Anda di halaman 1dari 0

21

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia
Pada masa awal Islam tarekat masih belum muncul, ajaran Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad pada masa awal Islam dilaksanakan secara murni.
Ketika Nabi wafat para sahabat dan tabiin masih tetap menjaga kemurnian
ajaran Islam pada masa itu, sehingga amalan ibadah para sahabat dan tabiin
disebut salaf al-s}a>leh}.
1

Pada abad pertama Hijriyah mulai muncul perbincangan mengenai teologi,
abad kedua Hijriyah muncul tasawwuf, dan menyeber ke berbagai daerah yang
akhirnya tasawwuf mempunyai warna yang berbeda, sesuai dengan pengaruh
yang mewarnai pada saat itu, dimana ada yang bermodel falsafi dan akhlaki.
Sesudah abad kedua Hijriyah gologan sufi mengamalkan amalan-amalan dengan
tujuan mendekatkan diri(taqarrub) kepada Allah, dan kemudian para sufi
membedakan tentang shari>ah, t}ari>qah, h}aqi>qat, dan marifat. Menurut para sufi
shari>ah untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, t}ari>qah untuk memperbaki
amalan-amalan batin (hati), h}aqi>qat untuk mengamalkan segala rahasia yang
gaib, sedangkan marifat adalah tujuan akhir yaitu mengenal hakikat Allah baik
zat, sifat maupun perbuatan-Nya. Orang yang sampai pada maqam marifat itu
disebut wali dan mempunyai kemampuan luar biasa yang ia miliki, kemampuan

1
Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 6.

22

itu disebut karomah atau supranatural, sehingga terkadang ada kejadian-kajadian
pada dirinya yang tidak bisa dijagkau oleh akal sehat.
2

Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah waktu itu muncullah
tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Ini ditandai dengan
adanya silsilah tarekat yang selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-
tokoh sufi, seperti Tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul
Qodir Jailani, Tarekat Sya>dzaliyah dikaitkan dengan pendirinya yaitu Abu> al-
H}asan al-Shadhili, begitu juga dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang dinisbatkan
kepada Baha> al-Din al-Naqsyabandi yang lahir pada abad ke 8 tepatnya 717
H./1318 M. dan meninggal pada tahun 791 H./1389 M.
3

Dalam perjalanannya, Tarekat Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang
mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat
Muslim. Terakat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian ke Turki,
Suriah, Afganistan, dan India. Dan untuk di Indonesia pertama kali yang
membawa Tarekat Naqsyabandiyah adalah Syaik Yusuf al-Makassari (1626-
1699)
4
dengan bukti dialah yang menulis silsilah Tarekat Naqsyabandiyah dalam
kitab Safinah al-Naja>h.
5

Dalam sejarahnya, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia mengalami
pasang surut sebagaimana yang dinyatakan oleh Martin van Bruinessen bahwa
kecaman terhadap Tarekat Naqsyabandiyah sebagai ajaran bidah muncul.

2
Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah, hlm. 6
3
Baca buku Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia.
4
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996),
hlm. 34.
5
Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah, hlm. 94-95.

23

Petama, sekitar tahun 1852 kaum pembaru yang mempunyai posisi di Makkah
seperti Salim ibnu Samir dan Sayyid Usman yang mengkritik para syehk-syekh
an-Naqsyabandi yang dikatakan sebagai guru-guru gadungan
6
selanjutnya
kaum yang dianggap pembaharu tambah semakin gencar melakukan serangan-
serangan terhadap Tarekat Naqsyabandiyah, mereka mengutuk ajaran-ajaran dan
amalan-amalan yang utama dalam Tarekat Naqsyabandiyah sebagai bidah dan
syirik. Serangan utama menurut Martin datang dari Ahmad Khatib (1852-1915),
seoang ulama Minangkabau yang mukim di Makkah, ia dikenal sebagai orang
yang dahsyat kritikannya terhadap adat matrelinial sukunya sendiri.
7

Ahmad Khatib bahkan berpendapat ajaran khusus yang diturunkan oleh
Nabi Muhammad kepada Abu Bakar, dan terus turun termurun melalui rantai
guru tarakat tidak dapat dipercaya, karena hal seperti itu katanya tidak dipernah
disebut dalam sumber lain kecuali kitab-kitab Nasyabandiyah sendiri. Kemudian
ia membahas bahwa berbagai amalan Naqsyabandiyah seperti: dhikir lat}aif ,
suluk (khalwat), khatmi khawjgan, dan rabithah bi al-shaikh, tidak ada dasarnya
pada apa yang diamalkan Nabi dan para Sahabat, sehingga amalan-amalan itu
merupakan bentuk bidah.
8

Tidak lama setelah agitasi Ahmad Khatib, kaum pembaharu dari al-Azhar
mulai menyabar di Indonesia, sehingga pengaruh tarekat betul-betul terdesak.
Organisasi pembaharu seperti Muhammadiyah (1912) yang begitu kuat berada
dibawah pengaruh pikiran-pikiran Muhammad Abduh, dan juga al-Irsyad (1913)

6
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 110.
7
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 111.
8
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 111-112.

24

dengan tegas menentang tarekat. Puncaknya yaitu pada tahun 1924 di mana
Makkah sebagai pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah ditaklukkan oleh
Abd al-Aziz ibn Saud dan dikuasai oleh golongan Wahabi yang anti terhadap
tarekat.
9

Keterdesakan ajaran tarekat akibat kritikan dari kaum pembaharu
menyebabkan guru-guru dari berbagai aliran tarekat mempersatukan diri, dan
membetuk organisasi-organisasi Muslim tradisionalis sebagai tanggapan
terhadap kaum pembaharu, tidak lama kamudian lahirlah NU pada tahun (1926)
yang mempunyai basis utama di Jawa dan PERTI (1928) yang mempunyai basis
di Minangkabau. Melalui organisasi NU dan PERTI di Indonesia sampai
sekarang ajaran Tarekat Naqsyabandiyah masih tetap bertahan dan menjadi
wahana penyebarluasan tarekat.
10


B. Landasan Teori Politik Kiai Tarekat Naqsyabandiyah
Kata kiai sebagaimana telah disinggung dan dibahas panjang lebar oleh
para peneliti sebelumnya, yang menyatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata
Jawa yang mempunyai beberapa arti. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh
Imron Arifin dengan judul Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren
Tebuireng, yang menyatakan bahwa kata kiai mempunyai beberapa makna
diantaranya: untuk benda-benda yang dikeramatkan seperti tombak, keris dan
benda-benda lain yang dianggap mempunyai kekuatan. Sedangakan secara
harfiyah, kiai merupakan sebutan bagi a>lim ulama (cerdik pandai dalam agama

9
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 117.
10
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 116

25

Islam).
11
Akan tetapi untuk di Indonesia kata kiai mempunyai pengertian yaitu
orang yang mempunyai pengetahuan ke-Islaman. Dan penyebutannya di setiap
daerah tidak sama, menurut Arfin, kalau di Jawa Barat di sebut ajengan, di Jawa
Tengah dan Jawa Timur disebut kiai dan kalau di Madura di sebut makkah.
12

Tidak jauh berbeda dengan Imron Arifin apa yang dinyatakan oleh Imam
Suprayogo tentang penamaan kiai,
13
begitu juga dengan penelitian Ahmad
Fatoni.
14

Kiai secara sosial kemasyarakatan memang tidak asing lagi. Ia menjadi
figur terutama masyarakat Muslim seperti di Jawa dan Madura. di dua tempat
ini, kiai menurut Zamakhsari Dhofir yang dikutip oleh Ahmad Fatoni, mayoritas
pimpinan pondok pesantren,
15
dengan penekanan pengabdian untuk agama dan
masyarakat, dan untuk di kalangan masyarakat Madura dan Jawa, figur kiai
sangatlah dihormati.
Gelar kiai merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat atas
keistimewaan yang dimilikinya. Dengan keistimewaannya tersebut, kiai
dianggap sebagai pemimpin informal dalam masyarakat
16
. Kiai sebagai sosok
kharismatik di tengah-tengah masyarakatnya, membuat figur ini menjadi panotan
dan acuan, terutama masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan, dimana tingkat

11
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 565.
12
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang:
Kalimasahada Press, 1993), hlm. 13-14.
13
Baca Imam Suprayogo, Kyai dan Politik Membaca Cintra Politik Kyai (Malang: UIN
Press, 2009),, hlm. 27
14
Baca Ahmad Fatoni, Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 20-21.
15
Ahmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hlm. 20.
16
Turmudi, Perselingkuhan Kiai, hlm. 1. juga baca bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan
Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, hlm. 15.

26

pengetahuan agama, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya bisa dikatakan
masih sangat awam.
17

Sebagai pimpinan informal yang hidup di dalam masyarakat, kiai
mempunyai peran yang sangat penting, karena sosok kiai di anggap sebagai
referensi hidup, tidak hanya bagi santrinya akan tetapi cakupannya lebih luas
yakni bagi masyarakat, apalagi sebagai pimpinan tarekat yang dikenal sebagai
mursyid, tentu saja peranan seorang kiai sangatlah signifikan, dimana para santri
dan pengikut tarekat akan selalu mengkonsultasikan setiap masalah yang sedang
dihadapinya.
Kiai yang diharapkan sebagai pemimpin keagamaan dengan melihat
penguasaan ilmu agama yang dimilikinya, sehingga masyarakat bisa
tercerahkan tidak perlu masuk dalam urusan politik.
18
Akan tetapi pada zaman
dan negara yang sudah menganut asas demokrasi ini, dimana pimpinan politik di
dasarkan atas suara terbanyak maka banyak sekali ditemukan ternyata kiai
terlibat di dalamnya untuk memobilisasi massa. Harapan masyarakat bahwa kiai
cukuplah mengatur masyarakat dalam bidang agama, ternyata melenceng jauh
dari harapan mereka. Sebut saja pada era sekarang banyak sekali kiai terjun ke
dunia politik sehingga terkadang dengan kesibukan barunya, diapun melupakan
tugas pokoknya sebagai pengayom umat.
19

Apalagi kiai yang dikenal sebagai kiai tarekat, sebagaimana yang
diketahui, inti dari ajaran tarekat yaitu membimbing umatnya agar terhindar dari

17
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1999), hlm. 166-171.
18
Imam Suprayogo, Kyai dan Politik, hlm. 43.
19
Khoruddin, Politik Kiai, hlm. 136

27

niat atau prilaku yang tidak diridhoi oleh Allah, karena tanpa bimbingan dari
ahli tarekat menurut ath-Tayyibi, maka orang yang sudah mempunyai ilmu yang
mendalam tanpa berguru kepada pembimbing rohani, maka orang tersebut tidak
bisa merasa puas dengan ilmunya, karena dikhawatirkan akan terperosok kepada
niat atau prilaku yang tidak sesuai dengan ridho Allah.
20
Dengan begitu, maka
bimbingan dari seorang a>lim dalam ilmu tarekat diperlukan guna mengarahkan
diri selamat di dunia dan akhirat.
Harapan selamat dunia dan akhirat memang dambaan dari semua orang,
oleh karena itu pembimbing ilmu hati untuk mencapai dunia yang diridhoi
Allah memang sangat diharapkan. Apalagi tatkala di suatu daerah sudah terkenal
ada seorang kiai yang sudah mursyid, tentu saja daerah tersebut akan terkenal
karena akan banyak orang meminta bimbingan tentang bagaimana mencapai
hidup yang sempurna (dunia dan akhirat). Harapan dan dambaan ternyata tidak
selamanya sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dalam dunia nyata terkadang
memang tidak seindah atau seelok apa yang dibayangkan, meminjam perkataan
Max Wiber yang dikutip oleh Betty R Scharp, bahwa rasional tidak mesti sama
dengan empirik.
21
Seorang kiai yang sudah dikenal kharismatik karena sudah
menjadi pimpinan tarekat terkadang tidak murni mengurus umat dalam bidang
agama saja, sehingga banyak masyarakat yang mengatakan bahwa pada zaman
sekarang ini sulit untuk menemukan kiai yang betul-betul netral, dalam artian

20
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Manusia Bumi Manusia Langit Rahasia Menjadi
Muslim Sempurna, Terjemahan dari Tanwirul Qulub (Bandung: Pustaka Hidayah, 2010), hlm.
179.
21
Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, Terjemahan dari The Sociological Study of Religion
(Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 222.

28

hanya mengurus umat dalam bidang agama saja. Terbukti semakin tahun
semakin banyak kiai yang diharapkan sebagai pengayom umat, ternayata terjun
ke dunia politik yang notabene dikenal dengan dunia abu-abu karena sudah
bercampur antara urusan agama dan dunia bahkan terkadang saling jelek
menjelekkan antara satu elite politik dengan elite yang lain, yang jelas tidak
sesuai dengan tuntunan agama Islam yang benar.
22

Pimpinan tarekat yang dikenal sebagai figur bagi masyarakat pengikutnya,
sehingga pilihan politiknyapun juga harus diikuti, mengingat ajaran dari tarekat
menurut Bustanuddin Agus, merupakan organisasi keagamaan yang yang
mempunyai pimpinan kharismatik, sehingga pimpinannya haruslah dipatuhi dan
mempercayai, dan apa yang dikemukakannya dengan sepenuh hati atau dengan
pendekatan rohaniah. Berbeda dengan organisasi kemasyarakatan yang lain,
dimana kecendrungannya menggunakan pendekatan rasional sehingga
pimpinannya sering dikritik dan dipersalahkan.
23
tentu saja fenomena seperti itu
membuat sosok kiai tersebut semakin kharismatik, karena kiai tarekat,
sebagaimana yang dinyatakan Endang Turmudi, lebih dihargai daripada kiai yang
hanya memimpin pesantren saja.
24
apalagi Tarekat Naqsyabandiyah, di mana
tarekat ini menurut Martin, diikuti oleh mayoritas masyarakat Madura,
25

Penyebutan kiai tarekat dalam penelitian ini, sebenarnya hanya ingin
membedakan antara satu tipilogi kiai dengan kiai yang lain, karena dalam

22
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 221.
23
Bustanuddin Agus, Agama dan Fenomena Sosial, hlm. 105.
24
Turmudi, Perselingkuhan Kiai, hlm. 33.
25
Baca buku Martin Van Bruinessen, Terkat Naqsyabandiyah di Indonesia, BAB XIII,
Terkat Naqsandiyah di Madura dan dalam Masyarakat Madura di Derah Lain (Bandung: Mizan,
1996)

29

masyarakat muslim menurut Imam Suprayogo, penyebutan kata kiai sangatlah
beragam, dimana ada yang menyatakan kiai nasab karena kekiaiannya diperoleh
dari nasab abahnya, ada kiai bukan nasab dimana kiai ini diakui karena
kemampuannya, ada kiai tarekat karena kiai tersebut penganut tarekat, dan ada
kiai bukan tarekat.
26
Dan masih banyak lagi tipologi-tipologi dari kata kiai yang
tidak bisa disebutkan dalam penulisan tesis ini.
Sebagaimana dijelaskan dalam latarbelakang masalah dan kajian terdahulu,
bahwa kiai dengan bermacam tipologinya bisa dikatakan jarang menjadi kiai
netral yang tidak ikut-ikutan dalam perpolitikan. Termasuk juga dengan kiai
Tarekat Naqsyabandiyah, dimana kiai yang diharapkan sebagai pengayom umat
secara umum ternyata juga tidak terlepas dari dunia politik meskipun tidak terjun
langsung sebagai elite politik. Akan tetapi keberpihakannya dan restu yang
diberikannya, memberi indikasi bahwa kiai tersebut bisa dikatan tidak netral
dari urusan politik.
Dalam sejarahnya para pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah memang
bukanlah tarekat yang mengajarkan murni tentang penghambaan diri kepada
Allah saja, akan tetapi Tarekat Naqsyabandiyah sudah membangun hubungan
dengan para penguasa, dalam artian tarekat ini mengajarkan adanya
keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sebagaimana dikatakan Wiwi
Siti Sajaroh, dalam sejarahnya, pendiri dari Tarekat Naqsyabandiyah yaitu Baha
al-din Naqsabandi dilahirkan pada tahun 717 H./1318 M, di Qashrul Arifah,
kurang lebih empat mil dari Bukhara, dan wafat pada tahun 791 H/1389 M. Ia

26
Imam Suprayogo, Kiai dan Politik, hlm. 101.

30

juga akrab dengan penguasa meskipun tidak menghambakan diri kepada
penguasa.
27

Sementara itu ciri khas dari Tarekat Naqsyabandiyah: Pertama, mengikuti
syariat secara ketat, keseriusan dalam melaksanakan ibadah yang menyebabkan
tarekat ini menolak terhadap musik dan tari-tarian. Kedua, upaya serius dalam
mengarungi kehidupan, dalam artian jangan bermalas-malasan dalam bekerja
serta bagaimana bisa mendekatkan negara pada agama. Karena dalam pandangan
Tarekat Naqsyabandiyah memperbaiki penguasa merupakan prasyarat untuk
memperbaiki masyarakat.
28
Dengan ciri seperti itu maka tidaklah mengherankan
apabila kiai Tarekat Naqsyabandiyah berafiliasi dengan elite politik, karena
bermaksud supaya penguasa yang memimpin rakyat bisa diarahkan pada jalan
yang benar.
Peran kiai sebagai elite agama memang mempunyai dampak nyata dalam
kancah politik lokal khususnya masyarakat pedesaan yang menggantungkan
sikap dan pilihannya kepada figur kiai, pola hubungan yang dibangun antara
masayarakat seperti ini sering disebut dengan pola politik Patron-Klien.
29

Prilaku patron-klien dalam masyarakat Indonesia, kalau di lacak dari
sejarahnya memang tidak lepas dari budaya masyarakat Indonesia tempo dulu
atau masayarakat Indonesia yang tunduk kepada sistem kerajaan. Dimana prilaku
raja sebagai penguasa tunggal haruslah dihormati dan perkataannya haruslah

27
Wiwi Siti Sajaroh, Tarekat Naqsyabandiyah Menjalin Hubungan Harmonis dengan
Kalangan Penguasa, dalam buku Sri Mulyati, ed. Mengenal dan MemahamiTarekat-tarekat
Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 90.
28
Siti Sajaroh, Tarekat Naqsyabandiyah Menjalin Hubungan Harmonis dengan Kalangan
Penguasa , hlm. 91-92.
29
Khoiruddin, Politik Kiai, hlm. 30.

31

diikuti oleh masyarakatnya. Menurut Khoiruddin, raja adalah segalanya dan
masyarakat adalah abdi atau kawula bagi rajanya. Pada konteks kekinian, prilaku
pantron-klien adalah kesanggupan seorang patron (atasan) untuk menyediakan
atau memberikan kursi, jabatan, serta pekerjaan bagi klien (bawahannya)
dengan imbalan jasa yang diberikan oleh bawahan kepada atasan berupa upeti,
amplop, atau kesenangan dan lain sebagainya. Dalam budaya patron klien,
terkadang perilaku bawahan kepada atasannya sering keterlaluan dengan
menunjjukan loyalitas dan pengabdian yang tinggi pada patronnya sehingga
terkadang klien melupakan tugas pokoknya sebagai abdi masyarakat. Ini juga
yang terjadi pada diri kiai dan santri, kiai terkadang malah banyak meminta
dilayani di timbang memberikan pelayanan kepada umatnya,
30
apalagi hubungan
kiai Tarekat dengan pengikut tarekat, hubungan patron-klien diantara meraka
sangatlah jelas, dimana semua himbawan dan perkataannya haruslah diikuti oleh
pengikut tarekat itu.
31

Adapun kiai sebagai penguasa, baik dalam dunia pesentren lebih-lebih
pengikut tarekat terhadap mursyidnya, hubungan itu bisa juga dilihat dari teori
dominasi-nya weber yang dikutip oleh Michael Rush dan Phillip Althoff. Dalam
terori dominasi disebutkan paling tidak ada tiga tipe yang dibuat oleh Weber.
Pertama, dominasi tradisional, yaitu adat istiadat yang disucikan melalui
pengakuan kuno yang sulit dirasionalkan, sehingga harus menyesuaikan dengan
adat istiadat tersebut. Kedua, dominasi kharismatik, yaitu kewibawaan dengan
keanggunan pribadi yang luar biasa, dan kepercayaan yang mutlak, serta percaya

30
Khoiruddin, Politik Kiai, hlm. 30-31.
31
Khoiruddin, Politik Kiai, hlm. 35

32

terhadap apa yang diucapkan dan kepemimpinan individual. Ketiga, dominasi
legalitas, yaitu kepercayaan terhadap validitas undang-undang dan kompetensi
fungsional pada aturan-aturan yang dibuat secara rasional.
32
Dalam teori
dominasi ini, hubungan antara kiai dan elite politik, terkadang memang dibangun
atas dasar adat istiadat yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat,
seperti contoh: yang duduk di langgar saat ada undangan adalah para kiai, dan
masyarakat yang bukan kiai harus duduk di bawah bukan di langgar, maka siapa
yang bukan kiai, lalu duduk dilanggar paling tidak mendapat sanksi sosial,
dianggap orang yang tidak tahu sopan santun. ada dominasi karena ketundukan
kepada sosok karismatik, hubungan ini biasanya dilandasi oleh hubungan guru
dan murid. dan terkahir memang terkadang hubungan didasarkan atas
pertimbangan rasional. Maka dalam penelitian ini, penulis akan melihat apakah
afiliasi kiai Tarekat Naqsyabandiyah dengan elite politik dengan studi Kiai
Darwisy itu atas hubungan sesuai dengan teori dominasi atau memang ada
hubungan lain.
Selanjutnya dalam pendekatan politik, Bahtiar effendy menyebutkan ada
teori trikotomi. Teori ini sebenarnya muncul dalam merespon sikap penguasa
kepada masyarakat Muslim, dalam teori ini ada tiga kelompok yang menjadi
kajian. Pertama, kelompok fundamentalis, yaitu kelompok yang menafsiri Islam
secara kaku dan murni, menentang pemikiran sekular, pengaruh Barat, ajaran
sinkritisme, dan penekanannya bagaimana agama di atas politik. Kedua,
kelompok reformis, sebenarnya kelompok ini juga mengutamakan agama di atas

32
Michael Rush dan Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, ,hlm. 9.

33

politik akan tetapi mereka masih mau bekerjasama dengan kelompok-kelompok
sekular dan meraka percaya bahwa agama relevan dengan era modern. Dan
ketiga, kelompok akomodasionis yaitu kelompok yang memberi penghargaan
yang tinggi kepada kerangka persatuan yang diberikan Islam, tetapi mereka
berpandangan bahwa kepentingan sosial, politik dan ekonomi harus mendapat
prioritas utama oleh organisai-organisai Islam, kecendrungan meraka juga
bekerjasama dengan kelompok-kelompok sekular atas landasan-landasan yang
sama-sama disepakati.
33


C. Elite Politik
Elite politik sebenarnya muncul dalam dunia sosiologi untuk membedakan
satu komunitas dengan komunitas lain. Secara sedarhana elite bisa diartikan
sebagai anggota masyarakat yang paling berbakat seperti elite agama, elite
organisasi, namun dalam perspektif sosiologi, elite lebih identik dengan elite
politik (political elite). Menurut David Jarry dan Julia Jerry yang dinyakatan oleh
Syarifuddin Jurdi mempunyai asumsi tentang toeri elite. Mereka mengatakan
bahwa munculnya kelas elite dan rakyat jelata merupakan ciri yang tidak
terelakkan dalam masyarakat modern. Menurut mereka asumsi bahwa rakyat
secara keseluruhan yang menjalankan pemerintahan adalah sesuatu yang keliru,
karena sesungguhnya yang menjalankan kebijakan adalah para elite.
34


33
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hlm. 40-42.
34
Syarifuddin Jurdi, Elite Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik: Studi Tentang Tingkah
Laku Elite Lokal Muhammadiyah sesudah Orde Baru (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2004),Hlm. 19-20

34

Syarifuddin Jurdi, menambahkan yang disebut elite adalah sekelompok
kecil dalam masyarakat yang memegang posisi dan perenan penting. Dalam
perkataan yang lain Syarifuddin Jurdi menambahkan bahwa elite adalah
segolongan kecil yang memperoleh sebagain besar dari nilai apa saja, elite itu
menunjuk pada mereka yang berpengaruh. Dalam dunia sosial sering ditemukan
bahwa politik pada zaman modern ini menurut Jarry munculnya demokrasi tidak
memberikan kekuasaan pada rakyat melainkan meletekkan dasar baru bagi
keanggotaan kelompok elite.
35
Dimana sesungguhnya yang mewarnai kekuasaan
bukanlah masyarakat secara umum akan tetapi orang tertentu yang disebut elite,
lebih-lebih masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan menurut Soerjono
Soekanto, dengan cirikhas orang desa sebagai petani, dan dalam bidang
kehidupan, orang desa lebih menggantungkan hidupnya kepada keluarga dan
kelompoknya, kurang maju dalam pendidikan dan lain sebagainya yang bisa
dikatakan awam dengan dunia luar yang setiap hari mengalami pergerseran
dan perubahan.
36
Apalagi kondisi sosial masyarakat Madura, yang menurut
Martin van Bruinessen sangat menghormati sosok kiai, lebih-lebih kiai tarekat,
37

tentu saja lebih menggantungkan bidang kehidupannya kepada kiai sebagai elite
agama, sehingga posisi atasan dan bawahan atau istilahnya patron-klien sangat
terasa, dimana masyarakat sebagai klien akan tunduk dan patuh terhadap apa
yang dikatakan oleh kiai sebagai atasan atau patron.
38
Sehingga dalam kebijakan

35
Syarifuddin Jurdi, Elite Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik, hlm. 21.
36
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1999), hlm. 166-171.
37
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, hlm. 185.
38
Khoiruddin, Politik Kiai, hlm. 30.

35

politik, masyarakat hanya mengikuti kemana arah kebijakan elite agama (kiai)
dan elite politik. Diwaktu dua elite agama dan elite politik bersatu melakukan
keputusan, maka masyarakat sebenarnya mengikuti apa keinginan para kaum
elite tersebut.
Menurut Sunyoto Usman yang dinyatakan oleh Syarifuddin Jurdi, dalam
melihat hubungan elite agama dan elite politik di dalam melakukan aksinya
terdapat berbagai bentuk yang dikembangkan dalam melakukan sosialisasi nilai-
nilai agama, dimana elite agama mempunyai posisi yang lebih tinggi didalam
memberikan penafsiran tentang agama. Usman menambahkan elite agama yang
berada di puncak strata sangat leluasa bahkan memonopoli penafsiran agama,
sehingga menurutnya hegemoni penafsiran agama hanya akan memosisikan elite
agama untuk secara leluasa melakukan kompromi dengan pihak-pihak penguasa
dan akhirnya kepentingan dari elite agama itu terpenuhi.
39
Dengan demikian
menambah asumsi bahwa kekuasaan itu bukan ada ditangan masyarakat akan
tetapi ada di tangan para kaum elite.



39
Syarifuddin Jurdi, Elite Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik, hlm. 24-25.

Anda mungkin juga menyukai