Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN AGAMA


ISLAM PADA SEKOLAH

Dosen Pengampu :

DISUSUN OLEH :

KHOLISSOTUN NASIHA

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI ( PIAUD )


INSTITUS AL-MA’ARIF WAY KANAN
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan
masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan
Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui
pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari Asia maupun Timur Tengah.
Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara pedagang dan atau
mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan berlangsung di mesjid
ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan
Islam berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan
pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga berkembang ke
tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur dan
tertib dalam penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut
ilmu Islam ini dikenal masyarakat sebagai pesantren. 
Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa
banyak perubahan mendasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama
Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan
kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil menanamkan
paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan Islam dan
pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa pendidikan Islam di
Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat (ilmu-
ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini
terus berlanjut hingga kini. 
Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu
telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum
diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti
telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam
pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu
pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau pandangan yang digali
dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian sebagai
fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim
tatkala mengembangkan suatu ilmu . 
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat
dari  kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai
terpengaruh. Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup
dinamis dalam menanggapi kondisi kekinian masyarakat. Pada awalnya
kurikulum Madrasah menitikberatkan pada pendidikan agama dari pada ilmu-ilmu
umum, tapi kini berbalik yakni: 70 persen  ilmu umum dan 30 persen agama.
Dengan demikian, berdasakan problematika di atas, maka dalam makalah
ini akan mengupas tentang pendidikan islam di Indonesia yang ada pada sekolah
umum dan agama serta menindak lanjuti solusinya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana  Pendidikan Agama di sekolah dan madrasah ?
2.       Bagaimana usaha Pemerintah untuk meningkatkan mutu madrasah agar
sejajar dengan sekolah umum yang setingkat ?
3.       Bagaimana usaha guru professional dalam penyelenggaraan pendidikan islam
di sekolah dan madrasah?

C.    Tujuan Penulisan
1.       Untuk mengetahui hal yang mendasari Pendidikan Agama di sekolah dan
Madrasah
2.       Untuk mengetahui usaha Pemerintah dalam  meningkatkan mutu pendidikan
agam islam.
3.       Untuk mengetahui usaha guru professional dalam penyelenggaraan
pendidikan islam di sekolah dan madrasah?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum


Pendidikan agama islam di sekolah umum merupakan suatu gebrakan dalam
pembaharuan dalam pendidikan. Pada masa penjajahan agama tidak mendapat
tempat di sekolah umum. Pendidikan agama dianggap hanya diberikan oleh
keluarga, bukan di sekolah. Kolonial Belanda sangat gencar menghambat
perkembangan pendidikan agama di sekolah umum karena selain menjajah
territorial, Belanda juga membawa misi kristenisasi di Indonesia.
Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah
umum sedikit demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sehingga akhirnya pada undang-
undang no. 20 /2003 pendidikan agama diselenggarakan tidak hanya oleh
pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama telah diperbolehkan
untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal dan
informal.
Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah
menunjukkan hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang kemudian menjadi
presiden pertama RI mengatakan bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan,
dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengamalkan agama yang
menjadi kepercayaannya.
Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka selanjutnya pada tanggal
18 Agustus 1945 ditetaplah sebuah asas yang menempatkan Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila, sebagai manifestasi dari sikap
hidup yang religius tersebut. Selain itu pada pasal 29 UUD 1945 yang
menjelaskan tentang:
Ayat 1 : Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Ayat 2 :Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Maka untuk merealisasikan sikap hidup yang agamis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah RI
membentuk Departemen Agama. Tugas utama departemen ini adalah mengurus
soal-soal yang berkenaan dengan kehidupan beragama bagi seluruh rakyat
Indonesia. Salah satu di antaranya adalah berkenaan dengan pendidikan agama.
Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh Departemen Agama tidak
hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama saja, pesantren dan madrasah, tetapi
juga menyangkut pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional ditetapkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
dan 2 sebagai berikut :
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berakarpada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman.

Dari rumusan di atas, dalam rangka mengembangkan potensi manusia


Indonesia seutuhnya, dalam arti utuh jasmani dan rohani sesuai dengan amanah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, diperlukan
adanya pelaksanaan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah
pada semua jalur jenis dan jenjang pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum sesuai dengan ketentuan
undang-undang dapat dilihat pada beberapa pasal dari UUSP No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa : Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya,
pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) tersebut di atas ditegaskan
bahwa : Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta
berakhlak manusia.
Bab V tentang peserta didik, Pasal 12 ayat (1)
(1)   Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :
a.       Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b.      Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuan.
Bab X tentang kurikulum pada Pasal 36 ayat (3) juga dinyatakan :
(3)   Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memerhatikan :
a.       Peningkatan iman dan takwa
b.      Peningkatan akhlak mulia
c.       Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik.
d.      Keraguan potensi daerah dan lingkungan
e.       Tuntutan pembangunan daerah dan lingkungan
f.       Dinamika perkembangan global
Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum diatur
dalam undang-undang, baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana
pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum, dan komponen-
komponen pendidikan lainnya.
Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa dalam rangka membangun manusia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, maka pendidikan agama
berfungsi sebagai berikut:
1. Dalam aspek individual adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang
beriman, bertaqwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan berakhlak mulia.
2. Dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah untuk hal-hal
sebagai berikut :
a. Melestarikan asa pembangunan nasional, khususnya asa perikehidupaan
dalam keseimbangan.
b. Melestarikan modal dasar pembangunan nasional yakni modal rohaniah dan
mental berupa keimanan, ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan
akhlak mulia.
c. Membimbing warga negara Indonesia menjadi warga negara yang baik
sekaligus umat yang taat menjalankan agamanya.

Hal ini sesuai dengan rumusan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3
tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu : Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Dari kutipan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas,
dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional,
pendidikan agama menempati tempat yang strategis secara operasional, yaitu
pendidikan agama mempunyai relevansi dengan pendidikan kehidupan bangsa
dan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Upaya pendidikan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,
memberikan makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek kepribadian
seluruh makna perlunya pengembangan seluruh dimensi  aspek kepribadian
seluruhnya secara seimbang dan selaras. Konsep manusia seutuhnya harus
dipandang memiliki unsur jasad, akal, dan kalbu serta aspek kehidupannya
sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Kesemuanya harus berada
dalam kesatuan integrlistik yang bulat. Pendidikan agama perlu diarahkan untuk
mengembangkan iman, akhlak, hati nurani, budi pekerti serta aspek kecerdasan
dan keterampilan sehingga terwujud keseimbangan. Dengan demikian, pendidikan
agama secara langsung akan mampu memberikan kontribusi terhadap seluruh
dimensi perkembangan manusia Indonesia seutuhnya seperti tercermin dari semua
unsur yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti yang
dimaksudkan.1
Dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang objeknya
adalah pribadi anak yang sedang berkembang, maka adanya hubungan timbal
balik antara penanggung jawab pendidikan, yaitu yang di dalamnya terdiri dari
kepala sekolah, para guru, staf ketatausahaan, orang tua dan anggota keluarga
lainnya mutlak diperlukan. Hal ini bukan hanya karena peserta didik masih
memerlukan perlindungan dan bimbingan sekolah dan keluarga tersebut, tetapi
juga pengaruh pendidikan dan perkembangan kejiwaan yang diterima peserta
didik dari kedua lingkungan tersebut tidak boleh menimbulkan pecahnya
kepribadian anak. Pengaruh komplikasi psikologis tersebut selain bisa
mengakibatkan frustasi pada diri anak, juga dapat menghambat perkembangan
jiwa anak didik.
Dengan kata lain, suatu kerjasama antara penanggung jawab pendidikan
tersebut perlu diintensifkan, baik melalui usaha guru-guru di sekolah maupun
orang-orang tua murid. Pertemuan antara kedua pendidik (guru dan orang tua)
perlu diadakan secara periodik, kunjungan guru ke rumah orang tua murid yang
diatur secara periodik untuk saling mengadakan pertukaran pikiran dan pendapat
tentang anak didiknya adalah merupakan kegiatan padagogis yang sangat penting
artinya bagi usaha menyukseskan pendidikan agama.
Guru perlu mengetahui sedikit tentang suasana rumah, tempat anak itu hidup,
sehingga guru mengetahui suasana hidup keagamaannya dan bagaimana
pandangannya terhadap perlunya pendidikan agama bagi putra-putrinya.Guru
memerlukan keterangan-keterangan dari orang tua murid mengenai anaknya
masing-masing. Melalui cara demikian, guru akan memperoleh petunjuk-petunjuk
yang berharga yang dapat digunakan guna pendidikan anak di sekolah.
Lingkungan masyarakat juga mempunyai pengaruh pada pendidikan anak di
sekolah. Terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah, sekolah dan
masyarakat mempunyai hubungan timbal balik, yaitu sekolah menerima pengaruh
masyarakat  dan masyarakatnya juga dipengaruhi oleh hasil pendidikan sekolah.
Menjadi tugas sekolah untuk mengenal anak agar mereka belajar hidup di
masyarakat dan belajar memahaminya dan mengenal baik buruknya.
Dengan demikian, dengan cara tersebut diharapkan agar anak memahami dan
menghargai suasana masyarakatnya. Salah satu dari tujuan sekolah adalah
mengantar anak dari dalam kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian,
pendidikan agama yang berlangsung dan diselenggarakan masyarakat harus
menjadi penunjang dan pelengkap yang mampu untuk mengembangkan
pengetahuan dan wawasan keagamaan anak. Demikian pula hendaknya yang
terjadi di lingkungan keluarga, pendidikan agama harus menjadi pendorong yang
saling menguatkan, sehingga melalui program keterpaduan dapat dikembangkan
program pendidikan agama yang berkelanjutan, yang saling mengisi dan
menguatkan.

1 Depdiknas, kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah
Atas dan Madrasah Aliya, (Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003), hlm. 17.
Program pendidikan agama pada ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus
diusahakan agar tidak tumpang tindih, tidak saling melemahkan dan tidak jadi
bertentangan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, prinsip keterpaduan
pendidikan agama Islam akan tercapai dengan baik. Selanjutnya, perlu ditegaskan
kembali di sini bahwa pendidikan agama berfungsi membentuk manusia
Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta
berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan hubungan antarumat beragama.
Adapun tujuan pendidikan agama, yaitu untuk berkembangnya kemampuan
peserta didik dalam mengembangkan, memahami, menghormati dan
mengamalkan nilai-nilai agama Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni. Perlu diingat bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama harus
memerhatikan prinsip dasar sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan
agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
2. Pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan
ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai
landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.
3. Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif,
dan dinamis sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan
rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
5. Satuan pendidikan yang berciri khas agama dapat menciptakan suasana
keagamaan dan menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan,
seperti tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalamannya.

Dengan demikian, setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan


pendidikan agama, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan
agama.
2. Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan
pendidikan agama dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang
setingkat atau penyelenggaraan pendidikan agama di masyarakat untuk
menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
3. Satuan pendidikan seharusnya menyediakan tempat dan kesempatan kepada
peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan persyaratan
agama yang dianut oleh peserta didik.
4. Tempat melaksanakan ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau di
sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik
menjalankan ibadahnya.
5. Satuan pendidikan yang bercirikan khas agama tertentu tidak berkewajiban
membangun tempat ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas
agama satuan pendidikan yang bersangkutan.
Adapun kualifikasi minimum pendidik pendidikan agama tingkat SD, SMP,
dan SMA/SMK, atau bentuk lain yang sederajat adalah sarjana agama, ditambah
sertifikat profesi pendidik pendidikan agama dari perguruan tinggi yang
terakreditasi. Pendidik pendidikan agama adalah guru mata pelajaran pendidikan
agama harus memiliki latar belakang agama sesuai dengan agama yang dianut
peserta didik dan mata pelajaran pendidikan agama yang diajarkan bagi pendidik
yang tidak memenuhi kualifikasi minimum sebagaimana tersebut, tetapi memiliki
di bidang agama setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan.
Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan disediakan oleh satuan
pendidikan yang bersangkutan atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah
daerah. Mengenai pengawasan pendidikan agama dilakukan oleh pengawas
pendidikan agama terhadap penyelenggaraan pendidikan agama, yang meliputi
pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan.
Laporan sebagaimana dimaksud di atas berisi evaluasi terhadap pelaksanaan
teknis pendidikan agama dan ditujukan kepada Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota atau Kantor Wilayah Departemen Agama2

B. Pendidikan Agama Islam di Madrasah


1.    Berkembangnya Madrasah di Indonesia
Madrasah (Bahasa Arab) berarti tempat untuk belajar. Persamaan Madrasah
alam bahasa Indonesia adalah “sekolah”, dengan konotasi yang khusus yaitu
sekolah-sekolah agama Islam. Tempat belajar adalah tempat untuk mengajarkan
dan mempelajari ajaran-ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan, dan keahlian
lainnya yang berkembang pada zamannya.
Sekitar abad ke-19, pemerintah Belanda mulai memperkenalkan sekolah-
sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat
sehingga hal itu sedikit banyak mempengaruhi system pendidikan yang telah
berkembang di Indonesia, termasuk pesantren yang menjadi sistem pendidikan
madrasah. Sistem sekolah yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda
telah memasuki dunia pesantren. Sistem khalaqah bergeser ke arah sistem
madrasah dalam bentuk klasikal, dengan unit-unit kelas.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak madrasah yang didirikan terpisah
dengan induknya yaitu pesantren, surau atau masjid. Bahkan, dengan adanya ide-
ide pembaruan dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, tidak sedikit madrasah
yang didirikan sudah lepas sama sekali dengan pesantren sehingga tidak hanya
memberikan pengetahuan agama, tetapi juga mengajarkan pengetahuan umum,
sesuai dengan tuntutan zaman. Madrasah yang pertama kali didirikan di Indonesia
adalah Madrasah Adabiyah di Padang Sumatra Barat, yang didirikan oleh Syekh
Abdullah Ahmad tahun 1909.
Madrasah tersebut pada mulanya bercorak agama murni. Akhirnya pada
tahun 1915 berubah coraknya menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah.
HIS Adabiyah inilah yang merupakan sekolah pertama yang memasukkan
pelajaran agama ke dalam kegiatan pengajarannya.
2 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006, hlm. 15-23
Awal abad ke-20 merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah
di seluruh Indonesia, dengan nama dan tingkatan yang bervariasi dan belum ada
keseragaman baik isi kurikulum serta rencana pelajaran. Baru, setelah Indonesia
merdeka, tepatnya tahun 1950 mulai dirintis penyeragaman bentuk, sistem dan
rencana pelajaran. Dari sini dapat dikatakan bahwa madrasah-madrasah pada awal
perkembangannya masih bersifat diniyah semata, atau materi pendidikannya
hanya agama. Kemudian sekitar tahun 1930 terjadi pembaruan madrasah, yaitu
dengan masuknya pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya.3

  
2.      Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Madrasah
Secara historis, pada tahap-tahap awal perjalanan madrasah tidaklah begitu
mulus, kendatipun didirikan dengan nama madrasah, semula yang dikehendaki
ialah suatu lembaga pendidikan dengan sistem klasikal, yang didalamnya anak
didik mendapatkan ilmu pengetahuan agamaan umum secara berimbang. Tetapi
prakteknya hanya dicerminkan oleh sistem klasikalnya saja, sementara kurikulum
yang diajarkan tetap semata-mata bidang studi agama. Karena itu banyak
madrasah pada tahap-tahap awal ini tidak bedanya dengan pesantren tradisional
yang sudah lama berjalan.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka oleh Departemen Agama
diadakanlah upaya-upaya untuk peningkatan kualitas madrasah, yang salah satu
aspeknya adalah kurikulum. Untuk masalah kurikulum ini, dalam
perkembangannya telah beberapa kali diadakan perubahan, dari yang muatannya
lebih banyak pengetahuan agama dari pada pengetahuan umum sampai dengan
diberlakukannya kurikulum 1994 yang memuat kurang lebih 10% pendidikan
agama dan 90% pengetahuan umum.
Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan pada madrasah merupakan
perpaduan antara sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada
sekolah-sekolah modern. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara
berangsur-angsur, mulai dari mengikuti system klasikal. Sistem pengajian kitab,
diganti dengan bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan
kitab-kitab yang lama. Kenaikan tingkat ditentukan oleh penguasaan terhadap
sejumlah bidang pelajaran tertentu.
Pada perkembangan berikutnya sistem pondok mulai ditinggalkan dan berdiri
madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah
modern. Namun demikian, pada tahap-tahap awal madrasah tersebut masih
bersifat diniyah yang hanya mengajarkan pengetahuan agama.
Tampaknya, ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan
kebangkitan nasional bangsa Indonesia sangat besar pengaruhnya, sedikit demi
sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah, dan terus berproses
sebagaimana digambarkan terdahulu. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun
khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku
pengetahuan umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian
timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-
3 Zuhairini & Abdul Ghofur, Metodelogi Pembelajaran PAI, 2004, hal. 30-31
bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkatan
dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk tingkatan SMP, Madrasah Aliah (MA)
untuk tingkatan SMA, dan ada pula Kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang
disebut normal Islam.4
Dalam tahap selanjutnya, penyesuaian tersebut demikian terpadunya,
sehingga kabur perbedaannya, kecuali pada kurikulum dan nama madrasah yang
diembeli dengan Islam. Kurikulum madrasah masih mempertahankan agama
sebagai mata pelajaran pokok, walaupun dengan prosentase yang berbeda. Pada
waktu pemerintah RI dalam hal ini Kementrian Agama mulai mengadakan
pembinaan dan pengembangan terhadap sistem pendidikan madrasah, melalui
Kementrian Agama, merasa perlu menentukan kriteria-kriteria madrasah. Kriteria
yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah yang berada
dalam wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata
pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggu.5
Adapun pengetahuan umum yang diajarkan pada madrasah pada masa-masa
awal adalah:
1. Membaca dan menulis (huruf latin) bahasa Indonesia
2. Berhitung
3. Ilmu bumi
4. Sejarah Indonesia dan Dunia
5. Olahraga dan kesehatan. 6

Dalam perkembangannya, kurikulum pada madrasah dari waktu ke waktu


senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan kemajuan
zaman. Semua ini dilakukan adalah dengan tujuan peningkatan kualitas madrasah,
agar keberadaannya tidak diragukan dan sejajar dengan sekolah-sekolah lain.7
  
3.      Usaha Pembinaan dan Peningkatan Mutu Madrasah
Wewenang pembinaan diserahkan kepada Kementrian Agama. Tujuan
pembinaannya adalah madrasah berkembang secara terintegrasi alam satu sistem
nasional, sebagaimana yang dikehendaki oleh UDD 1945. Pemerintah
menggariskan kebijaksanaan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat
untuk menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar pada Kementrian
Agama. Untuk dapat terdaftar, persyaratan utamanya adalah madrasah yang
bersangkutan harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok
paling sedikit 6 jam seminggu sacara teratur di samping pelajaran umum. Upaya
pemerintah menyediakan para guru agama untuk sekolah-sekolah dan perguruan-
perguruan umum, pada tahun 1951, kementrian agama mendirikan Sekolah Guru
Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Hakim Agama Islam (SHAI). Kedua sekolah
tersebut sering mengalami pergantian nama yang akhirnya menjadi PGA dan
PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri).

4 Mahmud Yunus, Seajarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1985, hal. 12-103


5 Djumhur-Danusaputra, Sejarah Pendidikan, 1979, hal. 223.
6 Muwardi Sutedjo, dkk., Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, 1992, hal. 42.
7 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, 1996, hal. 73.
Jumlah madrasah yang cukup besar di Indonesia memberikan andil yang
besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ciri khas
madrasah yang menitikberatkan pendidikan agama (mula-mula 100% agama
kemudian 30% umum dan 70% agama), dipandang kurang mampu membekali
peserta didik untuk bisa hidup di dunia yang semakin maju, yang membutuhkan
penguasaan iptek untuk menghadapinya. Lulusan madrasah kurang bersaing di
bidang penggunaan iptek di bandingkan anak-anak lulusan sekolah umum.
Padahal, orang memerlukan kehidupan yang layak sebagai warga Negara
Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk meningkatkan mutu madrasah
agar sejajar dengan sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan
keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan
SKB 3 M. yang dimaksud dengan SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara
Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975, Menteri P&K dengan SK No.
37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun 1975, tertanggal
24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan
sebelum SKB 3 M, komposisi kurikulum madrasah yaitu70% pelajaran agama
dan 30% pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat
pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum
yang setingkat, yakni: (1) Madrasah Ibtidaiyah [MI] untuk tingkatan dasar, (2)
Madrasah Tsanawiyah [MTs] untuk tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah [MA]
untuk tingkatan SMA.
Dengan pernyataan tingkat mutu tersebut maka:
a.       ijazah marasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah
umum yang setingkat;
b.      murid  madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat; dan
c.       lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih
tinggi.
Untuk mencapai tingkatan yang sama dengan sekolah umum, usaha
peningkatan yang akan dilakukan meliputi: (1) masalah kurikulum; (2) buku
pelajaran, alat pelajaran dan sarana pelajaran pada umumnya; dan (3) masalah
pengajar/pendidik.
Dengan usaha peningkatan tersebut maka tingkat pendidikan umum pada
madrasah akan setingkat dengan pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga:
a)      standar pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD
b)      standar pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP
c)      standar pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di
SMA.
Dengan adanya SKB 3 M ini, maka tugas dan fungsi madrasah sebagai bagian
integral dari sistem pendidikan nasional makin mantap dan kuat sehingga lulusan
madrasah bisa memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum
sebagai warga Negara yang memiliki hak dan kewajiban.
Dengan demikian yang dimaksudkan pendidikan agama di madrasah adalah
suatu program untuk memenuhi sebagian dari tujuan pendidikan di madrasah di
bidang pengetahuan, penghayatan dan pengalaman agama. Program itu diarahkan
untuk menjadi muslim yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa baik yang
diarahkan sebagai bekal kemampuan pribadinya maupun sebagai bekal untuk
memasuki lapangan kerja. Program tersebut sebagai ciri khas kekhususan sebagai
sekolah agama.
Materi pendidikan agama di madrasah untuk semua tingkat berdasarkan
kurikulum tahun 1934 adalah8:
a)      Al-qur’an-hadits,
b)      Aqiah akhlak,
c)      Fiqh,
d)     Sejarah kebudayaan/peradaban Islam, dan bahasa Arab.
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah
diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada
sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global,
serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum
adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.

C.       Peran Guru Sebagai Profesi Professional Dalam Pendidikan Agama


Islam
Guru Sebagai Tenaga Profesional dalam Strategi Penyelenggara Pendidikan
agama Islam.  Berbicara mengenai kedudukan guru sebagai tenaga profisional
akan lebih tepat mengena  secara implisit apabila diketahui terlebih dahulu tentang
maksud kata “profesi “ yang merupakan  kata dasar dari professional tersebut.
Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang  memerlukan
pendidikan lanjut di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan
sebagai  perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang
bermanfaat.
Dalam aplikasinya menyangkut aspek-aspek yang lebih bersifat mental
daripada yang  bersifat manual work. Pekerjaan profesioanal akan senantiasa
menggunakan teknik dan prosedur  yang berpijak pada landasan intelektual yang
harus dipelajari secara sengaja, terencana dan kemudian  dipergunakan demi
kemaslahatan orang lain secara menyreluruh.
Seorang pekerja professional khususnya guru dapat dibedakan dari seorang
teknisi karena disamping  menguasai sejumlah teknik serta prosedur kerja tertentu,
seorang pekerja profesioanal juga ditandai  dengan adanya dengan respon
informasi yang kuat terhadap implikasi kemasyarakatan dari obyek  kerjanya. Hal
ini berarti bahwa seorang guru harus memiliki persepsi filisofis dan tanggapan
yang bijaksana dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. Jika

8 Zuhairini & Abdul Ghofur, Opcit, 2004, hal. 31-33


kompetensi seorang teknisi lebih  bersifat mekanik dalam arti sangat
mementingkan kecermatan sedangkan kompetensi seorang sebagai  profesioanal
kependidikan ditandai dengan serentetan diagnosis dan penyesuaian yang sifatnya
terus  menerus. Dalam hal ini disamping kecermatan untuk menentukan langkah .
guru harus  bersabar, ulet  dan telaten sertatanggap terhadap setiap kondisi,
sehingga di akhir pekerjaannya akan membuahkan  hasil yang sangat
memuaskan.9
Pengetian profesi secara khusus denagn segala cirinya akan membawa
konsekuensi yang  fundamental terhadap program pendidikan terutama yang
berkenaan dengan komponen tenaga  kependidikan dalam kaitannya dengan
pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, guru dituntut adanya  kualifikasi
kemampuan yang lebih memadai. Secara garis besar tingkatan kualifikasdi
professional  guru sebagai tenaga profesioanal kependidikan dapat ditelaah
sebagai berikut :10
a.        Capable personal maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan,
kecakapan dan  ketrampilan serta sikap yang memadai sehingga mampu
mengelola proses belajar mngajar secara efektif.
b.      Innovator yakni sebagai tenaga kependidikan yang memiliki komitmen
terhadap upaya  perubahan dan reformasi. Para guru diharapkan memiliki
pengetahuan, kecakapan dan  ketrampilan serta sikap yang tepat terhadap
pembaharuan dan sekaligus merupakan penyebar ide  pembaharuan yang
efektif.
c.       Developer , seorang guru harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas
persespektifnya.  Guru harus mampu melihat kedepan dalam menjawab
tantangan – tantangan yang dihadapi oleh  sector pendidikan sebagai suatu
sistim.  Dengan pencaian suatu tingkatan profisionalisme, seorang guru akan
lebih memaksimalkan  tugas dan tanggung jawab mereka ditengah
masyarakat. Sementara itu menurut Wolmer dan Mills  bahwa sebuah
pekerjaan dikatakan sebagai suatu profesi apabila memenuhi kreteria –
kreteria yaitu :

1)      Memiliki spesialisasi dengan latar belakang yang luas, maksudnya memiliki


pengetahuan umum  yang luas dan keahlian khusus yang mendalam.
2)      Merupakan karier yang dibina secara organisatoris maksudnya adanya
keterkaitan dalam suatu  organisasi profisional, memiliki otonomi jabatan,
kode etik jabatan dan merupakan karya bakti  seumur hidup.

BAB III
9 Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, 1996, hal. 131-132
10 Ibid. hal. 134
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.      Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah
menunjukkan hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang kemudian menjadi
presiden pertama RI mengatakan bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan,
dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengamalkan agama yang
menjadi kepercayaannya.
Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah
umum sedikit demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sehingga akhirnya pada undang-
undang no. 20 /2003 pendidikan agama diselenggarakan tidak hanya oleh
pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama telah diperbolehkan
untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal dan
informal.
2.      Usaha Pemerintah untuk meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan
sekolah umum yang setingkat. Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yang
dimaksud dengan SKB 3 M yaitu keputusan bersama antara Menteri Agama
dengan SK No. 6 Tahun 1975, Menteri P&K dengan SK No. 37/U/1975 dan
Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun 1975, tertanggal 24 Maret 1975
tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Yang dimaksud dengan madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan
yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sedangkan
sebelum SKB 3 M, komposisi kurikulum madrasah yaitu70% pelajaran agama
dan 30% pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu madrasah agar tingkat
pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum
yang setingkat, yakni: (1) Madrasah Ibtidaiyah [MI] untuk tingkatan dasar, (2)
Madrasah Tsanawiyah [MTs] untuk tingkatan SMP, (3) Madrasah Aliyah [MA]
untuk tingkatan SMA.
Dengan pernyataan tingkat mutu tersebut maka:
1)      ijazah marasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah
umum yang setingkat;
2)      murid  madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat; dan
3)      lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih
tinggi.
Untuk mencapai tingkatan yang sama dengan sekolah umum, usaha
peningkatan yang akan dilakukan meliputi: (1) masalah kurikulum; (2) buku
pelajaran, alat pelajaran dan sarana pelajaran pada umumnya; dan (3) masalah
pengajar/pendidik.
Dengan usaha peningkatan tersebut maka tingkat pendidikan umum pada
madrasah akan setingkat dengan pendidikan umum pada sekolah umum, sehingga:
1)      standar pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD;
2)      standar pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di
SMP;
3)      standar pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di
SMA.

3.      Seorang guru harus lebih memaksimalkan  tugas dan tanggung jawab mereka


ditengah masyarakat guna dalam menyeleggarakan pendidikan. Hal ini berkaitan
dengan pekerjaan professional yang diembannya untuk saat ini. Pekerjaan guru
dikatakan sebagai suatu profesi apabila memenuhi kreteria – kreteria yaitu :
a.          Memiliki spesialisasi dengan latar belakang yang luas, maksudnya memiliki
pengetahuan umum  yang luas dan keahlian khusus yang mendalam.
b.         Merupakan karier yang dibina secara organisatoris maksudnya adanya
keterkaitan dalam suatu  organisasi profisional, memiliki otonomi jabatan, kode
etik jabatan dan merupakan karya bakti  seumur hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.
I. Djumhur & Danusaputra. 1979. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu.
Shaleh, Abdul Rachman. 2006. Pendidikan Agama & Pembangunan Watak
Bangsa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sardiman AM, 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Remaja
Grafindo Persada,
Sutedjo, Muwardi. dkk. 1992. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Ditjen Binbaga Islam dan UT.
Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Hidakarya Agung.
Zuhairini & Ghofur, Abdul. 2004. Metodelogi Pembelajaran PAI. Malang:
Universitas Negeri Malang.

Anda mungkin juga menyukai