Nim 23108020089
Kelas C perbankan syariah
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbicara tentang penafsiran al-Qur`ân, pada dasarnya telah dimulai sejak
diturunkannya al-Qur`ân kepada Rasulullah, yaitu oleh Rasulullah sendiri, kemudian
dilanjutkan oleh para sahabat, tabi‟in dan generasi setelahnya secara berkesinambungan
dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya hingga di zaman modern dan
kontemporer sekarang ini. Pada masa Sahabat, terdapat tiga aliran penafsiran al-Qur`an
yang diakui. Aliran pertama adalah aliran Makkah yang dipimpin oleh Abdullah bin
Abbas (w. 224 H), aliran madinah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka‟ab (w. 117 H), dan
aliran Iraq yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas‟ud.1
Dari kegiatan penafsiran yang berkesinambungan dari generasi ke generasi lainnya,
sudah barang tentu akan menghasilkan penafsiran yang berbeda, karena sebuah hasil
penafsiran tidak dapat terlepas dari kecenderungan sang mufassir, serta disesuaikan
dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi pada zaman dimana tafsir
itu lahir. Dalam hal ini Norman Calder menyatakan bahwa metode yang digunakan
seorang mufassir dianggap lebih penting dari pada produk penafsiran yang dihasilkan,
karena kualitas-kualitas yang membedakan mufassir satu dengan lainnya bukanlah
terletak pada kesimpulan mereka tentang makna teks al-Qur`an, melainkan pada
bagaimana mereka mengembangkan dan menunjukkan teknik-teknik yang menandai
keterlibatan serta penguasaan mereka terhadap sebuah disiplin literer.”2 Hal ini berakibat
pada munculnya berbagai macam metode dan pendekatan yang di gunakan dalam
penafsiran al-Qur`an.
Pada abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M, studi terhadap al-
Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi
perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia.3 Fenomena tersebut
merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu
mendialogkan antara al-Qur`ân sebagai teks (nas) yang terbatas dengan perkembangan
1
Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Muassasah al- Risâlah, 1983), h. 344
2
Norman Calder, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre, illustrated
with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.],
Approaches to the Qur‟an (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106.
3
J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation, (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 2
1
problem sosial kemanusiaan yang dihadapi oleh manusia sebagai konteks (waqâ‟i‟)
yang terbatas. Muhammad Syahrur dalam bukunya al- Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah
Mu‟âsirah, mengatakan bahwa “al-Qur`ân harus selalu ditafsirkan sesuai dengan
tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia”.4
Salah satu wujud respon kreatif terhadap tantangan modern yang dihadapi, para
perintis dan pembaharuan pemikiran Islam yang berinteraksi secara intens dengan
diskursus al-Qur`ân berusaha untuk mengembangkan metode tafsir dengan paradigma
baru yang di pandang bisa kompatibel dengan tuntutan zaman. Atas usaha kreatif dan
sungguh-sungguh itu, maka lahirlah teori-teori atau metode-metode baru dalam ladang
penafsiran al-Qur`ân dengan mengelaborasi dan mereaktualisasi ajaran-ajaran al-Qur`ân
dengan tuntutan zaman, seperti: isu- isu ekonomi, sosial, moral, politik dan sebagainya.
Metode-metode tersebut seperti metode fungsional dengan paradigma petunjuk al-
Qur`ân (hidâ`i) yang diprakarsai oleh trio reformis Islam, Jamâluddin al-Afghâni,
Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho yang dikembangkan dalam tafsir al-Manar,
metode literasi yang dibangun atas paradigma kesusastraan al- Qur`ân (al-Minhaj al-
adabi al-ijtimâ`iy) yang diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan diterapkan oleh Bint al-
Syâti‟ dalam Al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm, dan Ahmad Muhammad
Khalafullah lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-Qur`ân al- Karîm,5 teori kesatuan tema al-
Qur`ân (nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan
oleh Sa‟id Hawwa melalui Al-Asâs fî Al- Tafsîr dan teori hermeneutika yang diusung dan
digunakan oleh Fazlurrahman dengan double movement-nya6 dan Darwazah dengan
tartîb al-suwar hasba al- nuzûl-nya.7
Sehubungan dengan perkembangan kegiatan penafsiran, maka pembahasan dalam
artikel pendek ini lebih fokus pada metode dan tren penafsiran pada masa modern,
dilanjutkan dengan perspektif para sarjana tafsir modern terhadap metode tafsir al-
Qur`ân, akan tetapi sebelum membahas ketiga poin tersebut, terlebih dahulu akan akan
dijelaskan tentang pengertian dan sebab munculnya metode tafsir modern.
4
Muhammad Syahrur, al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`âh Mu‟âsirah, (Damaskus: Ahâli Li al-Nasyr wa al-
Tauzi‟, 1992), h. 33
5
Lihat Hamim Ilyas dalam kata pengantar, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. xii-xiii.
6
Lihat: A. Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman,
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 83
7
Ismail K. Poonawala, “Muhammad „Izzah Darwazah‟s Principles of modern exegesis: A contribution
toward quranic hermeneutics”, in Approaches To The Qur`ân, ed. G.R. Hawting and Abdul-Kader A.
Shareef, (London-New York: Routledge, 1993), h. 225
2
Rumusan Masalah
1. Pengertian tafsir masa modern
2. Karakteristik tafsir masa modern
3. Sumber penafsiran tafsir masa modern
4. Aliran aliran tafsir masa modern
5. Tokoh tokoh tafsir masa modern
3
PEMBAHASAN
4
kebanyakan hasil penafsiran tidaklah murni teoretis, akan tetapi ia mempunyai aspek
praktis untuk menjadikan teks dapat diaplikasikan dalam rangka memantapkan keimanan
dan dijadikan sebagai pandangan hidup bagi orang mukmin.14
Kiranya faktor utama yang membedakan keduanya (metodologi tafsir klasik dan metodologi
tafsir modern) adalah dampak ilmu pengetahuan yang menuntut terciptanya sebuah pemahaman
baru terhadap teks Kitab Suci. Mayoritas kalangan modernis berargumen bahwa sebagian besar
umat Islam tidak memahami pesan al-Qur`ân yang sesungguhnya, karena hilangnya sentuhan inti
pengetahuan dan semangat rasional dari teks.15 Disamping dampak ilmu pengetahuan sebagai
faktor pembedanya, terdapat pula dua karakteristik yang menonjol yang membedakannya dari
metodologi tafsir kalsik, yaitu: pertama, metodologi tafsir modern menjadikan al-Qur`ân sebagai
Kitab petunjuk, dengan meminjam istilah dari Amin al-Khûli (w. 1966 M) yaitu al-ihtidâ bi al-
Qur`ân.16 Dan kedua, adanya kecenderungan penafsiran yang melihat kepada pesan yang ada di
balik teks al-Qur`ân. Dengan kata lain, metodologi tafsir modern tidak menerima begitu saja apa
yang diungkapkan oleh al-Qur`ân secara literal, tetapi mencoba menelaah lebih jauh apa yang
ingin dicapai ungkapan-ungkapan literal tersebut, yaitu ingin mencari ruh atau pesan moral yang
terkandung dalam al- Qur`ân.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa metode tafsir bermakna suatu prosedur
sistematis yang diikuti dan digunakan dalam upaya memahami dan menjelaskan maksud
kandungan al-Qur`ân. Dalam hal ini Nashruddin Baidan mengemukakan metode tafsir
merupakan kerangka kerja yang digunakan dalam menginterpretasikan pesan-pesan al-
Qur`ân. Sedangkan yang dimaksud dengan metodologi tafsir adalah analisis ilmiah
mengenai metode-metode penafsiran al- Qur`ân.17
14
Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Simon &
Schuster Macmillan, 1995), vol. 14, h. 237
15
Andrew Rippin, “Tafsir”, in Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, h. 242
16
Amin al-Khûlî, “al-Tafsîr”, dalam Dâ`irat al-Ma‟ârif al-Islamiyah, Jilid 5, h. 365
17
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 2
5
al-Quran di era kekinian atau pada abad ke-14 ini.18
Perbedaan paradigma dalam penafsiran pada abad ke-14 ini memiliki pandangan
yang berbeda dengan abad yang secara umum dikatagorikan sebagai periode klasik yang
menolak segala bentuk bir ra’yi dan juga berbeda dengan periode pertengahan yang
mana penafsiran dan produk tafsir telah menjadi ideologi-ideologi madzhab dan aliran.
Pada abad ke-14 ini cenderung mengemukakan ide-ide rasional kritis dalam memandang
penafsiran al- Quran.19 Dalam paradigma yang sedemikian rupa, penafsiran pada abad
ke-14 ini berlandaskan pada beberapa asumsi diantaranya adalah asumsi bahwa al-
Quran itu shalih li kulli zaman wa makanyang mana karena al-Quran ini shalih li kulli
zaman wa makanmaka al-Quran harus ditafsirkan terus menerus, sehingga tidak
kehilangan relevansinya dengan perkembangan zaman.20 Kemudian asumsi yang lainnya
adalah asumsi bahwa teks yang statis dan konteks yang dinamis. Pada abad ke-14 ini
terdapat asumsi bahwa teks al-quran ini setelah dikodifikasikan menjadi korpus dan
terbatas sementara problem yang muncul di era kontemporer begitu kompleks dan tidak
terbatas dan dari sini muncul cara pandang bahwa harus diaktualkan dengan cara
mengontekstualisasikan pesan-pesan universal yang terkandung dalam al-Quran ke
dalam konteks partikular era kontemporer.21 Kemudian yang selanjutnya adalah asumsi
bahwa penafsiran bersifat relatif dan tentatif. Pada abad ini berasumsi bahwa sebenarnya
ada jarak antara tafsir dan al- Quran yang mana tafsir itu sendiri bukanlah quran yang
mutlak kebenarannya, berbeda dengan tafsir yang belum pasti kebenarannya. 22 Jadi pada
masa ini berpendapat bahwa penafsiran atau tafsir harus dikritisi dan diaktualisasikan.
Berangkat dari paradigma dan asumsi-asumsi yang ada di dalamnya, pada modern
ini memiliki karakteristik dalam penafsiran yang diantaranya adalah:
a. Memposisikan al-Quran sebagai kitab petunjuk
Para penafsir di abad ini sedikit banyak tepengaruh oleh gagasan Muhammad
Abduh dalam hal keinginan mengembalikan al-Quran sebagai kitab petunjuk. Inilah
kemudian menjadi ciri utama dari penafsiran di abad ini. Berkaitan dengan hal ini
bisa dilihat pada pernyataannya dalam tafsir al-fatihah dan Juz Amma. Dengan
paradigma tafsir hadaiy, lahirlah kitab-kitab tafsir yang berbeda dengan tafsir-tafsir
18
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah ..., 153
19
Rohimin, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, Jurnal Nuansa Edisi 1, No. 2, September 2010
lihat juga Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 18
20
Mustaqim, Dinamika Sejarah..., 154
21
Ibid., 156-157
22
Ibid.,157
6
sebelumnya. Sebagai contoh Abduh dan Rasyid ridha kemudian menulis kitab tafsir
al-mannar dengan corak adabi ijtima’i untuk memberi solusi atas problem kongkret
yang dihadapi umat islam waktu itu.
b. Bernuansa hermeneutis
Pada abad ke-14 ini bernuansa hermenetis dimana para mufasir pada abad ini
menafsirkan al-Quran lebih menekankan pada aspek epistimogis dalam
mengksaji al-Quran.23 Jadi dalam abad ini para mufasir menafsirkan al-Quran
bertujuan untuk agar al-Quran dapat dipahami dalam konteks kekinian yang
situasinya sangat berbeda. Model pembacaan hermeneutik rupanya menjadi trend
yang cukup mengemuka di era kontemporer dibanding era sebelumnya, yakni era
formatif yang berbasis pada nalar quasi kritis dan era afirmatif dengan nalar
ideologis.24 Dengan kata lain, model pendekatan hermeneutika akhirnya menjadi
“menu alternatif’ dalam kajian tafsir kontemporer sebagai rekonstruksi atas
pendekatan tafsir yang selama ini dianggap kurang memadai lagi untuk menjawab
tantangan zaman.
c. Kontekstual dan berorientasi pada spirit al-Quran
Mengungkap makna kontekstual dan berorientasi pada semangat al-Quran
merupakan karekteristik yang menonjol di era tafsir kontemporer. Hal itu dilakukan
dengan cara mengembangkan, bahkan mengganti metode dan paradigma lama. Jika
di kalangan mufadir klasik-tradisional metode yang digunakan umumnya adalah
analitik yang bersifat atomistik dan parsial, maka tidak demikian denganpara
mufadir kontrmporer yang menggunakan maudu’i. Namun tidak hanya itu, mereka
juga menggunakan pendekatan interdislipiner.
d. Ilmiyah, kritis dan non-sekterian
Tafsir di era modern dan kontemporer cenderung bersifat ilmiyah, kritis dan non
ideologis. Dikatakan ilmiyah karena produk tafsirnya dapat diuji kebenarannya
berdasarkan konsistensi metologi yang dipakai mufassir dan siap menerima kritik
dari academic community of interpreters. Dikatakan kritis dan non sekterian, karena
umumnya para mufassir kontemporer tidak terjebak pada kungkungan madzab
dam mencoba mengkritisi pendapat-pendapat ulama dahulu dan juga kontemporer
yang dianggap sudah tidak kompatibel dengan era sekarang.
23
Mustaqim, Dinamika Sejarah..., 163 lihat juga Nashr Hamid, Naqd al-khitab al-dini, (Kairo: Sina li
al-Nasyr, 1994), 142-146
24
Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Alquran Kontemporer Dalam Pemikiran Fazlur Rahman, (Jakarta:
Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama, 2007), 22
7
Dalam menelaah kitab tafsir yang ada hingga saat ini, terdapat sebagian mufassir
yang merujuk kepada tradisi ulama salaf, dan sebagian lainnya merujuk pada temuan
ulama modern-kontemporer. Adapun metode tafsir yang kepada tradisi ulama salaf,
dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk penafsiran, yaitu:
1) tafsir yang berdasarkan riwayat atau dengan istilah populernya disebut dengan al-
tafsîr bi al-ma`tsûr;
2) tafsir yang berdasarkan dirâyah atau yang dikenal dengan al-tafsîr bi al-ra`yi; dan
3) tafsir yang berlandaskan pada isyarat atau populer dengan nama al-tafsîr al-isyârî.25
Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan pada temuan ulama kontemporer
semisal al-Farmawi, terdapat empat buah metode yang berkembang pada masa
modern-kontemporer, yaitu global (ijmâlî), analitis (tahlîlî), perbandingan (muqârin),
dan tematik (maudû„î).26 Akan tetapi dari keempat metode tersebut, hanya dua metode
yang populer digunakan yaitu tahlîlî dan maudû„î, sebagaimana hasil pengamatan yang
dilakukan oleh Quraish Shihab.27 Jika berdasarkan hasil orientasi pengembangan ilmu
tafsir dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia tahun 1989, terdapat dua rumusan tentang
pengelompokkan metode-metode tafsir yang berkembang dari generasi ke generasi.
Kelompok pertama rumusan metode yang mengacu kepada sumber rujukan al-Qur`ân
yaitu riwâyah, dirâyah dan isyârî, termasuk dalam kategori metode klasik. sedangkan
empat metode yang disebutkan terakhir (global, analitis, perbandingan, dan tematik)
yang kemudian ditambah dengan satu metode yang berkembang belakangan yaitu
metode kontekstual yang menafsirkan al-Qur`ân berdasarkan pertimbangan latar
belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat dan pranata- pranata yang berlaku dan
berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan selama turunnya al-Qur`ân, termasuk
dalam kategori tafsir kontemporer.28
25
Hasan Yûnus „Ubaid, Dirâsât wa Mabâhits fî Târîkh al-Tafsîr wa Manâhij al- Mufassirîn, (Kairo:
Markaz al-Kitâb Li al-Nasyr, 1991), h. 18
26
„Abd al-Hayyî al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah Maudû„iyah,
(Kairo: Matba„ah al-Hadârah al-„Arabiyah, 1997), h. 23
27
M. Quraish Sihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 86
28
Sebagaimana yang dikutip oleh oleh Zufran Rahman dalam buku Petunjuk Tentang Hasil Orientasi
Pengembangan Ilmu Tafsir, yang di terbitkan oleh Ditjen Binbaga Islam, Ditbinpertais, Departemen
Agama RI, 1989 yang dimuat dalam buku yang diterjemahkannya, Ahmad al-Syirbasyi, Studi Tentang
Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur`ân al-Karîm, ed. Terj. (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 231
8
Dari klasifikasi diatas, perkembangan karakter dan metode yang berkembang pada
era modern-kontemporer berikut ini.
1. Metode Global
Metode global ini disinyalir oleh pakar tafsir sebagai metode yang pertama kali
hadir dalam sejarah perkembangan penafsiran al-Qur`ân, hal didasarkan atas fakta
bahwa pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya, bahasa khususnya bahasa Arab
bukanlah sebuah persoalan yang krusial yang dapat menghambat dalam memahami
al-Qur`ân. Faktor lain yang mendasari hadirnya metode ini adalah selain para
sahabat merupakan orang Arab, mereka juga mengetahui secara baik latar belakang
turunnya wahyu atau asbâb al-nuzûl ayat, bahkan mereka menyaksikan dan terlibat
langsung dalam situasi dan kondisi dimana ayat-ayat al-Qur`ân diturunkan. Sebagai
contoh, ketika Nabi menafsirkan kata zhulm dengan makna syirk. Dari realitas
sejarah diatas, dapatlah dikatakan bahwa metode global merupakan satu-satunya
metode yang relevan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur`ân pada masa-masa
awal Islam. Agaknya prosedur metode global yang praktis dan mudah ini,
memotivasi ulama tafsir belakangan untuk menulis karya tafsir dengan menerapkan
metode ini, semisal Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w.864 H) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûtî (w.
911 H) yang menulis kitab tafsir yang sangat populer dan dikenal dengan nama
Tafsîr al-Jalâlain.29 Pada era modern, kecenderungan menerapkan metode global
ini diikuti pula oleh Muhammad Farid Wajdi (w. 1940 M) dalam karyanya Tafsîr
al-Qur`ân al-Karîm dan al-Tafsîr al- Wasît.30
2. Metode Analitis
Selain ketidak puasan terhadap prosedur kerja metode global, terdapat faktor yang
sangat dominan yang menentukan hadirnya metode analitis ini. Faktor tersebut
adalah semakin meluasnya daerah umat Islam, dengan demikian umat Islampun
bertambah secara kuantitas, pemeluk Agama Islam tidak hanya dari orang Arab
akan tetapi juga dari orang non-Arab. Hal tersebut berdampak pada terjadi
perubahan besar dalam wacana pemikiran Islam, berbagai peradaban dan tradisi
non-Islam pun terinternalisasi kedalam khazanah intelektual Islam.
Kondisi demikian inilah yang mendorong para ulama tafsir untuk menemukan
sebuah metode yang relevan dengan perkembangan yang terjadi pada saat itu. Maka
para ulama tafsir saat itu menerapkan metode analitis dalam menafsirkan al-Qur`ân
29
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 3-5
30
„Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah Maudû„iyah, h.
44
9
yang dianggap relevan. Dalam prakteknya, metode analitis ini dapat dibedakan
dalam dua bentuk yaitu al-ma`tsûr dan al-ra`yu, yang dalam penyajiannya meliputi
bebagai corak sesuai dengan kecenderungan mufassir saat itu, seperti corak
kebahasaan, hukum atau fiqhi, „ilmi, sufistik, falsafi, dan sastra sosial
kemasyarakatan.31
3. Metode Perbandingan
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, bahwa kehadiran metode analitis
dapat memberikan informasi lengkap tentang kondisi, kecenderungan dan
kepakaran mufassir. Akan tetapi jika dihadapkan pada ayat-ayat al-Qur`ân yang
beredaksi mirip tetapi pada dasarnya memiliki pengertian yang berbeda, maka
metode analitis ini akan dirasa kurang refresentatif untuk diterapkan dalam
memahaminya.
Fakta diatas tampaknya menjadi motif hadirnya sebuah metode yang prosedur
kerjanya membandingkan ayat-ayat al-Qur`ân yang pernah diartikulasikan oleh
ulama terdahulu dalam memahami pesan al-Qur`ân ataupun hadits-hadits Nabi.
Metode ini dikenal dengan metode perbandingan (muqârin). Adapun sasaran
kajiannya meliputi tiga aspek, yaitu: perbandingan ayat al-Qur`ân dengan ayat lain,
perbandingan ayat al-Qur`ân dengan hadits Nabi, dan perbandingan penafsiran
mufassir dengan mufassir lainnya.32
Keunggulan metode perbandingan ini terletak pada 1) Memberikan penafsiran yang
relatif luas terhadap pembaca; 2) mentolerir perbedaan pandangan sehingga dapat
mencegah sikap fanatisme pada suatu aliran tertentu; dan 3) Memperkaya pendapat
dan komentar tentang suatu ayat. Adapun sisi kelemahannya, terletak pada 1) Tidak
cocok untuk dikaji oleh para pemula karena muatan materi pembahasannya terlalu
luas dan terkadang agak ekstrim; 2) Kurang dapat diandalkan dalam menjawab
persoalan sosial yang berkembang di masyarakat; dan 3) Terkesan dominant
membahas penafsiran ulama terdahulu daripada penafsiran baru.33
4. Metode Tamatik
Selaras dengan perkembangan masyarakat di era globalisasi ini, muncullah berbagai
problem dan pandangan yang mendesak untuk ditindak lanjuti secara serius.
Sehingga problem dan solusi yang diberikan oleh mufassir sebelumnya seperti
31
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 6-7
32
M. Quraish Shihab et.al., Sejarah dan Ulûm al-Qur`ân, h. 186-191
33
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân, 142-144
10
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha agaknya kurang relevan lagi dengan kondisi
masa kini, atau dengan kata lain tidak menjadi prioritas utama untuk
kehidupan masyarakat sekarang.34 Dari sinilah kiranya metode tematik hadir ke
permukaan.
Pemikiran dasar dari metode tematik ini diarahkan pada kajian pesan al- Qur`ân
secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat
al-Qur`ân menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. 35 Sebenarnya
penafsiran al-Qur`ân secara tematis ini telah dirintis dalam sejarah penafsiran,
meskipun berbeda sistematika penyajiannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil karya
yang ditulis oleh Ibn Qayyîm al-Jauzyah (w. 751) yang menulis tentang sumpah
dalam al-Qur`ân dalam karyanya al-Tibyân fî Aqsâm al-Qur`ân, Abû Ubaidah (w.
210 H) yang menulis Majâz al-Qur`ân, al-Farrâ‟ (w. 207 H) menulis Ma‟ânî al-
Qur`ân, dan yang lainnya.36
Dari keempat metode yang telah diutarakan diatas, masing-masing metode memiliki
keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu kelemahan dan keunggulan yang dimiliki
oleh metode-metode tersebut dapat dijadikan sebagai energi positif, paling tidak
keunggulannya dapat memperkaya prosedur penafsiran al-Qur`ân, baik yang terdapat
dalam karya klasik, modern hingga kontemporer. Sedangkan sisi kelemahannya dapat
kita jadikan faktor pemicu dan pendorong untuk menghadirkan sebuah metode yang
lebih revresentatif.
Dilihat dari segi penafsiran, tradisi penafsiran era kontemporer bersumber kepada
teks al-Quran, akal (ijtihad), dan realitas. Hanya saja secara paradigmatik, posisi teks,
akal, dan realitas (konteks) sekaligus sebagai objek dan subjek. Artinya, ketiganya selalu
berdialektik secara sirkular dan triadik. Ada peran yang berimbang antara teks,
pengarang, dan pembaca. Paradigma yang dipakai dalam memandang wakyu atau teks,
akal dan realitas cenderung paradigma fungsional, tidak lagi menggunakan paradigma
struktural yang cenderung saling mengatasbawahi atau menghegemoni satu sama lain.
34
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 112-113
35
Pada dasarnya ide ini telah disinggung oleh al-Syâtibî (w. 790 H) dalam karyanya al- Muwâfaqât. Lebih
lanjut lihat Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ al-Syâtibî, al-Muwâfaqât fî Usûl al- Syarî„ah, Jilid 3, (Beirut: Dâr
al-Ma„ârif, t.th.), h. 414-415
36
„Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû„î: Dirâsah Manhajiyah Maudû„iyah, h. 52.
Lihat juga Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Mu`assasat al-Risâlah, 1994),
cet. ke-25, h. 342
11
Jika dilukiskan, maka dalam paradigma tafsir kontemporer, posisi akal, wahyu, dan
realitas adalah sebagai berikut37:
PARADIGMA FUNGSIONAL
Teks/Wahyu
Akal Realitas
Hal ini berbeda dengan model paradigma tafsir klasik tradisional pada umumya
yang cenderung bersifat struktural dalam memposisikan teks kitab suci. Sebagai
perbandingan, maka hubungan teks, akal, dan konteks dalam paradigma tafsir klasik
dapat digambarkan sebagai berikut:
PARADIGMA STRUKTURAL
Teks/Wahyu
Akal Realitas
Paradigma struktural cenderung bersifat deduktif, artinya teks sebagai premis mayor
dijelaskan dengan akal dan realita sebagai premis minor. Berbeda dengan paradigma
fungsional yang cenderung dialektik yang mengasumsikan bahwa sebuah penafsiran
harus terus-menerus dilakukan dan tidak pernah mengenal titik final38.
37
Abdul Mustaqim , Dinamika Sejarah Al-Qur'an (Yogyakarta: Adab Press, 2014) 168-169
38
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Lkis, 2010) hlm. 66-67
12
Razi.39
2. Corak Tafsir Mazhab atau Kelompok
Pada abad modern ini, dari setiap kelompok saling menafsirkan Al-Qur’an
dengan pemahaman akidahnya sesuai tujuannya masing-masing. Contohnya
seperti penafsiran Mazhab Mu’tazilah yang dikarang oleh Al-Zamakhsyari dalam
kitabnya yaitu Al-Kasyaf.40
3. Corak Tafsir Ilhadi
Merupakan corak tafsir yang mengandung pemikiran kufur atau musuh-musuh islam
yang selalu melakukan makar dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan
melakukan penafsiran Al-Qur’an dengan tujuannya yang buruk. Mereka
menafsirkan Al-Qur’an secara tidak benar dengan menafikan tujuan Al-Qur’an,
dan menentang isi kandungan Al-Qur’an.41
4. Corak Tafsir Al-Adabi Wal Ijtima’i
Merupakan corak tafsir yang menitik beratkan penjelasan dalam ayat-ayat Al-
Qur’an dalam segi ketelitian redaksinya, menyusun kandungan Al-Qur’an dalam
satu redaksi, penafsiran dikaitkan dengan sunnatullah yang terjadi dalam
masyarakat.5 Contoh kitab tafsir yang menggunakan corak ini yaitu Tafsir Al-
Mannar karya Muhammad Rasyid Rida (1354 H).
39
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta, kreasi wacana, 2005), hal 74
40
Mahmud bin Amru bin Ahmad Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf an Haqaiq Gawamid Al-Tanzīl, Juz 1,
(Beirut: Dar Kitab al-Arabi, 1407 H), h. 48
41
Muhammad Husain Al-Zahabi, Al-Tafsir Wal Mufassirin, jilid 2 (Cairo, Maktabah Wahbah, t.th.), hal.
383
42
Nazhifah Dinn, Tafsir-tafsir modern dan kontemporer abad 19-21, M. jurnal Imam san spritulitasi, 2021,
214
13
perkuliahan Abduh tentang tafsir Al-Qur’an di Universitas Al-Azhar.
Sepeninggalan beliau tafsir tersebut disusun kembali oleh Muhammad Rasyid
Ridha yang merupakan murid dari Muhammad Abduh.43
43
Nazhifah Dinn, Tafsir-tafsir modern dan kontemporer abad 19-21
44
Sayyid Quthb, Fi Zilalil- Qur’an, Ter. Drs. As’ad dkk,(Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Jilid 12, hlm.
386.
45
Nazhifah Dinn, Tafsir-tafsir modern dan kontemporer abad 19-21, M. jurnal Imam san spritulitasi, 2021,
214
14
Dalam menafsirkan ayat al-quran Sayyid Quthub mengggunakan metode
penafsiran tematik, yaitu: beliau terlebih dahulu memberikan gambaran tema-
tema yang ada didalam surat tersebut, setelah itu beliau melakukan
pengelompokan ayat untuk ditafsirkan. Jika ada ayat ayat yang tidak
memerlukan takwil maka beliau tidak akan ditakwilkan lebih jauh karena,
beliau lebih condong dalam penolakan takwil. Penolakan itu hanya berlaku
pada ayat-ayat tertentu. Dengan demekian, dalam penafsiran Sayyid Qutb beliau
membatasi rung lingkup paranan akal.46
15
memakai ayat dan atsar, ia juga memakai ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam
penafsiran ayatnya. Namun perlu ditekankan kembali, penafsiran beliau
yang bersumber dari riwayat (relatif) terjaga dari riwayat yang lemah (dha’if)
dan sulit diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah.
4. Quraish shihab
Belaiu adalah seorang penulis yang produktof dan juga mufassir kontemporer.
Banyak dari tulisan yang telah diterbitkan, dari karya-karya beliu berkaitan
dengan studi Al-Qur’an. Salah satu karya beliau adalah tafsir Al-Misbah
merupakan mahakarya beliau yang sangat besar. Dari buku tafsir inilah nama
beliau mulai dikenal sebagai salah satu mufasiir Indonesia yan mampu
menafsirkan 30 juz dari volume 1 sampai 15. Yang melatarbelakangi quraish
shihab dalam menulis tasr al-misbah adalah: karena kesemangatan beliau untuk bisa
memunculkan karya tafsir Alquran kepada masyarakat secara normatif
dikobarkan oleh apa yang dianggapnya sebagai suatu fenomena melemahnya
kajian dan khazanah keilmuan Alquran sehingga Alquran tidak dijadikan untuk
pedoman hidup dan sumber rujukan dalam mengambil suatu keputusan. Menurut
Quraish dewasa ini masyarakat Islam lebih terpesona pada lantunan bacaan
Alquran, seakan-akan kitab suci Alquran hanya diturunkan untuk dibaca.
Tafsir Al-Miabah sangat jelas menggunakan model al-tafsir bi al ma’tsur atau
al-tafsir bi al-riwayah atau al-tafsir bi al-manqul. Ciri tafsir timur tengah
sangatlah jelas dalam tafsir Al-Misbah ini.48
48
Nazhifah Dinn, Tafsir-tafsir modern dan kontemporer abad 19-21, M. jurnal Imam san spritulitasi, 2021,
216
16
PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir dalam konteks masa modern melibatkan interpretasi yang mendalam dan
beragam terhadap teks-teks klasik atau fenomena-fenomena sosial, politik, budaya, dan
teknologi yang relevan dengan zaman kita yang serba modern ini. Pendekatan ini
mempertimbangkan berbagai aspek yang mencakup konteks kontemporer, pembaruan
interpretasi, multidisiplin ilmu, relevansi sosial, kritis dan kontekstual, serta pemahaman
inklusif.
Dalam melakukan tafsir masa modern, pertimbangan utama adalah konteks
kontemporer yang meliputi perkembangan teknologi, globalisasi, dan dinamika sosial
yang cepat berubah. Tafsir harus mampu menangkap esensi teks-teks klasik dalam
konteks zaman sekarang, menghadirkan pemahaman yang relevan dan aplikatif bagi
masyarakat modern. Ini melibatkan pembaruan interpretasi untuk memastikan
keberlanjutan dan kebaruan makna-makna yang terkandung dalam teks-teks tersebut.
Selain itu, tafsir masa modern juga menggabungkan berbagai disiplin ilmu, seperti
ilmu sosial, ilmu politik, psikologi, dan teknologi. Pendekatan multidisiplin ini membantu
dalam memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dan holistik terhadap teks-teks
klasik serta fenomena-fenomena masa kini. Hal ini memungkinkan untuk menemukan
keterkaitan antara teks-teks klasik dengan realitas sosial dan konteks kontemporer.
Relevansi sosial menjadi fokus penting dalam tafsir masa modern. Interpretasi
terhadap teks-teks klasik haruslah dapat diterapkan dalam konteks kehidupan sehari-hari,
dan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan masyarakat yang lebih
baik. Oleh karena itu, tafsir masa modern harus mempertimbangkan nilai-nilai universal
yang dapat membantu dalam memecahkan tantangan dan masalah sosial yang dihadapi
oleh masyarakat modern.
Pendekatan kritis dan kontekstual juga menjadi karakteristik penting dalam tafsir
masa modern. Ini berarti bahwa interpretasi terhadap teks-teks klasik harus dilakukan
dengan kritis, mengakui bahwa pemahaman dapat bervariasi tergantung pada latar
belakang budaya, sosial, dan historis individu yang melakukan tafsir. Pemahaman
inklusif juga menjadi prinsip yang penting, mengakui bahwa ada berbagai sudut pandang
yang berbeda dalam memahami teks-teks klasik dan fenomena-fenomena masa kini.
Dengan mempertimbangkan semua aspek ini, tafsir masa modern dapat menjadi alat
yang berharga dalam memahami teks-teks klasik dan fenomena-fenomena masa kini,
serta memfasilitasi dialog antara tradisi dan konteks kontemporer. Ini membantu dalam
membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai yang dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, serta mempromosikan pemikiran yang inklusif dan
progresif dalam masyarakat modern.
17
DAFTAR PUSTAKA
18