"Alam tara”; apakah kamu tidak melihat? Pertanyaan yang diajukan Allah ini
tidaklah dimaksudkan untuk bertanya, melainkan untuk mengundang pengakuan orang
yang diajak bicara tentang apa yang ditanyakan. Sedangkan kata tara (kamu melihat),
dalam bahasa Arab, kata ini digunakan untuk arti me-lihat dengan mata kepala. Hal ini
maksudnya, sekalipun peris-tiwa penghancuran pasukan gajah tersebut tidak disaksikan
oleh Nabi SAW (karena memang baru lahir), akan tetapi karena jelasnya peristiwa
penghancuran pasukan gajah tersebut di kalangan orang-orang Arab pada waktu itu,
sehingga saking jelasnya menjadi seakan-akan terlihat oleh mata kepala.
"Fa'ala", kata ini biasa diartikan dengan 'melakukan'. Fa'ala bila pelakunya
manusia, maka ada kesan bahwa per-buatan tersebut bersifat negatif. Sedangkan fa'ala
jika pela-kunya Allah, maka kata tersebut mengandung kesan adanya siksaan. Atas
dasar ini, maka fa 'ala pada ayat di atas karena pelakunya adalah Allah, maka ia berarti
siksa Allah.
Di samping itu, kata fa'ala yang pelakunya Allah di atas, juga menegaskan
bahwa kehancuran tentara gajah itu terjadi karena semata-mata perbuatan Allah, tidak
ada keterlibatan se-dikit pun dari berhala-berhala yang disembah oleh orang-orang
musyrik yang pada waktu itu dipajang di sekeliling Ka'bah.
"Al-fiir, kata ini artinya 'seekor gajah'. Dalam hal ini, karena artinya seekor, ada
ulama yang memahaminya Abrahah bersama pasukannya hanya membawa seekor
gajah, namun demikian ada juga ulama yang memahaminya banyak gajah, karena kata
"fiil" dirangkaikan dengan "al" (al-fiil).
"Kaidu" (tipu daya), kata ini secara umum mengan-dung arti adanya satu upaya
yang tersembunyi untuk mencapai tujuan tertentu. Upaya dimaksud biasanya bersifat
negatif. Tipu daya yang diamksud bermula dari upaya Abrahah untuk mengalihkan
manusia dari Baitullah di Makkah yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah ke
gereja yang dibangunnya untuk mendapat kedudukan duniawi di mata Negus serta
upaya mereka meruntuhkan Ka'bah. Dengan itu semua, maka akan tercapailah maksud
tersembunyi mereka yaitu kepentingan politik (penguasaan terhadap kota Makkah,
karena Makkah adalah pusat berkumpulnya para pedagang dan seniman serta kafilah
dari Selatan, Utara, Timur, dan Barat). Adapun "tadhlil” kata ini antara lain berarti
'binasa' atau 'terkubur'.
Dengan ini, maka terjemahan bebas ayat kedua adalah: Bukankah Dia (Allah)
telah menjadikan tipu daya mereka dalam wadah kesia-siaan, sehingga tidak ada satu
pun tipu daya mereka berhasil.
Dan Dia (Allah) mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang
melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia
menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (3,4.5).
Dari ketiga ayat di atas, kiranya ada beberapa kata kunci yang perlu
diperhatikan, yaitu; "thairan", kata ini terambil dari kata thaara yang pada dasarnya
berarti 'segala sesuatu yang memiliki sayap’ namun secara umum diartikan dengan
burung. Sedangkan "tarmiihim", kata ini diterjemahkan dengan 'dia (burung tersebut)
melempari mereka', Adapun kata "hijaratan", kata ini merupakan bentuk jamak dari
hijaarah yang artinya 'batu'. Selanjutnya, "sijjiil", kata ini menurut satu pendapat
terambil dari kata sajjala yang berarti 'mencatat' atau 'menulis'. Dengan ini kata sijjil
dipahami dengan batu-batu yang dilem-parkan burung itu (sudah) tercatat (di atasnya)
nama-nama korban yang ditujunya. Akan tetapi, ada juga ulama yang mengartikannya
dengan batu bercampur (dari) tanah yang terbakar.
Dua kata kunci berikutnya adalah kata "asf" dan "ma'kul”. Kata 'asf 'oleh
ulama diartikan dengan 'daun’ sementara kata ma'kul diartikan dengan 'yang dimakan'.
Huruf fa' yang berarti 'maka’ ini menunjukkan sing-katnya waktu kejadian,
berbeda kalau misalnya huruf tersebut bukan fa' tapi tsumma (kemudian). Ini berarti
kerusakan tubuh Abrahah dan pasukannya menjadi bagaikan daun-daun yang dimakan
ulat itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat setelah terjadi pelemparan batu-batu
sijjil oleh burung ababil.
Dari kedua pendapat di atas, tidak mudah untuk memi-lih salah satunya, karena
masing-masing orang mempunyai kecenderungan-kecenderungan sendiri-sendiri. Bagi
orang yang cenderung merasionalkan segala sesuatu, tentunya pendapat kelompok
rasional lah yang dipilih, sementara bagi orang yang melihat adanya sesuatu yang supra
rasional, pastilah ia akan me-milih pendapat yang kedua, karena tidak ada yang mustahil
bagi Allah, apabila Ia menghendaki sesuatu jadi maka jadilah sesuatu itu. Namun,
terlepas dari pendapat mana yang kita pilih, satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa
surat al-Fiil ini mengingatkan umat manusia tentang betapa besarnya ke-kuasaan Allah,
sehingga segala kekuatan yang lain tunduk di bawah kekuasaan-Nya. Wallahu a'lam
Bish Shawwab!
<<<<<@>>>>>