Anda di halaman 1dari 12

ARTIKEL

PERKEMBANGAN STUDI HADITS KONTEMPORER, PERGULATAN HADITS DI


ERA MODERN, KEDUDUKAN SANAD MENURUT PARA ULAMA KLASIK.

Dosen Pengampuh: Dr.ABDUL KHER,Lc,,M,Ag.

Di susun oleh: Kelompok 3

1. Ridho Pratama (2210303001)


2. Rike Amelia (2210303002)
3. Fitria Az Zahra (2220303014)
4. Abel Oktavia (2220303015)

PRODI ILMU HADITS


FAKULTAS USHULLUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2022/2023
PERKEMBANGAN STUDI HADITS KONTEMPORER

Abstrak:studi hadits selalu mengalami perkembangan dan perubahan yang dinamis dalam
setiap fase nya sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan ini saya mencoba menjelaskan
dan mendeskripsikan perkembangan studi hadits satu abad terakhir di dunia Islam. Ada
empat kecendrungan kajian hadits yang di deskripsikan pada tulisan ini, yaitu pertama studi
manuskrip kitab-kitab hadits; kedua studi polemik seputar hadits; ketiga studi kemukjizatan
ilmiah dan kemukjizatan futuristik dalam hadits; keempat pengembangan kajian takhrij hadits

A. Studi Manuskrip
Manuskrip merupakan bahan rujukan utama para akademisi dalam melakukan
penelitiannya(Diyab,1983:129-149). Untuk menyelesaikan obsesi seharusnya merujuk
pada hadits-hadits Rasul saw. dalam kitab al-Jami' ashShaghir dan al-Jami' al-Kabir,
Imam as-Suyuthi (w. 911 H/1505 M) harus merujuk kepada puluhan manuskrip yang
ada pada masanya. Begitu juga halnya dengan al-Laknawi (1264-1304 H/1847-1886
M) yang tinggal di India, ia harus mencari manuskrip-manuskrip dalam bidang hadits
sampai ke kota Makkah dan Madinah, untuk menyelesaikan karya-karya besarnya
dalam bidang studi hadits. Pada abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh
banyak akademisi Barat yang intens melakukan penelitian manuskrip untuk kemudian
dicetak dan digandakan.
Di awal abad ke dua puluh dan selanjutnya, penelitan manuskrip hingga
pencetakannya mempunyai peran besar bagi perkembangan studi hadits. Analisa
sejarah dan metode periwayatan serta penyeleksian hadits tidak akan bisa maksimal
tanpa didukung data-data komprehensip yang terkumpul dalam manuskrip
masnuskrip. Karenanya penelitian atas manuskrip- Perkembangan Studi Hadist
Kontemporer (Arif Chasanul Muna) 239manuskrip hadits akhirnya tidak hanya
terkonsentrasi padamanuskrip-manuskrip awal kumpulan hadits semata,
namunmanuskrip kitab rijal dan kitab mushthalah-hadits yang disusun olehulama
yang hidup sebelum masa pengarang al-Kutub as-Sittah danyang hidup setelah masa
pengarang al-Kutub as-Sittah juga banyakdiperhatikan.
B. Polemik Seputar Sunnah
Sarjan barat banyak yang mengembangkan karya nya dalam bidang hadits dengan
gerakan orientalis. Tidak bisa dipungkiri, mereka mempunyai karya yang berkembang
dan berkontribusi positif di dunia Islam di kemudian hari. Karya A. J Winsink, al-
Mu'jam al-Mufahras li al-faadzi alHadits dan Miftah Kunuuzis-Sunnah banyak
memberikan kemudahan bagi akademisi-akademisi muslim yang sedang melakukan
penelitian-penelitian dalam bidang hadits, terutama setelah dua karya itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi. Begitu juga
bibliografi yang disusun oleh Fuat Seizgin dengan judul Tarikh at-Turats al-'Arabiy
dan Cark Brockelmann (1868-1956 M/1284-1375 H) yang berjudul Geschichte der
Arabischen Litteratur sangat memudahkan para peneliti yang hendak melacak
manuskrip-masnukrip Arab yang tersebar di perpustakaan-perpustakaan di dunia
Barat dan Timur.
Tema utama yang menjadi obyek kritik para orientalis dan pemikir muslim tersebut di
antaranya adalah; [1] Sejarah perkembangan hadits sejak masa Rasul saw. hingga
pen-tadwinanan; [2] Kritik atas metodologi interaksi dengan sanad hadits; [3] Kritik
atas metodologi interaksi dengan matan; [4] Kritik atas para rawi dan tokoh dalam
studi hadits. Pendekatan yang digunakan juga beragam, dari mulai kritik historis,
analisa-kritis content matan dengan mengedepankan rasionalitas dan empirisisme atau
dengan menggunakan metode klasik yang dikembangkan.

C. Kemukjizatan Ilmiah dan Kemukjizatan Futuristik


Dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, tidak sedikit umat manusia
yang tentunya mempengaruhi ciri khas penafsiran atas teks-teks keagamaan. Ayat-
ayat al-Qur'an dan hadits yang menyinggung fenomena alam dan manusia lebih
menarik bila diterangkan dengan menggunakan fakta-fakta ilmiah hasil observasi para
ilmuwan. Tafsir model seperti ini dikenal dengan at-tafsir al-'ilmi. Salah satu
tokohnya di abad ke dua puluh adalah Shekh Thantawi Jauhari yang mengarang tafsir
al-Jawahir. Dengan metode at-tafsir al-ilmiy ini, Thanthawi Jauhari banyak
mengangkat ayatayat yang menyinggung fenomena-fenomena kemanusiaan dan alam
raya, Fakta-fakta ilmiah tentang manusia dan alam raya yang baru ditemukan oleh
para ilmuwan ternyata sudah pernah disinggung oleh Rasul yang hidup beratus-ratus
tahun silam. Dr. Maurice Bucaille dengan karyanya The Bible, The Quran, and The
Science sejauh ini adalah tokoh yang paling menonjol dalam bidang ini dan karyanya
banyak dibaca oleh kalangan luas.
Dinamika studi hadits kontemporer juga diwarnai dengan kecenderungan yang sama.
Para ahli hadits mulai sibuk meneliti sisisisi kemukjizatan ilmiah dalam statement-
statemen Rasul saw.
dalam studi hadits kontemporer juga muncul kecenderungan lain yang sama-sama
menekankan sisi kemukjizatan Rasul saw, yaitu penafsiran atas hadits-hadits
futuristik.
Bila berita-berita futuristik yang disampaikan oleh Rasul saw. ini diklasifikasikan
berdasarkan terjadinya, maka hadits-hadits seperti ini bisa dikelompokkan ke dalam
lima kategori: [1] hadits futuristik yang terbukti kejadiannya semasa Rasul saw. masih
hidup; [2] hadits futuristik yang terbukti kejadiannya setelah Rasul saw. meninggal
dunia dan sebelum kehidupan para penyusun kitab-kitab hadits; [3] hadits futuristik
yang terbukti kejadiannya setelah masa para penyusun kitab-kitab hadits dan sebelum
masa sekarang ini; [4] hadits futuristik yang terbukti kejadiannya pada masa kita
sekarang ini; [5] hadits futuristik yang belum terbukti kejadiannya hingga saat
sekarang ini.

D. Pengembangan Takhrij: Kembali ke Manhaj al-Mutaqaddimin


Dalam disiplin ilmu hadits, kitab-kitab kumpulan hadits dibagi ke dalam dua kategori:
Pertama, al-kutub al-ashliyyah (first resources) yaitu kitab-kitab yang memuat
sekumpulan hadits dengan disertai jalur sanad yang sampai kepada penyusun kitab
tersebut. Kitab-kitab seperti ini disusun pada periode periwayatan (al-'ashru ar-
riwayah) lima abad pertama hijriyah.
Kategori kedua adalah al-kutub al-far'iyyah (second resources). Yang dimaksud
dengan al-kutub al-far'iyyah adalah kitab-kitab yang memuat hadits-hadits namun
tidak disertai dengan sanad yang sampai kepada penyusunnya. Kitab-kitab jenis ini
kebanyakan disusun setelah periode periwayatan. Kitab syarh hadits seperti Fathul-
Bari, kitab zawaid seperi Majma`uz-Zawaid wa Mambaul-Fawaid, kitab kumpulan
hadits-hadits hukum, seperti Muntaqal-Akhbar dan kitab takhrij seperti Nashbur-
Rayah dan Irwa`ul-Ghalil termasuk kategori ini.
Dua kecenderungan metode dalam penelitian kualitas hadits ini terus berlangsung
hingga awal abad ke duapuluh. Ahmad Syakir dan Hamzah Ahmad Zen meneliti
Musnad Ahmad dengan menggunakan metode pertama dan hasilnya terkumpul dalam
duapuluh empat jilid. Syua'ib al-Arna'uth juga melakukan penelitian atas Musnad
Ahmad namun ia menggunakan metode jam'ul-asanid dan karyanya terkumpul dalam
lima puluh jilid. Dalam wacana kajian hadits kontemporer, para penggagas metode ini
mengusung istilah "manhaj al-mutaqaddimin" yang seringkali dipertentangkan
dengan "manhaj al-mutaakhirin". Selain menekankan teori jam'ul-asanid, para
pendukung metode ini juga mempunyai perhatian khusus pada beberapa sub bagian
dalan kajian ilmu mushthalah hadits yang mempunyai implikasi krusial terhadap
masalah penilaian kualitas hadits.
PERGULATAN HADITS DI ERA MODERN

Abstrak: Artikel ini menjelaskan tentang dinamika perkembangan hadits yang


mengalami perubahan paradigmatis dari kalangan ulama klasik menuju modern
dengan tema pergaulan hadits di era modern. Tulisan ini dengan menggunakan
metode konten analisis, berusaha mengungkapkan fakta historis sunnah/ hadis yang
menjadi permasalahan di era modern, di antaranya yaitu tentang persoalan otoritas
Nabi dan otentisitas hadis.

Pergaulatan hadits di era modern


autoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir keagamaan muslim.
Abad kesembilan belas merupakan periode ketika hegemoni barat yang berkaitan
dengan kelemahan politik dan agama masyarakat muslim telah menciptakan dorongan
kuat diadakannya reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam, baik untuk
mengakomodasi nilai-nilai barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Brown dalam bukunya Menyoal Relevansi
Sunnah dalam Islam Modern yang menjelaskan bahwa sejumlah aspek pengalaman
kolonial mendorong perhatian istimewa terhadap hadis Nabi Saw.
rown menjelaskan bahwa pola peninjauan ulang hadis Nabi sebagai alat untuk
beradaptasi dengan perubahan telah tertanam baik sebelum orang-orang Muslim
merasakan dampak langsung dari hegemoni Barat. Perhatian masa kini terhadap
autoritas Rasulullah berkaitan dengan kecenderungan yang telah berlangsung sebelum
dirasakannya tantangan khususnya dari Eropa.
Periode pertama, yaitu periode gerakan reformasi abad ke-18. Selama abad
kedelapan belas, gagasan kaum tradisional yang memahami bahwa sunnah seharusnya
menjadi basis utama hukum Islam, bahwa status hukum itu bisa dan seharusnya
menjadi bahan penelitian yang cermat dengan berdasarkan hadis Nabi SAW. Gagasan
ini bukanlah kontribusi asli para reformis abad kedelapan belas, sepanjang periode
klasik tesis kaum tradisional tetap terpelihara di dalam madzab Imam Ahmad bin
Hanbal (Hanbali). Para reformis memberikan kekuatan baru terhadap pemahaman
orang Islam yang telah banyak menyimpang dari sunnah Rasul Saw dan dipengaruhi
oleh bid’ah dan taklid terhadap ajaran dan penafsiran hukum klasik. Obatnya adalah
dengan kembali kepada al-Qur’an dan sunnah/ hadis, guna meraih kembali kemurnian
ajaran Nabi yang terkandung di dalam sunnah Nabi SAW tersebut.
Pendekatan Syah Waliyullah terhadap hadis, penafsirannya dan hubungannya dengan
sunnah bukan tidak canggih, dan pendekatannya tidak beda jauh dengan pendekatan
para fiqih klasik. Sedangkan Muhammad Ibn’ Ali Al-Syaukani, memperlihatkan
pandangan serupa meski lebih ekstrim mengenai persoalan taklid dan ijtihad. Bagi Al-
Syaukani Ijtihad hanya dibatasi oleh kemampuan dan pengetahuan mujtahid. Al-
Syaukani menentang argument tradisional yang menentang ijtihad, bahwa hanya
generasi awal yang cukup dekat dengan Rasulullah yang memiliki pengetahuan yang
dibutuhkan. Bukannya menjadi lebih sulit, ujarnya, ijtihad sekarang menjadi lebih
mudah dibandingkan dengan sebelumnya karena sumber-sumber telah terhimpun.
Penolakan terhadap hadis oleh Syaukani dan para pengikut Syah Waliyullah, dan penggunaan
hadis untuk mengkritik hadis menggambarkan penyimpangan penting dari sikap mazhab
hukum klasik terhadap sunnah. Menurut teori klasik yurisprudensi, hadis secara formal diakui
sebagai satu-satunya basis hukum bagi sunnah, tetapi dalam metode aktual fuqaha, ijma’
mendapat tempat yang lebih tinggi.
Periode Kedua, yaitu reformasi berbasis Hadis pada abad ke-19 (kesembilan belas). Di India
penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap hadis menjadi satu sekte reformis, yaitu
Ahli Hadis yang langsung menggunakan tradisi Syah Waliyullah dan Imam asy-Syaukani.
Hampir seluruh penguasa awal yang berpengaruh dengan kelompok ini memiliki hubungan
langsung dengan garis Syah Waliyullah. Kelompok Ahli Hadis ini dapat dipandang sebagai
hasil pertumbuhan langsung dan perwujudan sikap diam mujahidin. Sebagai basis untuk ikon
kelas mereka, mujahidin mengembangkan sikap penolakan Syah Waliyullah terhadap taklid
yang menjadi titik pusat ajarannya.
Idealnya Ahli Hadis adalah mereka para ulama yang menjalani kehidupannya dengan
menjaga akhlaknya yang suci/terpuji atau dalam bahasa hadis adalah Tsiqah sebagaimana
mengikuti contoh Rasulullah Saw. Hadis sebagai pedoman tentang sunnah Rasul, menjadi
fokus sentral kehidupan mereka dan pedoman ideal tentang tingkah laku sosial dan kesalehan
individu. Bagi Ahli Hadis, prinsip pemandu dalam pembaharuan salafi adalah keyakinan
bahwa kaum muslim harus berusaha agar bisa menyamai generasi pertama muslim, yaitu
generasi salaf ash-shalih dan kembali mengambil Islam murni sebagaimana ajaran Rasulullah
Saw, Dalam pendekatan terhadap sunnah, Ahli Hadis dan pembaharu salafi menegaskan
kembali penekanan kaum tradisionalis pada sentralitas praktik Nabi Saw.

Periode ketiga, yaitu periode para Modernis Awal: Ahmad Khan dan Muhammad Abduh.
Tantangan besar pertama terhadap sunnah di periode modern datang dari modernis besar
India, Syir Ahmad Khan, yang akhirnya menganggap seluruh hadis tidak dapat dipercaya. Ia
mengkritik tajam metode klasikl kritisme hadis, dan akhirnya percaya bahwa hanya hadis
yang berkaitan dengan masalah spiritual saja yang relevan dengan muslim kontemporer, dan
hadis yang bertalian dengan hal-hal duniawi tidaklah mengikat.
Evolusi Sayyid Ahmad Khan mengenai hadis dipengaruhi langsung oleh sarjana orientalis
dan polemik misionaris. Pada saat yang sama ia mengasimilasikan pengaruh ini kedalam pola
sikap keagamaan dasar yang telah terbentuk. Tantangan langsung dari Sayyid Ahmad Khan
mengenai sunnah dan hadis datang dari pena misionaris dan oriental Sir William Muir, Muir
perpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber terpercaya bagi biografi Nabi Muhammad
Saw, potret sejati dan akurat pemikiran Nabi Muhammad Saw, Sayyid Ahmad Khan yang
terusik dengan karya muir membuat bantahan, Khan dia mempertahankan nilai kritisme
isnad; ia berpendapat bahwa Muir tidak masuk akal menisbahkan penyimpangan karena para
perawi hadis awal; dan dia menuduh bahwa lawanya telah begitu meremehkan kekuatan daya
ingat. Muhammad Abduh mulai menyatakan sikap skeptinya terhadap hadis pada sekitar
masa yang sama dengan Sayyid Ahmad Khan, namun jauh lebih hati-hati. Bukti langsung
sikap Abduh terhadap keauntetikan hadis terlihat dalam karyanya yang menyebutkan bahwa
dia memandang bahwa hanya hadis mutawatir yang mengikat. Abduh membuka pintu bagi
penilaian pribadi dalam memutuskan mana hadis yang akan diterima atau ditolak.
Isu-Isu Hadits di Era Modern
Dari dinamika pemikiran para modernis di atas dapat dipetakan mengenai isu-isu tentang
problematika hadis yang bergulir di era modern tersebut di antaranya adalah sebagaimana
berikut ini:
1. Isu tentang otentisitas Hadits
Salah satu tantangan modernitas yang sering dilontarkan untuk meragukan bahkan
menolak keberadaan hadis Nabi SAW. adalah persoalan metode klasik kritisisme
hadis yakni sistem isnad. Teori sistem isnad seringkali dituduh sebagai bikinan para
ulama’ hadis dan tidak pernah ada pada zaman Nabi SAW atau bahkan sahabat.
Dengan kata lain, sistem isnad pada dasarnya bersifat a-historis (Juynboll, 1969, hal.
2). Selain itu keraguan akan kemampuan metode klasik kritisisme hadis muncul
karena banyak ditemukan hadishadis yang absurd, tidak dapat dibenarkan secara
teologis, atau tak layak secara moral dalam koleksi shahih, shahih Bukhari maupun
Muslim (Brown, 2000). Kegagalan lain muhaddisun dengan metode klasik kritisisme,
meskipun apa yang telah mereka lakukan cukup mengagumkan, Kritik lain yang
dilontarkan oleh kritikus modern adalah bahwa asumsi dibelakang ‘ilm ar-rijal secara
esensial cacat. Argument ini didasarkan pada beberapa hal, di antaranya adalah cukup
sulit menilai karakter orang yang masih hidup, apalagi orang yang sudah lama
meninggal.
Tantangan modern terhadap kemaksuman rasul adalah mencoba memanusiakan Nabi
Muhammad SAW. Membawa Nabi ke bumi, menjadikan beliau sebagai manusia
biasa yang juga melakukan kesalahan, memberikan kepada penafsir modern
pleksibelitas mengenai warisan beliau. Fakta-fakta yang ada di dalam al-Qur’an juga
menunjukkan bahwa dalam beberapa kesempatan Allah menegur Nabinya yang mulia
karena melakukan hal yang keliru.

2. Isu tentang Kewahyuan Hadits


Islam yang mengalami dilema dengan pertanyaan pertanyaan tersebut, namun semua
tradisi keagamaan Nabi juga merasakan hal yang sama, karena akibat paradoks
fundamental kenabian; dalam risalah Nabi yang transenden menjadi imanen, yang
universal menjadi particular, kesempurnaan disampaikan melalui saluran yang tidak
sempurna. Sehingga perdebatan mengenai wahyu ini terfokus secara tajam dalam
pertanyaan mengenai bagaimana ilham Rasulullah Saw. dan hubungan perkataan dan
tindakan Nabi Muhammad Saw –kemanusiaannya– dengan misi ketuhanannya
sebagai Nabi. Syahrur menyebutkan bahwa pandangan yang menyebutkan bahwa
sunnah adalah wahyu, patut untuk dipertanyakan. Ia menganalisa (wa mâ yantiqu an
al-hawa In huwa illa wahyu yuhay),(Q.S.53:3-4) yang dijadikan sebagai dasar pijakan
oleh kalangan tradisional untuk menyimpulkan bahwa sunnah adalah wahyu. Menurut
pembacaanya, mendasarkan pendapat mereka dengan ayat ini sama sekali tidak tepat,
otoritas Nabi saw. sebagaimana yang diungkap al-Qur’an yaitu: Pertama, Nabi saw.
merupakan penjelas al-Qur’an (QS. AnNah}l: 44). Kedua, Nabi saw. memiliki
otoritas membuat suatu hukum (legislator) (QS. AlA‘ra>f: 157). Artinya, Nabi saw.
memiliki wewenang memprakarsai hal-hal tertentu yang kemudian dinyatakan al-
Qur’an sebagai praktik masyarakat muslim yang baku, seperti praktik ażan.
KEDUDUKAN SANAD MENURUT PARA ULAMA KLASIK

Abstrak: Salah satu keunikan yang terdapat pada tradisi keilmuan Arab-Islam adalah
penggunaan isnâd dalam setiap penyampaian berita, terutama yang menyangkut hadis
Nabi. Penggunaan isnâd yang begitu ketat menjadikan sanad sebagai sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan dari hadis itu sendiri. Sanad, karenanya, adalah bagian dari
hadis di samping perawi dan teks matan hadis.

A. Pengertian Sanad
Sanad menurut bahasa berarti bagian tanah yang tinggi di kaki gunung ,adapun secara
terminolgi, sanad adalah rangkaian para perawi yang menyampaikan matan kepada
sumber pertamanya , Selain istilah sanad, dipakai juga istilah isnâd. Kata ini masih
satu akar dengan kata sanad dengan menambah Hamzah yang berfungsi mengubah
kata kerja intransitif menjadi kata kerja transitif yang berarti “menyandarkan”.
Bentuk jamaknya asânîd Sedang secara terminologi isnâd berarti menyandarkan hadis
kepada yang mengungkapkannya

B. Urgensi Sanad
Sanad dalam agama menempati posisi paling penting, sering keluar dari mereka
ungkapan-ungkapan yang menjelaskan kedudukan, urgensi, fungsi dan lain-lain yang
berhubungan dengan sanad.
Pembahasan mengenai sanad merupakan sandaran yang sangat prinsipil dalam ilmu
hadisnya yang luhur, yakni untuk membedakan antara hadis yang diterima (maqbûl)
dan yang ditolak (mardûd). “sanad juga adalah senjata orang Mu’min; oleh karena itu,
jika ia tidak mempunyai senjata, dengan apa ia akan berperang?”10 Dalam
menyebutkan sanad, para perawi merasakan adanya kebersamaan dalam memikul
tanggung jawab periwayatan hadis.
Perlu juga kita ketahui bahwa fungsi dan tujuan lainnya dari keberadaan sanad, di
antaranya adalah: 1. Adanya kemungkinan kita untuk menelusuri kebenaran khabar,
sehingga kita dapat mengetahui hadis yang dapat diterima (maqbûl) dan yang ditolak
(mardûd). 2. Pencari hadis (ṭâlib al-ḥadîṡ) dapat menentukan derajat keṣaḥîḥ-an dan
ke-ḍa‘îf-an setiap hadis, baik hadis qaulî, fi‘lî, taqrîrî dan waṣfî. 3. Sanad menjaga
hadis dari penyelewengan, pemalsuan, perubahan-perubahan atau pengurangan.
C. Metode Para Muhaddisin dalam Mengkritik Sanad

Untuk mengkritik sanad, para ahli memfokuskan pada beberapa hal yaitu:
1. Hal-hal yang menyangkut diri para perawi berupa:
A. Kualitas pribadi perawi
B. Kapasitas intelektual perawi

2. Hal-hal yang menyangkut sanadnya itu sendiri, yaitu:


A. Ketersambungan dan keterputusan sanad
B. Syuzuz sanad
C. Illat sanad

1. Kualitas Pribadi Perawi

Untuk dapat diterima periwayatannya, seorang perawi harus bersifat adil. Adil yang berarti
sifat yang meresap pada diri seorang perawi yang mengharuskannya membiasakan diri hidup
dalam takwa dan selalu menjaga murû’ah (wibawa).
Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ahli hadis, Syuhudi Ismail15
mengemukakan beberapa kriteria seorang perawi yang disebut adil, yaitu: (1) beragama
Islam, (2) mukallaf, (3) melaksanakan ketentuan agama, dan (4) menjaga murû’ah.
Dan sebaliknya ada beberapa hal yang dapat merusak sifat adil seorang perawi, yaitu: (1)
suka berdusta (al-kiżb), (2) mendapat tuduhan dusta (al-tuhmah fî al-kiżb), (3) fâsiq, (4)
berbuat bid‘ah yang tidak membuatnya kafir, dan (5) tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan
diri orang itu sebagai perawi hadis (al-jahâlah).

2. Kapasitas Intelektual Perawi


Intelektualitas perawi harus memenuhi kapasitas tertentu, sehingga riwayat hadis yang
disampaikannya dapat memenuhi salah satu unsur hadis yang berkualitas ṣaḥîḥ.
Sifat ḍabṭ seorang perawi dapat diketahui dengan adanya kesesuaian hadis yang
diriwayatkannya itu dengan hadis yang diriwayatkan para perawi lain yang ṡiqah
(kredibel, dapat dipercaya), ada beberapa perilaku yang dapat merusak citra ḍabṭ seorang
perawi secara fatal, yaitu: (1) dalam periwayatannya lebih banyak kesalahannya (faḥusya
galaṭuhû), (2) lebih banyak sifat lupanya dari pada hapalannya (al-gaflah ‘an al-itqân),
(3) riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (alwahmu), (4)
riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan para perawi yang ṡiqah
(mukhâlafah al-ṡiqah), dan (5) hapalannya buruk (sû’ul-hifẓ).
3. Ketersambungan Sanad
Di antara syarat suatu hadis agar dapat diterima, selain perawinya harus ‘âdil dan ḍâbiṭ,
adalah sanadnya harus bersambung. Ketersambungan sanad ini berarti bahwa setiap
perawi atau setiap orang dari rijâl al-sanad meriwayatkan hadis dari perawi sebelumnya,
hal itu berlangsung terus sampai pada sanad terakhir, sehingga sampai pada Rasulullah
saw.
penerimaan (al-taḥammul) atau penyampaian (al-âdâ’) hadis, sekaligus lambang-
lambang atau lafal-lafal yang dipergunakan dalam periwayatan tersebut. Dari lafal-lafal
itu dapat diteliti tingkat akurasi metode yang dipergunakan oleh periwayat yang termuat
namanya dalam sanad.
Dalam samâ‘ sedikit sekali para perawi memakai lafal qâla atau żakara lanâ. Kedua lafal
ini bisa dipakai untuk sama, syarat pada hadis tersebut agar bisa dinilai sebagai hadis
yang bersambung sanadnya, yaitu:
a. Pada sanad hadis tersebut tidak ada tadlîs (penyelundupan nama).
b. Para perawi yang namanya beriring dan diantarai oleh lafal ‘an atau anna telah terjadi
pertemuan.
c. Perawi yang menggunakan kedua lafal itu adalah perawi yang ṡiqah

4. Meneliti Syuzuz dalam Sanad


Ada tiga definisi terkenal tentang hadis syâż yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu:
a. Definisi yang dikemukakan oleh Imâm Syâfi’î (w. 204 H): Hadis syâż adalah hadis
yang diriwayatkan oleh orang yang ṡiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan
riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi yang ṡiqah juga.
b. . Menurut Al-Ḥâkim al-Nîsabûrî (w. 405 H) bahwa hadis syâż adalah hadis yang
hanya diriwayatkan oleh salah seorang perawi yang ṡiqah dan hadis tersebut tidak
memiliki sumber yang menjadi tâbi‘ bagi perawi yang ṡiqah tersebut.
c. Sedang menurut Al-Ḥâfiẓ Abû Ya‘lâ al-Khalîlî (w. 446 H) hadis syâż adalah hadis
yang hanya memiliki satu sanad, baik periwayatan itu ṡiqah atau tidak, bertentangan
dengan periwayatan ṡiqah yang lain atau tidak.

5. Meneliti Illah dalam Sanad


Illah artinya faktor abstrak yang menodai hadits sehingga merusak kesahihannya.
Karena pembahasannya mengandung tingkat kesulitan yang sangat tinggi.
Menurut para ulama ‘illat hadis pada umumnya dapat diketemukan pada:
a. Sanad yang tampak muttaṣil dan marfû‘, tetapi kenyataannya mauqûf, walaupun
sanadnya dalam keadaan muttaṣil.
b. Sanad yang tampak muttaṣil dan marfû‘ tetapi kenyataannya mursal, walaupun
sanadnya dalam keadaan muttaṣil.
c. Dalam hadis itu telah terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadis lain.

Anda mungkin juga menyukai