Anda di halaman 1dari 30

KEKHASAN PEMIKIRAN MISBAH MUSTHOFA DALAM AL-IKLIL

(ANALISIS AYAT-AYAT PILIHAN)


Muhamad Amin
amin.kemture@gmail.com
Abstrak
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang kekhasan pemikiran KH. Misbah Musthofa
dalam penafsiranya pada kitab yang berjudul al-Iklil fi Ma'ani al-Tanzil. Beliau juga
dikenal sebagai ulama pesantren yang sangat produktif dalam menulis berbagai
bidang keilmuan, dikenal juga sebagai mufasir Nusantara yang kompeten. Terbukti
dengan banyaknya kitab-kitab yang ditulisnya. Misbah Mustafa menulis Tafsir Al-
Iklil Fī Ma’āni Al-Tanzīl selama 8 tahun mulai dari tahun 1977 sampai 1985 M dalam
Bahasa Jawa yang ditulis dengan menggunakan aksara Pegon yang khas digunakan
di kalangan pesantren pada zaman itu, dengan menggunakan metode tahlili dan
beragam corak yang terdapat dalam penafsiran beliau. Tafsir ini dijadikan sebagai
media untuk berdakwah agar manusia selalu berpedoman pada Al-Qur'an dalam
kehidupan di dunia. Selain itu, tafsir ini juga banyak mengkaji tentang fenomena
permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Penelitian makalah ini bersifat library
research yang bersumber primer al-Qur’an, dan al-Iklil. Sumber sekunder
didapatkan dari buku, jurnal, artikel serta beberapa literatur yang terkait dengan
tema tulisan. Penulis menggunakan metode deskriptif analisis untuk menggali
pemikiran pengarang kitab dalam beberapa ayat yang ditafsirkannya.
Kata Kunci : Tafsir Al-Iklil, Aksara Pegon, Misbah Musthofa
Abstract
This writing will discuss the uniqueness of KH. Misbah Musthofa's thinking in his
interpretation of the book titled al-Iklil fi Ma'ani al-Tanzil. He is also known as a
highly productive Islamic scholar who wrote various fields of knowledge, and is
recognized as a competent Nusantara commentator. This is evidenced by the many
books he wrote. Misbah Mustafa wrote the Tafsir Al-Iklil Fī Ma’āni Al-Tanzīl for 8
years, from 1977 to 1985, in Javanese language using the distinctive Pegon script used
among the pesantren community at that time, with a method of analysis and various
interpretations found in his commentary. This commentary serves as a means of
preaching to guide people to always follow the Qur'an in their lives. In addition, this
interpretation also extensively examines the phenomenon of problems that arise in
society. The research in this paper is a library research that primarily sources the
Qur'an and al-Iklil. Secondary sources were obtained from books, journals, articles,
and several literatures related to the writing theme. The author used a descriptive
analysis method to explore the author's thinking in several interpreted verses.
Keywords: Tafsir Al-Iklil, Pegon Script, Misbah Musthofa.
A. PENDAHULUAN

Al-Quran merupakan sumber ajaran utama bagi umat Islam, yang di


dalamnya terdapat berbagai ayat yang memiliki makna dan pesan yang sangat
penting bagi kehidupan manusia. Untuk memahami ayat-ayat tersebut
dengan lebih mendalam dan akurat, diperlukan pemahaman dan penafsiran
yang baik.
Salah satu tokoh ulama dan intelektual Muslim Indonesia yang
terkenal dengan pemikiran dan kontribusinya dalam bidang tafsir Al-Quran
adalah KH. Misbah Mustofa. Ia merupakan salah satu dari sedikit ulama yang
mampu menghasilkan karya tafsir yang begitu komprehensif dan terperinci,
yaitu Al-Iklil fi Ma’ani al- Tanzil. Karya monumental ini berhasil mencakup
seluruh ayat-ayat Al-Quran dengan berbagai pendekatan dan metode
interpretatif yang unik.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas kekhasan pemikiran
Misbah Mustofa dalam Al-Iklil dan teks penafsirannya. Kita akan
memperoleh pemahaman tentang bagaimana ia memadukan pendekatan
teologis, filosofis, sosial, dan sejarah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran,
serta bagaimana ia menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
interpretatif yang berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Selain itu, kita juga akan meninjau bagaimana konteks sosial budaya
dan sejarah mempengaruhi pemikiran dan penafsiran Misbah Mustofa dalam
Al-Iklil. Selain itu, makalah ini juga akan membandingkan Al-Iklil dengan
beberapa tafsir Al-Quran lainnya untuk memberikan gambaran yang lebih
lengkap tentang kekhasan dan keunggulan tafsir ini.
Melalui makalah ini, penulis juga berharap dapat memberikan
kontribusi dalam memperkaya pemahaman kita tentang tafsir Al-Quran dan
pentingnya penafsiran yang tepat. Makalah ini juga diharapkan dapat
memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kekhasan pemikiran
Misbah Mustofa dalam Al-Iklil dan bagaimana teks penafsirannya
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman dan aplikasi Al-
Quran dalam kehidupan sehari-hari.

B. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis mengunakan metode penelitian Maktabi
atau kepustakaan ( Libarary Research) yaitu berupa penelaahan dalam
beberapa buku baik berbahasa Indonesia ataupun berbahasa Arab juga artikel
dan beberapa jurnal yang membahas secara detail tentang perkembangan
disiplin ilmu Tafsir yang berkembang di Indonesia terkhusus pada
pembahasan Tafsîr al-Iklil karangan Misbah Musthofa.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Biografi penulis Tafsîr al-Iklil
KH. Misbah bin Zainal Musthafa atau yang dikenal dengan Misbah
Musthafa lahir tahun 1916 M, di kampung Sawahan Gg. Palem, Rembang,
Jawa Tengah. Nama lengkapnya adalah Misbah bin Zainul Mustafa. Ia
merupakan anak dari pasangan H. Zainal Mustafa dan Khadijah. Ayahnya
adalah seorang saudagar yang kaya raya, yang gemar membelanjakan
hartanya untuk membantu para kiai dalam mengelola pondok pesantren.
Sedangkan, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang sukses
mendidik putra-putrinya yang kemudian menjadi tokoh
masyarakat.(Maulana et al., 2021) yaitu Mashadi (Bisri Mustafa), Salamah
(Aminah), Mishbah dan Ma’shum. Selain itu kedua pasangan ini juga
mempunyai anak dari suami dan istri sebelumnya yaitu, H. Zuhdi, Hj.
Maskanah, Ahmad, Tasmin. 1
Pada tahun 1923 M Misbah Bersama keluarganya pergi
menunaikan haji ke Mekah. Dalam menunaikan ibadah haji ini H. Zainal
Mustafa ayahanda Misbah Mustafa diberi cobaan dengan penyakit,
sehingga ia harus ditandu ketika melakukan wukuf dan sa’i. namun
setelah selesai dari pelaksanaan haji penyakit ayahanda beliau semakin
bertambah dan akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya
sebelum diberangkatkan ke Indonesia pada usia 63 tahun dan
dimakamkan di sana.
Sepeninggal ayahnya, Misbah diasuh oleh kakak tirinya, yaitu H.
Zuhdi. Misbah tumbuh berkembang dalam tradisi pesantren bersama
kakaknya Bisri Mustafa, Misbah Mustafa dididik dari kecil dalam disiplin
ilmu agama, dia dipondokkan di Kasingan, Rembang yang diasuh oleh
Kyai Kholil (1928) setamatnya dari pendidikan di sekolah dasar yang saat
itu bernama SR (Sekolah Rakyat ). Pendidikan Misbah terfokus padad
ilmu gramatikal dengan menggunakan kitab al Jurumiyyah, al Imriti dan
Alfiyah. Dalam usia yang sangat muda Misbah berhasil mengkhatamkan
Alfiyah sebanyak 17 kali. Setelah matang dalam ilmu Bahasa Arab, Misbah
melanjutkan dengan mempelajari ilmu fiqh, ilu kalam, ilmu hadits, dan
ilmu keagamaan lainnya.
Selain berguru pada K.H Khalil Misbah juga berguru kepada K.H
Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng Jombang pada tahun 1357 H di
pesantren Tebu Ireng, Misbah belajar kitab klasik dari berbagai ilmu.

1
Nisak, F. S. (2019). Penafsiran QS. al-Fatihah K.H Mishbah Mustafa: Studi Intertekstualitas dalam
Kitab al-Iklil Fi Ma’ani at-Tanzil. Al-Iman: Jurnal Keislaman & Kemasyarakatan, 3(2), 150–179.
Disinilah dia mulai menjadi rujukan dalam Ilmu Bahasa karena
kecakapannya, sehingga disegani oleh junior dan seniornya. 2
Pada tahun 1948, saat berusia 31 tahun, Mishbah menikah dengan
Masruhah dan pindah ke Bangilan Tuban, sekaligus membantu
mengajar di pondok pesantren yang dipimpin mertuanya, KH Ridhwan
dan kemudian menggantikannya. Dari hasil pemikahannya itu KH
Mishbah kemudian dikaruniai lima orang putra yaitu Syamsiyah,
Hamnah, Abdullah, Muhammad Nafis dan Ahmad Rafiq. 3 Di Bangilan
beliau aktif membantu mengajar di Pesantren Al-Balagh yang diasuh oleh
ayah mertuanya, beliau banyak mengajar kitab – kitab kuning baik dalam
bidang kaidah bahasa arab, tafsir, hadis, fikih dan lainnya. Namun setelah
K.H. Ridwan meninggal dunia, semua urusan pesantren diserahkan
kepada beliau. 4
Selain mengajar di pesantren Misbah Mustafa juga berdakwah
melalui tulisantulisannya, karena tulisan jangkauannya lebih luas.
Bersama-sama dengan kakaknya Misbah Mustafa mencetak sendiri
tulisannya, baik itu berupa karya sendiri, terjemahan maupun syarah
kitab. Selain mencetak tulisannya sendiri dan menjualnya ke toko buku
sekitar Bangilan dan Rembang, beliau pun memasukkan tulisannya ke
berbagai penerbit dan mendapatkan respon yang baik dari para penerbit.
Menurut Muhammad Nafis salah satu putranya, setiap hari Kyai
Misbah menulis dan menerjemahkan buku tidak kurang dari 100 lembar.
Baik berupa karya sendiri, terjemahan, maupun Syarh kitab. Karya-karya
yang ditulisnya itu biasanya langsung dijual kepada penerbit, tidak
dengan system royalty. Hal ini dilakukan untuk menjaga keikhlasan
dalam menulis serta tidak sibuk menunggu dan mengharapkan royalti
dari hasil penjualan bukunya. Beliau pun tidak peduli meski hak cipta
dari setiap karyanya kemudian diambil alih sepenuhnya oleh penerbit
yang bersangkutan. Hal penting yang ia lakukan adalah terus menulis dan
menyebarkan ilmu pengetahuan melalui tulisan.
Kiai Misbah kemudian menulis lagi karya tafsir yang lebih
komprehensif dan lebih luas penjelasannya ketimbang tafsir al-Iklil. Kitab
tafsir tersebut diberi nama Taj Al Muslimin yang berarti mahkota orang-

2
Maulana, A., Hurrahmi, M., & Oki, A. (2021). Kekhasan Pemikiran Misbah Musthofa Dalam Tafsir Al-
Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl Dan Contoh Teks Penafsirannya. In Zad Al-Mufassirin (Vol. 3, Issue 2,
pp. 268–294). https://doi.org/10.55759/zam.v3i2.22
3
Baidowi, A. (1976). ASPEK LOKALITAS TAFSIR AL-IKLĪL FĪ MA’ĀNĪ AL-TANZĪL.
4
Nisak, F. S. (2019). Penafsiran QS. al-Fatihah K.H Mishbah Mustafa: Studi Intertekstualitas dalam
Kitab al-Iklil Fi Ma’ani at-Tanzil. Al-Iman: Jurnal Keislaman & Kemasyarakatan, 3(2), 150–179.
orang muslim. Namun, sebelum proyek besar ini selesai, kiai Misbah
wafat pada Senin 7 Dzulqa’dah 1414 H/18 April 1994 M dalam usia 78
tahun, meninggalkan dua orang istri dan lima orang anak. Tafsir Taj al-
Muslimin ketika itu baru selesai ditulis empat jilid, dan saat itu ia juga
meninggalkan enam kitab yang belum diberi judul. 5
Selain aktif terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan, Kiai
Mishbah juga aktif dalam kegiatan politik dengan berganti-ganti menjadi
anggota partai politik, seperti Partai NU, Partai Masyumi, dan Partai
Golkar. Masuknya Mishbah ke dalam beberapa partai bertujuan untuk
berdakwah. Oleh karena itu, Mishbah sering berdiskusi dengan teman-
teman dalam partainya terutama masalah aktual di masyarakat. Masuk-
keluarnya Mishbah dari satu partai ke partai lain adalah karena ia merasa
bahwa pendapatnya tidak sesuai dengan pendapat yang dianut oleh
orang-orang yang duduk di masing-masing partai. Sebagai seorang yang
kuat pendiriannya dalam menghadapi perbedaan pendapat, Mishbah
memilih keluar dari partai. 6 dan berhenti sama sekali dari kegiatan
politik. Tujuan Misbah terjun di dunia politik adalah untuk berdakwah. 7

2. Karya Tulis KH. Misbah Mustafa


Misbah Mustafa merupakan seorang ulama yang produktif dalam
menulis berbagai bidang keilmuan. Ia memiliki kurang lebih 270 karya
tulis, baik itu dari hasil tulisan sendiri ataupun terjemahan Jawa dan
Indonesia. Berikut beberapa karya tulis Misbah Mustafa dalam berbagai
bidang :
a. Bidang Tafsir
1. Tafsir Jalalain, ditejemahkan kedalam Bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh Assegaf Surabaya.
2. Tafsir Surah Yasin, menggunakan Bahasa Jawa.
3. Al Itqan karya Al Suyuthi, terjemahan Bahasa Jawa.
4. Tafsir Al-Iklil Fī Ma’āni Al-Tanzīl, Tafsir ini ditulis dengan
menggunakan Bahasa jawa Pegon dengan ke khasan pesantren dan
diterbitkan oleh Al Ihsan Surabaya.

5
Maulana, A., Hurrahmi, M., & Oki, A. (2021). Kekhasan Pemikiran Misbah Musthofa Dalam Tafsir
Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl Dan Contoh Teks Penafsirannya. In Zad Al-Mufassirin (Vol. 3, Issue
2, pp. 268–294). https://doi.org/10.55759/zam.v3i2.22
6
Baidowi, A. (1976). ASPEK LOKALITAS TAFSIR AL-IKLĪL FĪ MA’ĀNĪ AL-TANZĪL.
7
Maulana, A., Hurrahmi, M., & Oki, A. (2021). Kekhasan Pemikiran Misbah Musthofa Dalam Tafsir
Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl Dan Contoh Teks Penafsirannya. In Zad Al-Mufassirin (Vol. 3, Issue 2, pp.
268–294). https://doi.org/10.55759/zam.v3i2.22
5. Taj Al Muslimin juz 1,2,3, dan 4. Tafsir ini ditulis dengan Bahasa
jawa pegon dengan diterbitkan oleh Majlis Ta’lif wa al-Khattat
Bangilan Tuban.
b. Bidang Fikih
1. Nur Al Mubin Fi Adab Al Musallin, diterbitkan Majlis Ta’lif wa al-
Khattat Bangilan Tuban.
2. Jawahir Al-Lummah, diterjemahkan ke dalam Bahasa jawa dan
diterbitkan Majlis Ta’lif wa al-Khattat Bangilan Tuban.
3. Minah Al Saniyah, diterjemahkan ke Bahasa jawa, dan diterbitkan
oleh Balai Buku Surabaya.
4. Al Muhadzab, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dan
diterbitkan oleh Karunia Surabaya.
5. Minhaj Al-Abidin, diterjemahkan ke dalam Bahasa jawa, dan
diterbitkan oleh Balai Buku Surabaya.
c. Bidang Hadits
1. Bulugh al Maram diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, diterbitkan
oleh al-Ma’arif Bandung.
2. Riyadh Al Sholihin diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia,
diterbitkan oleh Assegaf Surabaya.
3. Al Jami’ Al Soghir diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh Karunia Surabaya.
4. 300 Hadis diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, diterbitkan oleh
Assegaf Surabaya.
5. Durrat Al Nasihin, diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa,
diterbitkan oleh Asco Pekalongan.
d. Bidang Bahasa Arab
1. Alfiyah Kubra diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, diterbitkan
Balai Buku Surabaya.
2. Jauhar al Maknun diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh Karunia Surabaya.
3. Assharf Al Wadih, diterbitkan Majlis Ta’lif wa Al Khatat Bangilan
Tuban.
4. Sulam An Nahwi, diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dan
diterbitkan oleh Assegaf Surabaya.
5. Alfiyah Sughra diterjemahkan ke dalam Bahasa jawa dan
diterbitkan oleh Al Ihsan Surabaya.
e. Bidang Akhlak
1. Ihya Ulumuddin diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dan
diterbitkan oleh Raja Murah Pekalongan.
2. Al Hikam diterjemahkan ke dalam Bahasa jawa, diterbitkan oleh
Assegaf Surabaya.
3. Asma’ Al Husna diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, diterbitkan
oleh Al Ihsan Surabaya.
4. Hidayat Al Shibyan diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa,
diterbitkan oleh Balai Buku Surabaya.
5. Idhat Al Nasi’in diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, diterbitkan
oleh Karunia dan Raja Murah Pekalongan.
f. Bidang Teologi
1. Tijan Al Darori diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa, diterbitkan
oleh Majlis Ta’lif wa al Khattat Bangilan Tuban.
2. Syu’b al Imam diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dan
diterbitkan oleh Balai Buku Surabaya.
g. Bidang lainnya
1. Aurad Al Balighah diterbitkan oleh Majlis Ta’lif wa Al Khattat
Bangilan Tuban.
2. Qurrat al Uyun diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dan
diterbitkan oleh Majlis Ta’lif wa Al Khattat Bangilan tuban.
3. Nur Al Yaqin diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan
diterbitkan oleh Karunia Surabaya.
4. Al Rahbanuyyah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia,
diterbitkan oleh Balai Buku Surabaya.
5. Dalail diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dan diterbitkan oleh
Majlis Ta’lif wa al Khattat Bangilan Tuban.(Maulana et al., 2021)
6. At-tadzkirat al-Haniyyah (Khutbah) yang diterbitkan oleh Majlis
Ta’lif wa al-Khattath, Bangilan Tuban.
7. Misbah al-Dawji diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan
diterbitkan oleh Majlis Ta’lif wa al-Khattath, Bangilan Tuban.
8. Hizb Nashr diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan diterbitkan
oleh Majlis Ta’lif wa al-Khattath, Bangilan Tuban.
9. Nadzam Burdah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan
diterbitkan oleh Assegaf Surabaya.
10. Khutbah Jum’ah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan
diterbitkan oleh Majlis Ta’lif wa al-Khattath, Bangilan Tuban.
11. Da’wah al-Ashhab ditulis dalam bahasa Jawa penerbit Kiblat
Surabaya.
12. Wirid Ampuh yang diterbitkan oleh Majlis Ta’lif wa al-Khattath,
Bangilan Tuban.
13. Dibak makna ditulis dalam bahasa Jawa dan diterbitkan oleh Balai
Buku Surabaya.
14. Syi’ir Qiyamat ditulis dalam bahasa Jawa dan diterbitkan oleh
Assegaf Surabaya. 8

8
Irsyad, A. A. F. (2022). TAFSIR AYAT-AYAT SAINS BENTUK BUMI DALAM TAFSIR NUSANTARA.
3. Sekilas Tentang Kitab Tafsir al-Iklil Fi Ma’ani at-Tanzil
a. Latar Belakang Penulisan
Penulisan kitab ini dengan menggunakan Bahasa Jawa karena
memang ditujukan khusus untuk orang yang menggunakan Bahasa
Jawa, baik yang ada di sekitar daerahnya maupun tempat lain.
Penggunaan Bahasa Jawa dalam tafsir al-Iklil ini akan memudahkan
orang-orang untuk memahami dan mencerna makna yang
terkandung di dalam Al-Quran. Selain untuk memudahkan
masyarakat mengerti isi Al-Quran, penulisan kitab Al-Iklil ini
dilakukan karena kiai Misbah menyaksikan kehidupan masyarakat di
sekelilingnya, yang menurutnya, tidak mementingkan keseimbangan
kepentingan dunia maupun akhirat. Banyak orang yang hanya
mementingkan kehidupan duniawi saja dan mengesampingkan
kehidupan akhirat. Dengan hadirnya Al-Iklil diharapkan al-Quran
akan benar-benar menjadi gemblengan bagi kaum muslimin supaya
mereka mempunyai pribadi kokoh, tidak mudah goyah karena
pengaruh lingkungan.
Nama Al-Iklil Fi Ma’ani at-Tanzil diberikan sendiri oleh KH.
Misbah. Al-Iklil berarti “mahkota” yang dalam Bahasa Jawa
dinamakan “kuluk” atau “tutup kepala seorang raja”. KH. Misbah
berharap dengan memberikan nama Al-Iklil bagi kitabnya agar Allah
swt memberi kemudahan kepada umat Islam dan al-Quran dijadikan
sebagai pelindung hidup dengan naungan ilmu dan amal sehingga
akan dapat membawa ketenteraman di dunia dan akhirat. Kiai
Misbah juga memiliki keinginan untuk mengajak umat Islam kembali
kepada al-Quran. 9
Gus Mus (Mustofa Bisri) menambahkan bahwa penamaan kitab Al
Iklil ini dipengaruhi oleh kitab tafsir di timur tengah. Kitab-kitab
timur tengah biasanya menggunakan Bahasa bersajak misalnya Al
tafsir wa Al Mufassirun, Bidayah Al Mujtahid fi Nihayah Al Muqtasid.
Demikian juga dengan Al Iklil juga menggunakan kata senada seperti
yang dikarang oleh Suyuthi. 10
9
Putra, A., Mustaqim, A., Awwaliyah, N. M., Kusmana, ldham H., Setiawati, C., Gusmian, A. B. lslah,
Robikah, M. Y. S., Muyassaroh, K., Rohmana, J. A., Sari, M., Fadhliyah, L., Munawir, Zahrah, F.
al, Ummi, Z. K., Lwanebel, F. Y., & Fikriyati, U. (2020). Tafsir Al-Qur’an di Nusantara.
10
Maulana, A., Hurrahmi, M., & Oki, A. (2021). Kekhasan Pemikiran Misbah Musthofa Dalam Tafsir
Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl Dan Contoh Teks Penafsirannya. In Zad Al-Mufassirin (Vol. 3, Issue
2, pp. 268–294). https://doi.org/10.55759/zam.v3i2.22
Kiai Misbah mulai menulis kitab tafsimya pada tahun 1977 dan
selesai tahun 1985. Kitab Al-Ikflf Fl Ma'ani at-Tanzil ini mempunyai
teknik dan sistematika yang khas dalam penulisannya, menggunakan
Bahasa Jawa, dengan aksara Arab pegon dan makna gandul yang
menjadi ciri khas karya- karya ulama pesantren Jawa. Setiap ayat Al-
Qur'an diterjemahkan secara harfiah dengan menggunakan makna
gandul yang ditulis miring ke bawah di setiap kata, kemudian
diterjemahkan per ayat di bagian bawah. 11

b. Sistematika Penulisan
Mengenai penulisan tafsir, seorang mufasir tentunya mempunyai
tujuan atau sebuah motivasi tersendiri. Terdapat beberapa hal kenapa
tafsir itu ditulis, misalnya agar masyarakat tersebut dapat mengetahui
intisari dari ayat al-Qur`an atau bahkan tafsir tersebut ditulis untuk
golongan mereka sendiri agar mempunyai rujukan untuk
golongannya dan dalam metode dan corak penafsiran pun berbeda-
beda. Hal yang mempengaruhi penulisan tafsir tersebut memang erat
kaitannya dengan kondisi pada saat itu, latar belakang sosial dan
pengaruh dari lingkungan mufasir itu sendiri. Seperti hal nya tafsir
karya Misbah Musthofa yang berjudul al-Iklil fi Ma‟ani al-Tanzil, juga
terdapat alasan mengapa tafsir itu ditulis.
Berikut sistematika penulisan yag diterapkan Misbah Mustafa
dalam menulis kitab Tafsir Al-Iklil Fī Ma’āni At-Tanzīl:
1) Nama Surat dan Jumlah Ayat
Dalam kitab tafsir ini setiap surat yang akan ditafsirkan selalu
diawali dengan menampilkan jumlah ayat, makkiyah atau
madaniyah, asbabun nuzul, atau pemasalah yang dibahas.
2) Terjemahan Makna Secara Gandul Dengan Huruf Pegon
Dalam penterjemahan, Misbah Mustafa menggunakan dua cara:
Yang pertama : dengan menggunkan makna gantul atau masing-
masing kata diartikan ke dalam Bahasa Jawa dengan cara
digantungkan dibawah kata-kata asli yang diartikan dan ditulis
menurun miring ke kiri.
Yang kedua : menerjemahkan ayat per ayat yang diletakkan
dibawah terjemahan secara gandul yang ditulis dengan Bahasa

11
Baidowi, A. (1976). ASPEK LOKALITAS TAFSIR AL-IKLĪL FĪ MA’ĀNĪ AL-TANZĪL.
Jawa dengan aksara pegon. Tulisan ayat dan tafsirnya ditandai
dengan nomor abjad arab, bila ayatnya menunjukkan ayat satu
maka dalam penafsirannya juga diberi tanda nomor satu, begitu
juga dengan keterangan tafsirannya. Hal ini bertujuan supaya
orang yang membaca mudah untuk memahaminya.
3) Penjelasan
Kyai Misbah Mustafa membagi penjelasan suatu ayat
kedalam dua bagian, yaitu ada penjelasan secara umum dan
penjelasan secara terperinci yang ditandai dengan garis tebal.
Setelah selesai menerjemahkan secara umum, kemudian
beliau menjelaskan dan menerangkan ayat demi ayat dari makna
kosa kata, makna kalimat, munasabah ayat, asbabun nuzul,
Riwayat-riwayat dari sahabat, tabi’in dan ulama lainnya.
(Maulana et al., 2021) Selain itu, KH. Misbah dalam menuliskan
kitab tafsirnya juga menggunakan istilah-istilah khusus untuk
menunjukan adanya sesuatu yang penting dari penafsiran suatu
ayat. Misalnya, penyebutan istilah sebagai berikut :
a) Keterangan menunjukan uraian penafsiran Kyai Misbah
terhadap suatu ayat. Biasanya keterangan lebih panjang
karena bermaksud menjelaskan ayat terebut. Ditulis dan
disingkat dengan ‫ ﻛث‬dan ditambah dengan nomor ayat yang
ditafsirkan.
b) Mas’alah yaitu contoh persoalan yang sedang ditafsirkan.
contoh QS. An-Nisa’ yang berkaitan dengan masalah warisan.
Kyai Misbah menyebutkan beberapa masalah yang berkenaan
dengan warisan. Salah satu masalah bahwa orang kafir tidak
bisa mewarisi orang Islam, begitu juga sebaliknya. Contohnya
Bakar mempunyai anak bernama Sukadi tidak boleh
meminta warisan Bakar.
c) Tanbih merupakan keterangan tambahan dan biasanya
berupa catatan penting. Contoh : QS Al-Baqarah : 64 yaitu
”yen ningali tindakane Allah maring ummate nabi-nabi kang
ndisek, upamane diterusake marang kito ummat Muhammad
temtu kito ummat Muhammad wus dirusak deneng Allah.
Kerono kejobo akeh menungso kang kafir, ugo akeh wong
kang ngaku-ngaku islam nanging podo mengo.
d) Faedah yang dimaksud oleh Kyai Misbah adalah berkenaan
dengan intisari ayat. Contohnya dalam QS an-Nisa’ (4) :4
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi)sebagai pemberian dengan penuh kerelaan , kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas
kawin itu dengan senang hati, maka, makanlah
(ambilah)pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya” Dalam ayat ini, faedah menunjukan bahwa
memberikan mass kawin (mahar) kepada calon isri itu wajib,
dan kewajiban memberikan mas kawin telah menjadi
kesepakatan. Sedangkan besar kecilnya mas kawin ditetapkan
atas persetujuan kedua belah pihak, karena pemberian itu
harus dilakukan dengan ikhlas.
e) Qisah. Yaitu cerita atau riwayat yang dikutip Kyai Misbah
mengenai ayat yang sedang ditafsirkan. Contohnya mengenai
terjadinya perang badar pada tanggal 17 Ramadhan yang
diceritakan secara panjang lebar dari awal sampai akhir
peperangan. Sebagaimana tergambar dalam keterangan
QS.Ali Imron (3) :123. 12
c. Metode dan Corak Penafsiran
Terkait metode dalam menafsirkan ayat al-Qur`an, dapat
dikategorikan bahwa tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil karya Misbah
Musthofa menggunakan metode tahlili. Hal tersebut bisa dilihat ketika
Misbah Mustofa menafsirkan al-Qur`an. Ia menyebutkan nama surat,
kemudian menyebutkan surat tersebut termasuk pada golongan
Makkiyyah atau Madaniyah serta mencantumkan munasabah ayat.
Tujuan penulisannya agar pembaca mudah untuk memahami dan
mengetahui surat tersebut diturunkan serta menjelaskan istilah-istilah
yang kurang jelas. Setelah itu, ia menyebutkan jumlah ayat yang ada
dalam surat. Pengunaan metode tahlili juga dapat dilihat ketika dalam
menafsirkan al-Qur’an sesuai urutan surat, yang mana ia mulai
menafsirkan al-Qur`an dari surat al-Fatihah sampai al-Nas. Sebelum
menafsirkan ayat ia memulai dengan menterjemahkan kosa kata atau
mufradat yang tertulis di bawahnya dengan makna gandul. Setelah
menterjemahkan kosakata, ia menjelaskan makna ayat satu per satu.
Dalam hal ini, ia cenderung menggunakan ijtihad (bi al-ra’yi) dalam
penafsirannya. Selain itu, ia juga menggunakan hadis Nabi atau riwayat
sahabat sebagai penjelas yang lebih valid dalam menafsirkankan ayat.
Dari contoh beberapa penafsiran Misbah Musthofa dapat
disimpulkan bahwa corak tafsir tersebut adalah adabi al-ijtima‟i dan
corak sufistik. Artinya pada penafsiran ayat tersebut mengandung sebuah

12
Nisak, F. S. (2019). Penafsiran QS. al-Fatihah K.H Mishbah Mustafa: Studi Intertekstualitas dalam
Kitab al-Iklil Fi Ma’ani at-Tanzil. Al-Iman: Jurnal Keislaman & Kemasyarakatan, 3(2), 150–179.
nuansa kemasyarakatan atau isu-isu peristiwa pada saat itu dan nuansa
tasawuf. Adapun mufasir yang menerapkan corak ini adalah Muhammad
Abduh dalam tafsir Juz „Amma, Rasyid Ridho dalam tafsir al-Manar dan
Musthofa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi. 13
Kitab Tafsīr al-Iklīl fī Ma’ānī at-Tanzīl yang ditulis oleh KH Mishbah
Mushthafa ini terdiri atas 30 juz dan dicetak sebanyak 30 jilid. Setiap jilid
berisi penafsiran terhadap setiap juz dari al-Qur’an. Jilid 1 merupakan
penafsiran terhadap al-Qur’an juz 1, jilid 2 untuk juz 2 dan seterusnya
hingga jilid 30 yang berisi penafsiran KH Mishbah atas kitab suci al-
Qur’an juz 30. Setiap juz dicetak dengan sampul yang berbeda warnanya
dengan juz yang lain.
Juz 1 (137 halaman), Juz 2 (142 halaman), Juz 3 (184 halaman), Juz 4
(245 halaman), Juz 5 (143 halaman), Juz 6 (157 halaman), Juz 7 (145
halaman), Juz 8 (190 halaman), Juz 9 (210 halaman), Juz 10 (294 halaman),
Juz 11 (249 halaman), Juz 12 (180 halaman), Juz 13 (178 halaman), Juz 14
(185 halaman), Juz 15 (236 halaman), Juz 16 (108 halaman), Juz 17 (123
halaman), Juz 18 (140 halaman), Juz 19 (114 halaman), Juz 20 (136
halaman), Juz 21 (141 halaman), Juz 22 (129 halaman), Juz 23 (127
halaman), Juz 24 (97 halaman), Juz 25 (117 halaman), Juz 26 (88 halaman),
Juz 27 (80 halaman), Juz 28 (94 halaman), Juz 29 (117 halaman), Juz 30
(192 halaman).
Dari masing-masing juz yang ditafsirkan terlihat bahwa penafsiran
yang paling tebal adalah juz 10 sebanyak 294 halaman, sementara yang
paling sedikit 80 halaman yaitu juz 27. Mulai juz 1 hingga juz 29, halaman
ditulis secara berkelanjutan berakhir di halaman 4482. Sedangkan untuk
juz 30 yang diberi nama Tafsir Juz ‘Amma Fī Ma‘ānī al-Tanzīl ditulis
dengan halaman tersendiri, yaitu mulai halaman 1 hingga halaman 192. 14

4. Contoh Penafsiran dalam Al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil dan pemikiran


KH. Misbah Mustofa
1). QS. Yunus ayat 99-100 (Toleransi)
‫َوﻟَ ْﻮ ﺷَ ۤﺎ َء َرﺑ � َﻚ َﻻ� َﻣ َﻦ َﻣ ْﻦ ِﰱ ْ َاﻻ ْر ِض ُﳇ�ﻬ ُْﻢ َ ِﲨ ْﯿ ًﻌﺎۗ َاﻓَ َﺎﻧ َْﺖ �ُ ْﻜ ِﺮ ُﻩ اﻟﻨ� َﺎس َﺣ ٰ ّﱴ �َ ُﻜ ْﻮﻧ ُْﻮا ُﻣ ْﺆ ِﻣ ِن ْ َﲔ َو َﻣﺎ َﰷ َن ِﻟﻨَ ْﻔ ٍﺲ َا ْن ﺗ ُْﺆ ِﻣ َﻦ ِا �ﻻ ِ ِ� ْذ ِن‬
‫ا� ۗ َو َ ْﳚ َﻌ ُﻞ ّ ِاﻟﺮ ْﺟ َﺲ �َ َﲆ � ِا� ْ� َﻦ َﻻ ﯾ َ ْﻌ ِﻘﻠُ ْﻮ َن‬
ِ ّٰ

13
Ahmad, N. M. (2022). KRITIK MISBAH MUSTHOFA DALAM TAFSIR AL-IKLIL TERHADAP
KEBIJAKAN PROGRAM ‘KB’ DI ERA ORDE BARU. Jurnal Ilmiah Spiritualis (JIS), 8, 198–211.
14
Maulana, A., Hurrahmi, M., & Oki, A. (2021). Kekhasan Pemikiran Misbah Musthofa Dalam Tafsir
Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl Dan Contoh Teks Penafsirannya. In Zad Al-Mufassirin (Vol. 3, Issue 2, pp.
268–294). https://doi.org/10.55759/zam.v3i2.22
99. Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi
seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa
manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?
100. Tidak seorang pun akan beriman, kecuali dengan izin Allah dan Dia
menimpakan azab kepada orang-orang yang tidak mau mengerti.
Berikut penafsirannya pada surat Yunus: 99-100
“99. upamane pengeran ira ngersaake, kabeh wongkang ana ing bumi iki mesthi
podo iman kabih ora ono kang kufur. Hai Muhammad! Opo sira arep mekso
poro menuso hingga podo iman kabih. Kang mengkunu iku ora bener.
100. awak-awakan menuso iku ora bakal bisa iman yen ora diidzini dining
Allah, tegese ora dikersaake dining Allah lan Allah iku andadeake sikso marang
wong kang ora gelem angen-angen ayat-ayate Allah”
Terjemahan Bahasa Indonesia
99. Seandainya Tuhan kita menghendaki, semua orang yang ada di bumi ini
pasti akan iman semua tidak ada yang kufur. Hai Muhammad! Apakah kamu
akan memaksa para manusia hingga iman semua. Yang seperti itu tidak benar.
100. Manusia itu tidak akan bisa beriman kalau tidak mendapat izin dari Allah,
maksudnya tidak diridhoi oleh Allah dan Allah yang menyebabkan siksa
terhadap orang yang tidak mau mentadabburi ayat-ayat Allah.
Sama halnya dengan penafsiran yang sebelumnya, ia memulainya dengan
terjemah secara global dan selanjutnya memberikan penjelasan yang singkat
dan jelas, berdasarkan konteks ayat yang ia tafsirkan.
Pada ayat 99, Misbah memberikan penjelasan terkait hakikat dakwah
dalam Islam yang penuh dengan kesantunan. Menurutnya:
“Kat: ayat iki nuduhake kanthi terang yen ana ing dakwah Islam iku ora ana
paksaan, yen ana ing sejarah Islam sering-sering ana perang iku sebabe kerana
dakwah Islam dihalang-halangi utowo Islam diina utowo arep ditumpas, ana
ing kahanan kang mengkene wong Islam wajib perang”
Kat: ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa dalam dakwah Islam itu tidak
ada paksaan, kalau ada di sejarah Islam sering-sering ada perang itu sebabnya
karena dakwah Islam dihalang-halangi atau Islam dihina atau mau ditumpas
dari keadaan seperti ini seorang muslim wajib perang.
Namun, memasuki penafsiran dan penjelasan pada ayat 100, ia
menuturkan secara rinci tentang pendapat mufassir yang lain. Begitupula ia
menyatakan kekuatan agama Islam di kalangan masyarakat muslim, lebih-
lebih sikap pemimpinnya. Menurutnya :
“Kat: koyo mengkene akeh-akehe kitab tafsir. Kalimat ‫ اﻟﺮﺟﺲ‬ditafsiri sikso. Kena
ugo kalimat ‫ رﺟﺲ‬iku nganggo arti kotoran. Ing surat Taubah ana ayat ‫ﻓأٔﻋﺮض ﻋﳯﻢ‬
‫ إﳖﻢ رﺟﺲ‬dadi artine ayat mengkene: Allah ta‟ala iku tetep andadekake amal
kotor marang wong-wong kang ora gelem podo angen-angen ayat-ayate Allah.
Kang mengkene iki wus dadi sunnahe Allah lan wujud ana ing kenyataan.
Songko iku ummat Islam kudu sergep anggona ake akale kanggo pikirpikir
mikirake ayat-ayate Allah lan mikirake awake kepriye kedadiyane ana ing dina
burine. Kito kudu ngerti kejobo kito ummat Islam iki mikul tugase kanggo
awake, ugo mikul tugase kanggo masyarakate. Ummat Islam kudu ngerti opo
kang kedadiyan ana ing zamane. Luwih-luwih poro pemimpin lan poro ulama‟e
Kat: seperti yang tertera pada kitab-kitab tafsir. Kalimat ‫اﻟﺮﺟﺲ‬ ditafsiri siksa.
Seperti halnya kalimat ‫ رﺟس‬itu untuk arti kotoran. Di surat Taubah ada ayat:
‫ ﻓأٔﻋﺮض ﻋﳯﻢ إﳖﻢ رﺟﺲ‬jadi arti ayatnya seperti ini: Allah Ta‟ala itu tetap menjadikan
amal kotor terhadap orang-orang yang tidak mau mentadabburi ayat-ayat
Allah. Yang seperti ini sudah jadi sunnatullah dan wujud ada dikenyataan.
Maka dari itu, umat Islam harus rajin menggunakan akalnya untuk
memikirkan ayat-ayat Allah dan memikirkan dirinya sendiri bagaimana
kejadian ada dihari akhir. Kita harus faham karena kita umat Islam ini
tanggungjawab atas tugas untuk dirinya sendiri, juga bertanggungjawab atas
kemaslahatan masyarakat. Umat Islam harus mengerti kejadian yang terjadi
pada zamannya. Lebih-lebih para pemimpin dan ulamanya.
Dari sini, sudah menjadi barang tentu, bahwa Misbah dalam persoalan
toleransi, lebih menekankan fitrah manusia untuk hidup damai
berdampingan tanpa kenal agama, suku dan bangsa. Oleh karena itu, untuk
melihat lebih jelas lagi kontekstualisasi Misbah selaku mufassir Nusantara,
tentang sikapnya merespon problem-problem yang terjadi di Indonesia, dan
menjelaskan pemecahannya ke dalam penafsiran.
2. QS. Al-An’am [6]: 108 (Meneguhkan Identitas Keislaman)
‫ﲁ ُا �ﻣ ٍﺔ َ َﲻﻠَﻬ ْ ُۖﻢ ُ �ﰒ ِا ٰﱃ َر ِ ّ ِﲠ ْﻢ �ﻣ ْﺮﺟِ ُﻌﻬ ُْﻢ ﻓَ ُيﻨَ ِبّﳠُ ُ ْﻢ‬
ِّ ُ �ِ ‫ا� �َﺪْ ًو ۢا ِﺑﻐ ْ َِﲑ ِ� ْ ٍۗﲅ َﻛ ٰﺬ ِ َ� َزﯾ�ﻨ�ﺎ‬ ِ ّ ٰ ‫َو َﻻ � َ ُﺴ� �ﺒﻮا � ِا� ْ� َﻦ ﯾ َﺪْ ﻋ ُْﻮ َن ِﻣ ْﻦ د ُْو ِن‬
َ ّ ٰ ‫ا� ﻓَيَ ُﺴ� �ﺒﻮا‬
‫ِﺑ َﻤﺎ َﰷﻧ ُْﻮا ﯾ َ ْﻌ َﻤﻠُ ْﻮ َن‬
108. Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain
Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa
yang telah mereka kerjakan.
Siro ojo misuhi wong kang podo nyembah sa’liyane Allah. Sebab mengko
deweke bakal lacut wani misuhi Allah tanpa pengertian… Saking iki ayat kito
biso mangerti yen ukuran kanggo nento’ake kebeneran iku ora akehe wong
kang ngelakoni nanging kebenaran iku endi kang cocok karo dawuhe Allah Ing
Al-Quran lan dikuatake dening akal kang waras. Coba pikir. Wong kang
naqidake yen Isa anake Allah iku wong Kristen mengkunu akehe. Semunu ugo
wong kang agama liyane Kristen. Kanti enteng-entengan. Kito biso ngerti yen
i’tikad Isa anake Gusti Allah iku salah…. 15
Kalian jangan menghina orang yang menyembah selain Allah. Sebab nanti dia
akan bakal berani menghina Allah tanpa ilmu. …Dari ayat ini kita bisa
mengerti bahwa ukuran untuk menentukan kebenaran itu bukan banyaknya
orang yang melakukan. Tetapi kebenaran itu mana yang sesuai dengan firman
Allah di Al-Qur’an dan dikuatkan dengan akal yang sehat. Coba pikir. Orang
yang menyakini bahwa Isa adalah anak Allah itu begitu banyaknya. Begitu juga
agama-agama di luar Kristen. Keyakinan bahwa Isa adalah anak Allah itu
salah. Tidak bisa diterima oleh akal tentang adanya tiga Tuhan
Beginilah sikap keberagamaan Kiai Misbah berdasarkan tuntunan Al-
Quran, Dalam menafsirkan ayat ini beliau menceritakan panjang lebar
sejarah Abu Thalib yang enggan memeluk Islam menjelang kewafatannya.
Lalu menceritakan pula kemarahan orang-orang Makkah atas sikap Nabi
Muhammad yang kerap menyebut bahwa Tuhan mereka tidak dapat berbuat
apa-apa. Menariknya, meskipun Kiai Misbah berujar bahwa menghina Tuhan
agama lain tidak dibenarkan, beliau tetap mengunggulkan identitas
kemusliman beliau dengan memaparkan bahwa agama Islam adalah yang
paling rasional secara akal.
Bagi beliau, menghina sesembahan agama lain itu tidak layak. Tetapi
membangun nalar teologi juga harus digalakkan untuk semakin meneguhkan
keyakinan terhadap kebenaran agama Islam. Beliau juga menuturkan bahwa
Islam adalah agama satu-satunya yang diterima oleh Allah saat beliau
menafsiran QS. Ali Imran [3]:85.
Terlepas dari sikap baik yang dipaparkan oleh Kiai Misbah sebagai
panduan seorang muslim dalam berinteraksi terhadap umat agama lain,
toleransi dalam pemahaman Kiai Misbah tetap perlu dilandasi oleh
keteguhan identitas sebagai muslim, serta keyakinan bahwa Islam adalah
agama yang benar, sehingga tidak terbuka peluang untuk melakukan

15
Musthofa, Misbah. al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil, Surabaya: Al-Ihsan, tt. vol 7, h.1116-1117
toleransi yang di luar batas semisal menganggap agama sebagai baju yang
mudah dilepas dan dipakai kembali.
Menurut beliau keteguhan identitas sebagai seorang muslim ini tidak
harus menghancurkan pondasi nilai-nilai toleran dalam hubungan antar
agama. Perbuatan baikpun terhadap agama lain tidak lantas
meluluhlantakkan keteguhan identitas sebagai seorang muslim. Keterkaitan
dua hal ini sangat tampak dalam pemikiran beliau saat menafsirkan ayat
tersebut.

Bahkan, dalam menafsiri QS. Al-Baqarah [2]: 62 sebagai ayat yang


selama ini menjadi acuan beberapa pemikir modern untuk mengakui
kesetaraan agama. Kiai Misbah tetap menunjukkan keteguhan teologi akan
kebenaran Islam dengan menambahkan keterangan bahwa perolehan
ganjaran dan hilangnya rasa takut bagi Yahudi, Nasrani dan Sobiin tidak
hanya dibatasi pada dua hal: keimanan pada Allah dan hari akhir saja, tetapi
juga harus disertai menjalankan syariat yang diajarkan oleh baginda
Muhammad SAW :
‫اﻟﺼﺎﺑِـ ْ َﲔ َﻣ ْﻦ ٰا َﻣ َﻦ ِ� ٰ ّ ِ� َواﻟْ َﯿ ْﻮ ِم ْ ٰاﻻ ِﺧ ِﺮ َو َ ِﲻ َﻞ َﺻﺎ ِﻟ ً�ﺎ ﻓَﻠَﻬ ُْﻢ َا ْﺟ ُﺮ ُ ْﱒ ِﻋ ْﻨﺪَ َر ِ ّ ِﲠ ْ ۚﻢ َو َﻻ ﺧ َْﻮ ٌف‬ ٰ ٰ �‫ِا �ن � ِا� ْ� َﻦ ٰا َﻣنُ ْﻮا َو � ِا� ْ� َﻦ ﻫَﺎد ُْوا َواﻟﻨ‬
� ‫ﴫى َو‬
� ‫�َﻠَﳱْ ِ ْﻢ َو َﻻ ُ ْﱒ َ ْﳛ َ ﻧﺰ ُْﻮ َن‬
62. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-
orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin,) siapa saja (di antara mereka) yang
beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti)
mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka
dan mereka pun tidak bersedih hati.)
Wong-wong kang podo iman karo Nabi-nabi sakdurunge Nabi Muhammad
SAW, lan wong-wong Yahudi lan wong-wong Nasrani, lan wong-wong agama
sobi’ iku soposopo bahe wong-wong mahu kang ana ing zamane Nabi
Muhammad SAW hinggo kiamat, gelem podo iman dawuh-dawuhe Allah lan
percoyo dino akhir lan gelem amal lan gelem amal solih nganggo syariat-
syariate kanjeng Nabi Muhammad SAW. Wongwong iku bakal oleh ganjaran
ana ing ngersane Allah Ta’ala. Wong-wong iku ora bakal wedi lan ora bakal
susah. 16
Orang-orang yang beriman kepada Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, dan
orangorang Yahudi dan orang-orang Nasrani dan orang-orang agama shobi’
itu, siapasiapa saja orang-orang tadi yang hidup di zaman Nabi Muhammad

16
Musthofa, Misbah. al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil, Surabaya: Al-Ihsan, tt. vol 2, h.59
SAW hingga hari kiamat dan bersedia iman kepada firman-firman Allah dan
percaya hari akhir dan berkenan mengerjakan kesalihan berdasarkan syariat
Nabi Muhammad SAW, orangorang itu akan mendapatkan pahala di sisi
Allah. Orang-orang itu tidak akan takut dan tidak akan susah.
Bagi beliau, selama seseorang masih menyakini teologi yang lama, ia
tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pahala meskipun telah beriman
kepada Allah dan hari akhir tetapi enggan mengikuti syariat Muhammad
(padahal ia hidup di zaman Nabi Muhammad). Penafsiran beliau menutup
rapat-rapat pemikiran bahwa semua agama sama, karena syarat diterimanya
iman dan amal adalah mengkonversi diri menjadi seorang muslim (muallaf).
Dari penelaahan pemikiran beliau, dapat disimpulkan bahwa Kiai
Misbah sangat menyadari pluralitas sebagai bagian dari sunatullah dalam
penciptaan alam semesta ini. Selain pluralitas dalam budaya, etnis dan
bangsa, pluralitas dalam agama juga tidak luput dari sentuhan Allah.
Sehingga sebagai seorang muslim, keberagamaan diantara pluralitas agama
ini harus dipandu dengan benar. Beliau menganjurkan tetap bersikap baik,
terlebih adil memenuhi hak-hak mereka tanpa memandang agama. Hak
tersebut seperti hak untuk hidup, hak mendapatkan perlindungan serta hak
untuk beribadah. Tetapi sikap toleransi itu harus disertai keyakinan bahwa
agama Islam tetaplah sebuah agama yang benar.
3. QS. Al-An‟am ayat 151
‫ﴩ ُﻛ ْﻮا ِﺑ ٖﻪ ﺷَ ْي��ﺎ �و ِ�ﻟْ َﻮ ِ َا� ْ� ِﻦ ِا ْﺣ َﺴﺎ�ً ۚ َو َﻻ ﺗَ ْﻘ ُتﻠُ ْﻮ�ا َا ْو َﻻد ُ َْﰼ ِّﻣ ْﻦ ِا ْﻣ َﻼ ٍۗق َ ْﳓ ُﻦ نَ ْﺮ ُزﻗُ ُ ْﲂ‬ ِ ْ ُ� ‫۞ ﻗُ ْﻞ ﺗَ َﻌﺎﻟَ ْﻮا َاﺗْ ُﻞ َﻣﺎ َﺣ �ﺮ َم َر�� ُ ْﲂ �َﻠَ ْﯿ ُ ْﲂ َا �ﻻ‬
‫ﯩﲂ ِﺑ ٖﻪ ﻟَ َﻌﻠ � ُ ْﲂ ﺗَ ْﻌ ِﻘﻠُ ْﻮ َن‬ ُ ّ ٰ ‫َوا �ِ� ُ ْﱒ َۚو َﻻ ﺗَ ْﻘ َﺮﺑُﻮا اﻟْ َﻔ َﻮا ِﺣ َﺶ َﻣﺎ َﻇﻬ ََﺮ ِﻣﳯْ َﺎ َو َﻣﺎ ﺑ َ َﻄ َۚﻦ َو َﻻ ﺗَ ْﻘ ُتﻠُﻮا اﻟﻨ� ْﻔ َﺲ اﻟ � ِ ْﱵ َﺣ �ﺮ َم‬
ْ ُ ‫ا� ِا �ﻻ ِ�ﻟْ َﺤ ّ ِۗﻖ ٰذ ِﻟ ُ ْﲂ َو ٰ ّﺻ‬
151. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kemarilah! Aku akan membacakan apa
yang diharamkan Tuhan kepadamu, (yaitu) janganlah mempersekutukan-Nya
dengan apa pun, berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan janganlah
membunuh anak-anakmu karena kemiskinan. (Tuhanmu berfirman,)
‘Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.’ Janganlah pula
kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat maupun yang
tersembunyi. Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah,
kecuali dengan alasan yang benar.) Demikian itu Dia perintahkan kepadamu
agar kamu mengerti.
Dari ayat tersebut, Misbah Musthofa memulai dengan menafsirkan
makna global. Berikut ini contoh penafsirannya:
Ngertiyo! Fir‟aun kang dadi raja ing negoro Mesir iku gumedhe tegese
tumindak sak wenang-wenang terhadap penduduk Mesir. Lan Fir‟aun gawe
penduduk Mesir dadi golongan-golongan, Fir‟aun ngapesake siji golongan
sangking penduduk Mesir, nyembelih anak-anak lanang lan nguripake
anakanak wadon, iku Fir‟aun bener-bener setengah saking wong kang gawe
kerusakan ing bumi.
Ingsun ngersaake paring keanugrahan marang wong-wong kang di anggep apes
ana ing bumi Mesir, yoiku wong Bani Isra‟il. Lan ndadeake wong iku dadi
pengarepe masyarakat lan dadi warise negoro Mesir. 17
Dalam penafsiran global kurang lebihnya pada ayat keempat, ia
menafsirkan bahwa Fir’aun merupakan raja Mesir yang bertindak sewenang-
wenang terhadap penduduk Mesir. Ia menjadikan penduduk Mesir menjadi
dua golongan. Fir’aun membunuh anak laki-laki yang dan membiarkan
prempuan dibiarkan hidup. Hal itu merupakan perbuatan orang yang
merusak bumi. Kemudian pada ayat kelima ia menjelaskan bahwa orang-
orang yang merusak bumi Mesir itu adalah Bani Isra’il. Alasan tersebut
dijelaskan lebih rinci pada penjelasan tafsirnya. Ia memperincikan ayat
tersebut sebagai berikut;
Penduduk Mesir ono rong golongan yoiku golongan Qibti lan golongan Isra’il.
Golongan Qibti yoiku golongan asli soko Mesir lan golongan Isra’il yoiku
golongan sangking turunane bani Ya’kub, kang biasa disebut Bani Isra’il.
Naliko Bani Yusuf bin Ya’kub dadi rojo Mesir iku bapake lan kabeh dulure
dipindahake saking Kan’an marang Mesir. Nuli Nabi Yusuf sak dulur-dulure
turun-temurun hinggo jumlahe ono enem atus ewu. Pertumbuhan kelahiran
kelompok Isra’il rekat banget. Nanging pertumbuhan kelahiran ono ing
kelompok wong qibti lambat banget.
Sehinggo pembesar-pembesar Fir’aun khawatir yen Bani Israil bakal ngerebut
kerajoan Mesir. Nuli, Fir’aun ngimpi weruh siji geni gedi banget ngobong
kerajaan Mesir. Sakwisa dirembuk karo pembesarpembesar, Fir’aun di
putusake nganakake kerja paksa marang wong Israil anggempur gunung-
gunung gowo bangunan lan liyan-liyane, kang maksud ngurangi kelahiran ono
ing kalangan wong Bani Israil. Kang mengkene iki kedadiyane dibaleni ing
zaman saiki. Rojo dunyo yo iku Amerika lan Rusia podo usaha ngurangi akehe
pertumbuhan penduduk, ono ing kalangan umat Islam liwat perserikatan
bangsa-bangsa, nuli dipraktekke ing negoro-negoro sak dunyo iki termasuk
Indonesia kanti alasan pangan bakal ora cukup nguwatirke akehe
pengangguran lan alasan liyane. Nuli Fir’aun ngimpi weroh geni kang bakar
kerajaan Mesir. Ahli nujum aweh rembuk yen bakal ono wong sangking

17
Misbah bin Zain al-Musthofa, al-Iklil fi Ma‟ani al-Tanzil, (Surabaya: al-Ahsan, 2003), 20: 3370
kalangan Bani Isra‟il kang bakal ngerebut kerajaan Mesir. Nuli Fir‟aun
perintah kabeh pasukane gawe mateni bayi kang lahir lanang. 18
Dari penafsiran diatas, dapat diartikan bahwa penduduk Mesir terbagi
menjadi dua golongan atau kelompok, yaitu kelompok dari kalangan Qitbi
dan Isra’il. Golongan Qitbi adalah kelompok pribumi Mesir sedangkan
kelompok Bani Isra’il merupakan keturunan dari Bani Ya’qub yang kemudian
kita kenal sebagai Bani Isra’il. Ketika Yusuf bin Ya’qub menjadi raja di wilayah
Mesir, ayah dan semua saudara dipindahkan ke wilayah Mesir. Kemudian
Yusuf dan saudaranya beranak-pinak hingga menjadi enam ratus ribu orang.
Angka kelahiran pada golongan Bani Isra’il sangat pesat, sedangkan pada bani
Qitbi sangat lambat.
Dengan adanya faktor tersebut, Fir’aun sangat khawatir jika pada
suatu hari nanti golongan Bani Isra’il merebut kerajaan dan kekuasaannya di
Mesir. Kemudian pada saat tidur, dalam mimpinya ia melihat sebuah api yang
sangat besar membakar kerajaannya. Ia kemudian bermusyawarah kepada
para menteri di kerjaan, ia memutuskan untuk melakukan kerja paksa atau
kerja rodi kepada Bani Isra’il. Perintah Fir’aun tersebut menghancurkan
gunung-gunung untuk bangunan wilayah kekuasaannya. Tujuannya dari
maksud tersebut guna mengurangi angka kelahiran Bani Isra’il. Kejadian
seperti pada zaman Fir’aun tersebut terulang kembali pada zaman sekarang,
dimana sebagai raja dunia yaitu Negara Amerika dan Rusia bertujuan untuk
mengurangi angka pertumbuhan penduduk. Mirisnya juga terdapat dari
kalangan umat Islam melalui perserikatan tersebut mengikuti program
tersebut, termasuk Indonesia. Alasannya akan adanya kesulitan dalam
kebutuhan hidup dan makin maraknya pengangguran dan lain-lain.
Kemudian Fir’aun bermimpi ada api yang meluluh lantahkan kerjaan Mesir.
Dari mimpi tersebut, ahli nujum atau peramal mengatakan bahwa akan
datang seorang dari kalangan bani Isra’il yang akan merebut kerajaan Mesir
tersebut. Kemudian Fir’aun memerintahkan anak buahnya untuk membunuh
semua bayi yang berkelamin laki-laki guna mencegah terjadinya hal itu.
Dari uraian penafsiran ayat diatas, Misbah Musthofa menganalogikan
kepada program KB (Keluarga Berencana). Ia menceritakan kisah Fir’aun dan
kemudian yang dijadikannya sebagai alasan ia meragukan KB. Hal tersebut
terlihat sangat jelas ketika para peramal mengatakan bahwa akan datang
seorang dari Bani Isra’il yang akan merebut kekuasannya. Dari faktor
tersebut, ia menyuruh orang Mesir dari kalangan Bani Isra’il untuk kerja
18
Misbah bin Zain al-Musthofa, al-Iklil fi Ma‟ani al-Tanzil, (Surabaya: al-Ahsan, 2003), 20:
3371
paksa. Tujuan dari perintah tersebut tidak lain untuk menghambat kelahiran
di kawasan itu. Selain itu, Fir’aun memberi pengumuman kepada penduduk
Mesir khususnya Bani Isra’il untuk membunuh bayi laki-laki yang lahir tanpa
terkecuali. Dari kejadian tersebut, Misbah Musthofa meragukan dengan
adanya KB yang pada saat itu dirumuskan oleh rezim Orde Baru. Dalam kasus
tersebut, kemudian ia menulis;
Kondisi mengkene iki kejadian kang dibaleni ing zaman saiki. Rojo dunyo yoiku
Amerika lan Rusia ugo usaha ngurangi pertumbuhan penduduk, lan ing
kalangan umat Islam liwat perserikatan bangsabangsa, nuli kedaden ing
negoro-negoro sak dunyo iki termasuk Indonesia, kanti alasan pangan bakal
ora cukup nguwatirke akehe penganggur lan alasan liyone
Dari penjelasan diatas, terlihat jelas bahwa Misbah Musthofa
meragukan program tersebut. Alasan pertama, program yang
disosialisasikan kepada masyarakat terutama dikalangan umat Islam akan
mengakibatkan terhambatnya perkembangan penduduk orang-orang Islam.
Kondisi tersebut sama halnya pada dunia perpolitikan pemerintah saja yang
ingin menstabilkan ekonomi negara. Hal yang ia khawatirkan yaitu ketika itu
terjadi, tentunya jumlah penduduk Islam di Indonesia berkurang dan akses
umat Muslim pun mungkin akan terbatas dalam segala aspek. Kemudian
alasan kedua, program KB tersebut merupakan salah satu sikap yang
merendahkan Allah. Alasan tersebut seperti membunuh anak, takut
kebutuhan tidak tercukupi dan banyaknya pengangguran. Padahal pada
dasarnya umat Muslim seharusnya tidak takut terhadap penalaran tersebut,
karena Allah telah mengatur semua urusan mereka, rezeki dan masa depan
mereka semuanya.
Adapun kalau kita komparasikan dengan tafsir yang lain, seperti tafsir
Al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa dalam penafsirannya pada Surat al-An’am
ayat 151 Setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, penafsirannya
kurang lebih seperti ini:
Jika mereka bertanya: Apa saja yang diharamkan oleh Allah?
Katakanlah! Kesinilah kalian semua. Kubacakan apa saja yang diharamkan
oleh Allah atas kalian semua. Yaitu: kalian tidak boleh menyekutukan Allah.
Berlaku baiklah pada kedua orang tua (maksudnya adalah larangan berlaku
buruk kepada kedua orang tua). Jangan membunuh anak-anak kalian karena
takut miskin, karena Allah Ta’ala yang akan memberi rezeki pada kalian dan
anak-anak kalian. Dan janganlah mendekati dosa besar (seperti zina) baik
secara dhahir maupun bathin. Serta janganlah membunuh orang yang
diharamkan Allah Ta’ala, kecuali dengan adanya alasan yang haq (seperti
qawad atau rajam). Lima perkara tadi Allah Ta‟ala wasiatkan untuk kalian,
agar dapat kalian renungi.
Bisri menafsirkan ayat ini sama seperti ketika menafsirkan QS.
AnNisa‟ ayat 1, yang penafsirannya tidak panjang dan tidak jauh dari
terjemah ayat. Pada poin tentang larangan membunuh anak lantaran takut
miskin, Bisri menjelaskan secara singkat bahwa Allah yang akan mencukupi
rezeki anak-anak mereka. Jadi tidak perlu khawatir bahwa anak-anak mereka
akan kelaparan nantinya, karena telah dijamin oleh Allah.
Setelah melihat penafsiran Bisri dan Misbah terkait ayat-ayat yang
berhubungan dengan permasalahan KB dan kependudukan di Indonesia,
penulis menemukan bahwa secara garis besar Bisri dan Misbah memiliki
penafsiran yang sama. Kedua penafsir tidak menyebut KB secara eksplisit
dalam ayat-ayat yang telah dibahas. Penafsiran mengenai permasalahan yang
berkaitan dengan KB didapat dari nilai-nilai yang terkandung dalam kedua
penafsiran. Itulah yang penulis dapatkan setelah meneliti penafsiran ayat-ayat
tersebut.
4. Surat Al Baqarah ayat 134
‫� ُا �ﻣ ٌﺔ ﻗَﺪْ َ�ﻠَ ْﺖ ۚ ﻟَﻬَﺎ َﻣﺎ َﻛ َﺴبَ ْﺖ َوﻟَ ُ ْﲂ �ﻣﺎ َﻛ َﺴبْ ُ ْﱲ ۚ َو َﻻ �ُ ْﺴ��ﻠُ ْﻮ َن َ �ﲻﺎ َﰷﻧ ُْﻮا ﯾ َ ْﻌ َﻤﻠُ ْﻮ َن‬
َ ْ ‫ِﺗ‬
134. Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan
dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Kamu tidak akan diminta
pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.
Berikut adalah penafsiran Misbah Mustafa terhadap surah Al-Baqarah
ayat 134 yang iya tulis dalam tafsirnya Al-Iklil Fi Ma’ni Al-Tanzil :
Terjemah tafsiran dalam Bahasa Indonesia:
Ibrahim, Ya’qub, beserta putra-putranya merupakan satu umat yang telah lalu,
amal kebagusan yang telah dilakukan hanya akan manfaat khusus untuk
dirinya sendiri. Dan amal kebagusan yang kamu lakukan hanya akan
memberikan manfaat khusus diri kalian semua. Amal kebaikan seseorang tidak
bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Allah berfirman: ‫ﰻ اﻣﺮئ ﲟﺎ �ﺴﺐ رﻫﲔ‬
Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakan.
Setiap orang hanya akan bisa menebus dirinya, yaitu dengan amal kebaikan
yang dilakukan. Kamu tidak akan pernah dikaitkan dengan amal orang
terdahulu, dan begitu juga orang terdahulu tidak akan dikaitkan dengan amal
kamu.
Imam Razi berkata: ayat ini menunjukkan kalau anak tidak akan diberi pahala
oleh Allah karena ta’atnya bapak atau leluhur. Hal ini berbeda dengan
anggapan orang-orang yahudi, mereka beranggapan bahwa, kalau amal
kebaikan itu bisa memberikan manfaat kepada keturunannya. Dalam suatu
hadis, Rasulullah berkata:
Wahai Shafiyyah bibiknya Muhammad! Wahai Fatimah putrine Muhammad!
besok di hari kiamat, jika bertemu denganku kalian jangan
mengunggulunggulkan nasab kalian atau leluhur kalian, tapi unggulkan atau
gunakanlah amal kalian, sebab aku tidak bisa menghilangkan siksa Allah dari
kalian semua. Nabi Muhammad bersabda:
‫وﻣﻦ ٔأﺑﻄأٔ ﺑﻪ ﲻ� ﱂ �ﴪع ﺑﻪ �ﺴ�ﺒﻪ‬
Barang siapa yang malas untuk beramal, nasabnya tidak bisa mengikat dirinya
menuju kepada kebaikan. Allah berfirman:
‫وﻻ �ﻜﺴﺐ ﰻ ﻧﻔﺲ ا �ٕﻻ �ﻠﳱﺎ وﻻ �ﺰر وازرة وزر ٔأﺧﺮى‬
Apa saja usaha seseorang, tidak akan memberi kerugian kecuali hanya kepada
dirinya. Seseorang yang melakukan dosa, tidak akan terbebani dengan dosa
orang lain.
Hati-hati akan ada suatu waktu, yang mana suatu waktu itu, seseorang ketemu
saudaranya, dia lari, ketemu Ibunya dia lari, ketemu bapaknya dia lari, ketemu
suaminya dia lari, ketemu anaknya dia lari, setiap orang besok di masa itu
sibuk memikirkan dirinya sendiri. Allah berfirman:
‫و ٔأن ﻟيﺲ ﻟ ٕﻼ�ﺴﺎن ا �ٕﻻ ﻣﺎ ﺳﻌﻰ‬
Manusia itu tidak bisa mencari manfaat, kecuali hanya hanya dengan amal
yang di lakukannya. Jelas memang besok di akhirat tidak ada satu orang pun
yang bisa mencari manfaat terhadap amal kebaikan orang lain. Kecuali orang
itu menjadi sebab orang lain melakukan kebaikan, karena ada suatu hadith
yang menjelaskan:
��‫ا�ال �ﲆ اﳋﲑ ﻛﻔﺎ‬
Siapa saja orang yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain, orang itu
seperti orang yang melakukan kebaikan itu, artinya mendapat pahala seperti
pahala orang yang melakukan kebaikan. Dilihat dari hadis-hadis dan ayat-ayat
Alqur’an yang disebutkan ini, jelas memang orang yang sudah meninggal tidak
bisa mecari manfaat amal orang lain. Tapi masih ada hadis-hadis lain yang
menjelaskan bahwa orang yang sudah meninggal itu bisa mencari manfaat dari
amal kebaikan orang lain. Nabi Muhammad SAW bersabda:
� ‫إن ﷲ �ﺮﻓﻊ در�ﺔ اﻟﻌﺒﺪ ﰲ اﳉﻨﺔ �ﺳ�ﺘﻐﻔﺎر و�ﻩ‬
Sesungguhnya Allah itu memuliakan derajat seorang hamba di surga, dengan
sebab anaknya yang memintakan ampun untuk dirinya. Hadith ini
mengandung maksud, setiap manusia itu bisa mencari mancari manfaat dari
amalnya orang lain, ada hadis lain yang berbunyi:
� ‫إذا ﻣﺎت ا�ﻦ آٓدم اﻧﻘﻄﻊ ﲻ� ا ّٕﻻ ﻣﻦ ﺛﻼث ﺻﺪﻗﺔ �ﺎرﯾﺔ ٔآو �ﲅ ﯾنتﻔﻊ ﺑﻪ ٔأو و� ﺻﺎﱀ ﯾﺪﻋﻮ‬
Jika Ibn Adam meninggal, pahala amalnya terputus, kecuali pahala yang timbul
dari tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah yakni shadaqah yang mengalir
pahalanya seperti waqaf atau ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat seperti
mengajar atau mengarang kitab, anak shalih yaitu anak yang muslim serta
punya rasa tunduk kepada Allah dan mendoaakan Ibn Adam. Suatu hari
sahabat Sa’ad bin Ubadah bertanya kepada Nabi Muhammad:
‫ رواﻩ ﻣﺴﲅ‬.‫ ﺳﻘﻲ اﳌﺎء‬:‫ ٔأي اﻟﺼﺪﻗﺔ ٔأﻓﻀﻞ؟ ﻗﺎل‬:‫ ﻗﺎل‬،‫ ﻧﻌﻢ‬: ‫� رﺳﻮل ﷲ ٕان ٔأﱊ ﻣﺎﺗﺖ ٔأﻓأٔﺗﺼﺪق ﻋﳯﺎ؟ ﻗﺎل‬
Ya Rasulullah, ibu saya sudah meninggal, apakah boleh saya shadaqah atas
nama ibu saya? Nabi berkata: ya boleh, sa’ad bertanya lagi: shadaqah apa yang
paling utama? Nabi menjawab: mengalirkan air. Dalam suatu riwayat lain lain
dijelaskan: kemudian Sa’ad bin Ubadah membuat sumur. Kedua hadith ini juga
mengandung arti bahwa setiap orang itu bisa mencari manfaat dari amal orang
lain. Terdapat hadith lain juga ada lagi amal yang bisa memberi manfaat
kepada orang yang sudah meninggal. Setelah di teliti oleh beberapa ulama,
jumlahnya ada 10 amal, yaitu seperti yang di buat syi’ir oleh imam Al Suyuti,
sebagai berikut:
1. Mengajarkan ilmu Alqur’an.
2. Anak yang mendoakan orang tua.
3. Menanam tanaman yang buahnya bermanfaat bagi masyarakat umum.
4. Shadaqah jariyah seperti waqaf, meninggalkan warisan mushaf.
5. Menjaga perjagaan dari serangan musuh yang menyerang orang Islam
(zaman dulu menjaga penjagaan itu tidak dapat bayaran).
6. Membuat sumur untuk umum.
7. Mengalirkan air sungai.
8. Membangun rumah untuk pendatang.
9. Bangun tempat dzikir, seperti masjid dan mushalla.
10. Mengajar Alqur’an.
Jadi jika dilihat dari zahirnya, hadith ini bertentangan dengan isi kandungan
ayatayat yang disebut tadi. Oleh para ulama’, yang di sebutkan dalam kitab
fath al-mu’in dijelaskan bahwa, ayat-ayat yang mengandung isi setiap orang
tidak bisa mencari manfaat dari amal orang lain, itu merupakan ayat yang
lafadznya merupakan lafadz ‘am, yaitu lafadz yang memiliki makna luas, tapi
di khususkan kepada selain shadaqah dan doa. Sebab 10 amal yang disebutkan
diatas pokok-pokokya terletak pada shadaqah dan doa. Jadi jelasnya, orang
yang tidak bisa mencari manfaat kepada amal orang lain itu, jika amal itu tidak
berupa doanya anak atau shadaqah. Jika doa anak dan shadaqah maka itu bisa
memberi manfaat amal kepada orang lain. Sebab ada hadith-hadith yang
menjadi dasarnya yakni idza mata ibn adama, innallaha yarfa’u, dan hadith
Sa’ad bin Ubadah.
Misbah Mustafa memberikan sebuah tanda tanbihun, tanda ini biasa
dipakai Misbah Mustafa ketika menjelaskan sesuatu yang perlu diperhatikan.
Hal tersebut adalah kegiatan tahlilan yang selama ini menjadi tradisi di
masyarakat. Tahlilan merupakan salah satu cara masyarakat pada umumnya
untuk mendoakan ahli kubur mereka agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah
SWT. Kegiatan ini merupakan sebuah tradisi yang seakan-akan tidak bisa
ditinggalkan oleh masyarakat khususnya masyarakat NU. Kemudian dengan
adanya prosesi tahlilan ini kadang orang hanya bergantung pada doa-doa
anak dan orang muslim lainnya, sehingga menjadikan seseorang malas untuk
beramal. 19
Selengkapnya berikut penafsirannya mengenai tahlilan ini dalam
terjemahan indonesia :
“Menurut pendapat penulis (Misbah), seandainya ingin mengadakan
acara jamuan tahlilan (kenduren dalam bahasa Jawa), 1) hendaknya dilakukan
secara sederhana, tidak terlalu mewah, apalagi ada kesan diada-adakan; 2)
terlebih dahulu perlu dipikirkan secara matang tentang untung-ruginya dari
sudut agama dan ekonomi. Karena tujuan utama yang sebenarnya adalah
mengirim hadiah pahala kepada si mayit dari amal sedekah, tahlil, bacaan al-
Qur’an atau surat yasin. Sementara itu, hadiah pahala tersebut tidak harus
dengan mengadakan acara ”kenduren” secara mewah dan besar-besaran, akan
tetapi dapat pula berbentuk amal sholih lainnya, misalnya mengirimkan pahala
dengan cara membaca surat al-Fatihah setiap selesai mengerjakan sholat
fardhu, dilanjutkan dengan memohonkan ampunan buat si mayit, dengan cara
bersedekah seratus atau seribu rupiah kepada orang yang benar-benar fakir-
miskin.Dan yang lebih bagus lagi, kalau anda mau, adalah sejumlah dana yang
seharusnya untuk biaya penyelenggaraan kenduren dalam rangka empat puluh
hari, seratus hari atau seribu harinya si mayit tersebut digunakan untuk
sedekah jariyah untuk si mayit, dengan niat sebagai berikut: ”Ya Allah, sedekah
jariyah ini kami hadiahkan buat bapak-ibu kami” 20
5. Surat Al Baqarah ayat 170 ( Permasalahan Taklid dan bermazhab)
‫ا� ﻗَﺎﻟُ ْﻮا ﺑ َ ْﻞ ﻧَت � ِب ُﻊ َﻣﺎ ٓ َاﻟْ َﻔ ْيﻨَﺎ �َﻠَ ْﯿ ِﻪ ٰا َ ۤ� َء�َ ۗ َا َوﻟَ ْﻮ َﰷ َن ٰا َ ۤ� ُؤ ُ ْﱒ َﻻ ﯾ َ ْﻌ ِﻘﻠُ ْﻮ َن ﺷَ ْي��ﺎ �و َﻻ ﳞَ ْ َﺘﺪُ ْو َن‬
ُ ّ ٰ ‫َو ِا َذا ِﻗ ْي َﻞ ﻟَﻬُ ُﻢ اﺗ � ِﺒ ُﻌ ْﻮا َﻣﺎ ٓ َا ْن َﺰ َل‬
170. Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah,” mereka menjawab, “Tidak. Kami tetap mengikuti kebiasaan yang kami
dapati pada nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga)
walaupun nenek moyang mereka (itu) tidak mengerti apa pun dan tidak
mendapat petunjuk?

19
Maulana, A., Hurrahmi, M., & Oki, A. (2021). Kekhasan Pemikiran Misbah Musthofa Dalam Tafsir
Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl Dan Contoh Teks Penafsirannya. In Zad Al-Mufassirin (Vol. 3, Issue
2, pp. 268–294). https://doi.org/10.55759/zam.v3i2.22
20
Misbah Mustafa, al-Iklīl, j. VII, h. 3178
“Iki ayat ngelarang wong kang taqlid a’ma maksudte anut gerubyuk tanpa
dipikir lan aweh petunjuk yen wong kang keno dianut iku kudu wong kang
anduweni ngakal sempurna lan ngalap pituduhe Allah ta’ala. Wong kang
duweni akal sampurno yaiku wong kang tansah nguwasani ing dino buri yaiku
ana ing akhirat. Kepiye tanggung jawabe mbesuk ana ing ngarsane Allah yen
dewekne iku dianut dening masyarakat. Pada uga gandeng karo masalah i’tiqad
utawa gandeng karo masalah ‘amal. Wong biso dianggep bener-bener ngawasi
akibat iku uga ana tanda-tandane. Kaya zuhud, ikhlas ana ing sekabehane apa
kang ditindaake. Kaya para ulama-ulama kang ahli ijtihad ana ing zaman
kuna. Yen wong kang arep dianut iku ora anduweni kelakuan zuhud lan ikhlas,
durung bisa dianggep suwijine wong kang tansah ngawasi akibat. Zuhud lan
ikhlas iki uga ana tanda-tandane. Kang bisa diweruhi ana ing kitab kang
nerangake akhlak-akhlake wong mukmin. Sangka iku wong kang mapaake
awake dadi ulama utawa pemimpin aja kesusu ngaku-ngaku yen durung wani
diuji gandeng karo apa kang diaku. Kerana kullu mudda’in mumtahanah
(saben wong kang ngaku-ngaku iku mesti kudu diuji). Aja nuli kesusu
dipercaya. Ringkese, yen arep anut marang wong kang disebut ulama utawa
pemimpin kudu kang ngati-ati. Kosok balene, wong Islam kudu tansah ngolah
lan ngasah akale lan fikirane, senajan wus ora ono ing bangku sekolah lan ora
mondok. Pirang-pirang masalah masyarakat kang dianggep masalah agama
nanging ora mapan ana ing ngaqidahe agama. Kaya masalah tumpeng,
nganggo sego pucuk, masalah naga dino, lan liya-liyane iku tinggalane wong
Budha. Dening Nabi Muhammad didawuhake: ‘manungso kang paling dibenci
dening Allah iku telu: yaiku wong tuwo kang zina, wong kang isih anduweni
karep ngurip-urip sunnah jahiliyah (carane wong Budha), lan wong kang
nuntut getehe wong liya tanpa ana hak nuntut perlu arep ngutahake getih,” 21
“Ayat ini melarang seseorang melakukan taqlid a’ma. Maksudnya adalah
mengikuti arus tanpa dipikir terlebih dahulu serta mengikuti petuah seseorang
yang memang mempunyai akal sempurna dan hanya mengharap rida Allah.
Orang yang mempunyai akal sempurna ialah orang yang menguasai hari
kemudian yakni hari akhirat. Seseorang akan mempertanggungjawabkan
perbuatannya ketika terlebih jika ia adalah orang yang menjadi panutan bagi
masyarakat. Hal ini berkaitan dengan masalah i‘tiqād (keyakinan) juga
masalah amal perbuatan. Manusia bisa dianggap benar melihat realitas dengan
dilihat tanda-tandanya, seperti zuhud dan ikhlas pada semua yang ia kerjakan.
Sebagaimana ulama-ulama yang telah berijtihad pada masa klasik (lampau).
Apabila seseorang yang akan dianut tidak mempunya sikap zuhud dan ikhlas,
maka belum bisa dianggap sebagai salah seorang yang mampu melihat realitas
dan akibat. Hal itu dapat kita baca dalam kitab-kitab yang menjelaskan akhlak

21
Misbah Bin zainul Mustafa, Al Iklil hal. 171
orang-orang mukmin. Oleh karena itu, seseorang yang berani mengaku dirinya
sebagai ulama atau pemimpin jangan terburu-buru mengaku sebagai ulama
apabila belum mampu diuji dengan keulamaannya. Karena kullu mudda’in
mumtaḥanah (setiap orang yang mengaku akan diuji). Jangan terburu-buru
percaya pada orang-orang yang mengaku ulama sebelum lulus dari ujian
tersebut. Ringkasnya, setiap orang yang akan mengikuti petuah harus hati-
hati. Sebaliknya, umat Islam harus selalu mengasah akal dan pikirannya,
meskipun sudah tidak berada di bangku sekolah atau mondok (pesantren).
Banyak persoalan yang dianggap persoalan agama, padahal bukan masalah
keyakinan agama. Seperti masalah tumpeng, nasi dengan pucuk, masalah naga
dino (hari baik), dan lain-lain yang merupakan tinggalan tradisi Buddha. Nabi
Muhammad telah bersabda, “Ada 3 manusia yang paling dibenci Allah yaitu
orang tua yang melakukan zina, orang yang masih ingin menghidupkan tradisi
jahiliyah, dan orang yang ingin menebarkan permusuhan.”
Taqlid a’ma sendiri oleh Mishbah diartikan sebagai perbuatan yang
hanya mengikuti orang tanpa mengerti maksud dan kegunaannya. Ia
menegaskan bahwa dalam taqlid (mengikuti), seseorang (khususnya para
santri) hendaknya berpikir dan melihat siapa yang diikuti, bahkan sekelas kiai
dan ulama sekalipun. Itu semua perlu diuji terlebih dahulu. Selain itu,
Mishbah juga menganjurkan untuk senantiasa mengasah pemikirannya,
sebab masih banyak permasalahan-permasalahan agama yang terjadi di
masyarakat. 22
Di kalangan masyarakat Islam Jawa, bermazhab atau taqlīd pada suatu
mazhab –dalam beragama– merupakan bagian yang tidak bisa dipandang
sebelah mata. Tradisi ini, seakan sudah menjadi pengadatan bagi setiap
Muslim di Jawa dalam menjalankan agama Islam. Pada umumnya, mereka
mempertahankan tradisi keagamaan yang diwarisi dari ulama-ulama salaf,
tentunya dengan berpegang pada salah suatu mazhab tertentu yang diambil
dari kitabkitab popular sebagai rujukan dalam menjalankan agama,
Sitem kemazhaban yang berkembang di kalangan Muslim Jawa, pada
umumnya menunjuk pada pola keagamaan yang bercirikan kepengikutan
terhadap pendapat atau methodologi mazhab-mazhab dalam memperoleh
ajaran Islam. Posisi mazhab, dalam hal ini sebagai transmitter yang memilki
otoritas religius untuk menyampaikan substansi agama kepada umat Islam.
Oleh karena itu, dalam tafsir al-Iklīl ini, Misbah banyak memberikan ulasan
yang cukup luas mengenai tradisi bermazhab ini. Secara garis besar, dalam

22
Maulana, A., Hurrahmi, M., & Oki, A. (2021). Kekhasan Pemikiran Misbah Musthofa Dalam Tafsir
Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl Dan Contoh Teks Penafsirannya. In Zad Al-Mufassirin (Vol. 3, Issue
2, pp. 268–294). https://doi.org/10.55759/zam.v3i2.22
tafsirnya ini, ia menekankan seseorang untuk menganut sebuah mazhab
dalam menjalankan agama, agar seorang tersebut tidak tersesat ketika
mangambil istimbat (memahami) hukum dari al-Qur’an dan Hadis.
Dalam hal ini, Misbah berpendapat jika kekuatan ijtihad yang
dilakukan oleh para imam mazhab, seperti imam Safi’i, Maliki, Hanafi dan
lainnya, lebih baik dibandingan berijtihad secara mandiri. Hal ini,
menurutnya juga dapat menghindarkan seorang dari kesalahan dalam
mengabil hukum dari dalil, sebagaimana upaya yang dilakukan seorang yang
berijtihad secara mandiri. Selengkapnya, dapat dilihat pada penafsirannya,
dalam surah al-Taubah.29 Dalam menafsirkan ayat tersebut, Misbah
menekankan pada seorang untuk memegang teguh pada mazhab empat,
menurutnya hal ini merupakan pilihan yang rasional dan realitas. Hal ini,
karena eksistesi madhhāb al-arba’ah menurutnya secara faktual sangatlah
kokoh dalam diskursus umat Islam. Setidaknya dari sebagain besar praktik
ibadah yang diterapkan umat Islam saat ini, merujuknya pada istinbāṭ hukum
yang telah dilakukan oleh keempat Imam mazhab tersebut. Selain itu,
baginya keempat mazhab tersebut juga memiliki landasan yang cukup kuat
dan juga dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dengan kejelasan dan
kelengkapan kodifikasinya. 23
5. Kelebihan dan Kekurangan Kitab Al-Iklil
Tafsir Al-Iklil karya Misbah Mustofa merupakan karya monumental yang
mencakup seluruh ayat-ayat Al-Quran dengan berbagai pendekatan interpretatif
yang unik dan sangat terperinci. Namun, seperti karya ilmiah lainnya, tafsir Al-Iklil
juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Berikut adalah beberapa kelebihan dan kekurangan tafsir Al-Iklil karya
Misbah Mustofa:
Kelebihan:
 Komprehensif: Tafsir Al-Iklil mencakup seluruh ayat-ayat Al-Quran dan
memberikan penjelasan yang sangat terperinci dan mendalam, sehingga
memungkinkan pembaca untuk memahami makna dan pesan yang terkandung
di dalamnya.
 Pendekatan interpretatif yang beragam: Misbah Mustofa memadukan berbagai
pendekatan interpretatif dalam tafsirnya, seperti teologis, filosofis, sosial, dan

23
Supriyanto, S. (2017). AL-QUR’AN DALAM RUANG KEAGAMAAN ISLAM JAWA: Respons
Pemikiran Keagamaan Misbah Mustafa dalam Tafsir al-Iklīl fī Ma’āni al-Tanzīl. Jurnal
THEOLOGIA, 28(1), 29–54. https://doi.org/10.21580/teo.2017.28.1.1294
sejarah. Hal ini memberikan pemahaman yang lebih luas dan menyeluruh
tentang ayat-ayat Al-Quran.
 Referensi yang lengkap: Tafsir Al-Iklil dilengkapi dengan referensi yang sangat
lengkap dan mendalam, seperti kitab-kitab tafsir klasik, hadis, sejarah, dan
filsafat. Hal ini memperkuat dan memperdalam interpretasi ayat-ayat Al-Quran
yang dijelaskan dalam tafsir Al-Iklil.
Kekurangan:
o Tidak mudah dipahami: Tafsir Al-Iklil seringkali dianggap sulit dipahami oleh
pembaca awam karena terlalu mendalam dan terperinci dalam penjelasannya.
Selain itu, bahasa yang digunakan dalam tafsir ini juga cukup kaku dan formal.
o Tidak selalu konsisten: Dalam tafsir Al-Iklil, terkadang Misbah Mustofa
memberikan penafsiran yang berbeda-beda untuk ayat yang sejenis, sehingga
membingungkan pembaca dalam memahami ayat-ayat tersebut.
o Kurangnya konteks kontemporer: Meskipun tafsir Al-Iklil dilengkapi dengan
referensi yang sangat lengkap, namun terkadang kurang memperhatikan
konteks kontemporer dan perubahan zaman dalam menjelaskan ayat-ayat Al-
Quran.
Meskipun demikian, kelebihan tafsir Al-Iklil jauh lebih banyak daripada
kekurangan. Sebagai karya monumental, tafsir ini memberikan kontribusi yang
sangat besar bagi pemahaman dan aplikasi Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari.

D. KESIMPULAN
Penulis menyimpulkan bahwa sebagai seorang ulama yang tinggal
dilingkungan pesantren di Jawa, beliau memiliki kontribusi besar dalam perubahan
ke arah yang lebih baik bagi masyarakat jawa. Tujuan Misbah Mustafa dalam
menulis kitab Tafsir Al-Iklil Fī Ma’āni Al-Tanzīl ialah sebagai pembantu masyarakat
jawa dalam memahami pesan-pesan Al Quran dengan memerhatikan unsur-unsur
Bahasa, budaya, dan permasalahan masyarakat kala itu. Dalam 30 jilid buku
tafsirnya Misbah Mustafa mengulik ayat-perayat dengan sistematis dengan
menambahkan keterangan atau penguat dari hadis atau ayat lainnya dalam
menjelaskan dan menafsirkan sebuah ayat.
bahwa pemikiran Misbah yang tertuang dalam tafsir al-Iklīl secara tipikal
menampilkan corak yang khas. Dalam hal ini, pemikiran Misbah tidak sebangun
persis dengan konstruksi pemikiran ulama tradisonal Jawa yang pada umumnya
bercorak asy’ariyah (Sunnisme), meskipun dalam banyak hal tetap mencerminkan
pola umum Sunnisme. Misbah berupaya merekonstruksi pemikiran mereka dengan
mempertimbangkan relevansinya terhadap konteks sosiol keagamaan yang ada.
Sebagaimana terlihat dalam tafsir al-Iklīl ini, ia berusaha menghadirkan al-Qur’an
secara langsung sebagai petunjuk utama ajaran Islam dikalangan masyarakat Islam
Jawa.
Diantara pemikiran Kiai Misbah Musthofa terkait toleransi dapat
diiklasifikasikan ke dalam beberapa poin inti antara lain: mengakui pluralitas
sebagai sebuah keniscayan, berinteraksi dengan baik dan adil, menunaikan hak-
hak kemanusiaan, serta meneguhkan identitas keislaman. Penulis juga
mendapatkan beberapa contoh pemikiran Misbah Mustafa yang tidak terlalu
mengikuti budaya secara mutlak, namun Misbah Mustafa menyesuaikan budaya
dengan agama seperti doa tahlilan yang semestinya tidak menjadikan seseorang
bergantung kepadanya sehingga malas untuk melakukan ibadah, tidak boleh
adanya ta’zim kepada kyai secara berlebihan, dan berani mengungkapkan
kebenaran yang diyakininya meskipun ada konsekwensi yang terjadi pada
pendiriannya.
Dengan demikian, konstruksi pemikiran Misbah dalam tafsir al-Iklīl ini,
secara langsung maupun tidak, telah memberikan warna baru di kalangan ulama
pesantren Jawa, khususnya dalam hal penggunaan al-Qur’an secara langsung dalam
mempelajari permasalahan keagamaan. Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa
tradisi yang berkembang pada masyarakat Islam Jawa memiliki pengaruh yang
cukup siknifikan dalam penulisan tafsir al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, N. M. (2022). KRITIK MISBAH MUSTHOFA DALAM TAFSIR AL-IKLIL
TERHADAP KEBIJAKAN PROGRAM ‘KB’ DI ERA ORDE BARU. Jurnal Ilmiah
Spiritualis (JIS), 8, 198–211.
Baidowi, A. (1976). ASPEK LOKALITAS TAFSIR AL-IKLĪL FĪ MA’ĀNĪ AL-TANZĪL.
Irsyad, A. A. F. (2022). TAFSIR AYAT-AYAT SAINS BENTUK BUMI DALAM TAFSIR
NUSANTARA.
Maulana, A., Hurrahmi, M., & Oki, A. (2021). Kekhasan Pemikiran Misbah Musthofa
Dalam Tafsir Al-Iklīl Fī Ma’ānī Al-Tanzīl Dan Contoh Teks Penafsirannya. In
Zad Al-Mufassirin (Vol. 3, Issue 2, pp. 268–294).
https://doi.org/10.55759/zam.v3i2.22
Misbah bin Zain al-Musthofa, al-Iklil fi Ma‟ani al-Tanzil, Surabaya: al-Ahsan, 2003
Nisak, F. S. (2019). Penafsiran QS. al-Fatihah K.H Mishbah Mustafa: Studi
Intertekstualitas dalam Kitab al-Iklil Fi Ma’ani at-Tanzil. Al-Iman: Jurnal
Keislaman & Kemasyarakatan, 3(2), 150–179.
Putra, A., Mustaqim, A., Awwaliyah, N. M., Kusmana, ldham H., Setiawati, C.,
Gusmian, A. B. lslah, Robikah, M. Y. S., Muyassaroh, K., Rohmana, J. A., Sari, M.,
Fadhliyah, L., Munawir, Zahrah, F. al, Ummi, Z. K., Lwanebel, F. Y., & Fikriyati,
U. (2020). Tafsir Al-Qur’an di Nusantara.
Supriyanto, S. (2017). AL-QUR’AN DALAM RUANG KEAGAMAAN ISLAM JAWA:
Respons Pemikiran Keagamaan Misbah Mustafa dalam Tafsir al-Iklīl fī Ma’āni
al-Tanzīl. Jurnal THEOLOGIA, 28(1), 29–54.
https://doi.org/10.21580/teo.2017.28.1.1294

Anda mungkin juga menyukai