Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Islam lahir seiring dengan datangnya Islam itu sendiri, meskipun pada
mulanya dalam bentuk yang sangat sederhana. Dalam sejarahnya tidak pernah sunyi dari
persoalan dan rintangan yang dihadapinya. Pada masa sebelum kemerdekaan berhadapan
dengan tenakan dan intimidasi pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Pada masa
kemerdekaan berhadapan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tampak belum
memberikan dukungan sepenuhnya terhadap lembaga pendidikan Islam. Meski demikian, satu
hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa Pendidikan Islam dengan semua lembaga pendidikannya
telah mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia.1
Umat Islam yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia selalu mencari
berbagai cara untuk membangun sistem pendidikan Islam yang lengkap, mulai pesantren yang
sederhana sampai tingkat perguruan tinggi.2
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang menyebar hampir di seluruh
nusantara bukan merupakan bentuk kelembagaan yang final dalam perkembangan
kelembagaan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Seperti tercatat dalam sejarah, nama
Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia terus berubah sebagai upaya meresponi
perkembangan masyarakat dan sekaligus juga sebagai obyek tarik menarik antara berbagai
kekuatan atau kelompok dalam masyarakat.
Maka, akhir-akhir ini banyak masyarakat mempertanyakan pembukaan dan
pengembangan program studi-program studi umum di lingkungan IAIN/STAIN. Pertanyaan
yang biasa muncul adalah untuk apa program studi tersebut dibuka dan dikembangkan di
dalamnya, apakah tidak cukup hanya mengurusi bidang-bidang keagamaan saja sesuai dengan
institusinya atau departemen yang mengurusinya.
Pertanyaan tersebut perlu dicairkan argmentasi dan landasan-landasannya, agar
masyarakat dapat memahami aksistensinya serta tidak terjadi misunderstanding (salah
paham). Pembukaan program studi umum di IAIN/STAIN setidak-tidaknya dilandasi oleh 4

1
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Lintasan Sejarah Petumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999 hlm. ix
2
Enung K. Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm
128.

1
aspek, yaitu: (1) normatif-teologis; (filosofis); (3) Historik; dan (4) adanya kritik terhadap
eksistensi IAIN/STAIN yang menuntut pengembangan kelembagan di lingkungan Departemen
3
Agama (sekarang Kementrian Agama;red) itu sendiri.
Berangkat dari fenomena diataslah penulis menjadi tertarik untuk mengkaji dan
mengelaborasi secara sedernhana melalui tulisan makalah ini. Dengan ini penulis bisa berharap
dengan adanya cakupan pemahaman nanti dapat mencadi sebuah wacana implementatif guna
turut serta sedikit memajukan pendidikan bangsa dan menghapus kebodohan.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang topik diatas maka dalam penulisan makalah ini dapat
dirumuskan, yakni:
1. Bagamanakah sejarah singkat perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia?
2. Bagaimanakah perkembangan dan problematika STAIN saat ini?
3. Bagaimanakah persepsi ideal pendidikan tinggi Islam di Indonesia?

C. Tujuan
Makalah ini ditulis dengan tujuan, yakni:
1. Untuk mengetahui sejarah singkat perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia;
2. Untuk mengetahui perkembangan dan problematika STAIN saat ini;
3. Untuk mendeskripsikan persepsi ideal pendidikan tinggi Islam di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

3
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Pustaka Belajar,Jakarta: 2004. Hlm. 245-246

2
A. Sejarah Singkat Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia

1. Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam Pra-Pasca Kemerdekan


Di Indonesia, pemikiran pembaharuan atau perubahan pendidikan Tinggi Islam,
selanjutnya PTI, terus bergulir. Mulai dengan munculnya gagasan Sekolah Tinggi Islam (STI),
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), Pendidikan Tinggai Agama Islam Negeri (PTAN), Institut
Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan terakhirlahirnya
Universitas Islan Negeri (UIN).
Cita-cita untuk mendirikan perguruan tingg Islam oleh tokoh-tokoh agama di Indonesia
sebenarnya sudah ada sejak lama. Sebagai contoh pada tahun 1936 persyarikatan
Muhammadiyah telah merintis berdirinya pergurun tinggi Islam sebagai salah satu hasil
keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 25 di Jakrta berteptan dengan peringatan
seperempat abad Muhammadiyah. Keputusan Muktamar itu tidak dapat direalisasikan karena
adanya perang dunia ke I. sekalipun ide awal ini tidak dapat dilaksanakan karena adanya
berbagai kendala termasuk peperangan, berdirinya beberapa perguruan tinggi Islam pada
masa awal kemerdekaan Indonesia tidak dapat lepas dari peran tokoh-tokoh Muhammadiyah
yang ikut membidani dirinya.
Adapaun lahirnya perguruan tinggi Islam yang berlabel Muhammadiyah ini muncul
pada dasawarsa tahun 1950 yaitu dengan berdirinya fakultas Hukum dan Filsafat
Muhammadiyah di Padang Panjang Sumatera Barat pada Tahun 1955. Kemudian di Jakarta
juga didirikan Perguruan tinggi Guru (PTPG) Muhammadiyah pada tahun 1957, berkembang
menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan berkembang lagi menjadi Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), yang akhirnya dikembangkan menjadi Universitas
Muhammadiyah. Demikian pula di Surakarta pada tahun yang sama didirikan FKIP
Muhammadiyah Jakarta cabang Surakarta (UMS). Adapun di yogyakarta sebagai “ibukotanya”
Muhammadiyah juga didirikanm lembaga pendidikan tinggi Muhammadiyah dengan nama
Akademi Tabligh Muhammdiyah pada tahun 1958 yang merupakan embrio lahirnya universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Menurut data dari Majlis Pendidikan Tinggi
Muhammadiyah ini terus berkembang ini terus berkembangan di berbagai daerah di Indonesia
dari Aceh sampai Kupang, Nusa Tengara Timur, yang pada tahun 2001 telah mencapai jumlah
143 buah, 33 buah diantranya berbentuk universitas.4

4
Darwis, Dinamika Pendidikan Islam, Rasail: Semarang, 2006. Hlm. 22-23

3
Lebih jauh Imam Suprayogo melihat bahwa pendidikan tinggi Islam dimulai dari
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang memiliki misi sederhana yaitu menyiapkan tenaga
administrasi di lingkungan Departemen Agama sampai lembaga pendidikan tinggi ini kemudian
berubah menjadi PTAIN (PerguruanTinggi Agama Islam Negeri, dan selanjutnya berubah lagi
menjadi IAIN (institut Agama Islam Negeri) terbukti berkembang pesat. Proyekperubahan yang
dimulai dari IAIN Yogyakarta dan disusul IAIN SyarifHidayatullah Jakarta ini kemudian tumbuh
dan berkembang hingga berjumlah 14 buah yang tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia. Semua PTAIN ini dalam kenyataannya 7 (tujuh) di antaranya di Sumatera,
sedangkan lainnya, di Jawa 5 (lima) buah dan Kalimantan dan Sulawesi masing-masing satu
IAIN.
Dan, perkembangan kuantitatif lembaga pendidikan tinggi Islam tidak berhenti sebatas
14 buah IAIN itu denganberkembangnya beberapa PTAIN di berbagai daerah tingkat
kabupaten ditanah air ini dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang pada
awalnya berjumlah 33 buah 67.Gagasan pendirian Sekolah Tinggi Islam yang awalnya
digagasoleh beberapa tokoh nasional yang berlatarbelakang pendidikan umum (Barat) namun
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lembaga ini 68. Sehingga, tokoh-tokoh seperti M.
Natsir, Satiman dan Muhammad Hatta penting untuk dilihat secara khusus dalam
pengembangan pendidikantinggi Islam di Indonesia karena ketiganya merupakan founding
fatherspendidikan tinggi Islam69. Gagasan mereka tentang pembaharuan pendidikan Islam ini,
memang banyak dilatarbelakangi oleh pemikiranpragmatis-obyek kondisi umat Islam atau
pendidikan Islam di Indonesiayang sadar bahwa masyarakat Islam masih jauh tertinggal
dalampengembangan pendidikannya dibanding non-Muslim.
Sehingga, secara realistik masyarakat non-Muslim lebih maju karena
mengadopsicara/metode pendidikan Barat. Karena itu, mereka berpendapat perlunya
menghubungkan sistem pendidikan Islam dengan dunia internasional 70 agar memasukkan
masyarakat Islam kedalam kelompok terdidik. Inilah pula yang dilakukan dilakukan oleh
beberapa tokoh terkenal sepertiMuhammad Hatta, Muhammad Natsir, KHA. Wahid Hasyim,
dan KH.Mas Mansyur yang pada 8 Juli 1945 mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta
di bawah pimpinan Abdul Kahar Muzdakkir. Ketika revolusi kemerdekaan meletus, STI terpaksa
ditutup dan dibuka kembali pada 6 April 1946 pada tanggal 2 Maret 1948, STI berganti nama
menjadiUniversitas Islam Indonesia (UII) mengembangkan empat fakultas,Fakultas Agama,
Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Pendidikan.

4
Di samping itu, pembaharuan pendidikan Islam melalui pendirian STI, menurut M.
Hatta, dimotivasi oleh cita-citanya untuk memadukansistem pendidikan yang disebutnya
“pendidikan masjid” dengan pendidikan umum yang dalam pandangan Moh. Hatta pendidikan
masjidmemiliki kelebihan dalam mengajarkan nilai-nilai agama, namun lemahdalam
pengembangan pengetahuan umum. Sebaliknya, sekolah-sekolahumum mengkonsentrasikan
diri dalam pengembangan kemampuan rasiodan ilmu-ilmu umum (sains) sementara itu
mengacuhan pendidikanagama, padahal agama memainkan peranan penting
dalam“memanusiakan” umat. Integrasi kelembagaan seperti ini sangat penting dilakukan
sebagaisalah satu cara untuk membangun pemahaman Islam yang inklusif, yanghanya mungkin
dicapai dengan cara melihat ajaran Islam dengan carailmiah, dinamis dan tidak eksklusif
sebagaimana yang ditunjukkan olehdunia pesantren. Dijelaskan oleh Azyumardi Azra bahwa
pesantren umumnya dipandang sebagai lembaga pendidikan indigenous Jawa, tradisikeilmuan
pesantren dalam banyak hal memiliki afinitas dengan lembagalembagapendidikan Islam
tradisional di kawasan Dunia Islam lainnya. Afinitas atau kesamaan itu, dalam batas tertentu,
bukan hanya pada tingkatkelembagaan dan keterkaitannya dengan lingkungan sosialnya,
tetapi jugapada watak dan karakter keilmuannya. Di samping itu, dalam sejarahpertumbuhan
dan perkembangan pendidikan pendidikan nasional diIndonesia agaknya tidak dapat dipungkiri
bahwa pesantren telah menjadisemacam local genus di mana, pesantren sedemikan jauh telah
dianggapsebagai model institusi pendidikan yang mempunyai fungsi dankeunggulan yang
berbeda dengan institusi lain di mana pesantren memiliki fungsi pokok sebagai; pertama,
transmisi ilmu pengetahuan Islam(transmission of islamic knowledge), kedua, pemelihara
tradisi Islam(maintenance of Islamic Tradition); ketiga, pembinaan calon-calon ulama
(reproducting of ulama). Sehingga, dengan fungsi-fungsi seperti ini, duniakeilmuan pesantren
memiliki fungsi khusus untuk meneruskan pewarisanilmu dan sekaligus pemeliharaannya dan
menghasilkan para pengembanilmu itu sendiri yang dikenal sebagai ulama. 5

2. Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam Indonesia di Masa Orde Lama Hingga Sekarang
Setelah surat keputusan Menteri Agama yang tertanggal September 1959 No. 48 tersiar
tembusannya ke berbagai departemen dan instansi, Menteri P dan K melakukan protes ke

5
Ahmad, Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam , 2009 http: //ahmadasen.wordpress.com/2009/01/26/
perkembangan-pendidikan-tinggi-islam/

5
Menteri Agama yang pada saat itu dijabat oleh K. Wahib Wahab dengan alasan bahwa
menurut konsensus yang telah disepakati, bahwa hanya Departemen P dan K saja yang boleh
mengelola Universitas dengan fakultas-fakultasnya. Sedangkan Departemen Agama hanya
mengelola Akademi Dinas. Selanjutnya diadakannya beberapa perundingan yang khusus
membahas perdebatan tersebut antara Prof. DR. Priyono sebagai Menteri P dan K dengan K.
Wahib Wahab sebagai Menteri Agama. Akhirnya perundingan tersebut menghasilkan
kesepakatan bahwa Departemen Agama boleh mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam
asalkan tidak dinamai Universitas, maka didirikanlah IAIN dengan melebur PTAIN di Yogyakarta
dan ADIA di Jakarta, menjadi IAIN yang berkedudukan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai
cabangnya. Berhubungan dengan itu, Fakultas Agama Islam Negeri yang ditetapkan dengan SK
Menteri Agama No. 48 September 1959, dirubah menjadi Fakultas Syariah di Banda Aceh
(cabang dari IAIN Yogyakarta) berdasarkan SK Menteri Agama tertanggal 2 Agustus 1960 No.
40 tahun 1960. Setelah berjalan selama dua tahun, IAIN mengalami perkembangan yang cepat.
Di daerah-daerah dibuka fakultas-fakultas sebagai cabang dari IAIN induk. Banyak IAIN
di daerah-daerah sedang jarak dan luasnya wilayah antar daerah menimbulkan kesulitan dalam
pengaturannya. Akhirnya, pada tahun 1963, Departemen Agama menganggap perlu untuk
memisahkan IAIN menjadi dua institut berbeda yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN
Yogyakarta dengan Rektor Prof. R.H. Sunaryo dan IAIN Jakarta dengan Rektor Prof. H.
Soenardjo. Pemisahan ini diatur melalui keputusan Menteri Agama No. 49 tahun 1963
tertanggal 25 Pebruari. Untuk mempermudah pengawasan dan pengorganisasiannya,
dikeluarkan pembagian wilayah sebagai berikut : a. IAIN Yogyakarta mengkoordinir fakultas-
fakultas yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Banjarmasin, Sulawesi,
Nusa Tenggara, dan daerah Indonesia Timur. b. IAIN Jakarta mengkoordinir fakultas-fakultas
yang terdapat di Jakarta, Jawa Barat, kalimantan Barat dan Sumatera.
Menyusul Keputusan Menteri Agama diatas keluarlah peraturan Presiden No. 27 tahun
1963 tanggal 5 Desember 1963 yang antara lain dinyatakan bahwa diluar Yogyakarta dan
Jakarta dapat diadakan fakultas atau cabang fakultas yang diatur oleh Menteri Agama, dengan
memberi hak kepada fakultas-fakultas tersebut untuk menyelenggarakan pengajaran dan
ujian-ujian. Disamping itu juga dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas
dengan Keputusan Menteri Agama dapat digabung menjadi satu IAIN. Sehingga sampai tahun
1972 jumlah IAIN berkembang menjadi 14 buah dan 104 fakultas di seluruh Indonesia, yaitu :
1. IAIN Sunan Kalijogo di Yogyakarta 2. IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta 3. IAIN Jami’ah Ar-

6
Raniri di Aceh 4. IAIN Raden Fatah di Palembang 5. IAIN Antasari di Banjarmasin 6. IAIN Alaudin
di Ujung Pandang 7. IAIN Sunan Ampel di Surabaya 8. IAIN Imam Bonjol di Padang 9. IAIN
Sultan Thoha Saifuddin di Jambi 10. IAIN Sunan Gunung Jati di Bandung 11. IAIN Raden Intan di
Tanjung Karang 12. IAIN Wali Songo di Semarang 13. IAIN Syarif Qosim di Pekan Baru 14. IAIN
Sumatera Utara di Medan. Sesuai dengan Keputusan Presiden RI. No. 11 tahun 1997,
tertanggal 21 Maret 1997, tentang pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yaitu
dengan alasan peningkatan efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan di IAIN, dilakukan
penataan terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi di luar induk. Maka,
sejak tanggal 1 Juli 1997 diresmikan berdirinya STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri)
sejumlah 33 buah di seluruh Indonesia. STAIN ini adalah berasal dari fakultas-fakultas IAIN
yang ada didaerah-daerah yang terpisah lokasinya dari IAIN induknya.
STAIN ini berdiri untuk menyahuti peraturan juridist yang berkenaan dengan
pendidikan tinggi serta untuk lebih menyahuti perkembangan zaman. STAIN yang berdiri
tersebut antara lain : 1. STAIN Ponorogo 2. STAIN Jember 3. STAIN Kediri 4. STAIN Malang 5.
STAIN Pamekasan 6. STAIN Mataram 7. STAIN Tulungagung 8. STAIN Salatiga 9. STAIN
Gorontalo 10. STAIN Palopo 11. STAIN Serang Jawa Barat 12. STAIN Ternate 13. STAIN
Bengkulu 14. STAIN Surakarta 15. STAIN Batu Sangkar Sumatera Barat 16. STAIN Kerinci 17.
STAIN Bukittinggi 18. STAIN Pekalongan 19. STAIN Pontianak 20. STAIN Pare-Pare 21. STAIN
Curup 22. STAIN Manado 23. STAIN Watampone 24. STAIN Kudus 25. STAIN Palangkaraya 26.
STAIN Cirebon 27. STAIN Kendari 28. STAIN Samarinda 29. STAIN Pontianak 30. STAIN Jurai
Siwo 31. STAIN Ambon 32. STAIN 33. STAIN Selanjutnya, STAIN Malang berubah nama menjadi
Universitas Islam Inodonesia Sudan (UIIS), kemudian berubah lagi menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN) Malang sampai sekarang. Sedangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah
menjadi Universitan Islam Negeri (UIN) Jakarta. Meskipun pertumbuhan Perguruan Tinggi
Islam Negeri (PTAIN) yaitu IAIN, UIN dan STAIN berkembang semakin pesat, perguruan tinggi
swasta pun tumbuh subur di Indonesia. Umat Islam optimis mendirikan Perguruan tinggi Islam
swasta dan tidak menjadikan perkembangan perguruan tinggi Islam negeri di daerah-daerah
yang berkembang pesat sebagai hambatan.
Berdirinya perguruan tinggi Islam swasta dimaksudkan untuk membendung faham
komunisme, atheisme yang berkembang sekitar tahun 60-an, demi kepentingan syari’ah dan
dakwah, serta untuk menampung mereka yang tidak lolos seleksi di perguruan tinggi Islam
negeri. Fakultas-fakultas agama yang ada pada mulanya hanya berstatus “terdaftar” dari

7
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama, kemudian meningkat menjadi
berstatus “Diakui” sehingga sekitar pada tahun 1972 terdapat sekitar 110 fakultas agama yang
berinduk pada 81 perguruan tinggi Islam negeri. Disamping itu terdapat pula perguruan Tinggi
Islam, seperti UII Universitas Islam Indonesia), UM (Universitas Muhammadiyah), dan UNISBA
(Universitas Islam Bandung), dan UNISMA (Universitas Islam Malang), serta USU (Universitas
Islam Sumatera Utara).
Universitas tersebut diatas memiliki fakultas agama yang berada dalam naungan dan
tanggung jawab Direktorat Perguruan Tinggi Agama (PTA), kemudian dilimpahkan kepada IAIN
setelah terbentuk KOPERTAIS (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) yang
diketuai oleh Rektor IAIN di wilayah masing-masing. Sedangkan fakultas selain fakultas agama
berada dibawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang
adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti). Kenyataan bahwa dalam perguruan tinggi
Islam membutuhkan tenaga pendidik yang profesional dan mumpuni dibidangnya, maka
dibutuhkan tenaga pendidik tersebut demi tercapainya pendidikan yang berdaya dan relevan.
Tenaga pendidik tersebut dibutuhkan perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta baik
kualitas maupun kuantitasnya. Pembinaan tenaga edukatif yang profesional dan memenuhi
syarat kualitatif dilakukan dengan mendorong dan membiayai mereka untuk mengikuti
program pendidikan pasca sarjana baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Berkaitan dengan upaya membentuk tenaga pendidik di perguruan tinggi Islam yang
berkualitas. Maka Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, H.A.
Timur Djaelani, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KEP/E/422/1981 tertanggal 13 Agustus
1981 dan menunjuk IAIN Jakarta untuk melaksanakan dan membuka program pasca sarjana.
Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1982, Menteri Agama menerbitkan Surat Keputusan Nomor
78 tahun 1982, tentang pembukaan Fakultas Pasca Sarjana pada IAIN Syarif Hidayatullah (yang
sekarang berubah menjadi UIN) dengan mengangkat Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Dekan.
Tujuan umum didirikannya pasca sarjana IAIN adalah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam
bidang ilmu agama Islam yang merupakan inti dari tenaga penggerak dan praktisi pendidikan
Islam, penelitian, dan pengembangan ilmu serta pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan
tujuan Khusus didirikan program pasca sarjana adalah untuk menguasai bidang ilmu agama
Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu agama Islam
serta mengamalkannya pada masyarakat, dan untuk memiliki sikap yang ilmiah dan amal
ilmiah sebagai tenaga ahli yang bertanggung jawab di bidang ilmu agama Islam.

8
Adapun tujuan Institusional Pendidikan Tinggi Agama Islam adalah Pertama
membentuk sarjana Muslim yang berakhlak mulia, berilmu cakap serta mempuyai kesadaran
bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kedua Mencetak sarjana-sarjana Muslim atau pejabat-
pejabat agama Islam yang ahli untuk kepentingan Departemen Agama maupun instansi lain
yang memerlukan keahliannya di dalam bidang agama Islam serta untuk memenuhi keperluan
umum. Sampai sekarang ini masih terdapat keluhan-keluhan baik dari IAIN maupun dari
kalangan masyarakat umumnya berkaitan dengan proses pendidikan dan out put IAIN dan
perguruan tinggi Islam lainnya.6
Dari satu segi, keluhan atau tepatnya kritik itu merupakan hal yang wajar, dan bahkan
diperlukan untuk mendorong proses inovasi dan penyempurnaan eksistensi IAIN secara terus
menerus, sehingga kehadirannya lebih bermakna. Kritik tersebut dapat dikemukakan antara
lain : Kelemahan dalam kemampuan berbahasa, kelemahan sistem dan metode, kelemahaan
sikap mental ilmiah, dan kekurangan piranti keras. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan-
perbaikan dan solusi dengan Memperbaruhi dan mengembangkan Wawasan keilmuan dasar
Islami, Memperbaruhi struktur institusional dan Memperbaruhi sistem kepemimpinan serta
usaha-usaha lain yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan membangun IAIN dan Perguruan
Tinggi Islam lainnya, agar selalu dapat menjawab tantangan zaman, sehingga tidak ditinggalkan
oleh masyarakat, tetapi kehadirannya justru dirindukannya. Dalam perjalanan panjang selama
ini IAIN dan Perguruan Tinggi Islam Swasta lainnya di Indonesia ini telah banyak menghasilkan
lulusan dan sarjananya. Dengan demikian kiprah para alumninya telah tersebar luas di
masyarakat, mereka berada di semua lini kehidupan masyarakat yang tentunya adalah untuk
membangun agama, bangsa dan negara demi tercapainya kehidupan yang lebih baik.

B. Perkembangan dan Problematika STAIN Saat Ini


1. Sistematisasi berdiri dan Berkembangnya STAIN
Sejak tahun 1960, IAIN telah berkembang sampai ke daerah dan masih merupakan
cabang dari IAIN Yogyakarta. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya IAIN cabang itu berdiri
sendiri. Setelah berdiri sendiri banyak di antarai IAIN ini yang memiliki fakultas cabang di
beberapa daerah, salah satunya adalah IAIN Alauddin. IAIN Alauddin memilik beberapa
memiliki Fakultas di Makassar tetapi juga memiliki fakultas yang sama di Palu, Ternate,

6
Ahmad, ibid. hlm 2-3

9
Gorontalo, Palopo, Ambon, Kendari dan Manado. Demikian pula halnya dengan IAIN yang lain
yang tersebar di seluruh Indonesia.
Untuk memehuni ketentuan yang berlaku maka seluruh fakultas yang ada di cabang,
harus dilepaskan atau bergabung ke fakultas induk. Berdasaran Keputusan Presiden RI No. 11
Tahun 1997, tanggal 2 Maret 1997 sebanyak 33 Fakultas Cabang diresmikan menjadi Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).7
Sejarah munculnya Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) tidak dapat terlepas dari
sejarah panjang perkembangan perguruan tinggi agama Islam di Indonesia, khususnya IAIN.
Sebagaimana diketahui, sebelum munculnya STAIN hampiar seluruh IAIN yang pada saat itu
berjumlah 14 memiliki cabang dan kelas-kelas jauh yang didirikan di kota-kota kecil. Hal ini
dimaksudkan sebagai upaya IAIN untuk memberikan pelayanan pendidikan tinggi yang lebih
luas terhadap masyarakat Muslim yang jauh dari kota propinsi dimana umumnya IAIN tersebut
didirikan.
Di satu sisi munculnya sejumlah IAIN cabang ini memang dapat menampung lebih
banyak mahasiswa dari daerah, tetapi di sisi lain menimbulkan kendala, terutama yang
berkaitan dengan aspek-aspek manajerial pada tingkat IAIN induk. Menyadari hal ini maka
muncullah wacana untuk melakukan rasionalisasi organisasi. Puncak dari kegiatan rasionalisasi
organisasi ini, ialah dilepasnya sekitar 40 fakultas cabang IAIN menjadi 36 Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) yang berdiri sendiri pada 1997, di luar 14 IAIN yang ada,
berdasaran Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1997.
Dalam SK tersebut disebutkan bahwa pembinaan STAIN secara teknis akademis
dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan pembinaan secara fungsional
dilakukan oleh Menteri Agama.
Adapun organisasi STAIN terdiri dari :
a. Unsur Pimpinan : Ketua dan Pembantu Ketua;
b. Senat STAIN;
c. Unsur Pelaksana Akademik : Jurusan, Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat,
Laboratorium/studio, dan Kelompok Dosen;
d. Unsur Pelaksana Administratif : Bagian;
e. Unsur Penunjang : Unit Pelaksana Teknis.8

7
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Kencana Prenada Media
Group, Jakarta: 2009,hlm 135-137
8
Ditpertais. Tentang STAIN. 2003. accessed on http://www.ditpertais.net/ttgstain.asp.

10
2. Problematika STAIN
Dengan terbentuknya 36 buah STAIN maka pengembangan IAIN mengalami babak baru
lagi. Dengan pendirian STAIN-STAIN ini, studi Islam di daerah-daerah diharapkan
perkembangannya menjadi lebih mandiri. Dampaknya mulai terasa, sejumlah STAIN yang lebih
kuat dapat berkembang lebih cepat. Akan tetapi STAIN yang lebih lemah akan semakin lemah,
karena transfer dan subsidi tenaga manajemen dari bekas IAIN induknya menjadi sulit terjadi.
Dampak lain dari pendirian STAIN ialah bahwa kurikulum IAIN sejak 1997 ternyata telah diatur
dan diperlakukan seperti STAIN, khususnya dalam mengelompokkan MKDK dan MKK sehingga
para dosen IAIN merasa seolah-olah kehilangan keberadaan fakultas mereka dan perbedaan
kurikulum IAIN antar fakultas menjadi semakin tak jelas. Sebabnya ialah bias dan dipakainya
asumsi STAIN yang tentu saja tidak mempunyai fakultas-fakultas, bahkan nama-nama fakultas
itu disebut sebagai nama jurusan pada STAIN.9
Sehingga muncullah perspektif-perspektif baru dengan adanya kemungkinan
perubahan kelembagaan, yaitu dari STAIN menjadi IAIN. Rupanya perubahan itu dianggap
keharusan. IAIN dianggap lebih besar dan bergengsi daripada STAIN. Oleh karena itu
perubahan itu harus diperjuangkan hingga berhasil.
Menurut Imam Suprayogo selaku rektor UIN MALIKI Malang perubahan STAIN menjadi
IAIN adalah perubahan yang tidak memiliki keuntungan apa-apa. Memang perubahan itu akan
terasa, bahwa lembaganya bertambah lebih besar, tetapi dari aspek isinya tidak ada makna
apa-apa. Dilihat dari isi antara STAIN dan IAIN adalah sama. Bidang ilmu yang dikembangkan
juga sama. Di STAIN boleh membuka ilmu syari’ah, Ushuluddin, Dakwah, Adab, Tarbiyah, dan
demikian pula di IAIN. Kalau dicari perbedaannya, pimpinan STAIN disebut ketua, sedangkan
pimpinan IAIN disebut rektor.
Perbedaan lain di antara keduanya adalah menyangkut anggaran. Anggaran untuk
menyelenggarakan IAIN lebih mahal daripada STAIN. Perbedaan itu bukan karena jenis ilmu
yang dikembangkan, melainkan oleh karena terkait biaya birokrasinya. Tatkala menjadi institut
maka birokrasinya menjadi lebih besar sehingga berakibat besar pula tunjangan yang harus
dibayarkan. Padahal volume kerja antara kedua jenis institusi tersebut adalah sama. Oleh
karena itu perubahan sekolah tinggi menjadi institut, justru berdampak pemborosan terhadap
uang negara.

9
Ditpertais, ibid

11
Dengan demikian idelanya baik STAIN maupun IAIN, dirubah menjadi berbentuk
universitas. STAIN dan IAIN diubah menjadi UIN, sebagaimana perubahan itu telah dilakukan
di beberapa kota, yaitu di Jakarta, Yogyakarta, Malang, Bandung, Riau dan Makassar. Oleh
karena sudah menjadi universitas, maka perubahan itu bersifat final. Sebab ketika STAIN
berubah menjadi IAIN, maka ke depan masih akan berubah lagi menjadi UIN. 10

C. Persepsi Ideal Pendidikan Tinggi Islam (STAIN) di Indonesia


1. STAIN ke IAIN atau UIN?
Selama ini ada anggapan yang salah terhadap proses perubahan kelembagaan di
perguruan tinggi Islam. Sementara orang menganggap bahwa perubahan itu harus dilakukan
secara bertahap, yaitu dari sekolah tinggi menjadi institut dan akhirnya menjadi universitas.
Padahal sebenarnya, cara berpikir seperti itu tidak harus dilakukan. Boleh saja perguruan tinggi
tatklala berdiri sudah berbentuk universitas. Hal itu banyak contohnya, seperti Universitas
Indonesia, Universitas, Gajah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya dan masih
banyak lagi lainnya. Beberapa perguruan tinggi tersebut ketika berdiri sudah langsung menjadi
universitas. Begitu pula banyak IAIN tidak dimulai dari bentuk sekolah tinggi. Ketika berdiri,
PTAIN tersebut di mana-mana sudah berbentuk institut.
Perubahan STAIN dan IAIN menjadi universitas justru lebih menguntungkan. Dengan
berbentuk universitas, maka lembaga itu bisa membuka program studi apa saja sesuai daya
dukung yang tersedia. Selain itu dengan berbentuk universitas, maka universalitas ajaran Islam
menjadi lebih kelihatan. Islam tidak lagi tampak terbatas hanya dimaknai sebagai kajian
tentang syari’ah, ushuluddin, dakwah, adab, dan tarbiyah. Selama ini PTAIN yang hanya
berbentuk STAIN dan atau IAIN, selalu melahirkan kesan bahwa Islam hanya dimaknai sebagai
agama, atau tuntunan ritual. Padahal merujuk pada al Qur’an dan hadits nabi, ajaran Islam
bersifat universal, meliputi segala aspek kehidupan.
Menurut Imam, kalau memang dikehendaki, maka perubahan itu dilakukan
sekaligus saja, baik STAIN dan IAIN diubah menjadi UIN. Bahkan, kalau perubahan itu juga
dikehendaki oleh perguruan tinggi agama selain Islam, maka perlu direspon secara positif.
Perguruan tinggi agama Kristen, Hindu, Budha dan lain-lain yang menghendaki berubah
menjadi universitas seharusnya diberi peluang seluas-luasnya. Dengan keleluasaan itu,
mereka agar mengembangkan pendidikan sebagaimana tuntunan agama mereka masing-
masing.
10
Imam Suprayogo, Semangat Mengubah STAIN. 2009. http://uinmalang.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=2700:semangat-mengubah-stain-menjadi-iain&catid=25:artikel-rektor  

12
Dengan cara tersebut, maka Indonesia akan memiliki lembaga pendidikan yang mampu
mengantarkan rakyatnya menjadi seorang yang memiliki pengetahuan agama mendalam dan
sekaligus menguasai bidang keilmuan modern. Antara kekayaan agama dan ilmu pengetahuan
pada diri seseorang tidak perlu dipisah. Kiranya bagus sekali, jika seorang muslim memahami
agamanya secara mendalam tetapi juga sekaligus ahli dalam ilmu tertentu. 11
Bagi mereka yang menyetujui perubahan STAIN dan IAIN menjadi UIN, membayangkan
bahwa Islam akan menjadi sangat luas. Berbicara Islam sama halnya akan berbicara tentang
ilmu pengetahuan, manusia, alam, penciptaan dan konsep tentang keselamatan. Bahwa
pengetahuan dalam Islam bersumber pada ayat-ayat qawliyah dan sekaligus ayat-ayat
kawniyah. Wilayah ilmu pengetahuan dalam Islam dipandang sangat luas, menyangkut
pengetahuan yang bersifat ghaib yang tidak mungkin dikenali oleh panca indera, maupun ilmu
pengetahuan yang diperoleh melalui observasi, eksperimentasi dan penalaran logis.
Ketika menjadi UIN, maka para dosen dan mahasiswanya akan belajar di laboratorium,
perpustakaan, ruang kuliah dan juga melakukan observasi, dan juga merenung untuk mencari
jawab problem-problem akademik yang dihadapi. Mereka juga berdiskusi, berdialog dan
bahkan beredebat atas hasil temuan-temuannya di lapangan ataupun hasil-hasil pemikirannya.
Dalam mencari kebenaran mereka menggunakan cara berpikir bayani, burhani dan irfani.
Dengan demikian, maka universitas Islam negeri akan menjadi tempat bertemunya para
ilmuwan mencari kebenaran lewat berbagai pendekatan yang luas. Para mahasiswa belajar
menjadi seorang ilmuwan di tempat itu.
Gambaran indah tersebut, sekarang sedikit banyak, ------dengan kekurangan dan
kelebihannya, telah berhasil diwujudkan melalui 6 UIN. Di kampus-kampus tersebut telah
diperbincangkan al Qur’an dan as sunnah nabi serta temuan-temuan ilmiah, seperti bioologi,
fisika, kimia, sosiologi, pskologi, filsafat dan lain-lain, tanpa meninggalkan tradisi semula, yaitu
mengkaji ilmu-ilmu syari’ah, ushuluddin, tarbiyah, dakwah dan adab. Dengan demikian, maka
Islam tidak lagi dipahami sebatas dari sudut ritualnya, melainkan ritual atau agama dan
sekaligus peradaban yang luas itu. Saya pernah mendengar, bahwa dari UIN lahir seorang
dokter yang mampu memahami al Qur’an dan bahkan hafal beberapa juz. Demikian pula dari
UIN lainnya, mereka lulus dari jurusan fisika, kimia, biologi, ekonomi, psikologi, humaniora,
tetapi mampu memahami secara mandiri kitab suci dan hadits nabi dalam bahasa Arab.

11
Imam, ibid

13
Memang tanpa menutup mata, selama in i masih ada kelemahan dan kekurangan yang
dialami dan dirasakan dari perubahan itu. Akan tetapi, di balik itu telah dihasilkan prestasi yang
luar biasa. Selama ini, saya menganggap bahwa perubahan STAIN dan beberapa IAIN menjadi
UIN adalah merupakan pilot proyek besar dan strategis yang dilakukan oleh kementerian
agama. Hasilnya setelah berjalan kurang lebih 10 tahun sudah bisa dilihat cukup
menggembirakan. Melihat kenyataan itu, akibatnya banyak pimpinan STAIN dan IAIN ingin
melakukan hal yang sama.
Akhirnya, kemampuan sebagaimana digambarkan tersebut hanya bisa diraih lewat
pendidikan tinggi berbasis agama dan berbentuk universitas. Konsep itu rasa-rasanya justru
lebih sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, yaitu mengantarkan seseorang yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa secara kokoh dan sekaligus seorang ilmuwan, hingga dengan
demikian mereka juga mampu menjalankan sila-sila berikutnya. Perubahan STAIN dan IAIN
menjadi universitas yang diharapkan membawa kemajuan.

2. Hambatan Psikologis Perubahan STAIN dan IAIN Menjadi UIN


Secara konseptual, kecuali beberapa saja, pimpinan IAIN dan dan bahkan STAIN sangat
menginginkan adanya perubahan. Mereka memahami bahwa ajaran Islam yang bersifat
universal tidak akan mampu diwadahi dalam lembaga pendidikan tinggi berupa institut dan
apalagi sekolah tinggi. Islam tidak lagi dipandang cukup dipahami dari aspek syari’ah,
tarbiyah, ushuluddin, dakwah dan adab. Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad dianggap
meliputi wilayah kajian yang luas, yaitu seluas kehidupan itu sendiri.  
Hambatan psikologis itu misalnya, mereka khawatir kalah bersaing dengan lembaga
pendidikan tinggi yang sudah lama berkembang dan maju. Selalu saja, saya mendapatkan
pertanyaan misalnya, bagaimana bersaing dan menang dengan ITB, UI, UGM, UNAIR, IPB dan
lain-lain tatkala STAIN dan IAIN berubah menjadi UIN. Mungkin mereka mengira bahwa setelah
menjadi UIN maka harus segera bersaing dan menang dengan perguruan tinggi yang sudah
mapan itu. Pertanyaan itu selalu saya jawab, bahwa agar tidak kalah, maka tidak perlu bersaing
dengan perguruan tinggi manapun.  
Para pimpinan perguruan tinggi itu rupanya lupa bahwa memang selayaknya perguruan
tinggi yang masih muda, apalagi baru lahir, tidak perlu memposisikan diri sebagai pesaing
terhadap yang besar. Perguruan tinggi yang besar semestinya justru dijadikan sebagai
pembimbingnya. Mereka rupanya juga lupa bahwa di antara perguruan tinggi negeri yang

14
sudah ada sebelumnya juga masih ada yang berukuran kecil, baik yang ada di Jawa dan apalagi
di luar Jawa. Perguruan tinggi-perguruan tinggi kecil itu juga tidak merasa kalah dan tersaingi
oleh perguruan tinggi besar. Mereka tidak ingin bersaing, apalagi harus mengalahkan,
melainkan ingin menjadi besar sebagaimana perguruan tinggi besar yang sudah ada
sebelumnya.  
Alasan lainnya, dengan perubahan menjadi UIN, mereka khawatir ilmu agama yang
telah lama dikembangkan menjadi merosot dan bahkan hilang. Mereka rupanya mengira
bahwa hanya karena menyandang nama fakultas dan atau jurusan yang berbahasa Arab,
seperti tarbiyah, ushuluddin, dakwah, syari’ah dan adab, maka kualitas pengetahuan ke-
Islaman para mahasiswa dan alumninya sudah secara otomatis berhasil dipertahankan.
Padahal, tidak selalu demikian. Sejak Madrasah Aliyah berubah menjadi sekolah umum yang
berciri khas agama, maka kemampuan lulusan siswa madrasah itu, apalagi kemampuan
berbahasa Arab, menjadi kurang memuaskan. Calon mahasiswa yang pada umumnya berasal
dari Madrasah Aliyah seperti itu, sekalipun setiap hari diajari ilmu tafsir, hadits, fiqh dan lain-
lain, maka tidak akan meraih prestasi sebagaimana yang diinginkan. Mungkin keadaan seperti
itu, pada saatnya perlu dilihat secara saksama.
Perubahan menjadi UIN, semestinya justru dijadikan sebagai momentum untuk
mengubah seluruh aspeknya, baik terkait dengan sistem, kurikulum, kultur akademik,
termasuk format kelembagaannya. Misalnya, setelah menjadi universitas, maka kampusnya
dilengkapi dengan asrama atau ma’had. Selain itu, perubahan itu mestinya juga dijadikan
kekuatan untuk membangun cita-cita, atau visi, misi, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai atau
mindset seluruh warga kampusnya. Bermodalkan semua itu maka peningkatan kualitas, tidak
terkecuali, menyangkut wawasan keber-Islamannya lebih ditumbuh-kembangkan.
Memang perlu diakui bahwa, hambatan perubahan itu tidak saja bersifat piskologis,
melainkan masih banyak lagi lainnya, termasuk birokrasi yang tidak mudah dihadapi. Akan
tetapi, manakala semangat perubahan itu tetap menyala dan usaha-usaha itu tetap dilakukan,
maka di alam demokrasi seperti sekarang ini, tidak mustahil suatu saat akan menemukan jalan
keluarnya. Melalui pendidikan Islam yang maju dan berkualitas, saya berkeyakinan, bangsa ini
akan meraih apa yang dicita-citakan, yaitu menjadi masyarakat yang adil, makmur, dan damai.
Wallahu a’lam

BAB III

15
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari berbagi paparan diatas mengenai Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia yag fokus
pada masalah dinamisasi penyelenggaraan STAIN maka penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Cita-cita untuk mendirikan perguruan tinggi Islam oleh tokoh-tokoh agama di Indonesia
sebenarnya sudah ada sejak lama.Mulai dengan munculnya gagasan Sekolah Tinggi
Islam (STI), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), Pendidikan Tinggai Agama Islam Negeri
(PTAN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
dan terakhirlahirnya Universitas Islan Negeri (UIN).
2. Perkembangan dan Problematika STAIN di bagi 2 aspek:
a. Sejarah munculnya Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) berangkat dari
upaya IAIN untuk memberikan pelayanan pendidikan tinggi yang lebih luas
terhadap masyarakat Muslim yang jauh dari kota propinsi dimana umumnya IAIN
tersebut didirikan.
b. Perubahan STAIN menjadi IAIN adalah perubahan yang tidak memiliki keuntungan
apa-apa. Kalau memang ingin adanya perubahan, maka mestinya baik STAIN dan
IAIN, dirubah saja sekalian semuanya menjadi berbentuk universitas.

3. Persepsi Ideal Pendidikan Tinggi Islam (STAIN) di Indonesia ternyata memunculnya


persepsi final bahwa kemampuan perubahan yan ideal hanya bisa diraih lewat
pendidikan tinggi berbasis agama dan berbentuk universitas. Konsep itu rasa-rasanya
justru lebih sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, yaitu mengantarkan seseorang
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa secara kokoh dan sekaligus seorang ilmuwan,
hingga dengan demikian mereka juga mampu menjalankan sila-sila berikutnya.
Perubahan STAIN dan IAIN menjadi universitas selama ini telah terbukti membawa
kemajuan.

B. Saran

16
Makalah ini pada hakikatnya merupakan sebuah elaborasi dari khazanah Tentang
Pendidikan tinggi Islam di Indonsia khusunya sedikit memberikan gambaran tentang
Dinamisasi Perkembangan STAIN saat ini. Sehingga bisa menjadi sebuah pemahaman terutama
bagi penulis dan mahasiswa program pascasarjana STAIN Jember Angakatan IX 2012 kelas A1.
Sesungguhnya karya ini masih jauh dari taraf kesempurnaan, penulis mohon bimbingan dari
bapak dosen serta sumbangsih keilmuan dari teman-teman. Semoga karya kecil ini bermanfaat
dan menjadi sebutir debu yang bisa menghapus kebodohan. Amin.

17
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii

I. PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah.......................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian............................................................................................... 2

II. PEMBAHASAN.......................................................................................................... 3
A. Sejarah Singkat Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia............. 3
1. Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam Pra-Pasca Kemerdekaan.............. 3
2. Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam Indonesia di Masa Orde Lama Hingga
Sekarang...................................................................................................... 6
B. Perkembangan dan Problematika STAIN Saat ini.............................................. 10
1. Sistematisasi Berdiri dan Berkembangnya STAIN........................................ 10
2. Problematika STAIN..................................................................................... 11
C. Persepsi Ideal Pendidikan Tinggi Islam (STAIN) di Indonesia............................ 13
1. STAIN ke IAIN atau UIN?.............................................................................. 13
2. Hambatan Psikologi Perubahan STAIN dan IAIN menjadi UIN.................... 15

III. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 18


A. Kesimpulan........................................................................................................ 18
B. Saran-saran....................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA

18
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam, 2009 http: //ahmadasen.wordpress.com


/2009/01/26/perkembangan-pendidikan-tinggiislam/

Darwis, Djamuluddin, Dinamika Pendidikan Islam, Rasail: Semarang, 2006.

Ditpertais. Tentang STAIN. 2003. accessed on http://www.ditpertais.net/ttgstain.asp.

Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2009

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Lintasan Sejarah Petumbuhan dan


Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Belajar, 2004.

Rukiati, Enung K. dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka
Setia: 2006

Suprayogo, Imam, Semangat Mengubah STAIN. 2009. http: //uinmalang.ac.id/index.php?


option=com_content&view=article&id=2700:semangat-mengubah-stain-menjadi-
iain&catid=25:artikel-rektor  

19
PENDIDIKAN TINGGI ISLAM
(KASUS STAIN)

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam
Dosen Pembina
Prof. Dr. H. Miftah Arifin, M.Ag
Dr. H. Mastuki Hs, MA.

Oleh:
Akhmad Rudi Masrukhin
NIM. 0849120039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
STAIN JEMBER

Januari, 2013

20

Anda mungkin juga menyukai