Anda di halaman 1dari 12

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH


DALAM TAFSIR AL-MANAR
Dudung Abdullah
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Abstract
Muhammad Abduh is a revival of Quranic exegesis thinker in the Middle East,
particularly in Egypt. The development of modern Quranic exegesis leads to the
different method compared to the previous scholars. Muhammad Abduhs ideas in alManar highlight two significant approaches, they are logic and social roles.
Muhammad Abduh appeared with his works including Tafsir Al-Manar. Tafsir AlManar is one of popular tafsir books among the enthusiasts of Qur'anic studies.
The Al-Manar magazine that contains this interpretation regularly, on the 20th
century is widespread all over the Islamic world, and has a great role in the
enlightenment thought and religious counselling.
Religious teachings according to Abduh in the outline are divided into two, they
are general and detail. The detail is a collection of the statutes of God and His
Prophet that cannot be subjected to changes and developments, while in general is
the principles and norms that can transform the elaboration and the detail in
accordance with the social conditions.
Kata Kunci : Al-Manar

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

201

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

PENDAHULUAN

afsir adalah ilmu yang menjelaskan makna ayat sesuai dengan dilalah
(petunjuk) yang zhahir dalam batas kemampuan manusia.1 Tafsir ini
bertujuan agar ayat-ayat Alquran dapat dijelaskan dengan sebaik-baiknya
dan sesuai dengan kehendak Allah Swt, sebatas yang dapat ditangkap oleh
seorang mufassir.
Rasulullah Saw adalah mufassir utama dan pertama Alquran dan
merupakan sumber tafsir bi al-Matsur.2 Setelah zaman Al-Tabari tafsir sudah
bercampur dengan pendapat-pendapat pribadi para mufassir dengan
kemampuan akalnya, kemampuan ilmu pengetahuannya dan perkembangan
zaman.3 Tafsir yang disandarkan kepada pendapat akal inilah yang kemudian
disebut tafsir bi al-Rayi.
Menafsirkan Alquran secara benar merupakan pembuka tentang seruan,
Risalah dan Syariat Islam.4 Dengan menghadirkan gagasan yang dilontarkan para
pakar dalam bentuk seruan untuk kembali menelaah kitab-kitab tafsir5 adalah
salah satu indikator luapan perhatian untuk kembali ke Alquran (al-Rujuila
Alquran) dengan menggali ke hidayahannya6 berupa ilmu dan amaliahnya.
Alquran dalam tradisi pemikiran Islam telah melahirkan sederetan teks
turunan yang demikian luas dan mengagumkan dan selanjutnya teks turunan
tersebut dikenal sebagai literatur tafsir,7 yang ditulis oleh para ulama dengan
kandungan dan karakteristik masing-masing dalam berjilid-jilid kitab tafsir.
Usaha-usaha akademis yang mencoba meneliti karya-karya tafsir secara
metodologis kritis yang sangat mempertimbangkan aspek sosio historis dan

1Dewan Redaksi E.I.,

Ensiklopedi Islam, Vol. 5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2001), h. 29.

2Al-Marhalah

al-Ula, Kurun Istimewa Dimana Hidupnya Penafsiran Resmi yang Langsung


Ditangani Rasulullah Saw. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabiy, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Mesir:
Dar al-Kutub al-Hadis, 1976), h. 10. Lihat Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Al-Aqan fi Ulum AlQuran, Juz II (Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 420-422.
3Dewan

Redaksi E. Islam, op. cit., h. 30. Lihat Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 376-377.
4Badruddin Muhammad Bin Abdillah Al-Zarkasyiy, Al-Burhan fi Ulum Alquran, I (Kairo: Dar AlTurats, t.th.), h. 2.
5H.

Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir, Sebuah Rekontruksi Episitimologi, Memantapkan Keberadaan
Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1999), h. 2.
6Diperlukannya

Penyusunan Tafsir Islam murni yang sesuai dengan zaman, Lihat Nashr Abu
Zayd, Rethinking The Quran, Toward a Humanistic Hermeneutic (Amstrerdam: Humanistic Press, 2004), h. 3.
Lihat juga Zahiruddin Baidhawiy, Al-Ruju Ila Al-Quran, Dari Kekebalan Fondasionalisme Menuju Pencerahan
Hermeneutis dalam Pradara Boy, M. Hibny aiq (Ed), kembali ke Al-Quran Menafsir Makna Zaman (Malang:
UMM Press, 2004), h. 52.
7H.

Amin Abdullah, Arah Baru Metode Penelitian Tafsir dalam Islam qusmian, Khazanah Tafsir
Indonesia dari Hermeneutika hingga Idiologi (Jakarta: Teraju, 2003), h. 17

202

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

terutama aspek kehidayahannya nampaknya sangat diperlukan. Interprestasi


dalam konteks sosial kemasyarakatan, dimana suatu karya tafsir lahir dengan
pergumulan latar belakang penafsirannya, secara paradigmetik yang sama sekali
tidak sakral dan tidak kedap kritik.
Geliat kebangkitan tafsir modern yang muncul di Timur Tengah,
khususnya di Mesir yang dirintis oleh Muhammad Abdul mendapat sambutan
hangat yang sebelumnya jarang sekali orang Mesir yang masyhur sebagai
mufassir.8 Lihat saja seperti Ahmad Mustafa Al-Marghiy (1881-1945) dengan
tafsirnya al-Maraghiy, Sayyid Quthub (1903-1966) penyusun Tafsir Fi Zhilal
Alquran, Mahmud Syaltut penyusun tafsir Ila Alquran al-Karim, Mutawally alSyarawiy penyusun tafsir al-Syarawiy dan Aisyah Abd al-Rahman Binti Syati
penyusun Tafsir al-Bayany li Al-Quran al-Karim.9
Muhammad Abduh tampil dengan karya tulisnya, termasuk Tafsir AlManar. Tafsir Al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir populer di kalangan
peminat studi Alquran. Majalah Al-Manar yang memuat tafsir ini secara berkala,
pada abad ke-20 tersebar luas ke seluruh penjuru dunia Islam, dan mempunyai
peranan yang tidak kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama.
Itu semua tidak terlepas dari pengaruh Muhammad Abduh, lebih-lebih sang
murid-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, pemimpin dan pemilik majalah tersebut
serta penulis Tafsir Al-Manar,10 yang pemikiran keagamaannya sangat terkenal di
Indonesia.
Tentu, setiap mufassir termasuk Muhammad Abduh memiliki keistimewaan
dan kekurangan. Setiap hasil renungan dan pemikirannya dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang
pendidikan, wawasan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakatnya.
Memahami hal-hal tersebut adalah mutlak guna memahami hasil pemikirannya,
yang pada gilirannya dapat mengantar kepada penilaian terhadap pendapat yang
dikemukakannya serta batas-batas kewajaran untuk diikuti atau ditolak, namun
tetap menghargai terhadap ide-idenya serta menaruh hormat padanya.
Jalan pemikiran Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok
mengangkat pemahaman dan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yaitu
peranan akal dan peranan kondisi sosial.11
8Lihat

Abd Al-Ghaffar Abd. Al-Rahim Al-Imam Muhamamd Abdul wa Manhaj fi al Tafsir (Kairo:
Dar Al-Manar, 1991), h. 6
9J J G. Jansen mencatat 15 mufassir yang menulis secara lengkap atau hanya beberapa surat saja.
Lihat J J G. Jansen, The Interprestation of the Koran ni Modern Egypt, diterjemahkan oleh Hairussalam dan
Syarif Hidayatullah, dengan judul Diskursus Tafsir Alquran (Jogjakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta,
1997), h. 20-22.
10M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran, Studi Kelas Atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati,
2006), h. 11.
11Ibid,

h. 22.

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

203

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

Sehubungan dengan urain di atas, makalah ini mencoba untuk


mengeksplorasi pemikiran Muhammad Abduh dalam karya tulisnya (Al-Manar)
yang menjadi sumber inspirasi bagi mufassir sesudahnya.
PEMBAHASAN
1.

Biografi Muhammad Abduh (Mesir-Cairo, 1265H/1849 M-1323H/1905)12

Syaikh Muhammad Abduh, yang nama lengkapnya Muhammad bin Abduh


bin Hasan Kairullah, dilahirkan di desa Mahallat Nashr, Kabupaten Al-Buhairah-Mesir
pada tahun 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, tidak juga dari
keturunan bangsawan, namun ayahnya sangat dihormati di desa tersebut.
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani. Semua
saudaranya adalah petani-petani yang membantu ayah mereka dalam bidang
pertanian, tetapi Abduh rupanya karena sangat dicintai oleh Ibu-Bapaknya, ia tidak
ditugasi kecuali untuk mencari ilmu pengetahuan.
Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru pada ayahnya di rumah.
Pelajaran pertama yang diperolehnya adalah membaca, menulis dan membaca
Alquran. Hanya dalam jangka waktu dua tahun seluruh ayat Alquran telah dihafalnya.
Kemudian pada usia 14 tahun ia dikirim ke Tanta untuk belajar di Mesjid Al-Ahmadi.
Di sini, di samping melancarkan hafalan Alqurannya, ia juga belajar bahasa Arab dan
fikih. Setelah belajar selama dua tahun, Abduh merasa bosan, karena sistem
pengajarannya memakai metode hafalan. Dengan rasa kecewa Abduh kembali ke
Mahallat Nashr.
Pada tahun 1866 M Abduh memasuki hidup berumah tangga. Sekitar 40 hari
setelah menikah, Abduh dipaksa ayahnya kembali ke Tanta untuk melanjutkan
pelajarannya. Dalam perjalannya ke Tanta, Abduh mengubah haluan menuju Desa
Kanisah untuk bertemu dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr yang mempunyai
wawasan pengetahuan yang luas, karena banyak melakukan perjalanan ke luar Mesir.
Muhammad Abduh banyak belajar di Syeikh Darwisy ini dan ilmu yang ditekuninya
kebanyakan menyangkut tasawuf.
Pada tahun 1966 M, Abduh tidak menemukan sesuatu yang baru. Materi dan
metode pengajaran tidak jauh berbeda dengan yang dijumpai di Tanta. Dengan
mengikuti saran dari Syeikh Darwisy, Abduh menuntut ilmu kepada ulama di luar AlAzhar, seperti filsafat, logika dan matematika pada Syeikh Hasan at-Tawil.
Abduh dan kawan-kawannya berkesempatan berdialog dengan tokoh
pembaharu Jamaluddin al Afgani (1870). Disinilah awal perkenalan Abduh dengan
Jamaluddin yang kemudian menjadi gurunya pula. Melalui Jamaluddin, Abduh

12Lihat

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Cet. 9 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
VanHoueve, 2001), h. 255-258. Lihat juga Abbas Mahmud al-Akkad, Muhammad Abduh (Beirut: a;Maktabah al Ashriyyah, t.th), h. 220 dan lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran
dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 56-68

204

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

mendalami filsafat, matematika, teologi, politik dan jurnalistik. Bidang pengetahuan


yang menarik Abduh ialah teologi, terutama teologi Muktazilah. Namun Abduh
tidak bermaksud bertaklid kepada aliran manapun dan kepada siapa pun. Ia ingin
menjadi pemikir bebas, hampir-hampir hal ini membuatnya gagal memperoleh Ijazah
Al-Azhar.
Setelah tamat dari Al-Azhar tahun 1877, Abduh memulai karirnya sebagai
pengajar. Di Universitas Dar al-Ulum mengajar sejarah, di Al-Azhar ia mengajar
logika, teologi dan filsafat. Dalam mengajar, Abduh menekankan kepada muridmuridnya agar berfikir kritis dan rasional serta tidak harus terikat kepada suatu
pendapat.
Selain profesi guru, Abduh juga menekuni bidang jurnalistik. Ia menulis artikelartikel untuk surat kabar, terutama Al-Ahram (Piramid) mulai tahun 1876. Di bidang ini
Abduh meningkat menjadi pemimpin Redaksi al-Qaqai al-Mishriyah.13
Dalam pada itu, di Mesir muncul gerakan yang menentang penetrasi kekuasaan
Barat yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afgani dengan nama Gerakan Nasional
Mesir. Selama tiga bulan Abduh dipenjarakan kemudian diasingkan keluar negeri
yakni ke Beirut dan ke Paris. Di Paris, ia bersama Jamaluddin membentuk gerakan AlUrwah al-Wusqi. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah dengan nama
tersebut tahun 1884.
Pada tahun 1888 Abduh diizinkan kembali ke Mesir, kemudian menjadi hakim
di Pengadilan Negeri di Benha. Selanjutnya pada tahun 1890 menjadi penasehat pada
Mahkamah Tinggi dan tahun 1899 ia diangkat menjadi Mufti Mesir, kemudian
menjadi anggota majelis Syura, dewan legislatif Mesir.
Jumlah garis besar lingkungan dan perjalanan hidup Muhammad Abduh yang
mengarahkan pandangannya kepada persoalan-persoalan agama dan masyarakat.
Abduh menyeru umat Islam agar kembali kepada ajaran dasar Islam dan membuka
lebar-lebar pintu ijtihad. Jadi pembaharuan Abduh banyak mengilhami timbulnya
gerakan-gerakan pembaharuan di berbagai dunia Islam pada abad ke-20 termasuk di
Indonesia.
Abduh meninggalkan banyak karya tulis sebagian besar berupa artikel-artikel
di surat kabar dan majalah. Yang berupa buku antara lain:
1) Durus min Al-Quran
2) Risalah al-Tauhid
3) Hasyiyah Ala Syarh Ad-Dawani li Al-Aqaid al-Adudiyah
4) Al-Islam Wa An-Nashrinayah Maa Al-Ilmi al-Madamiyah
5) Tafsir Alquran al-Karim Juz Amma
6) Tafsir Surat Wal Ashr

13Al-Waqai

al-Mishriyah adalah sebuah Surat Kabar Pemerintah yang banyak memuat artikelartikel tentang sosial, politik, hukum agama, pendidikan dan masalah-masalah kenegaraan. Lihat Dewan
Redaksi Ensiklopedia Islam, op. cit., h. 256.

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

205

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

7) Tafsir ayat-ayat surat An-Nisa ayat 77 dan 87, Al-Hajj Ayat 52, 53 dan 54 dan AlAhzab ayat 37
8) Tafsir Al-Manar yang diselesaikan oleh muridnya, Syeikh Muhammad
Rasyid Ridha.
2. Gambaran Umum Tafsir Al-Manar
Tafsir Al-Manar yang juga bernama Tafsir Alquran Al-Hakim hadir sebagai
tafsir bi al-Rayi pada abad modern. Tafsir ini terdiri dari 12 jilid, mulai dari surat Yusuf
ayat ke-52.
Tafsir al-Manar ini, bermula dari pengajian tafsir di Mesjid Al-Azhar sejak awal
Muharram 1317H. meskipun penafsiranya ayat-ayat penafsiran tersebut tidak ditulis
langsung oleh Muhammad Abduh, namun itu dapat dikatakan sebagai hasil karyanya,
karena muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis. Kuliah-kuliah tafsir tersebut
menunjukkan artikel yang dimuatnya ini kepada Abduh yang terkadang
memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau beberapa kalimat,
sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.14
Dari sini diketahui bahwa sebagian besar karya tafsir Muhammad Abduh, pada
mulanya bukan dalam bentuk tulisan. Hal ini menurut Abduh dikarenakan uraian
yang disampaikan secara lisan akan dipahami oleh sekitar 80% oleh pendengarnya,
sedangkan karya tulis hanya dapat dipahami sekitar 20% oleh pembaca.
Kitab Tafsir al-Manar ini memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satusatunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal tegas
yang menjelaskan hikmah syariah serta sunnatullah terhadap manusia, dan
menjelaskan fungsi Alquran sebagai petunjuk (hidayah)15 untuk seluruh manusia di
setiap waktu dan tempat. Tafsir ini juga dengan redaksi yang mudah sambil berusaha
menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang
awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendekiawan).
Tafsir Al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam,
yaitu Sayyid Jamaluddin Afgani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhamamd
Rasyid Ridha. Tokoh pertama menamakan gagasan-gagasan perbaikan masyarakat
kepada sahabat dan muridnya, Syekh Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua gagasangagasan tersebut disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat Alquran dan diterima oleh
antara lain tokoh ketiga yang kemudian menulis semua yang disampaikan oleh
sahabat dan gurunya itu.

14Lihat

Muhamamd Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar (Kairo: Dar Al-Manar, 1367 H), h. 12-13 dan
lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas, op. cit, h. 18-19.
15Hidayah

yang mengantar manusia menuju kebahagiaan di dunia dan diakhirat. Lihat Ibid., h.
83. Lihat juga Abd. Al-Gaffar Abd Al-Rahim, al-Imam Muhammad Abduh Wa Manhajuhu Fi Al-Tafsir (Kairo:
Al-Halabi, t.th), h. 175 dan lihat Muhammad Rasyid Ridha, op. cit., h. 16.

206

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

3. Gaya Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar


Abduh mengemukakan dua pandangan terhadap kitab tafsir dan penafsiran
pada masanya dan pada masa-masa sebelumnya16, yaitu:
Pertama: ia menilai kitab-kitab tafsir pada saat itu tidak lain kecuali pemaparan
berbagai pendapat ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauh dari tujuan
diturunkannya Alquran.
Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku karena
penafsiranya hanya mengarahkan kepada pengertian kata-kata atau kedudukan
kalimatnya dari segi irab dan penjelasan lain menyangkut segi tehnis kebahasaan, oleh
karena itu kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam
bidang kebahasaan, bukunya kitab tafsir yang sesungguhnya.
Menurut Abduh; Allah Swt. tidak akan menanyakan kepada kita tentang hal
tersebut, masyarakat pun tidak membutuhkannya, yang mereka butuhkan adalah
petunjuk-petunjuk yang dapat mengantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia
dan di akhirat.17
Walaupun demikian ada beberapa tafsir yang dikecualikan yaitu tafsir AlZamakhsyari (al-kasysyaf), tafsir ini dinilainya sebagai kitab terbaik untuk pelajar dan
mahasiswa. Abduh menyebutkan pula tafsir Al-Thabari, Abu Muslim al-Asfahani, AlQurthubi, sebagai kitab-kitab terpercaya di kalangan penuntut ilmu karena pengarangpengarangnya telah melepaskan dari belenggu taqlid dan berpartisipasi dalam
menciptakan iklim ilmiah di tengah-tengah masyarakat mereka.
Kedua: dalam bidang penafsiran, Abduh menggaris bawahi bahwa dialog
Alquran dengan masyarakat Arab Ummiyyin (awam/yang tidak bisa baca tulis) bukan
berarti ayat-ayatya hanya tertuju kepada mereka semata, tetapi berlaku umum untuk
setiap masa dan generasi. Karena itu menjadi kewajiban setiap orang pandai atau
bodoh untuk memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan kemampuan masingmasing.
Jalan pikiran Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok
menyangkut pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran, yaitu
peranan akal dan peranan kondisi sosial.18
a. Peranan Akal
Abduh berpendapat bahwa metode Alquran dalam memaparkan ajaran-ajaran
agama berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya;
Alquran memaparkan masalah dan membuktikan dengan argumentasi-argumentasi,
bahkan menguraikan pandangan-pandangan penentangnya bahkan seraya
membuktikan kekeliruan mereka. Menurut Abduh ada masalah keagamaan yang
16M.

Quraish Shihab, Rasionalitas, op.cit, h. 20

17Abd.

Gaffar Abd. Al-Rahim, op. cit., h. 168.

18M.

Quraish Shihab, Rasionalitas, op.cit, h. 22 dan lihat Abbas Mahmud al-Aqqad, Al-Falsafah AlQuraniyyah (Kairo: Dar Al-Hilal, t.th), h. 180

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

207

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika dan juga ada ajaran agama
yang sulit dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal.
Dengan demikian walaupun harus dipahami dengan akal, Abduh tetap
mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi Saw
(wahyu).
b. Peranan Kondisi Sosial
Ajaran agama menurut Abduh dalam garis besar terbagi dua yaitu rinci dan
umum. Yang rinci ialah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat
mengalami perubahan dan atau perkembangan sedangkan yang umum merupakan
prinisp-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya
sesuai dengan kondisi sosial. Abduh mengusulkan agar ulama menghimpun diri
dalam satu organisasi yang didalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soal
keagamaan dan mencari illat (motif) dari setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yang
ditetapkan berdasarkan satu kondisi tertentu, hendaklah kondisi tersebut dijelaskan.
Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.
Dalam memahami ayat-ayat Alquran, terlebih yang menyangkut hukum,
landasan ini tidak pernah diabaikan. Melalui kedua hal tersebut di atas, Abduh
berusaha menjadikan hakikat ajaran Islam yang murni menurut pandangannya serta
menghubungkan ajaran terebut dengan kehidupan masa kini.
Salah satu metode analisis penafsiran adalah adabi ijtimai" (budaya
kemasyarakatan)19, corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Alquran pada segi
ketelitian redaksinya, menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah
dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alquran bagi kehidupan, serta menghubungkan
pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia.
Tokoh utama corak ini, bahkan yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah
Syekh Muhammad Abduh. Muhammad Husain al-Dhahabi mengemukakan sekian
banyak ciri pemikiran dan penafsiran Abduh kemudian dilengkapi oleh Abdullah
Mahmud Syahatah tidak kurang dari Sembilan prinsip20, yaitu:
1) Memandang setiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi (wihdah
muanasigah)
Terdapat jalinan hubungan yang serasi antara satu ayat dengan ayat yang lain
dalam satu surat. Pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan
surat tadi secara keseluruhan.

19Abd.

Al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhui (Kairo: Alhadharah al-Arabiyah,


1997), h. 23-24 dan lihat M.Quraish Shhab, Rasionalitas, op.cit, h. 24; dan lihat Muh. Husan al-Dzahabi, alIttijahatu al-Munhariqah fi Tafsir Alquran al-Karim, Dawafiuha wa Dafuha (T.tp: Dar al), Tisham, 1978), h. 91.
20Lihat

Abdullah Mahmud Syahata, Manhaj Al-Imam Muhammad Abduhl fi Tafsir Alquran al-Karim
(Kairo: Wahbah. 1963), h. 31. Dan lihat Abd. Al-Gaffar Abd. Rahim, op. cit., h. 186.00

208

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

2) Ayat Alquran bersifat umum


Ciri ini berintikan pandangan bahwa petunjuk-petunjuk ayat-ayat Alquran
berkesinambungan tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak pula ditujukan kepada
orang-orang tertentu.
3) Alquran adalah sumber aqidah dan hukum
Muhammad Abduh menjelaskan apa yang dimaksud dengan hal itu sebagai
berikut: Aku inginkan agar Alquran menjadi sumber yang kepadanya disandarkan
segala madzhab-madzhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat Alquran dijadikan
pendukung untuk madzhab-madzhab tersebut.
4) Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Alquran
Pandangan Abduh bahwa wahyu dan akal tidak mungkin akan bertentangan,
maka Abduh menggunakan akal secara luas untuk memahami (menafsirkan) ayat-ayat
Alquran.
5) Menentang dan memberantas taqlid (Muharabag al-Taqlid)
Abduh berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa Alquran
memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal serta melarangnya mengikuti
pendapat-pendapat terdahulu walaupun pendapat tersebut dikemukakan oleh orang
yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya, tanpa mengetahui secara pasti
hujjah-hujjah yang menguatkan pendapat tersebut.
6) Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak
jelas)
Di dalam Alquran sering ditemui lafazh tak terinci, misalnya menyangkut
sapi yang disebut dalam S. Al-Baqarah (2): 67 atau anjing yang menyertai
Ashabul Kahfi (S. Kahfi: 18). Terhadap ayat/lafazh semacam ini Abduh tidak
merinci atau menjelaskannya.
7) Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi Saw.
Dilatar belakangi oleh sikap Muhammad Abduh yang sangat rasional, dia
berpendapat bahasa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Abduh
menyatakan bahwa sumber ajaran agama adalah Alquran dan sedikit dari sunnah
yang bersifat amaliyah dan sedikit pula jumlah hadis mutawatir, maka Alquran harus
dijadikan sumber madzhab dan pendapat dalam agama.
8) Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat-sahabat dan menolak
Israiliyyat
Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat
sahabat Nabi, apalagi jika pendapat tersebut berselisih satu sama lainnya, sehingga
untuk menguatkan salah satunya dibutuhkan pemikiran yang mendalam.
9) Mengaitkan penafsiran Alquran dengan kehidupan sosial
Ayat-ayat ditafsirkan selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam
usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai
keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan
pengetahuan mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal.

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

209

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

Demikian sekelumit tentang Muhammad Abduh dan pemikiran-pemikirannya


di bidang tafsir. Kiranya tidak dapat dipungkiri ke dalam ilmunya, jasa-jasanya dalam
membela dan memurnikan serta memperbaharui interpretasi ajaran Islam serta
keikhlasannya dalam usaha-usaha tersebut.
Metode Muhammad Abduh dalam menafsirkan Alquran diikuti oleh sekian
banyak mufassir sesudahnya seperti Muhammad Rasyid Ridha, Ahmad Musthafa AlMaraghi, Abdullah Jall Isa, Binti Syathi dan sebagainya.
Contoh penafsiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar tentang hidayah
)(


Abduh menjelaskan bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia untuk

memperoleh kebahagiannya melalui empat macam hidayah)


(21
a) Hidayah al-Wijdan al Thabiiy wa al-Ilham al-Fithriy
Contohnya, bayi ketika lahir merasa haus/lapar mampu bereaksi atas perasaan
tersebut.
b) Hidayah al-Hawas wa al-Masyair
Hidayah kedua ini merupakan perpanjangan tangan dari hidayah pertama
dalam menjangkau di luar dirinya. Terkadang hewan-hewan, kemampuan
inderanya lebih sempurna dan lebih cepat berfungsinya dibanding indera
manusia.
c) Hidayah al-Aql
Hidayah akal ini lebih tinggi dari hidayah pertama dan kedua. Akal
mempunyai kemampuan menilai dan mengontrol kekeliruan indera dan bisa
menjelaskan sebab-akibatnya. Sebagai contoh, penglihatan terhadap suatu
benda yang besar menjadi kecil pada jarak jauh. Benda yang lurus terlihat
bengkok ketika dimasukkan ke dalam air.
d) Hidayah al-Din
Hidayah ini mampu mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu dapat
mengelabui dan mengalahkan akal. Meyakini hal-hal yang ghaib, adanya
kehidupan kedua setelah kematian dan rangkaian peristiwa-peristiwa lainnya.
PENUTUP
Dari pemaparan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan penting, antara lain
sebagai berikut:
Muhammad Abduh terlahir dengan memiliki kecerdasan. Semakin tumbuh
dewasa semakin nampak ketidakpuasan terhadap apa yang diketahui dan dialaminya.
Hal ini terlihat dari pencarian sumber ilmu pengetahuan dan pelajaran yang baru,
yang berbeda dengan metode keilmuan sebelumnya. Pertemuan dengan Jamaluddin
al-Afgani menjadi tonggak sejarah baru. Abduh tampil untuk menjadi seorang pemikir
21Muhammad

210

Rasyid Ridha, op. cit., h. 62.

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

dan pembaharu. Ketertarikan terhadap teologi Mutazilah memicu Abduh untuk


mengusung rasionalitas dalam memahami ajaran-ajaran agama. Pemikiran-pemikiran
Abduh ini dituangkan dalam pengajaran dan karya-karya ilmiah.
Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam
yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syekh Muhamamd Abduh dan Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha. Tokoh ketigalah yang mendominasi penyusunan tafsir
tersebut. Gaya pemikiran dan penafsiran Muhammad Abduh antara lain menerapkan
dua landasan pokok yaitu, mengukuhkan peranan akal dan pentingnya kondisi sosial
kemasyarakatan. Dua landasan pokok tersebut lebih jauh dijabarkan dalam Sembilan
prnsip pemikiran dan penafsiran dalam karya-karya Abduh dan sebagian karya
murid-muridnya.

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

211

Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar

Dudung Abdullah

DAFTAR PUSTAKA
Alquran al Karim
Al-Aqqad, Abbas Mahmud. Abqariyyah al-Ishlah wa al-Talim al-Ustadz Muhammad
Abduh. Mesir: t.th.
Abduh, Muhammad. Tafsir Alquran al-Karim Juz Amma, diterjemahkan oleh
Muhammad Bagir. Bandung: Mizan, 1999.
Abd. Al-Gaffar, Abd. Al-Rahim. Al-Imam Muhammad Abduh wa Manhajuhu fi al-Tafsir.
Kairo: Dar al-Manar, 1991.
Al-Dzahabiy, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Muttasirun, Juz I, Mesir: Dar al-Kutub
al-Hadis, 1976.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001.
Qusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika Hingga Idiologi. Jakarta:
Teraju, 2003.
Jensen, JJG. The Interpretation of the Kuran in Modern Egypt, diterjemahkan oleh
Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Diskursus Tafsir Alquran. Jogyakarta: PT.
Tiara Jogya, 1997.
Al-Jariy, Imam Alim Syamsuddin Ali. Al-Fawaid al-Musawwak ila Ulum Alquran.
Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1982.
Al-Juwaini, Mustafa al-Shawiy. Manhaj fi Tafsir. Iskandariyah: al-Maarif, t.th.
Abu Zaid, Nashr. Rethinking the Quran, Toward a Humanistic Hemeneutic. Amsterdam:
Humanistic Press, 2004.
Al-Syahatah, Abdullah Mahmud. Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir Alquran alKarim. Kairo: Wahbah, 1963.
Al-Suyuthi, Jamaluddin Abd. Rahman. Al-Itqan fi Ulum Alquran. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1991.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar I. Kairo: Dar al-Manar, 1367 H.
Zaid, Mustafa. Dirasat al-Tafsir. T.tp.: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.th.
Al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah. Al-Burhan fi Ulum Alquran. Kairo:
Dar al-Turats, t.th.

212

Al-Risalah | Volume 11 Nomor 2 Nopember 2011

Anda mungkin juga menyukai