Oleh :
Eva Ardinal
NIM.1920090010
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA
Prof. Dr. H. Zulmuqim, MA
MAHASISWA PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S3 PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG
1441 H / 2020 M
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
nikmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW, suluh bagi sekalian alam.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna serta memiliki banyak kekurangan. Maka, penulis sangat berharap saran
dan masukan, serta kritikan membangun demi penyempurnaan makalah ini ke
depannya. Atas saran, kritikan dan masukan yang diberikan penulis ucapkan
terima kasih.
Eva Ardinal/1920090010
KEBANGKITAN DAN PERKEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA
(ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN ERA REFORMASI)
A. Pendahuluan
Identitas madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia tetap
dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala
yang tidak kecil, terutama pada masa penjajahan.
Menurut Maksum ada dua faktor penting yang melatarbelakangi
kemunculan madrasah di Indonesia, pertama, karena pembaruan Islam, kedua
adalah sebagai respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Sedangkan
menurut Muhaimin bahwa kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam setidaknya karena beberapa alasan: yaitu sebagai manifestasi pembaruan
sistem pendidikan Islam, penyempurnaan sistem pesantren, keinginan
sebagian kalangan santri terhadap model pendidikan Barat, dan sebagai sintesa
sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan Barat.1
Pasca kemerdekaan dibentuklah departemen agama pada 3 Januari 1946
yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia, termasuk
didalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan
selanjutnya, madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen
Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan. Hal ini berjalan
sampai berakhirnya Orde Lama. Bahkan pada awal-awal masa pemerintahan
Orde baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan
meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang
sebagai bagian dari sitem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga
pendidikan otonom di bawah pengawasan menteri Agama.
Pada kenyataannya madrasah terus mengalami kebangkitan dan
perkembangan. Satu di antara yang sangat fenomenal yaitu pemerintah
Indonesia di bawah Departemen agama dan Departemen pendidikan, secara
perlahan tapi pasti sejak awal tahu 1970 an melalui menteri agama Mukti Ali
1
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Islam di Indonesia, (Malang: UMM Presss,
2006), hal. 117-118
1
2
B. Pembahasan
I. Madrasah pada Masa Orde Lama
Pasca diraihnya kemerdekaan di Indonesia, momentum madrasah
memasuki era baru kebangkitan dan perkembangan juga terbuka cukup luas.
Berbicara tentang kebangkitan dan perkembangan madrasah pada masa
orde lama akan terkait erat dengan peran Departemen Agama. Tentunya,
dengan tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh
sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus.
Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan
program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Keberadaan madrasah mendapat pengakuan secara sah dari pemerintah
Indonesia melalui BPKNIP sebagai Badan Pekerja MPR waktu itu. Hal ini
dapat dilihat dalam rumusan Pokok-pokok Usaha Pendidikan dan Pengajaran
yang dirumuskan oleh BPKNIP, bahwa madrasah dan pesantren pada
hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan
bangsa yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia, hendaknya
2
Marwan Sarijo, Pendidikan Islam dari masa ke masa: Tinjauan Kebijakan Pubik
Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara & Pena Madani, 2010),
hal. xxv
3
pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa pembinaan dan
bantuan dana dari pemerintah.3
Dari uraian ini dapat dipahami, bahwa madrasah bukan hanya mendapat
pengakuan, tetapi juga dukungan dalam bentuk pembinaan dan sokongan
dana. Wewenang untuk melakukan pembinaan terhadap pesantren dan
madrasah kemudian diserahkan kepada Departemen Agama. Departemen yang
dibentuk pada tanggal 31 Januari 1946 tersebut mempunyai tugas antara lain,
mengelola masalah pendidikan agama di madrasah dan pesantren dan
mengurus pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Selain itu, khususnya
dalam Kabinet Wilopo, tugas Departemen Agama ditambah, yaitu
melaksanakan pendidikan dan keguruan untuk tenaga pengajar umum di
sekolah agama. Tugas tersebut kemudian diwujudkan dengan mendirikan
beberapa sekolah khusus, yaitu: (1) Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun
untuk menjadi guru agama di Sekolah Rakyat (SR); (2).Sekolah Guru dan
Hakim Agama (SGHA) untuk menjadi guru agama di Sekolah Menengah
Pertama. Pendidikan yang ditempuh adalah 2 tahun setelah tamat PGA 6
tahun. SGHA ini dibagi atas 4 bagian atau jurusan, yaitu bagian A (Sastra),
bagian B (Ilmu Pasti), dan bagian C (Ilmu Agama), serta bagian D (Hukum
Agama); (3). Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun untuk menjadi guru
agama di sekolah sekolah agama tingkat rendah (SR). Sedangkan untuk
menjadi tenaga pengajar umum di sekolah- sekolah agama tingkat menengah
diadakan kerjasama dan kesepakatan antara Departemen Agama dengan
Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K).4
Dengan tugas-tugas seperti yang diuraikan di atas, kedudukan
Departemen Agama dapat dikatakan sebagai refresentasi umat Islam dalam
memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan secara lebih luas di Indonesia.
Dalam hubungannya dengan perkembangan madrasah, Departemen Agama
3
Mukhtar Zarkasyi, Departemen Agama dan Pendidikan Islam dalam Bicara Pendidikan
Islam, (Jakarta: DPP GUPPI, 2009), hal. 40
4
Nur Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Arruz Media, 2007), hal. 395
4
6
Muljanto Sumardi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1978), hal. 49
6
7
Ali Anwar, Pembaruan di Pesantren Lirboyo Kediri, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hal.
223
8
Ibid., hlm. 78
9
Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 124
7
10
Ibid.
11
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara Sumber
Widya, 1968), hal, 361
12
Maksum, Madrasah : Sejarah, hal. 125-126
8
13
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 132, baca juga Abdul Rahman Halim, Aktualisasi Implementasi Kebijakan Pendidikan
pada Madrasah Swastadi Sulawesi Selatan, Jurnal LENTERA Vol 1 No. 1 Juni 2008.
14
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di
Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), h.48.
9
15
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), hal. 152
16
Abdul Rahman Saleh, Penyelenggaraan Madrasah dan Peraturan Peraturannya,
(Jakarta: Dharma Bhakti Persada, 1984), hal.19
10
17
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah di Kepulauan Nusantara Abad Ke-18,
Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 89
18
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta; bumi aksara, 2000), hal.198
11
Agama No.101 Tahun 1984 untuk tingkat Pendidikan Guru Agama Negeri
(PGAN).19
Ketiga SK Menteri Agama tersebut merupakan upaya untuk
memperbaiki kurikulum madrasah agar lebih efektif dan efisien dalam hal:
(1) mengorganisasikan program pengajaran (tingkat madrasah); (2) untuk
membentuk manusia yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta keharmonisan sesama manusia dan lingkungannya; (3)
mengefektifkan proses belajar mengajar, dan (4) mengoptimalkan waktu
belajar. 20
Upaya pengaturan dan pembaruan kurikulum madrasah dikembangkan
dengan menyusun kurikulum sesuai dengan konsensus yang ditetapkan.
Khusus untuk Madrasah Aliyah (MA) waktu belajar untuk setiap mata
pelajaran berlangsung 45 menit dan memakai sistem semester. Sementara itu,
jenis program pendidikan dalam kurikulum madrasah terdiri dari programinti
dan program pilihan. Pengembangan kedua program kurikulum ini dibagi
menjadi dua bagian, yaitu: (A) pendidikan agama, terdiri dari: al-Qur’an dan
Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab,
dan (B) pendidikan dasar umum yang terdiri dari: PMP, Pendidikan Sejarah
dan Perjuangan Bangsa (PSPB), Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah
Nasional Indonesia, Pengetahuan Sosial, Sains, Olahrgaga Kesehatan,
Matematika, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, dan Bahasa Inggris
(berlaku untuk MTs dan MA), Ekonomi (untuk MA), Geografi (untuk MA),
Biologi (untuk MA), Fisika (untuk MA), dan Kimia (untuk MA).21.
Secara rinci pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah dapat
diuraikan berikut. Kurikulum sekolah umum dan madrasah dari program inti
dan program pilihan; (2) Program inti dalam rangka memenuhi tujuan
pendidikan sekolah umum dan madrasah, dan program inti sekolah umum dan
19
Syamsul Nizar, Pendidikan Islam: Menelusuri Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri
Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007), hal. 365
20
Ibid.
21
Ibid., hal. 366
12
madrasah secara kualitatif sama; (3) Program khusus (pilihan) diadakan untuk
memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke perguruan
tinggi bagi Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah; (4) Pengaturan
pelaksanaan kurikulum sekolahumum dan madrasah mengenai sistem kredit
semester, bimbingan karir, ketuntasan belajar, dan sistem penilaian adalah
sama; (5) Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana
pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan program inti dan program
pilihan kurikulum madrasah.22
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa kurikulum 1984 pada
hakekatnya mengacu pada SKB Tiga Menteri tahun 1975 dan SKB Dua
Menteri tahun 1984, baik dari aspek program, tujuan maupun bahan kajian
dan mata pelajarannya. Ini berarti, sejak dikeluarkannya SKB Tiga Menteri
dan dilanjutkan dengan SKB Dua Menteri, secara formal madrasah sudah
menjadi sekolah umum yang menjadikan agama sebagai ciri khas
kelembagaannya. Namun kebijakan pemerintah dalam SKB Dua Menteri
tahun 1984, menimbulkan dilema baru bagi madrasah, bahwa di satu sisi
materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan kualitas
mengalami peningkatan, tetapi di sisi lain penguasaan peserta didik terhadap
ilmu pengetahuan agama menjadi “serba tanggung”, sehingga untuk
mencetak ulama dari madrasah merupakan hal yang meragukan. Oleh karena
itu melalui Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1987 didirikanlah
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang bertujuan untuk
pengembangan dan pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dengan tidak
mengenyampingkan ilmu umum sebagai usaha pengembangan wawasan
keilmuan.23
Menindak lanjuti Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1987, maka
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama Litbang Agama
Departemen Agama bekerjasama dengan Binbaga Islam melakukan studi
22
Mawardi Sutedjo, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Dirjen Binbaga
Islam Departemen Agama RI dan UT, 1996), hal. 17
23
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.
199
13
24
Ali Hasan, M. et.al., Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
2003), hal. 124, baca juga Abdul Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi,
dan Aksi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hal. 122
14
25
Hamruni, & Kurniawan, S., Political Education of Madrasah in the Historical
Perspective, Sunan Kalijaga International Journal on Islamic Education Research (SKIJIER), 2(2),
(2018), 139–156.
26
Yahya, M. D., Posisi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional di Era Otonomi
Daerah, Khazanah, 12(1), (2014).
27
Hidayat, A., & Machali, Pengelolaan Pendidikan (Konsep, Prinsip, dan Aplikasi
dalam Mengelolah Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012)
28
Gaffar, M., Manajemen Pendidikan Madrasah dan Otonomi Daerah, Sulesana, 7(2),
(2012), 128–137.
C. Kesimpulan/Penutup
Dari uraian-uraian di atas, dapat disarikan bahwa pada masa Orde lama
pendidikan Islam mulai diperjuangkan untuk diadakan pembaruan dengan
diterbitkannya kebijakan tentang perbaikan pendidikan Islam, di antaranya
madrasah wajib belajar (MWB). Perbaikan pendidikan Islam berlanjut pada
masa Orde Baru yang diawali oleh kebijakan pemerintah dengan penegrian
madrasah (MIN, MTsN, dan MAN), hingga lahirnya SKB Tiga Menteri yang
menyamakan lulusan sekolah dengan madrasah, pendirian MAPK dan lain-
lain. Kebijakan pemerintah pada masa orde reformasi terus membaik terutama
dengan semakin dikukuhkannya posisi madrasah dalam system pendidikan
nasional dan penyetaraan madrasah dengan jalur, jenjang dan pendidikan
lainnya melalui UU no 20 tahun 2003.
Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia,
ada tiga momentum yang sangat menentukan eksistensi madrasah; pertama,
SKB 3 Menteri 1975 yang menjadi pintu masuk pengakuan madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam yang setara dengan sekolah umum; kedua, UU
Sisdiknas Nomor 2/1989 yang menjadikan madrasah bukan saja sebagai
lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum, lebih dari itu
madrasah diakui sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam. Dengan
kata lain, sejak UU Sisdiknas Nomor 2/1989 diberlakukan, madrasah dapat
dikatakan sebagai “sekolah umum plus”. Dan yang ketiga, UU no 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional. Nampaknya, pengakuan dan
kesetaraan ini masih terus diuji di lapangan, apakah pengelola madrasah
mampu mengemban tugas ganda, sebagai sekolah umum plus sebagai lembaga
pendidikan Islam?. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan, M. et.al., Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 2003)
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Hidayat, A., & Machali, Pengelolaan Pendidikan (Konsep, Prinsip, dan Aplikasi
dalam Mengelolah Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012)
Marwan Sarijo, Pendidikan Islam dari masa ke masa: Tinjauan Kebijakan Pubik
Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara
& Pena Madani, 2010)