Anda di halaman 1dari 23

KH.

Tubagus Ahmad Bakri (Mama


Sempur)
KH. Tubagus (Tb) Ahmad Bakri, lebih dikenal dengan sebutan Mama Sempur. Mama
merupakan istilah bahasa sunda yang berasal dari kata rama artinya Bapak. Di kalangan
masyarakat Jawa Barat, kata Mama ini biasanya disematkan kepada Ajengan atau Kiai
sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara Sempur adalah
sebuah Desa yang ada di Kecamatan Plered, Purwakarta, Jawa Barat.
Mama Sempur lahir di Citeko, Plered, Purwakarta, Jawa Barat pada tahun 1259 H atau
bertepatan dengan tahun 1839 M, ia merupakan putera pertama dari pasangan KH Tubagus
Sayida dan Umi, selain KH Tubagus Ahmad Bakri dari pasangan ini juga lahir Tb Amir dan
Ibu Habib.
Keturunan Rasulullah SAW
Dari jalur ayahnya, silsilah KH. Tubagus Ahmad Bakri sampai kepada Rasulullah saw
sebagaimana dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul Tanbihul Muftarin (h. 22),
sebagaimana berikut KH. Tb. Ahmad Bakri bin KH. Tb. Saida bin KH. Tb. Hasan Arsyad
Pandeglang bin Maulana Muhammad Mukhtar Pandeglang bin Sultan Ageng Tirtayasa (Abul
Fath Abdul Fattah) bin Sultan Abul Maali Ahmad Kenari bin Sultan Abdul Mafakhir
Mahmud Abdul Qodir Kenari bin Maulana Muhammad Ing Sabda Kingking bin Sultan
Maulana Yusufbin Sultan Maulana Hasanudin bin Sultan Maulana Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) bin Sultan Syarif Abdullah bin Sultan Maulana Ali Nurul Alam bin
Maulana Jamaluddin al-Akbar bin Maulana Ahmad Syah Jalal bin Maulana Abdullah Khon
Syah bin Sultan Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi
Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Sayyidina Ubaidillah bin Imam al-Muhajir
ila Allah Ahmad bin Isa an-Naqib bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Aridl bin Imam
Jafar ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina wa
Maulana Husain bin Saidatina Fatimah az-Zahra binti Rosulillah SAW.
Ayah KH Tubagus Sayida yang juga kakeknya KH Tubagus Ahmad Bakri adalah KH.
Tubagus Arsyad, ia seorang Qadi Kerajaan Banten, namun KH Tubagus Sayida nampaknya
tidak berminat untuk menjadi Qadi Kerajaan Banten menggantikan posisi ayahnya dan
dengan berbagai pertimbangan akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Banten.
Perjalanan KH. Tubagus Arsyad dari Banten membawanya sampai di daerah Citeko, Plered,
Purwakarta, di tempat inilah Tubagus Sayida bertemu dan menikah dengan Umi, dan di
daerah ini pula seorang bayi yang diberi nama Ahmad Bakri dilahirkan, Ahmad Bakri muda
mendapatkan pendidikan agama dari keluarga, untuk menambah wawasan dan ilmu
keislaman, ia belajar di berbagai Pondok Pesantren yang ada di Jawa dan Madura, sebelum
berangkat, KH. Tb. Sayida berpesan kepada Ahmad Bakri agar jangan berangkat ke Banten
apalagi menelusuri silsilahnya, ia baru diperbolehkan melakukan hal tersebut ketika masa
studinya di pesantren selesai.

Tidak puas belajar di Jawa dan Madura membuat KH. Tubagus Ahmad Bakri bertekad
berangkat ke pusat studi Islam, yaitu Mekkah, disana ia belajar kepada ulama-ulama
nusantara, setelah dianggap cukup dan berniat menyebarkan agama Islam ia kemudian pulang
ke Purwakarta dan pada tahun 1911 M, ia memutuskan untuk mendirikan pesantren di daerah
Sempur dengan nama Pesantren As-Salafiyyah.
Beberapa santri KH Tubagus Ahmad Bakri yang menjadi ulama terkemuka diantaranya KH.
Abuya Dimyati Banten, KH Raden Mamun Nawawi Bekasi, KH Raden Muhammad Syafii
atau dikenal dengan Mama Cijerah Bandung, KH Ahmad Syujai atau Mama Cijengkol, KH
Izzuddin atau Mama Cipulus Purwakarta.
Di pesantren ini pula KH. Tubagus Ahmad Bakri banyak menuangkan pemikirannya dalam
berbagai kitab yang ia tulis, dan selama hidupnya KH Tubagus Ahmad Bakri diabdikan hanya
untuk mengaji atau thalab ilm, dan thalab ilmu inilah yang menjadi jalannya untuk
mendekatkan diri kepada Allah (tarekat), maka tarekat yang ia pegang adalah Tarekat Ngaji,
sebagaimana ia ungkapkan dalam karyanya yang berjudul Futuhatut Taubah Fi Shidqi
Tawajuhit Tarekat pada (h. 47-49) sebagaimana berikut:
"Ari anu pang afdol-afdolna tarekat dina zaman ayeuna, jeung ari leuwih deukeut-deukeutna
tarekat dina wushul ka Allah Ta`ala eta nyatea tholab ilmi, sarta bener jeung ikhlash".
(Tarekat yang paling afdol zaman sekarang dan tarekat yang paling dekat dengan `wushul`
kepada Allah adalah thalab ilmi serta benar dan ikhlash)
Pernyataan KH Tubagus Ahmad Bakri ini dikutip dari jawaban seorang Mufti Syafi`i yaitu
Syaikh Muhammad Sayyid Babashil yang mendapat pertanyaan seputar tarekat dari Syaikh
Ahmad Khatib. Dialog kedua ulama tersebut dikutip oleh Mama Sempur dalam dalam Kitab
Idzharu Zughlil Kadzibin halaman 61.
Menurut salah seorang cucu KH. Tubagus Ahmad Bakri, yaitu KH. Tubagus Zein, KH.
Tubagus Ahmad Bakri pernah mengecam terhadap penganut tarekat, karena sebagian dari
mereka ada yang meninggalkan syariat dan menurut KH. Tubagus Zain, kecaman ini lebih
kepada melindungi masyarakat agar tetap bisa menyeimbangkan antara syariat dan hakikat.
Namun demikian, dalam kitab Futuhatut Taubah Fi Shidqi Tawajuhit Tarekat (h. 32) seraya
mengutip pernyataannya Syaikh Muhammad Amin Asyafi`i Annaqsyabandi, KH. Tubagus
Ahmad Bakri menyatakan bahwa hukum masuk dalam salah satu tarekat mu`tabarah bagi
setiap muslim laki-laki maupun perempuan yang sudah mukallaf adalah fardlu`ain. Sehingga
menurut salah satu riwayat KH Tubagus Ahmad Bakri pun tetap menganut tarekat
mu`tabarah. Adapun tarekat yang dianutnya adalah Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah
(TQN).
Sementara mengenai Tarekat Ngaji ini, bisa dilihat dari aktifitas dan kesibukan KH. Tubagus
Ahmad Bakri sehari-hari, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang muridnya, KH
Mu`tamad. Menurut Pengasuh Pesantren Annur Subang ini, setiap pukul empat pagi, KH.
Tubagus Ahmad Bakri sudah bersila dan berdzikir di dalam masjid, kemudian dilanjutkan
dengan mendirikan shalat subuh berjamaah, selepas wiridan dan shalat berjamaah selesai, ia
tetap bersila sampai waktu dluha tiba, kemudian melaksanakan shalat dluha dan dilanjutkan
kembali dengan mengajar ngaji santri sampai pukul 11.00 WIB.

Usai mengajar ngaji santri, jadwal pengajian selanjutnya adalah mengajar ngaji kiai-kiai
sekitar kampung dan dilanjutkan dengan shalat Dhuhur berjamaah. Kemudian ia pulang ke
rumah dan istirahat. Namun ia tak pernah bisa istirahat sepenuhnya, karena sudah ditunggu
para tamu, sampai waktu ashar.
Selepas shalat Ashar, KH. Tubagus Ahmad Bakri kembali mengaji bersama para santri hingga
menjelang maghrib. Selepas maghrib, istirahat sejenak dan shalat Isya, setelah shalat isya, ia
kembali mengajar sampai pukul 23.00 WIB. Bahkan menurut satu riwayat, kebiasaan KH.
Tubagus Ahmad Bakri yang pernah diketahui oleh santrinya adalah ia tidak pernah batal
wudhu sejak isya sampai subuh dan tidak pernah terlihat makan.
Beguru Kepada Ulama Nusantara dan Mekkah
Keluarga KH. Tubagus Ahmad Bakri adalah keluarga yang taat beragama, ayahnya pun
merupakan salah satu ulama kharismatik, sehingga pendidikan agama KH. Tubagus Ahmad
Bakri di usia dini diperoleh melalui ayahnya. Adapun Ilmu-ilmu yang dipelajari oleh KH.
Tubagus Ahmad Bakri meliputi Ilmu tauhid, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Hadits dan Tafsir.
Menurut salah seorang cucunya, setelah ilmu dasar agama dianggap cukup, Mama Sempur
memutuskan untuk menimba ilmu ke pesantren yang ada di Jawa dan Madura, beberapa
ulama yang pernah ia timba ilmunya adalah Sayyid Utsman bin Aqil bin Yahya Betawi,
Syaikh Soleh Darat bin Umar Semarang, Syaikh Masum bin Ali, Syaikh Soleh Benda
Cirebon, Syaikh Syaubari, Syaikh Masum bin Salim Semarang, Raden Haji Muhammad Roji
Ghoyam Tasikmalaya, Raden Muhammad Mukhtar Bogor, Syaikh Maulana Kholil
Bangkalan Madura bahkan di Syaikh Maulana Kholil inilah beliau mulai futuh (terbuka
pemikirannya) terhadap ilmu pengetahuan agama Islam.
Pengembaraan di dunia intelektual tidak membuat Mama Sempur merasa puas. Untuk itu
akhirnya ia memutuskan untuk berangkat menuntut ilmu ke Mekkah. Dalam kitab Idlah alKaratoniyyah Fi Ma Yataallaqu Bidlalati al-Wahhabiyyah (h. 27), Mama Sempur
menyebutkan guru-gurunya sebagaimana berikut: Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Ahmad
Zaini Dahlan, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Said Babshil, Syaikh Umar bin Muhammad
Bajunaid, Sayyid Abdul Karim ad-Dighistani, Syaikh Soleh al-Kaman Mufti Hanafi, Syaikh
Ali Kamal al-Hanafi, Syaikh Jamal al-Maliki, Syaikh Ali Husain al-Maliki, Sayyid Hamid
Qadli Jiddah, Tuan Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Mukhtar bin
Athorid dan Syaikh Muhammad Marzuk al-Bantani.
KH Tubagus Ahmad Bakri atau lebih dikenal dengan sebutan Mama Sempur bisa dikatakan
cukup produkif dalam menulis kitab, dari tangannya telah lahir lebih dari 50 judul kitab yang
berserakan di berbagai tempat.
Dari puluhan kitab tersebut kami hanya berhasil menemukan 18 judul kitab saja.
Sebagaimana umumnya ulama nusantara, kitab-kitab karya Mama Sempur ini ditulis
emnggunakan aksara pegon. dari beberapa kitab ini ada yang saling terkait dalam arti bahwa
ada beberapa pemikiran-pemikiran KH. Tubagus Ahmad Bakri yang terdapat di satu kitab,
namun terdapat juga di kitab lainnya, adapun kitab-kitab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Cempaka Dilaga

Judul lengkapnya adalah Cempaka Dilaga; Mertelakeun Perihal Wajib Usaha, Dari 18 kitab
yang didapatkan penulis, Cempaka Dilaga ini merupakan satu-satunya kitab yang judulnya
menggunakan bahasa Sunda, kitab ini membahas tentang bisnis dan etos kerja dalam
pandangan Islam, proses penulisan kitab yang berjumlah 24 halaman ini dilakukan oleh KH.
Tubagus Ahmad Bakri pada tahun 1378 H dan jika dikonversi ke dalam tahun Masehi Senin 8
Dzulhijah 1378 H diperkirakan berbarengan dengan tanggal 15 Juni 1959 M.
2. Kitab Maslakul Abror
Judul lengkap kitab ini adalah Kitab Muslakul Abror tarjamat nadzam `iqdud dar, kitab yang
mempunyai ketebalan 11 halaman ini merupakan terjemahan dari kitab iqdarud duror, terdiri
dari enam pasal yang berisi kumpulan nadzaman berbahasa Sunda dan materi
pembahasannya tentang tauhid, dalam kitab ini KH. Tubagus Ahmad Bakri tidak
menyebutkan tempat dan waktu penulisan kitab.
3. Futuhatut Taubah Fi Shidqi Tawajuhit Thariqah
Kitab ini menjelaskan tentang tasawuf yang dispesifikan dalam thariqah, dalam kitab yang
mempunyai ketebalan 53 halaman ini membahas seputar dunia thariqah seperti syarat
menjadi guru thariqah (mursyid), kewajiban menjalankan syariat, kecaman terhadap penganut
thariqah yang meninggalkan syariat dan lain sebagainya. Kitab ini selesai ditulis pada bulan
Shafar tahun 1358 atau diperkirakan bertepatan dengan bulan April 1939.
4. Fawaid al-Mubtadi
Menjelaskan tentang materi pengajaran yang wajib dajarkan oleh orang tua terhadap anakanaknya, dalam kitab ini juga dibahas tentang faidah (kegunaan) mencari ilmu yang
bermanfaat dan juga tata cara mencari ilmu yang bermanfaat. Kitab yang tebalnya 49
halaman ini selesai ditulis pada hari rabu tanggal 25 Ramadhan 1371 H atau bersamaan
dengan tanggal 18 Juni 1952.
5. Maslahat al-Islamiyyah Fi Ahkami at-Tauhiddiyyah
Judul lengkap kitab yang terdri dari lima pasal ini adalah Maslahat al-Islamiyyah Fi Ahkami
at-Tauhiddiyyah, menjelaskan tentang konsep tauhid yang ada dalam ajaran agama Islam.
Kitab yang mempunyai ketebalan 36 halaman ini selesai ditulis pada tanggal 1 Muharram
1373 H atau berbarengan dengan tanggal 10 September 1953.
6. Ishlah al-Balid Fi Tarjamati Qaul al-Mufid
Kitab yang tebalnya 15 halaman ini merupakan kitab terjemah dari kitab Qaul al-Mufid,
materi pembahasan dalam kitab ini adalah seputar dunia tasawuf yang tetap mengedepankan
syariat. Kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad bulan Shafar tahun 1372 H atau berbarengan
dengan bulan Oktober 1953.
7. Risalah al-Waladiyyah
Kitab ini merupakan kitab nadzaman karya KH. Tubagus Ahmad Bakri berupa terjemah dari
kitab al-Kharidah al-Bahiyyah karangan Syaikh Ahmad Dardir. Kitab ini yang membahas

tentang tauhid ini mempunyai ketebalan 15 halaman dan selesai ditulis pada tanggal 3 bulan
Rabiul Awwal 1357 H atau berbarengan dengan tanggal 4 Mei 1938.
8. Maslak al-Hal
Kitab ini menjelaskan tentang mu`amalah antar manusia seperti bekerja, walimah, akhlak dan
sebagainya, kitab yang tebalnya 24 halaman ini mempunyai beberapa kesamaan dengan kitab
Cempaka Dilaga. Mama Dalam kitab yang terdiri dari tujuh pasal ini tidak ditemukan tempat
dan tanggal penulisan kitab.
9. Tanbihul Ikhwan
Kitab ini merupakan kritik atas pemikiran Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridlo yang berpendapat bahwa pintu ijtihad dibuka selebar-lebarnya, dalam kitab
yang terdiri dari 8 pasal ini KH. Tubagus Ahmad Bakri membahas tentang konsep ijtihad
yang menurutnya tidak semudah yang dinyatakan oleh ketiga pemikir itu, selain itu juga tidak
sembarangan dilakukan oleh seorang muslim karena ada syarat-syaratnya yang harus
dipenuhi oleh seorang mujtahid sepereti memahami ilmu nahwu, sharaf, bayan, badi`, faham
semua ilmu syariat dan sebagainya, sebaliknya bagi muslim yang belum memenuhi syaratsyarat ijtihad tersebut maka mereka diwajibkan untuk bertaqlid kepada ulama, dalam kitab
yang berjumlah 32 halaman ini KH. Tubagus Ahmad Bakri tidak mencantumkan tanggal atau
pun tahun penulisan kitab.
10. Roihatul Wardiyah
Kitab ini membahas tentang adabul basyariyah, yaitu tata krama yang mesti dilakukan oleh
manusia khususnya umat Islam yaitu dengan kebaikan hatinya, kebaikan pekerjaannya dan
kebaikan perangainya serta menjalani peraturan yang sudah ditentukan oleh agama dan adat
kebiasaan sebuah negeri, salah satu poin yang ada dalam kitab yang berjumlah 21 halaman
ini dinyatakan bahwa jika perbuatan baik ini bisa dilakukan maka akan menghasilkan
kebaikan untuk dirinya sendiri serta dijauhkan dari segala kejahatan. KH. Tubagus Ahmad
Bakri berhasil menyelesaikan kitab yang terdiri dari 13 pasal ini pada tanggal 26 Romadlan
1347 H H dan jika dikonversi ke tanggal masehi diperkirakan berbarengan dengan tanggal 8
Maret 1929.
11. Tanbihul Muftarin
Judul lengkap kitab ini adalah Tanbihul Ikhwan Fir Roddi `Ala Mazhabid Dlalalah wat
Tufyan. Kitab ini membahas tentang larangan untuk mencela kepada dua orang sahabat Nabi
yaitu Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib karena kedua orang ini adalah orang mulia di sisi
Rasulullah, selain itu dalam kitab yang terdiri dari 8 pasal dan berjumlah 31 halaman ini juga
dibahas tentang tentang akhlakul karimah seperti anjuran untuk segera membayar hutang agar
hutangnya tidak menggunung, memilih wanita shalihah untuk dijadikan sebagai istri,
kefardluan mencari ilmu yang manfaat terlebih bagi keturunan Rasulullah dan lain
sebagainya. Kitab ini selesai ditulis oleh KH. Tubagus Ahmad Bakri pada hari selasa tanggal
15 Ramadlan 1349 atau berbarengan dengan tanggal 3 Februari 1931.
12. Nashaihul Awam

Judul lengkap kitab ini adalah Nashaihul awam fii tafqiqil Islam, kitab ini terdiri dari 19 pasal
dan 34 halaman yang isinya merupakan ajaran-ajaran agama Islam yang dikutip oleh KH.
Tubagus Ahmad Bakri dari Alquran, hadits dan pendapat para ulama diantaranya adalah
bahwa pokok ajaran islam adalah saling menasehati dalam kebaikan tujuannya adalah agar
kelak umat islam menjadi husnul selain itu KH. Tubagus Ahmad Bakri juga menyampaikan
tentang tidak layaknya membangun masjid di tempat yang populasinya tidak pernah
melaksanakan sholat, anjuran untuku segera bertaubat dan seterusnya. Kitab ini selesai ditulis
oleh KH. Tubagus Ahmad Bakri pada malam Jum`at tanggal 21 Dzilhijjah 1352 atau
bertepatan dengan tanggal 6 April 1934.
13. Risalatul Muslihat
Judul lengkap kitab ini adalah Risalatul Muslihat fi bayani fardlil maakulat wal masnunat wal
makruhat wal muharromat, sesuai dengan judulnya, kitab ini membahas hukum fiqh yang
difokuskan kepada makan, sebagaimana layaknya fiqh yang mempunyai sifat relatif dan
dinamis, KH. Tubagus Ahmad Bakri membahas tentang relatifitas hukum makan, yakni
makan dalam keadaan wajib, sunat, makruh, dan juga haram. Kitab yang berjumlah 17
halaman ini diselesaikan oleh KH. Tubagus Ahmad Bakri pada hari Ahad tanggal 30 Jumadil
Awal 1353 atau bertepatan dengan tanggal 9 September 1934 M.
14. Tabshiratul Ikhwan
Judul lengkap kitab ini adalah Tabshiratul Ikhwan Fii Bayani Tasywiqil Khallan, dan dari 17
kitab yang didapatkan kitab ini yang paling tebal jumlah halamannya yakni terdiri dari 7
pasal dan 82 halaman, pembahasan kitab ini tentang seputar aqidah dan sufisme, diantara
pelajaran yang disampaikan KH. Tubagus Ahmad Bakri dalam kitab ini adalah ungkapan
yang ia kutip dari Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitab Fathu Robbani mengatakan bahwa
perang ada dua macam, yaitu perang dzahir dan perang batin, perang dzahir adalah
memberantas kaum kafir yang membenci Allah dan Rasul-Nya dengan mengangkat senjata
pedang, panah dan lainnya, sementara perang batin adalah memerangi nafsu, syahwat dan
tabi`at buruk yang melenceng dari aturan agama, serta memerangi godaan syaitan, dan dari
kedua perang ini yang paling berat adalah perang batin. KH. Tubagus Ahmad Bakri
menyelesaikan kitab ini pada hari Ahad tanggal 3 Ramadlan 1352 atau diperkirakan
bertepatan dengan tanggal 20 Desember 1933 M.
15. Ihyaul Mayyit
Judul lengkap kitab ini adalah Ihyaul Mayit Fi Bayani Fadhli Ahli Bait, terdiri dari 8 pasal
dan 37 halaman, sesuai dengan judulnya, kitab ini membahas tentang keutamaan keturunan
Rasulullah, Saw., sehingga umat islam semestinya memulyakan mereka, namun demikian,
jika ada keturunan Rasulullah yang melenceng dari ajaran agama Islam maka wajib untuk
segera diluruskan karena tidak pantas jika ada keturunan Rasulullah atau ahli bait yang
akhlaknya tidak sesuai dengan Rasulullah. Kitab ini diselesaikan oleh KH. Tubagus Ahmad
Bakri pada hari Rabu tanggal 11 Shafar 1346 atau bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1935.
16. Saif adl-Dlarib
Kitab yang terdiri dari delapan pasal ini menjelaskan tentang tanda-tanda datangnya hari
kiamat, baik itu kiamat Shugra maupun kiamat Kubra, kitab yang mempunyai ketebalan 30
halaman ini juga menceritakan tentang ramalan Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan

Gunung Jati tentang delapan tanda akan datangnya hari kiyamat, yaitu (1) cuaca atau musim
hujan dan musim kemarau sudah tidak bisa diprediksi, (2) banyaknya perpecahan antar
manusia disertai meninggalkan syariat agama, (3) berusaha mengurangi kelahiran manusia
dan banyak perselingkuhan, (4) menjual ilmu dengan dunia dan pegawai negara mudah
disogok (gratifikasi), (5) dibuatkan gedung mewah untuk prostitusi dan perjuadian serta
orang gila dijadikan tempat `bertanya` dan orang berilmu malah disingkirkan, (6) Meletusnya
perang dunia antara Timur dan Barat Selatan, namun akhirnya tidak ada yang menjadi
pemenang, (7) Masyarakat tidak taat hukum sehingga tatanan masyarakat menjadi kacau dan
(8) masyarakat meninggalkan ajaran agama dan hanya mengedepankan nafsunya saja. Kitab
ini selesai ditulis pada hari ahad Rabi`utsani 1341 H atau berbarengan dengan bulan
Desember 1922 M.
17. Manhajul Ibad Fi Bayani Daf`il Fasad
Kitab yang terdiri dari 8 pasal dan 22 halaman ini membahas tentang faidah dan keutamaankeutamaan yang mesti dilakukan oleh umat Islam, diantaranya adalah faidah ziarah qubur
kepada makam para nabi, para wali dan orang tua, menurut KH. Tubagus Ahmad Bakri
anjuran ziarah qubur sudah ada dalam Alquran dan hadits serta ulama 4 mazhab, seraya
mengutip pendapat Syaikh Sayyid Alwi KH. Tubagus Ahmad Bakri mengungkapkan bahwa
ziarah ke makam orang tua sangat dianjurkan bahkan hal itu diumpamakan seperti
melaksanakan ibadah haji, selain itu KH. Tubagus Ahmad Bakri pun membahas tentang
larangan ta`ashub, yaitu sulit menerima kebenaran agama padahal sudah diberikan dalil-dalil
tentang kebenaranna. Dalam kitab ini KH. Tubagus Ahmad Bakri tidak mencatat tanggal
penulisan kitab. KH. Tubagus Ahmad Bakri tidak meninggalkan catatan tanggal dan tahun
pembuatan kitab ini.
18. Idlahul Karatoniyah
Judul lengkap kitab ini adalah Idlahul Karatoniyah Fima Yata`allaqu bid Dlalaltil Wahabiyah,
sesuai dengan judulnya, kitab yang terdiri dari 8 pasal dengan tebal 47 halaman ini
membahas tentang pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dan aliran Wahabi
yang dianggap melenceng dari ajaran Islam, dalam kitab ini KH. Tubagus Ahmad Bakri
mengutip dari beberapa kitab yang mempunyai kecenderungan untuk menyatakan bahwa
Wahabi telah melenceng dari ajaran Islam, diantara kitab-kitab yang ia kutip adalah Durarus
Saniyyah Fiir Roddi 'alal Wahabiyah karya seorang mufti Syafi`i Syaikh Ahmad Dahlan,
Kitab Showa`iqul Muhriqot karya Ibnu Hajar Al-Haitami dan lainnya, diantara pembahasan
yang disoroti oleh KH. Tubagus Ahmad Bakri adalah tentang penguatan tradisi keagamaan
Islam Ahlus Sunnah wal Jama`ah seperti dalil Ziarah qubur, Tawasul, perintah mencari ilmu
kepada ulama-ulama dan tidak mencari ilmu melalui koran (mungkin jika dikaitkan dengan
perkembangan zaman seperti sekarang) dan juga internet. KH. Tubagus Ahmad Bakri tidak
meninggalkan catatan tanggal dan tahun pembuatan kitab ini.

Mama Ajengan Sempur atau KH Ahmad Tubagus Bakri bin Tubagus Sayidah.
Ulama Sunda dengan silsilah keturunan bersambung dengan sultan-sultan
Kerajaan Islam Banten.
Istilah mama berasal dari kata rama, artinya bapak. Sepengertian dengan
romo di Jawa. Kepada kiai, terutama yang sepuh, sebagaimana di Jawa, di
Sunda juga diperlakukan sebagai bapak, sedangkan ajengan, semakna
dengan kiai di Jawa. Kiai dalam pengertian tokoh agama.
Mama Sempur adalah kiai besar Sunda yang pada zamannya memiliki ribuan
santri. Ia pernah berguru kepada Syekh Nawawi Banten di Makkah, KH Kholil
Bangkalan, KH Soleh Darat Semarang, dan guru-guru lain.
Selain mengajar, Mama Sempur yang wafat tahun 1975 tersebut mengarang
puluhan kitab. Di antara karyanya yang paling populer adalah Cempaka Dilaga.
Ditulis dalam huruf Arab Pego dan menggunakan bahasa Sunda.
***
Kiai Tamad, si pemilik rumah yang kami datangi tersebut adalah santri Mama
Sempur pada tahun 58. Ia mengaji kepadanya selama tujuh tahun. Sekarang
usianya diperkirakan 96 tahun.
Kiai Tamad bercerita mulai sifat, kegiatan mengajar, hingga karya-karya Mama
Sempur. Tapi ia lebih menekankan bagaimana Mama Sempur mengajar santrisantrinya.
Suatu ketika, kata Kiai Tamad, ada orang bertanya tarekat Mama Sempur.
Pertanyaan tersebut dijawab dengan tegas, Tarekatnya Mama adalah ngaji
(membaca dan mengajar kitab-kitab kuning pesantren).
Kiai Tamad kemudian menceritakan jadwal mengaji Mama. Setiap pukul empat
pagi, Mama Sempur sudah bersila di masjid. Entah membaca apa. Kemudian
mendirikan shalat subuh berjamaah. Selepas wiridan dan jamaah bubar, ia tetap
bersila.
Waktu dhuha, ia amendirikan shalat dhuha.
Para santri sudah mumuluk (sarapan), katanya.

Sementara Mama tak pernah membawa makanan dan minuman, Tidak tahu
apakah ia puasa atau tidak, lanjutnya.
Mama Sempur kemudian mengajar ngaji santri sampai pukul 11.00. Selepas itu,
dilanjut mengajar ngaji kiai-kiai sekitar kampung. Terus shalat Dhuhur. Kemudian
ia pulang ke rumah. Istirahat.
Tapi tak pernah bisa istirahat sepenuhnya, karena sudah ditunggu para tamu.
Makanya suatu ketika, anak bungsu Mama Sempur bernama Mama Dudus,
pernah ngamuk kepada para tamu, Kenapa Mama diikuti terus? Dia sudah
sebulan tidak tidur, Kiai Tamad menirukan Mama Dudus.
Selepas shalat Ashar, Mama Sempur ngaji lagi hingga menjelang maghrib.
Selepas maghrib, istirahat. Kemudian selepas Isya, mengajar sampai pukul 23.
Kemudian pukul 04.00, ia sudah bersila lagi di masjid.

KH Tubagus Ahmad Bakri Purwakarta, Jawa Barat terbilang produktif menulis


kitab. Di antaranya adalah Cempaka Dilaga yang membahas dorongan bekerja.
Kitab berjudul lengkap Cempaka Dilaga; Mertelakeun Perihal Wajib Usaha
(Cempaka Dilaga; Menerangkan Perihal Wajib Usaha/Bekerja) dengan tebal 19
halaman.
<>
Dari jumlah 10 kitab yang didapatkan, Kitab Cempaka Dilaga ini merupakan satusatunya karya kiai yang akrab disapa Mama Sempur yang judulnya berbahasa
Sunda. Sementara sembilan kitab lainnya menggunakan bahasa Arab.
Kitab ini ditulis dengan huruf Arab Pegon ditulis pada tahun 1378 H (hal.6) dan
selesai pada hari Senin tanggal 8 Dzulhijah (h.19). Jika dikonversi ke dalam tahun
Masehi berarti tanggal 15 Juni 1959 M, selesai Nopember 1962.
Mama Sempur memberikan izin kepada Raden Haji Ma`mun Nawawi Cibogo,
Cibarusah untuk memperbanyak kitab Cempaka Dilaga.
Kitab ini terdiri dari lima pasal dan satu faidah, sebagaimana berikut: Pasal
pertama membahas tentang dorongan bekerja kepada umat Islam. Dalam pasal
ini disebutkan hadits Rasulullah dan pendapat para ulama tentang keutamaan
bekerja serta kecaman bagi orang yang malas dan tidak mau bekerja.
Di antara kecamannya adalah orang yang malas dan tidak mau bekerja
diumpamakan seperti bangkai. Sebagaimana umumnya bangkai, keberadaannya
tidak bermanfaat bahkan hanya memberikan bau yang tak sedap bagi orangorang di sekelilingnya. Selain itu, orang yang malas dan tidak mau bekerja juga
disebut orang bodoh/pandir (humqun) (h.3-4)
Pasal kedua membahas tentang larangan menjalani bisnis atau melakukan

pekerjaan yang dilarang oleh agama Islam (haram). Dalam fasal ini disampaikan
berbagai dalil yang melarang umat Islam untuk berbisnis barang haram, seperti
bisnis narkoba, berbuat curang, mencuri dan sebagainya (h.5-6).
Pasal ketiga membahas tentang kewajiban menjalin hubungan baik dengan
tetangga. Seperti pasal-pasal sebelumnya, dalam pasal ini pun disampaikan
dalil-dalil tentang perintah dan anjuran kepada umat islam untuk berbuat baik
kepada tetangga pada khususnya dan seluruh makhluk di muka bumi pada
umumnya (h.6-10).
Pasal keempat membahas tentang kewajiban umat islam untuk berbakti dan taat
kepada pemerintahan yang sah. Harus taat walaupun pemerintah tersebut
secara fisik kurang sempurna seperti tidak punya tangan dan kepala tak
ubahnya seperti buah anggur atau pun pemimpin tersebut berbuat dzalim.
Namun demikian wajib hukumnya bagi umat Islam untuk membangkang kepada
pemerintah apabila umat Islam diperintah untuk berbuat maksiat, Mama Sempur
menandaskan rakyat hanya diperbolehkan untuk membangkang perintah
maksiat saja dan dilarang memerangi pemerintah (h.10-14)
Pasal kelima membahas tentang kaidah ushul fiqh mencegah kemadaratan lebih
baik dari pada mendatangkan kemaslahatan (akhafu darurain). Jika seorang
muslim berada dalam kondisi dilematis karena harus memilih satu dari dua
pilihan, maka yang harus dipilih adalah perkara yang tidak ada kemadaratannya
atau perkara yang paling sedikit madaratnya. Contoh kasus yang digunakan
untuk menerangkan kaidah ini adalah apabila seseorang melakukan suatu
perkara tetapi dengan perkara itu nyawa atau hartanya akan hilang maka wajib
baginya untuk meninggalkan perkara tersebut agar bisa terhindar dari
kemadaratan (h.15-19).
Pasal selanjutnya adalah faidah, materi pembahasan dalam faidah ini adalah
tentang keutamaan Imam Syafi`i dalam konteks kenegaraan. Secara implisit
dalam pasal ini Mama Sempur mengungkapkan bahwa jika pulau Jawa ingin
menjadi sebuah `negara` yang kuat dan rakyatnya juga makmur maka
pemimpinnya harus bermazhab Syafi`i.
Menurut Mama Sempur ini lah salah satu karomah Imam Syafi`i karena beliau
adalah keturunan Rasulullah. Dalam menempatkan bab faidah ini, Mama Sempur
memposisikannya diantara bab empat dan bab lima (h.14-15).
Dalam kitab ini juga Mama Sempur menyebut tiga jenis pekerjaan, yaitu bertani,
berdagang dan menjadi karyawan. Menurutnya, pekerjaan yang mesti dilakukan
adalah di bidang pertanian karena terdapat keberkahan di dalamnya. Selain itu
juga dalam bertani bisa memberikan manfaat kepada manusia dan binatang
sehingga keseimbangan alam akan tetap terjaga dan kelak di akhirat apa yang
dimakan oleh binatang dari hasil pertanian tersebut akan menjadi pahala
sodaqah (h.2).

Menurut Mama Sempur, dengan bekerja dan mempunyai kekayaan harta akan
mendapatkan paling tidak ada tiga keutamaan, yaitu pertama dapat memberi
manfaat kepada saudara, sahabat dan orang-orang di sekelilingnya karena
dengan mempunyai kekayaan bisa shadaqah atau pun memberikan upah kepada
mereaka.
Kedua terselamatkan dari sikap inkar janji karena orang yang tidak punya uang
ketika dalam kondisi terdesak akan berjanji namun janji itu kemudian diingkari
karena belum mempunyai uang. Dan keutamaan yang ketiga adalah terhindar
dari sikap meminta-minta kepada orang lain. perbuatan tersebut menurut Mama
Sempur, merupakan perbuatan yang hina (h.3).
Mama Sempur mengingatkan, sebelum berangkat kerja, hendaknya mempunyai
lima niat; affaf (melindungi diri dari mengkonsumsi barang haram), menjaga diri
dari meminta-minta kepada orang lain, menjaga diri dari berharap harta orang
lain (thoma') apalagi mencuri, dan terakhir adalah melaksanakan kewajiban
mengurus keluarga (h.4-5).

KH Abdullah bin Nuh, Ulama Produktif


yang Mendunia
Sabtu, 12 Oktober 2013 10:00 Tokoh
Bagikan

Bangsa Indonesia memiliki sejumlah tokoh atau pelaku sejarah yang memiliki peran besar
dalam perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Di antaranya adalah KH Abdullah bin Nuh,
seorang kiai kharismatik asal Cianjur, pendiri Pesantren al-Ghozali Bogor.
<>
Siapa sebenarnya sosok kiai pejuang satu ini? Menurut guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, nama KH Abdullah bin Nuh
cukup dikenal luas di masyarakat Jawa Barat, terutama mereka yang berasal dari kalangan
pesantren maupun kampus.
Mama, demikian panggilan hormat para santri kepada tokoh kiai pejuang yang dilahirkan di
Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905 ini. Ayahnya bernama Raden H
Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Kakek
almarhum dari pihak ibu adalah seorang wedana di Tasikmalaya.
Lebih terperinci, silsilah keturunan KH Abdullah bin Nuh adalah sebagai berikut: KH
Abdullah bin Nuh putera RH Idris, putera RH. Arifin, putera RH Sholeh putra, RH
Muhyiddin Natapradja, putra R Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra R Aria
Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin), putra R Aria Wiratanudatar III (Dalem
Astramanggala), putra R Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala), putra R
AnaWiratanudatar I (Dalem Cikundul).
Di masa kanak-kanak, KH Abdullah bin Nuh dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun.
Di Tanah Suci ini ia tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden
Kalipah Respati, seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin wafat di Makkah.
Sekembali dari Makkah, KH Abdullah bin Nuh belajar di Madrasah al-Ianah Cianjur yang
didirikan oleh ayahandanya. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di

Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuannya dalam
sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat
tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim
ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.
Setamat dari Syamailul Huda, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di
Jalan Darmo, Surabaya. Di sekolah ini, ia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga
digembleng gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim dalam hal praktek mengajar, berpidato
dan kepemimpinan. Saat menimba ilmu di sini pula, ia diberi kepercayaan untuk menjadi
guru bantu.
Selama di Hadramaut School, KH Abdullah bin Nuh mengoptimalkan potensi yang ada pada
dirinya, antara lain: mengajar, berdiskusi, keterampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya
pula Abdullah menjadi seorang redaktur majalah mingguan berbahasa Arab, Hadramaut.
Kemahirannya dalam bahasa Arab mengantarkan KH Abdullah bin Nuh dikirim ke
Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami
fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh berhasil
mendapat gelar Syahadatul Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu
Keislaman.
Periode tersebut berlangsung sekitar tahun 1926 dan 1928. Kepergiannya ke sana adalah atas
ajakan gurunya yakni Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Kairo untuk melanjutkan
pendidikan di bidang ilmu fiqih di Universitas Al-Azhar. Selepas menyelesaikan pendidikan
di Kairo, Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dengan
menikahi Nyi Raden Mariyah (Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah), yang terbilang
masih kerabat dekatnya.
Nama KH Abdullah bin Nuh sendiri tidak dapat dipisahkan dari nama al-Ghazali. Kiai,
cendekiawan, sastrawan dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sebagai penerjemah bukubuku al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama Majlis al-Ghazali
yang berlokasi di Kota Bogor.
KH Abdullah bin Nuh terkenal dengan pemikirannya yang mendalam tentang al-Ghazali.
Pertama, ia mengajar rutin kitab IhyaUlumuddin dalam pengajian mingguan yang dihadiri
banyak ustadz-ustadz di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya. Kedua, sejak kecil ia
mendapat pelajaran dari ayahnya Muhammad Nuh bin Idris, kitab-kitab Imam al-Ghazali, di
antaranya Ihya Ulumuddin. Ketiga, ia menamakan pesantrennya dengan nama Pesantren alGhazali.
Salah seorang putra KH Abdullah bin Nuh, KH Mustofa menceritakan, ayahnya memang
mendapat pendidikan agama yang serius sejak kecil. Ketika umur belia, ia telah menghafal
kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Ia juga pintar bergaul, santun dan ramah. Keluarganya
menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil, hingga ia menguasai bahasa Arab
baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, KH Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa
Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis secara autodidak.
Kemampuannya dalam bahasa Arab memang mengagumkan. KH Abdullah bin Nuh mampu
menggubah syair-syair dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa
Arab. Mantan Menteri Agama RI, M Maftuh Basyuni, yang pernah menjadi mahasiswanya di

Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan


bahasa Arab KH Abdullah bin Nuh.
Di awal tahun 1960-an, Maftuh Basyuni sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan
naskah-naskah radio berbahasa Arab. Naskah yang disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi
yang sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. Ia sangat membimbing dan memberi semangat
dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yang saya buat, kata Maftuh.
Dalam konteks pergerakan kebangsaan, KH Abdullah bin Nuh juga tidak lepas dari
perjuangan tersebut. Pada masa mudanya, ia juga gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan
tanah air dari penjajah Belanda. Ia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada
tahun 1943-1945, wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor.
Sejarah mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya
Hizbullah beberapa minggu kemudian dimana para alim ulama kemudian masuk menjadi
anggotanya. Tahun 1943 tersebut benar-benar merupakan tahun penderitaan yang amat berat
khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan
bahwa saat itu adalah salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun
1943 itulah KH Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat Daidanco yang berasrama di
Semplak Bogor.
Tahun 1945-1946, ia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) di Yogyakarta.
Kiprah KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat
diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda
yang kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang
tokoh yang hendak diciduk oleh Belanda. Ketika ibukota negara pindah ke Yogyakarta pada 4
Juni 1946, ia pun turut serta hijrah ke Yogyakarta, sekaligus menghindari upaya penangkapan
oleh Belanda. Di ibukota negara yang baru ini, kiprah KH Abdullah pun terekam tidak hanya
di bidang pemerintahan, tetapi juga di bidang lainnya. Ia merupakan penggagas Siaran
Bahasa Arab pada RRI Yogyakarta.
Dalam masa revolusi fisik ini, ia juga tercatat menjadi salah seorang pendiri Sekolah Tinggi
Islam, yang kini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam masa perjuangan
mempertahankan kemerdekaan ini, ia menikah kembali. Perempuan yang dinikahinya adalah
Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yang merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI.
Dari pernikahannya dengan Mursyidah, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari
pernikahannya dengan istri pertamanya, Nyi Raden Mariyah, ia mendapatkan lima orang
anak. Masa perjuangan kemerdekaan dilalui KH Abdullah hingga 1950 di Kota Yogyakarta.
Kemudian, ia dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan menjalani kehidupan
di Ibukota ini hingga tahun 1970. Selama di Jakarta yaitu pada tahun 1950-1964, Abdullah
memegang jabatan sebagai Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian ia
menjabat sebagai Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Setelah itu, ia kemudian pindah dan menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Kiai pejuang
ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan
mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar. Saat tinggal di Bogor, ia mendirikan

sebuah majelis talim bernama al-Ghazali. Majelis yang berkembang menjadi sebuah yayasan
pendidikan ini hingga saat ini masih berdiri dengan dipimpin oleh putra bungsunya, KH
Mustofa. Yayasan al-Ghazali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi
juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga
menengah atas.
Selama masa hidupnya, KH Abdullah bin Nuh juga sering menyempatkan diri untuk
menghadiri pertemuan dan seminar-seminar tentang Islam di beberapa negara, antara lain
Arab Saudi, Yordania, India, Irak, Iran, Australia, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Ia juga
aktif dalam kegiatan Konferensi Islam Asia Afrika sebagai anggota panitia dan juru penerang
yang terampil dan dinamis.
Selama hidupnya, tokoh NU yang telah mendunia dan memiliki persahabatan dengan raja
Yordania dan para pemimpin mancanegara lainnya ini telah banyak menulis buku baik dalam
Bahasa Arab, Indonesia maupun Sunda, terjemahan maupun pemikirannya. Buku
terjemahannya yang paling dikenal yaitu Minhajul Abidin (Menuju Mukmin Sejati) dari
karya Imam al-Ghazali, sedangkan buku karangannya yang paling dikenal dan terus dipelajari
oleh para santrinya di beberapa pesantren yang berada
di Bogor, Cianjur dan Sukabumi,
yaitu Ana Muslim.
Dalam memahami pemikirannya, kita perlu merunut tulisan-tulisan yang telah ia terbitkan.
Pada tahun 1925 ia menulis prosa yang berjudul Persaudaraan Islam (diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia oleh istrinya, Ibu Mursyidah). Dalam tulisan ini nampak jelas keinginan
KH Abdullah bin Nuh supaya kaum muslimin di dunia ini bersatu padu menjadi suatu
kekuatan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan, tanpa membedakan suku, ras dan bahasa.
Diantaranya ia menyatakan: Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan
yang satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita
berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama-sama lahir dari hidayah
Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama-sama bernaung
dibawah langit kemanusian yang sempurna. Dan sama-sama berpijak pada bumi
kepahlawanan yang utama.
Ia sangat merindukan kaum muslimin di dunia ini bersatu padu dan tidak mudah diadu domba
oleh mereka yang ingin menghancurkan akidah Islam. Memang, kadangkala kita terlena
dalam menghabiskan energi untuk berdebat tentang perbedaan ilmu. Padahal ilmu bukan
untuk diperdebatkan, tapi untuk diamalkan.
Tampaknya ia sangat resah dan merasa prihatin dengan terpecah-pecahnya umat Islam di
dunia ini sehingga kaum yang memusuhinya dengan mudah mengadu domba diantara kita.
Setiap aliran dalam Islam dimaknai oleh pengikutnya sebagai aliran yang paling benar,
sedangkan yang lainnya salah.
Sekalipun ia mantan pimpinan Daidanco yang nota bene berbasis kemiliteran, tapi ia sangat
menghendaki dalam penyelesaian masalah penuh dengan kelembutan. Ia selalu lembut dalam
menghadapi berbagai masalah, tetapi sangat keras kalau sudah menyangkut pelecehan akidah.
Lebih dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa. Di
antara karyanya yang terkenal adalah : (1) Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa
Indonesia), (2) Cinta dan Bahagia (bahasa Indonesia), (3) Zakat dan Dunia Modern (bahasa

Indonesia), (4) Ukhuwah Islamiyah (bahasa Indonesia), (5) Tafsir al Quran (bahasa
Indonesia), (6) Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan
Banten (bahasa Indonesia), (7) Diwan ibn Nuh (syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait), (8)
Ringkasan Minhajul Abidin (bahasa Sunda), (9) Al Alam al Islami (bahasa Arab), (10) Fi
Zhilalil Kabah al Bait al Haram (bahasa Arab), (11) Ana Muslimun Sunniyun Syafiiyyun
(bahasa Arab), (12) Muallimul Arabiyyah (bahasa Arab), (13) Al Islam wa al Syubhat al
Ashriyah (bahasa Arab), (14) Minhajul Abidin (terjemah ke bahasa Indonesia), (15) Al
Munqidz min adl-Dlalal (terjemah ke bahasa Indonesia), (16) Panutan Agung (terjemah ke
bahasa Sunda).
Ada sejumlah sarjana yang menulis tentang KH Abdullah bin Nuh. Di antaranya adalah Prof
Dr H Ridho Masduki yang menulis disertasi doktor tentang Pemikiran Kalam dalam Diwan
Ibn Nuh. Drs. H. Iskandar Engku, menulis tesis master tentang Ukhuwah Islamiyah
Menurut Konsep KH Abdullah bin Nuh. E. Hidayat, menulis skripsi untuk sarjana S-1
tentang KH Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Dudi Supiandi,
menulis tesis master tentang Pemikiran KH Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam.
(Akhsan Ustadzi/Red: Mahbib)
Sumber : Buku Sembilan Mutiara Hikmah karya Ahmad Ubaidillah Pagentongan Bogor

Bangsa Indonesia memiliki sejumlah tokoh atau pelaku sejarah yang memiliki peran besar
dalam perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Di antaranya adalah KH Abdullah bin Nuh,
seorang kiai kharismatik asal Cianjur, pendiri Pesantren al-Ghozali Bogor.
<>
Siapa sebenarnya sosok kiai pejuang satu ini? Menurut guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, nama KH Abdullah bin Nuh
cukup dikenal luas di masyarakat Jawa Barat, terutama mereka yang berasal dari kalangan
pesantren maupun kampus.
Mama, demikian panggilan hormat para santri kepada tokoh kiai pejuang yang dilahirkan di
Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905 ini. Ayahnya bernama Raden H
Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Kakek
almarhum dari pihak ibu adalah seorang wedana di Tasikmalaya.
Lebih terperinci, silsilah keturunan KH Abdullah bin Nuh adalah sebagai berikut: KH
Abdullah bin Nuh putera RH Idris, putera RH. Arifin, putera RH Sholeh putra, RH
Muhyiddin Natapradja, putra R Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra R Aria
Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin), putra R Aria Wiratanudatar III (Dalem
Astramanggala), putra R Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala), putra R
AnaWiratanudatar I (Dalem Cikundul).
Di masa kanak-kanak, KH Abdullah bin Nuh dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun.
Di Tanah Suci ini ia tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden
Kalipah Respati, seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin wafat di Makkah.
Sekembali dari Makkah, KH Abdullah bin Nuh belajar di Madrasah al-Ianah Cianjur yang

didirikan oleh ayahandanya. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di


Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuannya dalam
sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat
tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim
ke majalah berbahasa Arab yang terbit di Surabaya.
Setamat dari Syamailul Huda, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di
Jalan Darmo, Surabaya. Di sekolah ini, ia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga
digembleng gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim dalam hal praktek mengajar, berpidato
dan kepemimpinan. Saat menimba ilmu di sini pula, ia diberi kepercayaan untuk menjadi
guru bantu.
Selama di Hadramaut School, KH Abdullah bin Nuh mengoptimalkan potensi yang ada pada
dirinya, antara lain: mengajar, berdiskusi, keterampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya
pula Abdullah menjadi seorang redaktur majalah mingguan berbahasa Arab, Hadramaut.
Kemahirannya dalam bahasa Arab mengantarkan KH Abdullah bin Nuh dikirim ke
Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami
fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh berhasil
mendapat gelar Syahadatul Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu
Keislaman.
Periode tersebut berlangsung sekitar tahun 1926 dan 1928. Kepergiannya ke sana adalah atas
ajakan gurunya yakni Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Kairo untuk melanjutkan
pendidikan di bidang ilmu fiqih di Universitas Al-Azhar. Selepas menyelesaikan pendidikan
di Kairo, Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dengan
menikahi Nyi Raden Mariyah (Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah), yang terbilang
masih kerabat dekatnya.
Nama KH Abdullah bin Nuh sendiri tidak dapat dipisahkan dari nama al-Ghazali. Kiai,
cendekiawan, sastrawan dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sebagai penerjemah bukubuku al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama Majlis al-Ghazali
yang berlokasi di Kota Bogor.
KH Abdullah bin Nuh terkenal dengan pemikirannya yang mendalam tentang al-Ghazali.
Pertama, ia mengajar rutin kitab IhyaUlumuddin dalam pengajian mingguan yang dihadiri
banyak ustadz-ustadz di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya. Kedua, sejak kecil ia
mendapat pelajaran dari ayahnya Muhammad Nuh bin Idris, kitab-kitab Imam al-Ghazali, di
antaranya Ihya Ulumuddin. Ketiga, ia menamakan pesantrennya dengan nama Pesantren alGhazali.
Salah seorang putra KH Abdullah bin Nuh, KH Mustofa menceritakan, ayahnya memang
mendapat pendidikan agama yang serius sejak kecil. Ketika umur belia, ia telah menghafal
kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Ia juga pintar bergaul, santun dan ramah. Keluarganya
menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil, hingga ia menguasai bahasa Arab
baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, KH Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa
Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis secara autodidak.
Kemampuannya dalam bahasa Arab memang mengagumkan. KH Abdullah bin Nuh mampu
menggubah syair-syair dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa

Arab. Mantan Menteri Agama RI, M Maftuh Basyuni, yang pernah menjadi mahasiswanya di
Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan
bahasa Arab KH Abdullah bin Nuh.
Di awal tahun 1960-an, Maftuh Basyuni sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan
naskah-naskah radio berbahasa Arab. Naskah yang disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi
yang sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. Ia sangat membimbing dan memberi semangat
dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yang saya buat, kata Maftuh.
Dalam konteks pergerakan kebangsaan, KH Abdullah bin Nuh juga tidak lepas dari
perjuangan tersebut. Pada masa mudanya, ia juga gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan
tanah air dari penjajah Belanda. Ia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada
tahun 1943-1945, wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor.
Sejarah mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya
Hizbullah beberapa minggu kemudian dimana para alim ulama kemudian masuk menjadi
anggotanya. Tahun 1943 tersebut benar-benar merupakan tahun penderitaan yang amat berat
khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan
bahwa saat itu adalah salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun
1943 itulah KH Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat Daidanco yang berasrama di
Semplak Bogor.
Tahun 1945-1946, ia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) di Yogyakarta.
Kiprah KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat
diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda
yang kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang
tokoh yang hendak diciduk oleh Belanda. Ketika ibukota negara pindah ke Yogyakarta pada 4
Juni 1946, ia pun turut serta hijrah ke Yogyakarta, sekaligus menghindari upaya penangkapan
oleh Belanda. Di ibukota negara yang baru ini, kiprah KH Abdullah pun terekam tidak hanya
di bidang pemerintahan, tetapi juga di bidang lainnya. Ia merupakan penggagas Siaran
Bahasa Arab pada RRI Yogyakarta.
Dalam masa revolusi fisik ini, ia juga tercatat menjadi salah seorang pendiri Sekolah Tinggi
Islam, yang kini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam masa perjuangan
mempertahankan kemerdekaan ini, ia menikah kembali. Perempuan yang dinikahinya adalah
Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yang merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI.
Dari pernikahannya dengan Mursyidah, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari
pernikahannya dengan istri pertamanya, Nyi Raden Mariyah, ia mendapatkan lima orang
anak. Masa perjuangan kemerdekaan dilalui KH Abdullah hingga 1950 di Kota Yogyakarta.
Kemudian, ia dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan menjalani kehidupan
di Ibukota ini hingga tahun 1970. Selama di Jakarta yaitu pada tahun 1950-1964, Abdullah
memegang jabatan sebagai Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian ia
menjabat sebagai Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Setelah itu, ia kemudian pindah dan menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Kiai pejuang
ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan

mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar. Saat tinggal di Bogor, ia mendirikan
sebuah majelis talim bernama al-Ghazali. Majelis yang berkembang menjadi sebuah yayasan
pendidikan ini hingga saat ini masih berdiri dengan dipimpin oleh putra bungsunya, KH
Mustofa. Yayasan al-Ghazali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi
juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga
menengah atas.
Selama masa hidupnya, KH Abdullah bin Nuh juga sering menyempatkan diri untuk
menghadiri pertemuan dan seminar-seminar tentang Islam di beberapa negara, antara lain
Arab Saudi, Yordania, India, Irak, Iran, Australia, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Ia juga
aktif dalam kegiatan Konferensi Islam Asia Afrika sebagai anggota panitia dan juru penerang
yang terampil dan dinamis.
Selama hidupnya, tokoh NU yang telah mendunia dan memiliki persahabatan dengan raja
Yordania dan para pemimpin mancanegara lainnya ini telah banyak menulis buku baik dalam
Bahasa Arab, Indonesia maupun Sunda, terjemahan maupun pemikirannya. Buku
terjemahannya yang paling dikenal yaitu Minhajul Abidin (Menuju Mukmin Sejati) dari
karya Imam al-Ghazali, sedangkan buku karangannya yang paling dikenal dan terus dipelajari
oleh para santrinya di beberapa pesantren yang berada
di Bogor, Cianjur dan Sukabumi,
yaitu Ana Muslim.
Dalam memahami pemikirannya, kita perlu merunut tulisan-tulisan yang telah ia terbitkan.
Pada tahun 1925 ia menulis prosa yang berjudul Persaudaraan Islam (diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia oleh istrinya, Ibu Mursyidah). Dalam tulisan ini nampak jelas keinginan
KH Abdullah bin Nuh supaya kaum muslimin di dunia ini bersatu padu menjadi suatu
kekuatan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan, tanpa membedakan suku, ras dan bahasa.
Diantaranya ia menyatakan: Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan
yang satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita
berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama-sama lahir dari hidayah
Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama-sama bernaung
dibawah langit kemanusian yang sempurna. Dan sama-sama berpijak pada bumi
kepahlawanan yang utama.
Ia sangat merindukan kaum muslimin di dunia ini bersatu padu dan tidak mudah diadu domba
oleh mereka yang ingin menghancurkan akidah Islam. Memang, kadangkala kita terlena
dalam menghabiskan energi untuk berdebat tentang perbedaan ilmu. Padahal ilmu bukan
untuk diperdebatkan, tapi untuk diamalkan.
Tampaknya ia sangat resah dan merasa prihatin dengan terpecah-pecahnya umat Islam di
dunia ini sehingga kaum yang memusuhinya dengan mudah mengadu domba diantara kita.
Setiap aliran dalam Islam dimaknai oleh pengikutnya sebagai aliran yang paling benar,
sedangkan yang lainnya salah.
Sekalipun ia mantan pimpinan Daidanco yang nota bene berbasis kemiliteran, tapi ia sangat
menghendaki dalam penyelesaian masalah penuh dengan kelembutan. Ia selalu lembut dalam
menghadapi berbagai masalah, tetapi sangat keras kalau sudah menyangkut pelecehan akidah.
Lebih dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa. Di
antara karyanya yang terkenal adalah : (1) Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa

Indonesia), (2) Cinta dan Bahagia (bahasa Indonesia), (3) Zakat dan Dunia Modern (bahasa
Indonesia), (4) Ukhuwah Islamiyah (bahasa Indonesia), (5) Tafsir al Quran (bahasa
Indonesia), (6) Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan
Banten (bahasa Indonesia), (7) Diwan ibn Nuh (syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait), (8)
Ringkasan Minhajul Abidin (bahasa Sunda), (9) Al Alam al Islami (bahasa Arab), (10) Fi
Zhilalil Kabah al Bait al Haram (bahasa Arab), (11) Ana Muslimun Sunniyun Syafiiyyun
(bahasa Arab), (12) Muallimul Arabiyyah (bahasa Arab), (13) Al Islam wa al Syubhat al
Ashriyah (bahasa Arab), (14) Minhajul Abidin (terjemah ke bahasa Indonesia), (15) Al
Munqidz min adl-Dlalal (terjemah ke bahasa Indonesia), (16) Panutan Agung (terjemah ke
bahasa Sunda).
Ada sejumlah sarjana yang menulis tentang KH Abdullah bin Nuh. Di antaranya adalah Prof
Dr H Ridho Masduki yang menulis disertasi doktor tentang Pemikiran Kalam dalam Diwan
Ibn Nuh. Drs. H. Iskandar Engku, menulis tesis master tentang Ukhuwah Islamiyah
Menurut Konsep KH Abdullah bin Nuh. E. Hidayat, menulis skripsi untuk sarjana S-1
tentang KH Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Dudi Supiandi,
menulis tesis master tentang Pemikiran KH Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam.
(Akhsan Ustadzi/Red: Mahbib)
Sumber : Buku Sembilan Mutiara Hikmah karya Ahmad Ubaidillah Pagentongan Bogor

Ajengan Nuh Karang Kitab Sunda

Dari tangan Ajengan KH Muhammad Nuh Ad-Dawami Garut, Jawa Barat, mengalir puluhan
karya tulis. Umumnya menggunakan bahasa Sunda, tapi ada juga yang berbahasa Arab dan
Indonesia.
Penggunaan abjadnya ada yang berhuruf Latin, umumnya Arab Pegon. Sementara bentuk
penulisannya, ada yang naratif, juga nadzom. Secara umum, karya-karya itu bernuansa tasawuf
dan tauhid, di samping beberapa kitab fiqih.
Menurut puteri ketiga Ajengan Nuh, Ai Sadidah, ada sekitar 50 buah. Setiap bulan puasa, pasti
melahirkan karya tulis. Dan kitab itulah yang akan dikaji selama sebulan, katanya di kediaman
Ajengan Nuh, Garut, Senin (11/2) lalu.

Uniknya, karya-karya pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Cisurupan Garut terus itu masih
ditulis tangan.
Menurut putera keempat, Ajengan Cecep Jaya Krama, karya-karya ayahnya pernah diketik
menggunakan komputer, tapi ketika diperiksa lagi, ada beberapa yang salah dalam penulisan.
Sejak itu, Abah (panggilan akrab putera-puteri Ajengan Nuh) kirang percanten (tidak percaya
orang lain) menuliskan karyanya, katanya.
Sementara Ajengan Nuh yang aktif di NU sejak Ranting, MWC, PC, hingga salah seorang
Mustasyar PWNU Jawa Barat ini, tidak bisa mengetik. Karenanya ia lebih nyaman dengan
tulisan tangan sendiri.
Cecep menjelaskan alasan menggunakan bahasa Sunda adalah untuk mempermudah
pemahaman santri. Juga melestarikan bahasa Sunda, karena sudah dianggap asing di tanahnya
sendiri. Di samping memberikan pelajaran penggunaan bahasa Sunda yang baik dan benar
sesuai kaidah bahasa.
Jika ditilik dari gaya bahasanya, Ajengan Nuh, menggunakan bahasa yang puitik. Itu memang
kelebihan Abah. Ia rajin membaca majalah Mangle (salah satu majalah bahasa Sunda).

Ajengan KH Muhammad Nuh Ad-Dawami lahir Garut, Jawa Barat tahun 1946. Sejak usia 12
tahun, ia nyantri ke berbagai pesantren, mulai Pesantren Kubang, Munjul, Al-Huda (Garut),
Cikalama (Sumedang), Sadang (Garut), Cibeureum (Tasikmalaya),

Menurut putra keempat, Ajengan Cecep Jaya Krama, ayahnya nyantri paling lama di Al-Huda,
dibawah bimibingan Ajengan KH Syirojuddin. Sebelum mukim (1968), ia kembali nyantri di
pesantren tersebut.
Ajengan Nuh, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Cisurupan Garut tersebut, melahirkan
puluhan karya tulis. Umumnya menggunakan bahasa Sunda, tapi ada juga yang berbahasa Arab
dan Indonesia.
Ia menulis sejak tahun 1990-an, seperti tukilan Ilmu Bayan, Ilmu Ushul Fiqh, Bab Tarawih, Bab
Syahadat. Tapi, secara serius dalam satu buku seperti Bentang Salapan(menjelaskan persoalan
yang sering diperdebatkan antara NU dan non-NU) sejak tahun 2000, kata Ajengan Cecep, di
Cisurupan, Garut, Selasa, (12/2).
Asal mula menulis, karena ada salah seorang temannya yang menganjurkan, yaitu Enas
Mabarti. Enas adalah penulis juga tokoh NU Garut yang menulis Pedoman Politik Keur Warga
NU dan Rencep Sidem Gunem.
Enas tertarik akan pidato-pidato bernas yang disampaikan Ajengan Nuh di pertemuanpertemuan NU Garut. Ia sampai mau menggaji orang untuk menuliskan ceramah-ceramahnya.
Tapi sayangnya tidak jalan.

Meski demikian, Ajengan mulai juga menulis. Menurut puteri ketiga Ajengan Nuh, Ai Sadidah,
ada sekitar 50 buah. Setiap bulan puasa, pasti melahirkan karya tulis. Dan kitab itulah yang
akan dikaji selama sebulan, katanya.

Di antara karya yang diperlihatkan kepada NU Online adalah Mustika Akidah: Widuri Pamanggih,
Tauhid Praktis ala Thariqah Ahli Sunah wal-Jamaah, Peperenian Lentera Cacaang Jalan
Ambahan Kabagjaan Jalma Awam, Taraweh Qiyam Ramadhan, Tutungkusan Permata, Tauhid
Amaly Ahlu Sunah wal-Jamaah, Hizb Tafrij Kurab Qodhai Hajati (Senjata Panyinglar Kasusah
Nutupan Pangabutuh, Al-Mukhtashar fi Tauhidy wa-Tabiruhu bil-Adzkari, Karakteristik Ahl Sunah
wal-Jamaah, al-Muhtaj Ilaih.
Uniknya, karya-karya Ajengan Nuh yang aktif di NU sejak Ranting, MWC, PC, hingga salah
seorang Mustasyar PWNU Jawa Barat itu, masih ditulis tangan.(Abdullah Alawi)

NU Online bekerja sama dengan Pengurus Pusat Lembaga Talif wa-Nasyr NU (LTN NU)
mengarak ratusan kitab karya ajengan-ajengan Sunda ke pesantren-pesantren di Jawa Barat.
Di antara karya-karya itu karangan Ajengan (KH )Tubagus Bakri Sempur (Purwakarta), KH
Nuh Ad-Dawami (Garut), KH Wahab Muhsin (Tasikmalaya), KH Juwaini (Sukabumi), dan
karya-karya ajengan lain.
<>
Ratusan karya itu ditulis dalam bahasa Sunda berisi horison pengetahuan ajengan Sunda dari
berbagai disiplin ilmu. Disiplin itu mulai fiqih, ushul fiqih, tasawuf, tauhid, nahwu, sharaf,
tajwid, faroid, falak, dan biografi ulama. Cara menulis kitab itu ada yang prosa naratif dan
syair atau nadzom.
Karya-karya itu diarak ke pesantren-pesantren mulai Ahad (26/5) sampai Kamis (30/5).
Pesantren yang pertama dikunjungi adalah Raudlotul Huda di Desa Kelapa Sawit, Kecamatan
Lakbok Kabuapten Ciamis, Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar.
Kemudian di empat pesantren Kabupaten Bandung, yaitu Pesantren Al-Falah 2 Nagreg, Darul
Hikam Banjaran, Al-Burdah Soreang dan Miftahu Saadah Banjaran.
"Ternyata, karya-karya ulama Sunda itu banyak. Ini baru dari beberapa pesantren di beberapa
kabupaten dan toko kitab. Jadi masih mungkin banyak karya tersimpan di pesantrenpesantren, jelas Ketua Panitia Syaifullah Amin.
Menurut Amin, kegiatan ini berupaya memperkenalkan kembali karya-karya pesantren
kepada para santri, Juga sekaligus mencari informasi tentang naskah-naskah pesantren di
Tatar Sunda, katanya.

Disamping itu, kata Redaktur NU Online ini, mendorong para santri merawat, menghargai,
meneladani dan melanjutkan tradisi menulis para santri.
Lebih jauh ia mengatakan, pesantren berdakwah tidak hanya dengan lisan dan tindakan, tapi
dengan tulisan, Yang petama dan kedua cepat hilangnya, sementara tulisan lebih abadi, bisa
sampai ke generasi selanjutnya, selama masih ada yang merawatnya, tambah santri
Pesantren Ciganjur ini.
Pengarakan kitab ini dalam rangka Harlah ke-10 tahun NU Online dengan tema
"Menggerakkan Literasi Pesantren". Sebelumnya NU Online telah menggelar Pidato
Kebudayaan (Maret), dan Khutbah Teknologi (April) di gedung PBNU, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai