Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KEBANGKITAN DAN PERKEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA


(ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN ERA REFORMASI)

Diajukan sebagai tugas dan akan dipresentasikan pada mata kuliah


Sejarah Sosial Pemikiran Pendidikan Islam

Oleh :
Eva Ardinal
NIM.1920090010

Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA
Prof. Dr. H. Zulmuqim, MA

MAHASISWA PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S3 PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG
1441 H / 2020 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
nikmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW, suluh bagi sekalian alam.

Makalah ini merupakan tugas terstruktur dalam mata kuliah “Sejarah


Sosial Pemikiran Pendidikan Islam” di bawah asuhan Prof. Dr. H. Azyumardi
Azra, MA dan Prof. Dr. Zulmuqim, MA tahun akademik 2019/2020, program
Studi Pendidikan Islam, Program Doktor (S.3) Universitas Islam Negeri Imam
Bonjol Padang.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna serta memiliki banyak kekurangan. Maka, penulis sangat berharap saran
dan masukan, serta kritikan membangun demi penyempurnaan makalah ini ke
depannya. Atas saran, kritikan dan masukan yang diberikan penulis ucapkan
terima kasih.

Keinci, 10 April 2020


Penulis,

Eva Ardinal/1920090010
KEBANGKITAN DAN PERKEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA
(ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN ERA REFORMASI)

A. Pendahuluan
Identitas madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia tetap
dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala
yang tidak kecil, terutama pada masa penjajahan.
Menurut Maksum ada dua faktor penting yang melatarbelakangi
kemunculan madrasah di Indonesia, pertama, karena pembaruan Islam, kedua
adalah sebagai respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Sedangkan
menurut Muhaimin bahwa kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam setidaknya karena beberapa alasan: yaitu sebagai manifestasi pembaruan
sistem pendidikan Islam, penyempurnaan sistem pesantren, keinginan
sebagian kalangan santri terhadap model pendidikan Barat, dan sebagai sintesa
sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan Barat.1
Pasca kemerdekaan dibentuklah departemen agama pada 3 Januari 1946
yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia, termasuk
didalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan
selanjutnya, madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen
Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan. Hal ini berjalan
sampai berakhirnya Orde Lama. Bahkan pada awal-awal masa pemerintahan
Orde baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan
meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang
sebagai bagian dari sitem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga
pendidikan otonom di bawah pengawasan menteri Agama.
Pada kenyataannya madrasah terus mengalami kebangkitan dan
perkembangan. Satu di antara yang sangat fenomenal yaitu pemerintah
Indonesia di bawah Departemen agama dan Departemen pendidikan, secara
perlahan tapi pasti sejak awal tahu 1970 an melalui menteri agama Mukti Ali

1
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Islam di Indonesia, (Malang: UMM Presss,
2006), hal. 117-118

1
2

mengubah muatan kurikulum madrasah dari 100 persen agama menjadi 70


persen umum dan 30 persen agama.2 Kebijakan inilah yang kemudian
menghantarkan madrasah menjadi setara dengan sekolah umum sebagamana
diakui dalam UU sisidiknas No. 2 tahun 1989, yang kemudian disempurnakan
dalam UU sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dari uraian ini dapat ditegaskan
bahwa lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah adalah merupakan
lembaga “plus” karena memiliki kompetensi umum dan agama secara
bersamaan.
Makalah ini akan mengkaji kebangkitan dan perkembangan Madrasah
mulai dari masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi.

B. Pembahasan
I. Madrasah pada Masa Orde Lama
Pasca diraihnya kemerdekaan di Indonesia, momentum madrasah
memasuki era baru kebangkitan dan perkembangan juga terbuka cukup luas.
Berbicara tentang kebangkitan dan perkembangan madrasah pada masa
orde lama akan terkait erat dengan peran Departemen Agama. Tentunya,
dengan tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh
sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus.
Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan
program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Keberadaan madrasah mendapat pengakuan secara sah dari pemerintah
Indonesia melalui BPKNIP sebagai Badan Pekerja MPR waktu itu. Hal ini
dapat dilihat dalam rumusan Pokok-pokok Usaha Pendidikan dan Pengajaran
yang dirumuskan oleh BPKNIP, bahwa madrasah dan pesantren pada
hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan
bangsa yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia, hendaknya

2
Marwan Sarijo, Pendidikan Islam dari masa ke masa: Tinjauan Kebijakan Pubik
Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara & Pena Madani, 2010),
hal. xxv
3

pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa pembinaan dan
bantuan dana dari pemerintah.3
Dari uraian ini dapat dipahami, bahwa madrasah bukan hanya mendapat
pengakuan, tetapi juga dukungan dalam bentuk pembinaan dan sokongan
dana. Wewenang untuk melakukan pembinaan terhadap pesantren dan
madrasah kemudian diserahkan kepada Departemen Agama. Departemen yang
dibentuk pada tanggal 31 Januari 1946 tersebut mempunyai tugas antara lain,
mengelola masalah pendidikan agama di madrasah dan pesantren dan
mengurus pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Selain itu, khususnya
dalam Kabinet Wilopo, tugas Departemen Agama ditambah, yaitu
melaksanakan pendidikan dan keguruan untuk tenaga pengajar umum di
sekolah agama. Tugas tersebut kemudian diwujudkan dengan mendirikan
beberapa sekolah khusus, yaitu: (1) Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun
untuk menjadi guru agama di Sekolah Rakyat (SR); (2).Sekolah Guru dan
Hakim Agama (SGHA) untuk menjadi guru agama di Sekolah Menengah
Pertama. Pendidikan yang ditempuh adalah 2 tahun setelah tamat PGA 6
tahun. SGHA ini dibagi atas 4 bagian atau jurusan, yaitu bagian A (Sastra),
bagian B (Ilmu Pasti), dan bagian C (Ilmu Agama), serta bagian D (Hukum
Agama); (3). Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun untuk menjadi guru
agama di sekolah sekolah agama tingkat rendah (SR). Sedangkan untuk
menjadi tenaga pengajar umum di sekolah- sekolah agama tingkat menengah
diadakan kerjasama dan kesepakatan antara Departemen Agama dengan
Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K).4
Dengan tugas-tugas seperti yang diuraikan di atas, kedudukan
Departemen Agama dapat dikatakan sebagai refresentasi umat Islam dalam
memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan secara lebih luas di Indonesia.
Dalam hubungannya dengan perkembangan madrasah, Departemen Agama

3
Mukhtar Zarkasyi, Departemen Agama dan Pendidikan Islam dalam Bicara Pendidikan
Islam, (Jakarta: DPP GUPPI, 2009), hal. 40
4
Nur Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Arruz Media, 2007), hal. 395
4

menjadi tumpuan secara politis yang dapat mengangkat posisi madrasah


sehingga memperoleh perhatian yang terus menerus dari pemerintah.
Mengingat begitu besarnya tanggung jawab penanganan masalah
pendidikan Islam, maka bagian pendidikan pada Departemen Agama dikem-
bangkan Jawatan Pendidikan Agama pada tahun 1950. Badan ini memiliki
peranan penting dan strategis meng-ingat tugas pengembangan pendidikan
merupakan pilar pembangunan bangsa yang amat penting dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hampir semua perubahan dan
pengembangan madrasah atau pendidikan agama pada masa pemerintahan
Orde Lama tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan oleh jawatan ini.5
Dalam upaya untuk meningkatkan mutu madarasah sesuai dengan
anjuran BPKNIP, Departemen Agama mengeluarkan Peraturan Menteri
Agama No. 1 tahun 1946, yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan
Menteri Agama No. 7 Tahun 1952 yang mengatur tentang jenjang pendidikan
pada madrasah. Menurut paraturan ini, jenjang pendidikan pada madrasah
terdiri atas: Pertama, Madrasah Rendah (sekarang disebut Madrasah
Ibtidaiyah), yaitu madrasah yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan
agama Islam sebagai pokok pengajarannya. Lama pendidikan yang ditempuh
6 tahun. Kedua, Madrasah Lanjutan tingkat Pertama (sekarang disebut
madrasah Tsanawiyah) ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan
Madrasah Rendah atau yang sederajat, serta memberi pendidikan dalam ilmu
pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya. Lama pendidikan
yang ditempuh 3 tahun. Ketiga, Madrasah Lanjutan Atas (sekarang disebut
Madrasah Aliyah), ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan
Madrasah Lanjutan Pertama atau yang sederajat, serta memberi pendidikan
dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajaranya. Lama
pendidikan yang ditempuh 3 tahun.
Upaya meningkatkan mutu madrasah, juga dilakukan dengan cara
meningkatkan status madrasah yang dikelola oleh masyarakat, baik pribadi
5
Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurikulum
Moderen, (Jakarta: LP3ES, 1995), hal. 79
5

maupun organisasi, dari swasta menjadi madrasah negeri. Madrasah yang


telah statusnya dinegerikan itu mulai dari tingkat dasar diberi nama Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN), tingkat lanjutan pertama diberi nama Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTSn) dan madrasah tingkat lanjutan diberi nama
Madrasah Aliyah Negeri (MAN).6
Didorong oleh keinginan memodernkan pendidikan madrasah, maka
pada tahun 1958, Departemen Agama mengadakan pembaruan secara
revolusioner dalam bidang pendidikan di madrasah. Hal ini ditunjukkan
dengan mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB) dengan lama pendidikan
yang ditempuh 8 tahun. Tujuannya adalah mempersiapkan kualitas anak didik
untuk dapat hidup mandiri dan mencari nafkah, terutama dalam bidang
ekonomi, industri, dan transmigrasi. Untuk mencapai tujuan itu, maka
kurikulumnya disusun dengan mempertimbangkan keselarasan tiga
perkembangan peserta didik, yaitu perkembangan otak atau akal (kognitif),
perkembangan hati atau olah rasa (afektif), dan perkembangan keterampilan
atau kecakapan hidup (psikomotorik).
Sementara materi pelajaran yang diberikan di madrasah ini terdiri dari
pelajaran agama, pengetahuan umum, dan kerajinan tangan atau ke-terampilan
dengan perbandingan 25% untuk pelajaran agama dan 75% untuk pengetahuan
umum dan keterampilan. Meskipun demikian bagusnya, program ini tidak
berjalan lancar, disebabkan kurangnya sarana dan prasarana serta ketersediaan
tenaga pengajar, di samping kurangnya dukungan masyarakat dan pihak-pihak
yang terkait.
Undang-undang sistem pendidikan yang pertama berlaku di Indonesia
setelah kemerdekaan ialah UU No. 4 Tahun 1950 yang mengakui eksistensi
madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Sebagai tindak lanjut dari
undang-undang tersebut, Departemen Agama mengeluarkan kebijakan bahwa
madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan
kewajiban belajar harus terdaftar pada Departemen Agama. Syarat untuk
mendaftarkan diri, madrasah harus mengajarkan pelajaran agama sebagai

6
Muljanto Sumardi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1978), hal. 49
6

pelajaran pokok paling sedikit 6 jam perminggu secara teratur di samping


pelajaran umum.7
Dengan persyaratan tersebut, diadakan pendaftaran madrasah yang
memenuhi syarat. Pada tahun 1954, madrasah yang terdaftar di seluruh
Indonesia berjumlah 13.849 dengan rincian Madrasah Ibtidaiyah 1057 dengan
jumlah murid 1.927.777 orang, Madrasah Tsanawiyah 776 buah dengan murid
87.932 orang, dan Madrasah Tsanawiyah Atas (Aliyah) berjumlah 16 buah
dengan murid 1.881 orang.8
Perkembangan madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama
adalah berdirinya madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan
Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan pendiriannya untuk mencetak tenaga-
tenaga profesional yang siap mengembangkan madrasah sekaligus ahli
keagamaan yang profesional.9 PGA pada dasarnya telah ada sejak masa
sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi
pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan strategis bagi
kelanjutan madrasah di Indonesia.
Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari progam
Departemen Agama yang ditangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai
penanggung jawab bagian pendidikan. Pada tahun 1950, bagian itu membuka
dua lembaga pendidikan dan madrasah profesional keguruan: (1) Sekolah
Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI).
SGAI terdiri dari dua jenjang: (a) jenjang jangka panjang yang ditempuh
selama 5 tahun dan diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan (b) Jenjang
jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun diperuntukkan bagi lulusan
SMP/Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan SGHAI ditempuh selama 4 tahun
diperuntukkan bagi lulusan SMP/Madrsah Tsanawiyah. SGHAI memilki
empat bagian:

7
Ali Anwar, Pembaruan di Pesantren Lirboyo Kediri, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hal.
223
8
Ibid., hlm. 78
9
Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 124
7

Bagian “a” untuk mencetak guru kesusastraan


Bagian “b” untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti
Bagian “c” untuk mencetak guru agama
Bagian “d” untuk mencetak guru pendidikan agama10
Pada tahun 1951, sesuai dengan Ketetapan Menteri Agama 15 Pebruari
1951, kedua madrasah keguruan tersebut di atas diubah namanya. SGAI
menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHAI menjadi SGHA
(Sekolah Guru Hakim Agama). Pada tahun ini, PGA Negeri didirikan di
Tanjung Pinang, Kotaraja, Padang, Banjarmasin, Jakarta, Tanjung Karang,
Bandung dan Pamekasan.11 Jumlah PGA pada tahun ini sebanyak 25 dan tiga
tahun kemudian, 1954, berjumlah 30. sedangkan SGHA pada tahun 1951
didirikan di Aceh, Bukit Tinggi dan Bandung.12

II. Madrasah pada Masa Orde Baru


Secara umum diakui bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai
pendidikan agama, termasuk madrasah, bersifat positif dan konstruktif;
khususnya dalam dua dekade terakhir 1980-an - 1990-an. Pemerintah Orde
Baru memandang bahwa lembaga itu harus dikembangkan dalarn rangka
pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan seperti
ini secara lebih kuat tercermin dalam komitmen Orde Baru untuk
menyelenggarakan pendidikan agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari Sistem Pendidikan Nasional.
Di awal pemerintahan Orde Baru, ketika pasca pemberontakan PKI
tahun 1965, pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang sungguh-sungguh
ter-hadap lembaga pendidikan Islam, sebab disadari bahwa dengan
bermentalkan agama yang kuat dan kokoh, bangsa Indonesia akan terhindar
dari paham komunisme. Selanjutnya dalam upaya meningkatkan mutu
madrasah, pemerintah melalui Kementerian Agama pada tahun 1967

10
Ibid.
11
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara Sumber
Widya, 1968), hal, 361
12
Maksum, Madrasah : Sejarah, hal. 125-126
8

mengeluarkan kebijakan untuk menegerikan sejumlah madrasah dalam semua


tingkatan mulai dari Ibtidaiyah sampai Aliyah.
Usaha ini dapat menegerikan sebanyak 123 madrasah Ibtidaiyah,
sehingga total Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) yang telah berstatus negeri
menjadi 358. Dalam waktu yang singkat, juga telah dinegerikan 182
Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTSn) dan 42 Madrasah Aliyah Negeri
(MAN). Dengan memberikan status negeri kepada lembaga pendidikan Islam,
berarti tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat, baik dalam
pengaturan dan kontrol akan menjadi lebih efektif.13
Perkembangan selanjutnya pada madrasah adalah Surat Keputusan
Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 1975, yaitu menteri agama, menteri
pendidikan pengajaran dan kebudayaan (PP &K), dan menteri dalam negeri.
Pada fase ini terjadi perubahan orientasi madrasah dari lembaga yang
konsentrasi keilmuannya dalam bidang agama, berubahmenjadi
konsentrasinya pada pengetahuan umum.Batasan madrasah SKB Tiga
Menteri adalah: “lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama
Islam sebagai dasar yang diberikan sekurangkurangnya 30% di samping mata
pelajaran umum.
Dalam Surat Keputusan bersama Tiga Menteri Tahun 1975
dicantumkan tujuan peningkatan adalah:
1. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah
umum setingkat.
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih
atas: Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.14
Lahirnya SKB 3 Menteri ini dianggap sebagai cikal bakal integrasinya
madrasah dalam sistem pendidikan nasional.

13
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hal. 132, baca juga Abdul Rahman Halim, Aktualisasi Implementasi Kebijakan Pendidikan
pada Madrasah Swastadi Sulawesi Selatan, Jurnal LENTERA Vol 1 No. 1 Juni 2008.
14
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di
Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), h.48.
9

Dengan ditetapkannya SKB Tiga Menteri tersebut, berarti eksistensi


madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam lebih mantap dan kuat. Selain itu
pengetahuan umum yang dipelajari di madrasah-madrasah lebih meningkat,
sehingga tidak ada lagi dikotomi keilmuan. Juga madrasah memiliki
kesempatan yang sama dengan sekolah-sekolah umum untuk berkompetisi
meningkatkan kualitasnya. Hal yang penting juga dengan ditetapkannya SKB
Tiga Menteri ini, antara lain madrasah dan sekolah umum memiliki hal yang
sama dalam mendapatkan akses pendanaan dari pemerintah untuk
pengelolaan dan pembinaan.
SKB Tiga Menteri adalah merupakan tonggak sejarah modernisasi
madrasah sepanjang sejarahnya dalam upaya meningkatkan mutunya. SKB
Tiga Menteri dapat dipandang sebagai langkah strategis menuju tahapan
integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional.15
Untuk meningkatkan kualitas madrasah sebagai lembaga pendidikan,
pemerintah melalui Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Munawir
Sjadzali pada tahun 1987, didirikanlah Madarasah Aliyah Program Khusus
(MAPK/MAK). Madrasah ini diharapkan agar menjadi lembaga pendidikan
yang mampu mencetak ulama yang menguasai ilmu agama dan pengetahuan
umum dengan baik, utamanya bahasa Arab dan bahasa Inggris.16
Memasuki tahun 1990-an, kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai
madrasah ditujukan secara penuh untuk membangun satu sistem pendidikan
nasional yang utuh. Oleh karena itu disusunlah UU No. 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan UU No.4 tahun 1950 jo
No.12 tahun 1954. Dalam konteks ini, penegasan secara sah tentang madrasah
diberikan melalui keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam
kelompok pendidikan sekolah umum, tanpa menghilangkan karakter dan
nuansa keagamaannya. Melalui upaya ini madrasah menjadi lebih
berkembang secara terpadu dalam konteks sistem pendidikan nasional.

15
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), hal. 152
16
Abdul Rahman Saleh, Penyelenggaraan Madrasah dan Peraturan Peraturannya,
(Jakarta: Dharma Bhakti Persada, 1984), hal.19
10

Dalam hal mengomentari perkembangan madrasah di Indonesia,


Azyumardi Azra berpendapat bahwa implikasi yang cukup mendasar bagi
keberadaan madrasah yang semula dipandang sebagai lembaga pendidikan
keagamaan, pasca terbitnya UU No. 2 tahun 1989 dapat mengklaim dirinya
sebagai sekolah umum plus . Konsekwensinya madrasah mendapatkan beban
tambahan, karena di samping harus memberikan muatan kurikulum sekolah
umum yang setingkat secara penuh, ia juga harus memberikan muatan
kurikulum agama yang selama ini telah berlangsung sejak lama. Beratnya
beban yang ditanggung madrasah masih ditambah lagi dengan rendahnya
kualitas sumber daya tenaga pengajar (guru), dan fasilitas pembelajaran.17
Setelah terbitnya SKB Tiga Menteri tahun 1975, usaha pengembangan
madrasah dalam upaya meningkatkan mutu lulusannya ditindak lanjuti
dengan menerbitkan SKB Dua Menteri yang baru tahun 1984, antara Menteri
Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 299/U/1984 dan
Nomor 45 Tahun 1984 yang menyangkut pengaturan pembakuan kurikulum
sekolah umum dan kurikulum madrasah yang isinya antara lain: adalah
mengizinkan kepada lulusan madrasah untuk melanjutkan ke sekolah umum
yang lebih.18 SKB Dua Menteri ini berlandaskan pada TAP MPR No.
II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan
dengan daya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan
melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara berbagai upaya
perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.
Dalam SKB ini terjadi perubahan berupa perbaikan dan penyempurnaan
kurikulum sekolah umum dan madrasah. Perubahan tersebut tertuang dalam
Surat Keputusan Menteri Agama No. 99 Tahun 1984 untuk tingkat Madrasah
Ibtidiyah (MI), dan Surat Keputusan Menteri Agama No. 100 Tahun 1984
untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Surat Keputusan Menteri

17
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah di Kepulauan Nusantara Abad Ke-18,
Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 89
18
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta; bumi aksara, 2000), hal.198
11

Agama No.101 Tahun 1984 untuk tingkat Pendidikan Guru Agama Negeri
(PGAN).19
Ketiga SK Menteri Agama tersebut merupakan upaya untuk
memperbaiki kurikulum madrasah agar lebih efektif dan efisien dalam hal:
(1) mengorganisasikan program pengajaran (tingkat madrasah); (2) untuk
membentuk manusia yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta keharmonisan sesama manusia dan lingkungannya; (3)
mengefektifkan proses belajar mengajar, dan (4) mengoptimalkan waktu
belajar. 20
Upaya pengaturan dan pembaruan kurikulum madrasah dikembangkan
dengan menyusun kurikulum sesuai dengan konsensus yang ditetapkan.
Khusus untuk Madrasah Aliyah (MA) waktu belajar untuk setiap mata
pelajaran berlangsung 45 menit dan memakai sistem semester. Sementara itu,
jenis program pendidikan dalam kurikulum madrasah terdiri dari programinti
dan program pilihan. Pengembangan kedua program kurikulum ini dibagi
menjadi dua bagian, yaitu: (A) pendidikan agama, terdiri dari: al-Qur’an dan
Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab,
dan (B) pendidikan dasar umum yang terdiri dari: PMP, Pendidikan Sejarah
dan Perjuangan Bangsa (PSPB), Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah
Nasional Indonesia, Pengetahuan Sosial, Sains, Olahrgaga Kesehatan,
Matematika, Pendidikan Seni, Pendidikan Keterampilan, dan Bahasa Inggris
(berlaku untuk MTs dan MA), Ekonomi (untuk MA), Geografi (untuk MA),
Biologi (untuk MA), Fisika (untuk MA), dan Kimia (untuk MA).21.
Secara rinci pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah dapat
diuraikan berikut. Kurikulum sekolah umum dan madrasah dari program inti
dan program pilihan; (2) Program inti dalam rangka memenuhi tujuan
pendidikan sekolah umum dan madrasah, dan program inti sekolah umum dan

19
Syamsul Nizar, Pendidikan Islam: Menelusuri Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri
Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007), hal. 365
20
Ibid.
21
Ibid., hal. 366
12

madrasah secara kualitatif sama; (3) Program khusus (pilihan) diadakan untuk
memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke perguruan
tinggi bagi Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah; (4) Pengaturan
pelaksanaan kurikulum sekolahumum dan madrasah mengenai sistem kredit
semester, bimbingan karir, ketuntasan belajar, dan sistem penilaian adalah
sama; (5) Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana
pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan program inti dan program
pilihan kurikulum madrasah.22
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa kurikulum 1984 pada
hakekatnya mengacu pada SKB Tiga Menteri tahun 1975 dan SKB Dua
Menteri tahun 1984, baik dari aspek program, tujuan maupun bahan kajian
dan mata pelajarannya. Ini berarti, sejak dikeluarkannya SKB Tiga Menteri
dan dilanjutkan dengan SKB Dua Menteri, secara formal madrasah sudah
menjadi sekolah umum yang menjadikan agama sebagai ciri khas
kelembagaannya. Namun kebijakan pemerintah dalam SKB Dua Menteri
tahun 1984, menimbulkan dilema baru bagi madrasah, bahwa di satu sisi
materi pengetahuan umum bagi madrasah secara kuantitas dan kualitas
mengalami peningkatan, tetapi di sisi lain penguasaan peserta didik terhadap
ilmu pengetahuan agama menjadi “serba tanggung”, sehingga untuk
mencetak ulama dari madrasah merupakan hal yang meragukan. Oleh karena
itu melalui Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1987 didirikanlah
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang bertujuan untuk
pengembangan dan pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dengan tidak
mengenyampingkan ilmu umum sebagai usaha pengembangan wawasan
keilmuan.23
Menindak lanjuti Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1987, maka
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama Litbang Agama
Departemen Agama bekerjasama dengan Binbaga Islam melakukan studi

22
Mawardi Sutedjo, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Dirjen Binbaga
Islam Departemen Agama RI dan UT, 1996), hal. 17
23
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.
199
13

kelayakan terhadap beberapa MAN yang dianggap memungkinkan baik dari


segi sarana prasarana maupun dari segi tenaga guru untuk menyelenggarakan
program khusus. Dari penelitian tersebut ditunjuk 5 (lima) MAN sebagai
penyelenggara program khusus. Kelima MAN itu adalah: MAN Darussalam
(Ciamis Jawa Barat), MAN Ujung Pandang, MAN 1 Yogyakarta, MAN Koto
Baru (Padang Panjang Sumatera Barat) yang penyelenggaraannya mengacu
kepada Keputusan Dirjen Binbaga IslamNo.47E/1987 tanggal 23 Juli 1987.24
Program kurikulum MAPK perbandingannya adalah 70 persen agama
dan 30 persen umum. Secara kurikuler dimaksudkan untuk pengembangan
program pembibitan calon-calon ulama, sehingga penyelenggaraannya
merupakan intensifikasi pendidikan melalui sistem asrama (program tutorial)
dengan titik berat pada penguasaan Bahasa Arab dan Inggris. Sedangkan
buku bahan ajar, pendekatan yang dipakai, sistem penilaian, penetapan angka
kredit, semuanya sama dengan MAN biasa, hanya saja ditambah dengan
bimbingan belajar (tutorial) secara intensif untuk kitab kuning pada sore hari,
sehingga kegiatan belajar mengajar peserta didik cukup padat.
Setelah berlangsung beberapa tahun, program MAPK hasilnya cukup
menggembirakan, sehingga pemerintah terus mengupayakan pembinaan dan
pengembanganya, baik secara fisik maupun mental. Diberlakukannya
kurikulum 1994 sebagai tindak lanjut dari UU Sisdiknas No.2 Tahun 1989,
MAPK kemudian diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan
(MAK). Perubahan ini tampaknya, hanya perubahan nama saja, bukan
perubahan substansial dari aspek tujuan dan kurikulum nya, yaitu
mempersiapkan tenaga terampil yang menguasai pengetahuan agama secara
baik dan mendalam. Selain itu, perubahan nama dari MAPK menjadi MAK
adalah implikasi dari PP No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar Pasal
4 Ayat (3) bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah
(MTs) yang diselenggarakan oleh Departemen Agama adalah sekolah umum

24
Ali Hasan, M. et.al., Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
2003), hal. 124, baca juga Abdul Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi,
dan Aksi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hal. 122
14

yang berciri khas agama Islam; dan SK Mendikbud No.489/U/1992 yang


menyatakan bahwa Madrasah Aliyah (MA) adalah SMU yang berciri khas
agama Islam. Meskipun tidak terdapat SK atau PP yang menunjukkan secara
khusus perubahan itu, namun diyakini bahwa peubahan nama tersebut merup
akan implikasi positif yang menginginkan lahirnya lembaga pendidikan
kejuruan dengan penguasaan keterampilan yang lebih khusus, terutama dalam
bidang penguasaan ilmu agama Islam.

III. Madrasa pada Masa Era Reformaai


Masa reformasi di Indonesia dimulai sejak runtuhnya rezim Orde baru
yaitu sejak tanggal 21 Mei 1998. Presiden pertama pada era reformasi adalah
B.J. Habibie, presiden ke-3 RI. Masa reformasi terus berlangsung hingga
sekarang di abad 21 ini. Pada era reformasi telah terjadi perubahan dari sistem
pemerintahan yang bercorak sentralistik menuju desentralistik. Hal ini
ditandai dengan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Pasal 7 ayat (1) UU RI Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa agama
merupakan salah satu urusan yang tidak diselenggarakan oleh pemerintah
daerah. Di sisi lain, pendidikan, menurut pasal 11 ayat (2) UU RI Nomor 22
Tahun 1999 merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah. Berdasarkan amanah UU, madrasah seharusnya diserahkan
pengelolaannya kepada pemerintah daerah, sehingga berbagai kebijakan yang
tidak adil antara lembaga pendidikan madrasah dan sekolah dapat
diminimalisir.
Melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pemerintah juga semakin mengukuhkan posisi madrasah. Hal ini
dibuktikan dalam setiap pasal yang menyebutkan kata sekolah pasti diikuti
dengan kata madrasah. Seperti pada Pasal 56 ayat 1 dan 3 UU Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu menyebutkan:
pertama, masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan
yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan
melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah; kedua, komite
sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
15

peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan


dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan.
Kecuali itu, pemerintah juga melakukan penyetaraan madrasah dengan
jalur, jenjang dan jenis pendidikan lainnya, sebagaimana pada UU Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu dalam Pasal 17 ayat 2
menyebutkan “Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah 16
Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk
lain yang sederajat” dan Pasal 18 ayat 3 menyebutkan “ Pendidikan
menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah
(MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK) atau bentuk lain yang sederajat”.
Dengan berlakunya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, memperkuat posisi madrasah dalam sistem pendidikan
nasional, semakin diakui dan turut berperan dalam peningkatan kualitas
generasi bangsa.25 Hal ini berarti pengolaan, mutu, kurikulum, pengadaan
tenaga, dan lain-lain yang meliputi penyelenggaraan pendidikan nasional juga
berlaku untuk pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Sudah tentu
pengintegrasian pendidikan Islamsebagai sub-sistem pendidikan nasional
menuntut berbagai penyesuaian di dalam arti yang positif.26 Paling tidak,
perhatian pemerintah terhadap pertumbuhan dan perkembangan madrasah
diharapkan akan lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.27 Bahkan
dengan diperkuat oleh UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
hal ini seperti memberikan peluang yang lebih luas untuk proses
pengembangan pendidikan madrasah ke arah yang lebih progresif seiring
tantangan zaman.28

25
Hamruni, & Kurniawan, S., Political Education of Madrasah in the Historical
Perspective, Sunan Kalijaga International Journal on Islamic Education Research (SKIJIER), 2(2),
(2018), 139–156.
26
Yahya, M. D., Posisi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional di Era Otonomi
Daerah, Khazanah, 12(1), (2014).
27
Hidayat, A., & Machali, Pengelolaan Pendidikan (Konsep, Prinsip, dan Aplikasi
dalam Mengelolah Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012)
28
Gaffar, M., Manajemen Pendidikan Madrasah dan Otonomi Daerah, Sulesana, 7(2),
(2012), 128–137.
C. Kesimpulan/Penutup
Dari uraian-uraian di atas, dapat disarikan bahwa pada masa Orde lama
pendidikan Islam mulai diperjuangkan untuk diadakan pembaruan dengan
diterbitkannya kebijakan tentang perbaikan pendidikan Islam, di antaranya
madrasah wajib belajar (MWB). Perbaikan pendidikan Islam berlanjut pada
masa Orde Baru yang diawali oleh kebijakan pemerintah dengan penegrian
madrasah (MIN, MTsN, dan MAN), hingga lahirnya SKB Tiga Menteri yang
menyamakan lulusan sekolah dengan madrasah, pendirian MAPK dan lain-
lain. Kebijakan pemerintah pada masa orde reformasi terus membaik terutama
dengan semakin dikukuhkannya posisi madrasah dalam system pendidikan
nasional dan penyetaraan madrasah dengan jalur, jenjang dan pendidikan
lainnya melalui UU no 20 tahun 2003.
Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia,
ada tiga momentum yang sangat menentukan eksistensi madrasah; pertama,
SKB 3 Menteri 1975 yang menjadi pintu masuk pengakuan madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam yang setara dengan sekolah umum; kedua, UU
Sisdiknas Nomor 2/1989 yang menjadikan madrasah bukan saja sebagai
lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum, lebih dari itu
madrasah diakui sebagai sekolah umum berciri khas agama Islam. Dengan
kata lain, sejak UU Sisdiknas Nomor 2/1989 diberlakukan, madrasah dapat
dikatakan sebagai “sekolah umum plus”. Dan yang ketiga, UU no 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional. Nampaknya, pengakuan dan
kesetaraan ini masih terus diuji di lapangan, apakah pengelola madrasah
mampu mengemban tugas ganda, sebagai sekolah umum plus sebagai lembaga
pendidikan Islam?. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Halim, Aktualisasi Implementasi Kebijakan Pendidikan pada


Madrasah Swastadi Sulawesi Selatan, Jurnal LENTERA Vol 1 No. 1 Juni
2008.
Abdul Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi, dan Aksi,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2000)

Abdul Rahman Saleh, Penyelenggaraan Madrasah dan Peraturan Peraturannya,


(Jakarta: Dharma Bhakti Persada, 1984)

Ali Anwar, Pembaruan di Pesantren Lirboyo Kediri, (Yogyakarta: LKiS, 1999)

Ali Hasan, M. et.al., Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 2003)

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah di Kepulauan Nusantara Abad


Ke-18, Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1999)

Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta : CV. Rajawali, 1983)

Gaffar, M., Manajemen Pendidikan Madrasah dan Otonomi Daerah, Sulesana,


7(2), (2012), 128–137.

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di


Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004)

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional


Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004)

Hamruni, & Kurniawan, S., Political Education of Madrasah in the Historical


Perspective, Sunan Kalijaga International Journal on Islamic Education
Research (SKIJIER), 2(2), (2018), 139–156.

Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Hidayat, A., & Machali, Pengelolaan Pendidikan (Konsep, Prinsip, dan Aplikasi
dalam Mengelolah Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012)

Kafrawi Ridwan, Pembaruan Sistem Pondok Pesantren, (Jakarta: Cemara, 1978)

Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam


Kurikulum Moderen, (Jakarta: LP3ES, 1995)

Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Islam di Indonesia, (Malang: UMM


Presss, 2006)

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara


Sumber Widya, 1968)
Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1999)

Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Amazah,


2010)

Marwan Sarijo, Pendidikan Islam dari masa ke masa: Tinjauan Kebijakan Pubik
Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara
& Pena Madani, 2010)

Mawardi Sutedjo, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Dirjen


Binbaga Islam Departemen Agama RI dan UT, 1996)

Mukhtar Zarkasyi, Departemen Agama dan Pendidikan Islam dalam Bicara


Pendidikan Islam, (Jakarta: DPP GUPPI, 2009)

Muljanto Sumardi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1978)

Nur Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,


(Yogyakarta: Arruz Media, 2007)

Syamsul Nizar, Pendidikan Islam: Menelusuri Sejarah Pendidikan Islam:


Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007)

Yahya, M. D., Posisi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional di Era


Otonomi Daerah, Khazanah, 12(1), (2014).

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta; bumi aksara, 2000)

Anda mungkin juga menyukai