian besar
terhadap Al-Qur’an yang baik dan sesuai ilmu tajwid sehingga kajian-kajian
menjadi mendalam mengenai kandungan Al-Qur’an.2
Dalam khazanah tafsir di Asia Tenggara, terjemahan tokoh tokoh muslim
Indonesia menempati kedudukan penting. Seperti Hamzah Fansuri yang lahir pada
periode Al-Qur’an dalam bahasa Melayu abad 14, Syamsuddin Sumatrani,
Nuruddin Ar-Raniri (w. 1658), Abd Al-Rauf Al-Sinkili (1615-1693), Muhammad
Yusuf Al-Maqqassari (1627-1699). Kitab Tarjuman Al-Mustafid karya Abd Rauf
Singkel menjadi pelopor tafsir Al-Qur’an pertama yang ditulis dengan bahasa
Melayu pada abad ke-17. Kemudian Syaikh Nawawi Al-Bantani dengan kitab tafsir
Marah Labid-nya yang ditulis di Mekah pada akhir abad ke-19 merupakan salah
satu diantara tokoh penting yang berperan dalam tradisi penulisan karya-karya
keislaman di Nusantara. Awal abad ke-20 Mahmud Yunus menulis tafsir berbahasa
Indonesai-Melayu yang pertama. Selanjutnya di dikuti oleh ulama lainnya seperti
Buya Hamka dengan kitab tafsir Al-Azhar dan tafsir al-Misbah karya M.Quraish

1
Wilda Kamalia, “Kiteratur Tafsir Indonesia (Analisis Metodologi dan Corak Tafsir Juz ‘Amma
As-Sirajul Wahhaj Karya M. Yunan Yusuf)”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2017, tdb.
2
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi (Yogyakarta:
LkiS, 2013), hlm.32
Shihab. Kelahiran dan perkembangan ilmu tafsir di Nusantara dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu aktivitas pengajian dan penulisannya. Munculnya kajian Al-Quran dan
penafsirannya di Indonesia sebagai pertanda bahwa terdapat respon yang baik dari
masyarakat terhadap kitab sucinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan tersebut maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Pengertian tafsir Indonesia
2. Sejarah awal kajian Al-Qur’an di Nusantara
3. Embrio penulisan tafsir Al-Qur’an di Nusantara
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisannya sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian tafsir Indonesia
2. Mengetahui sejarah kajian Al-Qur’an di Nusantara
3. Mengetahui embrio penulisan tafsir Al-Qur’an di Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Indonesia


Ditinjau dari segi Bahasa kata tafsir berasal dari isim mashdar, asal mulanya
dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang mengikuti wazan fa’ala-yufa’ilu-taf’ilan
yang mempunyai arti menjelaskan, memahamkan, menerangkan. Banyak sekali arti
yang dimiliki dari kata tafsir, juga dapat dilihat dari kebahasaan, ada al-kasyf
(menyingkap), al-ibanah (menjelaskan), al-idzhar (menampakan).3 Adapun
menurut al-Dzahabi juga menndefinisikan kata tafsir sama yaitu menjelaskan,
namun beliau menunjuk kata tafsir kepada dua hal. Pertama, mengungkap makna
yang tersembunyi secara inderawi (al-hissi). Kedua, menyingkap makna yang
tersembunyi secara rasio (ma’ani maqulah).
Menurut istilah dari sebagian ulama pada intinya adalah sama, yaitu kalam
Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dan oleh beliaulah dijelaskan
maknanya, pemahaman-pemahaman yang berkaitan dengannya, dan menghasilkan
hukum, dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Menurut al-Syirbashi memiliki
dua sisi makna tafsir dikalangan ulama, pertama, penjelasan yang tidak jelas dalam
al-Qur’an yang dapat menyampaikan makna sesuai dengan yang dikehendaki.
Kedua, merupakan bagian dari ilmu badi’ (cabang ilmu sastra arab) yang lebih
mengutamakan keindahann makna dalam menyusun kalimat..
Istilah tafsir Indonesia adalah suatu karya dari para mufasir Indonesia yang
mempunyai ciri khas sendiri dalam menjelaskan al-Qur’an, baik susunannya
maupun loghat lokal yang ada di Indonesia (missal: jawa, sunda, maupun Bahasa
Indonesia sendiri). Dalam kajian tafsir Indonesia, disamping karya-karya tafsir
yang dikarang menggunakan salah satu Bahasa daerah maupun Indonesia, kajian
tafsir Indonesia juga melihat dari sisi metode yang digunakan para mufasir yang
ada di Indonesia dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dan sejauh mana karya-
karya para mufasir Indonesia andil dan turut serta dalam perkembangan tafsir di
Indonesia.

3
Manna’ al-Qathan, Mabahis fii Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994, hlm. 345.
B. Sejarah Awal Kajian Al-Qur’an di Nusantara
Sejarah islam dari awal kemunculannya sampai sekarang, tidak lepas dari
sumber inti ajaran agama islam yaitu al qur'an. sejarah perkembangan Islam juga
ditandai dengan sejarah al-Qur’an dan penafsirannya. Kemudian al qur'an dan
penafsirannya memiliki konteks yang sederhana diindonesia yang dapat dikaji dan
diteliti melalui masuknya islam di indonesia yang dibawah oleh saudagar arab. Al-
Qur’an dikaji saat Islam disebarkan oleh para penjuru dakwah, seiring dengan
perkembangan Islam di Indonesia seiring itu pula dikembangkan pengajian-
pengajian al-Qur’an dalam bentuk - bentuk kegiatan yang berkaitan dengan ajaran
Islam.
Terkait masuknya Islam di Nusantara, para peneliti mengungkapkan adanya
dua teori. Pertama, Teori Timur, yaitu Islam masuk di Indonesia pada abad VII M.
atau I H., melalui jalur perdagangan oleh orang Arab yang bermazhab Syafi’i di
daerah pesisir (coast) pantai utara Sumatera (Malaka). Kedua, Teori Barat yang
bersumber dari perjalanan Marcopolo (1292). Berdasarkan teori barat, ketika Islam
masuk pertama kali di Aceh pada tahun 1290 M, pada saat itu pengajaran Islam
mulai lahir dan tumbuh, dan kemudian banyak ulama yang memdirikan surau,
seperti Teungku Cot Mamplam, Teungku di Geureudog, dan lainnya. Pada abad-17
M, pada zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan Aceh, surau-surau di Aceh
mengalami kemajuan.
Dalam sejarah nusantara, Pengajaran al-Qur’an yang disampaikan oleh guru-
guru ngaji kepada kaum muslimin kala itu lebih kepada pengajaran anak-anak
sekitar umur 6 sampai 10 tahun yang belum mencapai usia dewasa. Pengajian al-
Qur’an ini diberikan secara individual di rumah guru, langgar atu guru surau.
Ataupun ada pengajaran khusus untuk orang-orang yang memiliki kedudukan
penting.
Pengajaran al-Qur’an (ngaji Qur’an) ini pada umumnya dilakukan oleh seorang
guru laki-laki, namun ada juga para perempuan yang bisa mengaji menjadi guru
ngaji anak-anak di masyarakatnya. Sedangkan, pembelajaran al-Qur’an pada usia
baligh bisa dilakukan secara bersama-sama atau individual di tempat-tempat ibadah
di atas. Tujuan diajarkannya al-Qur’an oleh generasi dahulu sampai sekarang di
nusantara dengan tujuan agar agamanya lebih cepat bisa membaca al qur'an, dan
tentang penanaman tauhid.
C. Embrio Penulisan Tafsir Al-Qur’an di Nusantara
Pengajaran Al-Qur’an di Nusantara beriringan dengan masuknya Islam ke
tanah ini yang bermula di wilayah Sumatra, terutama Aceh. Merujuk pada naskah-
naskah yang ditulis ulama Aceh, terlihat bahwa pada abad ke-16 telah muncul
upaya penafsiran Al-Qur’an. Pertama, naskah tafsir surat al-Kahfi ayat 9 yang tidak
diketahui penulisnya dan diduga ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) dengan Syamsuddin as-Sumatrani menjadi mufti
kesultanan. Kedua, pada masa sebelumnya yaitu Sultan Alauddin Ri’ayat Syah
Sayyid al-Mukammil (1537-1604) dengan Hamzah Fansuri sebagai mufti
kesultanannya. Ketiga, satu abad kemudian muncul karya tafsir lengkap 30 juz
berjudul “Tarjuman al-Mustafid” karya Abdur Rauf al-Singkili (1615-1693).
Sebagai magnum opus, tafsir ini telah di terbitkan bukan hanya di Indonesia, namun
juga sampai di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Mathba’ah al-‘Usmaniyyah,
1302/1884 dan 1324/1906), Kairo (Sulaiman al-Maragi) dan Mekah (Al-
‘Amiriyyah).
Kaum sufi juga berjasa dalam pengajaran Al-Qur’an. Ketika mengajarkan
ajaran sufisme, tak jarang mereka mengajarkan Al-Qur’an. Misalnya, tokoh sufi
Nusantara seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani sering mengutip
ayat-ayat Al-Qur’an yang dipahami dalam konteks mistik. Sebagian riwayat
menyebutkan bahwa pada masa kedua tokoh sufi tersebut telah dihasilkan tafsir
kecil sederhana terhadap surat al-Kahfi yang diperkirakan mengikuti tradisi Tafsir
al-Khazin.
Sedangkan di daerah Jawa yang penyebaran Islamnya dilakukan oleh
Walisongo juga tak lepas dari pengajaran Al-Qur’an. Dumilai dari Raden Rahmat
(Sunan Ampel) yang mengajarkan Al-Qur’an di pesantrennya di daerah Ampel
Denta. Seperti di Sumatra, pengajaran di Jawa juga diadakan di surau, langgar,
mushalla, masjid dan rumah guru ngaji. Sejak islamisasi oleh Walisongo dan
berdirinya Kerajaan Demak, sekitar tahun 1500, pengajaran Al-Qur’an semakin
semarak, meskipun masih sederhana. Pada masa Kesultanan Mataram Islam, dalam
beberapa suluk seperti Suluk Sunan Bonang, Suluk Kalijaga, dan Suluk Syaikh Siti
Jenar terlihat bahwa teks-teks Al-Qur’an menjadi rujukan penting dalam
membangun suatu konsepsi keagamaan.
Pada abad-abad berikutnya di tanah Jawa, pengajaran Al-Qur’an semakin
semarak. Pada tahun 1847, pengajaran Al-Qur’an pada masa itu berlangsung di
tempat yang biasa disebut dengan istilah nggon ngaji (tempat belajar mengajar Al-
Qur’an). Di nggon ngaji ini memang jenjangnya tidak sama. Jenjang paling dasar
diberikan kepada anak usia 5 tahunan. Pada jenjang ini, anak di tugasi hafalan surat-
surat pendek. Pada usia 7 atau 8 tahun, mulai diperkenalkan cara membaca huruf
Arab sampai mampu menghafal Al-Qur’an.
Kesimpulan secara sederhananya, bahwa kajian Al-Qur’an dan penafsirannya
di Indonesia dirintis oleh Abdul Rauf Singkel yang menerjemahkan Al-Qur’an
(Tarjuman Al-Qur’an) dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad 17. Kemudian
dilanjutkan oleh Munawar Chalil (Tafsir Al-Qur’an hidayah Ar-Rahman),
A.Hassan Bandung (Al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Qur’an Indonesia,
1935), Hamka (Tafsir Al-Azhar, 1973), Zainuddin Hamidi (Tafsir Al-Qur’an,
1959), Halim Hasan (Tafsir Al-Qur’an al-Karim, 1955), Iskandar Idris (Hibarna),
dan Kasim Bakry (Tafsir al-Qur’an al-Hakim, 1960). Selanjutnya juga berkembang
tafsir dalam bahasa lokal atau daerah seperti Ulama’ Islam Yogyakarta (Qur’an
Kejawen dan Qur’an Sundawiyah), Bisri Musthafa (al-Ibriz, 1960), KH. R.
Muhammad Adnan (Al-Qur’an Suci Bahasa Jawi, 1969) dan Bakri Syahid (al-
Huda, 1972). Pada tahun 1310 H, Kyai Mohammad Saleh Darat menulis sebuah
tafsir dalam bahasa Jawa huruf Arab (pegon).
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Istilah tafsir Indonesia merupakan bentuk idhafah dan gabungan dari tafsir dan
Indonesia. Abror menjelaskan bahwa tafsir Indonesia adalah kitab-kitab tafsir atau
karya-karya di bidang tafsir yang mempunyai karakteristik atau kekhasan lokal
Indonesia. Kajian tafsir Indonesia disini adalah karya-karya tafsir yang ditulis oleh
orang atau yang dikarang dengan menggunakan salah satu bahasa daerah atau
bahasa Indonesia, rentang waktu sebelum abad 20 dan sesudahnya dengan melihat
sejarah kemunculan dan perkembangannya.
Kajian Al-Qur’an dan penafsirannya di Indonesia dirintis oleh Abdur Rauf
Singkel yang menerjemahkan Al-Qur’an dengan kitabnya yang berjudul Tarjuman
al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad ke-17. Apa yang
dilakukan Abdur Rauf Singel ini dikemudian hari dilanjutkan oleh Munawar Chalil
dengan kitabnya Tafsir Al-Qur’an Hidayah Ar-Rahman, A.Hasan Bandung dengan
kitabnya Al-Furqan, Mahmud Yunus dengan kitabnya Tafsir Qur’an Indonesia,
Hamka dengan kitabnya Tafsir al-Azhar, Bisri Musthafa dengan kitabnya Al-Ibriz.
Tafsir Al-Qur’an era terakhir adalah Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab.
B. Saran
Demikianlah makalah ini penulis sususn, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Penulis mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan, kata dan kalimat yang kurang jelas, kurang dimengerti dan lugas. Dan
penulis juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qathan, Manna’. 1994. Mabahis fii Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah
Gusmian, Islah.2013. Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga
Ideologi. Yogyakarta: LKiS
Kamalia, Wilda. 2017. “Kiteratur Tafsir Indonesia (Analisis Metodologi dan Corak
Tafsir Juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj Karya M. Yunan Yusuf)”. Skripsi
UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. tdb.

Anda mungkin juga menyukai