Misbah memiliki 4 saudara, yaitu Zuhdi, Maskanah, Bisri dan terakhir Misbah sendiri. Zuhdi dan Maskanah adalah putra dariistri H. Zaenal yang
pertama bernama Dakilah. Dengan kata lain Ibu Misbah yang bernama Khadidjah adalah istri kedua dari H.Zaenal. [2]
Saat ayahnya meninggal, usia Misbah terhitung masih remaja. Misbah bersama saudara-saudaranya yang lain kemudian diasuh oleh
kakak tirinya yang bernama Zuhdi. Oleh karena itu, meskipun orangtua Misbah berada tetapi Misbah sudah mengalami hidup yang
memprihatinkan sejak ditinggal ayahnya. Inilah salah satu motivasi Misbah untuk selalu menulis dan menerjemahkan kitab-kitab kuning bahkan
sejak dia masih berada di Pondok Pesantren. Hasil karangan dan terjemahannya kemudian ia jual untuk memenuhi kebutuhan atau biaya hidup
selama belajar di Pondok Pesantren. Tradisi inilah kemudian ia kembangkan hingga wafatnya. Tidak ada waktu luang bagi Misbah kecuali ia
manfaatkan untuk menulis dari tangannya kemudian lahir karyakarya tulisan dan terjemahan kitab klasik yang sangat banyak. Tradisi menulis ini
yang dikembangkan oleh kakak kandungannya bernama Bisri yang lebih dikenal dengan nama lengkap Bisri Musthafa pengarang Kitab Tafsir al-
Ibriz li Marifati al-Qur'an al-Aziz. [3]
Meskipun Misbah dan Bisri dilahirkan di daerah yang sama namun setelah menikah mereka berpisah dan bertempat tinggal di daerah
yang berbeda. Misbah pindah ke daerah Bangilan, Tuban, Jatim. Setelah menikah pada usia 31 tahun dengan Masruhah Putri dari KH. Ridhwan,
seorang pengasuh Pondok Pesantren al-Balagh. Dari hasil pernikahannya Misbah di karuniai 5 orang anak, yaitu Syamsiah, Hamnah, Abdullah
Badik, Muhammad Nafis, dan Ahmad Rofiq. Sementara itu Bisri pindah ke Rembang setelah menikah dengan Marfuah putri dari KH. Kholil
Harun. Baik Misbah maupun Bisri kemudian diberi kepercayaan yang mengelola Pondok Pesantren milik mertuanya karena kecerdasan dan
kemampuan yang ia miliki. Sebagai menantu dari seorang pengasuh Pondok Pesantren, Misbah mula-mula hanya ikut membantu mengajar
murid-murid di Pondok Pesantern itu, khususnya mengajar kitab kuning dalam bidang kaedah bahasa Arab, tafsir hadits, fiqh dan bidang-bidang
yang lain. Namun setelah KH. Ridhwan meninggal semua kegiatan Pondok Pesantren diserahkan kepada Misbah. [4]
Selain kegiatan mengajar, menulis dan menerjemah kitab kuning Misbah juga aktif dalam kegiatan politik, motivasi Misbah dalam
berpolitik adalah untuk berdakwah melalui partai atau ormas. Pertama Misbah aktif di Partai NU yang saat itu masih aktif dalam kegiatan politik.
Namun karena perbedaan persepsi tentang suatu masalah keagamaan atau bukan masalah politik akhirnya Misbah keluar. Masalah tersebut
terletak pada perbedaan pandangan mengenai boleh tidaknya mendirikan BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Misbah menganggap BPR sebagai
lembaga ekonomi yang mempraktekkan institusi riba, sehingga Misbah menganggapnya haram. Sementara NU menganggap bunga bank bukan
sebagai riba sehingga tidak masalah seandainya NU mendirikannya. Perbedaan pandangan ini merupakan salah satu pemicu keluarnya Misbah
dari Partai NU. (Misbah Musthafa, BPR NU dalam Tinjauan Al-Qur'an ,Tuban: t.p., 1990, hlm. 12). [5]
Setelah keluar dari Partai NU Misbah kemudian masuk lagi di Partai Masyumi, meskipun tidak lama. Ia kemudian keluar dan masuk
Partai PII (Partai Persatuan Indonesia). Keikutsertaan Misbah di Partai PII juga tidak berlangsung lama karena Misbah kemudian masuk Partai
Golkar. Sebagaimana sebelumnya, partisipasi Misbah di partai itu pun tidak berlangsung lama. Kemudian ia keluar dan berhenti dari kegiatan
berpolitik. Masuknya Misbah ke dalam beberapa partai bertujuan untuk berdakwah. Oleh karena itu, Misbah sering berdiskusi dengan teman-
teman dalam partainya terutama masalah yang sedang tren di masyarakat. Masuknya Misbah dari satu partai ke partai lain karena Misbah
merasa bahwa pendapatnya tidak sesuai dengan pendapat yang dianut oleh orang-orang yang duduk di masingmasing partai. Sebagai seorang
yang kuat pendiriannya dalam menghadapi perbedaan pendapat, lebih baik Misbah keluar dari satu partai dan memilih mempertahankan
pendapatnya itu. Setelah pensiun dari parpol, Misbah kemudian banyak menghabiskan untuk mengarang dan menerjemahkan kitab-kitab ulama
salaf karena menurutnya bahwa dakwah yang paling efektif dan bersih dari pamrih dan kepentingan apapun adalah dengan menulis, mengarang,
dan menerjemah kitab. [6]
Latar belakang intelektual Misbah dimulai ketika ia mengikuti pendidikan sekolah dasar yang saat itu diberi nama SR (Sekolah
Rakyat) pada usianya yang baru menginjak 6 tahun. Setelah menyelesaikan studinya Misbah kemudian melanjutkan pendidikan di PonPes
Kasingan Rembang pimpinan KH. Khalil bin Harun pada tahun 1928 M. Orientasi pendidikan Misbah difokuskan untuk mempelajari ilmu
gramatika bahasa Arab yang lebih dikenal dengan nama nahwu sharaf, buku-buku yang cukup familier bagi Misbah antara lain; Kitab al-
Jurumiyah. Al-Imriti dan alfiyah. Bahkan pada usianya yang muda Misbah berhasil mengkhatamkan alfiyah sebanyak 17 kali. Hal ini
menunjukkan keseriusan dan ketekunan Misbah dalam mempelajari nahwu sharaf. Setelah merasa paham dan matang Misbah kemudian
[7]
mengkaji Kitab Kuning dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seperti fiqih, ilmu kalam, hadits, tafsir, dan lain-lain.
Selain menimba ilmu pada KH Kholil, ia juga mengkaji ilmu-ilmu agama kepada KH.
Hasyim Asyari untuk mempelajari kitab kuning. Kemudian pada tahun 1948, Misbah menikah
dengan Masruhah dan pindah ke Bangilan Tuban, sekaligus membantu mengajar di Ponpes yang
dipimpin mertuanya itu. Sudah menjadi sebuah tradisi saat itu, ketika santri (siswa PonPes) yang
cukup menonjol secara intelektual akan diperebutkan untuk dinikahkan dengan putri kyai
pengasuh PonPes. Motivasi ini pula yang melatarbelakangi keinginan KH. Ridhwan untuk
menikahkan anaknya dengan Misbah. KH. Ridhwan telah melihat potensi Misbah dalam bidang
akademik selain kecerdasan yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap ilmu yang diajarkan dengan
cepat ia serap. Karena potensinya itu, KH. Ridhwan mengharapkan Misbah untuk mengurus
PonPes al-Balagh yang ia pimpin manakala ia belum meninggal dunia. Pada awalnya Misbah
merasa keberatan atas tawaran yang diberikan KH. Ridhwan untuk mengelola PonPes al-Balagh,
namun karena keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya, Misbah akhirnya terpacu untuk
mempelajari kitab kuning sendiri dengan bekal yang diperoleh ketika belajar di PonPes Kasingan
bersama KH. Kholil maupun PonPes Jombang bersama KH. Hasyim Asyari.[8]
Semua materi pelajaran yang diterima Misbah, dipelajari dengan sungguh-sungguh
sampai memahaminya. Motivasi Misbah dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan berdasarkan
pemahamannya terhadap salah satu ayat al-Qur'an yang mengatakan bahwa setiap orang yang
menginginkan sesuatu di dunia, maka Allah akan memberikannya dan begitu pula apabila orang
menginginkan akhirat pasti Allah akan memberinya. Dengan semangat tersebut Misbah merasa
yakin bahwa dengan mempelajari ilmu dunia secara sunggun-sungguh maka Allah akan memberi
kemudahan kepadanya. Setelah mempelajari aneka ragam disiplin ilmu-ilmu keagamaan melalui
sumber-sumber yang terdapat dalam kitab kuning, Misbah pun kemudian bermaksud mempelajari
ilmu-ilmu agama melalui penelaahan langsung terhadap sumber primer yang berupa al-Qur'an.
Dengan memahami langsung ayat-ayat al-Qur'an Misbah semakin yakin terhadap pengetahuan
yang dimilikinya. Kemudian pengetahuan tentang berbagai aspek ajaran Islam ini mendorongnya
untuk hidup sesuai dengan ajaran tersebut. Dari situ kemudian Misbah sering berdakwah dalam
satu kampung ke kampung lain untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Dengan kata lain Misbah
adalah seorang mubaligh yang cukup populer saat itu. [9]
Bukan hanya itu, Misbah juga seorang qori yang pandai dalam melagukan bacaan al-
Qur'an. Sebelum Misbah tampil untuk berdakwah dan berceramah seringkali Misbah tampil
sebagai qori, dengan kata lain dalam satu acara tertentu seringkali Misbah tampil sebagai qori
sekaligus sebagai mubaligh. Dari hasil pengamatan dan perjalanannya dari kampung ke
kampung, Misbah melihat banyak sekali perilaku masyarakat yang menyimpang dari ajaran-
ajaran al-Qur'an dan hadits. Hal ini mendorong Misbah untuk memberikan bimbingan kepada
masyarakat tentang pemahaman ayat-ayat al-Qur'an agar mereka mengerti ajaran al-Qur'an
sehingga perilaku mereka tidak menyimpang. Latar belakang ini kemudian memotivasi Misbah
untuk menafsirkan al-Qur'an dalam sebuah kitab yang kemudian diberi nama Taj al-
Muslim dalam kitab tafsir ini kita dapat melihat bahwa Misbah memiliki kepribadian yang
sangat kuat dalam memegang sebuah pendapat berdasarkan pemahamannya terhadap al-Qur'an.
Meskipun pendapat yang ia kemukakan tidak sejalan dengan pandangan umum, ia tetap
berpegang pada pendiriannya karena ia berkeyakinan bahwa pendapat yang ia kemukakan sesuai
dengan al-Qur'an dan hadits.
(2) ( 1)
Utawi kitab quran iku kitab kang penting, Tur ora ono mamang ing dalem quran tur dadi pitutuh marang wong kang arep ati-ati kabeh
(3)
Wong kang podo percoyo, sopo alladzina kelawan kahenan samar lan podo jenengake sopo alladzina, ingsholat lan saking opo wae, kang
maringi ingsun ing alladzinat podo miwaheake.
(4)
Sopo alladzina lan wong, kang podo percoyo sopo alladzina kelawan opo, kang diturunake maring sira lan opo, kang di turunakiopo ma
indelem sadurungi siro
Lan kelawan akherat Utawi alladzina, iku podo ngyakinake sopo alladzina.
(5)
Utawi alladzina, iku tetepi ngatasi pitutuh, kang tetep saking pangeran ialladzina, lan utawi alladzina, iyo alladzina, iku wong kang bejjo-bejj
okabeh.
a. Dalam menafsirkan 5 ayat pertama surat al baqarah.
Kyai Misbah memulainya dengan menafsirkan aya muqataah . Beliau menafsirkan ayat ini dengan menggunakan perumpamaan
kode yang berada dalam surat pemerintahan (No. 10/A/II/C), yang konon menurut beliau merupakan kode rahasia yang hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu dalam dunia tulis menulis surat dalam dunia pemerintahan. Selain itu maksud dari kode tersebut juga dilarang untuk di
sebarluaskan. Ayat muqotoah di atas, mempunyai filosofi yang sama dengan dengan kode di atas, sehingga menurut kyai Misbah ayat-ayat
tersebut hanya akan diketahui oleh allah, nabi Muhammad dan para kekasih Allah.
b. Tafsir Ayat ke dua,
Bagi orang yang ingin hidup hati-hati Kitab al quran adalah kitab yang penting dan sempurna. Selain itu al quran merupakan
petunjuk bagi jalan hidup mereka. Ada yang menarik ketika kyai Misbah menafsirkan kalimat al muttaqin dalam ayat kedua ini, yang mana
beliau mempunyai pengertian berbeda dengan ulama tafsir Indonesia berbahasa jawa sebelumnya tentang kalimat ini. Seperti tafsir al-Ibriz
karya KH. Bisri Mustofa bahwa al muttaqin di artikan semua orang hendak bertaqwa. [11] Sebagaimana disebutkan di awal paragraph
beliau menafsirkan kata al muttaqin dengan arti orang yang ingin hidup berhati-hati (taqwa). Beliau menghindari mengartikan kalimat
tersebut dengan menggunakan arti wong kang wis ngati-ngati yang artinya orang yang telah berhati-hati (orang yang telah bertaqwa) dengan
alasan bahwa orang yang demikian telah menjadikan al quran sebagai petunjuk dalam amaliyahnya untuk itu secara otomatis tidak perlu untuk
dibimbing oleh al quran lagi. Sebagai penguat dari hujjah beliau, beliau mencantumkan sebuah kaedah yang artinya menghasilkan
sesuatu yang telah dihasilkan, penafsiran seperti ini menurut kyai Misbah tidak pantas untuk di jadikan makna dari kalimat al muttaqin . [12]
c. Tafsir ayat ketiga, ciri-ciri orang yang bertaqwa.
Orang yang bertakwa ialah orang-orang yang percaya kepada hal-hal yang samar, yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia.
Seperti adanya surga, neraka dan lain-lainnya, selain itu mereka juga melaksakan sholat sesuai dengan syarat, rukun dan etika shalat. Serta
menafkahkan sebagian harta yang telah aku(Allah) berikan kepada mereka.
d. Ayat ke empat,
Dan mereka beriman (percaya) kepada kitab yang diturunkan kepadamu Muhammad (Al quran) dan kitab-kitab yang diturunkan
sebelummu, seperti injil dan taurat, dan beriman (percaya) akan adanya hari akhir atau kiamat.
Huruf wawu pada kalimat dalam ayat keempat di atas menunjukkan bahwa orang yang ingin hidup hati-hati (bertaqwa) itu
ada dua golongan. Pertama, orang yang awalnya musyrik kemudian ia beriman kepada hal yang ghaib, dan seterusnya. Kedua, orang yahudi dan
nasrani yang awalnya beriman kepada taurat dan injil kemudian ia beriman kepada al quran.
e. Ayat ke lima,
Orang yang demikian itu, adalah orang-orang yang dapat petunjuk dari tuhannya dan termasuk orang-orang yang beruntung
serta akan masuk surge dan selamat dari neraka.
Hudan artinya petunjuk, sebagaimana dalam lafal hudan lilmuttaqiendan juga yang berarti pertolongan di mudahkan dalam
melakukan kebaikan dan perintah Allah taala, seperti dalam firman inialahudan min robbi