MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Sejarah
Perkembangan Tafsir Pada Program Magister (S2)
Oleh:
Chalid
80600220002
Dosen Pemandu:
Dr. Hj. Rahmi Damis, M.Ag.
Dr. Muh. Daming K, M.Ag.
A. Latar Belakang
PEMBAHASAN
Penganut agama Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa Barat
mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta kebudayaan mereka telah
Bentuk modernisasi Islam pada masa itu ialah menggali kembali api Islam
yang telah hampir padam, membela agama Islam dari serangan sarjana-sarjana
Barat. Dalam membela Islam dari serangan sarjana-sarjana Barat ini, kaum
tradisi yang telah dipakai oleh Barat untuk dijadikan alat penangkis serangan-
serangan itu.
modernisasi Islam yang antara lain dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam semisal
1865-1935 M). ketiga tokoh tersebut menjadi penggerak perubahan dan gerakan
tokoh pemikir dan penggerak Islam. Dua orang terakhir yang disebutkan di atas,
melahirkan tafsir al-Qur’an yang kini disegani, yakni Tafsi@r al-Mana>r meskipun
tidak sampai tamat. Kesungguhan Tafsir ini diakui oleh banyak orang dan
1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 330.
memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan tafsir, baik bagi kitab
tafsir al-Qur’an yang semasa dengannya maupun kitab tafsir yang terbit pada
masa-masa setelahnya.2
Para ahli tafsir indonesia baik yang telah wafat maupun yang masih hidup
karyanya yang berjudul Tafsir an-Nur dan Tafsir al-Bayan, Mahmud Yunus
bahwa penafsiran al-Qur’an sejak zaman Nabi Muhammad saw. hingga sekarang
terdapat jalinan kesinambungan (mata rantai) yang tidak pernah putus sekalipun
dalam rentang daerah yang sangat berjauhan. Jadi, di berbagai di berbagai negara
Islam atau negara yang berpenduduk muslim, termasuk salah satunya ialah
tidak pernah putus seyogyanya disadari benar oleh para mufassir kontemporer
bahwa penafsiran al-Qur’an sudah dimulai sejak Rasulullah saw. masih hidup.
Oleh karena itu, beliau mengajak kepada pewaris kitabnya, khususnya ulama
yang dijuluki sebagai pewaris para nabi untuk melakukan aksi yang sama bagi
pencera umat.3
kepada teks al-Qur’an, akal (ijtihad) dan realitas. Hanya saja secara
paaradigmatik, posisi teks, akal dan realitas (konteks) sekaligus sebagai subjek
2
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, t.th), h. 25.
3
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 26.
dan objek. Artinya, ketiganya selalu selalu berdialegtik secara sirkular dan
triadik. Ada peran yang berimbang antara teks, pengarang dan pembaca.
Paradigma yang dipakai dalam memandang wahyu atau teks, akal dan realitas
lain.4
memiliki pandangan yang berbeda dengan abad yang secara umum dikategorkan
sebagai periode klasik yang menolak segala bentuk bi al-ra’yidan juga berbeda
dengan periode abad pertengahan yang mana penafsiran dan produk tafsir telah
menjadi ideologi-ideologi madzhab dan aliran. Pada abad ke- 14 ini cenderung
Dalam paradigma yang sedemikian rupa, penafsiran pada abad ke- 14 ini
itu shalih i kulli zaman wa makan yang mana karena al-Qur’an ini shalih li kulli
zaman wa akan maka al-Qur’an harus ditafsirkan terus menerus, sehingga tidak
kehilangan relevansinya dengan perkembangan zaman.6
Adapun asumsi yang lainnya adalah asumsi bahwa teks yang statis dan
konteks yang dinamis pada abad ke- 14 ini terdapat asumsi bahwa teks al-Qur’an
ini setelah dikodifikasikan menjadi korpus dan terbatas sementara problem yang
muncul di era kontemporer begitu kompleks dan tidak terbatas dan dari sini
4
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014), h. 168-
169.
5
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
18.
6
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah al-Qur’an, h. 154.
ke dalam konteks partikular era kontemporer.7 Kemudian yang selanjutnya
adalah asumsi bahwa penafsiran al-Qur’an bersifat relatif. Pada abad ini
berasumsi bahwa sebenarnya ada jarak antara tafsir dan al-Qur’an yang man
tafsir al-Qur’an yang mana tafsir itu sendiri bukanlah al-Qur’an yang mutlak
Adapun karya-karya tafsir pada abad ke- 14 ini di antaranya tellah lahir
Ridha.
Itulah beberapa karya-karya tafsir yang lahir pada abad ke 14. Adapun
yang akan penulis uraikan hanya terfokus pada Tafsi@r al-Mana>r.
Tafsir al- Mana>r yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,
murid terdekat dan penerjemah yang terpercaya ide-ide Syekh Muhammad
Abduh, tokoh pembaharuan dalam Islam yang terkenal itu. Pada mulanya tafsir
yang dituis oleh Rasyyid Ridha ini, terutama dari surat al-Fatihah sampai dengan
surah al-Nisa>’, ayat 125 merupakan saduran dari kuliah tafsiir gurunya, Syekh
7
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah al-Qur’an, h. 156-157.
8
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai,
t.th), h. 22.
Muhammad Abduh di al-Azhar dan selebihnya adalah karya tunggal Rasyid
Rasyid Ridha, sebab di samping lebih banyak yang ditulisnya, baik dari segi
jumlah ayat yang ditafsirkan maupun dari segi jmlah halamannya, juga dalam
penafsiran ayat-ayat dari surah al-Fatihah sampai dengan surah al-Nisa>’ ayat 126
membawa ide-ide pembaharuuan, Tafsi@r al- Mana>r, terutama pada bagian yang
ditulis oleh Rasyid Ridha banyak berbicara tentang sunnatullah dan menggugah
kesadaran umat terhadapnya. Hal itu terlihat dengan jelas ketika menafsirkan
takdir, kehendak, kekuasaan dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan dan
alam yang berlaku dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan dunia tanpa
mmenggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang
10
sangat dibutuhkan.
9
A. Athaillah, Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al- Mana>r (Jakarta: Penerbit
Erlangga, t.th), h. vi.
10
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al- Mana>r (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),
h. 25-26.
Adapun contoh penafsiran dalam Tafsi@r al- Mana>r adalah surah al-
kebahasaan. Kata ‘abada mempunyai beberapa kata yang artinya mirip dan
berdekatan seperti khada’a, khana’a, at}a’a dan z}alla, tapi tidak ada yang sama
tersebut berasal dari al-‘iba>d yang diambil dari kata ‘ibadah, kata ini disandarkan
Allah. Karena kata tersebut berasal dari kata ‘ubudiyyah yang bermakna
perbudakan. Dari perbedaan kedua kata ini sebagian ulama berpendapat bahwa
setelahnya diungkap makna dari ibadah secara istilah. Yang mana ibadah
muncul dari hati yang merasakan keagungan tuhan yang tidak diketahui
kemunculannya.
memberikan efek pembentukan akhlak dan pelajaran jiwa, efek tersebut ada pada
jiwa yang muncul pengagungan dan ketundukan. Maka ketika sebuah ibadah
pembaca, contoh yang dikemukakan dalam penafsiran dari ayat ini sangat
sederhana dan merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat. Seperti
lakukan adalah meminta tolong kepada Allah. Dalam contoh ini, Muhammad
ikhtiar.11
tentang bahasa ini hanya sebagai pembantu atau jembatan pada pembahasan
11
Muhammad Abduh, Tafsi@r al-Qur’an al-Haki@m, juz. I (Beirut: Da>r al-Ma’rifat, tth), 56-
59.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Periode ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai sat ini.
Penganut agama Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa Barat
mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta kebudayaan mereka telah
dirusak dan dinodai.Bentuk modernisasi Islam pada masa itu ialah menggali
kembali api Islam yang telah hampir padam, membela agama Islam dari serangan
bahkan tradisi yang telah dipakai oleh Barat untuk dijadikan alat penangkis
serangan-serangan itu.
kepada teks al-Qur’an, akal (ijtihad) dan realitas. Hanya saja secara
paaradigmatik, posisi teks, akal dan realitas (konteks) sekaligus sebagai subjek
dan objek. Artinya, ketiganya selalu selalu berdialegtik secara sirkular dan
triadik. Ada peran yang berimbang antara teks, pengarang dan pembaca.
Paradigma yang dipakai dalam memandang wahyu atau teks, akal dan realitas