Anda di halaman 1dari 17

AL-ASHIL DAN AL-DAKHIL DALAM TAFSIR SUFISTIK

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Al-Dakhil Fi al-Tafsir

Dosen Pengampu:
Abdullah Mubarok, Lc. M.Th.I

Oleh :

Luthfi Hidayat
NIM:2018.01.01.1181

PROGAM STUDI ILMU QUR`AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2020

1
AL-ASHIL DAN AL-DAKHIL DALAM TAFSIR SUFISTIK
Oleh: Luthfi Hidayat

A. Pendahuluan

Penggalian terhadap Alquran dari berbagai dimensi terutama dimensi penafsiran


akan selalu mengalami perkembangan dan dinamika yang sangat signifikan, seiring
perkembangan budaya dan peradaban manusia. Setiap generasi sejak awal
diturunkannya Alquran hingga sekarang, senantiasa melahirkan produk penafsiran
Alquran yang memiliki corak dan karakteristik yang bebeda-beda. Hal ini terjadi
disebabkan oleh perbedaan latar belakang kapasitas intelektual seorang mufasir, dan
Alquran yang bersifat multi dimensional. Perkembangan tersebut, tidak terlepas dari
perbedaan kecenderungan, motivasi, perbedaan misi yang diemban, perbedaan
kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta
perbedaan sosio-kultural mufasir. Hal tersebut, merupakan konsekuensi logis dalam
khazanah intelektual Islam, karena adanya diktum yang telah diyakini oleh umat
Islam bahwa “Alquran itu akan selalu relevan menjawab tantangan zaman di setiap
masa”.

Salah satu di antara corak tafsir yang dikenal dalam penafsiran Alquran adalah
tafsir bercorak sufistik, kemudian melahirkan ajaran tasawuf atau kerohanian yang
menekankan kepada kesucian dan kesempurnaan jiwa, hati (qalb) dan moralitas
dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli menuju manusia paripurna (insan kamil).1

Sebagaimana halnya ilmu pengetahuan lainnya, ilmu tafsir pun terus mengalami
pertumbuhan dan perkembangan, mulai dari masa Nabi Muhammad sampai sekarang.
Pada masa Nabi, pemegang otoritas penafsiran Alquran adalah Nabi sendiri, segala
persoalan yang muncul selalu dihadapkan kepada beliau dan diselesaikan pada saat
itu. Setelah beliau wafat, otoritas itu beralih kepada sahabat, tabi’in, kemudian tabi’
al-tabi’in dan generasi sesudahnya yang memenuhi prasyarat sebagai mufasir.

1
Mustafa Zahri, Ilmu Tasawuf: Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), 64-65.

2
Seiring dengan itu, perkembangan sufisme dalam dunia Islam dengan praktek-
praktek zuhud yang dilakukan oleh generasi awal Islam akibat adanya konflik
kepentingan politis dan kecenderungan materi, terus berlanjut dan berkembang yang
kemudian praktek-praktek tersebut diteorisasikan dan dicarikan dasar dalam Islam
atau Alquran melalui tafsir, sehingga dua kategori atau kelompok penafsiran yang
mempunyai pengaruh kuat dalam model penafsiran sufistik, yaitu tafsir sufi nadzari
(teoretis) dan tafsir sufi isyari (‘amali). Namun, dalam tafsir sufistik sendiri selain al-
ashil juga terdapat al-dakhil.

Untuk menjelaskan lebih lanjut, tulisan ini akan menjelaskan mengenai Tafsir
Sufi (Isyari), mulai dari definisi, sejarah lahirnya, corak dan karakteristik, serta
contoh al-dakhil didalamnya dan kitab-kitab yang bercorak sufistik.

B. Al-Dakhil dalam Tafsir Sufistik (Al-Dakhil fi al-Tafsir al-Isyari)


1. Pengertian Al-Dakhil dalam Tafsir Sufistik (Al-Dakhil fi al-Tafsir al-
Isyari)
Secara bahasa dakhil berasal dari kata dakhila yang bermakna bagian dalamnya
rusak, ditimpa oleh kerusakan dan mengandung cacat.2 Sedangkan secara istilah,
dakhil dalam tafsir yaitu suatu aib dan cacat yang sengaja ditutup-tutupi dan
disamarkan hakikatnya serta disisipkan di dalam beberapa bentuk tafsir Alquran yang
otentik.3

Adapun tafsir sufi atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir al-isyari, secara
bahasa berasal dari kata al-isyarah ( ‫ )اإلشارة‬yang bersinonim (muradif) dengan kata
al-dalil (‫دليل‬EE‫ )ال‬yang berarti "tanda, petunjuk, indikasi, isyarat, signal, perintah
panggilan, nasihat, dan saran”. Jadi kata “isyari” berfungsi sebagai keterangan sifat
bagi lafal “tafsir”, maka “tafsir al-isyari” berarti sebuah penafsiran Alquran yang
berangkat dari isyarat atau petunjuk melalui ilham. Para ahli tasawuf inilah yang

2
Ibrahim Musthofa, al-Mu’jam al-Wasit (Turki: Dar al-da’wah, 1990), 275.
3
Ibrahim ‘Abd al-Rahman Muhammad Khalifah, al-Dakhil Fi al-Tafsir (Kairo: Dar al-Bayan, t.tp),
1:2.

3
banyak menafsirkan Alquran melalui isyarat. Olehnya itu, “tafsir al-isyari” disebut
juga “tafsir sufi”.4

Menurut al-Dhahabi, Tafsir Isyari ialah suatu penafsirkan Alquran dengan


menyalahi maknanya yang terdapat pada kata-kata yang tersurat, penafsiran ini
dilakukan dengan mempergunakan isyarat-isyarat yang tersembunyi yang hanya
nampak pada pemuka-pemuka tasawwuf, dengan arti kata tafsir yang didasarkan pada
isyarat-isyarat rahasia dengan cara memadukan makna yang dimaksud dengan makna
yang tersurat.5

Hal demikian juga semakna dengan pengertian dari imam al-Zarqaniy bahwa
tafsir sufi atau tafsir al-isyari adalah menakwilkan Alquran dengan
mengesampingkan (makna) lahiriahnya karena ada isyarat (indikator) tersembunyi
yang hanya bisa disimak oleh orang-orang yang memiliki ilmu suluk dan tasawwuf.
Tetapi besar kemungkinan pula memadukan antara makna isyarat yang bersitat
rahasia
itu dengan makna lahir sekaligus.6

Tafsir bi al-isyarah umum juga disebut dengan tafsir al-shufiyah dan tafsir
al-bathiniyyah. Namun demikian, terdapat perselisihan pendapat di kalangan
ulama-ulama tafsir tentang penyamaan tafsir al-isyari dengan tafsir al-bathini,
Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir bi al-isyarah pada dasarnya identik
benar dengan tafsir al-bathini yang keduanya lebih mengutamakan makna-
makna AI-Qur'an yang tersirat daripada makna-makna tersurat. Sebagian ulama yang
lain tidak sepakat untuk menyamakan tafsir al-isyari/ al-tashawwufi dengan tafsir al-
bathini. Alasannya, karena yang pertama (tafsir al-shufiyyah), sama sekali tidak
menolak kehadiran makna lahir Alquran.

Malahan sebaliknya mereka memperdalam makna lahir Alquran itu dan mereka
berargumentasi bahwa satu hal penting yang mau tidak mau harus diperhitungkan
4
Nashruddin Baidan, Tasawuf dan Krisis (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), 54.
5
Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Dar al- Hadith, 2012), 308.
6
Muhammad Abdul ‘Adzim Al-Zarqaniy, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum Alquran (Beirut: dar al-Kutub
al-Islamiyyah, 2010), 310.

4
ialah bahwa orang yang mengklaim dirinya dapat memahami rahasia Alquran tanpa
menghiraukan makna lahir Alquran, berarti sama dengan orang yang mengaku telah
masuk ke ruangan sebuah rumah (gedung) sebelum membuka pintu lebih dulu.
Adapun para penganut aliran tafsir al-bathiniyyah pada umumnya menolak makna
lahir Alquran. Alasannya, menurut mereka, pada dasarnya makna lahir Alquran itu
bukanlah makna yang dikehendaki oleh Alquran itu sendiri, sebab yang dikehendaki
adalah di luar makna lahir dan karenanya harus beralih kepada makna bathin. Dengan
pendiriannya yang sedemikian itu, para penganut aliran tafsir al-
bathiniyyah sering mengabaikan aspek-aspek syariah,7 yang sesungguhnya juga
penting untuk diperhatikan.

Dalam perkembangannya, penafsiran sufistik pada prinsipnya terbagi atas dua


bagian yaitu: tafsir sufi nadzari dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi nadzari menghendaki
pengertian batin, maka penafsiran ini sering menggunakan takwil untuk
menyesuaikan pengertian ayat-ayat Alquran dengan teori-teori tasawuf yang mereka
anut. Tafsir sufi nadzari diduga memaksakan diri untuk memahami dan menerangkan
Alquran dengan penjelasan yang berbeda dari makna zahir ayat. Dengan demikian,
tafsir sufistik ini adalah suatu upaya dalam menafsirkan Alquran yang didominasi
paham sufi yang dianut oleh mufasirnya, karena tasawuf telah menjadi minat dasar
bagi mufasirnya, untuk legitimasi atas pendapatnya tentang paham tasawuf.

2. Sejarah munculnya tafsir sufi

Menurut Abdul Mustaqim dalam bukunya “Mazahib al-Tafsir" dijelaskan bahwa


berkembangnya sufisme dalam dunia Islam di tandai dengan praktik-praktik
asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak
munculnya konflik politis sepeninggal Nabi.8 Gerakan tasawuf berjalan secara
berangsur-angsur sedikit demi sedidkit, ia muncul dari sikap zuhud yang berusaha
melepaskan diri dari kehidupan duniawi. Selanjutnya berjalan melalui pemikiran-
pemikiran emanasi ketuhanan yang sangat populer dalam aliran Neo Platonisme yang
7
Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqaniy, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum Alquran., 311.
8
Abd al-Mustaqim, Mazahib al-Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Alquran Periode Klasik Hingga
Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), 84.

5
juga merupakan salah satu sumber pengetahuan bagi para sufi, lantas sampai pada
perasaan yang naik ke atas dan berujung pada perasaan rindu kepada Allah swt. dan
cinta yang sangat mendalam kepada Allah.9 Pada dasarnya cikal bakal aliran tasawuf
adalah gerakan hidup zuhud, sehingga jauh sebelum orang sufi lahir, telah ada orang
yang mengamalkan gerakan hidup zuhud dan secara tekun mengamalkan ajaran-
ajaran batin Islam, kemudian dikenal dengan ajaran tasawuf.

Menurut catatan sejarah, Huzaifah bin al-Yamani pertama-tama mendirikan


madrasah tasawuf, tetapi pada masa itu belumlah terkenal dengan nama tasawuf.
Imam sufi yang pertama dikenal dalam sejarah Islam yaitu Hasan al-Basri seorang
ulama besar tabi’in, murid pertama Huzaifah bin al-Yamani adalah keluaran dari
madrasah yang pernah didirikannya. 10 Dengan demikian, tasawuf berkembang
dimulai dari madrasah Huzaifah bin al-Yamani di Madinah, kemudian diteruskan
madrasah Al-Hasan al-Basri di Basrah dan seterusnya oleh Sa’ad bin al-Mussayib
salah seorang ulama besar tabi’in. Sejak itulah pelajaran ilmu tasawuf telah mendapat
kedudukan dalam Islam sepanjang masa.

Pada abad pertama Hijriah, tasawuf belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu
yang mandiri, maka abad ketiga Hijriah dapat diklaim sebagai awal dari adanya
kesadaran untuk merumuskan pengetahuan tentang tasawuf Islam sebagai bagian dari
upaya identifikasi tasawuf Islam dengan perilaku keagamaan yang senada. Klaim ini
dikuatkan oleh fakta sejarah yang menyatakan bahwa dalam masa ini muncul nama-
nama besar yang mulai tergerak untuk menulis tentang tasawuf semisal al-Muhasib³
(243 H.), al-Kharraz (277 H.), al-Hakim al-Turmudzi (285 H) dan al-Junaid (297 H),
(al-Taftazani).11 Upaya perumusan epistema ini menjadikan tasawuf tidak lagi identik
sebagai pengejawantahan sikap keberagamaan, namun beralih menjadi sebuah
disiplin ilmu yang memuat sebagian teori dengan terma-terma sufistik, sehingga pada

9
Ignaz Goldziher, Mazahib al-Tafsir al-Islami, terj. M. Alaika Salamullah, Mazhab Tafsir: Dari
Klasik Hingga Modern (Yokyakarta: eLSAQ Press, 2006), 21.
10
Mustafa Zahri, Kunci Memahami ilmu Tasawuf, 15.
11
Muhammad Mauhiburrahman, “Epistemologi Tasawuf Islam, Studi Analisa Kritis Atas Madkhal ila
al-Tasawuf al-Islami,” Makalah dipresentasikan dalam acara bedah buku Misykati Center, Cairo 30
Maret 2006.

6
abad ketiga Hijriah, tasawuf berbenturan dengan nilai-nilai normatif, selaras dengan
diskursus keagamaan yang lain seperti tafsir. Dari sinilah awal penafsiran yang
bercorak sufistik, karena para sufi mulai mengambil bagian dalam mengkaji dan
menafsirkan Alquran.

Dalam sejarah penafsiran sufistik Alquran, Ruslan membagi lima periodisasi


penafsiran Alquran yang bernuansa sufistik.12 Demikianlah sejarah singkat tentang
proses timbulnya tafsir sufi³ al-isyari yang melewati perjalanan panjang dalam dunia
Islam. Kaum sufi ini melakukan pengkajian terhadap Alquran lebih pada aspek
makna batin dari ayat-ayat Alquran untuk dijadikan dasar ajaran.

3. Corak dan karakteristik tafsir sufistik

Secara umum, dapat dipahami bahwa ciri khas tafsir sufi dalam mendekati
Alquran adalah pada sisi penggunaan intuisi atau irfan³. Dalam konteks pemikiran
kaum sufi, intuisi memiliki makna yang lebih dalam, karena berada dalam ranah
spiritual-ketuhanan. Intuisi kaum sufi bukan sekedar bisikan atau gerak hati yang
murni bersifat manusiawi, namun di sana terdapat pancaran Ilahiyah yang hadir
melalui penyingkapan (mukasyafah).13 Model inilah yang membawa dampak dalam
penafsiran Alquran yang melahirkan dua model penafsiran sufistik yang dikenal
dengan tafsir sufi al-isyari dan tafsir sufi nadzari.

a. Tafsir sufi al-isyari (‘amali)

Tafsir sufi al-isyari adalah penafsiran ayat-ayat Alquran yang berbeda dari makna
zahir ayat-ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh
seorang sufi dalam menemukan rahasia-rahasia Alquran. Dasar penafsiran dari tafsir
sufi al-isyari adalah bahwa Alquran mencakup apa yang zahir dan batin, makna zahir
dari Alquran adalah teks ayatnya, sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat di
balik makna zahir.

12
Ruslan, “Konsep Spiritualitas Ibn ‘Arabi dalam tafsir Ibn ‘Arabi, Disertasi (Makassar: PPs UIN
Alauddin, 2007, h. 83-90.
13
M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), 72.

7
b. Tafsir sufi nadzari

Tafsir sufi nadzari adalah tafsir yang dibangun untuk mempromosikan dan
memperkuat teori-teori mistik dengan menggeser tujuan Alquran kepada tujuan target
mistis mufasir. Al-Dhahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadzari dalam prakteknya
adalah pensyarahan Alquran yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang
dimaksudkan oleh syara'. Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir nadzari adalah
Muhyi al-din Ibn ‘Arabi, seorang sufi yang dikenal dengan paham wihdah al-wujud.
Penafsirannya selalu dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang merupakan teori
atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya dijadikan
legitimasi atas pahamnya.14

Ciri dari tafsir nadzari yaitu; pertama, penafsiran ayat Alquran dalam tafsir
nadzari sangat dipenuhi oleh filsafat. Kedua, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam
sesuatu yang nyata atau tampak atau dengan perkataan lain yang mengkiaskan gaib
ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan
hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh jiwa sang penafsir. Corak tafsir sufi
yang mempunyai karakteristik khusus, berorientasi pada pendekatan diri kepada
Allah swt. dan pemahaman wujud Tuhan atau bahkan penyatuan diri dengan-Nya.
Hal ini tidak lepas dari epistemologi yang dipakai, yaitu epistemologi ‘irfani yang
dalam cara kerja epistimologi ini adalah adanya konsep zahir dan batin. Mereka
melihat Alquran sebagai makhluk yang punya dimensi zahir dan batin, zahir dari
Alquran adalah teks Alquran sendiri, sedangkan yang batin adalah apa yang ada di
balik teks. Dengan demikian, tafsir sufi nadzari adalah penafsiran Alquran yang tidak
memperhatikan aspek bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara’. Sedangkan
tafsir sufi al-isyari adalah pentakwilan ayat-ayat Alquran yang berbeda dengan makna
zahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme, tetapi di
antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.

4. Macam-Macam Tafsir Isyari

14
Ibid.

8
Dilihat dari segi isi atau subtansinya, tafsir isyari dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu tafsir isyari yang maqbul (bisa di terima) dan tafsir isyari yang mardud
(ditolak).

Tafsir isyari bisa di terima jika memenuhi syarat, inilah al-ashil dalam tafsir
isyari, syarat tersebut sebagai berikut:

a. Tidak menafikan makna lahir (pengertian tekstual) dari makna-makna yang


terkandung dalam redaksi.
b. Penafsirannya tidak menganggap bahwa inilah satu-satunya tafsiran yang
dikehendaki Allah, tanpa mempertimbangkan makna tersurat.
c. Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang serta lemah atau
penafsirannya tidak terlal jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafal.
d. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio
e. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.15

Adapun contoh penafsiran secara isyarah atau sufistik yang disebutkan para ahli
tafsir, di antaranya penafsiran yang mengikuti kejadianyang terdapat dalam hadits
riwayat Bukhari yang dikemukakan oleh Manna Khalil Qattan. 16 Dalam suatu riwayat
dijelaskan bahwa Ibnu Abbas berkata : “Umar bin Khattab mengajakku bergabung
bersama tokoh-tokoh perang Badar. Di antara mereka ada yang keberatan dengan
kehadiranku dan berkata, “mengapa engkau mengajak anak kecil ini bersama kami
padahal kami mempunyai beberapa anak yang seumur dengannya? “Umar menjawab,
“Ia adalah orang yang kau kenal kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil
untuk bergabung dalam kelompok mereka. Ibnu `Abbas berkata, “Aku berkeyakinan
bahwa Umar memanggilku semata-semata untuk diperkenalkan kepada mereka.
Umar berkata, “Apakah pendapat kalian tentang firman Allah berikut ini (yakni surah
al-Nashr)? Di antara mereka ada yang menjawab, “Kami diperintahkan untuk memuji
dan meminta ampunan kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan.“
sedangkan sahabat yang lain diam saja tidak mengatakan apa-apa. Kemudian Umar
15
Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqaniy, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum Alquran.,312. Lihat juga,
Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun., 2:330.
16
Ibid., 349.

9
menanyakan pula kepadaku, “Begitukah pendapatmu hai Ibnu `Abbas ? Aku
menjawab,”tidak”, ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah yang diberitahukan
Allah kepadanya”. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. Umar
menjawab, “Aku tidak tahu pengertian ayat tersebut, kecuali yang engkau jelaskan“.

Berdasarkan riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas mempunyai


pemahaman yang tidak bisa dikuasai oleh sahabat-sahabat yang lain. kecuali Umar r.a
dan Ibnu ‘Abbas sendiri. Inilah bentuk Tafsir al-Isyari yang diilhamkan Allah kepada
makhluk-Nya yang dikehendaki untuk diperlihatkan kepada hamba-hamba lainnya,
dimana dalam surah al-Nashr diberikan kepada Ibn Abbas dan Umar.

Adapun Al-dakhil dalam tafsir isyari atau tafsir isyari yang mardud (ditolak) ialah
tafsir yang menyalahi salah satu dari syara-syarat penerimaan tafsir isyari di atas. Di
antara contohnya ialah penafsiran aliran al-Bathiniyah yang menafsirkan kata
baqaratun (‫ )بقرة‬dengan nafsu binatang pada surat al-Baqarah ayat 67:

ِ ‫واِ ْذ قَ َال مو ٰسى لَِقو ِمهٖٓ اِ َّن ال ٰلّه يأْمر ُكم اَ ْن تَ ْذحَب وا ب َق ر ًة ۗ قَالُْٓوا اََتت‬
‫َّخ ُذنَا ُه ُز ًوا ۗ قَ َال اَعُ ْوذُ بِال ٰلّ ِه‬ َ َ ُْ ْ ُُ َ َ ْ ُْ َ
ِ‫اَ ْن اَ ُكو َن ِمن اجْلٰ ِهل‬
َ ‫ْ َ نْي‬
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah
memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka
bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia
(Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk
orang-orang yang bodoh.”
Para pengikut al-bathiniyyah ada yang menafsirkan ayat tersebut dengan
penafsiran demikian: "Perintah menyembelih sapi pada ayat di atas memberikan
isyarat bahwa manusia yang diperintahkan supaya menyembelih (membunuh)
nafsu binatang (an-nafs al-bahimah), karena membunuh nafsu binatang yang
ada pada diri manusia berarti menghidupkan hati yang bersifat rohani. Dan
itu merupakan jihad terbesar (al-jihad al-akbar) yang berarti sama dengan matilah
kamu sebelum kamu mati. Orang-orang bathiniyyah mengarang sajak demikian:

10
‫إ ّن يف قتلي حيايت‬ ‫أقتلوين يا ثقايت‬
‫وممايت يف حيايت‬ ‫وحيايت يف ممايت‬
Bunuhlah aku hai kepercayaanku! Karena, sesungguhnyaa dalam kematianku
terdapat kehidupanku
Kehidupanku terletak dalam kematianku, dan kematianku terwujud dalam
kehidupanku.
Syarat-syarat Tafsir Al-Isyari Dalam Pandangan Ibn Qayyim, sebagaimana
yang di kutip oleh al-Zarqani, penafsiran terhadap Alquran yang dilakukan oleh para
penafsir berkisar pada tiga hal pokok, yakni: Tafsir mengenai uraian-uraian lafaz,
sebagaimana yang dilakukan oleh ulama-ulama muta‘akhkhirin. Kemudian tafsir
tentang makna, sebagaimana yang ditempuh oleh kaum salaf, dan tafsir mengenai
isyarat yaitu suatu bentuk pentafsiran yang ditempuh oleh mayoritas ahli sufi dan
lain-lain. Tafsir yang terakhir ini dapat diterima jika memenuhi persyaratan-
persyaratan sebagai berikut:

a. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) Alquran


b. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
c. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
d. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja lah tafsiran yang
dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
e. Penafsirannya tidak terlal jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan
lafal.17

Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka penafsiran secara Isyari dapat diterima
dan menjadi buah karya yang baik. Tanpa syarat-syarat tersebut di atas, tafsir Isyari
tidaklah dapat diterima, dan termasuk dalam tafsir berdasarkan ra‘yu semata, yang
dalam hal ini terlarang secara umum.

5. Kitab-Kitab Tafsir Bercorak Tafsir Al-Isyari

17
Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqaniy, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum Alquran., 312.

11
Kitab-kitab tafsir yang dihasilkan oleh ulam-ulama sufi cukup banyak bahkan
sampai sekarang masih tetap eksis diberbagai perpustakaan di berbagai Negara baik
yang mengupas ayat-ayat Alquran secara lengkap maupun sebagaian ayat-ayat
saja.Diantara kitab-kitab tafsir tersebut adalah:

1. Tafsir al-Tusturiy yang juga dikenal dengan Tafsir Alquran al-’Azim karya
Abu Muhammad Sahl ibn Abdillah al-Tusturiy (w.283 H). Tafsir ini tidak
mengupas semua ayat-ayat Alquran meskipun lengkap menyebutkan surah-
surah al- Qur’an, Tafsir ini telah menempuh jalan sufi, namun disesuaikan
dengan ahli Zahir
2. Tafsir Ruh al-Ma’aniy, juga dikenal dengan Tafsir al-Alusi, sebuah kitab tafsir
sufi yang disusun oleh Syihabuddin al-Sayid Muhammad al-Alusi al-
Baghdadi (W 1270H) Tafsir ini termasuk kategiri tafsir yang besar dan luas
serta lengkap, didalamnya dijelaskan riwayat-riwayat salaf, selain itu
disebutkan pula pendapat-pendapat ulama khalaf yang muktabar .
3. Gharaib Alquran wa Raghaib al-Furqan. Tafsir ini dikenal pula dengan tafsir
al-Naisaburiy, Tafsir ini disusun oleh Nizamuddin al-Hasan Muhammad al-
Naisaburiy ( w 728 H). Tafsir ini cukup terkenal dan mudah diperoleh karena
ditulis pada bahagian tepi tafsir ibn Jariri al-Thabariy, ungkapan bahasanya
mudah, selain itu pengarangnya mentahqiq mana yang perlu ditahqiq.
4. Tafsir Ibn ‘Arabiy, Tafsir ini merupakan buah karya Abdullah Muhammad
Ibn Ahmad Ibn Abdullah Muhyiddin Ibn ‘Arabiy (w 238 H) Beliau ini juga
dijuluki dengan Syikh al-Akbar. Namun tedapat ulama’ yang berselisih
mengenai corak tafsir ini.
5. Tafsir Raisu al-Bayan fi Haqaiq al- Qur’an. Tafsir ini merupakan buah karya
Abu Muhammad Ruzbihan bin Abi al-Nash al-Syairazi. (w 606 H) Kitab ini
berjumlah dua juz namun dimuat dalam satu jilid. Sekalipun penulisnya
menyakini bahwa pentafsiran zahir ayat merti menjadi perhatian lebih dahlu,
namundalam tafsir ini seluruhnya dilakukansecara isyarah dan tidak
menampilkan makna zahir.

12
6. Haqaiq al-Tafsir . Tafsi ini disusun oleh Abu Abd al- Rahman Muhammad
bin Husin al-Azdi (w.412 H). Tafsir ini mengupas seluruh surah al-Qur;an
namun tidak mengupas seluruh ayatnya. Penafsirannya didasarkan pada
isyaratisyarat semata tampa memperhatikan zahir Alquran .Tafsir deitulis
dalam satu jilid buka yang besar.
7. Tafsir al-Ta’wilah al-Najimiah, Kitab tafsir buah karya Najmuddin Dayah dan
Ahmad Daulah al-Samnawi. Tafsir yang berjumlah sebanyak 5 jilid besa ini
pada awalnya disusun oleh Najmuddin Dayah, namun ketika menyususn jilid
keempat tepatnya pada ayat 17 dan 18 surah al- Zariat beliau sudah meninggal
dunia. Kemudian diteruskan oleh Ahmad Daulah al-Samnawi sebagai
penyempurna . Terdapat perbedaan cara pentafsiran antara kedua penyususn
ini. Najmudin dalam mentafsirkannya selain menggunakan isyarat terkadang
terlebih dahulu menggunkan makna zahir.18
8. Ara'is al Bayan fi Haqaiq Alquran )Jempana Keterangan dalam Hakikat
Alquran), susunan Muhammad al-Syairazi.
9. Tafsir wa Isyarat Alquran (Tafsir dan Isyarat Alquran), buah pena Muhyi
al-Din Ibn Arabi (w. 560-638 H/1165-1240 M).19
6. Pandangan Para Ulama Mengenai Tafsir Isyari

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli tafsir tentang penggunaan


tafsir bi al-isyarah. Sebagian ada yang membolehkan bahkan menganggapnya
sebagai bagian dari (tanda-tanda) kesempurnaan iman dan kesucian pengetahuan
seseorang. Sementara sebagian lain ada yang memandang tafsir bi al-isyarah
sebagai aliran tafsir yang salah dan sesat-menyesatkan serta menyimpang jauh
dari agama Allah yang sebenarnya.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah (691-751 H/1921-1350 M) mengatakan bahwa


penafsiran Alquran yang dilakukan para mufassir itu pada hakikatnya bersandar
pada tiga hal, yaitu: pertama, tafsir yang berorientasi kepada lafal, yang umum

18
Abd Wahid, “Tafsir Isyari Dalam Pandangan Imam Ghazali”, Jurnal Ushuluddin, XVI: 2 (2010),
127. Lihat juga, Muhammad Husain al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun., 2:333-350.
19
H. Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 371.

13
dilakukan ulama-ulama khalaf (kontemporer); kedua, tafsir yang lebih mengarah
kepada makna ayat, Seperti yang dilakukan oleh kebanyakan ulama salaf; ketiga,
tafsir yang lebih cenderung kepada makna isyarah (tersirat) sepertu yang umum
dilakukan oleh kalangan mutashawwifah.

Tafsir yang disebutkan terakhir, kata Ibn Qayyim lebih jauh, tidak mengapa
dijadikan pegangan selama memenuhi empat syarat di bawah ini:
a. Tidak bertentangan dengan makna (lahir) ayat
b. Makna itu sendiri memang ada dalam teks ayat yang ditafsirkan
c. Ada pemberitahuan (isyarah) atau indikator dalam lafal Alquran itu
sendiri (untuk menggunakan pengertian yang bersifat implisit)
d. Antara penafsiran dan makna ayat itu sendiri terdapat jalinan hubungan
yang mengikat (irtibath al-talazumi)20
7. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Isyari
Di atas telah dijelaskan perihal pendapat yang memandang tafsir bi al-
isyarah sebagai tafsir yang menunjukkan mufassirnya tergolong ke dalam
kelompok orang-orang yang sempurna imannya lagi bersih pengetahuannya. Ini
menggambarkan kelebihan tafsir bi al-isyarah. Setidak-tidaknya jika memenuhi
empat persyaratan utama yang diformulasikan Ibn Qayyim al-Jawziyyah di atas.
Tafsir bi al-isyarah pada hakikatnya lahir sejak di masa-masa awal Islam
generasi sahabat. Paling tidak di antaranya Ibn Abbas ketika mengambil
kesimpulan bahwa usia Nabi Muhammad Saw. tidak akan lama lagi setelah
surat Al-Nashr [110] diturunkan.
Masih berkaitan dengan kelebihan tafsir bi al-isyarah, sebagian orang ada
yang mengistinbathkan umur Nabi Muhammad Saw. berjumlah 63 dari firman
Allah pada surat al-Munafiqun ayat 11:

‫َولَ ْن يُّ َؤ ِّخَر ال ٰلّهُ َن ْف ًسا اِ َذا َجاۤءَ اَ َجلُ َه ۗا َوال ٰلّهُ َخبِْي ۢ ٌر مِب َا َت ْع َملُ ْو َن‬

Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu


kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.

20
H. Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an., 371.

14
Cara pengistinbathannya ialah karena ayat ini sebagai pangkal dari surat
Alquran ke-63 yang ujungnya dihubungkan dengan surat AITaghabun [surat ke-64]
menyimbulkan hari-hari penampakan berbagai kesalahan orang munafik yang
dalam istilah Alquran disebut dengan al-Taghabun disebabkan kehilangan
Kematian) Muhammad Saw.
Jika uraian di atas melukiskan kelebihan tafsir bi al-isyarah, maka beberapa
contoh di bawah ini menggambarkan kelemahannya. Terdapat kelemahan
dalam tafsir bi al-isyarah yang lebih mengutamakan intusisi (wijdan) sehingga
mengakibatkan ada kesulitan untuk membedakan mana yang benar-benar ilham
dari Allah Swt. dan mana pula yang merupakan kecenderungan hawa nafsu.
Beberapa contoh tafsir mardud yang disajikan sebelum ini, mengisyaratkan
kelemahan dan sekaligus bahaya tafsir bi al-isyarah. Contoh lain dari kelemahan
tafsir bi al-isyarah ialah ketika menafsirkan ayat di bawah ini:
ٰ ۗ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٓ
َ‫ٰياَُّي َه ا الَّذيْ َن اٰ َمُن ْوا قَ اتلُوا الَّذيْ َن َيلُ ْونَ ُك ْم ِّم َن الْ ُكفَّا ِر َولْيَج ُد ْوا فْي ُك ْم غ ْلظَ ةً َو ْاعلَ ُم ْٓوا اَ َّن اللّ ه‬
ِ
َ ‫َم َع الْ ُمتَّقنْي‬
Wahai orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar
kamu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan
ketahuilah bahwa Allah beserta orang yang bertakwa.
Para pengamal tafsir bi al-isyarah khususnya al-bathiniyyah menafsirkan kata
ْ pada ayat di atas dengan hawa nafsu (‫)نفس‬. Sehingga, menurut
al-kuffar (‫)ال ُكفَّار‬
mereka, ayat ini tidak menyuruh orang-orang Islam berjihad (berperang) dalam
arti fisik yakni memerangi orang-orang kafir, akan tetapi menyuruh memerangi
musuh yang paling dekat dengan atau bahkan di dalam diri manusia sendiri,
yakni hawa nafsu yang ada dalanm dirinya. Sedangkan musuh yang paling dekat
dengan dirinya itu tiada lain adalah hawa nafsu. Penafsiran demikian tentu saja
sangat salah mengingat Nabi Muhammad sendiri yang menyampaikan
Alquran dan diberi otoritas menafsirkannya pernah melakukan peperangan
sebanyak 27 kali selama beliau berada di Madinah.21
C. Kesimpulan
21
H. Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an., 374.

15
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa tafsir isyari adalah tafsir yang
didasarkan kepada pemahaman ayat secara mendalam yang terungkap dari jerih
payah proses penjernihan dan pensucian hati. Namun, dalam perjalanannya tafsir
isyari terbagi menjadi dua model penafsiran sufistik yang dikenal dengan tafsir sufi
al-isyari dan tafsir sufi nadzari.

Terdapat kriteria yang diberikan syara’ mengenai tafsir sufi, sehingga ada tafsir
sufi yang tertolak dan diterima, penafsiran yang ditolak tersebut terdapat al-dakhil
didalamnya, sementara yang diterima tidak terdapat al-dakhil didalamnya.

Daftar Pustaka

16
‘Abd al-Rahman Muhammad Khalifah, Ibrahim. al-Dakhil Fi al-
Tafsir. Kairo: Dar al-Bayan, t.tp.

Baidan, Nashruddin. Tasawuf dan Krisis. Semarang: Pustaka Pelajar, 2001.

Dhahabi (al), Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo:


Dar al- Hadith, 2012.

Goldziher Ignaz, Mazahib al-Tafsir al-Islami, terj. M. Alaika Salamullah,


Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga Modern. Yokyakarta: eLSAQ
Press, 2006.

Mauhiburrahman, Muhammad, “Epistemologi Tasawuf Islam, Studi Analisa


Kritis Atas Madkhal ila al-Tasawuf al-Islami,” Makalah
dipresentasikan dalam acara bedah buku Misykati Center, Cairo 30
Maret 2006.

Mustaqim (al), Abdul. Mazahib al-Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran


Alquran Periode Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun
Pustaka, 2003.

Musthofa, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasit. Turki: Dar al-da’wah, 1990.

Ruslan, “Konsep Spiritualitas Ibn ‘Arabi dalam tafsir Ibn ‘Arabi, Disertasi.
Makassar: PPs UIN Alauddin, 2007.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran, Fungsi dan Peran Wahyu


Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.

Suma, H. Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers,


2013.

Wahid, Abdul. “Tafsir Isyari Dalam Pandangan Imam Ghazali”, Jurnal


Ushuluddin, XVI: 2 (2010).

Zahri, Mustafa. Ilmu Tasawuf: Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya:


Bina Ilmu, 1983.

Zarqaniy (al), Muhammad Abdul ‘Adzim. Manahil al-‘Irfan Fi


‘Ulum Alquran. Beirut: dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2010.

17

Anda mungkin juga menyukai