Anda di halaman 1dari 9

Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Periode Modern Abad XX M

(Tahun 2000-an sampai hingga sekarang)


Disusun oleh :
Asnaina Nur Afifah, Muntofingah, Fransiska, M. Faiz Abdullah.
A. Pendahuluan
Kajian tafsir Al-Qur’an memiliki proses yang amat panjang, di Indonesia pun
bermula dari kajian tafsir di Indonesia belum terlalu berkembang pada masa sebelum
abad 20 hingga berlanjut pada abad selanjutnya, yakni pada abad 20 perkembangan
kajian tafsir Indonesia telah berkembang cukup pesat di Indonesia. Tuntutan agar Al-
Qur’an selalu berperan dan berfungsi dengan baik sebagai pedoman dan petunjuk hidup
untuk umat manusia, terutama di zaman kontemporer ini tidak akan pernah berhenti,
dengan seperti itu al-Qur’an benar adanya shalih li kulli zaman wa makan.1
Perkembangan tafsir di Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam
kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Pemeliharaan
terhadap Al-Qur’an dan menjadikannya menyentuh realitas kehidupan merupakan suatu
keniscayaan, salah satu bentuknya adalah dengan selalu berusaha untuk
memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer ini, yaitu dengan memberikan
penafsiran yang sesuai dengan keadaan masyarakat sekarang.2
Setelah mengalami fase penafsiran yang panjang, diakui bahwa pola penulisan
tafsir di Indoensia, dalam banyak hal, masih mengikuti pola-pola penulisan serta
gagasan-gagasan yang sudah ada. Namun, Azhari Akmal menyebutkan bahwa pendapat
tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Pasalnya, pada bagian tertentu, tafsir-tafsir yang ada
di Indonesia justru menampakkan kekhasannya sendiri. Menurutnya, sangat tidak
mungkin jika seorang mufassir menafsirkan al-Quran dengan mengabaikan dimensi-
dimensi lokal.3 Sebab, dorongan yang melatar belakangi seorang mufassir untuk
menafsirkan sebuah ayat bahkan al-Quran secara menyeluruh 30 juz adalah untuk
merespon dimensi-dimensi kehidupan pada saat itu. Artinya, nampaknya sedikit mustahil
jika tafsir al-Quran Indonesia, semata-mata mengadopsi secara penuh kitab-kitab tafsir
1
Nurdin Zuhdi, Tipologi Tafsir Al-Qur’an Mazhab Indonesia (Yogyakarta: academia , 2011).
2
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 2003) hal. 88
3
Akmal, Azhari. Reorientasi Kajian Tafsir Ahkam di Indonesia dan Peluang Pengembangannya.Jurnal
Jurisprudensi: STAIN Zawiyah. Vol. 06. 2014. Hal. 100

1
Timur Tengah. Dimensi-dimensi sosial yang sedang bergejolak dan butuh respon dari
tokoh agama yang dalam hal ini adalah mufassir tentu saja menjadi perhatian
para mufassir tersebut.
Seiring waktu kini kajian tafsir sampai pada era modern dimana problematika
yang dialami masyarkat semakin berkembang dan kompleks sehingga para mufassir lebih
mencari pembahasan ayat yang aplikatif dengan kondisi sosial masyarakat. Melalui
makalah ini akan dibahas tentang tafsir Al-Qur’an di Indonesia Periode Modern Abad
XX M (Tahun 2000-an sampai hingga sekarang).

B. Pembahasan
1. Bentuk dan Sumber Tafsir
a. Bentuk Penafsiran
Bentuk tafsir pada era modern muncul dalam sajian tasir per ayat, surat, juz 30
bahkan sampai tafsir lengkap 30 juz, bentuk seperti ini muncul dikarenakan adanya
kebutuhan masyarakat sebagai respon kondisi sosial dan kebutuhan terhadap surat-
surat atau juz tertentu dan dalam bidang ilmu tertentu saja. Melalui hal itu membuka
peluang bagi para mufassir untuk menafsirkan secara keseluruhan 30 juz.
Umumnya, karya tafsir-tafsir era modern disajikan dalam satu karya tafsir yang
biasanya ditulis oleh para mufassir secara kolektif, bahkan sampai dibuat sebuah tim
untuk penulisan tafsir namun, tetap ada yang ditulis secara individu.4

b. Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran yang ada tetap pada, sumber Riwayah disini berarti nash-nash
agama berupa hadis, qoulu shohabah, ataupun yang lainnya tetap mempertimbangkan
aspek riwayah di dalam tafsirnya yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
pada saat itu. Selanjutnya tafsir bi al-ra’yi dimana penafsiran yang dilakukan dengan
cara ijtihad, yaitu rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran.

4
M. Amin Aziz, Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan Ulumul Quran, “Karakteristik Tafsir di Indonesia Abad
Keduapuluh,” (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan Ikatan Cendikiawan Muslim se Indonesia,
1992), Volume III. No. 4, 51.

2
2. Metode Penafsiran
Di antara metode yang digunakan seperti :
1) Metode tahlili atau runtut adalah penulisan tafsir yang mengacu pada urutan surat
yang ada dalam mushaf atau mengacu pada turunnya wahyu. Kebanyakan tafsir
Indonesia menggunakan metode ini, di antaranya Quraish Shihab dengan tafsir al-
Misbah.
2) Metode Maudhu’i (Tematik) yakni, sistematika penulisan yang dilakukan dengan
menulis ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan topik yang telah ditentukan. Diantaranya
adalah Ayat-Ayat Tahlil karya Muhammad Quraish Shihab, Edham Syafi’i dengan
karya Tafsir dan Juz ‘Amma.5

3. Corak dan Karakteristik Tafsir


Pada era modern ini, penafsiran sudah mulia terfokuskan tentan kajian yang akan
dibahas. Beberapa corak tafsir pada era ini yakni;
a. Tafsir Ilmi,
Setiap muslim mempercayai bahwa al qur`an mampu mengantisipasi
pengetahuan modern. Sehingga, kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang
wajar dan passti terjadi. Karena tafsir era ini mulia ditulis secara integral
dengan disiplin ilmu tertentu. Contoh tafsir keilmuan yakni tafsir tentang air.
b. Tafsir Adabi ijtima`I
Tafsir adabbi ijtima`i muncul untuk menjawab masalah pada persoalan-
persoalan masyarakat. Contoh tentang kesetaraan gender yang dibahas oleh
Nasarudin Umar dan tafsir al-hijri karya Didin Hafidhudin.

4. Contoh Tafsir
Dalam makalah ini dibahas sedikit tentang tafsir kesetaraan gender karya Nasaruddin
Umar dan tafsir Al-Hijri Karya Didin Hafidhudin

1. Tafsir Kesetaraan Gender Karya Nasaruddin Umar


5
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideology, (Jakarta: Teraju, 2003),
hal. 86

3
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar adalah salah satu tokoh Islam Indonesia kelahiran
Ujung-Bone, Sulawesi Selatan. Banyak karya ilmiah tentang Islam yang telah
diciptakan sebagai sumbangan yang tak ternilai untuk dunia Islam Indonesia, juga
banyak penghargaan yang telah diperoleh atas kerja dan karya yang beliau ciptakan.
Salah satu karya terkenalnya dalah Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-
Qur’an.
Pada awalnya kedua kata tersebut (gender dan sex) digunakan secara rancu.
Gender adalah pembagian lelaki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Misalnya perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan
dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan sebagainya.
Sifat-sifat tersebut tidaklah kodrati, karena tidak abadi dan dapat dipertukarkan.
Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya.
Sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh
karena itu, gender dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat dapat
berubah. Dengan kata lain, gender membicarakan laki-laki dan perempuan dari sudut
pandangnon biologis tentang bagaimana seharusnya laki-laki atau perempuan
berperilaku maupun bersikap.
Membicarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, bukanberarti
memposisikan keduanya untuk diperlakukan secara sama. Perlakuan yang sama atara
laki-laki dan perempuandalam semua hal justruakan menimbulkan bias jender. Laki-
laki dan perempuan diciptakan memiliki peran dan fungsinya masing-masing.
Menurut Nasaruddin Umar definisi jender adalah suatu konsep yang digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya.
Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-
biologis.6
Identitas Jender laki-laki dalam Al-Qur’an merujuk pada surat an-Nisa ayat 34
menurut Nasaruddin Umar, laki-laki yang menjadi pelindung (protector,
maintainersmenurut terjemah Abdullah yusuf Ali) atau pemimpin (menurut
departemen Agama RI) ialah laki-laki yang mempunyai keutamaan. Sesuai dengan

6
Nasaruddin Umar, ArgumenKesetaraanGender; PerspektifAl-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 35

4
sebab nuzul ayat ini, keutamaan laki-laki dihubungkan dengan tanggung jawabnya
sebagai kepala rumah tangga.
Kemudian Arti Orang, Baik Laki-laki maupun Perempuan dalam surat al-Ahzab ayat
234 Nasaruddin Umar berpendapat sebagai berikut, Kedua kata rijaldalam ayat
tersebut tidak hanya menunjukkan laki-laki tetapi jenis manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. Dalam tafsir Jalalayn kata tersebut ditafsirkan dengan orang-
orang yang tetap bersama Nabi. Yaitu para sahabat Nabi (laki-laki dan perempuan)
yang tetap konsisten menyertai perjuangan Nabi, terutama di masa-masa
genting.Menurut Ibnu Katsir ayat ini turun setelah baru saja perang uhud selesai
dengan kekalahan dan pengorbanan yang diderita pasukan Muslim.
Dalam Arti Jender Perempuan menurut Nasaruddin Umar, Kata an-nisa’
menunjukkan jender perempuan. Porsi pembagian hak dalam ayat ini tidak semata-
mata ditentukan oleh realitas biologis sebagai perempuan atau laki-laki, melainkan
berkaitan erat dengan realitas jender yang ditentukan oleh realitas budaya yang
bersangkutan. Konnteks dalam arti isteri Surat Al-Baqarah ayat 222 beliau
berpendapat Dalam contoh di atas kata nisa’ berarti isteri-isteri, sebagaimana halnya
kata mar’ah sebagai mufrad dari bentuk kata nisa’, hampir seluruhnya berarti isteri.
Melalui beberapa hal diatas, munculah beberapa Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender
a.       Laki-laki dan Perempuan Sama sebagai Hamba
Salah satu penciptaan tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah
kepada Tuhan.Dalam kapasitas menusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan.Keduanya mempunyai potensi dan peluang untuk menjadi
hamba ideal.Hamba ideal dalam al Qur’an bisa diistilahkan dengan orang-orang yang
bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai itu tidak dikenal adanya perbedaan jenis
kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.Al Qur’an menegaskan bahwa
hamba yang paling ideal adalahmuttaqun.
b.      Laki-laki dan Perempuan Sama sebagai Khalifah
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah disamping
untuk menjadi hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah
SWT., juga untuk menjadi khalifah di bumi.

5
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban fungsi yang sama sebagai
khalifah, yang akan mempertanggungjawabkab tugas-tugas kekhalifahannya di bumi,
sebagai mana halnya merekan harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
c.       Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primodial
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima
perjanjian primodial dengan Tuhan. Seperti diketahuai, menjelang seorang anak
manusia keluar dari Rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian
dengan Tuhannya. Menurut Fakhr al-Razi, tidak ada seorangpun anak manusia lahir
di muka bumi yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan  ikrar merekan
disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorangpun yang mengatakan “tidak”.
Dalam Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini,
yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak
dikenal adanya diskriminasi antara jenis kelamin. Laki laki dan perempuan sama-
sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.

2. Tafsir Al-Hijri Karyaa Didin Hafidhuddin


a. Biografi Didin Hafidhuddin

Beliau adalah mantan rektor Universitas Ibnu Khaldun (UIK) periode 1987-1991.
Lahir di Bogor 21 Oktober 1951, anak ketiga dari sepuluh bersaudara dari pasangan
Ajengan Mamad Maturidy (w.1986) dan Neneng Nafsiah (w.1999). Pada tahun 1976
ia menikah dengan Nining Suningsih dan dikaruniai lima orang anak yaitu Irfan
Syauqi Beik, Hilman Hakim, Muhammad Imaduddin, Fitriah Sholihati, dan Qurroh
A’yuniah.

Dibesarkan dari keluarga yang agamis, karena kedua orang tuanya adalah tokoh
masyarakat yang memiliki pondok pesantren di daerahnya. Lingkungan pesantren
tersebut secara tidak langsung membentuk pola pikir dan kepribadiannya yang kuat
akan pemahaman keislamannya.
Jenjang pendidikan Didin Hafidhuddin diawali dari Sekolah Dasar Islam lulus
pada tahun 1963, melanjutkan ke SMP lulus pada tahun 1966, dan SMA lulus pada
tahun 1969. Setelah itu Didin Hafidhuddin kuliah di Fakultas Syariah di IAIN Syarif

6
Hidayatullah selesai pada tahun 1979. Kemudian melanjutkan ke Program
Pascasarjana IPB mengambil jurusan Penyuluhan Pembangunan. Jenjang S2 ini
hanya ditempuh setahun yakni 1986-1987. Pada tahun 1994 Didin Hafidhuddin
kuliah di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia untuk memperdalam bahasa Arab
selama dua tahun.
Wawasan keagamaan Didin Hafidhuddin sangat dipengaruhi oleh perjalanan
menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren, pesantren-pesantren tersebut diantaranya
pesantren Ad-Dakwah Cibidak, pesantren Miftahul Huda Cibatu Cisaat, pesantren
Bobojong, dan pesantren Cijambe Cigunung Sukabumi.
Jabatan yang pernah diembannya diantaranya Dekan Fakultas Agama Islam
UIKA Bogor (sejak 1994), ketua Program Magister Agama Islam pada Pascasarjana
UIKA Bogor, pimpinan Pesantren Mahasiswa dan Sarjana Ulil Albab Bogor (sejak
1987), sekretaris Majels Pimpinan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia.
Di bidang sosial kemasyarakatan perhatian utamanya ditujukan kepada
pemberdayaan ekonomi ummat, hal ini tampak dalam jabatan yang diamanahkan
kepadanya seperti anggota Dewan Syariah Dompet Dhuafa Republika, pengasuh
rubrik Konsultasi Zakat Infaq Shadaqah (ZIS) di harian Republika, anggota pleno
Forum Zakat (FOZ), ketua Dewan Syariah BPRS Amanah Ummah Leuwiliang
Bogor, anggota Dewan Pertimbangan BAZIS DKI Jakarta, anggota Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota Dewan Syariah Asuransi
Takaful Indonesia, anggota Dewan Syariah PT. Permodalan Nasional Madani (PNM)
Investment Management.

Di samping mempunyai jabatan-jabatan tersebut, Didin Hafidhuddin juga


mempunyai karya-karya yang sudah dibukukan baik hasil dari pemikirinnya sendiri
ataupun menterjemahkan kitab-kitab yang sudah ada diantaranya:

Zakat dalam Perekonomian Modern (Gema Insani Press, 2002).

Panduan Praktis tentang Zakat, Infak, dan Sedekah (Gema Insani Press, 2002).

Manajemen Syariah dalam Praktek (Gema Insani Press, 2002).

7
Islam Aplikatif (Gema Insani, 2003).

Solusi Islam atas Problematika Umat (Gema Insani Press, 2000).

Refleksi Tiga Kyai (Republika, 2004).

Tafsir Al-Hijri (Kalimah Thayyibah, 2000).

Hukum Zakat (terjemah kitab Fiqhu az-Zakat, Yusuf Qardlawi).

b. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Hijri

Buku Tafsir Al-Hijri ini bermula dari kajian yang disampaikan oleh Didin
Hafidhuddin di hadapan para jamaah masjid Al-Hijri Universitas Ibnu Khaldun Bogor, setiap
hari Ahad pagi yang berlangsung sejak tahun 1993. Melalui kajian tersebut ada tiga orang
dari para jamaah yaitu M. Lukman, M. Baga, dan M. Sjaiful Naumin yang berinisiatif untuk
mebukukan hasil kajian. Selain ada yang berinisiatif untuk membukukan hasil kajian
tersebut, ada juga yang memiliki peran besar dengan merekam dan menulis ulang setiap hasil
kajian yakni Dedi Nugraha santri Pesantren Ulil Albab.

Apabila Didin Hafidhuddin berhalangan hadir menyampaikan pengajian, dua


temannya mau menggantikannya yaitu E. Syamsuddin, staf pengajar TPAI di IPB dan
Ibdalsyah, pimpinan harian Pesantren Ulil Albab Bogor dan dosen Fakultas Agama Islam
UIKA Bogor. Bahkan ketika Didin Hafidhuddin melanjutkan studi di Madinah pada tahun
1994, kedua teman itulah yang mengisi pengajian tersebut.

c. Analisa Tafsir Al-Hijri


Seperti yang telah diketahui, bahwa latar belakang penulisan tafsir ini berawal dari
inisiatif membukukan ceramah Didin Hafidhuddin bukan berawal dari niat menulis sebuah
karya tafsir, maka cara penyampaian makna ayat dalam tafsir inipun sangat sederhana, tidak
berbelit-belit, mudah dicerna juga tidak panjang lebar menjelaskan kedudukan tiap lafadz
sesuai gramatika Arab. Bahasa yang digunaan dalam tafsir ini juga sangat sederhana, mudah
dipahami dan menjelaskan makna secara singkat dan jelas. Sehingga dari sini tafsir Al-Hijri
bisa dikategorikan ke dalam tafsir yang menggunakan metode ijmali yang berangkat dari
metode maudhu’i surat. Seperti dalam menjelaskan ayat mengenai waris pada surat an-

8
Nisa’ayat 11-14 beliau hanya menguraikan tafsirnya hanya sekitar 3 halaman saja tanpa
menjelaskan struktur kebahasaan ayat tersebut.
Jika dilihat dari sumber penafsiran tafsir Al-Hijri ini bisa dikategorikan kedalam bentuk
tafsir bi al-ra’yi, karena dalam menafsirkan Didin Hafidhuddin langsung menjelaskan
maksud ayat. Seperti dalam menjelaskan ayat 34-35 yang diberi judul Mengatasi Masalah
Rumah Tangga. Meskipun sering dijumpai beliau mengutip ayat ataupun hadis, beliau lebih
dominan menjelaskan menggunakan ra’yu beliau. Beliau juga terkadang mengutip pendapat
pemikir dan mufassir lain seperti Al-Maraghi, Jalaluddin Suyuthi & Jalaluddin Mahally, Ali
As-Shobuny, At-Thabari, Al- Qurtubi, Said Hawwa, Yusuf Qardhawi Rowaiul Bayan, dan
lain-lain.
Berdasarkan coraknya, tafsir Al-Hijri ini oleh penulis dikategorikan kedalam tafsir yang
bercorak adabi ijtima’i atau sosial kemasyarakatan. Hal ini didasarkan pada penafsiran
beliau yang cenderung kontekstual dengan permasalahan sosial keagamaan. Selain itu juga
didasarkan pada latar belakang beliau sebagai seorang pemerhati sosial. Dan aktif di
berbagai organisasi zakat yang merupakan organisasi sosial.
Dalam menafsirkan ayat beliau lebih dahulu menyebutkan nomor ayat yang akan
ditafsirkan kemudian memberi judul pembahasan kemudian menyajikan ayat yangakan
ditafsirkan kemudian menyajikan terjemah ayatnya setelah itu beliau memaparkan
penafsiran ayat tersebut. Seperti contoh beliau menyebutkan surat An-Nisa ayat 101-102,
kemudian memberi judul Shalat Sebagai Indikator Keimanan dan Sumber Kekuatan
Jama’ah, kemudian menyampaikan ayat yang dimaksud, setelah itu mencantumkan terjemah
ayat, baru setelah itu beliau menjelaskan penafsiran ayat tersebut.

C. Kesimpulan
Kajian tafsir di Indonesia telah mengalami perkembangan yang pesat. Namun,
belum semua aspek dapat dibahas. Kecenderungan penafsiran yang lebih mengarah pada
metode penafsiran tematis, maka kajian tafsir yang berkembang lebih banyak pada tafsir
tematis. Semua penafsiran ynag terjadi tidak akan pernah terlepas dari latar belakang
seorang penafsir, tafsir yang ada diharapkan dapat diterima masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai