Anda di halaman 1dari 8

Aliran Nahwu Imam Suyuthi

dalam kitab al-Iqtirah fi ilm Ushul an-nahw

Oleh : Aldethia Rindiani (21210222000007)

PENDAHULUAN
Nahwu merupakan bagian dari ‘Ulûmul ‘Arabiyyah, yang bertujuan untuk menjaga dari
kesalahan pengucapan maupun tulisan. Ilmu nahwu adalah ilmu yang membahas tentang aturan
akhir struktur kalimah (kata) apakah berbentuk rafa’, nashab, jarr, atau jazm.
Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai sekarang
senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik bahasa Arab.
Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua
keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami
bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir,
Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama (sebagai
spesialisasi Linguistik bahasa Arab). Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah
menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab
(Islam) dahulu sampai sekarang.
Mengenai perkembangan Ilmu Nahw Al-Fadlali (1986) dalam bukunya Mara’kizud-
Dira’sat an-Nahwiyyah membagi perkembangan Ilmu Nahwu secara kronologis berdasarkan
kurun waktu dan peta penyebarannya. Sementara itu, Dlaif (1968) membagi perkembangan
Ilmu Nahwu berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang
dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu sebagai
berikut:

1. Aliran Bashrah
2. Aliran Kufah
3. Aliran Baghdad
4. Aliran Andalusia
5. Aliran Mesir

Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai aliran utama, karena
keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga
mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran
berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada
salah satu aliran utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya. Dengan begitu, di Mesir
terjadi penggabungan antara dua keilmuan mazhab besar, yaitu mazhab Basrah dan Kufah.
Dalam pembahasan ini penulis mengambil tokoh as-suyuti sebagai salah satu ulama dengan
aliran mesir dalam kajian ilmu nahwu.

PEMBAHASAN
A. Biografi Imam as-Suyuthi
Imam as-Suyuthi memiliki nama lengkap al-Imam al-Hafizh abu al-Fadhl Jalal ad-Din
‘abd ar-Rahman ibn Kamal ad-Din abi al-Manaqib abi Bakr ibn Nashir ad-Din Muhammad ibn
Sabiq ad-Din abi Bakr ibn Fakhr ad-Din ‘Utsman ibn Nashir ad-Din Muhammad ibn Saif ad-
Din Khadhr ibn Najm ad-Din abi al-Shalah Ayub ibn Nashir ad-Din Muhammad ibn as-Syaikh
Hammam ad-Din al-Hammam al-Khudhairiy al-Usyuthiy. Laqab beliau adalah Jalal al-Din.
Nama al-Khadhar diambil dari nama desa al-Khudhairiyah dekat Baghdad. Hal ini diakui oleh
Imam as-Suyuthi sendiri meskipun semasa hidupnya terdapat dua nama al-Khudhairiyah
masing-masing di as-Suth dan Kairo. Barangkali penegasan beliau ini untuk mengembalikan
jejak nenek moyangnya dari sebuah wilayah yang jauh dan terkenal. Sedangkan As-Suyuthi
adalah nama suatu daerah di Mesir.
Beliau dilahirkan di Mesir setelah maghrib malam Ahad, awal bulan Rajab tahun 849,
tepatnya pada 3-10-1445 Masehi namun ada juga yang menyebutkan pada tahun 1449 Masehi.
Dia hidup pada masa Dinasti Mamluk pada abad ke – 15, berasal dari keluarga keturunan Persia
yang semula bermukim di Baghdad, kemudian pindah ke Asyuth. Sejak lahir, ayah Imam as-
Suyuthi telah mendapatkan isyarat bahwa sang buah hati akan menjadi ulama besar di masanya.
Alkisah, menjelang kelahirannya ayah Imam as-Suyuthi sedang membutuhkan sebuah kitab.
Maka, ia pun memerintahkan istrinya untuk mengambilkan kitab tersebut di ujung
perpustakaan pribadinya. Ketika sedang mengambil kitab tersebut sang istri mengalami rasa
sakit hendak melahirkan. Dan setelah itu, Imam as-Suyuthi lahir di antara kitab-kitab yang ada
di perpustakaan tersebut. Semenjak itu, Imam as-Suyuthi kecil dijuluki dengan Ibnu al-Kutub
(anak kitab-kitab). Di masa kecilnya, Imam as-Suyuthi pernah dibawa ke hadapan seorang wali
agung negara Mesir bernama Syekh Muhammad al-Majdzub untuk didoakan. Berkat doa sang
wali, Imam as-Suyuthi mendapatkan keberkahan ilmu yang luar biasa di dalam hidupnya.
As-suyuthi berasal dari lingkungan cendikiawan sejak kecilnya. Ayahnya berusaha
mengarahkannya kearah kelurusan dan keshalihan, Suyuthi kecil telah mampu menghafal al-
quran di usia yang sangat dini, dan selalu diajak ayahnya diberbagai majlis ilmu dan berbagai
majlis qadhinya, hingga menjadikannya sebagai seorang Ulama besar dan Penulis yang
produktif dalam berbagai disiplin ilmu. Ayah beliau adalah Abu Bakr Muhammad ibn Abi
Bakr. Seseorang yang ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti: fikih, hitung-
menghitung, ushul, debat, nahwu, sharaf, bayan, badi’, menulis, dan seorang yang cerdas juga
dikenal sebagai salah satu ulama besar mazhab syafi’i yang berpengaruh pada masanya. Sejak
muda ia telah meningalkan keluarganya di al-Usyuth dan merantau ke Kairo untuk menimba
ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kedekatannya dengan Amir Syaikhu. Selama itu ia
mendalami fiqih hingga pada tahun 1451 M wafat dalam usia 50 tahun, ketika Imam as-Suyuthi
berumur enam tahun. Sedangkan Ibu Imam as-Suyuthi adalah keturunan Turki.
Secara genetis as-Suyuti kelahiran dari keturunan ulama besar yang hidup pada abad
kedelapan Hijriah. As-Suyuti menguasi tujuh cabang ilmu keislaman, yakni: tafsir , hadis, fiqih,
nahwu, ma'ani, bayan, badi', dan balaghah. Tidak hanya itu, al-Suyuti pun menyusun kitab
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Beliau terkenal atas hidup zuhud bahkan beliau
menolak hadiah seribu dinar dari raja. Berangakat dari inilah dia atas hadiah dari raja, Al-
Suyuti menuliskan sebuah kitab yang berjudul, Ma Rawah al-Astin fi 'Adami al-Taraddud'Ala
al-Salatin
Belum genap umur 8 tahun Imam as-Suyuthi telah mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an
30 juz. Kemudian, Imam as-Suyuthi mulai menghafalkan mandzumah Alfiyah karya Imam
Ibnu Malik dalam ilmu nahwu sharaf, kitab al-Minhaj karya al-Badhawi dalam ilmu ushul fiqh,
dan kitab al-Minhaj karya an-Nawawi dalam ilmu fiqih. Imam as-Suyuthi mulai menekuni
bidang keilmuan pada umur 15 tahun (tahun 863 H). Imam as-Suyuthi mengambil ilmu faraidh
dari Syekh Syihab ad-Din asy-Syarmusahi yang saat itu berumur lebih dari seratus tahun.
Kemudian, Syekh Syihab ad-Din asy-Syarmusahi memberikan mandat kepada Imam as-
Suyuthi untuk mengajar gramatika bahasa Arab pada permulaan tahun 866 H. Pada tahun 866
H ini juga Imam as-Suyuthi menyelesaikan karya pertama beliau yang berjudul “Syarh al-
Isti’adzah wal Basmalah”. Kemudian, Imam as-Suyuthi mengambil ilmu fiqih kepada Syekh
Alam ad-Din al-Bulqini hingga sang guru wafat pada tahun 868 H. Selain itu, Imam as-Suyuthi
juga belajar kepada Syekh Syaraf ad-Din Yahya al-Munawi (w. 871 H), Syekh Muhyi ad-Din
Muhammad bin Sulaiman al-Kafiji (w. 879 H), Syekh Saif ad-Din Muhammad bin Muhammad
al-Hanafi (w. 881 H), dan Syekh al-Izz Ahmad bin Ibrahim al-Kattani.
Imam as-Suyuthi menceritakan dalam kitab Husnul Muhadharahfi Tarikh Mishr wal
Qahirah, bahwa ia telah mendapatkan legalitas berfatwa dari guru-gurunya di usianya yang
belum genap 20 tahun yaitu sejak permulaan tahun 871 H. Dan di umur 21 tahun bertepatan
dengan tahun 872 H, Imam as-Suyuthi memulai mendalami ilmu hadits di bawah arahan para
ulama terkemuka di zamannya. Imam as-Suyuthi juga menyatakan bahwa ia memiliki keahlian
sangat mendalam di dalam tujuh bidang ilmu yaitu ilmu tafsir al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu
fiqih, ilmu nahwu, ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’. Selain ketujuh bidang ilmu
tersebut, Imam as-Suyuthi juga memiliki keahlian di bidang ilmu ushul fiqh, ilmu faraidh, ilmu
qira’at, dan ilmu kedokteran. Meskipun begitu, Imam as-Suyuthi juga mengakui bahwa beliau
memiliki kesulitan dalam memahami ilmu manthiq dan ilmu matematika.

B. Pendidikan Imam as-Suyuthi


Sebagaimana biasanya anak-anak pada zaman itu, As-Suyuthi memulai pendidikannya
dengan pelajaran al-Qur’an dan pendidikan agama lainnya. Dari satu kota, ia pindah ke kota
lain untuk menuntut ilmu agama dengan berbagai cabangnya kepada guru-guru yang terkenal
saat itu. Pendidikan awal ia peroleh dari ayahnya yang mendidiknya dengan menghafal Al-
Qur’an. Ketika ayahnya meninggal dunia dan ia baru berusia enam tahun, ia telah menghafal
Al-Qur’an sampai surat At-Tahrim. Ia telah menghafal Al-Qur’an seluruhnya pada usia kurang
dari delapan tahun. Hal itu menunjukkan kemampuannya dalam hafalan, yang selanjutnya
menguatkannya untuk menghafal sebanyak 200.000 (dua ratus ribu) hadis, sebagaimana
dinyatakan dalam kitabnya Tadribur Rawi.

As-Suyuthi belajar fiqh pada seorang Syaikh yang hidup pada masa itu, yaitu Ilmuddin
Al-Bulqaini dan ia tetap belajar padanya hingga sang guru wafat. Semasa hidup Al-Bulqaini,
ia telah mengarang sebuah kitab yang berjudul “Syarh Al-Isti’adzah Wa Al-Basmalah”.
Kemudian kitab tersebut diperiksa oleh gurunya, Al-Bulqaini, dan ia memujinya serta memberi
kata pengantar pada kitab itu.

Kemudian As-Suyuthi melanjutkan studinya dalam ilmu fiqh Asy-Syafi’i pada putra
gurunya (Al-Bulqaini). Dari guru baru inilah ia banyak mempelajari beberapa kitab fiqh
madzhab Syafi’i. Setelah itu, ia melanjutkan studinya pada Asy-Syaraf Al-Manawi. Dan ia
belajar pada Al-Imam Taqiyuddin as-Subki Al-Hanafi selama empat tahun, selain itu ia juga
mempelajari darinya hadis dan bahasa. Selama empat tahun pula, ia belajar Ilmu Ushul dan
Tafsir dari seorang pakar ilmu tersebut, yaitu al-Kaafiji. Ia juga mengadakan sejumlah rihlah
(lawatan keilmuan), di mana ia berkunjung ke Yaman, Maroko dan India. Ia juga menyibukkan
diri untuk memberi fatwa, mengajar fiqh, hadis, nahwu (ilmu tata bahasa Arab) dan bidang-
bidang ilmu lainnya.
Sesudah menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun 869 H/ 1463 M, ia kembali ke
Kairo untuk mengabdikan ilmu yang ia terima sebelumnya. Semula, ia mengkhususkan diri
untuk mengajar masalah-masalah fiqh. Atas kecemerlangannya dalam mengajar, ia diangkat
menjadi ustadz di sekolah Asy-Syaikhuniyyah pada tahun 872 H/ 1467 M, berdasarkan
rekomendasi dari gurunya, Syekh Al-Bulqaini. Sebelumnya, jabatan ini dipegang oleh ayahnya
sampai ia meninggal dunia. selama 12 tahun, ia mengabdikan dirinya di sekolah tersebut, lalu
pindah mengajar di Al-Baybarsiyyah pada tahun 891 H/ 1486 M. sekolah yang baru ini,
menurut pendapatnya dan pendapat umum waktu itu, lebih baik daripada Asy-Syaikhuniyyah.
Di sekolah ini, ia juga diangkat menjadi ustadz. Akan tetapi, karena tindakannya tidak
disenangi oleh penguasa, As-Suyuthi dibebaskan dari jabatan tersebut pada tahun 906 H/1501
M. Kemudian, ia menetap di Pulau Raudah di Sungai Nil sampai meninggal dunia.
Imam as-Suyuthi juga mengembara ke Syiria, Yaman, India, Maroko, Mesir dan banyak
wilayah Islam lainnya. Ia pun berkali-kali mengunjungi Hijaz baik untuk menunaikan ibadah
haji maupun menimba pengetahun. Beliau bertemu dan belajar dengan banyak ulama pada saat
itu, dan beliau juga menuntut ilmu dari murid-murid ayahnya. Imam as-Suyuthi belajar
berbagai ilmu pengetahuan dari mereka, seperti tafsir, hadis, fikih, mantiq, ilmu kalam, adab,
serta ilmu tata bahasa.
C. Karya-karya Imam as-Suyuthi
Selain aktif mengajar ilmu agama Islam, As-Suyuthi juga menulis buku dalam berbagai
ilmu. Karya pertama al-Suyuti yang diperkirakan ditulis 866 H atau ketika ia berumur 17 tahun
Penguasaannya yang baik atas berbagai cabang ilmu Islam sangat memperlancar penulisan
karangan-karangan tersebut. Menurut catatan para sejarawan, buku-bukunya berjumlah 571
buah, baik berupa karya besar dengan jumlah halaman yang banyak, maupun buku-buku kecil
dan karangan-karangan singkat. Bahkan, dikatakan bahwa As-Suyuthi sangat berjasa dalam
menampilkan kembali manuskrip-manuskrip lama yang pada waktu itu telah dianggap hilang.
Di antara karangannya yang terkenal yang dianggap sangat penting dalam bidang tafsir
dan ilmu tafsir adalah Tarjuman al-Qur’an fi Tafsir al-Musnad (Kumpulan Hadis yang
Berhubungan dengan Ayat-ayat al-Qur’an), Ad-Durr al-Mansur fi Tafsir bil Ma’sur (Mutiara
yang Bertebaran dalam Penafsiran Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis) sebanyak enam jilid,
Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an (Upaya Mencari Pemahaman Hal-hal yang Sama
Mengenai Ayat-ayat yang Tidak Tegas dalam al-Qur’an), Lubab an-Nuqul fi Asbabin Nuzul (
Hal-hal Pokok dalam Persoalan Sebab-sebab Turunnya Ayat al-Qur’an), yang disusun
berdasarkan metode al-wahidi, namun membuat pula tambahan materi berdasarkan temuan-
temuannya dari tafsir dan hadis, Tafsir al-Jalalain (telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia),
penyempurnaan debuah kitab yang ditulis oleh gurunya (Jalaluddin al-Mahalli), Majma’ al-
Bahrain wa Mathla’ al-Badrain, yang menurut para sejarawan mungkin telah hilang atau tidak
sempat disempurnakan, dan At-Takhyir fi ‘Ulumit Tafsir, yang kemudian diperluas dengan
judul al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an.
Di bidang bahasa dan sastra Arab, As-Suyuthi juga menulis bebrapa buku, di antaranya
Al-Mazhhar fi ‘Ulumil Lughah (ringkasnnya ditulis dengan judul Samar al-Mazhhar), dan Al-
Iqtirah fi ‘Ilm Ushulin Nahwi wa Jidalih. Ia juga menulis tentang ilmu nahwu dengan metode
fiqh dalam buku Al-Asybah wa an-Nazha-ir fin Nahwi. Pada kesempatan lain, ia
mengumpulkan hadis-hadis khusus tentang permulaan ilmu nahwu dalam Al-Akhbar al-
Marwiyyah fi Sabab Wad’il ‘Arabiyyah. Kemudian, ia juga mengomentari kitab Alfiyah Ibnu
Malik dengan judul Al-Bahjah al-Murdiyyah. Kitab lainnya adalah Al-Faridah fin Nahwi wat
Tashrif wal Khath.
Dalam kitab Husnul Muhadharahfi Tarikh Mishr wal Qahirah, Imam as-Suyuthi
mencatat bahwa karya tulis yang telah ia ciptakan berjumlah 300 karya tulis dan kesemuanya
telah disebarluaskan di masa hidupnya. Sedangkan menurut Ibnu Iyas, hingga akhir hayatnya
Imam as-Suyuthi telah menciptakan buah karya lebih dari 600 karya tulis. Sedangkan menurut
Carl Brockelman, seorang orientalis berkebangsaan Jerman, karya Imam as-Suyuthi
seluruhnya berjumlah 415 karya tulis. Sedangkan menurut ad-Dawudi, salah satu murid Imam
as-Suyuthi seluruh karya Imam as-Suyuthi berjumlah 500 karya tulis. Di antara karya-karya
pentingnya adalah kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Alfiyyah fi Musthalah al-Hadits, al-
Asybah wa Nadzair fi Qawa’id wa Ushul Fiqh, al-Hawi lil Fatawi, al-Jami’as-Shaghir, Miftah
al-Jannah fi Ihtijaj bi Sunnah, dan masih banyak lagi
Tidak tertinggal pula, al-Suyuti menulis dalam bidang keilmuan usul, bayan, dan
tasawuf yang tertulis dalam kitabnya seperti Tadzkiyat al-Nafs, Khawwas al-'Asma' al-Husna,
Uqud al-Juman fi al-Ma'na Bayan, Mukhtasar al-Ihya', Mukhtasar al-Waraqat li Imam al-
Haramayn al-Juwayni .

D. Metode Nahwu dalam Kitab al-Iqtirah Karya as-Suyuthi

Ushul al-nahw atau pondasi tata bahasa arab, bisa dikatakan semacam meta-grammar
dalam disiplin ilmu bahasa arab. Kedudukan ushul al-Nahw terhadap nahwu sama
kedudukannya dengan ushul al-fiqh terhadap fiqh. Yang pertama meletakan landasan bagi
yang kedua. Kedudukan keduanya bisa dianggap lebih tinggi daripada nahw atau fiqh, tetapi
ushul al-nahw tetap bersifat partikular karena berkaitan dengan bidang yang spesifik yaitu, tata
bahasa arab (nahwu).

Ada banyak buku yang membahas tema ini dimulai dengan ibn sarraj yang pertama kali
memakai istilah Ushul an-nahw dalam kitabnya “al-usul fi al-Nahw”, namun judulnya berbeda
dari isinya yang ternyata lebih banyak membahas kaidah dan permasalahan nahw dibandingkan
ushul al-nahw itu sendiri. Estafet perjuangan kembali dilanjutkan dengan munculnya al-khasais
karya Ibn Jinny dan Lam’u al-adilah karya al-Anbary. Keduanya memberikan kontribusi yang
besar dalam perkembangan cabang ilmu ini.

Akhirnya pada abad 10, ilmu ini mulai mencapai zaman keemasannya dengan
kedatangan As-Suyuthi, seorang ulama besar yang terkenal menguasai berbagai disiplin ilmu
dan mengarang banyak kitab di dalamnya. Beliau merupakan ulama nahwu aliran mesir
generasi terakhir. As-suyuthi dalam masterpiece-nya al-iqtirah fi ilm Ushul al-nahw, berhasil
menyempurnakan ushul nahw sebagai sebuah cabang ilmu yang membahas dalil-dalil nahw
secara global untuk menemukan sebuah konklusi (kaidah) dari dalil tersebut. Kitab ini menjadi
masdar asasi dalam ushul al-nahw karena merupakan kolaborasi dari konsep ulama-ulama
sebelumnya dan konsep As-Suyuti sendiri tentunya. Ditambah penyusunan setiap bab
pembahasan yang mengikuti sistematika pembahasan ushul fiqh, yang menunjukkan betapa
luasnya wawasan beliau. Hal ini memberikan poin lebih dibandingkan kitab-kitab sebelumnya
yang belum sistematis.

As-Suyuthi membagi kitabnya dalam beberapa muqadimah dan 7 judul besar


pembahasan. beliau memulai kitabnya dengan menjelaskan definisi ushul An-Nahw,dan
lingkup cakupannya. Kemudian beralih ke asal muasal bahasa dan perbedaan pendapat ulama
di dalamnya, apakah bahasa merupakan ilham dari Allah atau kreasi manusia. Dalam hal ini,
beliau mengutip secara langsung klasifikasi mazhab tiap pendapat versi ibn jinni. pada halaman
selanjutnya, beliau berbicara tentang dalalat al-nahwiyah, hukm an-nahw dan pembagian
alfazd menurut ibn tharawah.

Pembahasan As-Suyuthi mengenai adillah An-Nahwiyah yang menjadi inspirasi


terciptanya sebuah kaidah. Beliau membuka awal pembahasannya dengan dalil as-sima’. Sima’
dalam definisi al-suyuti adalah setiap kalam (kalimat-kalimat bahasa arab yang bisa dipahami)
yang berasal dari sumber yang dipercaya akan kefasihannya. Dari definisi ini, masdar sima’
terbagi menjadi tiga, yaitu : kalamullah (al-Qur’an), kalam Nabi Saw. Dan kalam qabilah-
qabilah Arab. Adapun Dalil kedua: ijma’. Yaitu kesepakatan ahli nahwu dari 2 kota (basrah
dan kufah) dalam sebuah hukum. Dicontohkan tidak berlakunya larangan Abul abas dalam
hukum mendahulukan khabar laysa dari laysa itu sendiri karena para basrayyin dan kufiyin
telah sepakat membolehkan hal tersebut. Lalu dalil ketiga : qiyas, merupakan dalil terbanyak
yang dipakai oleh nuhât dalam istinbat al-qâidah. Beliau menyebutkan mulai dari definisi
qiyas, rukun-rukunnya (maqîs alaîh, maqîs, hukm dan ‘illah) dan klasifikasinya. Kemudian
dalil terakhir dari adillah nahwiyah ashliyah adalah istishab, yaitu kondisi asal (semula) dari
sebuah lafadz jika tidak ada dalil yang mengubah keadaannya. Contohnya, isim yang pada
asalnya adalah Mu’rab, maka akan tetap mu’rab sampai ada dalil yang membuat dia menjadi
mabni seperti tasybih al-hurûf baik itu tasybih alwadh’i, isti’mal ataupun iftiqar.

As-Suyuti menyebutkan bahwa masih banyak adilah nahwiyah lainnya yang biasanya
dipakai oleh para nuhat, diantaranya : istidlal bil ‘aks, istidlal bibayan al-‘illah, istidlal bi’adam
ad-dalil fi sya’I ‘ala nafîhi, istidlal bi al-ushul, istidlal bi ‘adam an-nazhir, istihsân, istiqra’ dan
ad-dalil almusamma bi al-bâqi. Beliau juga membahas tentang ta’arudh dan tarjih. Beliau
mencoba menjawab permasalahan ketika berkumpulnya beberapa adillah nahwiyah dalam satu
masalah.

KESIMPULAN

As-suyuthi adalah salah satu tokoh ilmuan nahwu dengan aliran mesir pada generasi
terakhir. Beliau hidup pada masa Dinasti Mamluk pada abad ke – 15, berasal dari keluarga
keturunan Persia yang semula bermukim di Baghdad, kemudian pindah ke Asyuth. Secara
genetis as-Suyuti kelahiran dari keturunan ulama besar yang hidup pada abad kedelapan
Hijriah. As-Suyuti menguasi tujuh cabang ilmu keislaman, yakni: tafsir , hadis, fiqih, nahwu,
ma'ani, bayan, badi', dan balaghah. Beliau menjadi penyempurna dalam kaidah ilmu nahwu.
Salah satu karyanya yang membahas seputar ilmu nahwu adalah kitab al-iqtirah fi ilm Ushul
al-nahw . Beliau mencetuskan adillah An-Nahwiyah yang menjadi inspirasi terciptanya sebuah
kaidah . pembahasannya yaitu dengan dalil as-sima’ dalil kedua: ijma’ Lalu dalil ketiga : qiyas
kemudian dalil terakhir dari adillah nahwiyah ashliyah adalah istishab dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Al Salim Mukrim, al-Qurân al-Karîm wa Atsaruhu Fi al-Dirâsât al-Nahwiyyah.


Mesir: Dar al-Maarif, t.t.

Abdul Hadi Fadli, Marâkiz ad-Dirâsat Al-Nahwiyyah.Yordania : Makatabah al-Manar


1986.

Abdul Ali Salim Mukarrom, Al-Madrasah an-Nahwiyah fiMishri was Syaami fi al


Qornain al Sa”bi’ wa al-Samin min al Hijroh. Cet 1. Darus Syuruq. 1400 H/1980.

Abdul Aziz Ahmad Allam, “Min Târikh al-Nahwi al-Arabi”, Majallah, edisi II,
tahun ke –2 , 1401/1402 H. KSA.

Ahmad Amin, Dhuha al-Islâm. Mesir: Maktabah Al-Nahdah Al-Mishriyyah,


1974.AhmadAfify, Al-Mandzumah Al Nahwiyah Al-Mansubah Li al-Khalil bin Ahmad Al
Farahidy.Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003.

Ahmad Al-Hasyimy, al-Qawaidul al-Asasiyyah. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.

Ahmad Al-Iskandari Musthafa, Al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi. Kairo:


Wizarat al-Ma‟arif al-Umumiyyah, 1919.

Ahmad Marzuq, “Grammatical Errors in the Arabic Essay (Content Analysis


Research on the Student of Arabic Language Education Department, Faculty of Languages
and Arts, StateUniversity of Jakarta)”,

Al-Munjid fial-Lughah,cet. 44. Beirut : Dār al-Masyriq, 2011.

Ana Wahyuning Sari, “Analisis Kesulitan Pembelajaran Nahwu Pada Siswa Kelas
VII MTs Al Irsyad Gajah Demak Tahun Ajaran 2015/2016”Lisanul Arab Journal of Arabic
Learning and Teaching. Jilid 6. Vol.1. (2017).

Arif Rahman Hakim, “Mempermudah Pembelajaran Ilmu Nahwu pada Abad 20”,
Jurnal al-Maqoyis,vol. 1 No. 1, (2013).Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode
Pengajarannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Dolla Sobari, ”Periodisasi Tokoh Ilmu Nahwu Aliran Basrah”,Jurnal Bahasa dan Sastra
Arab.
Hasan Nuruddin, Al-Dalil ila Qawa‟id al-Lughah al-Arabiyyah.Hazarudin. Bahasa
Arab Teoritis (Nahwu Sharaf).Bogor : CV. Bintan Tsurayya, 1994 .

Ibnu Jinnī, al-Khasāish.Kairo : Dār al-Hadits: 2008.Khodijah Abdur RozaqAl-


Haditsi, Al-Madaris An-Nahwiyah. Cet 1. Universitas Baghdad. 1385 H/1986.

Anda mungkin juga menyukai