Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

Masalah Tafsir dalam konteks Penghilangan, Takdir dan kata


Makalah ini Di Sususun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Masail al-
Tafsir”

Dosen Pengampu : H. Endang Saeful Anwar Lc, M.A


Disusun Oleh : Kelompok 5 IAT/5/B
Nabilah Najla Zakiyah ( 171320068 )

Era Fadilah ( 171320060 )

Bahrul ulum (17132006)

FAKULTAS USHULUDIN DAN ADAB

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN MAULANA HASANUDDIN


BANTEN
TAHUN AKADEMIK 2018/2019

BAB II
PEMBAHASAN
1. Permasalahan pada QS. Al- Nisa: 147 dalam Konteks Penghilangan

ِ ِ
َ ‫َما َي ْف َع ُل اللَّهُ بِ َع َذابِ ُك ْم إِ ْن َش َك ْرتُ ْم َو‬
ً ‫آم ْنتُ ْم ۚ َو َكا َن اللَّهُ َشاك ًرا َعل‬
‫يما‬

‘’Apa yang dilakukan Allah dengan penyiksaan terhaap kamu, jika kamu bersyukur
dan beriman? Dan Allah adalah Maha menSyukuri lagi Maha Mengetahui.’’
Masalah : Kenapa kita harus mengedepankan syukur dari pada iman ?
Jawab : karena sesungguhnya akal melihat kepada kenikmatan yang sangat besar didalam
penciptaannya dan ditunjukannya kepada manfaat-manfaatnya kemudian bersyukur
dengan sangat bersyukur. Maka dari itu kesyukuran lebih dikedepankan dari pada iman.
Seolah-olah itu adalah dasar dan perintah.
Menurut penafsiran Al-Misbah Ayat ini mendahulukan syukur atas iman karena
syukur dapat mengantar seseorang kepada iman. Seorang yang melihat alam raya terbentang
dengan segala manfaat yang telah dan dapat dirahnya, akan mengantar dia untuk beriman dan
percaya kepada Allah SWT. Selanjutnya, bila iman itu ia terus ia asah dan asuh, yang
bersangkutan akan mencapai tingkat tertinggi dari kesyukuran.

Kata ‫ شاكر‬syakir terambil dari kata ‫ شكر‬syakara. Akar pakar bahasa mengungkapkan
bahwa tumbuhan yang tumbuh walaup dengan sedikit air, atau binatang yang gemuk walau
dengan sedikit rumput, keduanya dinamai syakur. Dari sini kemudian mereka berkata bahwa
Allah yang bersifat syakir berarti antara lain Dia yang mengembangkan walau sedikit dari
amalan hambanya, dan melipat gandakannya. Pelipatan gandaan itu dapat mencapai 700
bahkan lebih tanpa batas (QS.Al-Baqarah ayat 261). Siapa yang membalas kebajikan dengan
berlipat ganda, ia dinamai mensyukuri kebajikan itu dan siapa yang memuji berbuat baik, ia
pun dinamai mensyukurinya. Jika anda melihat makna syukur dari peliapt gandaan balasan,
yang paling wajar dinamai syakir hanya Allah karena pelipat gandaan ganjarannya tidak
terbatas sebagaimana ditegas QS. Al-Baqarah yang disinggung di atas. Allah syakir dalam
arti “Dia yang memberi balasan banyak terhadap pelaku kebaikan atau ketaatan yang sedikit,
Dia yang menganugerahkan kenikmatan yang tidak terbatas waktunya untuk amal-amal yang
terhitung dengan hari-hari tertentu yang terbatas. “Syukur juga berarti puji, dan bila anda
melihat makna syukur dari segi pujian, kiranya dapat disadari bahwa pujian terhadap yang
terpuji baru menjadi pada tempatnya bila ada suatu kebaikan yang dilakukannya secara sadar
dan tidak terpaksa.

Setiap pekerjaan atau setiap yang baik yang lahir di alam raya ini adalah atas izin dan
perkenaan Tuhan. Apa yang baik dari anda dan orang lain, pada hakikatnya, adalah dari Allah
semata, jika demikian, pujian apapun yang anda sampaikan pada pihak lain, akhirnya kembali
kepda Allah jua.

2. Permasalahan pada QS. Al-Isra ayat 12 dalam konteks takdir

ِ ِ ِّ ‫ضاًل ِمن ربِّ ُكم ولَِت ْعلَموا َع َد َد‬ ِ ِ


َ ‫آيَت ْي ِن ۖ فَ َم َح ْونَا آيَةَ اللَّْي ِل َو َج َعلْنَا آيَةَ الن‬ َ ‫َو َج َعلْنَا اللَّْي َل َوالن‬
‫اب ۚ َو ُك َّل‬
َ ‫ين َوالْح َس‬
َ ‫السن‬ ُ َ ْ َ ْ ْ َ‫َّها ِر ُم ْبص َر ًة لتَْبَتغُوا ف‬ َ ‫َّه َار‬
َّ َ‫َش ْي ٍء ف‬
ِ ‫صلْنَاهُ َت ْف‬
‫صياًل‬

Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda
malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu,
dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah
Kami terangkan dengan jelas.

Allah berfirman: ‫آيَت ْي ِن‬ َ ‫َو َج َعلْنَا اللَّْي َل َوالن‬


َ ‫َّه َار‬

Allah ta’ala menjadikan dua ayat ini sebagai tanda kebesarannya. Namun dalam arti
bukan makna (‫”)جعل‬menjadikan” ataupun memberi hukum, karena( ‫ )صري‬mencakup hal yang
telah lalu dan dinukilkan ke satu hal yang lainnya. Bukan bermakna ‫ حكم‬juga, karena dari setiap
‫ هنار‬dan ‫ ليلى‬memilki makna lail itu mengisahkan qomar dan ‫ هنار‬mengisahkan syam.

َ ayatain adalah bentuk dual dari (‫ )اية‬ayah, yakni


Menurut penafsiran al-Misbah ‫آيَت ْين‬
tanda. Ada yang memahami kata tersebut menunjukkan kepada malam dan siang sehingga
firmanNya ‫اية اليل‬ayah al-lail tanda malam dipahami dalam arti merupakan malam itu, demikian
juga ‫ هنار اية‬ayah an-nahar, yakni tanda dalam hal ini adalah siang. Menghapus tanda malam
dipahami dalam arti menghapus cahaya, sehingga malam kehilangan cahaya, gelap, apa yang
tadinya tampak bagaikan tersembunyi disisi lain, tanda yang merupakan siang itu dijadikan Allah
sedemikian terang sehingga seakan-akan siang itu sendiri yang melihat.

Ada juga ulama yang memahami kata ayatain dalam arti matahari dan bulan karena
menilai bahwa ada kata yang sengaja tidak disebut dalam rangkaian kalimat ayat. Penganut
pendaat ini menyatakan bahwa ayat ini bagaikan menyatakan : kami jadikan penerang diwaktu
malam dan siang, penerang malam adalah bulan dan penerang siang adalah matahari. Keduanya
sebagai dua tanda kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Lalu, kami hapus tanda malam dalam hal
ini bulan, yakni kami hapus cahayanya, dan tidak Kami jadikan ia seperti matahari tanda siang,
yakni matahari, terus-menerus bercahaya dan bersinar sehingga siapa pun dapat melihat di siang
hari atau, dapat juga dikatakan bahwa matahari yang merupakan tanda siang ini terus-menerus
bercahaya karena sinar atau cahayanya bersumber dari dirinya sendiri sehingga tidak pernah
mengalami kegelapan, berbeda dengan bulan yang bercahaya bukan dari dirinya sendiri tetapi
pantulan cahaya matahari.

3. Permasalahan pada QS. Al-Dhuha ayat 6 dalam konteks kata (‫) وجد‬

‫آو ٰى‬ ِ ِ ‫أَل‬


َ َ‫يما ف‬
ً ‫َم يَج ْد َك يَت‬
ْ
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?

Menurut penafsiran al-misbah kata ( ) yatim terambil dari kata ( ) yutm yang berarti
tersendiri. Permata yang unik, yang tak akan ada tandingannya dinamai ( ) ad-durrah al-
yatomah. Atas dasar ini, sementara ulama memahami kata yatim pada ayat ini sebagai
seorang yang unik, tersendiri dalam keistimewaannya. Menurut mereka, Nabi Muhammad
saw sejak kecil telah memiliki keistimewaan yang unik sehingga wajar jika beliau dinamai
Yatim. Ayat datas menurut mereka bagaikan menyatakan : Bukankah Allah menemuinya
dalam keadaan tersendiri, lalu Dia menghimpun manusia di sekelilingmu untuk berkumpul
dan bertumpu padamu.

Pendapat ini jelas sekali tidak sejalan dengan penggunaan al-Qur’an terhadap kata
yatim , yang terulang sebanyak 23 kali dlam beragai bentuknya. Al-Qur’an al-Karim
menggunakan kata ini dalam konteks kemiskinan dan kepapaan. Yatim digambarkannya
sebagai seseorang yang mengalami penganiayaan, perampasan hartanya, dan sebagai seorang
yang tidak memperoleh pelayanan yang layak serta penghormatan. Tidak ditemukan satu ayat
pun yang menggambarkan yatim dengan gambaram keistimewaan dan keunikan. Selanjutnya,
rujuklah ke QS. Al-Balad :15 untuk memahami makna yatim.

Kata ( ) awa terambil dari kata awa yang pada mulanya berarti kembali ke rumah
atau tempat tinggal. Biasanya, seseorang yang kembali ke tempat tinggalnya akan merasa
aman dan terlindungi. Disini,kata tersebut dipahami dan digunakan oleh al-Qur’an dalam arti
‘’perlindungan yang melahrkan rasa aman dan ketenteraman, baik sumbernya adalah Allah
swt. Maupun dari makhluk seperti manusia atau lainnya. Ibn ‘Asyur memahami perlindungan
yang dimaksud di sini adalah menjadikan beliau mencapai kesempurnaan dan istiqomah serta
pendidikan dan pemeliharaan yang sempurna padahal biasanya anak-anak yatim tidak
memperoleh pendidikan sehingga mengantarnya menyandang kekurangan-kerungannya.

Perlindungan itu bersumber dari Allah swt., walau sepintas terlihat melalui tangan-tangan
manusia. Sejarah menguraikan bahwa ayah Nabi saw Abdullah wafat saat usiabeliau dalam
kandungan baru dua bulan. Pada usia enam tahun, ibu beliau Aminah kembali juga ke rahmat
Allah sehingga Muhammad saw., dipelihara dan diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Dua
tahun kemudian, sang kakek pun meninggal, seterusnya paman beliau Abu Thalib tampil
sebagai pengasuh sekaligus pelindung utama beliau hingga dewasa, bahkan hingga diangkat
menjadi Nabi.

Sebenarnya, silih berganti pengasuh bagi seorang yatim merupakan penderitaan yang dapat
mengakibatkan dampak negatif bagi perkembangan jiwa, di samping faktor keyatiman itu
sendiri dengan segala dampak negatifnya. Ini belum lagi faktor kemiskinan dan kepaparan
serta ketiadaan pengetahuan tulis baca.

Namun demikian, keyatiman yang dapat merupakan faktor negatif bagi perkembangan jiwa
dan kepribadian seseorang, sedikit pun tidak memberi dampak negatif terhadap Nabi
Muhammad saw., bahkan lebih jauh dapat dikatakan bahwa keyatimannya justru merupakan
anugerah yang sangat besar bagi beliau. Sementara pakar menyatakan bahwa pada umumnya
yang membentuk kepribadian seseorang adalah ibu, ayah, sekolah, atau bacaan dan
lingkungannya. Dalam kehidupan Rasulullah saw., tidak satu pun di antara keempat faktor di
atas yang memengaruhi atau menyentuh kepribadian beliau. Disebabkan oleh pelindungnya
Allah itu.

Dalam rangka perlindungan itulah maka Allah swt., membebaskan beliau dari keempat faktor
tersebut karena Yang Mahakuasa itu sendiri yang berkehendak untuk membentuk kepribadian
RasulNya “Tuhanku mendidikku sehingga Dia mendidikku dengan sebaik-baiknya”.
Demikian sabda Rasul saw. itulah sebabnya beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, bahkan
walau ibunya masih hidup hingga beliau berusia enam tahun, beliau pun terbebaskan dari
bentuk acuan pendidikan ibu dengan dibawanya beliau ke pedesaan jauh dari sang ibu
selanjutnya, guna membebaskan beliau dari acuan bacaan atau sekolah, beliau ditakdirkan
tidak pandai membaca dan menulis, dan dalam rangka perlindungan Allah jualah sehingga
beliau dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sebah masyarakat-masyarakat sekitarnya
seperti Mesir, Romawi, Persia, Cina, dan sebagainya. Beliau menggembala domba di
pedesaan guna menghindarkan beliau dari pengaruh “kota” Mekkah sehingga dengan, dengan
demikian, tidak satu faktor pun dari keempat faktor yang disebut di atas berperan dalam
pembentukan kepribadian beliau. Itu semua menjadi bukti bahwa sesungguhnya yang
melindungi baliau dari pengaruh-pengaruh negatif keyatiman adalah Allah swt.

Rasul swa, melalui ayat ini diingatkan betapa besar karunia Tuhan yang telah diperolehnya
dan, dengan demikian, janji Tuhan tentang masa depan yang cemerlang serta kebahagian dan
kepuasan batin benar-benar akan beliau peroleh.

Anda mungkin juga menyukai