Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR AL-QUR’AN

PADA ABAD KE XIV

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Sejarah
Perkembangan Tafsir Pada Program Magister (S2)

Oleh:

Chalid
80600220002

Dosen Pemandu:
Dr. Hj. Rahmi Damis, M.Ag.
Dr. Muh. Daming K, M.Ag.

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


PASCASARJANAUINALAUDDIN MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan nikmat luar biasa yang Allah turunkan kepada


umat manusia untuk mensucikan hati, membersihkan jiwa, menjelaskan aqidah-
aqidah, menunjukkan jalan kebenaran dan keadilan, mengajarkan akhlak yang
luhur dan sifat-sifat terpuji, memperingatkan mereka agar tidak berbuat
kemungkaran dan amal-amal buruk lainnya, mensucikan masyarakat dari
kebiasaan-kebiasaan buruk yang merusak tatanan kehidupan dan menunjukkan
kepada mereka jalan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Olehnya itu, maka wajib atas ummat Islam mengkaji al-Qur’an melalui
kajian khusus yang mampu mengungkapkan segala kandungannya kepada
manusia, yaitu norma-norma hukum yang bernilai tinggi, syariat yang penuh
dengan hikmah dan norma-norma akhlak, dan dapat mengimformasikan kepada
dunia bahwa al-Qur’an mempunyai kaitan yang kuat dengan tatanan-tatanan
politik, peperangan, kemasyarakatan, ekonomi dan akhlak dan jalan kebahagiaan
dalam setiap aspek kehidupan.
Dengan adanya upaya penafsiran, akan berdampak pada penampakan
fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk dan pemisah antara yang haq dan yang bathil
dan akan menunjukkan sifat fleksibilitasnya al-Qur’an yang dipandang pantas,
cocok dan sesuai untuk dipedomani ummat manusia disetiap waktu dan tempat.
Kajian al-Qur’an atau kegiatan penafsiran telah dilakukan sejak masa Nabi,
namun perlu disadari bahwa produk penafsiran masa lampau, penafsiran satu
generasi, individu dan kelompok tertentu tidak kosong sama sekali dari pengaruh
berbagai persoalan yang sedang menguasai zamannya. Situasi dan kondisi yang
dialaminya tidak pernah lepas dari pengaruh pikiran, pandangan, hukum yang
sedang berlaku, kondisi politik, sosio kultural, ilmu pengetahuan, mazhab dan
berbagai kemajuan peradaban dan kebudayaan, dan kecendrungan subjektifitas
yang dialami waktu itu akan berbeda dengan perkembangan di era-era
selanjutnya.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan tafsir pada abad XIV ?


2. Bagaimana karakteristik dan corak tafsir pada abad XIV beserta tokoh-
tokohnya?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Tafsir Abad XIV


Periode ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai sat ini.

Penganut agama Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa Barat

telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat Islam merasakan agama

mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta kebudayaan mereka telah

dirusak dan dinodai.1

Bentuk modernisasi Islam pada masa itu ialah menggali kembali api Islam

yang telah hampir padam, membela agama Islam dari serangan sarjana-sarjana

Barat. Dalam membela Islam dari serangan sarjana-sarjana Barat ini, kaum

muslimin mempelajari pengetahuan-pengetahuan, kemajuan-kemajuan, bahkan

tradisi yang telah dipakai oleh Barat untuk dijadikan alat penangkis serangan-

serangan itu.

Untuk menghadapi kebobrokan mental itu, berbagai tokoh dan pejuang

muslim berupaya keras untuk melakukan perbaikan. Lalu, muncullah gerakan

modernisasi Islam yang antara lain dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam semisal

Jamal al-Di@n al-Afgani@ (1245-1315 H/ 1838 M), Syekh Muhammad Abduh

(1265-1323 H/ 1849-1905 M) dan Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H/

1865-1935 M). ketiga tokoh tersebut menjadi penggerak perubahan dan gerakan

purifikasi terhadap nilai-nilai Islam di Mesir, negara yang banyak melahirkan

tokoh pemikir dan penggerak Islam. Dua orang terakhir yang disebutkan di atas,

yakni Syek Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha berhasil

melahirkan tafsir al-Qur’an yang kini disegani, yakni Tafsi@r al-Mana>r meskipun

tidak sampai tamat. Kesungguhan Tafsir ini diakui oleh banyak orang dan

1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 330.
memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan tafsir, baik bagi kitab

tafsir al-Qur’an yang semasa dengannya maupun kitab tafsir yang terbit pada

masa-masa setelahnya.2

Para ahli tafsir indonesia baik yang telah wafat maupun yang masih hidup

antara lain: T. M. Hasbi Ash-Shiddiqiey (1322-1396 H/ 1904-1975 M), dengan

karyanya yang berjudul Tafsir an-Nur dan Tafsir al-Bayan, Mahmud Yunus

(1317-1403 H/ 1899-1982 M), M. Quraish Shihab terutama dengan karyanya

yang berjudul Tafsir al-Misbah.

Berdasarkan uraian singkat sejarah al-Qur’an tersebut, dapat disimpulkan

bahwa penafsiran al-Qur’an sejak zaman Nabi Muhammad saw. hingga sekarang

terdapat jalinan kesinambungan (mata rantai) yang tidak pernah putus sekalipun

dalam rentang daerah yang sangat berjauhan. Jadi, di berbagai di berbagai negara

Islam atau negara yang berpenduduk muslim, termasuk salah satunya ialah

Indoneisa, kegiatan penafsiran al-Qur’an merupakan kunci pembuka bagi

kecemerlangan umat. Kesinambungan mata rantai penafsiran al-Qur’an yang

tidak pernah putus seyogyanya disadari benar oleh para mufassir kontemporer
bahwa penafsiran al-Qur’an sudah dimulai sejak Rasulullah saw. masih hidup.

Oleh karena itu, beliau mengajak kepada pewaris kitabnya, khususnya ulama
yang dijuluki sebagai pewaris para nabi untuk melakukan aksi yang sama bagi

pencera umat.3

B. Karakteristik Tafsir Abad XIV H, Beserta Tokoh-Tokohnya


Dilihat dari segi penafsiran, tradisi penafsiran era kontemporer bersumber

kepada teks al-Qur’an, akal (ijtihad) dan realitas. Hanya saja secara

paaradigmatik, posisi teks, akal dan realitas (konteks) sekaligus sebagai subjek

2
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, t.th), h. 25.
3
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 26.
dan objek. Artinya, ketiganya selalu selalu berdialegtik secara sirkular dan

triadik. Ada peran yang berimbang antara teks, pengarang dan pembaca.

Paradigma yang dipakai dalam memandang wahyu atau teks, akal dan realitas

cenderung paradigma fungsional, tidak lagi menggunakan paradigma struktural

yang cenderung saling mengatas bawahi sekaligus menghegemoni satu sama

lain.4

Perbedaan paradigma dalam menafsirkan al-Qur’an pada abad ke- 14 ini

memiliki pandangan yang berbeda dengan abad yang secara umum dikategorkan

sebagai periode klasik yang menolak segala bentuk bi al-ra’yidan juga berbeda

dengan periode abad pertengahan yang mana penafsiran dan produk tafsir telah

menjadi ideologi-ideologi madzhab dan aliran. Pada abad ke- 14 ini cenderung

mengemukakan ide-ide rasional kritis dalam memandang penafsiran al-Qur’an.5

Dalam paradigma yang sedemikian rupa, penafsiran pada abad ke- 14 ini

berlandaskan pada beberapa asumsi di antaranya adalah asumsi bahwa al-Qur’an

itu shalih i kulli zaman wa makan yang mana karena al-Qur’an ini shalih li kulli
zaman wa akan maka al-Qur’an harus ditafsirkan terus menerus, sehingga tidak
kehilangan relevansinya dengan perkembangan zaman.6

Adapun asumsi yang lainnya adalah asumsi bahwa teks yang statis dan
konteks yang dinamis pada abad ke- 14 ini terdapat asumsi bahwa teks al-Qur’an

ini setelah dikodifikasikan menjadi korpus dan terbatas sementara problem yang
muncul di era kontemporer begitu kompleks dan tidak terbatas dan dari sini

muncul era pandang bahwa harus diaktualkan dengan cara


mengontekstualisasikan pesan-pesan universal yang terkandung dalam al-Qur’an

4
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014), h. 168-
169.
5
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
18.
6
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah al-Qur’an, h. 154.
ke dalam konteks partikular era kontemporer.7 Kemudian yang selanjutnya

adalah asumsi bahwa penafsiran al-Qur’an bersifat relatif. Pada abad ini

berasumsi bahwa sebenarnya ada jarak antara tafsir dan al-Qur’an yang man

tafsir al-Qur’an yang mana tafsir itu sendiri bukanlah al-Qur’an yang mutlak

kebenarannya. Berbeda dengan tafsir yang belum pasti kebenarannya.

Adapun karya-karya tafsir pada abad ke- 14 ini di antaranya tellah lahir

dalam bahagian pertama dari abad ke- 14 ini ialah:

1. Mahasin al-Ta’wil, susunan 'Allamah Jamaluddin al-Qasimi (1322 H).

2. Tafsir al-Manar (Tafsir Muhammad Abduh), susunan Muhamad Rasyid

Ridha.

3. Al-Futuhat al-Rabbaniyyah, susunan Muhammad Abdul Aziz al-Hakim.

Syekh Muhammad Abduh telah memberi semanga kepada par mufassir

sesudahnya yang mengikuti jejak beliau untuk meneruskan gerakan perjuangan

pemikiran modern ini.8Setelah itu, lahirlah pula tafsir-tafsir di antaranya:

1. Tafsi@r al-Mara>gi@, susunan Muhammad Must}afa> al-Mara>gi@.

2. Tafsi@r al-Qur’an al-Maji@d, karya Ahmad IzzahDarwazah.


3. Tafsi@r fi@ Z{ila>l al-Qur’an, karya Sayyid Qut}b.

Itulah beberapa karya-karya tafsir yang lahir pada abad ke 14. Adapun
yang akan penulis uraikan hanya terfokus pada Tafsi@r al-Mana>r.
Tafsir al- Mana>r yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
murid terdekat dan penerjemah yang terpercaya ide-ide Syekh Muhammad

Abduh, tokoh pembaharuan dalam Islam yang terkenal itu. Pada mulanya tafsir

yang dituis oleh Rasyyid Ridha ini, terutama dari surat al-Fatihah sampai dengan

surah al-Nisa>’, ayat 125 merupakan saduran dari kuliah tafsiir gurunya, Syekh

7
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah al-Qur’an, h. 156-157.
8
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai,
t.th), h. 22.
Muhammad Abduh di al-Azhar dan selebihnya adalah karya tunggal Rasyid

Ridha. Meskipun demikian, Tafsir al-Mana>r lebih tepat dinisbahkan kepada

Rasyid Ridha, sebab di samping lebih banyak yang ditulisnya, baik dari segi

jumlah ayat yang ditafsirkan maupun dari segi jmlah halamannya, juga dalam

penafsiran ayat-ayat dari surah al-Fatihah sampai dengan surah al-Nisa>’ ayat 126

banyak pula ditemui pendapat-pendapat Rasyid Ridha. Sebagai tafsir yang

membawa ide-ide pembaharuuan, Tafsi@r al- Mana>r, terutama pada bagian yang

ditulis oleh Rasyid Ridha banyak berbicara tentang sunnatullah dan menggugah

kesadaran umat terhadapnya. Hal itu terlihat dengan jelas ketika menafsirkan

ayat-ayat akidah (teologis), khususnya yang berkenaan dengan hubungan anntara

takdir, kehendak, kekuasaan dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan dan

kemampuan manusia. Oleh karena itu, maju mundurnya suatu bangsa,

berkembang runtuhnya suatu negara, bahagia sengsaranya seseorang, dan kalah

menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi.9

Dalam mengambil penafsiran, kitab ini menggunakan corak adabi ijtima’i

(budaya masyarakat). Corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat aluran


pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu

redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk al-Qur’an bagi


kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum

alam yang berlaku dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan dunia tanpa
mmenggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang
10
sangat dibutuhkan.

9
A. Athaillah, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al- Mana>r (Jakarta: Penerbit
Erlangga, t.th), h. vi.
10
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al- Mana>r (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),
h. 25-26.
Adapun contoh penafsiran dalam Tafsi@r al- Mana>r adalah surah al-

Fatihah ayat 5 yakni sebagai berikut:

‫ٕا ّ ك ﻧﻌﺒﺪ و ٕا ّ ك ﺴﺘﻌﲔ‬


Penafsiran ayat di atas menunjukkan keluasan penjelasan dari segi

kebahasaan. Kata ‘abada mempunyai beberapa kata yang artinya mirip dan

berdekatan seperti khada’a, khana’a, at}a’a dan z}alla, tapi tidak ada yang sama

persis maknanya dengan ‘abada. Beberapa orang berpendapat bahwa kata

tersebut berasal dari al-‘iba>d yang diambil dari kata ‘ibadah, kata ini disandarkan

kepada Allah. Sedangkan kata ‘abi@d kebanyakan menyandarkan kepada selain

Allah. Karena kata tersebut berasal dari kata ‘ubudiyyah yang bermakna

perbudakan. Dari perbedaan kedua kata ini sebagian ulama berpendapat bahwa

kata ‘iba>dah tidak digunakan kecuali untuk Allah.

Setelah menjelaskan ibadah dalam kajian bahasa maka dalam penafsiran

setelahnya diungkap makna dari ibadah secara istilah. Yang mana ibadah

merupakan ketundukan yang sangat sampai pada batas penghabisan, yang

muncul dari hati yang merasakan keagungan tuhan yang tidak diketahui
kemunculannya.

Penjelasan tentang ibadah diperluas lagi dengan menjelaskan ibadah yang


benar dan efek yang dihasilkan. ibadah yang benar adalah ibadah yang

memberikan efek pembentukan akhlak dan pelajaran jiwa, efek tersebut ada pada
jiwa yang muncul pengagungan dan ketundukan. Maka ketika sebuah ibadah

tidak menimbulkan efek tersebut, bukanlah disebut ibadah.


Untuk memperjelas makna ayat dan agar lebih mudah dipahami oleh para

pembaca, contoh yang dikemukakan dalam penafsiran dari ayat ini sangat
sederhana dan merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat. Seperti

pengambilan contoh dari seorang pedagang, setelah pedagang tersebut berusaha


semaksimal mungkin untuk menjual dagangannya, maka selanjutnya yang dia

lakukan adalah meminta tolong kepada Allah. Dalam contoh ini, Muhammad

Abduh ingin menjelaskan bahwa tawakkal hanya boleh dilakukan setelah

ikhtiar.11

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penafsiran Muhammad Abduh tidak

terlalu panjang lebar membahas segi bahasa. Akan tetapi, pembahasannnya

tentang bahasa ini hanya sebagai pembantu atau jembatan pada pembahasan

yang dalam hal contoh ini adalah tentang ibadah.

11
Muhammad Abduh, Tafsi@r al-Qur’an al-Haki@m, juz. I (Beirut: Da>r al-Ma’rifat, tth), 56-
59.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Periode ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai sat ini.

Penganut agama Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa Barat

telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat Islam merasakan agama

mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta kebudayaan mereka telah

dirusak dan dinodai.Bentuk modernisasi Islam pada masa itu ialah menggali

kembali api Islam yang telah hampir padam, membela agama Islam dari serangan

sarjana-sarjana Barat. Dalam membela Islam dari serangan sarjana-sarjana Barat

ini, kaum muslimin mempelajari pengetahuan-pengetahuan, kemajuan-kemajuan,

bahkan tradisi yang telah dipakai oleh Barat untuk dijadikan alat penangkis

serangan-serangan itu.

Dilihat dari segi penafsiran, tradisi penafsiran era kontemporer bersumber

kepada teks al-Qur’an, akal (ijtihad) dan realitas. Hanya saja secara

paaradigmatik, posisi teks, akal dan realitas (konteks) sekaligus sebagai subjek
dan objek. Artinya, ketiganya selalu selalu berdialegtik secara sirkular dan

triadik. Ada peran yang berimbang antara teks, pengarang dan pembaca.
Paradigma yang dipakai dalam memandang wahyu atau teks, akal dan realitas

cenderung paradigma fungsional, tidak lagi menggunakan paradigma struktural


yang cenderung saling mengatas bawahi sekaligus menghegemoni satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Tafsi@r al-Qur’an al-Haki@m.juz. I. Beirut: Da>r al-Ma’rifat,
tth.
Athaillah, A. Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al- Mana>r. Jakarta: Penerbit
Erlangga, t.th.
Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia. Solo: Tiga
Serangkai, t.th.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, t.th.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press, 2014.
Mustaqim, Abdul.Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008).
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir al- Mana>r. Bandung: Pustaka Hidayah,
1994.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2014.

Anda mungkin juga menyukai