Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH TAFSIR KONTEMPORER

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang.
Tafsir sebagai suatu aktifitas berarti menjelaskan, menyingkapkan dan menampakkan makna atau pengertian yang
tersembunyi dalam sebuah teks, akan tetapi, tafsir dalam suatu produk dapat diartikan sebagai suatu hasil
pemahaman mufassir terhadap ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang di pilih oleh sang mufassir. Pendek kata, tafsir
adalah upaya mufassir untuk menjelaskan firman Tuhan yang termuat dalam teks suci (al-Qur’an),
meskipun mufassir tersebut tidak menafsirkan ayat al-Qur’an secara keseluruhan. 
Sedangkankontemporerberarti era masakini, zamansekarang,atau yang bersifatkekinian.
Kontemporerlahirdarimodernitas,sehinngaistilah moderndankontemporermerujukpadadua
era, meskipun keduanyatidakmemilikipenggalanwaktu yang pasti.Takadakesepakatan yang
jelastentangIstilahkontemporer.Misalnyaapakahistilahkontemporermeliputiabad ke-19 atauhanyamerujukpadaabad
ke-20 atau 21.Sebagianpakarberpandanganbahwakontemporeridentikdengan modern,
keduanyasalingdigunakansecarabergantian.Dalamkonteksperadaban Islam
keduanyadipakaisaatterjadikontakintelektualpertamadunia Islam dengan
Barat.Kiranyatakberlebihanbilaistilahkontemporerdisinimengacupadapengertian era yang
relevandengantuntutankehidupan modern.
Makadapatdisimpulkanbahwatafsirkontemporerialahtafsirataupenjelasanayat Al-Qur’an yang
disesuaikandengankondisikekinianatausaatini.Pengertiansepertiinisejalandenganpengertiantajdidyakniusahauntuk
menyesuaikanajaran agama
dengankehidupankontemporerdenganjalanmenta’wilkanataumenafsirkansesuaidenganperkembanganilmupengetah
uansertakondisisosialmasyarakat.[1]

B.  Rumusan Masalah.
1.    Bagaimana karakteristik  tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern?
2.    Apa perbedaan tafsir ulama’ muta’akhirin abad modern dengan muta’akhkhirin abad pertengahan?
3.    Apa sebab-sebab perbedaan tafsir ulama’ muta’akhirin abad modern dengan muta’akhkhirin abad pertengahan?
4.    Apa saja sumber tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern?
5.    Kitab-kitabtafsir apa sajakah yang muncul  pada masa ulama’ muta’akhkhirinabad modern?

C.  Tujuan Penulisan.
1.    Untuk mengetahui dan memahami karakteristiktafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern.
2.    Untuk mengetahui perbedaan antara tafsir ulama’ muta’akhirin abad modern dan muta’akhkhirin abad
pertengahan.
3.    Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern.
4.    Untuk mengetahui sumber-sumber tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern.
5.    Untuk mengetahuidan mampu menunjukkan kitab-kitabtafsiryang muncul  pada masa ulama’ muta’akhkhirinabad
modern.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Tafsir Kontemporer.

Tafsir (‫)تفسر‬ secara bahasa merupakan bentuk Masdar dari kata (‫يرا‬88888‫ر –تفس‬88888‫ر– يفس‬88888‫)فس‬, Yang berarti
‫االيضاح‬ (Menjelaskan), ‫(التبين‬Menerangkan), dan ‫(االظهار‬Menampakan).[2]
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefenisikan tafsir menurut pandangannya masing-masing. Diantaranya
adalah:
1.    Al-Zarqani

‫علم يبحث عن القران الكرمي من حيث داللته على مراد اهلل تعلى بقدر الطاقة البشرية‬
tinya: “Ilmu yang membahas al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas
kemampuan manusia”.[3]
2.    Al-Zarkasyi.
‫علم يعرف به كتاب اهلل املنزل على نبيه حممد صلى اهلل عليه وسلم وببان معانيه واستخراج احكامهوحكمه‬
tinya: “Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Saw. Menjelaskan maknanya, hukum-hukumnya
dan hikmah-hikmahnya”.[4]

3.    Khalid bin Utsman al-Tsabt.

‫علم يبحث فيه عن احوال القران العزيز من حيث داللته على مراد اهلل تعلى بقدر الطاقة البشرية‬
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang keadaan al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang dikehendaki
oleh Allah sebatas kemampuan manusia”.[5]

Dari pengertian-pengertian tafsir tersebut dapat kita pahami bahwa tafsir itu adalah upaya seorang mufassir untuk
menjelaskan al-Qur’an untuk mengetahiu makna-maknanya, hukum-hukumnya, dan hikmah-hikmah yang
terkandung didalam al-Qur’an.

Sedangkan kontemporer adalah sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti:
“pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dan, dewasa ini”.[6]

Jadi, Tafsir kontemporer dapat diartikan upaya mufassir untuk menjelaskan al-Quran sesuai dengan konteks ayat
pada saat ini.

B.  Karekteristik tafsir ulama’ mutaakhkhirin abad modern.

Perkembangan tafsir kontemporer tidak dapat begitu saja di lepaskan dengan perkembangannya di masa modern.
Paling tidak gagasan-gagasan yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula sejak zaman modern,
yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla yang sangat kritis melihat produk-produk penafsiran Al-
Qur’an. Paradigma tafsir kontemporer dapat diartikan sebagai sebuah model atau cara pandang, totalitas premis-
premis dan metodologis yang dipergunakan dalam penafsiran Al-Qur’an di era kekinian. Meskipun masing-masing
paradigma tafsir memiliki keunikan dan karakteristiknya sendiri, namun ada beberapa karakteristik yang menonjol
dalam paradigma tafsir kontemporer, antara lain:

1.    Memosisikan Al-Qur’an sebagai Kitab Petunjuk.

Upaya untuk memastikan Al-Qur’an sebagai petunjuk ini berawal dari kegelisahan Muhammad Abduh terhadap
produk-produk penafsiran Al-Qur’an masa lalu. Menurutnya, kitab-kitab tafsir yang berkembang pada masa-masa
sebelumnya umumnya telah kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia. Abduh menilai
bahwa kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas
berbagai pendapat para ulama’ yang saling berbeda dan pada akhirnuya menjauhkan dari tujuan diturunkannya Al-
Qur’an sebagai petunjuk bagi umat mausia.

Sebagian besar dari kitab-kitab tafsir klasik dinilai oleh Abduh hanya berkutat pada pengertian kata-kata atau
kedudukan kalimat-kalimat dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang
dikandung oleh redaksi ayat-redaksi ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu, kebanyakan kitab-kitab tafsir tersebut
cenderung menjadi semacam latihan praktis di bidang kebahasaan, bukan kitab tafsir dalam arti kitab yang ingin
menyingkap kandungan nilai dan ajaran Al-Qur’an, kecuali beberapa kitab tafsir yang abduh sebut sebagai kitab
yang baik dan bisa dipercaya, seperti kitab tafsir karya az-Zamakhsyari, ath-Thabari, al-Asfihani dan al-Qurthubi.

Menurut Abduh, tafsir harus berfungsi menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber petunjuk, bukan untuk menilai
ideologi tertentu. Hal inilah yang kemudian mendorong Abduh dan Rasyid Ridha untuk menulis kitab tafsir yang
berbeda coraknya dengan tafsir-tafsir klasik sebelumnya, yakni tafsir Al-Manar yang bercorak adabi-ijtima’i.
Penulisan kitab tafsir dimaksudkan untuk memberikan solusi atas problem konkret yang dihadapi umat islam
waktu itu.

Para mufassir kontemporer sedikit banyak terpengaruh oleh gagasan Abduh dalam hal keinginannya untuk
mengembalikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Inilah yang kemudian menjadi ciri utama dari penafsiran-
penafsiran kontemporer, baik yang dikembangkan melalui metode tematik-konstektual maupun yang
dikembangkan melalui pendekatan historis, sosiologi, hermeneutis, dan bahkan juga yang menggunakan
pendekatan interdisipliner.
Dalam rangka mengembalikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, para mufassir kontemporer tidak lagi
menjadikan Al-Qur’ansebagai wahyu yang mati sebagaimana yang dipahami oleh para mufassir klasik tradisional.
Para mufassir kontemporer menganggap wahyu yang berupa teks Al-Qur’an itu sebagai wahyu yang hidup.
Dengan demikian, merekapun mengembangkan model pembacaan dan penafsiran yang lebih kritis dan produktif,
bukan pembacaan yang mati dan ideologis meminjam istilah Ali Harb. Pembacaan kritis menurutnya adalah
pembacaan teks Al-Qur’an yang tak terbaca dan ingin menyingkapkan kembali apa yang tak terbaca tersebut.[7]

2.    Bernuansa Hermeneutis.

Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu Hermeneutique, yang berarti teknik dalam menetapkan
makna, adapula yang mengatakan bahwa asal katanya adalah Hermenium yang artinya penjelasan,penafsiran,
penerjemahan. Di samping itu ada yang juga pendapat yang mengatakan bahwa kata Hermeneutik merujuk kepada
seorang sosok yang bernama Hermes, yaitu seorang pembawa pesan. Secara terminologi, hermeneutik bisa
diartikan sebagai sebuah proses untuk memahami sesuatu yang belum dimengerti. Untuk menafsirkan sesuatu
seseorang terlebih dahulu harus memahaminya. Jadi, hermeneutik bisa dikatakan adalah sebuah alat untuk bisa
memahami sebuah teks.

Penggunaan hermeneutik sebagai metode penafsiran al-Qur`an mengisyaratkan bahwa setiap penafsiran patut
dicurigai, apakah di dalamnya terkandung unsur kepentingan atau ideologi tertentu di balik penafsiran tersebut?.
Dalam hal ini, Asghar Ali Engineer berpendapat bahwa setiap mufassir pasti punya background masing-masing
yang mempengaruhi cara pandangnya terhadap teks. Sehinggaterkadangtimbulkeinginanuntukmenafsirkan al-
Qur’an sesuaidenganideologi yang dimilikinya yang terkadangmembuatpesandari al-Qur’an menjaditerabaikan.

Hermeneutik yang menjaditrend di era penafsiran al-Qur’an modern kontemporerbukansemata-


sematakarenamunculbanyakisu-isubaruseperti: gender dan HAM, tetapi, karenaanggapanbahwametode yang
adapadazamaninidianggapkurangmemadai. Konsekuensi yang
didapatdaripenggunaanhermeneutikadalahketidakbolehanhanyamenggunakanperangkatkeilmuanpenafsiranklasiksa
ja, tetapi, jugaharusmelibatkankeilmuan yang lain. Denganbegitu, kedudukanantarateks (penafsiran), pengarang
(mufassir) danpembacamenjadiberimbang, sehinggakeotoritasanuntukmenafsirkansecararelatifdapatdieliminasi.[8]

3.    Kontekstual dan berorientasi pada spirit al-Qur’an.

Salah satu karakteristik tafsir Al-Qur’an di era kontemporer adalah sifatanya yang kontekstual dan
berorientasi pada semangat Al-Qur’an. Jika metode yang digunakan mufassir klasik adalah metode analitik maka
tidak halnya yang digunakan para mufassir kontemporer yang menggunakan metode tematik. Mereka juga
menggunakan pendekatan interdisipliner dengan memanfaatkan perangkat keilmuan modern.

Salah satudiktum yang selalu menjadi jargon paramufassir kontemporer berbunyi: “Al-Qur’an itu abadi,


namun penyajiannya selalu kontekstual sehingga meskipun ia turun di arab dan menggunakan bahasa arab, tetapi
ia berlaku universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia”.

Jika oleh para mufassir klasik adigium ini dimaknai sebagai “pemaksaan” makna literal ke berbagai konteks
situasi dan kondisi manusia, maka para mufassir kontemporer mencoba melihat apa yang berada “di balik” teks
ayat-ayat al-Qur’an.Oleh karenanya, para mufassir kontemporer tidak menerima begitu saja apa yang di
ungkapkan oleh ayat-ayat al-Qur’an secara literal, melainkan mencoba melihat lebih jauh apa yang ingin di tuju
oleh ungkapan literal ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, yang ingin dicari oleh mufassir kontemporer adalah
“Ruh” atau pesan moral al-Qur’an itu sendiri.

Pada masa kontemporer ini muncul kaidah al-‘ibrah bi ma qashid asy-syari’ah. Berangkat dari kaidah ini
muncul berbagai upaya di kalangan sebagian mufassir kontemporer untuk mencari nilai universal al-Qur’an yang
menjadikan kitab suci umat islam ini senantiasa relevan untuk setiap zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa
makan).Nilai universal ini tidak selalu tertuang dalam pernyataan ayat secara eksplisit, namun seringkali hanya
secara implisit yang bisa diketahui apabila pemahaman atas ayat-ayat al-Qur’an tidak dilakukan secara harfiah atau
sepotong-potong.

Beberapamufassirkontemporermenegaskanbahwanilai universal dimaksudadalahnilaikeadilan, kesetaraan,


hakasasimanusia, dansebagainya.Nilai-nilaiinilah yang inginditekankanoleh al-Qur’an melaluiberbagaiayatnya
yang menghendakidilakukannyapembebasanbudak, pembagianhakwarisuntukperempuan, dan lain-
lain.Denganmemahamiayat-ayat al-Qur’an secaraparsialdansepotong-potong, mustahilnilai-nilai universal
inibisadipahamisecarabenar, dimensi humanistik Al-Qur’an pun menjadi terabaikan.[9]

4.    Ilmiah, Kritis, dan Non-Sektrain

Karakteristik lain dari era tafsir kontemporer adalah sifat nya yang ilmiah, kritis, dan non-sektarian. Dikatakan
ilmiah karena produk tafsirnya dapat diuji kebenarannya berdasarkan konsistensi metodologi yang dipakai
mufassir kontemporer tidak terjembak pada kungkungan madzhab. Mereka justru mencoba bersikap kritis terhadap
pendapat-pendapat ulama’ klasik maupun kontemporer yang dianggap sudah tidak kompatibel dengan era
seekarang. Inilah salah satu implikasi dari digunakannya metode hermeneutis dalam memahami Al-Qur’an
maupun teks-teks lainnya.

Dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an yang di gunakan metode hermeneutika selalu terjadi dialog komunikatif
yang berimbang antara dunia teks, dunia penulis, dan dunia pembaca. Artinya, antara teks, konteks, dan
kontekstualisasi seelalu berdialektika secara sirkular. Paradigma hermeneutika selalu melihat teks secarakritis dan
memosisikannya sebagai sesuatu yang harus dibacasecara produktif, bukan hanya reproduktif-repetitif.[10]

C.  Perbedaan Tafsir Ulama Muta’akhkhirin Abad Modern dan Abad Pertengahan.

Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak
reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra. Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir,
Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode
penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.

D.  Sebab-sebab Perbedaan Tafsir Ulama Mutaakhkhirin Abad Modern.

Pada masa ulama abad pertengahan masing-masing golongan menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan
penafsiran yang tidak dapat diterima oleh ayat itu sendiri demi mendukung kepentingan mazhabnya atau menolak
pihak lawan, sehingga tafsir kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana petuunjuk, pembimbing dan pengetahuan
mengenai hukum agama. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi menang atas tafsir bil-ma’sur.

Pada masa-masa selanjutnya, penulisan tafsir mengikuti pola di atas melalui upaya muta’akhkhirin  yang
mengambil begiu saja penafsiran golongan  mutaqaddimin, tetapi dengan cara meringkasnya di satu saat dan
memberinya komentar di saat lain. Keadaan demikian terus berlanjut sampai lahirnya pola barudalam
tafsir mu’asir (modern), di mana sebagian mufassir memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kontemporer di samping
upaya penyingkapan asas-asas kehidupan sosial, prinsip-prinsip tasyri’ dan teori-teori ilmu pengetahuan dari
kandungan Qur’an sebagaiman terlihat dalam tafsir Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an,Al-Manar dan Fi zhilal Al-
Qur’an.[11]

E.  Sumber Tafsir Ulama’Muta’akhkhirin Abad Modern.


Dilihat  dari segi sumber penafsiran pada masa ini bersumber pada tiga hal: teks Al-Qur’an, realitas
(konteks), dan akal. Hanya saja secara pragdimatik posisi teks Al-Qur’an, realitas dan akal segaligus sebagai
subjek dan objek. Artinya, ketiganya selalu berdialitik secara sirkular dan tiradic. Jadi ada keseimbangan peran
antara teks, pengaran (akal), dan realitas. Dalam hal ini pradigma fungsionallah yang dipakai, artinya tiga
komponene di atas saling mempertimbangkan dalam menghasilkan sebuah penafsiran. Sedangkan penafsiran di
era klasik banyak  menggunakan pradigma struktural, yaitu cenderung saling mengatsbawai atau menghemogoni
satu sama lain.Jika dilukiskan, maka paradigma tafsir ini posisi teks, akal dan realitis sebagai berikut:
                                               Teks / Wahyu

                        Akal (Ra`yu)                                   Realita (Waqa>`i)


Hal ini bebeda dengan model pradigma struktural yang pernah dilakukan oleh ulama klasik tradisonal yang
umumnya mengacu pada kitab suci. Maka dapat di gambar pradigma yang di pakai oleh ulama klasik tradisonal
sebagi berikut:
                                               Teks / Wahyu

                        Akal (Ra`yu)                                   Realita (Waqa>`i)


Pradigma yang struktural cenderung bersifat deduktif, berbeda dengan pradigma fungsional yang cenderung
dialektif yang meengasumsi bahwa penafsiran harus terus-menerus dan tidak mengenal istilah final.[12]

F.   Kitab-Kitab Tafsir yang Muncul.


Berikut ini akan dijelaskan beberapa kitab tafsir kontemporer sebagai perbandingan terhadap karya-karya
tafsir terdahulu sehingga dapat dikatakan bahwa al-Quran tidak ditafsirkan sama dari masa ke masa. Disamping
itu, juga untuk menunjukkan bahwa tafsir selalu berkembang.[13]
1.    Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an.Penyusunnya adalah Muhammad Sayyid Thanthawi Jauhari. Lahir di desa Salim,
sebelah timur provinsi Tama, pada tanggal 28 oktober 1928 dan wafat pada Rabu pagi tanggal 10 Maret 2010 di
Riyadh pada usia 81 tahun.
2.    Tafsir Al-Manar. Penyusunnya Rashid Rida. Lahir di Kalmun, Lebanon, pada tahun 1865 M, dan wafat pada
tahun 1935 M.
3.    Fi zhilal Al-Qur’an.Karya Sayyid Quthub Ibrahim husain Asy-Syaribi Lahir di Musyah, Mesir pada tahun 1906
M, dan wafat pada tahun 1966 M.
4.    Al-Tafsir Al-Bayan li Al-Qur’an Al-Karim, karangan Aisyah Muahammad Ali Abdurrahman binti Asy-Syathi’.
Lahir di kota Dimyati, Mesir pada tahun 1912 M, wafat pada tahun 1998 M. Di antara ciri-ciri tafsir Aisyah
sebagai berikut:[14]
a.    Sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan ayat Al-Qur’an yang lain.
b.    Menggunakan metode munasabah.
c.    Prinsip bahwa suatu ‘ibrah atau ketentuan suatu masalah berdasarkan atas bunyi lafadz atau teks, dan bukan karna
adanya sebab khusus.
d.   Kata-kata dalam Al-Qur’an tidak ada yang sinonim.
5.    Al-Qur’an and Women, karya Amina Wadud Muhsin. Ia merupakan salah seorang tokoh feminis muslim yang
lahir di Amerika pada tahun 1952. Ia merupakan tokoh tafsir yang berusaha memperjuangkan gender. Karena
selama ini sistem relasi antara laki-laki dan perempuan di masyarakat seringkali mencerminkan adanya bias-bias
patriarkhi, dan sebagai implikasinya maka perempuan kurang mendapat keadilan secara proposional.[15]

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Tafsir adalah upaya seorang mufassir untuk menjelaskan al-Qur’an untuk mengetahiu makna-maknanya, hukum-
hukumnya, dan hikmah-hikmah yang terkandung didalam al-quran.

Sedangkan kontemporer adalah sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti:
“pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dan, dewasa ini”.

Jadi, Tafsir kontemporer dapat diartikan upaya mufassir untuk menjelaskan al-Quran sesuai dengan konteks ayat
pada saat ini.

Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak
reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra. Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir,
Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode
penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
Karekteristik tafsir ulama’ muta’akhkhirin abad modern:
1.    Memosisikan Al-Qur’an sebagai Kitab Petunjuk.

2.    Bernuansa hermeneutis.

3.    Kontekstual dan Berorientasi pada spirit Al-Qur’an.

4.    Ilmiah, Kritis, Dan Non-Sektarian.


Sumber penafsiran, tradisi penafsiran di era kontemporer bersumber pada teks Al-Qur’an, akal (Ijtihad),
dan realitas empiris. Secara paradigmatik, posisi teks, akal, dan realitas ini berposisi objek dan subjek sekaligus.
Ketiganya selalu berdialektik secara sirkular dan triadic. Ada peran yang berimbang antara teks, pengarang dan
pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Ali. 2011.Sejarah Dan Pengantar Ilmu Tafsir, .Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau.
Al-Tsabt, Khalid Bin Utsman. 1997.Qawaid Al-TafsirJam’anWaDirasasatan,Arab Saudi: Dar IbnAffan.
Al-Zarkasyi, Badr Al-Din  Muhammad Ibn Abdullah Ibn Bahadir. 1957.Al-Burhan Fi Ulumil Quran, Beirut: Dar
Al-Ma’rifah.
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azhim. 1995.Manahil Irfan Fi Ulumul Quran,Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-
Arabiy.
Hikmah, Alfi. “Makalah Sejarah Perkembangan Tafsir ‘tafsir periode kontemporer”, dalam
http://sinarbintangkita.blogspot.co.id/2015/12/makalah-sejarah-perkembangan-tafsir.html (28 September 2016).
http://kbbi.web.id/kontemporer (diaksespada28 September 2016).
Mustaqim, Abdul. 2010.Epistemologi Tafsir kontemporer,  Yogyakarta: LkiS, 2010.
Ridha, Muhammad Rasyid. 1954. Tafsir al-Manar, Mesir: Dar Al-Manar.
Samsurrohman,2014.Pengantar Ilmu Tafsir , Jakarta:  Amzah.
Yusron, M. 2006. Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Taras.

[1]Alfi Hikmah, “Makalah Sejarah Perkembangan Tafsir ‘tafsir periode kontemporer”, dalam
http://sinarbintangkita.blogspot.co.id/2015/12/makalah-sejarah-perkembangan-tafsir.html (28 September 2016).
[2]Ali Akbar, Sejarah Dan PengantarIlmuTafsir, (Pekanbaru: YayasanPustaka Riau, 2011),1.
[3]Muhammad ‘Abdul ‘Azhim Al-Zarqani, ManahilIrfan Fi Ulumul Quran, (Beirut: Dar Ihya Al-TuratsAl-Arabiy, 1995), 334.
[4]Badr Al-Din  Muhammad Ibn Abdullah Ibn Bahadir Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulumil Quran,(Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1957), 163-
164.
[5]Khalid Bin Utsman Al-Tsabt, Qawaid Al-TafsirJam’anWaDirasasatan, (Arab Saudi: Dar IbnAffan, 1997), 29.
[6] http://kbbi.web.id/kontemporer (diaksespada28 September 2016).
[7]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), 58-61.
[8]Ibid.., 61-63.
[9]Ibid.., 63-65.
[10]Ibid.., 65-66.
[11] Manna’  Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Surabaya: Litera AntarNusa, 2014),  478.
[12] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epstimologi Tafsir,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 92-93.
[13]Samsurrohman,Pengantar Ilmu Tafsir,(Jakarta:  Amzah, 2014), 216-217.
[14]M. Yusron, Studi Kitab Tafsir Kontemporer  (Yogyakarta; Taras, 2006), 25.
[15]Ibid, 80.

Anda mungkin juga menyukai