Anda di halaman 1dari 8

NAMA : Khairul Najmi

NIM : 18003011
Prodi : Perbandingan Mazhab dan Hukum

A. ASBABUN NUZUL

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan pendapat para ulama mufassir yang
menyatakan bahwa ayat 144 dari surah al-Baqarah di atas merupakan ayat yang turun terlebih
dahulu dari pada ayat sebelumnya. Ayat khusus di sini berkaitan dengan pemindahan kiblat
shalat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan
bahwa:

‫ وذلك أن رسول‬،‫ كان َّأول ما نُس َخ من القرآن القبلة‬:‫قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس‬
‫ فأمره هللا أن يستقبل‬،‫ وكان أكثر أهلها اليهود‬،‫هاجر إلى المدينة‬
َ ‫هللا صلى هللا عليه وسلم لما‬
‫شهرا‬
ً َ َ‫ضعَة‬
‫عش ََر‬ ْ ‫ فاستقبلها رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ب‬،‫ ففرحت اليهود‬،‫بيت المقدس‬

Peristiwa pemindahan kiblat shalat merupakan hukum pertama yang dinasakh dalam
Al-Quran. Ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah, karena pada waktu itu mayoritaas
penduduk kota Madinah masih beragama Yahudi, Allah SWT memerintahkan beliau untuk
menghadap ke arah Baitul Maqdis untuk menarik simpati penduduk Madinah yang merasa
senang dengan hal tersebut. Maka, awal-awal di Madinah Rasulullah menghadap ke Baitul
Maqdis selama beberapa puluh bulan.
Adapun sebab yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut, terdapat perbedaan
pendapat di antara para mufassirin. Akan tetapi kebanyakan mereka berpendapat bahwa
turunnya ayat 144 surah al-Baqarah di atas berawal dari penantian Rasulullah akan turunnya
perintah untuk memindah arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Pendapat ini dinyatakan
oleh Imam al-Razi dalam tafsirnya dengan beberapa alasan yang di antaranya bahwa
rasulullah lebih senang menghadap Ka’bah dari pada Baitul Maqdis.
Kecondongan Rasulullah ini bukannya tanpa alasan, Imam al-Razi menyebut
beberapa di antaranya karena kesombongan orang-orang Yahudi yang berkata bahwa
Rasulullah menyalahi agama mereka, akan tetapi mengikuti kiblat mereka. Selain itu,
kecenderungan rasulullah pada Ka’bah dikarenakan pula Ka’bah merupakan kiblatnya Nabi
Ibrahim.
Maka, Nabi Muhammad SAW menengadahkan wajahnya ke langit untuk menghadap
dan berharap akan turunnya perintah memindahkan arah kiblat. Dan pada akhirnya, setelah
melalui kurun waktu antara enam belas atau tujuh belas bulan sejak hijrahnya beliau ke
Madinah, perintah itu pun turun berupa ayat 144 dari surah al-Baqarah. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Bara’ Ibn ‘Azib:

َّ ‫ي‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ب َر‬ ٍ ‫از‬ ِ ‫ع‬َ ‫اء ب ِْن‬ ِ ‫ع ْن ْال َب َر‬
َ َ‫ع ْن أ َ ِبي إِ ْس َحاق‬ َ ‫َّللا ْب ُن َر َجاءٍ قَا َل َحدَّثَنَا إِس َْرا ِئي ُل‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
ِ َّ ُ‫ع ْبد‬
َ ‫عش ََر أ َ ْو‬
َ‫س ْبعَة‬ َ َ‫ت ْال َم ْقد ِِس ِستَّة‬ ِ ‫صلَّى نَحْ َو َب ْي‬َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن ُه َما قَا َل َكانَ َر‬
َ
َّ ‫س َّل َم ي ُِحبُّ أ َ ْن ي َُو َّجهَ ِإلَى ْال َك ْع َب ِة فَأ َ ْنزَ َل‬
‫َّللاُ { قَ ْد‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ش ْه ًرا َو َكانَ َر‬ َ ‫عش ََر‬ َ
}‫األية‬... ‫اء‬
ِ ‫س َم‬ َ ُّ‫ن ََرى تَقَل‬
َّ ‫ب َوجْ ِهكَ ِفي ال‬

Atas dasar ayat ini maka berubahlah arah shalat kaum muslimin ke Ka’bah, yang
sebelumnya menghadap ke Baitul Maqdis (yang merupakan kiblatnya ahli kitab dari kaum
yahudi dan Nasrani). Dan ternyata, berubahnya arah kiblat oleh ummat Islam ini menjadikan
kaum Yahudi lebih sombong dan enggan untuk masuk Islam. Karena itu, mereka di Madinah
berkata dengan lisan mereka:

‫ وقبلتهم هي‬، ‫"أن اتجاه محمد ومن معه إلى قبلتهم في الصالة دليل على أن دينهم هو الدين‬
‫ فأولى بمحمد ومن معه أن يفيئوا إلى دينهم ال أن يدعوهم إلى‬، ‫القبلة؛ وأنهم هم األصل‬
‫الدخول في اإلسالم‬

Bahwa sesungguhnya menghadapnya Muhammad saw. dan orang-orang yang


bersamanya ke arah kiblatnya orang Yahudi di dalam shalat, menunjukkan bahwa agama dan
kiblat mereka adalah agama dan kiblat yang benar, serta sesungguhnya orang-orang Yahudi
dan agamanya adalah yang asli. Maka, Muhammad saw. dan orang yang bersamanya justru
yang harus memeluk agama orang-orang Yahudi, bukannya menyeru orang Yahudi untuk
masuk Islam.
Tidak hanya itu, orang-orang Yahudi juga menyebarkan kebohongan dan kebatilan
agar kiblat Nabi Muhammad saw. dan kaum muslimin kembali ke Baitul Maqdis. Kaum
Yahudi berusaha keras melenyapkan argumen yang dikeluarkan kaum muslimin berkaitan
dengan pemindahan kiblat shalat. Dengan berlindung dan bersandar di balik keagungan
agama Yahudi dan pada keraguan yang mereka ciptakan kepada umat Islam akan kebesaran
nilai agama Islam itu sendiri, mereka berkata pada barisan kaum muslimin:

‫ إلى بيت المقدس باطالً فقد ضاعت صالتكم طوال هذه‬- ‫ فيما مضى‬- ‫إن كان التوجه‬
. ‫ وضائعة صالتكم إليه كلها‬، ‫الفترة؛ وإن كانت حقا ً فالتوجه الجديد إلى المسجد الحرام باطل‬
‫ فهو دليل‬، ‫ ال يصدر من هللا‬- ‫ أو لآليات‬- ‫ وعلى أية حال فإن هذا النسخ والتغيير لألوامر‬.
‫على أن محمدا ً ال يتلقى الوحي من هللا‬

Jika menghadap Baitul Muqaddas adalah batil, maka sungguh telah hilang tanpa
berpahala shalatmu selama waktu yang telah berlalu. Dan jika menghadap Baitul Maqdis
adalah benar, maka apa yang telah kalian lakukan dengan menghadap kiblat yang baru
(Ka’bah) adalah batil, dan shalat yang kalian lakukan dengan menghadap kiblat adalah sia-sia
tanpa pahala. Maka, atas dasar keterangan tadi, nasakh dan perubahan arah shalat yang
dilakukan Muhammad adalah perintah yang bukan dari Allah SWT, dan hal ini juga
menunjukkan bahwa Muhammad tidak menerima wahyu dari Allah SWT. Untuk
mengantisipasi hal tersebut dan memberikan kesiapan terhadap Nabi Muhammad dalam
menghadapi fitnah mereka, Allah SWT menurunkan wahyunya berupa ayat 142-143 dan ayat
145 surah al-Baqarah.

B. HUKUM, TARJIH, DAN PENDAPAT ULAMA

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa ayat tentang perpindahan arah


kiblat ini merupakan hukum pertama yang dinasakh dalam syari’at. Ayat ini pula yang dibuat
landasan oleh para ahli fiqh yang menyatakan bahwa syari’at Islam mengakui adanya suatu
hukum yang mengganti dan yang diganti (nasikh-mansukh). Terkait kewajiban menghadap
arah Ka’bah pada ayat 142 surah al-Baqarah di atas, Imam al-Qurthubi menyebutkan
setidaknya ada 4 persoalan hukum di dalamnya.
Pertama, kata ‫ شطر المسجد الحرام‬yang ditafsiri dengan arah Ka’bah (‫ )ناحية الكعبة‬para
ulama berbeda pendapat tentang obyek konkret dari arah Ka’bah tersebut. Dalam kasus ini
Imam al-Qurthubi meriwatkan sebuah hadits Rasul dari Ibn Abbas:
‫قد روى ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس رضي هللا عنهما أن رسول هللا صلى هللا عليه‬
‫ البيت قبلة ألهل المسجد والمسجد قبلة ألهل الحرم والحرم قبلة ألهل األرض في‬:‫وسلم قال‬
‫مشارقها ومغاربها من أمتي‬

Setidaknya ada 4 pendapat berkaikan dengan makna Masjidil Haram tersebut1 :

1. Pendapat Pertama : Ka’bah


Mereka berpendapat dengan berhujjah pada surat Al Baqarah 144 ( ‫َط َر ْال َمس ِْج ِد‬ْ ‫فَ َو ِل َوجْ َهكَ ش‬
ْ Mereka yang memaknai kata (‫َط َر‬
‫)ال َح َرام‬ ْ ‫ )ش‬berarti arah dan (‫)ال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام‬
ْ berarti
Ka’bah.2
2. Pendapat Kedua : Masjidil Haram

Sebagaimana pendapat Ibnu Abbas.3 Adapun dalil yang mereka pergunakan

َ ‫صالَةٍ فِي َما س َِواهُ إِالَ ْال َمس ِْجدَ ْال َح َر‬
‫ام‬ َ ِ‫صالَة ٌ فِي َمس ِْجدِي َهذَا َخ ْي ٌر مِ ْن أ َ ْلف‬
َ

“Shalat di masjidku (Masjid An Nabawi) lebih baik dari pada shalat 1000 rekaat di
masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram4”.

3. Pendapat ketiga : Makkah Al Mukarramah

Dengan dalil

‫ار ْكنَا َح ْولَهُ ِلنُ ِريَهُ مِ ْن آيَاتِنَا إِنَّهُ ه َُو‬ َ ‫س ْب َحانَ الَّذِي أَس َْرى بِعَ ْب ِد ِه لَي ًْال مِ نَ ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام إِلَى ْال َمس ِْج ِد ْاأل َ ْق‬
َ َ‫صى الَّذِي ب‬ ُ
]1 :‫ير [اإلسراء‬ ُ ‫ص‬ِ َ‫السَّمِ ي ُع ْالب‬

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

4. Pendapat keempat : Wilayah Tanah Suci

Dengan dalil,

ً‫ع ْيلَة‬
َ ‫عامِ ِه ْم َهذَا َو ِإ ْن خِ ْفت ُ ْم‬ َ ‫س فَ َال يَ ْق َربُوا ْال َمس ِْجدَ ْال َح َر‬
َ َ‫ام بَ ْعد‬ ٌ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإنَّ َما ْال ُم ْش ِر ُكونَ نَ َج‬

]28 :‫ع ِلي ٌم َحكِي ٌم [التوبة‬ َ َّ ‫ض ِل ِه إِ ْن شَا َء إِ َّن‬


َ ‫َّللا‬ َّ ‫ف يُ ْغنِي ُك ُم‬
ْ َ‫َّللاُ مِ ْن ف‬ َ َ‫ف‬
َ ‫س ْو‬

1
Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam 1/123.
2
Tafsir Al Qurthubi 2/159.
3
Tafsir Al Qurthubi 2/159
4
HR. Ahmad
" Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis,
maka janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu
khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu
dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”

Tarjih : Adapun makna Masjidil Haram yang rajih menurut Syaikh Muhammad Ali As
Shobuni adalah Ka’bah, sebagaimana pendapat Imam Al Qurthubi.5

Kedua, Ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menghadap kiblat bagi orang
yang tidak dapat melihat langsung Ka’bah. Di antara ulama berpendapat wajib
menghadap ‘ain Ka’bah. Namun pendapat ini dibantah oleh Imam Ibn al-Arabi dan dianggap
pendapat yang lemah. Karena hal ini akan berdampak pada taklif (paksaan) bagi orang yang
tidak mampu.

Ketiga, Hukum shalat diatas Ka’bah.

- Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak sah shalat diatas Ka’bah. karena di atas
Ka’bah tidak menghadap Ka’bah melainkan menghadap sesuatu yang lain. Sedangkan
salah satu syarat sah shalat adalah menghadap kiblat.
- Hanafiyah berpendapat memakruhkan shalat diatas Ka’bah karena merupakan akhlak
yang buruk. Namun tetap sah jika sholat didirikan di atas ka’bah, karena madzhab Abu
Hanifah berpendapat bahwa kiblat itu dari ujung bumi hingga ujung langit.6

Sedangkan dalam bukunya Wahbah Az Zuhaili disebutkan

- Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan shalat sunnah di atas Ka’bah, dan tidak
dengan shalat fardhu,
- Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah membolehkan sholat di atas Ka’bah secara mutlaq baik
shalat fardhu maupun shalat sunnah7.

Ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menghadap kiblat bagi orang yang tidak dapat
melihat langsung Ka’bah. Di antara ulama berpendapat wajib menghadap ‘ain Ka’bah.

5
Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam 1/124
6
Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam 1/128
7
Al Fiqh Al Islam wa Adillatuha 2/983
Namun pendapat ini dibantah oleh Imam Ibn al-Arabi dan dianggap pendapat yang lemah.
Karena hal ini akan berdampak pada taklif (paksaan) bagi orang yang tidak mampu.

Keempat, ayat ini menjadi hujjah yang terang bagi pendapatnya Imam Malik dan
ulama yang sependapat dengannya, bahwa hukum bagi seorang mushalli adalah melihat ke
depan dan bukan ke tempat sujud.
Jumhur berpendapat bahwa disunnahkan untuk melihat ke tempat sujud ketika shalat. Syarik
Al Qadhi berkata memandang ke arah sujud ketika berdiri, ke punggung kaki ketika ruku’, ke
hidung ketika sujud, ke pangkuannya ketika duduk8”

Tarjih :

Yang benar menurut penulis adalah pendapat Jumhur Ulama. Karena orang yang sholat
memandang ke tempat sujud tidak mengeluarkanya dari menghadap Ka’bah. Semua itu
bertujuan agar orang yang shalat tidak terganggu konsentrasinya dan menjadikan hati lebih
khusu’ ketika sholat.

D. HIKMAH TASYRI’
Bangunan Ka’bah (Al-Baitul Atiq) yang dahulu di bangun oleh para abul anbiya
(bapak para nabi), Ibrahim a.s. merupakan kiblat seluruh umat islam di muka bumi
sebagaimana al-Baitul Ma’mur yang menjadi kiblat bagi penghuni langit, di mana mereka
bertawaf dan bertasbih dengan memuji Allah sambil mengelilinginya.

Adalah kebijaksanaan Allah telah menentukan satu kiblat bagi umat islam, yang
kemudian Allah memerintahkan kekasih-Nya Ibrahim a.s. untuk mendirikan ka’bah sebagai
tempat berkumpulnya kaum muslimin yang aman, sebagai sumber bagi sinar, cahaya
ketuhanan dan tempat bagi manusia dari segala penjuru bumi untuk menunaikan ibadah haji
yang agung. Dalam hal ini Allah berfirman :

ٍ ‫لِ ي َ شْ هَ د ُوا َم ن َا ف ِ َع ل َ هُ ْم َو ي َ ذ ْ ك ُ ُر وا ا سْمَ َّللاَّ ِ ف ِ ي أ َي َّا ٍم َم ع ْ ل ُ و َم ا‬


‫ت عَ ل َ ٰى َم ا َر َز ق َ هُ ْم ِم ْن‬
‫س ال ْ ف َ قِ ي َر‬
َ ِ ‫األ َن ْ ع َ ا ِم ۖ ف َ ك ُ ل ُ وا ِم ن ْ َه ا َو أ َطْ ِع ُم وا ال ْ ب َ ا ئ‬
ْ ِ‫ب َ ِه ي َم ة‬
Artinya: “supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya
mereka menyebut asma Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Q.S. Al-Hajj:28).

8
Tafsir Al Qurthubi 2/160
Dan Allah juga telah memerintahkan kepada Rasul-Nya supaya menghadap ke
Baitullah dalam shalat sebagai ganti menghadap Baitul Maqdis selama kurang lebih enam
belas atau tujuh belas bulan. Ini dilakukan tidak lain adalah untuk menguji keimanan dan
kepercayaan mereka untuk menjaring siapa saja di antara mereka yang mukmin shadiq (yang
benar) dan munafiq kadzib (yang berdusta). Selain itu juga untuk mengembalikan peran umat
sebagai anutan sebagaimana firman-Nya dalam Al- Qur’an surat Al-hajj ayat 78 yang kurang
lebih artinya, ”Dia (Allah) telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dan Dia
(Allah) menyebut kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam
(Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semuan
menjadi saksi atas segenap manusia…”
Maka Ka’bah adalah perlambang jiwa tauhid dan aspek keimanan serta kiblat bapak
para Nabi yang disekelilingnya saling bertemu hati orang-orang muslim dari pelbagai penjuru
dunia. Semua ini mensinyalemen bahwa Ka’bah adalah lambang kesatuan mereka dan inti
kesatuan kalimat mereka. Maka tidak mengherankan jika Allah memerintahkan mereka
menghadapnya dalam shalat di manapun mereka berada, baik di Timur maupun di Barat,
sebagaimana telah difirmankan Allah, “Palingkanlah mukamu ke arah masjidil Haram. Dan
di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya…” (Q.S. Al-Baqarah:144).
Sedangkan bagi Al-Imam Fahrur Razi, dialihkannya kiblat ke masjidil haram memuat
beberapa hikmah, yaitu:
1. Bahwa sesungguhnya seorang hamba yang lemah apabila menghadap kepada Majlis
Raja yang agung, ia akan menghadapkan mukanya kepada Raja tanpa berpaling
dengan memujinya dengan merendahkan diri dan berkhidmat. Begitu pula dengan
hakikat menghadap kiblat, tidak akan berpaling darinya dengan disertai bacaan-
bacaan dan tasbih-tasbih sebagai pujian, sedangkan ruku’ dan sujud merupakan
cermin dari pengkhidmatan kepadanya.
2. Maksud shalat adalah hadirnya hati (ke hadapan Allah), sedang kehadiran ini tak akan
berhasil tanpa sikap yang tenang, tidak bergerak-gerak, dan tidak menoleh kemana-
mana. Hal ini tentu tidak akan terlaksana dengan baik kecuali hanya dengan
menghadap ke satu arah saja. Maka apabila ditentukan satu arah sebagai hadapan
tentu menambah kemuliaan dan lebih utama.
3. Allah SWT telah meyukai kelembutan hati di antara kaum mukminin. Oleh karena itu,
jika seandainya masing-masing orang islam ketika shalat menghadap arah yang
berbeda-beda, tentu hal itu justru akan memperjelas perbedaan. Sehingga, perintah
Allah kepada umat islam untuk menghadap satu arah ini tidak lain adalah untuk
mewujudkan persatuan umat.
Allah SWT mengistimewakan Ka’bah dengan menyandarkannya kepada-Nya
sebagaimana firman Allah, “Dan sucikanlah rumah-Ku” (Q.S. Al-Hajj:26).
Pengistimewaan ini juga dilakukan oleh Allah kepada orang-orang mukmin dengan
mengidhafatkan mereka kepada Diri-Nya seperti panggilan Ibadi (hamba-hamba-Ku).
Maka kedua macam idhafat ini berarti adalah untuk mengistimewakan dan
menghormati.

Anda mungkin juga menyukai