BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Tafsir sebagai suatu aktifitas berarti menjelaskan, menyingkapkan dan menampakkan makna atau pengertian yang
tersembunyi dalam sebuah teks, akan tetapi, tafsir dalam suatu produk dapat diartikan sebagai suatu hasil
pemahaman mufassir terhadap ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang di pilih oleh sang mufassir. Pendek kata, tafsir
adalah upaya mufassir untuk menjelaskan firman Tuhan yang termuat dalam teks suci (al-Qur’an),
meskipun mufassir tersebut tidak menafsirkan ayat al-Qur’an secara keseluruhan.
Sedangkankontemporerberarti era masakini, zamansekarang,atau yang bersifatkekinian.
Kontemporerlahirdarimodernitas,sehinngaistilah moderndankontemporermerujukpadadua
era, meskipun keduanyatidakmemilikipenggalanwaktu yang pasti.Takadakesepakatan yang
jelastentangIstilahkontemporer.Misalnyaapakahistilahkontemporermeliputiabad ke-19 atauhanyamerujukpadaabad
ke-20 atau 21.Sebagianpakarberpandanganbahwakontemporeridentikdengan modern,
keduanyasalingdigunakansecarabergantian.Dalamkonteksperadaban Islam
keduanyadipakaisaatterjadikontakintelektualpertamadunia Islam dengan
Barat.Kiranyatakberlebihanbilaistilahkontemporerdisinimengacupadapengertian era yang
relevandengantuntutankehidupan modern.
Makadapatdisimpulkanbahwatafsirkontemporerialahtafsirataupenjelasanayat Al-Qur’an yang
disesuaikandengankondisikekinianatausaatini.Pengertiansepertiinisejalandenganpengertiantajdidyakniusahauntuk
menyesuaikanajaran agama
dengankehidupankontemporerdenganjalanmenta’wilkanataumenafsirkansesuaidenganperkembanganilmupengetah
uansertakondisisosialmasyarakat.[1]
B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana karakteristik tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern?
2. Apa perbedaan tafsir ulama’ muta’akhirin abad modern dengan muta’akhkhirin abad pertengahan?
3. Apa sebab-sebab perbedaan tafsir ulama’ muta’akhirin abad modern dengan muta’akhkhirin abad pertengahan?
4. Apa saja sumber tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern?
5. Kitab-kitabtafsir apa sajakah yang muncul pada masa ulama’ muta’akhkhirinabad modern?
C. Tujuan Penulisan.
1. Untuk mengetahui dan memahami karakteristiktafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern.
2. Untuk mengetahui perbedaan antara tafsir ulama’ muta’akhirin abad modern dan muta’akhkhirin abad
pertengahan.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern.
4. Untuk mengetahui sumber-sumber tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern.
5. Untuk mengetahuidan mampu menunjukkan kitab-kitabtafsiryang muncul pada masa ulama’ muta’akhkhirinabad
modern.
BAB II
PEMBAHASAN
Tafsir ()تفسر secara bahasa merupakan bentuk Masdar dari kata (يرا88888ر –تفس88888ر– يفس88888)فس, Yang berarti
االيضاح (Menjelaskan), (التبينMenerangkan), dan (االظهارMenampakan).[2]
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefenisikan tafsir menurut pandangannya masing-masing. Diantaranya
adalah:
1. Al-Zarqani
علم يبحث عن القران الكرمي من حيث داللته على مراد اهلل تعلى بقدر الطاقة البشرية
tinya: “Ilmu yang membahas al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas
kemampuan manusia”.[3]
2. Al-Zarkasyi.
علم يعرف به كتاب اهلل املنزل على نبيه حممد صلى اهلل عليه وسلم وببان معانيه واستخراج احكامهوحكمه
tinya: “Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Saw. Menjelaskan maknanya, hukum-hukumnya
dan hikmah-hikmahnya”.[4]
علم يبحث فيه عن احوال القران العزيز من حيث داللته على مراد اهلل تعلى بقدر الطاقة البشرية
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang keadaan al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang dikehendaki
oleh Allah sebatas kemampuan manusia”.[5]
Dari pengertian-pengertian tafsir tersebut dapat kita pahami bahwa tafsir itu adalah upaya seorang mufassir untuk
menjelaskan al-Qur’an untuk mengetahiu makna-maknanya, hukum-hukumnya, dan hikmah-hikmah yang
terkandung didalam al-Qur’an.
Sedangkan kontemporer adalah sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti:
“pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dan, dewasa ini”.[6]
Jadi, Tafsir kontemporer dapat diartikan upaya mufassir untuk menjelaskan al-Quran sesuai dengan konteks ayat
pada saat ini.
Perkembangan tafsir kontemporer tidak dapat begitu saja di lepaskan dengan perkembangannya di masa modern.
Paling tidak gagasan-gagasan yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula sejak zaman modern,
yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla yang sangat kritis melihat produk-produk penafsiran Al-
Qur’an. Paradigma tafsir kontemporer dapat diartikan sebagai sebuah model atau cara pandang, totalitas premis-
premis dan metodologis yang dipergunakan dalam penafsiran Al-Qur’an di era kekinian. Meskipun masing-masing
paradigma tafsir memiliki keunikan dan karakteristiknya sendiri, namun ada beberapa karakteristik yang menonjol
dalam paradigma tafsir kontemporer, antara lain:
Upaya untuk memastikan Al-Qur’an sebagai petunjuk ini berawal dari kegelisahan Muhammad Abduh terhadap
produk-produk penafsiran Al-Qur’an masa lalu. Menurutnya, kitab-kitab tafsir yang berkembang pada masa-masa
sebelumnya umumnya telah kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia. Abduh menilai
bahwa kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas
berbagai pendapat para ulama’ yang saling berbeda dan pada akhirnuya menjauhkan dari tujuan diturunkannya Al-
Qur’an sebagai petunjuk bagi umat mausia.
Sebagian besar dari kitab-kitab tafsir klasik dinilai oleh Abduh hanya berkutat pada pengertian kata-kata atau
kedudukan kalimat-kalimat dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang
dikandung oleh redaksi ayat-redaksi ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu, kebanyakan kitab-kitab tafsir tersebut
cenderung menjadi semacam latihan praktis di bidang kebahasaan, bukan kitab tafsir dalam arti kitab yang ingin
menyingkap kandungan nilai dan ajaran Al-Qur’an, kecuali beberapa kitab tafsir yang abduh sebut sebagai kitab
yang baik dan bisa dipercaya, seperti kitab tafsir karya az-Zamakhsyari, ath-Thabari, al-Asfihani dan al-Qurthubi.
Menurut Abduh, tafsir harus berfungsi menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber petunjuk, bukan untuk menilai
ideologi tertentu. Hal inilah yang kemudian mendorong Abduh dan Rasyid Ridha untuk menulis kitab tafsir yang
berbeda coraknya dengan tafsir-tafsir klasik sebelumnya, yakni tafsir Al-Manar yang bercorak adabi-ijtima’i.
Penulisan kitab tafsir dimaksudkan untuk memberikan solusi atas problem konkret yang dihadapi umat islam
waktu itu.
Para mufassir kontemporer sedikit banyak terpengaruh oleh gagasan Abduh dalam hal keinginannya untuk
mengembalikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Inilah yang kemudian menjadi ciri utama dari penafsiran-
penafsiran kontemporer, baik yang dikembangkan melalui metode tematik-konstektual maupun yang
dikembangkan melalui pendekatan historis, sosiologi, hermeneutis, dan bahkan juga yang menggunakan
pendekatan interdisipliner.
Dalam rangka mengembalikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, para mufassir kontemporer tidak lagi
menjadikan Al-Qur’ansebagai wahyu yang mati sebagaimana yang dipahami oleh para mufassir klasik tradisional.
Para mufassir kontemporer menganggap wahyu yang berupa teks Al-Qur’an itu sebagai wahyu yang hidup.
Dengan demikian, merekapun mengembangkan model pembacaan dan penafsiran yang lebih kritis dan produktif,
bukan pembacaan yang mati dan ideologis meminjam istilah Ali Harb. Pembacaan kritis menurutnya adalah
pembacaan teks Al-Qur’an yang tak terbaca dan ingin menyingkapkan kembali apa yang tak terbaca tersebut.[7]
2. Bernuansa Hermeneutis.
Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu Hermeneutique, yang berarti teknik dalam menetapkan
makna, adapula yang mengatakan bahwa asal katanya adalah Hermenium yang artinya penjelasan,penafsiran,
penerjemahan. Di samping itu ada yang juga pendapat yang mengatakan bahwa kata Hermeneutik merujuk kepada
seorang sosok yang bernama Hermes, yaitu seorang pembawa pesan. Secara terminologi, hermeneutik bisa
diartikan sebagai sebuah proses untuk memahami sesuatu yang belum dimengerti. Untuk menafsirkan sesuatu
seseorang terlebih dahulu harus memahaminya. Jadi, hermeneutik bisa dikatakan adalah sebuah alat untuk bisa
memahami sebuah teks.
Penggunaan hermeneutik sebagai metode penafsiran al-Qur`an mengisyaratkan bahwa setiap penafsiran patut
dicurigai, apakah di dalamnya terkandung unsur kepentingan atau ideologi tertentu di balik penafsiran tersebut?.
Dalam hal ini, Asghar Ali Engineer berpendapat bahwa setiap mufassir pasti punya background masing-masing
yang mempengaruhi cara pandangnya terhadap teks. Sehinggaterkadangtimbulkeinginanuntukmenafsirkan al-
Qur’an sesuaidenganideologi yang dimilikinya yang terkadangmembuatpesandari al-Qur’an menjaditerabaikan.
Salah satu karakteristik tafsir Al-Qur’an di era kontemporer adalah sifatanya yang kontekstual dan
berorientasi pada semangat Al-Qur’an. Jika metode yang digunakan mufassir klasik adalah metode analitik maka
tidak halnya yang digunakan para mufassir kontemporer yang menggunakan metode tematik. Mereka juga
menggunakan pendekatan interdisipliner dengan memanfaatkan perangkat keilmuan modern.
Jika oleh para mufassir klasik adigium ini dimaknai sebagai “pemaksaan” makna literal ke berbagai konteks
situasi dan kondisi manusia, maka para mufassir kontemporer mencoba melihat apa yang berada “di balik” teks
ayat-ayat al-Qur’an.Oleh karenanya, para mufassir kontemporer tidak menerima begitu saja apa yang di
ungkapkan oleh ayat-ayat al-Qur’an secara literal, melainkan mencoba melihat lebih jauh apa yang ingin di tuju
oleh ungkapan literal ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, yang ingin dicari oleh mufassir kontemporer adalah
“Ruh” atau pesan moral al-Qur’an itu sendiri.
Pada masa kontemporer ini muncul kaidah al-‘ibrah bi ma qashid asy-syari’ah. Berangkat dari kaidah ini
muncul berbagai upaya di kalangan sebagian mufassir kontemporer untuk mencari nilai universal al-Qur’an yang
menjadikan kitab suci umat islam ini senantiasa relevan untuk setiap zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa
makan).Nilai universal ini tidak selalu tertuang dalam pernyataan ayat secara eksplisit, namun seringkali hanya
secara implisit yang bisa diketahui apabila pemahaman atas ayat-ayat al-Qur’an tidak dilakukan secara harfiah atau
sepotong-potong.
Karakteristik lain dari era tafsir kontemporer adalah sifat nya yang ilmiah, kritis, dan non-sektarian. Dikatakan
ilmiah karena produk tafsirnya dapat diuji kebenarannya berdasarkan konsistensi metodologi yang dipakai
mufassir kontemporer tidak terjembak pada kungkungan madzhab. Mereka justru mencoba bersikap kritis terhadap
pendapat-pendapat ulama’ klasik maupun kontemporer yang dianggap sudah tidak kompatibel dengan era
seekarang. Inilah salah satu implikasi dari digunakannya metode hermeneutis dalam memahami Al-Qur’an
maupun teks-teks lainnya.
Dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an yang di gunakan metode hermeneutika selalu terjadi dialog komunikatif
yang berimbang antara dunia teks, dunia penulis, dan dunia pembaca. Artinya, antara teks, konteks, dan
kontekstualisasi seelalu berdialektika secara sirkular. Paradigma hermeneutika selalu melihat teks secarakritis dan
memosisikannya sebagai sesuatu yang harus dibacasecara produktif, bukan hanya reproduktif-repetitif.[10]
Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak
reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra. Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir,
Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode
penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
Pada masa ulama abad pertengahan masing-masing golongan menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan
penafsiran yang tidak dapat diterima oleh ayat itu sendiri demi mendukung kepentingan mazhabnya atau menolak
pihak lawan, sehingga tafsir kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana petuunjuk, pembimbing dan pengetahuan
mengenai hukum agama. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi menang atas tafsir bil-ma’sur.
Pada masa-masa selanjutnya, penulisan tafsir mengikuti pola di atas melalui upaya muta’akhkhirin yang
mengambil begiu saja penafsiran golongan mutaqaddimin, tetapi dengan cara meringkasnya di satu saat dan
memberinya komentar di saat lain. Keadaan demikian terus berlanjut sampai lahirnya pola barudalam
tafsir mu’asir (modern), di mana sebagian mufassir memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer di samping
upaya penyingkapan asas-asas kehidupan sosial, prinsip-prinsip tasyri’ dan teori-teori ilmu pengetahuan dari
kandungan Qur’an sebagaiman terlihat dalam tafsir Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an,Al-Manar dan Fi zhilal Al-
Qur’an.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir adalah upaya seorang mufassir untuk menjelaskan al-Qur’an untuk mengetahiu makna-maknanya, hukum-
hukumnya, dan hikmah-hikmah yang terkandung didalam al-quran.
Sedangkan kontemporer adalah sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti:
“pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dan, dewasa ini”.
Jadi, Tafsir kontemporer dapat diartikan upaya mufassir untuk menjelaskan al-Quran sesuai dengan konteks ayat
pada saat ini.
Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak
reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra. Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir,
Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode
penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
Karekteristik tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern:
1. Memosisikan Al-Qur’an sebagai Kitab Petunjuk.
2. Bernuansa hermeneutis.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Ali. 2011.Sejarah Dan Pengantar Ilmu Tafsir, .Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau.
Al-Tsabt, Khalid Bin Utsman. 1997.Qawaid Al-TafsirJam’anWaDirasasatan,Arab Saudi: Dar IbnAffan.
Al-Zarkasyi, Badr Al-Din Muhammad Ibn Abdullah Ibn Bahadir. 1957.Al-Burhan Fi Ulumil Quran, Beirut: Dar
Al-Ma’rifah.
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azhim. 1995.Manahil Irfan Fi Ulumul Quran,Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-
Arabiy.
Hikmah, Alfi. “Makalah Sejarah Perkembangan Tafsir ‘tafsir periode kontemporer”, dalam
http://sinarbintangkita.blogspot.co.id/2015/12/makalah-sejarah-perkembangan-tafsir.html (28 September 2016).
http://kbbi.web.id/kontemporer (diaksespada28 September 2016).
Mustaqim, Abdul. 2010.Epistemologi Tafsir kontemporer, Yogyakarta: LkiS, 2010.
Ridha, Muhammad Rasyid. 1954. Tafsir al-Manar, Mesir: Dar Al-Manar.
Samsurrohman,2014.Pengantar Ilmu Tafsir , Jakarta: Amzah.
Yusron, M. 2006. Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Taras.
[1]Alfi Hikmah, “Makalah Sejarah Perkembangan Tafsir ‘tafsir periode kontemporer”, dalam
http://sinarbintangkita.blogspot.co.id/2015/12/makalah-sejarah-perkembangan-tafsir.html (28 September 2016).
[2]Ali Akbar, Sejarah Dan PengantarIlmuTafsir, (Pekanbaru: YayasanPustaka Riau, 2011),1.
[3]Muhammad ‘Abdul ‘Azhim Al-Zarqani, ManahilIrfan Fi Ulumul Quran, (Beirut: Dar Ihya Al-TuratsAl-Arabiy, 1995), 334.
[4]Badr Al-Din Muhammad Ibn Abdullah Ibn Bahadir Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulumil Quran,(Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1957), 163-
164.
[5]Khalid Bin Utsman Al-Tsabt, Qawaid Al-TafsirJam’anWaDirasasatan, (Arab Saudi: Dar IbnAffan, 1997), 29.
[6] http://kbbi.web.id/kontemporer (diaksespada28 September 2016).
[7]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), 58-61.
[8]Ibid.., 61-63.
[9]Ibid.., 63-65.
[10]Ibid.., 65-66.
[11] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Surabaya: Litera AntarNusa, 2014), 478.
[12] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epstimologi Tafsir,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 92-93.
[13]Samsurrohman,Pengantar Ilmu Tafsir,(Jakarta: Amzah, 2014), 216-217.
[14]M. Yusron, Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta; Taras, 2006), 25.
[15]Ibid, 80.