Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui, bahwa Tafsir merupakan pengetahuan yang membahas
maksud-maksud Allah yang terkandung dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusia.
Oleh karena itulah, tafsir merupakan salah satu ilmu yang paling agung dan tinggi
kedudukannya, disebabkan obyek pembahasannya yaitu kalamullah yang sangat mulia dan
banyak dibutuhkan orang.
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat al-
Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti
yang dikandung oleh suatu kosakata. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan
berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-
Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan
zaman dan penengetahuan, karena dalam al-Qur’an sendiri memberikan kemungkinan-
kemungkinan arti yang tidak terbatas.
Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan
penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa,
corak filasafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra
budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya.
Disamping itu, Timbulnya tasawuf dalam Islam salah satunuya dikarenakan adanya
segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan
melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan
cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan
duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya.
kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan
pertama. Al-Dzahabi membenarkan bahwa praktik tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak
masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam
zuhud dan ibadah dan yang lainnya, tetapi masa itu tidak dikenal istilah tasawuf (Al Dzihabi,
1976:251)
Selain itu pada generasi berikutnya sekitar abad ke-2 H, secara berangsur-angsur terjadi
pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah

1
angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhan lebih dikenal
dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang
dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi yang wafat tahun 150 H.
Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama generasi pertama dan kedua berlanjut
sampai pada masa pemerintahan Abbasiyah, ketika itu umat Islam mengalami kemakmuran
yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah.
Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada
praktik hidup sederhana saja, tetapi mulai ditandai dengan berkembangnya suatu cara
penjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf.
Untuk itu dalam makalah ini, penulis akan mengangkat sekilas tentang masalah tafsir
perspektif orang golongan ahli sufi atau aliran tasawuf. Perkembangan sufisme yang kian
marak di dunia Islam ditandai oleh praktik-praktik asketisme dan eskapisme1 yang dilakukan
oleh generasi awal Islam. Hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal nabi
Muhammad SAW.
Praktik seperti terus berkembang pada masa berikutnya. Seiring berkembangnya aliran
sufi. Merekapun menafsirkan alqur’an sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Pada
umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat alqur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja.
Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang topik diatas maka dalam penulisan makalah ini dapat
dirumuskan, yakni:
1. Bagaimanakah pengertian tafsir shufi?
2. Bagaimana pembagaian tafsir shufi?
3. Apakah syarat-syarat tafsir shufi dapat diterima?

C. Tujuan

1
Asketisme adalah doktrin yang mempromosikan pengembangan semangat melalui penolakan tubuh, terutama
kebutuhan dan kesenangan, dan keterlibatan dalam aspek duniawi dari duniawi hidup.
Eskapisme adalah kehendak atau kecenderungan menghindar dr kenyataan dng mencari hiburan dan ketenteraman
di dl khayal atau situasi rekaan

2
Makalah yang berjudul Tafsir Shufi dalam mata kuliah Studi Al Qur’an ini ditulis dengan
tujuan antara lain:
1. Untuk mengetahui pengertian tafsir shufi;
2. Untuk mengetahui pembagian tafsir shufi;
3. Untuk mengetahui syarat-syarat tafsir shufi dapat diterima.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Sufi

Kata sufi ini mempunya banyak pengertian salah satunya ialah bahwa suf ( ‫)ص وف‬

berasal dari madzi dan mudlari’ ‫ صاف يصوف‬yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba
(wol), merujuk pada jubah yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana.
Namun, tidak semua orang sufi memakai jubah atau pakaian dari wol.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasala dari madzi dan mudlari’ ‫صفا‬

‫ يصفو‬yang mempunyai arti jirnih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati
dan jiwa. Dapat diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau
sufisme yaitu orang yang hidup sederhana, menjahui urusan dunia (zuhud) dan memurnikan
hati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Gerakan kaum sufi juga dikenal dengan
tasawuf.
Bila kita mengingat kembali pembagian kelompok aliran tasawuf maka hal itu dapat
dipaparkan sebagai berikut:
a. Kelompok Zuhud: Mereka terdiri dari para pertapa, zuhud, ahli ibadah dan yang suka
menangis. Misalnya Rabi’ah al-Adawiyah dan Ibrahim bin Adham
b. Kelompok Kasyf dan Ma’rifah: Mereka menganggap bahwa logika akal saja tidak dapat
mencapai derajat makrifah dan mengetahui hakikat yang ada. Mereka mengembangkan
riyadhah kejiwaan untuk membuka tabir kebodohan.
c. Kelompok Wihdatul Wujud: Mereka berpijak pada sebuah keyakinan bahwa Allah swt
berada dimana-mana dan Dialah segala sesuatu itu. Tokohnya adalah Ibnu Arabi
d. Kelompok Ittihad dan Hulul: Menurut mereka seorang sufi menggambarkan bahwa Allah
swt ada dalam dirinya dan dirinya telah bersatu dengan Allah swt. Tokohnya adalah al-
Hajjaj.
Jadi, apakah pengertian tafsir sufi itu sendiri? tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh
para sufi (Al-Zarqani, 1986:117). Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini
juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawuf an Nazhari disebut Tafsir al
Shufi al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsur al
isyari.

4
Al Dzihabi memaparkan juga bahwa tafsir sufi adalah penafsiran al Qur’an yang
berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat. Dan hal itu
dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang yang berbudi luhur dan terlatih jiwanya (Mujahadah),
diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia al- Qur’an. Mereka
menafsirkan ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan pembahasan dan pemikiran mereka yang
berhubungan dengan kesufian yang justru kadang-kadang berlawanan dengan “Syari’at Islam”
dan kadang-kadang pemikiran mereka tertuju pada hal yang bukan-bukan tentang Islam. (Al
Dzihabi, 1976:251)
Tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi
dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau
karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi
yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi
mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu
hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf. Para sufi
umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

ْ ‫ف َح ٌّد َولِ ُكلِّ َح ٍّد َم‬


‫طلَ ٌع‬ ْ َ‫لِ ُك ِّل ايَ ٍة ظَ ْه ٌر َوب‬
ٍ ْ‫ط ٌن َولِ ُكلِّ َحر‬
Artinya: “Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-
batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”

Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi untuk menjustifikasi
tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-
Qur’an tersimpan makna batin. Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin
Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin seperti ruh;
badan tanpa ruh adalah substansi yang mati (Al-Suyuti, 1951:104) Tidak heran bila para sufi
berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks Al-Qur’an.
Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (Gharib),
melainkan sesuatu yang inheren dengan Al-Qur’an. Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya
bisa ditolak atau diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab dua
pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali menafsirkan potongan ayat
ْ َ‫ ) ف‬yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”.
(QS:20;12) ( َ‫اخلَ ْع نَ ْعلَ ْيلَ ك‬
Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu,
baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan
jangan pula mencari pahala ukhrawi, tai carilah wajah Allah semata”.3 Kita boleh setuju atau

5
tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai
tentang mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada
penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa bisa
mempertanyakan penalaran di balik penafsiran tersebut.
Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara nash Al-Qur’an dengan
tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi kecuali para sufi iut melihat nash Al-Qur’an
sebagai isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan
tafsir isyari (Al-Zarqani, 1986:129)., yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah
“menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada
isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian tafsir batin tersebut
masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
Jadi, isyarat-isyarat Al-Qur’anlah yang direnungkan oleh para sufi, sehingga mereka
sampai pada makna batin Al-Qur’an. Dan di sinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat
rentan untuk disalah tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang dilakukan
oleh kaum Bathiniyah Al-Taftazani, (Abu Al-Wafa Al-Ghanami, 1997:207). Dengan dalih bahwa
di balik makna zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin
yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika mereka
menafsirkan surat al-Hijr ayat 99 (QS.15:99)
     
Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai ajal tiba”.
Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu
adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban bagnya”
(Faudah, 1987:217).
Jelas bias kesektariannya sangatlah kental dalam tafsir kaum bathiniyah. Dan para sufi
mencela penafsiran seperti itu. Walaupun mereka juga menggali tafsir batin Al-Qur’an, namun
para sufi merasa bahwa tafsir mereka tidaklah sama dengan tafsir kaum Bathiniyah; Pertama
karena penafsiran mereka diperoleh mengalau kasyaf (Solihin, 2003:173).  Kedua, karena
mereka tidak mengabaikan makna zahir Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan kaum
Bathiniyah. Namun demikian, apakah betul karena itu, yakni karena berbeda dengan kaum
Bathiniyah, sehingga tafsir sufi steril dari bias sectarian? Masalah ini perlu dielaborasi lebih
lanjut.

B. Pembagian Tafsir Shufi

6
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam dengan praktik-praktik asketisme dan
eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentingan
politis semenjak ditinggal Nabi. Dismping perkatik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan
berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini
diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul
teori khauf, mahabah, ma’rifah, hulul dan wahdatul wujud.
Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam dunia Islam yaitu para
praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah dan para teosof yang lebih
mementingkan teori-teori mistis. Kedua model sufisme ini pada gilirannya membawa dampak
tersendiri dalam dunia penafsiran sufistik ini yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir sufi
nadhari dan tafsir sufi isyari. Berikut pembahasannya:

1. Tafsir Sufi Nadhari


Tafsir sufi nadhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan
memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir
membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia,
tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Az-Zahabi
mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam praktiknya adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak
memperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis (nadhari) yaitu Muhyiddin
Ibn al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhari yang meyandarkan
bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-
Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan
paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya
persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Qur’an tentang paham ini diantaranya.

7
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186:
            
      
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka
Artinya: “Dan
(jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku)
dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam
arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini adalah mengandung arti berseru atau memanggil.
Tuhan mereka memanggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain,
mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.

Surat Al-Baqarah 115:   


..          

Artinya: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ
wajah Allah.”

Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan dimana saja Tuhan
dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat
dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.

C. Surat Qaf ayat 16:


           
          
    

Artinya: “ Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”,

Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan
orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan
perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam
diri manusia. Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh
paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan
seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya. az-Zahabi berpendapat
bahwa Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah keluar dari madlul ayat yang

8
dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, az-Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran
Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.
Sementara itu az-Zahabi juga menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran
nadhari yang dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhari sangat besar dipengaruhi
oleh filsafat. Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhi filasafat yaitu
penafsiran Ibn al’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam :
   
Artinya: “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”.

 Menurut az-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh


pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lafazh makanan ‘aliyyan dengan antariksa
(alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir nadhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata
atau tampak dengan perkataan lain meng-qiyas-kan yang gaib pada nyataan.
 Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan
apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir nadhari adalah hanya
berdasarkan pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut
hemat penulis tafsir nadhari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai
oleh kaum sufi. Tetapi tafsir nadhari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah
yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara zhahir.

2. Tafsir Sufi Isyari


Tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna
lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara
kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan
menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin.
Makna lahir (zhahir) dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna
isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Qur’an
yang hanya melihat zhahir-nya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga
diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut

9
dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu,
bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan
menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir
tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang
ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau
ra’yi, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yi (akal).
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah metode isyarat
(Isyarah). Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir
suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah
untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal
metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan
takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Qur’an
tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Qur’an
dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan “isyarah”.
Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi
pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola
sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir menuju yang batin. Bagi mereka
batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zhahir (teks) adalah penyinar. Al-Gazali sendiri
menegaskan bahwa selain yang zahir, al-Qur’an memiliki makna batin. Abdullah (Al-Muhasibi)
memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah
bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan zhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah
pemahamannya.
Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah. Lahir adalah
turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa umatnya, sedangkan
batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal
dari Allah. Oleh karena itu dulisme lahir-batin dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan
penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah
menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi zhahir dan batin (dan al-Qur’an
termasuk makhluk). Yang zhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan
yang batin adalah al-Ruh al-Ma’nawi.

10
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah
banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu ketika
para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr ayat 1 yang bunyinya:
       
Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan” (QS. Al-Nasr:1)

Diantara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan
mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada
Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa
ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari
surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan.
‘Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat
yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abi
Syaibah menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan ‘Umar ibn al-Khatab menangis, lantas
Nabi bertanya: “apa yang kamu tangisi (‘Umar)” ? “saya menangisi bahwa sesungguhnya kita
telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali
tambah berkurang”Az-Zahabi memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi
nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :
1)      Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam
seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan
tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu
sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat
tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
2)      Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an
mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun
dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain
yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna
zahir dan batin.
Adapun Kitab-kitab Tafsir Shufi diantaranya:   
a. Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
b. Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
c. Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).

11
C. Syarat Diterimanya Tafsir Shufi

Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam
antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan
oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya
dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya
‘Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam
antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari
keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat.
Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana
para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas
mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat
tersebut untuk menegtahui hikamah-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para
fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di
antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi sendiri menafsirkannya
sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan
kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk
menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang
yang berakal dan berilmu.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah.
Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih
mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah
(Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah
syariat dan hikmah-hikmahnya. Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam
mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamnya karena ada di antara para sufi yang
dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam
Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Maka dengan demikian Semua tafsir isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus
memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.

12
2. Harus ada nas lain yang menguatkannya.
3. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
4. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna
lain selain makan zhahir. (Al-Qattan, 2011:184)

13
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari berbagi paparan diatas mengenai tafsir shufi berikut tantang penjelasan
pengertian dan pembagian serta syarat diterimnya hasil tafsir maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan
bathinnya lafal daripada lahirnya.
2. Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari.
3. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir
produk sufi praktis.
4. Dalam tafsir sufi terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap
berpegang pada syariah dan hakikat. Namun, Semua tafsir terutama isyari tidak bisa begitu
saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh
mufasir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
b. Harus ada nas lain yang menguatkannya.
c. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
d. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya
makna lain selain makan zhahir.

B. Saran
Makalah ini pada hakikatnya merupakan sebuah elaborasi dari khazanah Studi Al
Qur’an dalam pendidikan Islam yang bisa menjadi sebuah pemahaman terutama bagi penulis
dan mahasiswa program pascasarjana STAIN Jember Angakatan IX 2012 kelas A1.
Sesungguhnya karya ini masih jauh dari taraf kesempurnaan, penulis mohon bimbingan dari
bapak dosen serta sumbangsih keilmuan dari teman-teman. Semoga karya kecil ini bermanfaat
dan menjadi sebutir debu yang mampu menghapus kebodohan. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

14
Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun,
Mu’assasah at-Tariqh al-‘arabiyah, Kairo: 1396H/ 1976 M

Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an/Manna’ Kholil Al Qattan. Pustaka Litera
Antarnusa, Bogor: 2011

Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanami, sufi dari Zaman ke Zaman, Penerbit Pustaka, Bandung:
1997

Al-Ghazali, Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, Beirut; Dar Ihya Turas
Al-‘Arabi

Al-Zarqani, Muhammad Abd Al-Azim, Manabil Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr,
Beirut:1986 ( http://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/07/03/tafsir-sufi/)

Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir, Penerbit
Pustaka, Bandung: 1987

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 2008

Mustakim dan Nur Kholis , Masa’ilul Tafsir. Diakses 2 Januari 2013. 23.12 WIB http:
//just4th.blogspot.com/2012/05/ tafsir-sufi.html. 2012

Solihin, M. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf, Pustaka Setia,


Bandung: 2003

15
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii

I. PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah.......................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian............................................................................................... 3

II. PEMBAHASAN.......................................................................................................... 4
A. Pengertian tafsir Shufi....................................................................................... 4
B. Pembagian Tafsir Shufi...................................................................................... 7
1. Tafsir Shufi Nazhari...................................................................................... 7
2. Tafsir Shufi Isy’ari......................................................................................... 10
C. Syarat-syarat Diterimanya Tafsir Shufi.............................................................. 12

III. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 14


A. Kesimpulan........................................................................................................ 14
B. Saran-saran....................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

∞∞

16
TAFSIR SHUFI

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al Qur’an
Dosen Pembina
Dr. Aminullah Elhady
Dr. H. Mudjab, MA.

Oleh:
Akhmad Rudi Masrukhin
NIM. 0849120039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
STAIN JEMBER

Januari, 2013

17
18

Anda mungkin juga menyukai