Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH PENELITIAN TAFSIR DI INDONESIA

Karakteristik dan corak pemikiran tafsir di indonesia

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H Fauzul Iman,M.A

Di susun oleh :
Alif Arsyadani Waliya : 191320036
Uum Umdah : 191320025
Masda : 191320004

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDIN


DAN ADAB UIN SMH BANTEN
TAHUN AJARAN 2020-2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Tafsir merupakan ilmu syari‟at yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia
merupakan ilmu yang paling mulia obejk pembahasannya dan tujuannya, serta sangat
dibutuhkan bagi umat Islam dalam mengetahui makna dari Al-Qur‟an sepanjang
zaman. Tanpa tafsir seorang muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga
dari ajaran Ilahi yang kandung dalam Al-Qur‟an.
Tafsir adalah salah satu upaya dalam memahami, menerangkan maksud,
mengetahui kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an. Upaya ini telah dilakukan sejak masa
Rasulullah SAW, sebagai utusan-Nya yang ditugaskan agar menyampaikan ayatayat
tersebut sekaligus menandainya sebagai mufassir awwal (penafsir pertama).
Sepeninggalan nabi hingga saat ini, tafsir telah mengalami banyak perkembangan
yang sangat bervariatif dengan tidak melepas kategori masanya. Dan tak lepas
keanekaragaman secara metode (manhaj thariqah), corak (laun’) maupun pendekatan-
pendekatan (alwan) yang digunakan merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam
sebuah karya tafsir hasil manusia yang tak pernah sempurna.
Wacana tentang Islam Nusantara banyak menuai banyak perdebatan
intelektual muslim. Wacan islam nusantara bisa saja diperselisihkan, Islam sebagai
substansi ajaran yang turun diMekkah lalu tersebar ke Madinah ke daeerah-daerah
lain, seperti Yaman, Mesir, India, pakistan sampai ke Indonesia. Islam yang menyebar
kemudian bertemu budaya setempat. Pada mulanya, Islam di Mekkah bertemu dengan
budaya Mekkah . akulturasi antara budaya dan agama kemudian oleh Islam dibagi
menjadi tiga. Pertama¸ adakalanya Islam menolak budaya setempat, kedua, Islam
merevisi budaya yang telah ada, ketiga, Islam hadir untuk menyetujui budaya yang
telah ada tanpa menolak dan tanpa merevisinya.
Islam Nusantara sesungguhnya penyerdehanaan dari tipologi Islam Indonesia
hasil perpaduan Islam dengan kebudayaan. Seyogyanya ini bukan hanya konsep
geografis, lebih jauh dari itu bahwasanya Nusantara adalah encounter culture (pusat
pertemuan budaya) dari seluruh. Mulai dari bahasa Arab, India, Persia, dan termasuk
dari budaya barat. Yang melahirkan budaya dan tata nilai yang jelas. Oleh karena itu
bukan bukan sebuah konsep georafis melain sebuah konsep filosofis dan menjadi
perspektif atau wawasan sebuah pola pikir, tata nilai dan cara pandang dalam
menghadapi budaya yang akan datang. Melihat dari berbagai pertemuan antara ajaran
Islam dan budaya Nusantara pada tiap-tiap bangsa dan negara banyak mempengaruhi
para mufasir dalammenafsikan Al-Qur‟an serta ilmu-ilmu lainnya. Hingga penulis
mengambil celah dalam penelitian pada bidang yang dipengaruhi nuansa lokal daerah
setempat. Objek yang diambil merupakan salah satu tafsir nusantara Indonesia
tepatnya Bangilan, Tuban Jawa timur yaitu tafsir al-Iklil fi Ma’ani at-Tanzil karya
K.H. Misbah Zainal Musthafa.
B. Rumusan masalah.

a. Jelaskan pengertian tafsir dan karakteristik pemikiran tafsir di Indonesia


b. Apakah metode tafsir yang di gunakan di Indonesia
c. Bagaimana corak pemikiran tafsir di Indonesia

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian tafsir dan karakeristik tafsir di Indonesia


b. Untuk mengetahui metode-metode tafsir apa saja yang digunakan di Indonesia
c. Dan untuk mengetahui macam-macam corak tafsir di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Tafsir dan Karakteristik pemikiran tafsir di Indonesia


a. Pengertian Tafsir
Tafsir secara etimologi (bahasa), kata “tafsīr” diambil dari kata “fassara –yufassiru -
tafsīrān” yang berarti keterangan atau uraian. Sedangkan Tafsir menurut terminologi (istilah),
sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna‟ al-Qaṭān ialah ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuk,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang
dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang melengkapinya.1
Sedangkan menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy tafsir adalah:

‫علم يبحث فيه عه القرأن الكريم مه حيث داللته علي المراد حسة الطاقح الثشريح‬

Artinya: “suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang keadaan-keadaan al-Qur‟an al-karim
dari segi dalalahnya kepada apa yang dikehendaki Allah, sebatas yang dapat disanggupi
manusia.”
Istilah tafsir merujuk kepada ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur‟an, salah satu di antaranya
adalah di dalam ayat 33 dari surat al-Furqān:

‫ِج ْئ َن اكَ ِب ْال َح ِّق َو أَحْ َس َن َت ْف سِ يرً ا‬ ‫َل إِ اَّل‬ َ ‫َي أْ ُت ون‬
ٍ ‫َك ِب َم ث‬ ‫َو اَل‬
Artinya: ”Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.
Pengertian inilah yang dimaksud di dalam Lisan al-Arab dengan “kasyf al-mugaṭṭa”
(membuka sesuatu yang tertutup), dan tafsir ialah membuka dan menjelaskan maksud yang
sukar dari suatu lafal. Pengertian ini yang dimaksudkan oleh para ulama tafsir dengan “al-
īḍāḥ wa al-tabyīn” (menjelaskan dan menerangkan). Dari sini dapat disimpulkan bahwa tafsir
adalah menjelaskan dan menerangkan tentang keadaan al-Qur‟an dari berbagai kandungan
yang dimilikinya kepada apa yang dikehendaki oleh Allah sesuai kemampuan penafsir.

b. Karakteristik pemikiran tafsir di Indonesia


1. Pada masa Peripde Klasik (abad VII-XV M)
Yang dimaksud dengan periode klasik ialah sejak permulaan Islam sampai ke Indonesia
(yang menurut seminar di Medan 1963) sekitar abad pertama dan kedua Hijriah dan
berlangsung sampai abad ke-10 H (VI-XV M). Penafsiran yang terjadi selama kurun waktu
1
Manna’al-Qaṭān, Pembahasan Ilmu al-Qur'an 2, Terj. Halimudin, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 164
lebih kurang (sembilan) abad itu disebut periode klasik karena merupakan cikal bakal bagi
perkembangan tafsir pada masa-masa sesudahnya.
 Bentuk (Karakter) Tafsir
Penafsiran pada periode ini boleh dikatakan belum menampakkan bentuk tertentu yang
mengacu pada al-masur atau ar- ra'yu karena masih bersifat umum. Hal itu disebabkan oleh
kondisi kehidupan di tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui, umat Islam Indonesia pada
waktu itu belum merupakan suatu komunitas muslim dalam arti yang sesungguhnya. Dengan
demikian, pada hakikatnya mereka belum dapat disebut "umat", tetapi lebih tepat disebut
kelompok-kelompok muslim yang baru memeluk Islam.'
Jadi, tidak salah jika periode ini dikatakan sebagai "periode Islamisasi'" bangsa Indonesia
yang bermula dari penganut (kepercayaan) animisme menjadi penganut Islam. Hal ini terlihat
pada aktivitas yang dilakukan oleh Walisongo di Jawa, seperti ketika
Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 M) diminta oleh penduduk di Gresik, Jawa
Timur agar hujan dapat turun tanpa harus mengorbankan anak gadis sebagaimana yang
mereka yakini. Sang wali pun lalu menjawab, "ilmunya hanya dalam agama Islam. Oleh
karena itu, jika kalian tak mau kekeringan lagi, masuklah ke dalam Islam, tinggalkan agama
(kepercayaan) kalian yang lama." Mereka pun menyatakan diri masuk Islam.
Dalam kondisi yang demikian, jelas tidak mungkin memberikan tafsir Al-Qur'an dalam
bentuk tertentu, seperti al-ma šur atau ar- ra'yu karena mereka pada umumnya masih mualaf.
Oleh karena itu, jika diamati secara saksama bentuk tafsir Al-Qur'an pada masa ini lebih tepat
disebut sebagai "embrio" tafsir Al-Qur'an. Artinya, ia merupakan bibit tafsir yang akan
tumbuh dan berkembang kemudian. Itulah sebabnya ia tidak dapat dikatakan mengacu pada
salah satu dari dua bentuk tafsir yang ada, yaitu al-ma šur dan ar ra'yu. Jika tetap dirasa perlu
memberikan istilah terhadap tafsir yang diberikan oleh para ulama pada periode ini, agaknya
dapat dikatakan bahwa tafsir pada masa ini berbentuk embriotik integral (integrated embriotic
form). Artinya, tafsir Al-Qur'an diberikan secara integral bersamaan dengan bidang lain,
seperti fiqih, teologi, dan tasawuf. Semua itu disajikan secara praktis (dalam bentuk amaliah
nyata sehari-hari), tidak dalam kajian teoretis konseptual.

2. Pada Masa Periode Tengah (abad XVI-XVIlI M)


Berbeda dari periode klasik, periode ini tidak lagi mengandalkan ingatan dalam
menafsirkan Al-Qur'an, tetapi sudah mulai berkenalan dengan kitab-kitab tafsir yang dibawa
atau didatangkan dari TimurTengah, seperti Kitab Tafsir al-Jalalain. Kitab-kitab tafsir yang
dibawa atau didatangkan tersebut oleh para guru dibacakan kepada murid-murid mereka, lalu
diterjemahkan ke dalam bahasa murid (Melayu, Jawa, dan sebagainya) sebagaimana akan
dibahas nanti. Pola penafsiran serupa ini berlangsung lebih kurang tiga abad (XVI-XVIIM).
 Bentuk (karakter) tafsir
Tafsir Al-Qur' an pada masa ini lebih berkembang dan lebih dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah karena tidak didasarkan pada kekuatan ingatan semata sebagaimana
pada periode klasik, dan sudah mempunyai buku pegangan yang representatif dari ahli tafsir
yang kompeten dan profesional.
Berpijak pada kenyataan itu, tidak salah jika disimpulkan bahwa tafsir Al-Qur'an di
Indonesia baru dimulai secara faktual pada periode tengah ini, sementara pada periode
sebelumnya belum dapat disebut permulaan upaya tafsir Al-Qur'an karena pada periode itu
cara menafsirkan Al-Qur'an masih bercampur aduk secara integral dengan ilmu-ilmu yang
lain, seperti fiqih, teologi, dan tasawuf.2

B. Metode Tafsir yang digunakan di Indoesia

Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam
bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan manhaj
dan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang
ditentukan. Definisi ini menggambarkan bahwa metode tafsir al-Qur‟an tersebut berisi
seperangkat tatanan dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan al-Qur’an. Dalam
perkembangan metodologi selanjutnya, Ulama‟-ulama‟ mengklasifikasikan metode-metode
penafsiran al-Qur‟an menjadi empat:
 Metode Taḥlīliīy
Metode tafsir Taḥlīliīy juga disebut metode analisis yaitu metode penafsiran yang
berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya, berdasarkan urutan
ayat dan surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani dengan menonjolkan pengertian dan
kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-
hadits Nabi Saw., yang ada kaitannya denga ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat
para sahabat dan ulama-ulama lainnya.3 Dalam melakukan penafsiran, mufassir (penafsir)
memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang
ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat4

 Metode Ijmālī
Metode Ijmālī dalah menafsirkan al-Qur‟an dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-
Qur‟an dengan singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau
penjelasan yang panjang lebar, dan kadang menjelaskan kosa katanya saja. Menurut Asy-
Syibarsyi, sebagaimana yang telah dikutip oleh Badri Khaeruman, mendefinisikan bahwa
metode tafsir ijmali adalah sebagai caramenafsirkan al-Qur‟an dengan mengetengahkan
beberapa persoalan, maksud dan tujuan yang menjadi kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.
Dengan metode ini mufassir tetap menempuh jalan sebagaimana metode Taḥlīliīy, yaitu
terikat kepada susunan-susunan yang ada di dalam muṣḥaf Ustmani. Hanya saja dalam
metode ini mufassir mengambil beberapa maksud dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara
global.

2
Nasruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo : PT Tiga Serangkai ) hlm.31-39
3
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 94
4
Azyumardi Azra, Sejarah & Ulum al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), hlm. 173
 Metode Muqāran
Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang yang mebahas
suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antar ayat dengan
hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama‟ tafsir
dengan menonojolkan segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
1. Macam-macam Metode Muqāran
Dari pemaparan di atas, metode muqāran ini menjadi tiga bagian yaitu:
a. Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain. Yaitu ayat-ayat yang memiliki
persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda, atau
ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga)
sama. Pertentangan makna di antara ayat-ayat al-Qur‟an dibahas dalam ilm al-
nasikh wa al-mansukh.
b. Perbandingan ayat al-Qur‟an dengan Hadits. Dalam melakukan perbandingan ayat
al-Qur‟an dengan hadits yang terkesan berbeda atau bertentangan ini, langkah
pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadits yang akan
diperbandingkan dengan ayat al-Qur‟an. Hadits itu haruslah shahih
c. Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain. Mufassir
membandingkan penafsiran ulama‟ tafsir, baik ulama‟ salaf maupun khalaf,
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, baik yang bersifat manqūl (pengutipan)
maupun yang bersifat ra‟yu (pemikiran).

 Metode Mauḍū’i
Metode mauḍū‟i ialah metode yang membahas ayat-ayat al- Qur‟an sesuai dengan tema
atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji
secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-
nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung
oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik
argumen yang berasal dari al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.5

C. Corak Pemikiran Tafsir di Indonesia


Dalam kamus Indonesia Arab, kosakata corak diartikan dengan ‫ون‬ss‫( ل‬warna) dan ‫كل‬ss‫ش‬
(bentuk). Menurut Nashruddin Baidan corak tafsir adalah suatu warna, arah, atau
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir.52 Dari
sini disimpulkan bahwa corak tafsir adalah ragam, jenis dan kekhasan suatu tafsir. Dalam
pengertian yang lebih luas adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran
dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika menjelaskan
maksud-maksud dari al-Qur‟an.

5
Al-Farmawy, Metode Tafsir Mauḍu‟ī: Suatu Pengantar, Terj. Sufyan A. Jamrah (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996), hlm.52
Pada abad pertengahan, berbagai corak ideologi penafsiran mulai muncul, yakni pada
masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti ‘Abbasiyah. Momentum ini menemukan masa
emasnya terutama pada masa pemerintahan khalifah kelima dinasti ‘Abbasiyah, yaitu Harun
al-Rashid (785-809 M). Sang khalifah memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh khalifah berikutnya yaitu al-
Makmun (813-830 M). Dunia Islam pada saat itu bisa jadi merupakan puncak kemajuan
dalam peta pemikiran dan pendidikan serta peradaban, masa ini dikenal dengan zaman
keemasan (the golden age).
Di sisi lain, ilmu yang berkembang di tubuh umat Islam selama periode abad pertengahan
yang bersentuhan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf,
ilmu bahasa, sastra dan filsafat. Karena banyaknya orang yang berminat besar dalam studi
setiap disiplin ilmu itu yang menggunakan basis pengetahuanya sebagai kerangka dalam
memahami al-Qur’an, serta mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an,
maka muncullah kemudian tafsir fiqhi, tafsir i’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan
lain-lain. Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran
dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufasir, ketika ia
menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau
ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir. Kata kuncinya adalah terletak pada dominan
atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian
muncul ke permukaan pada periode abad pertengahan.6
Para ulama tafsir mengklasifikasikan beberapa corak penafsiran al-Qur‟an
antara lain adalah:
 Corak Sufi
Penafsiran yangk dilakukan oleh para sufi pada umumnya diungkapkan dengan bahasa
misktik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali orang-orang sufi dan
yang melatih diri untuk menghayati ajaran
taṣawuf. Corak ini ada dua macam
1) Taṣawuf Teoritis
Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur‟an berdasarkan teori-teori mazhab
dan sesuai dengan ajaran-ajaran orang-orang sufi. Penafsir berusaha maksimal untuk
menemukan ayat-ayat al-Qur‟an tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori, sehingga
tampak berlebihan dan keluar dari dhahir yang dimaksudkan syara‟ dan didukung oleh kajian
bahasa. Penafsiran demikian ditolak dan sangat sedikit jumlahnya. Karya-karya corak ini
terdapat pada ayat-ayat al-Qur‟an secara acak yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi dalam
kitab al-futuhat makkiyah dan al-Fushuh.
2) Taṣawuf Praktis
Menurut Quraish Shihab, corak ini muncul akibat munculnya gerakangerakan sufi
sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi
terhadap kelemahan yang dirasakan. Disamping karena dua faktor yang dikemukakan oleh
Qurais Shihab di atas, faktor lain adalah karena berkembangnya era penerjemahan karya-
6
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 61.
karya filsafat Yunani di dunia Islam, maka muncul pula tafsir-tafsir sufi falsafi.Secara
leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang
dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh
karena itu, istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangka’ijtima’i bermakna
banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan/sosial. Jadi
secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sosial-
kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.Yang dimaksud dengan
taṣawuf praktis adalah tasawuf yang mempraktekan gaya hidup sengsara, zuhud dan
meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka
dengan al-Tafsir al-Isyari yaitu menta‟wilkan ayat-ayat, berbeda dengan arti dhahir-nya
berdasar isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk,
namun tetap dapat dikompromikan dengan arti dhahir yang dimaksudkan.Di antara kitab
tafsir tasawuf praktis ini adalah Tafsīr al-Qur‟anul Karīm oleh Tusturi dan Haqāiq al-Tafsīr
oleh al-Sulami.7
 Corak Falsafi
Tafsir falsafi adalah cara penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an denganmenggunakan teori-teori
filsafat. Penafsiran ini berupaya mengompromikan atau mencari titik temu antara filsafat dan
agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan di antara keduanya. Di antara
ulama yang gigih menolak para filosof adalah Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali
yang mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka. Tokoh
yang juga menolask filsafat adalah Imam Fakhr Ad-Din Ar-Razi, yang menulis sebuah kitab
tafsir untuk menolak paham mereka kemudian diberi judul Mafātiḥ al-Gaib. Kedua,
kelompok yang menerima filsafat bahkan mengaguminya. Menurut mereka, selama filsafat
tidak bertentangan dengan agama Islam, maka tidak ada larangan untuk menerimanya.
 Corak Fiqih atau Hukum
Akibat perkembangannya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap
golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran
mereka terhadap ayat-ayat hukum. Salah satu kitab tafsir fiqhi adalah kitab Ahkām al-Qur’an
karangan al-Jasshash. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan
pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam
mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra
budaya. Sedangkan kata al-Ijtima’i bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa
diterjemahkan kemasyarakatan/sosial. Jadi secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima>’i
adalah tafsir yang berorientasi pada sosial- kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir
sosio-kultural.8
 Corak Sastra
Corak Tafsir Sastra adalah tafsir yang didalamnya menggunakan kaidah-kaidah linguistik.
Corak ini timbul akibat timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk Agama
Islam serta akibat kelemahan orang Arab sendiri dibidang sastra yang membutuhkan

7
Muhammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Jogja:
Menara Kudus, 2004), hlm. 115- 116
8
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Ciputat: PT. Ciputat Press,
2005), hlm. 71
penjelasan terhadap artikandungan Al-Qur‟an dibidang ini. Corak tafsir ini pada masa klasik
diwakili oleh Zamakhsyari dengan Tafsirnya al-Kasyāf.
 Corak Ilmiy
Tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu
pengetahuan umum dari temuan-temuan ilmiah yang didasarkan pada al-Qur‟an. Banyak
pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur‟an memuat seluruh ilmu pengetahuan secara
global. Salah satu contoh kitab tafsir yang bercorak Ilmiy adalah kitab Tafsīr al-Jawāhir,
karya Tanṭawi Jauhari.
 Corak al-Adāb al-Ijtimā‟i
Tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Dari segi sumber penafsirannya tafsir becorak al-Adāb al-ijtimā‟i ini termasuk Tafsīr bi al-
Ra‟yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengategorikannya sebagai tafsir campuran,
karena presentase atsar dan akat sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang. Salah satu
contoh tafsir yang bercorak demikian ini adalah Tafsīr al-Manar, buah pikiran Syeikh
Muhammad Abduh yang dibukukan oleh Muhammad Rasyid Ridha.
Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi
seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya
seninya. Oleh karena itu, istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata
al-Ijtima’i bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan/sosial. Jadi secara etimologis tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah tafsir yang
berorientasi pada sosial- kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.9

KESIMPULAN
Penafsiran pada periode ini boleh dikatakan belum menampakkan bentuk tertentu yang
mengacu pada al-masur atau ar- ra'yu karena masih bersifat umum. Hal itu disebabkan oleh

9
. M. Karman Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), 316-317.
kondisi kehidupan di tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui, umat Islam Indonesia pada
waktu itu belum merupakan suatu komunitas muslim dalam arti yang sesungguhnya. Dengan
demikian, pada hakikatnya mereka belum dapat disebut "umat", tetapi lebih tepat disebut
kelompok-kelompok muslim yang baru memeluk Islam.Metode penafsiran al-Qur’an
merupakan cara yang digunakan penafsir untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, antara lain
ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i. Di samping itu, juga ada ragam corak kecenderungan
dalam penafsiran alQur’an, seperti corak lughawi, sufi, fikih, filsafat, sosial dan lain-lain.
Menurut Abdullah Saeed, secara alamiah, banyak hal yang tumpang tindih dalam pemetaan
di atas, yang kemudian memunculkan pertanyaan mana yang lebih dominan dalam satu karya
tafsir al-Qur’an. Menurutnya, pemetaan ini disuguhkan hanya untuk kepentingan analisis
saja.Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi
seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya
seninya. Oleh karena itu, istilah al-adabi bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata
al-Ijtima’i bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan/sosial

DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawy, Metode Tafsir Mauḍu‟ī: Suatu Pengantar, Terj. Sufyan A. Jamrah (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996)
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008)
Azyumardi Azra, Sejarah & Ulum al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013)
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Manna’al-Qaṭān, Pembahasan Ilmu al-Qur'an 2, Terj. Halimudin, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1995)
M. Karman Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002)

Muhammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains
Modern, (Jogja: Menara Kudus, 2004)
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Ciputat:
PT. Ciputat Press, 2005)
Nasruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo : PT Tiga
Serangkai ) hlm.31-39

Anda mungkin juga menyukai