Lokasi Makam
Guru Madjid wafat pada 27 Juni 1947 di usia 60 tahun. Makamnya terletak di sekitar Masjid Al-
Musari’in, Kampung Basmol, Kembangan Utara, Jakarta Barat. Setiap tahunnya di pertengahan bulan
Sya’ban, tidak kurang dari seribu orang menghadiri haul Guru Madjid di Masjid Al-Musari’in
Basmol.
Setelah menginjak usia 16 tahun beliau serahkan kepada Habib Utsman bin Muhammad Banahsan
untuk belajar. Saat menimba ilmu kepada Habib Utsman, saat itulah nampak kelebihan dari diri Guru
Marzuqi. Habib Utsman meilhat Guru Marzuqi sebagai sosok yang genius dan memiliki daya ingat
yang tajam dalam menghafal. Oleh karena itu, Habib Utsman mengarahkan Guru Marzuqi untuk
melanjutkan pendidikannya di Mekkah dan berguru kepada para ulama Mekkah. Di antara guru-guru
beliau di Mekkah adalah Syekh Usman al-Sarawaqi, Syekh Muhammad Ali al-Maliki, Syekh
Muhammad Amin, Sayyid Ahmad Ridwan, Syekh Hasbullah al-Misri, Syekh Mahfuz al-Termasi,
Syekh Salih Bafadhal, Syekh Abdul Karim, Syekh Muhammad Sa’id al-Yamani, Syekh Umar bin
Abu Bakar Bajunayd, Syekh Mukhtar bin ‘Atarid, Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh al-Sayyid
Muhammad Yasin al-Basyumi, Syekh Marzuqi al-Bantani, Syekh Umar Sumbawa, Syekh Umar
Syatha, dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
Setelah 7 tahun di Mekkah, Guru Marzuqi mendapat sepucuk surat dari Habib Utsman yang meminta
pulang ke tanah air. Di Batavia, Guru Marzuqi diminta mengajar di Masjid Jami’ al-Anwar Rawa
Bangke (Rawa Bunga) Jatinegara, menggantikan gurunya, Habib Utsman bin Muhammad Banahsan,
Namun karena situasi dan kondisi yang tidak kondusif, Guru Marzuqi memutuskan pindah ke
Kampung Muara pada tahun 1921 dan mendirikan madrasah dan Masjid Al-Marzuqiyah. Dari sinilah
beliau menerima santri dari Jakarta dan sekitarnya.Di antara murid-murid beliau adalah KH. Abdullah
Syafi`i (pendiri perguruan Asy-Syafi’iyyah), KH. Thohir Rohili (pendiri perguruan Ath-
Thahiriyyah), KH. Noer Alie (pahlawan nasional, pendiri perguruan At-Taqwa, Bekasi), KH. Muchtar
Thabrani (pendiri YPI Annuur, Bekasi), dan masih banyak lagi.Selain berdakwah dan mengajar, Guru
Marzuqi juga turut andil dalam pendirian NU di Batavia. Guru Marzuqi diminta langsung oleh
Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan NU di Batavia, bahkan Guru Marzuqi
menjabat sebagai Rais Syuriyah hingga wafat beliau.
Lokasi Makam
Guru Marzuqi wafat pada Jumat, 25 Rajab 1352 H pukul 06.15 WIB. Jenazah beliau dishalatkan dan
diimami oleh Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsy Kwitang. Makam Guru Marzuqi berada di Jl.
Kesadaran Raya No.18-26, RT.2/RW.1, Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur,
berdekatan dengan Komplek Masjid Jami’ Al-Marzuqiyyah.
Profil
KH. Muchtar Thabrani lahir pada tahun 1901, di Kaliabang Nangka, Bekasi (sekarang Bekasi Utara).
Beliau merupakan putra Thabrani.
Guru-guru beliau di antaranya:
1. Guru Mughni
2. Guru Marzuqi Cipinang Muara
Untuk kelanjutannya tentang Profil beliau silahkan baca di Biografi KH. Muchtar Thabrani
Lokasi Makam
Makam KH. Muchtar Tabrani berada di dalam pesantren Annur Bekasi letaknya di samping masjid
Annur Bekasi. Untuk menuju lokasi makam KH. Muchtar Thabrani lokasi cukup mudah dan jalannya
strategis karena berada tepat di jalan raya KH. Muhtar Tabrani No.32, RT.004/RW.004, Perwira,
Bekasi Utara, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Haul
Sedangkan haulnya diadakan tiap tahun diadakan setiap tahun sekali pada bulan Sya'ban. Haul
dilaksanakan di pondok pesantren An-Nur, Kaliabang Nangka, Bekasi. Kegiatan haul dihadiri semua
elemen masyarakat Kaliabang Nangka, para ulama, tokoh-tokoh masyarakat, para alumni pesantren
yang tersebar seluruh daerah.
Fadilah
Makam KH. Muchtar Thabrani banyak dikunjungi para peziarah. Tak hanya datang dari wilayah
Bekasi saja. Banyak peziarah yang datang dari luar kota dan bahkan dari luar Jawa yang makamnya
berada di dalam komplek pesantren An-Nur Bekasi.
KH. Tubagus Muhammad Falak (Abah Falak) beliau adalah seorang ulama kharismatik nama kecil
beliau adalah Tubagus Muhammad, tetapi ada juga yang mengatakan nama kecil beliau adalah Abdul
Halim kemudian diubah menjadi Abdul Haris. Sedangkan gelar falak itu sendiri diberikan oleh
gurunya Syekh Sayyid Afandi Turqi, pada saat beliau mempelajari ilmu khasaf dan falak
(perbintangan-red) di Mekkah.
Sejak kecil beliau diasuh oleh ayahandanya KH. Tubagus Abbas dan ibundanya Ratu Quraysin.
Ayahnya sendiri adalah keturunan keluarga kesultanan Banten, silsilah dari Syaikh Syarif
Hidayatullah, sedangkan ibunya ratu Quraysin merupakan keturunan dari Sultan Banten.
Profil
KH. Tubagus Muhammad Falak atau yang kerap disapa dengan panggilan Abah Falak lahir di Banten
pada tahun 1842 masehi, tepatnya di Pondok Pesantren Sabi, Desa Purbasari Kabupaten Pandeglang
Banten.
Abah Falak memulai pendidikannya dengan belajar baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama
pemantapan Aqidah Islam langsung kepada ayahnya, KH. Tubagus Abbas. Saking cintanya pada
ilmu agama beliau sampai pernah mengembara di usia yang sangat muda yaitu 15 tahun. Ia berguru
pada ulama Banten dan Cirebon untuk menuntut dan memperdalam ilmunya.
Pada usia 17 tahun tepatnya tahun 1857 untuk pertama kalinya beliau berangkat ke tanah suci untuk
menimba ilmu selama kurang lebih 21 tahun. Beberapa bidang keilmuan yang beliau pelajari dan
perdalam hingga ke Timur Tengah antara lain
1. Ilmu Tafsir Al-Qur’an (dari Syekh Nawawi Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany)
2. Ilmu Hadits (dari Sayyid Amin Quthbi), ilmu Tasawwuf (dari Sayyid Abdullah Jawawi)
3. Ilmu Falak (dari Affandi Turki), ilmu Fiqh (dari Sayyid Ahmad Habsy, Sayyid Baarum,
Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-Falimbany)
4. Ilmu Hikmat dan ilmu (dari Syekh Umar Bajened-Makkah, Syekh Abdul Karim dan Syekh
Ahmad Jaha-Banten) dan beberapa ulama besar lainnya antara lain Syekh Ali Jabra, Staikh
Abdul Fatah Al-Yamany, Syekh Abdul Rauf Al-Yamany, Sayyid Yahya Al-Yamany, Syekh
Zaini Dahlan-Makkah, dan ulama-ulama besar dari Banten diantaranya, Syekh Salman, Syekh
Soleh Sonding, Syekh Sofyan dan Syekh Sohib Kadu Pinang.
Selama berada di Mekkah beliau tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syekh Abdul Karim
beliau mendapatkan kedalaman ilmu thorekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang
dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu,
Abah Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah
wa Naqsyabandiyah.
Guru-guru Beliau:
Untuk kelanjutannya tentang Profil beliau silahkan baca di Biografi KH. Tubagus Muhammad Falak
Lokasi Makam
Abah Falak wafat pada tanggal 19 Juli 1972 M atau 8 Jumadil Akhir 1392 H, yang di usianya yang ke
130 tahun. Beliau dimakamkan di areal komplek Pondok Pesantren Al Falak yang tidak jauh dari
Masjid Al Falak.
Haul
Haul diperingati setiap tahun, haul beliau jatuh pada bulan Jumadil Akhir. Mengenai tanggal Haul
pihak keluarga pesantren yang akan memberitahu acara haul diperingati.
Ziarah Makam KH. Hasan Mustofa ( Abuya Cilember ), Kiai
Multitalenta dari Cilember
KH. Hasan Mustofa ( Abuya Cilember ) beliau adalah sosok kiai multitalenta dari Cilember, Bogor,
karena berbagai keilmuannya dari nahwu, Balaghah, falakiyah, dan tasawuf. Gelar Abuya Cilember
adalah gelar yang diberi dari masyarakat karena keilmuan beliau cukup tinggi, keramah tamahan
beliau, dan sosok beliau yang ditokohkan karena beliau adalah ulama yang terkenal dari Cilember,
Bogor.KH. Hasan Mustofa adalah pendiri dan pengasuh dari pesantren Darul Huda Cilember, Bogor.
Pesantren Darul Huda Cilember Bogor terkenal mencetak santri-santri berkualitas yang banyak
menjadi ulama, pejabat, dan pengusaha.
Profil
KH. Hasan Mustofa lahir pada tahun 1890 di Bogor, Jawa Barat. Ayah beliau adalah Abah Saenan,
seorang pengrajin handmade (kerajinan tangan) yang berasal dari Ciamis, sedangkan ibu beliau adalah
orang Banten bernama Hajjah Husniyah binti Kiai Haji Mansur.
KH. Hasan Mustofa sejak muda menuntut ilmu di beberapa tempat pesantren di antaranya:
1. Pesantren Bojong Ciawi Mama Idris
2. Pesantren Cinengah
3. Pesantren Cibadak Cipanas di Mama KH.Muhammad Yunus.
4. Pesantren Cibangban Garut
5. Pesantren Cihapit Bandung
6. Pesantren Gentur
7. Pesantren Sempur
Untuk kelanjutannya tentang Profil beliau silahkan baca di Biografi KH. Hasan Mustofa ( Abuya
Cilember )
Lokasi Makam
Lokasi makam beliau di berada di komplek pesantren Darul Huda Cilember Bogor, tepatnya di
samping masjid Jami' Darul Huda, makam beliau berada diluar dipagari teralis besi.
Haul
Haul beliau diperingati setiap tahun pada bulan Dzulqaidah yang diacarakan di pesantren Darul Huda
Cilember, Bogor. Mengenai tanggal haul pihak keluarga pesantren yang akan memberitahu acara haul
diperingati.
Ziarah Makam KH. Abdul Mughni bin Sanusi Kuningan (Guru
Mughni)
Hubungan kedua ulama itu berlanjut hingga kekeluargaan melalui jalur pernikahan. Putra Guru
Mughni, KH. Ali Sibromalisi menikah dengan Hj. Syaikhoh, putri Guru Marzuqi. Melalui jalur inilah
anak cucu mereka berdua bisa tetap bersilaturahmi dan bertukar ilmu.Pada tahun 1926, Guru Mughni
mendirikan Madrasah Sa’adatud Darain yang merupakan satu-satunya madrasah di daerah Kuningan,
Jakarta Selatan. Setelah seluruh pembangunan rampung, Guru Mughni lalu menyerahkan pengelolaan
madrasah kepada kedua puteranya KH. Syahrowardi dan KH. Rahmatullah dan dibantu menantunya,
H. Mahfudz dan H.M Toha.Di antara murid-murid Guru Mughni yang melanjutkan perjuangan
dakwah beliau adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH Hamim dari Lenteng Agung, Guru
Na’im dari Cipete, KH Hamim dan KH Rasain juga dari Cipete, Guru Ilyas dari Karet dan Guru
Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH Ahmad Junaidi Menteng Atas).Selama hidupnya,
Guru Mughni hanya menulis dua kitab, di antaranya adalah Taudhih al-Dala’il fi Tarjamati Hadist al-
Syamil dan Naqlah Min ‘Ibarat al-Ulama Nasihat Mawa’izah li Awlad al-Zaman Fi Adab Qira’at al-
Qur’an wa Ta’limih.
Lokasi Makam
Guru Mughni wafat pada Kamis, 5 Jumadil Awal 1352 H/1935 M. Jenazah beliau dishalatkan dan
diimami oleh Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsy Kwitang selepas shalat Jumat. Makam Guru
Mughni berada di pekuburan keluarga di Mushola Al-Mizan/Langgar Tanjung, Jalan Mega Kuningan
Barat Blok E. 33, Kuningan Timur, Jakarta Selatan, 500 meter dari Hotel JW Marriott, persisnya di
depan kantor Kedutaan Besar Pakistan.
Ziarah Makam Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi
(Habib Ali Kwitang)
Setelah menimba ilmu di Hadramaut, Habib Ali melanjutkan pendidikannya di tanah suci Mekkah.
Beliau belajar kepada banyak guru, di antaranya ialah Mufti Makkah Al-Imam Muhammad bin Husin
Alhabsyi, Sayid Bakri Syaththa’, As-Syeikh Muhammad Said Babsail, As-Syeikh Umar Hamdan, dan
lain-lain.Ternyata, semangat beliau dalam belajar tak hanya berhenti di Hadramaut dan Mekkah.
Sekembalinya Habib Ali dari dua tempat itu, beliau masih tetap belajar kepada guru-guru di
Nusantara, di antaranya ialah Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad (Tegal), Al-Habib
Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Al-Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Empang, Bogor),
Al-Habib Ahmad bin Muhsin Alhaddar (Bangil), dan masih banyak lagi yang lainnya.Selain belajar
dan menimba ilmu, Habib Ali Al-Habsyi juga aktif dalam berdakwah. Terbukti banyak murid-murid
beliau menjadi ulama besar dan juga penyebar agama Allah. di antara murid-murid beliau adalah Dr.
KH. Idham Chalid, Guru Tohir Rohili Kampung Melayu, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Habib
Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Bukit Duri Tebet (Sayyidil Walid), KH. ‘Abdullah Syafi’i (pendiri
majlis taklim Assyafi'iyah, Guru Marzuqi Cipinang Muara, dan masih banyak lagi.Sebelum wafat,
Habib Ali Al-Habsyi beberapa kitab yang beliau tulis selama menimba ilmu ke guru-guru di
Hadramaut, Mekkah, dan Nusantara. Di antara kitab-kitabnya adalah Al-Azhar Al-Wardiyyah fi As-
Shuurah An-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi As-Shalawat ala Khair Al-Bariyyah.
Lokasi Makam
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang wafat pada Ahad, 20 Rajab 1388 H/13 Oktober
1968. Makam beliau terletak di dalam Masjid Al-Riyadh, masjid yang beliau dirikan dan gunakan
sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jakarta. Di masjid itu pula Habib Ali Kwitang mendidik
serta mengajar para santri-santri. Sebagian masyarakat sempat keliru dalam menyebutkan makam
Habib Ali Kwitang, pasalnya tak jauh dari Masjid Al-Riyadh, tepatnya di belakang Taman Ismail
Marzuki (TIM) terdapat makam sang ayah, Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi, atau
popular dengan nama Habib Cikini.
Setelah menginjak usia 16 tahun beliau serahkan kepada Habib Utsman bin Muhammad Banahsan
untuk belajar. Saat menimba ilmu kepada Habib Utsman, saat itulah nampak kelebihan dari diri Guru
Marzuqi. Habib Utsman meilhat Guru Marzuqi sebagai sosok yang genius dan memiliki daya ingat
yang tajam dalam menghafal. Oleh karena itu, Habib Utsman mengarahkan Guru Marzuqi untuk
melanjutkan pendidikannya di Mekkah dan berguru kepada para ulama Mekkah. Di antara guru-guru
beliau di Mekkah adalah Syekh Usman al-Sarawaqi, Syekh Muhammad Ali al-Maliki, Syekh
Muhammad Amin, Sayyid Ahmad Ridwan, Syekh Hasbullah al-Misri, Syekh Mahfuz al-Termasi,
Syekh Salih Bafadhal, Syekh Abdul Karim, Syekh Muhammad Sa’id al-Yamani, Syekh Umar bin
Abu Bakar Bajunayd, Syekh Mukhtar bin ‘Atarid, Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh al-Sayyid
Muhammad Yasin al-Basyumi, Syekh Marzuqi al-Bantani, Syekh Umar Sumbawa, Syekh Umar
Syatha, dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Setelah 7 tahun di Mekkah, Guru Marzuqi mendapat
sepucuk surat dari Habib Utsman yang meminta pulang ke tanah air. Di Batavia, Guru Marzuqi
diminta mengajar di Masjid Jami’ al-Anwar Rawa Bangke (Rawa Bunga) Jatinegara, menggantikan
gurunya, Habib Utsman bin Muhammad Banahsan. Namun, karena situasi dan kondisi yang tidak
kondusif, Guru Marzuqi memutuskan pindah ke Kampung Muara pada tahun 1921 dan mendirikan
madrasah dan Masjid Al-Marzuqiyah. Dari sinilah beliau menerima santri dari Jakarta dan sekitarnya.
Di antara murid-murid beliau adalah KH. Abdullah Syafi`i (pendiri perguruan Asy-Syafi’iyyah), KH.
Thohir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thahiriyyah), KH. Noer Alie (pahlawan nasional, pendiri
perguruan At-Taqwa, Bekasi), KH. Muchtar Thabrani (pendiri YPI Annuur, Bekasi), dan masih
banyak lagi. Selain berdakwah dan mengajar, Guru Marzuqi juga turut andil dalam pendirian NU di
Batavia. Guru Marzuqi diminta langsung oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan
NU di Batavia, bahkan Guru Marzuqi menjabat sebagai Rais Syuriyah hingga wafat beliau.
Lokasi Makam
Guru Marzuqi wafat pada Jumat, 25 Rajab 1352 H pukul 06.15 WIB. Jenazah beliau dishalatkan dan
diimami oleh Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsy Kwitang. Makam Guru Marzuqi berada di Jl.
Kesadaran Raya No.18-26, RT.2/RW.1, Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur,
berdekatan dengan Komplek Masjid Jami’ Al-Marzuqiyyah.
Lokasi Makam
KH. Abdullah Syafi’i Al-Batawie wafat pada Selasa, 18 Dzulhijjah 1405 H/3 September 1985,
kepergian beliau meninggalkan luka mendalam bagi umat Islam Indonesia saat itu. MUI mengajak
seluruh umat Islam Indonesia untuk melaksanakan Shalat Ghaib atas kepergian KH. Abdullah Syafi’i
Al-Batawie. Makam beliau terletak di komplek Pesantren Putra As-Syafi’iyah Jatiwaringin, Pondok
Gede, Jakarta Timur. Makam beliau selalu ramai oleh jamaah, khususnya saat momoen-momen
tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan atau menjelang Haul beliau.
Lokasi Makam
KH Noer Muhammad Iskandar., SQ wafat pada 13 Desember 2020 pada pukul 13.41. KH Noer
Iskandar wafat bukan dikarenakan Covid-19, namun dikarenakan penyakit lain yang beliau derita. KH
Noer Iskandar dimakamkan di Komplek Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya, yang beralamatkan
Jl. Panjang No. 6C, Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Lokasi Makam
KH Enceng Shobirin wafat pada Kamis, 19 November 2020 di RS Pusat Pertamina pada pukul 02.38
WIB. Beliau dimakamkan di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Arjuna di Jl. Raya Pasir Putih
No.18 RT.05/RW.03, Pasir Putih, Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat.
Ketika dewasa, beliau pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, dalam mimpinya
Rasulullah menyuruhnya untuk pergi ke Pulau Jawa menyebarkan agama Islam. Akhirnya, setelah
Habib Kuncung berziarah ke makam Nabi Muhammad di Madinah, beliau langsung pergi ke Pulau
Jawa sebagaimana perintah Nabi Muhammad SAW. Sejak kecil, beliau mendapatkan Pendidikan
agama dari sang ayah, Al habib Alwi Al Haddad. Selanjutnya beliau berguru kepada Al habib Ali bin
Husein Al Hadad Hadramaut, Al Habib Abdurrahman bin Abdullah Al Habsyi dan kepada Habib
Keramat Empang Bogor, Al Habib Abdullah bin Mukhsin Al Attas. Saat berguru kepada Habib
Keramat Empang Bogor pula beliau mendapatkan julukan “Kuncung”, dikarenakan kebiasaan beliau
yang sering memakai topi yang menjulang ke atas (kuncung). Beliau juga sering hadir di Majelis Ilmu
yang diadakan di kediaman Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Kwitang).
Lokasi Makam
Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad wafat pada 29 Sya’ban pada 1345 H pada usia 93 tahun.
Mulanya jenazah Habib Kuncung hendak dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Habib Toha
bin Ja'far Al-Haddad. Namun setelah dishalatkan di Masjid At-Taubah dan hendak dimasukkan ke
liang lahat, jenazah Habib Kuncung tak bisa diangkat hingga 10 orang.
Akhirnya setelah Habib Toha shalat sunnah bisyaroh ternyata shohibul maqom (jenazah Habib
Kuncung) ingin dimakamkan di pemakaman keluarga Habib Abdulloh bin Ja'far Al-Haddad.
Makamnya terletak di samping Masjid At-Taubah di Kawasan Kalibata, Jl. Rawajati Timur II No.69,
RT.3/RW.8, Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan. Makam beliau berada di antara makam keluarga
Habib Al Haddad.
Sekilas Biografi
Habib Munzir bin Fuad al-Musawa atau lebih dikenal dengan Munzir Al-Musawa dilahirkan di
Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 23 Februari 1973 adalah dikenal sebagai pimpinan Majelis Rasulullah
SAW yang dakwahnya menjangkau berbagai wilayah di Indonesia, beberapa wilayah nusantara dan
dunia. Seusai menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA), Habib Munzir mulai mendalami Ilmu
Syariat Islam di Ma'had Assafaqah, yang ketika itu di pimpin Al-Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit
Duri, Tebet, Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus Bahasa Arab di LPBA Assalafy Jakarta Timur,
lalu memperdalam lagi Syari'ah Islamiyah di Ma'had al-Khairat, Bekasi Timur. Keilmuan Syariahnya
kemudian lebih didalami di Ma'had Dar-al Musthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman, selama empat
tahun, disana Habib Munzir mendalami Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir Al-Qur'an, Ilmu Hadits, Ilmu Sejarah,
Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf, Mahabbaturrasul SAW, Ilmu Dakwah, dan berbagai Ilmu Syari'ah
lainnya, di bawah bimbingan langsung Habib Umar bin Hafidz. Habib Munzir kembali ke Indonesia
pada tahun 1998, dan mulai berdakwah sendiri di Cipanas. Hasil didikan gurunya yang melarang ikut
politik praktis membuatnya mendirikan Majelis Rasulullah, sarana dakwahnya dengan wajah yang
ramah. Dakwahnya yang menyentuh berbagai kalangan menjadikan ia banyak dicintai oleh Ummat
Islam terutama di wilayah Jabodetabek dan di Nusantara. Munzir adalah murid yang begitu disayangi
oleh gurunya Habib Umar bin Hafidz, sedangkan kalangan pemuda muslim yang mengenalnya tidak
jarang menjadikan ia sebagai panutan ataupun idola dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dakwahnya di Indonesia juga tercatat sering di hadiri tokoh-tokoh nasional seperti Presiden Republik
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Suryadharma Ali , Fadel Muhammad, Fauzi Bowo dan lain-
lain. Dakwahnya Habib Munzir semakin meluas hingga jutaan jamaah yang menyentuh semua
kalangan dan berbagai wilayah, mulai dari Jabodetabek, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, Mataram, kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, hingga sampai ke Jepang.
Dipanggil Ilahi
Di tengah antusiasme sebagian masyarakat Muslim Indonesia yang senantiasa menantikan majelis-
majelis taklimnya, Habib Munzir Al-Musawa jatuh sakit dan sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Pada 15 September 2013 jam 15:30 WIB, habib yang menempuh dakwah
ramah ini mengembuskan napasnya yang terakhir. Diiringi ribuan jemaahnya, almarhum
dikebumikan di kompleks makam keluarga Habib Abdullah bin Ja’far al-Hadad (TPU Pemakaman
Habib Kuncung) di Jalan Rawajati Timur II, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta
Selatan.
Sekilas Biografi
Makam KH Muhajirin
Makam KH Muhajirin berada di kampus II Pesantren An Nida Al Islamy di Kampung Mede, Kota
Bekasi, makamnya terkurung pagar besi. Diantara bangunan sekolah dan laboratorium, itulah Makam
ulama besar, KH Muhajirin, pendiri Pesantren An Nidal Al Islamy, dan pengarang 34 judul kitab
berbahasa Arab. Berbeda dengan makam ulama pada umumnya, khususnya ulama NU, makam KH
Muhajirin ini memang sangat sederhana dan tidak memberikan kesan sebagai tempat ziarah.
Wisata Ziarah dan Berdoa di Makam KH. Ma’mun Nawawi
Bekasi
Sekilas Biografi
K.H. Raden Ma’mun Nawawiadalah seorang ulama ternama kelahiran Cibogo, Cibarusah, Bekasi.
Kiai Ma’mun Nawawi akrab dengan panggilan Mama’ Cibogo. Lahir pada hari Kamis bulan Jumadil
Akhir 1334 H/1915 M. Beliau adalah pendiri dan pengasuh pesantren Al-Baqiyatussolihat Bekasi.
Pendidikan
KH. Ma’mun Nawawi mulai mondok di pesantren Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di Plered,
Sempur, Bandung.
Lalu beliau melanjutkan ke pesantren Jawa timur yaitu Pesantren Tebu Ireng dibawah asuhannyaKH.
Hasyim Asy’ariJombang.
Berlanjut Kemudian KH. Ma’mun Nawawi nyantri di Pesantren Syekh Ihsan Jampes (seorang
Pengarang Kitab Siraj al-Thalibin) di Kediri.
KH. Ma’mun Nawawi melanjutkan studinya ke Mekkah selama 2 tahun. Selama di Mekkah, beliau
berguru pada lebih dari 13 muallif (pengarang kitab), diantaranya adalah al-Muhaddits as-Sayyid
Alawi al-Maliki, Mama KH. Mukhtar Ath Tharid, dan syaikh ‘Ali al Maliki.
Selesai belajar di Mekkah, beliau belajar lagi ke pesantren yang diasuh Syaikh KH. Manshur bin
Abdul Hamid al-Batawi, pengarang kitab Sullam an-Nayirain, di Jembatan Lima, Jakarta.
Mendirikan Pesantren
KH. Ma’mun Nawawi mendirikan Pondok pesantren Al-Baqiyatussolihat pada tahun 1938. Pada masa
jaya-jayanya pesantren Al-Baqiyatussolihat pernah menampung sampai 1000 santri dalam satu
angkatan. Pesantren Al-Baqiyatussolihat terkenal sebagai Pesantren Ilmu Falak (Hisab).
Jasa Perjuangan
Pada masa perang kemerdekaan KH. R. Ma’mun Nawawi pernah mengadakan pelatihan militer santri
Hizbullah di Cibarusah. Para santri itu kemudian dikirim ke Bekasi untuk menghadapi tentara sekutu
secara frontal di bawah komandan yang juga teman seperjuangannya yang dikenal sebagai macan dari
Bekasi, yaitu KH. Nur Ali.
Beliau juga meninggalkan karya-karya tulis di antaranya At-Taisir Fi Ilmi Falak, Bahjatul
Wudhuh,Manasik Haji, Khutbah JUm’at,Kasyful Humum, Majmu’atu da’wat, Risalah Zakat, syair
qiyamat, Risalah Syurbuddukhon dll.
KH. Ma’mun Nawawi Nawawi wafat pada malam Jum’at 26 Muharram 1395 H pukul 01.15 WIB
yang bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1975 M di Cibogo pada usia 63 tahun (1912-1975).
Makam KH. Ma’mun Nawawi Bekasi
Beliau merupakan sang pemikir dan pejuang yang gigih menentang kekuasaan Belanda hingga ia
bersama sejumlah Kiai lainnya seperti KH. Wahid Hasyim, Moch. Yamin dan Kyai lainnya yang
terlibat dalam merumuskan berdirinya negeri ini.
KH. Ahmad Sanusi dilahirkan pada 12 Muharram 1306 H bertepatan dengan tanggal 18 September
1888 M di Kampung Cantayan Desa Cantayan Kecematan Cantayan Kabupaten Sukabumi (daerah
tersebut dulunya bernama Kampung Cantayan Desa Cantayan Onderdistrik Cikembar, Distrik
Cibadak, Afdeeling Sukabumi).
KH. Ahmad Sanusi mulai belajar serius mendalami ilmu Agama Islam saat berusia 16 tahun, ia
bertualang menambah pengalaman dan memperluas pergaulan dengan masyarakat, menuntut ilmu di
berbagai pesantren di Jawa Barat seperti:
Setelah menikah dengan Siti Juwariyah putri Haji Affandi dari Kebon Pedes, beberapa bulan
kemudian pada tahun 1910 M Ahmad Sanusi beserta istri berangkat ke Mekkah al-Mukarromah untuk
menunaikan ibadah haji, setelah menunaikan ibadah haji, mereka bermukim di Mekkah al-
Mukarromah selama 5 tahun untuk memperdalam pengetahuan Agama Islam.
Pada tahun 1934, Ahmad Sanusi mendirikan Pondok Pesantren Gunung Puyuh yang lokasinya berada
di belakang rumahnya, dalam perkembangan berikutnya Pondok Pesantren tersebut di beri nama
Pergoeroean Syamsoel ‘Oeloem.
Beliau meninggal tahun 1950 di Sukabumi pada tanggal 31 Juli 1950, dan dimakamkan kompleks
makam KH Ahmad Sanusi Belfast, Kecamatan Gunungpuyuh
Jasa-jasanya
Beliau pernah menjadi anggota BPUPKI Pemikirannya tentang konsep bentuk Negara dan wilayah
Negara, hal ini terungkap dalam sidang BPUPKI pada tanggal 10-11 Juli 1945.
Makam KH Ahmad Sanusi terletak di kompleks makam KH Ahmad Sanusi Belfast, Kecamatan
Gunungpuyuh, Sukabumi, Jawa Barat.
KH. Ali Mustafa Yaqub adalah sosok kiai cerdas, tegas, dan berpenampilan sahaja, kemampuan
hafalan hadis patut diperhitungkan hingga beliau dipercaya di anggota Komisi Fatwa MUI Pusat,
selain itu beliau juga memangku jabatan di Rais Syariyah PBNU periode 2010-2015 dan mantan
Imam Besar Masjid Istiqlal.
Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. yang juga pengasuh di pesantren Darus Sunnah, Tangerang
Selatan, merupakan sosok kelahiran desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah
pada tanggal 2 Maret tahun 1952. Ayah beliau bernama Yaqub dan Ibu beliau bernama Zulaikha.
Beliau memiliki tujuh saudara, dari tujuh bersaudara tersebut, satu dari kakaknya yang bernama
Ahmad Dahlan Nuri Yaqub mengikuti jejak ayahnya sama seperti beliau, dan sekarang kakaknya
sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darus Salam di Batang, Jawa Tengah.
Setelah belajar di SD dan SMP di desa tempat kelahirannya, beliau sebenarnya ingin melanjutkan ke
pendidikan umum. Namun ayah beliau memasukkan beliau ke pesantren. Tepatnya di pesantren
Seblak, Jombang, sampai tingkat Tsanawiyah. Yakni mulai tahun 1966 hingga 1969. Kemudian pada
tahun 1969 hingga 1972 beliau melanjutkan nyantri-nya di pesantren Tebuireng Jombang yang
lokasinya tidak seberapa jauh dari pondok Seblak. Bahkan beliau sempat menimba ilmu di program
studi syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari Jombang dan selesai pada tahun 1975.
Tahun 1976 ia menuntut ilmu lagi di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud,
Riyadh, Saudi Arabia, sampai tamat dengan mendapatkan ijazah license, 1980. Kemudian masih di
kota yang sama ia melanjutkan lagi di Universitas King Saud, Jurusan Tafsir dan Hadis, sampai tamat
dengan memperoleh ijazah Master, 1985. Tahun itu juga ia pulang ke tanah air dan kini mengajar di
Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Institut Studi Ilmu al-Quran (ISIQ/PTIQ), Pengajian Tinggi Islam Masjid
Istiqlal, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah,
dan IAIN Syarif Hidayatullah.
Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh yang aktif menulis ini, kini juga
menjadi Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Muaballighin, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua
STIDA al-Hamidiyah Jakarta, dan sejak Ramadhan 1415 H/Februari 1995 ia diamanati untuk menjadi
Pengasuh/Pelaksana Harian Pesantren al-Hamidiyah Depok, setelah pendirinya KH. Achmad Sjaichu
wafat 4 Januari 1995. Terakhir ia didaulat oleh kawan-kawannya untuk menjadi Ketua Lembaga
Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi).
Beliau melanjutkan jenjang doktoralnya pada tahun 2006 di universitas Nizamia Hyderabad India di
bawah bimbingan M. Hasan Hitou, seorang Guru Besar Fiqih Islam dan Usul Fiqh universitas Kuwait
serta Direktur lembaga studi Islam International di Frankfurt Jerman pada pertengahan tahun 2007.
Bahkan Kiai Ali merupakan salah satu orang yang mendapatkan gelar profesor sebelum lulus ujian
disertasinya
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/67694/biografi-singkat-kh-ali-mustafa-yaqub
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Lokasi Makam KH. Ali Mustafa Yaqub
Makam KH Ali Mustafa Yaqub berada di belakang Masjid Muniroh Salamah, Madrasah Darus-
Sunnah, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Sekilas Sejarah
Mbah Priok lahir di Palembang. Namun Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad Al-Hadad
adalah keturunan Arab yang berasal dari Hadramaut Yaman yang terletak di pantai selatan
semenanjung Arab.
Antara Palembang dan Hadramaut memang ada latar belakang sejarahnya. Menurut penelitian Van
den Berg, sebelum abad ke-19, masuknya orang-orang Hadramaut sebagian besar melalui Aceh
sebagai pintu pertama, namun akhirnya lebih memilih menetap di pelabuhan berikutnya, yaitu
Palembang.
Sebabnya, karena umumnya ulama Hadramaut akhirnya berhasil mendapat tempat yang baik di
Kesultanan Palembang. Jalinan baik antara kesultanan dengan para ulama, habib dan wali asal
Hadramaut di Yaman, akhirnya membina ikatan batin yang kuat antara Palembang dan Hadramaut.
Habib Hasan disertai para pengikutnya kemudian berlayar ke Jawa tahun 1756 untuk menyebarkan
dakwah Islam, dalam perjalanannya, perahu layar Habib Hasan lalu dibom oleh Belanda. Bom itu
meleset, tapi kemudian ombak besar menggulung kapal yang ditumpangi sang Habib. Akibat ombak
besar, perahu tersebut tenggelam, mengakibatkan wafatnya Habib Hasan bin Muhammad Al-Hadad
yang dijuluki Mbah Priok. Nama lengkapnya Al Imam Al`Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin
Muhammad Al Haddad RA.Jasadnya kemudian ditemukan penduduk. Di samping jasadnya
ditemukan periuk nasi. Setelah dimakamkan, periuk nasi itu serta dayung perahu kemudian diletakkan
di makamnya, sekaligus sebagai nisan yang menandai makamnya.
Mitos berbau mistik yang dihubungkan dengan periuk nasi itu, kemudian berkembang menjadi kisah
turun temurun.
Misalnya periuk nasi itu seakan mengeluarkan cahaya, atau nampak seakan-akan membesar, dan
mitos lainnya. Mitos tentang periuk ini begitu melekat, sehingga penduduk menamakannya Mbah
Priok. Terilhami dari kata periuk nasi. Dari kata ini, daerah di sekitarnya kemudian dinamakan
Tanjung Priok.
Di balik segala mitos itu, yang tidak dilupakan masyarakat, yaitu Habib Hasan bin Muhammad Al-
Hadad atau Mbah Priok kemudian dihormati sebagai tokoh yang gugur karena tujuan mulia, yaitu
ingin menyiarkan dakwah kebenaran dan kebaikan melalui Islam.
Lokasi Wisata Ziarah
Makam Mbah Priok kawasan Koja, dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara. Jl. Jampea
No.6, RW.1, Koja, Tj. Priok, Kota Jakarta Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Makam Mbah Priok menjadi salah satu makam yang ramai dikunjungi. Makam yang terletak di
daerah Koja, Jakarta Utara ini memiliki dua bagian, depan dan belakang, dengan luas mencapai 3,4
hektar. Sarana di makam ini cukup lengkap, mulai dari kamar mandi/toilet, tempat ziarah yang luas
dan bersih, tempat wudlu dan masjid yang dekat serta area parkir yang cukup luas. Dan tentu saja
peziarah bisa mencari warung makan dengan mudah
Wisata Religi dan Bertawassul di Makam Habib Husein Luar
Batang Jakut
Sekilas Sejarah
Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah Alaydrus atau lebih dikenal dengan 'Habib Husein'. Dia
merupakan seorang Arab Hadramaut yang hijrah ke tanah Jawa melalui Pelabuhan Sunda Kelapa pada
1736. Silsilahnya tersambung kepada Nabi Muhammad SAW.
Masjid Jami Keramat Luar Batang dibangun Habib Husein pada Abad ke-18. Habib Husein sendiri
dikenal sebagai salah seorang tokoh penentang Kolonial Belanda di kawasan Sunda Kelapa. Karena
sikapnya tersebut, ia sempat merasakan kehidupan penjara. Habib Husein wafat pada 24 Juni 1756
dalam usia yang relatif masih muda, yaitu kurang dari empat puluh tahun.
Nama masjid ini diberikan sesuai dengan julukan Habib Husein, yaitu Habib Luar Batang. Ia dijuluki
demikian karena konon dahulu ketika Habib Husein meninggal dan hendak dikuburkan di sekitar
Tanah Abang, tiba-tiba jenazahnya sudah tidak ada di dalam "kurung batang". Hal tersebut
berlangsung sampai tiga kali. Akhirnya para jama'ah kala itu bermufakat untuk memakamkan dia di
tempatnya sekarang ini. Jadi maksudnya, keluar dari "kurung batang". Masjid Jami Keramat Luar
Batang sering didatangi peziarah dari berbagai pelosok tanah air, karena di dalam kompleks masjid itu
terdapat ruang makam keramat Al-Habib Husein bin Abubakar Alaydrus dan asistennya, seorang
keturunan Tionghoa bernama Habib Abdul Kadir.
Lokasi Wisata Ziarah
Komplek makam Habib Husein Luar Batang terletak di Jalan Luar Batang, Gang V No. 1, Kelurahan
Penjaringan, Jakarta Utara
Sekilas Sejarah
Sayyid Utsman lahir di Kampung Arab (Pekojan) Jakarta Barat pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1238
H atau 1822 M dan kemudian menetap di Petamburan Jakarta Pusat.
Nama lengkap beliau adalah Al-Habib Utsman bin Yahya bin Aqil bin Syeikh bin Abdurahman bin
Aqil bin Ahmad bin Yahya. Ayahnya adalah Abdullah bin Aqil bin Syeikh bin Abdurahman bin Aqil
bin Ahmad bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syekh Abdurahman Al-Misri.
Habib Utsman diangkat menjadi mufti setelah 22 tahun menimba ilmu di lebih 10 negara. Ia kembali
ke Betawi pada 1279 H bulan Rabiul Awal. Beliau menjadi mufti di Indonesia pada pertengahan abad
ke-19. Untuk diketahui, mufti adalah seorang ulama yang mengeluarkan fatwa sebagai jawaban atas
persoalan umat berkaitan dengan hukum Islam.
Sebagai seorang mufti, Habib Utsman dikenal sebagai ulama berpengaruh. Beliau sangat produktif
menulis kitab menyangkut berbagai masalah agama. Tercatat sekitar 100 kitab telah ditulisnya.
Kitabnya dalam huruf ‘Arab gundul’ masih bisa dilihat di Gedung Arsip Nasional, Salemba, Jakarta
Pusat. Sifat Doe Poeloeh dan Irsyadul Anam adalah dua di antara sekian banyak kitab karangannya
yang masih menjadi bacaan di majelis-majelis taklim di Jakarta dan sekitarnya.
Lokasi
Makam Habib Utsman Bin Yahya berada di Kompleks Masjid Abidin, Sawah Barat, Pondok Bambu,
Jakarta Timur.
Al Habib Abdurrahman terlahir dari keluarga besar al-Habsyi pada cabang keluarga al-Hadi bin
Ahmad Shahib Syi’ib di Semarang. Nasab lengkapnya adalah Habib Abdurrahman bin Abdullah bin
Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad Shahib
Syi’ib bin Muhammad al-Ashghar bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi.
Al Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Habib Cikini
adalah salah satu ulama generasi kedua dari garis keturunan keluarga al-Habsyi yang telah menetap di
negeri ini.
Kakeknya yang bernama Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi adalah yang pertama kali datang
dari Hadhramaut dan menetap di Pontianak dan kemudian menikah dengan seorang putri dari
keluarga Kesultanan Pontianak. Kakeknya ini pun ikut mendirikan Kesultanan Hasyimiyah Pontianak
bersama keluarga al-Qadri.
Habib Abdurrahman sering juga disebut sebagai “Putra Semarang” karena selain pernah menetap di
Pontianak, Habib Abdullah bin Muhammad al-Habsyi (ayah Habib Cikini) yang semasa hidupnya
memiliki aktivitas berdagang antar pulau, juga pernah menetap di Semarang. Namun dari sebuah
tulisan menyatakan bahwa dia menikah pertamakali di Semarang.
Sebuah naskah juga menyebutkan, ibu Habib Abdurrahman adalah seorang syarifah dari keluarga
Assegaf di Semarang.
Habib Abdurrahman juga memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Habib Syekh dan Raden
Saleh. Diantara sejarah kehidupan Habib Abdurrahman yang didapat dari sejumlah sumber adalah
bahwa dia sahabat karib Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih (Botoputih-Surabaya).
Hal tersebut diantaranya dicatat dalam catatan kaki Ustadz Dhiya’ Shahab dalam bukunya “Syams
adz-Dzahirah”. Selain itu berdasarkan cerita Habib Abdurrahman menikahi Syarifah Rogayah binti
Husein bin Yahya yang adalah adik dari maestro lukis Raden Saleh.
Namun karena tidak dikaruniai keturunan, dia pun kembali menikah dengan Hajah Salmah dari
Jatinegara. Dari pernikahannya dengan Salmah tersebut kemudian lahir Habib Ali dan Habib Abdul
Kadir.
Konon ketika akan melahirkan Habib Ali, Salmah bermimpi menggali sumur yang mengeluarkan air
meluap dan membanjiri sekelilingnya. Habib Abdurrahman yang mendengar mimpi istrinya segera
menemui Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, meminta pendangan. Menurut sahabatnya itu, mimpi
tersebut merupakan pertanda kalau Habib Abdurahman akan menapatkan seorang putra yang saleh
dan ilmunya melimpah-limpah keberkatannya.
Selain memiliki putra yang pandai dalam ilmu agama, Habib Abdurahman juga memiliki banyak
murid yang pandai dalam mengembangkan agama Islam, khususnya di wilayah Jakarta. Salah satu
murid Habib Abdurahman yang paling tersohor adalah Habib Ahmad Bin alwi Al Hadad yang dikenal
dengan Habib Kuncung.
Lalu Habib Abdurahman wafat pada 1881, jasadnya dikebumikan di belakang Hotel Sofyan, di antara
Jalan Cikini Raya dan Kali Ciliwung, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat di tanah pekarangan rumah
sahabatnya.
Letak Makam
Komplek Makam Habib Abdurrahman Al Habsyi berada di Jalan Kramat No.5, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Jakarta Pusat, RT.2/RW.2, Cikini, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta. Lokasi makamnya pun berada tidak jauh dari pintu belakang Taman Ismail Marzuki.
Lintas Sejarah
Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-Aththas dilahirkan di desa Haurah, salah satu desa di Al-Kasri,
Hadhramaut, Yaman, pada hari selasa 20 Jumadil Awal 1265 H. Sejak kecil beliau mendapatkan
pendidikan rohani dari ayahnya Al-Habib Muchsin Al-Aththas.rhm, Beliau mempelajari Al-
Quran dari mu’alim Syekh Umar bin Faraj bin Sabah.rhm. Setelah menghatamkan Al-quran beliau
diserahkan kepada ulama-ulama besar dimasanya untuk menimba ilmu Islam, dan Al-Habib Abdullah
bin Muchsin Al-Attas pernah belajar kitab risalah Jami'ah karangan Al-Habib Ahmad bin Zen Al-
Habsyi.ra, Kepada Al-Habib Abdullah Bin Alwi Al-‘Aydrus.rhm.
Dalam Usia 17 tahun beliau sudah hafal Al Qur’an. Kemudian beliau oleh Ayahnya diserahkan
kepada ulama terkemuka di masanya. Beliau dapat menimba berbagai cabang ilmu Islam dan
Keimanan.
Diantara guru–guru beliau, salah satunya adalah As-sayid Al Habib Al Quthb Ghauts Abu Bakar bin
Abdullah Al Aththas.rhm, dari guru yang satu itu beliau sempat menimba Ilmu–Ilmu rohani dan
tasawuf. Beliau mendapatkan do’a khusus dari Al Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Aththas,
sehingga beliau berhasil meraih derajat kewalian yang patut. Diantaranya guru rohani beliau yang
patut dibanggakan adalah yang mulia Quthb Al Habib Sholeh bin Abdullah Al-Aththas penduduk
Wadi a’mad, Hadhramaut.
Habib Abdullah bin Mukhsin al-Aththas pernah membaca Al-Fatihah dihadapan Habib Sholeh dan al-
Habib Sholeh menalkinkan Al-Fatihah kepadanya. Al A’rif Billahi Al Habib Ahmad bin Muhammad
Al Habsyi, ketika melihat Al Habib Abdullah bin Mukhsin al-aththas yang waktu itu masih kecil,
beliau berkata sungguh anak kecil ini kelak akan menjadi orang mulia kedudukannya.
Al Habib Abdullah Bin Mukhsin pernah belajar Kitab risalah karangan Al Habib Ahmad Bin Zen Al
Habsi kepada Al Habib Abdullah Bin A’lwi Alaydrus sering menemui Imam Al Abror Al Habib
Ahmad Bin Muhammad Al Muhdhor. Selain itu beliau juga sempat mengunjungi beberapa
Waliyulllah yang tingal di hadramaut seperti Al Habib Ahmad Bin Abdullah Al Bari seorang tokoh
sunah dan asar. Dan Syeh Muhammad Bin Abdullah Basudan. Beliau menetap di kediaman Syeh
Muhammad Basudan selama beberapa waktu guna memperdalam Agama.
Al Habib Abdullah bin Mukhsin pernah belajar Kitab risalah karangan Al Habib Ahmad bin Zein Al
Habsyi kepada Al Habib Abdullah bin Alwi Alaydrus yang tinggal di Bur.
Beliau juga sering menemui Imam Al Abror Al Habib Ahmad bin Muhammad Al Muhdhor tinggal di
kota Quwaireh di Lembah Do’an. Selain itu beliau juga sempat mengunjungi beberapa Waliyulllah
yang tinggal di Hadramauth seperti Al Habib Ahmad bin Abdullah Al Bari seorang tokoh sunah dan
atsar dan Syekh Muhammad bin Abdullah Basaudan, yang merupakan putra Imam Besar Syekh
Abdullah bin Ahmad Basaudan yang tinggal di kota Khuraibah di lembah Do’an yang dikenal
termasuk Sab’i Abdallah (Tujuh Abdullah) yang mana satu Abdullah diberi karomah oleh Allah SWT
mampu mengajar dan mendidik umat muslim satu negeri.
Beliau menetap di kediaman Syekh Muhammad Basaudan (Lembah Do’an) selama beberapa waktu
guna memperdalam agama.
Pada tahun 1282 Hijriah, Habib Abdulllah Bin Mukhsin menunaikan Ibadah haji yang pertama
kalinya, selama ditanah suci beliau bertemu dan berdialog dengan ulama-ulama Islam terkemuka.
Selama di tanah suci beliau bertemu dan berdialog dengan ulama–ulama Islam terkemuka. Kemudian,
seusai menjalankan ibadah haji, beliau pulang ke Negrinya dengan membawa sejumlah keberkahan.
Beliau juga mengunjungi Kota Tarim untuk memetik manfaat dari wali–wali yang terkenal.
Setelah dirasa cukup maka beliau meninggalkan Kota Tarim dengan membawa sejumlah berkah yang
tidak ternilai harganya. Beliau juga mengunjungi beberapa Desa dan beberapa Kota di Hadramaut
untuk mengunjungi para Wali dan tokoh–tokoh Agama dan Tasawuf baik dari keluarga Al A’lwi
maupun dari keluarga lain.
Pada tahun 1283 H, Beliau melakukan ibadah haji yang kedua. Sepulangnya dari Ibadah haji, beliau
berkeliling ke berbagai pelosok dunia untuk mencari karunia Allah SWT dan sumber penghidupan
yang merupakan tugas mulya bagi seorang yang berjiwa mulya. Dengan izin Allah SWT, perjalanan
mengantarkan beliau sampai ke Indonesia. beliau bertemu dengan sejumlah Waliyullah dari keluarga
Al Alwi antara lain Al Habib Ahmad Bin Muhammad Bin Hamzah Al Aththas.
Sejak pertemuanya dengan Habib Ahmad beliau mendapatkan Ma’rifat. Dan, Habib Abdullah Bin
Mukhsin diawal kedatangannya ke Jawa memilih Pekalongan sebagai Kota tempat kediamannya.
Guru beliau Habib Ahmad Bin Muhammad Al Aththas banyak memberi perhatian kepada beliau
sehinga setiap kalinya gurunya mengunjungi Kota Pekalongan beliau tidak mau bermalam kecuali di
rumah Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Aththas.
Dalam setiap pertemuan Habib Ahmad selalu memberi pengarahan rohani kepada Habib Abdullah
Bin Mukhsin sehingga hubungan antara kedua Habib itu terjalin amat erat. Dari Habib Ahmad beliau
banyak mendapat manfaat rohani yang sulit untuk dibicarakan didalam tulisan yang serba singkat ini.
Dalam perjalan hidupnya Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas pernah dimasukan kedalam penjara
oleh Pemerintah Belanda, mungkin pengalaman ini telah digariskan Allah. Sebab, Allah ingin
memberi beliau kedudukan tinggi dan dekat dengannya. Nasib buruk ini pernah juga dialami oleh
Nabi Yusuf AS yang sempat mendekam dalam penjara selama beberapa tahun. Namun, setelah keluar
dari penjara ia diberi kedudukan tinggi oleh penguasa Mashor yang telah memenjarakannya.
Di Kompleks Masjid An nur inilah Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas (dijuluki Habib
Empang Bogor) dimakamkan bersama anak-anaknya yaitu Al Habib Mukhsin Bin Abdullah Al Athas,
Al Habib Zen Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Husen Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Abu Bakar
Bin Abdullah Al Athas, Sarifah Nur Binti Abdullah Al Athas, dan makam murid kesayangannya yaitu
Al Habib Habib Alwi Bin Muhammad Bin Tohir. Di Kompleks ini juga dimakamkan seorang ulama
yang wafat 26 Maret 2007 Al Habib Abdurrohman Bin Ahmad Assegaf (pimpinan Ponpes Al-Busro
Depok).
Lokasi Ziarah Makamnya
Kompleks Makam Habib Abdullah Bin Mukhsin di belakang Masjid An Nur, jalan Lolongok No.13,
RT.6/RW.15, Empang, Kec. Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat
Wisata Dan Ziarah Mbah Dimyati di Cidahu Pandeglang
Sekilas Biografi
KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok Ulama kharismatis. Beliau
dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim
begitu orang memangilnya.
Abuya lahir sekitar tahun 1925 dari pasangan H. Amin dan Hj.Ruqayah. Dia dikenal sangat haus akan
ilmu. Karena itu, ia belajar ilmu agama pada banyak pesantren, mulai dari Pesantren Cadasari,
Kadupeseng, Pandeglang, Plamunan hingga Pesantren Sempur, Plered, Purwakarta asuhan Syekh
Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kyainya dari para
kyai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai ulama Khas al-Khas atau rasikhah. Ulama yang
sikapnya sehari-hari merupakan cerminan dari ilmu yang dikuasainya. Masyarakat Banten
menjulukinya juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya Negara Indonesia.
Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari
40 tahun. Kalau salat Tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur, kecuali setelah
mengkhatamkan al-Qur’an dalam salat.
Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama. Dia
bukan saja mengajarkan ilmu syariah, tetapi juga menjalankan kehidupan sufistik. Tarekat yang
dianutnya adalah Tarekat Syadziliyah.
Dalam buku Tiga Guru Sufi Tanah Jawa karya H. Murtadho Hadi, Abuya Dimyathi digolongkan
bersama Syekh Muslih bin Abdurrahman al-Maraqi (Mranggen, Demak) dan Syekh Romli Tamim
(Rejoso, Jombang) sebagai tiga ulama sufi berpengaruh di Jawa. Bahkan, dalam buku Manaqib Abuya
Cidahu (Dalam Pesona Langkah di Dua Alam), Abuya yang juga keturunan Sultan Maulana
Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah ini dikenal sebagai wali qutub.
Lokasi Makam
Sekilas Sejarah
Asnawi dengan nama lengkapnya Tubagus Muhammad Asnawi lahir dari pasangan Abdurrahman
dan Ratu Sabi’ah. Dari pihak ayah nasabnya bersambung ke Sultan Banten, sedangkan dari pihak ke
Sultan Agung Mataram. Sejak usia 9 tahun, Asnawi sudah dikirim ayahnya untuk menuntut ilmu di
tanah suci Mekkah. Ia dikenal sebagai ulama yang gigih menentang penjajahan Belanda. Ia
mengorganisir para jawara Banten untuk menentang penjajahan.
Bertahun-tahun Asnawi belajar di tanah kelahiran Islam. Hingga ketika dirasa telah mumpuni dalam
agama, ia pun dipercaya untuk mendakwahkan Islam. Maka, Syekh Asnawi pun pulang kembali ke
tanah lahirnya, Banten. Ia pun mulai mengajar dan mengundang ketertarikan banyak pemuda hingga
menjadi muridnya. Tersiarlah nama Asnawi sebagai ulama di kawasan Banten dan sekitarnya.
Kepiawaiannya dalam berdakwah membuat nama Syekh Asnawi tersohor sebagai ulama besar di
Banten. Ia mendirikan pesantren di kampung tersebut. Pesantren tersebut dikenal dengan ilmu fiqih,
tasawuf, dan ilmu beladiri.
Ketika gunung Krakatau meletus, ia beserta keluarganya selamat dengan mengungsi ke kampung
Muruy, Menes. Sayang seluruh pesantrennya di kampung Caringin hancur lebur. Ketika kembali lagi
ke kampung halaman dari pengungsian, ia membangun ulang pesantrennya. Serta mendirikan masjid
yang diberi nama masjid Agung Assalafi, atau menurut sumber lain Salafiah.
Arsitektur Masjid Salfiah merupakan campuran dari unsur lokal dan luar. Unsur lokal terlihat dari
atapnya. Sementara unsur luar terlihat dari bentuk jendela dan pintu dengan ukuran relatif besar. Juga
pilar-pilar yang mengelilingi masjid. Konon kayu untuk masjid tersebut dibawa oleh Asnawi dari
Kalimantan. Sebelumnya, kayu tersebut tidak bisa ditebang. Kalaupun bisa ditebang, pohon tersebut
muncul kembali. Setelah berdoa, pohon itu bisa dtebang dan dibawanya ke Caringin. Masjid tersebut
masih berdiri sampai sekarang.
Setelah banyak kiprah yang ditorehkan bagi masyarakat, terutama masyarakat Banten, Syekh Asnawi
menghembuskan napas terakhir pada 1937 Masehi. Ia dimakamkan di dekat masjid yang ia bangun,
Masjid Caringin. Hingga kini, banyak masyarakat yang rajin berziarah ke makamnya.
Lokasi Makam
Makam Syekh Asnawi, berada dekat Masjid Salafiah, Caringin, Banten.
Syech Maulana Mansyuruddin adalah salah satu Ulama besar yang pernah menjadi Sultan
Banten berdarah bangsawan Banten putra dari Sultan AgengTirtayasa (Raja Banten ke 6) yang
merupakan Penyebar Agama Islam di wilayah Banten Selatan, atau kalau sekarang Pandeglang dan
sekitarnya. Beliau Berkuasa hingga 1683 - 1687 di Kesutanan Banten.
Dalam perjalanan menyiarkan Islam beliau sampai ke daerah Cikoromoy lalu menikah dengan Nyai
Sarinten (Nyi Mas Ratu Sarinten) dalam pernikahannya tersebut beliau mempunyai putra yang
bernama Muhammad Sholih yang memiliki julukan Kyai Abu Sholih. Setelah sekian lama tinggal di
daerah Cikoromoy terjadi suatu peristiwa dimana Nyi Mas Ratu Sarinten meninggal terbentur batu
kali pada saat mandi, beliau terpeleset menginjak rambutnya sendiri, konon Nyi Mas Ratu Sarinten
mempunyai rambut yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, akibat peristiwa tersebut maka Syekh
Maulana Mansyuru melarang semua keturunannya yaitu para wanita untuk mempunyai rambut yang
panjangnya seperti Nyi mas Ratu Sarinten.
Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di Pasarean Cikarayu Cimanuk. Sepeninggal Nyi Mas
Ratu Sarinten lalu Syekh Maulana Mansyur pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang dengan
membawa Khodam Ki Jemah lalu beliau menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang
berasal dari Caringin Labuan.
Pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur menyebarkan syariah agama islam di daerah selatan ke
pesisir laut, di dalam perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sultan Maulana
Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar bersama khodamnya Ki Jemah,
tiba-tiba pohon tersebut menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat
ini pohon waru itu tidak ada yang lurus.
Lokasi Makam
Setelah sekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di banten dan sekitarnya, lalu Syekh
Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana
Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang
Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan.
Menapak Tilas dan Ziarah Spiritual di Makam Wali Keramat Solear
Keramat Solear yang merupakan hutan lindung seluas 4,5 hektar di Dusun Solear, Desa Cikasungka,
Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang sekitar 16 kilometer dari Tigaraksa dikenal sebagai
kawasan wisata yang dihuni ratusan hewan kera.
Di lokasi ini terdapat makam pengikut para wali yakni makam Syekh Mas Mas’ad bin Hawa yang
berada di bawah sebuah pohon tua dikelilingi tembok dan pendopo. Kawasan tersebut menjadi wisata
lokal yang masih sering dikunjungi. Pasalnya, selain dapat berziarah, para wisatawan dapat melihat
aktifitas ratusan kera berkeliaran.
Sesuai dengan penjelasan Juru Kunci (Kuncen, Red), Hasan (63) bahwa Keramat Solear sudah ada
sejak 1552. konon sejarahnya sebagai tempat berkumpulnya para wali dalam perjalanannya dari
Cirebon menuju Banten. “Secara detail, terus terang belum ada yang tahu persis sejarah sebenarnya
tempat ini,” terangnya.Diakui Hasan, dirinya pernah diperlihatkan secara ghaib kejadian aneh. “Pada
1967, pada siang hari saat saya mencari kayu.
Uba-Uba pepohonan di sekitar Kramat hilang secara sekejap dan yang ada hanya 100 makam berupa
batu-batu. Setelah 10 menit kemudian kondisi kembali normal seperti semula,” katanya. Selain itu
tambah Hasan, dirinya juga pernah berjumpa Uga orang berjubah hitam dengan menunggangi kuda
berbeda warna (merah, putih dan abu-abu) dan sebulan kemudian datang orang dari Cirebon yang
menceritakan hal yang sama.
“Hal itu menunjukkan adanya hubungan, dengan artian bahwa ke Uga orang tersebut sedang
melakukan perjalanan dari Cirebon dan mampir ke tempat ini. Saya juga pernah diperlihatkan sebuah
istana megah yang semuanya terlihat secara mendadak dan ghaib,” jelasnya.
Di Keramat Solear terdapat makam beberapa pengikut setia para wali, di antaranya Makam Syekh
Mas Massad yang sering didatangi peziarah untuk melakukan doa.
Makam tersebut berada di bawah pohon tua yang berusia ratusan tahun dengan dikelilingi tembok dan
padepokan untuk berdoa dan terdapat ratusan kera liar sebagai penghuni hutan sekitar keramat.
“Mungkin mencapai sekitar 500 hingga 600 ekor kera yang terbagi atas dua kelompok,” ujar Hasan.
Keramat Solear yang memiliki luas 4 hektar dan menjadi aset masyarakat sebagai ladang mata
pencaharian selain bertani. Secara swadaya masyarakat memelihara kelestarian alam dan menjual
makanan kera setiap hari libur nasional, terutama libur bulan Maulid dan libur Idul Fitri.
Pemkab Tangerang pernah merehab Keramat Solear dengan menambah bangunan di sekitar makam,
namun menjadi malapetaka. “Pemborong yang mengerjakan proyek itu akhirnya bangkrut. Pernah
juga Pemda menanam ratusan pohon, namun semua pohon tidak hidup. Hasil musyawarah para tokoh
masyarakat menyimpulkan, bahwa Keramat Solear tidak mau menerima pembangunan yang
menghilangkan keasliannya sehingga kondisinya seperti tidak diurus,” ucap Ade Kuncen.
Sejarah
Sejarah Keramat Solear Pada Tahun 1413M Menurut narasumber yakni bapak ALI
ROHMAT Salah satu pendiri PADEPOKAN KARANG HAUR, awal kisah di keramat solear.
pada tahun 1413 m solear adalah salah satu perbatasan banten. persinggahan pertama kerajaan” Di
pulau jawa. Solear adalah pendopo (tempat pertemuan para kesulton kerajaan). Yakni :
- Kerajaan Demak
- Kerajaan Mataram
- Kerajaan Siliwangi
- Kerajaan Galuh pakuan
- Kerajaan Majapahit
- Kerajaan Madang kara
- Kerajaan Banten kidul.
Sekitar pada tahun 1413 M diutuslah para adipati dari setip kerajaan untuk menghadiri ikrar perjanjian
perdamayan di gerbang banten solear (persinggahan/ pendopo solear), yang di pimpin oleh
syeckh SultanTirta Maulana Kusuma Jaya Ningrat ( syeckh mas-masad) utusan dari maha
prabu Samparan ( PRABU SELO KUNING) yang tak lain adalah ayah handa dari syeckh mas-
massad/ SultanTirta Maulana Kusuma Jaya Ningrat.
Lokasi
Keramat Solear yang merupakan hutan lindung seluas 4,5 hektar di Dusun Solear, Desa Cikasungka,
Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang sekitar 16 kilometer dari Tigaraksa dikenal sebagai
kawasan wisata yang dihuni ratusan hewan kera. Di lokasi ini terdapat makam pengikut para wali
yakni makam Syekh Mas Mas’ad bin Hawa yang berada di bawah sebuah pohon tua dikelilingi
tembok dan pendopo.
Makam ini berada di Jalan Sempati RT 04/02 Kelurahan Batu Jaya, Batu ceper kota
Tangerang seorang tokoh agama yang di klaim sebagai salah satu pendiri kota Tangerang ini
merupakan salah satu tempat favorit peziarah, mulai dari pengusaha, tim sukses orang-orang politik,
sampai orang miskin yang mau mengubah nasib, memang banyak banget yang datang ke sini,” ujar
Ahmad Syaihu.Saat ini masih banyak orang yang percaya jika mengunjungi makam bisa untuk
mendapatkan berkah. Mulai dari minta rezeki hingga mencari kesaktian. Salah satunya Makam Syekh
Tubagus Zakaria atau yang disebut dengan nama lain Tumenggung Raden Arya Santika, ulama asal
Arab yang Hijrah ke Indonesia guna untuk menyiarkan syariah Islam. Makam ini juga banyak
dikunjungi para peziarah.
Juru kunci makam tersebut, Ahmad Syaihu mengaku, makam tersebut kini menjadi makam keramat
karena banyak warga yang sengaja datang sejak malam sampai pagi hari untuk bertapa. "Kalau mau
lihat ramainya, datang malam Jumat. Pasti banyak yang bertapa di dekat makam. Dari ba'da Isya
sampai dengan menjelang Subuh.
Mereka kebanyakan datang ke sini, karena ada maksud tertentu. Seperti minta rejeki, agar sakti.
Namun saya selaku kuncen makam ini tetap mengingatkan kepada penziarah untuk tetap berniat
ziarah saja," kata Ahmad. Dia mengaku, sering melihat warga membawa makan-makanan dan alat
pusaka ke makam.Tetapi, dirinya sendiri tidak bisa melarang para pengunjung yang datang untuk
membawa itu semua. "Saya cuma bilang agar tidak ada niat apa pun. Itu saja," katanya. Selain warga,
dirinya juga kerap melihat beberapa kyai datang. Namun, mereka biasanya datang ke makam, karena
sebelumnya sudah bertemu Syekh lewat mimpi.Usia makam tersebut, kata dia, sudah berumur ratusan
tahun. Awal warga mulai berdatangan, karena mendengar informasi makam tersebut mengeluarkan
wewangian kasturi dan kenanga.Sebelumnya, makam itu sempat dipindah dari pinggir jalan raya
Batuceper ke lokasi saat ini. "Dalam cerita pemindahan makam tersebut pohon asem yang berada di
samping makam tersebut tidak bisa dirubuhkan oleh mobil traktor. Bahkan mobil traktor tersebut
yang mengalami patah di bagian besi besinya, saya sendiri menyaksikannya," jelas Ahmad.Setelah
memanggil para kiai dari Cirebon, barulah Pohon asem tersebut bisa dirobohkan. Kemudian setelah
itu baru makam Syech Zakaria Ariasantika digali guna pemindahan makam. "Dalam penggalian
makam pun terjadi keanehan, makam tersebut ketika hendak digali mengeluarkan percikan api, dan
berbau wangi bunga kenang. Namun, setelah dibimbing oleh ketiga kyai dari Cirebon itulah baru bisa
di gali, dan terlihat mayat tersebut masih rapih terbungkus kain kafan lengkap dengan tulang
belulang," katanya.