Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TAFSIR DI ASIA TENGGARA

Tentang

TAFSÎR AL-IBRÎZ

Disusun Oleh:
Kelompok V
Ali Musolli Sohibi H : 1820080013
Suprianto : 1820080032
Dedi Candra : 1820080017

Dosen Pembimbing:
Dr. Urwatul Wusqa, Lc, M.A

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1441H/2019M
A. PENDAHULUAN
Para ulama di Indonesia sudah sejak lama menulis Kitab Tafsir, baik
dalam bahasa Melayu, Indonesia, bahasa Arab dan bahasa daerah. Adapun yang
tertua adalah Abdul Rauf Singkily yang menulis Tarjuman al-Mustafid
berbahasa Melayu kurun kedua abad ke-17. Kemudian, Nawawy al-Bantany
menulis Tafsir Marah Labid di Mekah pada akhir abad 19. Mahmud Yunus
menulis Tafsir berbahasa Melayu-Indonesia yang pertama. Pada periode
berikut, banyak ulama yang melakukan penulisan tafsir yakni Ahmad Hasan,
Hasbi Assiddiqy, Buya Hamka, KH. Ahmad Sanusi, serta KH. Bisri Musthafa
menyusun Tafsir dengan judul Tafsir Al-Ibriz yakni menggunakan bahasa
Jawa.1 Tafsir Al-Ibrîz adalah karya KH. Bisri Musthafa yang cukup terkenal di
jawa, khususnya di lingkungan pesantren. Tafsir ini sengaja menggunakan
bahasa Jawa dalam penyusunannya karena K.H Bisri Musthafa menginginkan
agar ilmu yang beliau peroleh dapat bermanfaat. Telah sampai karya ini kepada
kita (masa sekarang).
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan mencoba membahas
Tafsir Al-Ibrîz, penulis akan fokus kepada; Pengenalan kitab dan pengarang,
metode penafsiran, sumber yang digunakan dalam penafsiran, corak dalam
penafsiran, serta kelebihan dan kekurangan Tafsir Al-Ibrîz.
Sedangkan tujuan pembahasan adalah untuk mengetahui tentang
Tafsir Al-Ibrîz; kitab dan pengarang, metode penafsiran, sumber yang
digunakan dalam penafsiran, corak dalam penafsiran, serta kelebihan dan
kekurangan Tafsir Al-Ibrîz. Dari pembahasan ini juga diharapkan dapat
menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang tafsir di Asia Tenggara.
Adapun metode yang digunakan dalam pembahasan adalah Library
Research, yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan
mengumpulkan data dari pustaka, baik bahan yang berupa tertulis seperti buku,
jurnal, yang membahas tentang topik yang hendak dibahas.2

1
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: Sejahtera Kita, 2013), Cet. 2, h. vii
2
J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya, (Jakarta:
Grasindo, 2010), h.104

1
B. PEMBAHASAN
1. Pengenalan Pengarang dan Kitab Tafsir Al-Ibrîz
a. Pengenalan Pengarang3
Bisri Musthafa dilahirkan di kampung Sawahan, Rembang,
Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Mashadi (yang
kemudian diganti menjadi Bisri Musthafa setelah menunaikan ibadah
haji). Bisri Musthafa merupakan putra pertama dari pasangan H. Zainal
Musthafa dengan Hj. Chotijah.4

H. Zainal Musthafa adalah anak dari Podjojo atau H. Yahya.


Sebelumnya H. Zainal Musthafa bernama Djaja Ratiban, yang
kemudian terkenal dengan sebutan Djojo Mustopo. Beliau merupakan
seorang pedagang kaya. Akan tetapi beliau merupakan orang yang
sangat mencintai kyai dan alim ulama, di samping orang yang sangat
dermawan. Dan dari keluarga ibu Mashadi masih mempunyai darah
keturunan Makasar, karena Hj. Chotijah merupakan anak dari pasangan
Aminah dan E. Zajjadi. Sedangkan E. Zajjadi adalah kelahiran Makasar
dari ayah bernama E. Sjamsuddin dan ibu Datuk Djijah.5

Mashadi merupakan putra pertama dari empat bersaudara, yaitu:


Mashadi, Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’ sum. Selainitu, Bisri
Musthafa juga mempunyai beberapa saudara tiri lagi dari kedua orang
tuanya. Pernikahan ayahnya dengan istri sebelumnya (Dakilah)
mendapatkan dua orang anak, yakni H. Zuhdi dan Hj. Maskanah.
Sedangkan pernikahan ibunya dengan Dalimin sebelumnya juga
dikaruniai dua orang anak, yaitu: Achmad dan Tasmin.

Di usianya yang keduapuluh yakni pada tanggal 17 Rajab


1354/Juni 1935, Bisri Musthafa dinikahkan oleh gurunya yakni KH.
Cholil dari Kasingan dengan seorang gadis bernama Ma’ rufah yang

3
Pengenalan Pengarang, yang dimaksud oleh penulis adalah Biografi K.H Bisyri Musthafa,
selaku penulis kitab Tafsir Al-Ibrîz
4
Izzul Fahmi, Lokalitas Kitab Tafsīr Al-Ibrīz Karya KH. Bisri Mustofa, ISLAMIKA
INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Volume 5, Nomor 1, (Juni 2019), h. 100
5
Luqman Chakim, Tafsir-tafsir ayat nasionalisme dalam Tafsir al-Ibriz karya K.H Bisyri
Musthafa, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2014, h. 39-40

2
tidak lain adalah putri KH. Cholil sendiri. Dari pernikahannya, Bisri
Musthafa dikaruniai delapan orang anak, yakni:6

1) Cholil (lahir pada tanggal 12 Agustus 1942)


2) Musthafa (lahir pada tanggal 10 Agustus 1943)
3) Adib (lahir pada tanggal 30 Maret 1950)
4) Faridah (lahir pada tanggal 17 Juni 1952)
5) Najihah (lahir pada tanggal 24 Maret 1955)
6) Labib (lahir pada tahun 1956)
7) Nihayah (lahir pada tahun 1958), dan
8) Atikah (lahir pada tanggal 24 Januari 1964).
Seiring perjalanan waktu. KH. Bisri kemudian menikah lagi
dengan seorang perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi
Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun 1967-an. Dalam pernikahan
dengan Umi Aliyah tersebut, KH. Bisri dikaruniai satu orang putera
bernama Maimun. Bisri Musthafa meninggal di Semarang pada tanggal
16 Februari 1977 karena serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan
gangguan pada paru-paru.7

Sejak kecil, Bisri Musthafa sudah akrab dengan lingkungan


pesantren. Sejak umur tujuh tahun, Bisri Musthafa belajar di sekolah
“Ongko Loro” di Rembang. Di sekolah ini, Bisri Musthafa hanya
bertahan satu tahun, karena ketika hampir naik kelas dua, ia diajak
orang tuanya untuk ibadah haji ke tanah suci. Dalam perjalanan pulang
di pelabuhan Jeddah, ayahnya wafat setelah sebelumnya menderita
sakit sepanjang pelaksanaan haji.8

Semenjak kewafatan H. Zainal Musthafa, tanggung jawab serta


urusan keluarga dipegang oleh kakak tiri Mashadi, yakni H. Zuhdi.

6
Mafri Amir, Op.cit, h. 135
7
Ridhoul Wahidi, Karakteristik Penafsiran Bisri Musthofa dalam Al-Ibrîz li Ma’rifati
Tafsîr Al-Qur’an Al-Azîz, Tesis Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, 2013, h. 63
8
Mafri Amir, Op.cit, h. 139

3
Selanjutnya setelah itu, H. Zuhdi mendaftarkan Bisri Musthafa lagi ke
sekolah HIS (Hollands Inlands School).9

Bisri Musthafa diterima di sekolah HIS karena ia diakui sebagai


keluarga Raden Sudjono, seorang mantri guru HIS, sekaligus tetangga
keluarga Bisri. Namun tidak lama kemudian, ia dipaksa keluar oleh Kiai
Cholil dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda hingga akhirnya
kembali lagi ke sekolah Ongko Loro yang dulu dan belajar di sana
hingga mendapatkan sertifikat dengan masa pendidikan empat tahun.10

Selanjutnya pada 1926, setelah lulus dari Ongko Loro, Bisri


Musthafa belajar di Pesantren Kasingan, pimpinan Kyai Cholil. Pada
awalnya, Bisri Musthafa tidak berminat belajar di pesantren sehingga
hasil yang dicapai pada awal-awal mondok sangat tidak memuaskan.
Hal ini dikarenakan:11

1) Kemauan belajar di Pesantren tidak ada, karena beliau merasa


pelajaran yang di ajarkan di Pesantren sangat sulit, seperti; nahwu,
shorof dan lain lain.
2) Bisri Musthafa menganggap kyai Cholil adalah sosok yang galak
dan keras. Sehingga beliau merasa takut apabila tidak dapat
menghafal atau memahami apa yang diajarkan pasti akan mendapat
hukuman.
3) Kurang mendapat tanggapan yang baik dari teman-teman Pondok.
4) Bekal uang Rp. 1,- setiap minggunya dirasa kurang cukup

Setahun setelah dinikahkan oleh Kyai Cholil dengan putrinya


Ma’ rufah, Bisri Musthafa berangkat ke Mekah untuk menunaikan
ibadah haji bersama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang.
Namun seusai haji, Bisri Musthafa tidak pulang ke tanah air, melainkan
memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu.

9
Izzul Fahmi, Op.cit, h. 101
10
Ibid
11
Luqman Chakim, Op.cit, h. 42-43

4
Di Mekah, beliau belajar dari satu ke guru lain secara langsung
dan privat. Beliau pernah belajar kepada Syeikh Baqil asal Yogyakarta,
Syeikh Umar Hamdan Al Maghriby, Syeikh Ali Malik, Sayid Amid,
Syeikh Hasan Massath, Sayid Alwi dan KH. Abdullah Muhaimin.

Dua tahun lebih, Bisri Musthafa menuntut ilmu di Mekah.


Beliau pulang ke Kasingan tepatnya padat tahun 1938 atas permintaan
mertuanya. Setahun kemudian, mertuanya yakni KH. Cholil meninggal
dunia. Sejak itu Bisri Musthafa menggantikan posisi guru dan
mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.12

Di samping kegiatan mengajar di Pesantren, Bisri Musthafa juga


aktif mengisi ceramah-ceramah. Penampilannya diatas mimbar amat
mempesona, sehingga Bisri Musthafa sering diundang untuk mengisi
ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti
Kudus, Demak, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah lain di Jawa
Tengah.

KH. Bisri Musthafa dikenal penuang yang gigih sampai akhir


hayatnya. Setelah Indonesia Merdeka, ia sangat bersemangat untuk ikut
membangun bangsanya. Dalam kancah politik beliau disegani oleh
semua kalangan. Bisri Musthafa merupakan aktivis Masyumi yang
gigih berjuang. Setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi, Beliau
total berjuang untuk NU. Taun 1955 Bisri Musthafa menjadi anggota
konstituante, wakil dari Partai NU. Setelah tahun 1959 terbit Dekrit
Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante dibentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bisri Musthafa masuk di dalamnya.13

Hasil karya KH. Bisri Musthafa umumnya mengenai


keagamaan yang meliputi berbagai bidang, di antaranya: Ilmu Tafsir
dan Tafsir, Ilmu Hadis dan Hadis, Ilmu Nahu, Ilmu Saraf, Syari’ ah atau
Fiqih, Tasawuf/Akhlak, Akidah, Ilmu Mantiq/Logika dan lain-lain.

12
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa,
(Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), h. 20
13
Ibid, h. 5

5
Kesemuanya itu berjumlah kurang lebih 114 judul, ada yang berbahasa
Jawa (Arab Pegon), ada yang berbahasa Indonesia (Arab Pegon), ada
yang berbahasa Indonesia (huruf Latin) dan ada yang berbahasa Arab.
Diantaranya:14

1) Tafsir al-Ibrîz li Ma’ rifati al-Qur’an al-’ Aziz bi al-Lughati al-


Jawiyyah
2) Al-Iksir Fi Tarjamah ‘ Ilmi Tafsir (1380 H/1970 M)
3) Tarjamah Manzumah al-Baiquni (1379 H/1960 M)
4) Al-Azwadu al-Musthafa yah Fi Tarjamah al-Arba’ in an-
Nawawiyyah
5) Sullamul Afham Tarjamah Bulughul Maram
6) Nazam as-Sullam al-Munawaraq Fi al-Mantiq
7) Sullamul Afham Tarjamah Aqidatul Awam (1385 H/1966 M)
8) Durarul al-Bayan Fi Tarjamah Sya’ bi al-Iman
9) Tarjamah Nazam al-Faraidul Bahiyah Fi al-Qawaidi al-Fiqhiyyah
(1370 H/1958 M)
10) Aqidah Ahlu as-Sunnah Wal Jama’ ah
11) Al-Baiquniyah (ilmu hadis)
12) Tarjamah Syarah Alfiyah Ibnu Malik
13) Tarjamah Syarah Imriti
14) Tarjamah Syarah al-Jurumiyah
15) Tarjamah Sullamu al-Mu’ awanah
16) Safinatu as-Salah
17) Tarjamah kitab Faraidhu al-Bahiyah
18) Muniyatu az-Zaman
19) Ataifu al-Irsyad
20) An-Nabras
21) Manasik Haji
22) Kasykul
23) Ar-Risalatu al-Hasanah

14
Mafri Amir, Op.cit, h. 141

6
24) Al-Wasaya Lil Aba’ Wal Abna’
25) Islam dan Keluarga Berencana (KB)
26) Kutbah Jum’ at
27) Cara-cara ini pun Ziarah lan Sintenke Mawon Walisongo Punika
28) At-Ta’ liqat al-Mufidah Li al-Qasidah al-Munfarijah
29) Syair-syair Rajabiyah
30) Al-Mujahadah wa ar-Riyadah
31) Risalah al-Ijtihad Wa at-Taqlid
32) Al-Habibah
33) Al-Qawaidu al-Fiqhiyyah
34) Buku Islam dan Salat
35) Buku Islam dan Tauhid, dan lain-lain.
Karya-karya KH. Bisri Musthafa pada umumnya ditunjukkan
pada dua sasaran. Pertama, kelompok santri yang sedang belajar di
pesantren. Kedua, kelompok masyarakat umum di pedesaan yang giat
dalam pengajian di Surau atau di Langgar.

b. Kitab Tafsir Al-Ibrîz


1) Nama Kitab

Adapun nama kitab ini adalah Al-Ibrîz Li Ma’ rifah Al-Qur’


ân Al-’ Azîz bi Al-Lughah Al-Jâwiyah ( ‫اﻻﺑﺮﻳﺰ ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﺗﻔﺴﻴﺮ اﻟﻘﺮان‬
‫)اﻟﺠﺎوﻳﺔ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﺎﻟﻠﻐﺔ‬.15 Tafsir ini terdiri dari 30 juz Al-Qur’an al-
Karim, artinya KH. Bisri Musthafa menafsirkan ayat al-Qur’an
secara keseluruhan mulai dari surat Al-Fâtihah sampai surat Al-Nâs.
Tafsir ini juga di publikasikan per-juz sehingga terdapat 30 jilid.16
Jika kita telusuri serta rujuk kepada kitab ini sendiri, maka
kita tidak menemukan apa alasan kitab ini dicetak per-juz dalam satu
jilid. Namun kalau di lihat dari sisi ekonomi para santri pondok
pesantren tentu akan tidak terlalu mahal harganya bagi para santri.

15
Lihat, KH. Bisri Musthafa, Al-Ibrîz Li Ma’rifah Al-Qur’ân Al-‘Azîz bi Al-Lughah Al-
Jâwiyah, (Rembang: Menara Kudus, t.th), Jld. I, h. Cover
16
Abu Rokhmad, Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz, Jurnal “Analisa”
Volume XVIII, No. 01, (Januari - Juni 2011), h. 34

7
Abu Rokhmad berpendapat dalam tulisannya bahwa tafsir al-
Ibrîz yang dijilid per-juz ini memiliki kelebihan bagi para
pembacanya. Selain mudah untuk dibawa, tafsir ini masih diajarkan
setiap hari jum’ at yang diasuh oleh KH. Bisri Musthafa. Pengajian
ini tidak diikuti oleh santri mukim (Pondok) – yang setiap ba’ da
subuh mengaji tafsir Jalâlaini tetapi diikuti oleh santri lajo
(berangkat pagi dan pulang siang pada hari itu juga) yang berasal
dari desa-desa sekitar pesantren.17
2) Latar Belakang Penulisan Kitab
Tafsir al-Ibrîz yang mempunyai judul lengkap al-Ibrîz li Ma’
rifah Tafsîr al-Qur’ ân al-’ Azîz merupakan salah satu karya KH.
Bisri Musthafa yang cukup dikenal di kalangan para muslim jawa,
khususnya di lingkungan pesantren. Tafsir Al-Ibrîz pun sengaja
menggunakan bahasa Jawa-Pegon dalam penyusunannya karena
K.H Bisri Musthafa menginginkan agar ilmu yang beliau peroleh itu
dapat bermanfaat. Sehingga selain untuk diri sendiri, Bisri
berkeyakinan ilmu harus bermanfaat juga bagi orang lain. Dan
karena adanya kepentingan ekonomi yang didasari atas kesadaran
dan tanggung jawab terhadap kepentingan keluarga.
Tujuan KH. Bisri Mushthafa menulis Tafsir al-Ibrîz ini agar
umat Islam dari berbagai latar belakang bahasa yang berbeda, bisa
lebih untuk memahami pesan maupun makna yang terkandung di
dalam al-Qur’an. KH. Bisri Mushthafa juga ingin turut serta untuk
menyebarkan pesan dan makna dalam al-Qur’an dengan
menghadirkan Tafsir al-Qur’an berbahasa jawa. Selain untuk
melestarikan bahasa jawa, sebenarnya hal ini juga tidak terlepas dari
kultur di pesantren-pesantren tradisional di pulau.
3) Sebab Penamaan Kitab
Tafsir Al-Ibrîz merupakan kitab yang paling laris dan terus
mengalami cetak ulang tiap tahunnya. “rata-rata hingga 1.400 set (30
Juz),” ujar M. Sofin dari Menara Kudus. Kemudian baru urutan

17
Ibid, h. 34

8
kedua yang paling laku adalah buku Kumpulan Khutbah Jum’ at
serta Tuntunan Haji.18
Dalam penulisan tafsirnya, Entah mengapa KH. Bisri
Musthafa memberi nama Al-Ibrîz. Artinya beliau tidak
mencantumkan alasan kenapa diberi nama dengan Al-Ibrîz. Menurut
kamus bahasa arab terkemuka, Al-Munjid. Al-Ibrîz berasal dari
bahasa Yunani yang berarti Emas Murni.19
Dengan demikian berkemungkinan KH. Bisri Musthafa
berharap kitab ini menjadi seperti emas murni yang tidak lekang
oleh waktu. Yang jelas, sejak kitab Al-Ibrîz ditulis sampai sekarang
masih akrab dengan masyarakat jawa hingga saat ini, juga mudah
dijumpai di toko sehingga kalangan santri banyak memilikinya.20
4) Tempat Kitab ini Dicetak
Sebelum tafsir ini disebarluaskan kepada khalayak ramai,
terlebih dahulu di-taftisy (dikoreksi secara mendalam) oleh beberapa
ulama terkenal, seperti al-’ Allamah al-Hafidz KH. Arwani Amin,
al-Mukarram KH. Abu ‘ Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH.
Hisyam, dan al-Adib al-Hafidz KH. Sya’ roni Ahmadi. Semuanya
adalah ulama asal Kudus Jawa Tengah. Dengan demikian,
kandungannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral
maupun ilmiah.21
Buku “emas mumi” ini suatu saat pernah ditawarkan ke
Penerbit Salim Nabhan, Surabaya, Jawa Timur. Saat bertemu
pemilik percetakan, seperti dikisahkan Yahya Staquf, cucu Kiai
Bisri, sang penulis memperkenalkan diri sebagai Ahmad, utusan kiai
Bisri Musthafa Rembang. “Saya bermaksud menjual naskah kitab
untuk diterbitkan.” Saat itu, harga yang diajukan adalah Rp 8.000.
Namun, Salim hanya berani menawar Rp 3.000. “Saya sampaikan
dulu tawaran Anda kepada Kiai,” kata Bisri. Keesokan harinya, Bisri

18
Mafri Amir, Op.cit, h. 146
19
Louis Ma’luf, Al-Munjîd fî Al-Lughah, (Beirut al-Maktabah al-Katulikiyah, t.t.h), h. 1
20
Mafri Amir, Loc.cit
21
Ibid, h. 145

9
kembali menemui Salim untuk menerima bayaran Rp 3.000. selain
di Penerbit Salim Nahban, kitab-kitab KH. Bisri Musthafa banyak
dicetak di Menara Kudus, Kudus.22

2. Metode Penafsiran Kitab Tafsir Al-Ibrîz


Adapun metode yang digunakan dalam tafsir Al-Ibrîz adalah lebih
dominan metode ijmâli.23 Hal tersebut dapat dilihat ketika KH. Bisri
Musthafa menafsirkan ayat al-Qur’an secara global dan tidak terlalu
berpanjang-panjang.24
Adapun contoh penjelasan metode global dalam tafsir nya adalah
ketika menafsirkan surat al-Fâtihah ayat yang ke 2, 3 dan 4 hanya ditafsirkan
sejumlah 6 baris saja.
Adapun contoh lain ketika menafsirkan ayat 255 dari Q.S al-Baqarah (2):

‫ض‬ِ ‫ات َوَﻣﺎ ﻓِﻲ ْاﻷ َْر‬ ِ ‫اﻟﻠﱠﻪ َﻻ إِﻟَﻪ إِﱠﻻ ﻫﻮ اﻟْﺤﻲ اﻟْ َﻘﻴﱡﻮم َﻻ ﺗَﺄْﺧ ُﺬﻩ ِﺳﻨَﺔٌ وَﻻ ﻧـَﻮم ﻟَﻪ ﻣﺎ ﻓِﻲ اﻟ ﱠﺴﻤﺎو‬
ََ َ ُ ٌْ َ ُ ُ ُ ‫ُ َ َُ َ ﱡ‬
‫َﻣ ْﻦ َذا اﻟﱠ ِﺬي ﻳَ ْﺸ َﻔ ُﻊ ِﻋْﻨ َﺪﻩُ إِﱠﻻ ﺑِِﺈ ْذﻧِِﻪ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻢ َﻣﺎ ﺑـَْﻴ َﻦ أَﻳْ ِﺪﻳ ِﻬ ْﻢ َوَﻣﺎ َﺧ ْﻠ َﻔ ُﻬ ْﻢ َوَﻻ ﻳُ ِﺤﻴﻄُﻮ َن ﺑِ َﺸ ْﻲ ٍء ِﻣ ْﻦ‬
ِ ِ ِ ‫ات و ْاﻷَرض وَﻻ ﻳـﺌ‬ ِ ِ ِ ِِ ِ
‫ﻴﻢ‬ ُ َُ َ َ ْ َ ‫ﻋ ْﻠﻤﻪ إِﱠﻻ ﺑِ َﻤﺎ َﺷﺎءَ َوﺳ َﻊ ُﻛ ْﺮﺳﻴﱡﻪُ اﻟ ﱠﺴ َﻤ َﺎو‬
ُ ‫ﻮدﻩُ ﺣ ْﻔﻈُ ُﻬ َﻤﺎ َوُﻫ َﻮ اﻟْ َﻌﻠ ﱡﻲ اﻟْ َﻌﻈ‬
Artinya;“Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus
menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-
Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat
memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di
hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia
kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”

Bahasa Jawa25
Allah Ta’ ala iku pangeran kang sejati, ora ono pangeran kang hak
kasembah kejobo panjenengan dewe, kang asifat urip, kang nansah
jumeneng ngurusi mahkluke, ora ngantuk lan ora sare, kang
kagungan sekabehane kang ono ing langit lan bumi. Oran ono wong
kang biso paring syafa’ at ono ing ngarsane panjenengan kejobo
kelawan izin panjenengan. Kang pirso semua barang kang ono ing
ngarepe mahkluke lan ono kang mburine, yo koyo perkoro dunyo lan
akhirat, Menuso ora biso weruh opo kang dipirsane Allah Ta’ ala
kejobo kang, dikersa’ ake pangerane. Kursine Allah biso amuat

22
Mafri Amir, Loc.cit
23
Ridhoul Wahidi, Op.cit, h. 74-75
24
Lihat, KH. Bisri Musthafa, Op.cit, h. 3
25
Ridhoul Wahidi, Op.cit, h. 76

10
langit lan bumi. Lan Allah Ta’ ala ora kabotan ngerekso langit bumi
mau. Allah Ta’ ala moho luhur lan moho agung.

Bahasa Indonesia
Allah Ta’ ala itu adalah Tuhan yang sejati, tidak ada Tuhan yang hak
disembah kecuali Dia sendiri, yang kekal, yang terus-menerus
mengurus hambanya. Tidak ngantuk dan tidak tidur, Yang memiliki
semua yang ada di langit dan di bumi. Tidak ada orang yang bisa
memberi pertolongan di sisi Allah kecuali mendapat izin-Nya. Yang
mengetahui semua barang yang ada di depan makhluk dan yang ada
dibelakangnya, yaitu urusan dunia dan akhirat, Manusia tidak akan
mengetahui kecuali apa yang di kehendaki-Nya. Kursinya Allah
mampu memuat langit da bumi dan Allah tidak merasa berat
menjaganya. Allah Ta’ ala Maha Tinggi dan Maha Besar.26

Pada ayat tersebut, Bisri Musthafa tidak memberikan penjelasan


panjang lebar. Beliau hanya menjelaskan makna kalimat secara global
(‫ﺧ ْﻠ َﻔ ُﻬﻢ‬
ْ َ ‫ )ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻢ َﻣﺎ ﺑَـْﻴ َﻦ أَﻳْ ِﺪﻳ ِﻬ ْﻢ َوَﻣﺎ‬dengan urusan dunia dan akhirat saja.
Sehingga tidak tampak uraian lain yang bersifat panjang lebar. Uraian
singkat yang dijelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain
seperti arti yang dikehendaki. Seolah-olah pembaca berinteraksi langsung
dengan al-Qur’an, meskipun yang dibaca adalah tafsirannya. Hal ini juga
dilakukan oleh Bisri Musthafa dalam al-Ibrîz.
Contoh lain adalah penjelasan tentang ayat 1 surat al-Nisâ (4);27

‫ﺚ ِﻣْﻨـ ُﻬ َﻤﺎ‬ ‫اﺣ َﺪةٍ َو َﺧﻠَ َﻖ ِﻣْﻨـ َﻬﺎ َزْو َﺟ َﻬﺎ َوﺑَ ﱠ‬ ِ‫ﺲو‬
َ ٍ ‫ﱠﺎس اﺗﱠـ ُﻘﻮا َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ اﻟﱠ ِﺬي َﺧﻠَ َﻘ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ﻧَـ ْﻔ‬
ُ ‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﻨ‬
‫ِر َﺟ ًﺎﻻ َﻛﺜِ ًﻴﺮا َوﻧِ َﺴﺎءً َواﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪَ اﻟﱠ ِﺬي ﺗَ َﺴﺎءَﻟُﻮ َن ﺑِِﻪ َو ْاﻷ َْر َﺣ َﺎم إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َرﻗِﻴﺒًﺎ‬
Artinya;“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu
saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi mu.”

Bahasa Jawa;
Hei eleng-eleng poro menuso, khususe ahli Makkah, umume menuso
kabeh, siro kabeh podoho taqwa marang pangeran kang hanitahake
siro kaberh sangkeng wong siji, yo iku Nabi Adam, lan nuli
sangkeng Adam lan Hawa, Allah Ta’ ala nitahake menuso akeh

26
Ibid, h. 77
27
Ibid, h. 78

11
banget lanang lan wadon, lan podo wedio marang Allah kang asmane
tansah siro anggo sumpah, lan podho anjogo sanak, ojo nganti pedot,
sak temene Allah Ta’ ala iku tansah inginjen-inginjen-inginjen amal
iro kabeh.

Bahasa Indonesia;
Hai ingatlah para manusia, khusus nya ahli Mekah, umumnya semua
manusia. Bertakwalah kalian kepada Allah yang menjadikan kalian
dari satu orang, Nabi Adam, dan menjadikan ibu Hawa juga dari
Nabi Adam. Allah memperkembangbiakkan yang banyak darinya
laki-laki dan perempuan. Dan takutlah kepada Allah yang naman-
Nya engkau gunakan untuk sumpah, dan peliharalah sanak keluarga,
jangan sampai putus. Sesungguhnya Allah menjaga semua amal
kalian.

Bisri Musthafa menafsirkan nafsuwahidah pada ayat tersebut


Dengan menyebut Nabi Adam dan menafsirkan wakhalaqa minha dengan
ibu Hawa. Lebih lanjut, beliau mengkhususkan ayat tersebut kepada ahli
Makkah, dan manusia pada umumnya. Penafsiran tersebut dapat dipahami
sebagai penafsiran global, yang hanya memberikan penafsiran terhadap
kata-kata tertentu, tanpa menjelaskan lebih luas lagi dengan menguraikan
pendapat mufasir atau hadis lain.28
Contoh berikutnya adalah ketika menafsirkan ayat 267 surat al-
Baqarah (2);29
ِ ‫َﺧَﺮ ْﺟﻨَﺎ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َﻦ ْاﻷَْر‬ ِ ِ ِ ِ ‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬ‬
‫ض َوَﻻ ﺗَـﻴَ ﱠﻤ ُﻤﻮا‬ ْ ‫ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا أَﻧْﻔ ُﻘﻮا ﻣ ْﻦ ﻃَﻴِّﺒَﺎت َﻣﺎ َﻛ َﺴْﺒـﺘُ ْﻢ َوﻣ ﱠﻤﺎ أ‬ َ
‫ﻀﻮا ﻓِ ِﻴﻪ َو ْاﻋﻠَ ُﻤﻮا أَ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻏﻨِ ﱞﻲ َﺣ ِﻤﻴ ٌﺪ‬ ِِِ ِ ِ ِ‫اﻟْﺨﺒ‬
ُ ‫ﻴﺚ ﻣْﻨﻪُ ﺗُـْﻨﻔ ُﻘﻮ َن َوﻟَ ْﺴﺘُ ْﻢ ﺑِﺂﺧﺬﻳﻪ إِﱠﻻ أَ ْن ﺗُـ ْﻐ ِﻤ‬ َ َ
Artinya;
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk
untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan)
terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha
Terpuji.”

Bahasa Jawa;
Hei wong-wong mukmin, siro kabeh supoyo podo ngeto ake zakat
sangkeng hasil bagus oleh iro nyambut gawe, lan sangkeng hasil
bagus peweton bumi. Siro kabeh ojo nejo kang olo, kok infa’ ake
kanggo zakat kang siro dewe ora gelem ngalap.

28
Ibid
29
Ibid, h. 79

12
Bahasa Indonesia;
Hai orang-orang mukmin, kalian semua harus mengeluarkan zakat
dari hasil usaha kalian dari yang baik-baik, dan dari hasil yang
dikeluarkan oleh bumi. Kalian jangan sengaja melakukan yang
tercela, apa yang kalian zakatkan yang jika kalian diberi tidak mau
mengambilnya.

Dalam ayat ini sangat jelas bahwa penafsiran yang dilakukan oleh
Bisri Musthafa dalam kerangka metode ijmâli. Maksud kata ‫أﻧﻔﻘﻮا‬
ditafsirkan dengan zakat. Artinya umat Islam diwajibkan mengeluarkan
zakat dari hasil usaha yang baik-baik dan hasil yang dikeluarkan dari bumi.
Dilarang mengeluarkan dari hasil yang buruk, dimana jika hal tersebut
diberikan kepada kalian maka tidak akan mau menerimanya.30

3. Sumber yang digunakan dalam penafsiran tafsir Al-Ibrîz


Adapun sumber-sumber yang digunakan Bisri Musthafa dalam
tafsirnya adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, Al-Qur’an
dengan hadis Nabi, dan al-Qur’an dengan qaul sahabat, pendapat ulama,
dan kisah-kisah Isrâiliyat.

a. Penggunaan Ayat Al-Qur’an (‫ﺑﺎﻟﻘﺮان‬ ‫)اﻟﻘﺮان‬


Adapun contoh kasus penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
yang dilakukan oleh Bisri Musthafa adalah dalam tafsir Q.S. An-Nisâ
(4): 127 sebagai berikut:31

‫ﺎب ﻓِﻲ‬ ِ َ‫ﻚ ﻓِﻲ اﻟﻨِّﺴ ِﺎء ﻗُ ِﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻳـ ْﻔﺘِﻴ ُﻜﻢ ﻓِﻴ ِﻬ ﱠﻦ وﻣﺎ ﻳـْﺘـﻠَﻰ َﻋﻠَْﻴ ُﻜﻢ ﻓِﻲ اﻟْ ِﻜﺘ‬ َ َ‫َوﻳَ ْﺴﺘَـ ْﻔﺘُﻮﻧ‬
ْ ُ ََ ْ ُ َ
‫ﻮﻫ ﱠﻦ‬ ِ
ُ ‫ﺐ ﻟَ ُﻬ ﱠﻦ َوﺗَـ ْﺮ َﻏﺒُﻮ َن أَ ْن ﺗَـْﻨﻜ ُﺤ‬ َ
ِ‫اﻟﻼﺗِﻲ َﻻ ﺗُـ ْﺆﺗُﻮﻧَـﻬ ﱠﻦ ﻣﺎ ُﻛﺘ‬
َ ُ ‫ﻳَـﺘَ َﺎﻣﻰ اﻟﻨِّ َﺴ ِﺎء ﱠ‬
‫ﻮﻣﻮا ﻟِْﻠﻴَـﺘَ َﺎﻣﻰ ﺑِﺎﻟْ ِﻘ ْﺴ ِﻂ َوَﻣﺎ ﺗَـ ْﻔ َﻌﻠُﻮا ِﻣ ْﻦ َﺧْﻴ ٍﺮ ﻓَِﺈ ﱠن‬ ِ ِ ‫ﻀﻌ ِﻔ‬
ُ ‫ﻴﻦِ ﻣ َﻦ اﻟْ ِﻮﻟْ َﺪان َوأَ ْن ﺗَـ ُﻘ‬
َ َِ ْ َ‫َواﻟْ ُﻤ ْﺴﺘ‬
ِ
ً ‫اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن ﺑﻪ َﻋﻠ‬
‫ﻴﻤﺎ‬
Artinya; “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang
perempuan. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu
tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-
Qur’an (juga memfatwakan) tentang para perempuan yatim
yang tidak kamu berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan
untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka dan
(tentang) anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah

30
Ibid
31
Ibid, h. 81

13
menyuruh kamu) agar mengurus anak-anak yatim secara adil.
Dan kebajikan apa pun yang kamu kerjakan, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui.””

Bisri Musthafa menafsirkan ayat tersebut dengan mengutip ayat


lain sebagai penafsiran nya. Yakni dengan menafsirkan ayat 11 Q.S.
An-Nisâ (4).32

‫ﻆ ْاﻷُﻧْـﺜَـﻴَـْﻴ ِﻦ ﻓَِﺈ ْن ُﻛ ﱠﻦ ﻧِ َﺴﺎءً ﻓَـ ْﻮ َق اﺛْـﻨَـﺘَـْﻴ ِﻦ ﻓَـﻠَ ُﻬ ﱠﻦ ﺛـُﻠُﺜَﺎ‬ ِّ ‫ﻮﺻﻴ ُﻜ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻲ أ َْوَﻻ ِد ُﻛ ْﻢ ﻟِﻠ ﱠﺬ َﻛ ِﺮ ِﻣﺜْ ُﻞ َﺣ‬ ِ ‫ﻳ‬
ُ
‫س ِﻣ ﱠﻤﺎ ﺗَـَﺮَك إِ ْن‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺴ‬ ‫اﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤ‬ ‫ﻬ‬ ‫ـ‬ ‫ﻨ‬ ِ
‫ﻣ‬ ٍ
‫ﺪ‬ ِ
‫اﺣ‬ ‫و‬ ِ
‫ﻞ‬ ‫ﻜ‬
ُ ِ
‫ﻟ‬ ِ
‫ﻪ‬ ‫ﻳ‬‫ﻮ‬ ‫ـ‬‫ﺑ‬َ‫ﻷ‬ ِ‫و‬ ‫ﻒ‬ ‫ﺼ‬ ِ
‫ﻨ‬ ‫اﻟ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻠ‬
َ ‫ـ‬‫ﻓ‬ ‫ة‬ ‫ﺪ‬ ‫اﺣ‬ِ ‫و‬ ‫ﺖ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺎ‬‫ﻛ‬ ‫ن‬ ِ
‫إ‬‫و‬ ‫ك‬َ ‫ﺮ‬ ‫ـ‬‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻣ‬
ُ ُ‫َُْ ﱡ‬ َ ّ ْ َ َ َ ُ ْ ّ َ َ ً َ َ ْ َ َ ْ َ ََ َ
ِ ِ ِ ِ
‫س‬ ِ
ُ ‫ﺚ ﻓَﺈ ْن َﻛﺎ َن ﻟَﻪُ إ ْﺧ َﻮةٌ ﻓَﻸ ُّﻣﻪ اﻟ ﱡﺴ ُﺪ‬
ِ ُ ُ‫َﻛﺎ َن ﻟَﻪُ َوﻟَ ٌﺪ ﻓَِﺈ ْن ﻟَ ْﻢ ﻳَ ُﻜ ْﻦ ﻟَﻪُ َوﻟَ ٌﺪ َوَوِرﺛَﻪُ أَﺑـَ َﻮاﻩُ ﻓَﻸ ُِّﻣ ِﻪ اﻟﺜﱡـﻠ‬
َ ‫ب ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻧـَ ْﻔ ًﻌﺎ ﻓَ ِﺮ‬ ِ ِ ٍِ ِ ِ
ً‫ﻳﻀﺔ‬ ُ ‫ﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﺪ َوﺻﻴﱠﺔ ﻳُﻮﺻﻲ ﺑ َﻬﺎ أ َْو َدﻳْ ٍﻦ آﺑَﺎ ُؤُﻛ ْﻢ َوأَﺑْـﻨَﺎ ُؤُﻛ ْﻢ َﻻ ﺗَ ْﺪ ُرو َن أَﻳـﱡ ُﻬ ْﻢ أَﻗْـَﺮ‬
ِ ِ ِِ ِ
‫ﻴﻤﺎ‬
ً ‫ﻴﻤﺎ َﺣﻜ‬ ً ‫ﻣ َﻦ اﻟﻠﱠﻪ إ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺎ َن َﻋﻠ‬
Artinya; “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu
tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu)
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang
saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan).
Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal)
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah
(dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Bahasa Jawa;
Paro sohabat podo nyuwun fatwa marang kanjeng Nabi ing bab
perkorone wong-wong wadon lan warisane. Kanjeng rasul
kedawuhan ngendiko: Allah ta’ ala paring dawuh. La ayat kang
woco, yo iku ayat (‫ﻛﻢ‬
ْ ُ ‫ﻮﺻﻴ ُﻜ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻲ أ َْوَﻻ ِد‬
ِ ‫ )ﻳ‬ugo paring dawuh
ُ
perkorone yatimah-yatimah (yatim wadon) kang ora siro paringi
bagian warisane, lan siro kabeh podo ora demen nikah, mergo
ora ayu nanging ora kawin, siro nyegah mergo siro kuatir
warisane. Fatwa sangkeng Allah ta’ ala koyo mengkono iku ora
pareng. Ojo lakuni semono ugo bocah-bocah kang iseh cilik-

32
Ibid, h. 82

14
cilik. Allah merintahake supoyo siro kabeh podo ngadil marang
bocah-bocah yatim, opo siro lakoni, iku Allah ta’ ala pirso.

Bahasa Indonesia
Para sahabat meminta fatwa kepada Nabi mengenai masalah
wanita dan persoalan warisan. Nabi bersabda dan membaca ayat
(‫ﻛﻢ‬ُ ‫ﻮﺻﻴ ُﻜ ُﻢ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻲ أ َْوَﻻ ِد‬
ْyatim
ِ ‫)ﻳ‬, juga mengatakan perkara-perkara
ُ
dan yatimah (yatim perempuan) yang tidak kamu beri
warisan, dan jika kalian tidak suka menikah, karena tidak cantik
maka tidak kawin, kalian mencegah karena kalian khawatir
warisannya. Firman Allah ta’ ala itu merupakan larangan.
Jangan kalian lakukan hal tersebut kepaga anak-anak yang
masih kecil. Allah memerintahkan kepada kalian berlaku adil
kepada anak-anak yatim, apa yang kalian lakukan Allah
mengetahuai.

b. Penggunaan Hadis Nabi (‫)اﻟﻘﺮان ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ‬


Bisri musthafa juga mengambil sumber tafsir al-Qur’an dengan
hadis Nabi Saw. Contohnya ketika menafsirkan ayat 59 Q.S. An-Nisâ
(4);33

‫ﻮل َوأُوﻟِﻲ ْاﻷ َْﻣ ِﺮ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻓَِﺈ ْن ﺗَـﻨَ َﺎز ْﻋﺘُ ْﻢ‬
َ ‫َﻃﻴﻌُﻮا اﻟﱠﺮ ُﺳ‬ ِ ‫َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ‬ِ
َ َ ُ ‫ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا أ‬ َ ‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬ‬
ِ ِ ِ ‫ﻓِﻲ َﺷﻲ ٍء ﻓَـﺮﱡدوﻩ إِﻟَﻰ اﻟﻠﱠ ِﻪ واﻟﱠﺮﺳ‬
‫ﻚ َﺧْﻴـٌﺮ‬ َ ‫ﻮل إِ ْن ُﻛْﻨـﺘُ ْﻢ ﺗـُ ْﺆِﻣﻨُﻮ َن ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ َواﻟْﻴَـ ْﻮم ْاﻵ ِﺧ ِﺮ َذﻟ‬ ُ َ ُ ُ ْ
‫َﺣ َﺴ ُﻦ ﺗَﺄْ ِو ًﻳﻼ‬ْ ‫َوأ‬
Artinya; “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Bahasa Jawa;
Ta’ at marang ulil amri iku wajib, nanging kanti syarat, perintah
mau ora atentangan karo agomo. Sebab kanjeng Nabi dawoh
(‫)ﻻﻃﻌﺔ ﻟﻤﺨﻠﻮق ﻓﻲ ﻣﻌﺼﻴﺔ اﻟﺨﺎﻟﻖ‬, ora ono toat marang makhluk
iku keno ing dalem maksiat marang khalik. Bali marang al-
Qur’an lan hadis, iku ora ateges kito ora diparengake nganggo
qqiyas lan ijmak, otowo dawoh-dawohe mujtahid, alaran ijmak
qiyas utowo dawuh-dawuhe mujtahid iku kabeh nganggo dasar
al-Qur’an lan hadis.

33
Ibid, h. 83

15
Bahasa Indonesia;
Taat atau patuh kepada pemimpin (ulil amri) itu wajib dengan
dua syarat. Pertama, perintah tersebut tidak bertentangan
dengan agama. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi Saw,
(‫ )ﻻﻃﻌﺔ ﻟﻤﺨﻠﻮق ﻓﻲ ﻣﻌﺼﻴﺔ اﻟﺨﺎﻟﻖ‬tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam maksiat kepada Allah Swt. Kedua, kembali
kepada al-Qur’an dan hadis. Tidak berarti tidak diperbolehkan
memakai ijma’ , qiyas dan qaul mujtahid sebab kesemuanya
bersumber dari al-Qur’an dan hadis

Contoh lain adalah ayat 60 Q.S. At-Taubah (9)34

‫ﻴﻦ َﻋﻠَْﻴـ َﻬﺎ َواﻟْ ُﻤ َﺆﻟﱠَﻔ ِﺔ ﻗُـﻠُﻮﺑـُ ُﻬ ْﻢ َوﻓِﻲ‬ِِ ِ ِ ِ َ‫ﺼﺪﻗ‬


ُ َ ‫إِﻧ َﱠﻤﺎ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺎت ﻟ ْﻠ ُﻔ َﻘَﺮاء َواﻟْ َﻤ َﺴﺎﻛﻴ ِﻦ َواﻟْ َﻌﺎﻣﻠ‬
ِ ِ ِ ِ ‫ﺎب واﻟْﻐَﺎ ِرِﻣﻴﻦ وﻓِﻲ ﺳﺒِ ِﻴﻞ اﻟﻠﱠ ِﻪ واﺑ ِﻦ اﻟ ﱠﺴﺒِ ِﻴﻞ ﻓَ ِﺮ‬ ِ ِ
‫ﻴﻢ‬
ٌ ‫ﻴﻢ َﺣﻜ‬ ٌ ‫ﻳﻀﺔً ﻣ َﻦ اﻟﻠﱠﻪ َواﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠ‬ َ َْ َ ََ َ َ‫اﻟﺮﻗ‬
ّ
Artinya; “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya
(mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk
(membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan
untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban
dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

Bahasa Jawa;
Sak golongan duwe panemu yen fi sabilillah iku khusus marang
jihad fi sabilillah (perang fi sabillah), sak golongan duwe
panemu fisabilillah iku ngumum endi-endi dalan-dalan Allah ta’
ala yo iku dalan kebajikan. Sejatine golongan kang awwal mau
manut mazhab Syafi’ i lan jumhur ulama. Golongan kafindu
mau manut tafsir al-Manar. Golongan kafindu mau podo wani
nasarupne duit zakat kanggo ambangun masjid, langgar,
mushalla, madrasah, darul aitam lan liya-liyane.

Bahasa Indonesia;
Sekelompok golongan memberikan pendapat bahwa fi sabilillah
itu khusus untuk jihad (perang di jalan Allah), golongan lain
memiliki pendapat bahwa fi sabîlillâh itu bersifat umum mana-
mana jalan Allah yakni jalan kebajikan. Sebenarnya kelompok
kedua itu mengikuti tafsir al-Manar. Kelompok kedua berani
mengaplikasikan uang zakat untuk pembangunan masjid, surau,
mushalla, madrasah, darul aitam dan lain-lainnya.

Bisri Musthafa memberikan penafsiran kalimat fi sabîlillâh


dengan mengutip pendapat ulama dan hadis Nabi. Pertama, maksud fi
sabîlillâh adalah khusus untuk orang-orang yang berperang dijalan
Allah. Kedua, ada juga yang memaknai fi sabîlillâh itu bersifat umum,

34
Ibid, h. 84

16
artinya semua bentuk-bentuk kebajikan. Pendapat pertama
menggunakan dasar hadis dari Said al-Khudry.35

‫ ﻻﺗﺤﻞ اﻟﺼﺪﻗﺔ ﻟﻐﻨﻰ اﻻ ﻟﺨﻤﺴﺔ اﻟﻰ‬.‫ان اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫ اﻟﺤﺪﻳﺚ رواﻩ اﺣﻤﺪ وأﺑﻮ داود واﺑﻦ‬.‫ان ﻗﺎل أوﻏﺎز ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﻠﻪ‬
‫ وﻗﺎل ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺷﺮط اﻟﺸﻴﺨﻴﻦ‬.‫ﻣﺎﺟﺔ واﻟﺤﺎﻛﻢ‬
Artinya;
Bahwa Nabi Saw bersabda: kamu tidak dibolehkan sedekah
(zakat) kepada orang kaya kecuali untuk lima orang sampai
pada jihad di jalan Allah.

c. Menyertakan Qaul Sahabat


Selain menggunakan kedua sumber di atas, Bisri Musthafa
juga menggunakan pendapat sahabat dalam menguraikan penafsiran
ayat al-Qur’an contohnya ayat 110 Q.S. Al-Isrâ’ (17)36

ْ ‫ﺎ َﻣﺎ ﺗَ ْﺪﻋُﻮا ﻓَـِﻠَﻪُ ْاﻷ‬s‫ﻗُ ِﻞ ْادﻋُﻮا اﻟﻠﱠﻪَِ أَ ِو ْادﻋُﻮا اﻟِﱠﺮ ْﺣ َﻤ َﻦ أَﻳ‬


‫َﺳ َﻤﺎءُ اﻟْ ُﺤ ْﺴﻨَﻰ َوَﻻ‬
‫ﻚ َﺳﺒِ ًﻴﻼ‬َ ‫ﺖ ﺑِ َﻬﺎ َواﺑْـﺘَ ِﻎ ﺑَـْﻴ َﻦ ذَﻟ‬ْ ‫ﻚ َوَﻻ ﺗُ َﺨﺎﻓ‬ َ ‫ﺼ َﻼﺗ‬ ِ
َ ‫ﺗَ ْﺠ َﻬ ْﺮ ﺑ‬
Artinya; “Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau
serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat
menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik
(Asma’ ul husna) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu
dalam salat dan janganlah (pula) merendahkannya dan
usahakan jalan tengah di antara kedua itu.”

Bahasa Jawa;
Miturut sohabat Ibnu Abbas salat iku tafsirane iku moco al-
Qur’an. Kolo iku Nabi Muhammad ora pareng banter-banter
moco al-Qur’an mondo krungu wong-wong kafir, banjur dadi
sebab wong-wong kafir podo misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’
ala.

Bahasa Indonesia
Menurut sahabat Ibnu Abbas salat itu penafsiran nya adalah
membaca al-Qur’an. Pada saat itu Nabi Muhammad dilarang
mengeraskan bacaan al-Qur’an agar tidak terdengar oleh orang
kafir yang nantinya menyebabkan orang-orang kafir menjelek-
jelekkan al-Qur’an dan Allah SWT.

35
Ibid, h. 85
36
Ibid, h. 86

17
Bisri Musthafa menggunakan pendapat sahabat Ibnu Abbas
ketika Menafsirkan kata salatika. Maksud salatika menurut Ibnu Abbas
adalah membaca al-Qur’an. Pada saat itu Nabi Muhammad dilarang
mengeraskan bacaan al-Qur’an agar tidak terdengar oleh orang kafir
yang nantinya menyebabkan orang-orang kafir menjelek-jelekkan al-
Qur’an dan Allah SWT.37
Contoh lain yang juga menggunakan pendapat sahabat adalah
tentang apa yang bisa seseorang mendapatkan manfaat pahala dari
orang lain. Dalam hal ini, Bisri Musthafa mengutip pendapat Ibnu
Abbas. Menurut golongan yang menafikan nasikh dan mansukh, tidak
bisa menerima kiriman pahala dari orang lain sebab bertentangan
dengan ayat 39 Q.S. An-Najm (53)
ِ ‫وأَ ْن ﻟَﻴﺲ ﻟِ ِْﻺﻧْﺴ‬
‫ﺎن إِﱠﻻ َﻣﺎ َﺳ َﻌﻰ‬
Artinya; “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang
َ َ ْ َ
telah diusahakannya”

Kata Ibnu Abbas ayat tersebut dinaskh oleh ayat 21 Q.S. Ath-
Thûr (52);
ٍ ‫واﻟﱠ ِﺬﻳﻦ آﻣﻨُﻮا واﺗﱠـﺒـﻌْﺘـﻬﻢ ذُ ِرﻳـﱠﺘُـﻬﻢ ﺑِِﺈ‬
ُ َ‫ﻳﻤﺎن أَﻟْ َﺤ ْﻘﻨَﺎِ ﺑِ ِﻬ ْﻢ ذُِّرﻳـﱠﺘَـ ُﻬ ْﻢ َوَﻣﺎ أَﻟَْﺘـﻨ‬
‫ﺎﻫ ْﻢ‬ َ ٍ ْ ُ ّ ْ ٍُ َ َ َ ِ َ ِ َ َِ
ِ
ٌ َ َ َ َ ‫ﻣ ْﻦ َﻋ َﻤﻠ ِﻬ ْﻢ ﻣ ْﻦ َﺷ ْﻲء ُﻛ ﱡﻞ ْاﻣ ِﺮئ ﺑ َﻤ‬
‫ﻴﻦ‬ ‫ﻫ‬ ‫ر‬ ‫ﺐ‬ ‫ﺴ‬ ‫ﻛ‬ ‫ﺎ‬
Artinya; “Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu
mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga),
dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal
(kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang
dikerjakannya.”

Bahasa Jawa;
Mitirut sohabat Ibnu Abbas ayat iki mansukhah kelawan ayat
ٍ ‫ )واﺗﱠـﺒـﻌْﺘـﻬﻢ ذُ ِرﻳـﱠﺘُـﻬﻢ ﺑِﺈِﻳﻤ‬ayat nomer 21 Q.S.
(‫ﺎن أَﻟْﺤ ْﻘﻨَﺎ ﺑِ ِﻬﻢ ذُ ِرﻳـﱠﺘَـ ُﻬﻢ‬
ْAth-Thûr ّ ْ (52). َ َ ُْ ّ ُْ ََ َ

Bahasa Indonesia;
Menurut sahabat Ibnu Abbas ayat tersebut di mansukh oleh ayat
ٍ ‫ )واﺗﱠـﺒـﻌْﺘـﻬﻢ ذُ ِرﻳـﱠﺘُـﻬﻢ ﺑِِﺈ‬ayat 21 Q.S. Ath-Thûr
(‫ﺎن أَﻟْﺤ ْﻘﻨَﺎ ﺑِ ِﻬﻢ ذُ ِرﻳـﱠﺘَـ ُﻬﻢ‬
ْ(52). ّ ْ َ ‫ﻳﻤ‬ َ ُْ ّ ُْ ََ َ

37
Ibid, h. 87

18
d. Mengutip pendapat ulama
Bisri Musthafa mengutip Imam Kurkhi, bahwa ayat tersebut
bersifat umum dan di-takhsis oleh ayat 21 surat al-Thur dan hadis lain.
Sementara golongan yang mengatakan bahwa orang mati tetap bisa
mendapat pahala. Alasannya adalah, pertama, manusia bisa
memperoleh manfaat dari orang lain sebab doanya (intifa’ bi’ amali
al-ghair). Kedua, Nabi Muhammad memberi syafa’ at kepada ahlu al-
mauqifi dan ahli syurga. Ketiga, Nabi Muhammad bisa memberikan
syafa’ at kepada ahl kabair sehingga keluar dari Neraka (intifa’ bi sa’
yi al-ghair) dan masih banyak lainnya.38
Bisri Musthafa juga mengambil pendapat ulama dalam
Menafsirkan ayat al-Qur’an. Sebagai contoh Hukum membaca
basmalah, pada awal surat al-Bara’ ah, Berikut penafsiran nya:39
Bahasa Jawa
Dene hukume moco bismillah ono ing kawitane surat baroa’ h
iku sulayan, Miturut Ibnu Hajar hukume haram, miturut Jamal
Ramli hukume makruh.

Bahasa Indonesia
Hukum membaca bismillah pada awal surat Bara’ ah itu ada
beberapa pendapat. Menurut Ibnu Hajar hukumnya haram
sedangkan menurut Jamal Ramli Hukumnya makruh.

Dalam penafsiran nya, Bisri Musthafa mengutip pendapat Ibnu


Hajar al-Asqalani, bahwa hukum membaca basmalah pada awal surat
al-Taubah adalah haram. Sementara Jamal Ramli berpendapat bahwa
membaca basmalah pada awal surat al-Taubah adalah makruh. Dalam
hal ini, Bisri Musthafa tidak memberikan tafsiran atau komentar.
Sehingga tampak beliau hanya mengutip dan terkesan mendiamkan
tentang persoalan tersebut. Penyebab tidak ditulisnya basmalah adalah
pada saat penulisan mushaf al-Qur’an terjadi perbedaan pendapat
dikalangan sahabat. Ada yang berpendapat bahwa surat al-Taubah dan
al-Anfal itu Satu surat. Ada yang berpendapat bahwa al-Taubah dan al-
Anfal itu dua surat. Kemudian diambil jalan tengah. Yakni antara surat

38
Ibid, h. 88
39
Ibid

19
al-Taubah dan al-Anfal ditulis terpisah dan tidak bergandengan.
Sedangkan yang tidak ditulis basmalah mengikuti pendapat imam
Kharijah dan Abu Asyrah.
Contoh lainnya adalah ayat 57 Q.S. Maryam (19)40

‫ﺎ‬s‫َوَرﻓَـ ْﻌﻨَﺎﻩُ َﻣ َﻜﺎﻧًﺎ َﻋﻠِﻴ‬


Artinya; “Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang
tinggi”

Bahasa Jawa;
Dawuhe (‫)ﻋﻠﻴﺎ ﻣﻜﺎﻧﺎ ورﻓﻌﻨﻪ‬, iki poro ulama ahli tafsir surolayan
sakweneh ngendiko: diluhurake pangkate ono ing dunyo, sak
weneh ngendiko: Nabi Idris ano ing langit papat, sak wenwh
ngendiko: Nabi Idris sak wuse ngerasake mati nuli melebu
syurgo.

Bahasa Indonesia;
Firman Allah (‫)ﻋﻠﻴﺎ ﻣﻜﺎﻧﺎ ورﻓﻌﻨﻪ‬, ada bebrapa pendapta ulama,
adaya yang berpedapat di mulyakan di dunia, ada yang
berpendapat nabi Idris di langit tujuh, ada yang berpendapat,
Nabi setelah wafat sebentar lalu masuk syurga.

Dalam memberikan tafsiran ayat ini, beliau menuliskan


keterangan faedah. Para ulama tafsir berpendapat ada yang menafsirkan
Bahwa ia dimuliakan derajatnya di Dunia, ada juga yang menafsirkan
bahwa Nabi Idris masih ada dilangit ketujuh, ada juga yang menafsirkan
bahwa Nabi Idris setelah merasakan wafat sebentar kemudian masuk
syurga. Dalam hal ini, Bisri Musthafa hanya mengutip pendapat ulama
tanpa memberikan penjelasan ulama siapa yang beliau kutip.41

e. Asbâb An-Nuzûl Ayat


Pada ayat-ayat tertentu Bisri Musthafa juga menyebutkan sebab
turunnya (asbâb an·Nuzûl) suatu ayat, peristiwa yang dapat
menjelaskan arti ayat. Misalnya asbâb an-Nuzûl suatu ayat, Q.S. Al-
Mu’ min (40): 78;42

40
Ibid, h. 89
41
Ibid, h. 90
42
Ibid, h. 80

20
‫ﻚ‬ ِ َ ‫ﻚ ِﻣْﻨـﻬﻢ ﻣﻦ ﻗَﺼﺼﻨَﺎ ﻋﻠَﻴ‬ ِ ِ
َ ‫ﺺ َﻋﻠَْﻴ‬ْ ‫ﺼ‬ ُ ‫ﻚ َوﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ َﻣ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﻧـَ ْﻘ‬ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ‫َوﻟََﻘ ْﺪ أ َْر َﺳ ْﻠﻨَﺎ ُر ُﺳ ًﻼ ﻣ ْﻦ ﻗَـْﺒﻠ‬
‫ﻀ َﻲ ﺑِﺎﻟْ َﺤ ِّﻖ َو َﺧ ِﺴَﺮ‬ ِ ُ‫ﻮل أَ ْن ﻳﺄْﺗِﻲ ﺑِﺂﻳ ٍﺔ إِﱠﻻ ﺑِِﺈ ْذ ِن اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَﺈِ َذا ﺟﺎء أَﻣﺮ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗ‬ٍ ‫وﻣﺎ َﻛﺎ َن ﻟِﺮﺳ‬
ُْ َ َ َ َ َ ُ َ ِ ََ
‫ﻚ اﻟْ ُﻤْﺒ ِﻄﻠُﻮ َن‬
َ ‫ُﻫﻨَﺎﻟ‬
Artinya; “Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul
sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami
ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak
Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa
suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang
perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil.
Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada
yang batil.”

Bahasa Jawa;
Tanbih: ayat iku temurun minongko kanggo mulak celatuane
wong kafir Makkah, kang podo usul marang kanjeng Nabi
Muhammad, supoyo Nabi Muhammad dadiake gunung di
dadeake emas.

Bahasa Indonesia;
Tanbih: ayat ini turun untuk menolak ejekan orang kafir Makkah
yang mengusulkan kepada Nabi agar beliau merubah gunung
menjadi emas.

Contoh lain dari asbâb an-Nuzûl dalam Q.S. Yâ Sîn (36): 76;43

‫ﻚ ﻗَـ ْﻮﻟُ ُﻬ ْﻢ إِﻧﱠﺎ ﻧَـ ْﻌﻠَ ُﻢ َﻣﺎ ﻳُ ِﺴﱡﺮو َن َوَﻣﺎ ﻳـُ ْﻌﻠِﻨُﻮ َن‬
َ ْ‫ﻓَ َﻼ ﻳَ ْﺤ ُﺰﻧ‬
Artinya; “Maka jangan sampai ucapan mereka membuat
engkau (Muhammad) bersedih hati. Sungguh, Kami mengetahui
apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.”

Bahasa Jawa;
Muhimmah: sebab iki turune ayat amergo Ubay bin Khalaf
bantah marang kanjeng Nabi ono bab ananedino kebangkitan
nganti Uba bin Khalaf muring-muring lan ngancam arep mateni
kanjeng Nabi.

Bahasa Indonesia;
Muhimmah: sebab urunnya ayat ini disebabkan oleh Ubay bin
Khalaf yang membantah Nabi tentang adanya hari pembalasan
sampai-sampai Ubay marah-marah dan mengancam akan
membunuh Nabi.

43
Ibid

21
f. Kisah-Kisah Isrâiliyat
Bisri Musthafa juga menggunakan riwayat isrâiliyat. Isrâiliyat
sudah mulai memasuki kebudayaan Arab pada masa jahiliah, karena
ditengah-tengah mereka orang-orang Ahli Kitab Yahudi telah lama
hidup berdampingan. Adanya kisah isrâiliyat merupakan konsekuensi
logis dari akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa Arab
jahiliah dan kaum Yahudi serta Nasrani.44
Hal ini tetap berlangsung sampai penafsiran-penafsiran ulama,
dimana ulama tersebut menyukai kisah-kisah dalam menafsirkan al-
Qur’an. Begitu juga dengan Bisri Musthafa, beliau menafsirkan al-
Qur’an dengan menggunakan kisah isrâiliyat.
Sebagai authar menyukai kisah-kisah yang selama ini belum
diketahui. Namun di sisi lain, perlu di cek ulang kebenaran kisah-kisah
yang ditampilkan dalam tafsirnya. Salah satu contohnya adalah kisah
Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, Q.S. An-Naml (27): 44.45

َ ُ‫ﺎل إِﻧﱠﻪ‬
‫ﺻ ْﺮ ٌح‬ َ َ‫ﺖ َﻋ ْﻦ َﺳﺎﻗَـْﻴـ َﻬﺎ ﻗ‬ ِ ‫ﻴﻞ ﻟَ َﻬﺎ ْاد ُﺧﻠِﻲ اﻟ ﱠ‬
ْ ‫ﺼ ْﺮ َح ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ َرأَﺗْﻪُ َﺣﺴﺒَـْﺘﻪُ ﻟُ ﱠﺠﺔً َوَﻛ َﺸ َﻔ‬ َ
ِ‫ﻗ‬
ِ ِِ ِ ِ ِ ‫ﻣﻤﱠﺮد ِﻣﻦ ﻗَـﻮا ِرﻳﺮ ﻗَﺎﻟَﺖ ر‬
ُ ‫ب إِﻧّﻲ ﻇَﻠَ ْﻤ‬
‫ب‬ّ ‫ﺖ َﻣ َﻊ ُﺳﻠَْﻴ َﻤﺎ َن ﻟﻠﱠﻪ َر‬ ُ ‫َﺳﻠَ ْﻤ‬
ْ ‫ﺖ ﻧَـ ْﻔﺴﻲ َوأ‬ ّ َ ْ َ َ ْ ٌ َُ
‫ﻴﻦ‬ ِ
َ ‫اﻟْ َﻌﺎﻟَﻤ‬
Artinya; Dikatakan kepadanya (Balqis), “Masuklah ke dalam
istana.” Maka ketika dia (Balqis) melihat (lantai istana) itu,
dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya (penutup)
kedua betisnya. Dia (Sulaiman) berkata, “Sesungguhnya ini
hanyalah lantai istana yang dilapisi kaca.” Dia (Balqis)
berkata, “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim
terhadap diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada
Allah, Tuhan seluruh alam.”

Bahasa Jawa;
Nabi sulaiman diaturi khobar deneng Jin yen sikile Balqis iku
koyo sikil Himar Khobar iku sa’ durunge tekane ratu Balqis.
Nabi Sulaiman enggal perintah gawe pendopo koco marang
syaitan-syaitan. Pendopo mau supoyo di gawe rupo koyo kolam
ombo diidi banyu lan iwak-iwak sak warnane iwak-nuli ditutup
koco kandel bening-supoyo disawang koyo segoro, yen diinjek
ora teles-eng tengah-tengah pendopo dipasang kursi kencono

44
Ibid, h. 90
45
Ibid, h. 93

22
kanggo pinarak Nabi Sulaiman lan tamune-naliko Balqis
didawuhi melebu-semono maju mundur. Sebab? Wong katone
banyu kok dipasangi kursi lan kanggo pinark pisan deneng Nabi
Sulaiman. Reheneng wus di acarani supoyo melebu, Bilqis
kapekso melebu banjur nyincing-nyincing. Bareng Nabi
Sulaiman pirso nyoto sikile ora koyo sikil Himar. Nabi
Sulaiman enggal-enggal melengus serono ngendiko ora usah-
njinjing-njinjing jalaran banyu wus ketutup nganggo koco
kandel kang bening. Balqis semono malu banget. Bareng wus
lenggah ono ing cedekke Nabi Sulaiman, Nabi Sulaiman nuli
nganjurake supoyo Bilqis melebu Islam. Bilqis iyo banjur
tunduk melebu Islam, pungkasane cerito, ratu Balqis akhire dadi
garuane Nabi Sulaiman.

Bahasa Indonesia;
Nabi Sulaiman diberi kabar oleh Jin bahwa kaki ratu Balqis
seperti kaki Himar. Dan berita ini disampaikan sebelum
kedatangan ratu Balqis. Kemudian, Nabi Sulaiman
memerintahkan syaitan-syaitan untuk membuat ruangan
(pendopo) dari kaca. Ruangan tersebut agar dibuat seperti kolam
yang lebar, kemudian di isi air dan berbagai jenis ikan kemudian
ditutup dengan kaca putih yang tebal. Agar terlihat seperti
kolam dan ketika diinjak tidak basah. Di tengah-tengah ruangan
dipasang kursi kencana (singgasana) Untuk Nabi Sulaiman dan
tamunya. Ketika Balqis disambut untuk memasuki ruangan, ia
ragu, maju mundur, sebab seperti air tapi bisa dipasang kursi dan
Nabi Sulaiman duduk di singgasana nya. Karena sudah
direncanakan agar masuk maka dengan terpaksa Balqis masuk
dengan mengangkat gaunnya, dan terlihat lah oleh Nabi
Sulaiman bahwa kaki Balqis tidak seperti kaki himar. Nabi
Sulaiman berkata kepada Balqis agar tidak mengangkat
gaunnya karena ini terbuat dari air yang ditutupi oleh kaca yang
tebal. Ratu Balqis tersipu malu. Setelah ke duanya duduk
berdampingan, Nabi Sulaiman mengajak ratu Balqis masuk
agama Islam. Ratu Balqis pun masuk Islam

Dari kisah tersebut dapat diketahui bahwa unsur isrâiliyat


ditampilkan oleh Bisri Musthafa dalam tafsirnya. Padahal dalam ayat
tersebut hanya menjelaskan tentang kekaguman Balqis terhadap istana
yang dibuat oleh Nabi Sulaiman. Kekaguman inilah yang menyadarkan
Balqis untuk masuk Islam dan menyadari bahwa masih ada kekuasaan
yang lebih hebat dari kerajaannya. Adapun kisah yang menyatakan
bahwa Nabi Sulaiman ingin melihat betis/kaki Balqis, sebagaimana
dituduhkan jin seperti thimar merupakan penafian terhadap sifat

23
maksum para Nabi dan mursalin dan menggambarkan mereka menolak
kenikmatan tuhan kepada kekejian dan keaiban yang tidak layak
sebagai manusia biasa, sebagai anugerah Allah sebagai seorang Nabi.46
Dalam penulisan tafsir al-Ibrîz, Bisri Musthafa memberikan
langkah-langkah atau metode yang sangat simpel. Langkah tersebut
dinyatakan langsung dalam mukadimah tafsirnya.47
Bahasa Jawa
Bentuk utawi wangunipun, dipun atur kado sing ngandap
puniko:
1) Al-Qur’an dipun serat in tengah mawi makna gandul
2) Terjemah ipun tafsir kaserat in pinggir kanti tanda nomor.
Nomor ipun ayat dumawah ing akhiripun. Nomor ipun
terjemah dumawah ing awalipun
3) Keterangan-keterangan sak sanesipun mawi tanda: tanbih,
faedah, muhimmah, lan sak punggalipun.

Bahasa Indonesia;
Bentuk-bentuk atau langkah-langkahnya dijelaskan dibawah
ini:
1) Al-Qur’an ditulis di tengahnya dengan diberi makna gandul
(arti yang bergantung dan miring)
2) Terjemah tafsir ditulis pada bagian pinggir dengan
menggunakan nomor. Nomor-nomor ayat pada bagian akhir,
dan nomor-nomor terjemah/tafsir diletakkan di awal ayat.
3) Keterangan-keterangan lain yang berkaitan dengan
penafsiran diletakkan dalam sub tanbih, faedah, muhimmah,
dan lain-lainnya.

Langkah-langkah diatas tujuannya adalah untuk mempermudah


melacak dan memahami tafsir al-Ibrîz. juga, untuk mempermudah
pembaca dalam mencari makna ayat, karena pada bagian al-Qur’an
diberi makna gandul sehingga jika kurang memahami arti atau
maknanya akan sangat membantu.

4. Corak dalam Penafsiran Kitab Tafsir Al-Ibrîz


Adapun corak tafsir yang digunakan oleh Bisri Musthafa dalam
tafsirnya adalah menggunakan corak fiqhi.48 Ridhoul Wahidi, menyebutkan
bahwa corak yang lebih dominan dalam tafsir al-Ibrîz adalah corak fiqhi,

46
Ibid, h. 94
47
Ibid
48
Lihat http://adisutrisno15.blogspot.com/2015/06/studi-kitab-tafsir-al-ibriz-karya-
kh.html?m=1 diakses pada kamis, 05 Desember 2019

24
setelah ia melakukan penelitian terhadap tafsir yang ditulis oleh KH. Bisri
Musthafa tersebut.49 Sebagai contoh adalah ketika menafsirkan lafal ‫أو‬
‫ ﻻﻣﺴﺘﻢ اﻟﻨﺴﺎء‬dalam Q.S. Al-Mâidah (5): 6
ِ ِِ ِ ِ ‫وإِ ْن ُﻛْﻨـﺘُﻢ ﻣﺮﺿﻰ أَو ﻋﻠَﻰ ﺳ َﻔ ٍﺮ أَو ﺟﺎء أ‬
َ‫َﺣ ٌﺪ ﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻣ َﻦ اﻟْﻐَﺎﺋﻂ أ َْو َﻻ َﻣ ْﺴﺘُ ُﻢ اﻟﻨّ َﺴﺎء‬
َ َ َ ْ َ َ ْ َ َْ ْ
Artinya;“... Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
َ
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan...”

Bahasa Jawa;
...Utowo ngepuk wong wadon utowo jimak, nuli siro kabeh ora nemu
banyu...

Bahasa Indonesia;
Atau menepuk wanita atau jimak, atau tidak menemukan air

Bisri Musthafa menafsirkannya dengan menepuk/bersentuhan


dengan wanita atau jima’ (berhubungan seksual). Jika merujuk kepada
kitab-kitab fikih, makna ‫ أو ﻻﻣﺴﺘﻢ اﻟﻨﺴﺎء‬menurut jumhur adalah menyentuh
wanita, ada pula sebagian ulama tafsir berpendapat ulama bahwa kalimat itu
bermakna bersetubuh. Imam Syafi’ i berpendapat bahwa makna ‫أو ﻻﻣﺴﺘﻢ‬
‫اﻟﻨﺴﺎء‬ bersentuhan kulit dengan yang bukan muhrim. Sementara imam
hanafi berpendapat makna ‫اﻟﻨﺴﺎء‬ ‫ أو ﻻﻣﺴﺘﻢ‬di sini adalah bersetubuh bukan
bersentuhan. Dari uraian tersebut, maka dapat dilihat, bahwa Bisri Musthafa
cenderung moderat. Artinya ketika menafsir kan ‫ أو ﻻﻣﺴﺘﻢ اﻟﻨﺴﺎء‬beliau
tidak membela suatu mazhab. Namun lebih mengambil jalan tengah, yakni
menyentuh atau bersetubuh.50
Kemudian persoalan mas kawin (mahar) yakni Q.S. An-Nisâ (4): 4

‫ﺻ ُﺪﻗَﺎﺗِ ِﻬ ﱠﻦ ﻧِ ْﺤﻠَﺔً ﻓَِﺈ ْن ِﻃْﺒ َﻦ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﻋ ْﻦ َﺷ ْﻲ ٍء ِﻣْﻨﻪُ ﻧَـ ْﻔ ًﺴﺎ ﻓَ ُﻜﻠُﻮﻩُ َﻫﻨِﻴﺌًﺎ َﻣ ِﺮﻳﺌًﺎ‬ ِ
َ َ‫َوآﺗُﻮا اﻟﻨّ َﺴﺎء‬
Artinya;
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu
dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu
dengan senang hati.”
Bahasa Jawa
Siro kabeh yen kawen, kudu maringi bojo iro kabeh maskawen kang
sak Mestine kelawan senenge. Lamun bojo wadon lego atine

49
Lihat Ridhoul Wahidi, Op.cit, h. 103-121
50
Ibid

25
mangsulake mas Kawin mau, siro kabeh diparengake mangan
wangsulan mau tanpo ono alangan opo-opo.
Bahasa Indonesia
Jika kalian menikah. Wajib memberi kepada istrinya mahar yang
sepantasnya. Sesuai dengan kehendakmu. Jika istrimu ikhlas
mengembalikan mahar tersebut. Maka kalian boleh memakan
pengembalian mahar tanpa ada halangan apa-apa.

Dari tafsiran ayat diatas kita ketahui bahwa hukum memberikan mahar
kepada calon istri itu wajib
Persoalan fikih yang ditafsirkan tentang poligami yakni pada Q.S.
An-Nisâ (4): 3
ِ َ‫َوإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ أﱠَﻻ ﺗُـ ْﻘ ِﺴﻄُﻮا ﻓِﻲ اﻟْﻴَـﺘَ َﺎﻣﻰ ﻓَﺎﻧْ ِﻜ ُﺤﻮا َﻣﺎ ﻃ‬
َ ‫ﺎب ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َﻦ اﻟﻨِّ َﺴﺎء َﻣﺜْـﻨَﻰ َوﺛَُﻼ‬
‫ث‬ َ
ِ ِ ِ ِ
‫ﻚ أَ ْدﻧَﻰ أﱠَﻻ ﺗَـﻌُﻮﻟُﻮا‬ ْ ‫ﺎع ﻓَِﺈ ْن ﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ أﱠَﻻ ﺗَـ ْﻌﺪﻟُﻮا ﻓَـ َﻮاﺣ َﺪةً أ َْو َﻣﺎ َﻣﻠَ َﻜ‬
َ ‫ﺖ أَﻳْ َﻤﺎﻧُ ُﻜ ْﻢ َذﻟ‬ َ َ‫َوُرﺑ‬
Artinya;
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika
kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang
saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu
lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Bahasa Jawa;
Wong-wong Islam ing zaman awal, yen ono kang ngerumat yatimah ing
mongko kabeneran ora mahram (anak dulur umpamane), iku akeh-akehe
nuli di kawin pisan. Naliki iku nganti kedadian ono kang duwe bojo wolu
utowo sepuluh. Barang ayat no 2 mau temurun, wong mau nuli podo
kuwatiran ora bisa ngadil, nuli akeh kang podo sumpek, nuli Allah Ta’ ala
nurunake ayat kang no telu iki surasane yen siri kabeh kuatir ora bisa
ngadil ono ing antarane anak-anak yatim kang siro rumah, ya wayuh loro-
loro bahe, utowo telu-telu, utowo papat-papat sangkeng wadon kang siro
senengi. Ojo nganti punjul songko papat. Lamun siro kabeh kuatir ora biso
ngadil nafaqah lan nggilir, mongko nikah siji wae, utowo ngarap cukup
jariyah kang siro kang miliki, nikah papat utowo siji, utowo ngalap jariyah
iku sejatine luweh menjamin kengadilan ora melempeng.

Bahasa Indonesia;
Orang-orang Islam zaman awal, jika mendidik anak yatim perempuan
yang tidak mahram (anak saudara misalnya), itu kebanyakan dinikahi
sekalian. Pada saat itu sampai terjadi beristri delapan atau sepuluh. Ketika
ayat 2 turun, orang-orang khawatir tidak bisa berlaku adil dan banyak
orang yang terpojok. Kemudian Allah menurunkan ayat ke tiga ini. Jika
kalian khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang
kamu didik, maka menikahlah dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat dari

26
perempuan yang kamu sukai. Jangan lebih dari empat. Namun jika
khawatir tidak bisa berlaku adil dalam hal nafkah dan menggilir, maka
lebih baik ikah satu saja. Atau nikahilah budak yang kamu miliki. Nikah
empat atau satu, atau menikahi budak sebenarnya lebih menjamin
keadilan.

Kata yang digunakan oleh Bisri Musthafa adalah loro-loro bahe,


utowo telu-telu, utowo papat-papat yang dalam terjemahan bahasa
Indonesia nya adalah dua-dua, tiga-tiga, empat-empat. Sekilas akan
dipahami dua-dua adalah empat, tiga-tiga adalah enam, empat-empat adalah
delapan. Kemudian dijelaskan lagi, jangan lebih dari empat.
5. Kelebihan dan Kekurangan Kitab Tafsir Al-Ibrîz
Ada beberapa hal yang dapat disebut sebagai kelebihan dari Tafsir
Al-Ibrîz.
a. Kelebihan Kitab Tafsir Al-Ibrîz
1) Dalam penafsiran, terlebih dahulu menerjemahkan secara harfiah
dengan tulisan gantung di bawah tulisan ayat-ayat al-Qur’an
2) Tidak menguatkan ataupun memihak terhadap salah satu pendapat,
sehingga memberikan kebebasan kepada pembaca atau memilih dan
menilai pendapat tersebut.
3) Tafsir ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat jawa, yakni yang menggunakan bahasa jawa sehari-hari
b. Kekurangan Kitab Tafsir Al-Ibrîz
Tafsir Al-Ibrîz juga memiliki kekurangan dan kelemahan yang bisa
1) Hadis yang dimuat dalam tafsirnya tidak di sertai sanad yang
lengkap sehingga tidak di ketahui kualitas hadisnya.
2) Masih terdapat Isrâiliyat dan dalam pengutipan pendapat Ahli Tafsir
terkadang tidak di sertai yang jelas dengan penyebutan Ulama atau
Ahli Tafsir.
3) Susah di pahami oleh orang luar jawa.

27
C. PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir Al-Ibrîz di tulis oleh KH. Musthafa Bisri yang lahir di kampung
Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Mashadi.
Wafat di Semarang tanggal 16 Februari 1977 karena serangan jantung, tekanan
darah tinggi, berusia 62 tahun. Tafsir Al-Ibrîz merupakan kitab tafsir yang
lengkap hingga 30 juz, menggunakan metode ijmâli. Menggabungkan dua
penafsiran, yakni tafsir bi Al-Ma’ tsûr dan bi Al-Ra’ yi. Tafsir ini menggunakan
corak fiqhi.
Kelebihannya adalah menerjemahkan secara harfiah dengan tulisan
gantung di bawah tulisan ayat. Tidak menguatkan/memihak terhadap salah satu
pendapat. Kekurangan, Hadis dalam tafsirnya tidak disertai sanad yang
lengkap. Terdapat Isrâiliyat. Dalam pengutipan terkadang tidak di sertai yang
jelas penyebutan siapa ulama yang dikutif. Sukar di pahami orang luar jawa.

28
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Sejahtera Kita, 2013, Cet. 2
Chakim, Luqman, Tafsir-tafsir ayat nasionalisme dalam Tafsir al-Ibriz karya K.H
Bisyri Musthafa, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2014
Fahmi, Izzul, Lokalitas Kitab Tafsīr Al-Ibrīz Karya KH. Bisri Mustofa, ISLAMIKA
INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Volume 5, Nomor 1, Juni 2019
Huda, Achmad Zainal, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa,
Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005
Ma’ luf, Louis, Al-Munjîd fî Al-Lughah, Beirut al-Maktabah al-Katulikiyah, t.t.h
Musthafa, KH. Bisri, Al-Ibrîz Li Ma’ rifah Al-Qur’ ân Al-’ Azîz bi Al-Lughah Al-
Jâwiyah, Rembang: Menara Kudus, t.th, Jld. I
Raco, J.R., Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya,
Jakarta: Grasindo, 2010
Rokhmad, Abu, Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz, Jurnal “Analisa”
Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011
Wahidi, Ridhoul, Karakteristik Penafsiran Bisri Musthofa dalam Al-Ibrîz li Ma’
rifati Tafsîr Al-Qur’an Al-Azîz, Tesis Pascasarjana IAIN Imam Bonjol
Padang, 2013

29

Anda mungkin juga menyukai