Anda di halaman 1dari 4

NAMA : EVI NURJAYANTI

JURUSAN : TARBIYAH
PRODI : PIAUD
NIM : 201403001
MAKUL : BTQ

Di Ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata Kuliah BTQ yang di ampu oleh Bapak
Bahroni,M.Pd

Urgensi Belajar Baca Tulis Al-Qur’an , Sebagai Tuntutan


Wajib Dalam memahami Al-Qur’an ?

Apabila ingin belajar al-Qur’an komponen paing utama yang harus kita lalui yakni
belajar baca tulis al-Qur’an, sebelum lebih langkah menjauh. Ibarat menuntut ilmu,
memulainya harus dr paling dasar dan tidak bisa langung kejenjang teratas.
Problematika mempelajarai Baca Tulis Al-Qur’an (BTA) seperti cara membacanya,
huruf-huruf hijaiyah, hukum-hukum tajwidnya, serta komponen lainnya harus dikuasai
terlebih dahulu untuk memahami al-Qur’an supaya tidak salah tafsir.

Seorang Muslim Wajib Memahami Al-Qur’an


Ada perbandingan seperti ini: jika kita punya motor, lalu motor itu rusak, dan yang kita
lakukan hanyalah membaca manual book nya secara keras keras tanpa melakukan apa
yang diminta oleh manual book tersebut, akankah motornya berfungsi dengan benar?
Fenomena seperti itu masih ditemukan disekitar kita, mengagungkan bacaannya, seolah
olah menjadi mantra, tetapi isinya sendiri tidak dipahami dan dimengerti, kalau tidak
dipahami dan dimengerti lantas apa yang akan kita jalankan?
“Al Qur’an itu tiada lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya
dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (lihat surat
Yasin: 69-70).

Setelah pada ayat-ayat yang lalu kita telah membaca tentang bukti kuasa Allah SWT
yang dapat menghantarkan kita pada keyakinan tentang keesaan-Nya dan keniscayaan
datangnya Hari Kiamat serta pada akhir ayat 68 lalu terdapat perintah berpikir yang
mengindikasikan bahwa manusia meski tidak bisa mengelak dari ketuaan dan
kelemahan, tidak berarti ia menghalangi potensi ruhani yang ada dalam dirinya, pada
dua ayat ini akan diulas tentang Rasulullah SAW dan kaitannya dengan wahyu al-
Qur’an. Allah SWT berfirman:
‫ين () لِيُ ْن ِذ َر َم ْن‬ ٌ ْ‫َو َما َعلَّ ْمنَاهُ ال ِّشع َْر َو َما يَ ْنبَ ِغي لَهُ إِ ْن هُ َو إِاَّل ِذ ْك ٌر َوقُر‬
ٌ ِ‫آن ُمب‬
َ ‫ق ْالقَ ْو ُل َعلَى ْال َكافِ ِر‬
‫ين‬ َّ ‫ان َحيًّا َويَ ِح‬ َ ‫َك‬

Artinya:
“Dan Kami tidak mengajarnya (Nabi Muhammad SAW) syair, dan tidak patut baginya
(yakni Nabi Muhammad SAW tidak mampu menggubah, bahkan mengucapkan syair sekali
pun). Ia (apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW) tidak lain kecuali peringatan dan al-
Qur’an yang jelas. (Yang bertujuan) untuk memberi peringatan kepada siapa yang (akal dan
pikirannya) hidup dan (sebaliknya), akan menjadi wajar (jatuhnya) ucapan (ketetapan Allah
SWT) atas orang-orang kafir (yang enggan menerima peringatan dan tuntunan kitab suci).”
(QS: Yasin ayat 69-70)

Meriwayatkan dari Basyar dari Yazid dari Sa’id dari Qatadah, al-Thabari dalam al-Jami’
fi Ahkam al-Quran menulis bahwa suatu ketika ‘Aisyah RA ditanya oleh seorang sahabat,
“Apakah Rasulullah SAW pernah memberikan perumpamaan tentang sesuatu layaknya
syair?”
Aisyah menjawab, “Syair adalah seburuk-buruknya perkataan bagi Nabi SAW.”
“Kecuali pernah pada suatu ketika Rasulullah SAW pernah membuat syair di rumah
seorang sahabat dari Bani Qais. Ia menyusun bait terbalik-balik, yang harusnya menjadi
bait awal dikatakan di akhir, dan sebaliknya. Lalu Abu Bakar RA berkomentar, “Bukan
seperti itu baitnya.” Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Sungguh demi Allah! aku
bukanlah seorang penyair, dan syair tidak perlu bagiku,” terang Aisyah menjelaskan
kepada sahabat tersebut.
Riwayat di atas perlu dipahami bahwa bukan berarti syair merupakan sesuatu yang
buruk, karena syair adalah tradisi yang dibanggakan masyarakat Arab kala itu. Nabi
SAW tidak pernah melarang para sahabatnya untuk bersyair. Bahkan tradisi
perlombaan syair di pasar ‘Ukaz tidak pernah dilarang meskipun di masa Islam telah
berjaya. Adapun maksud dari keterangan Aisyah RA bahwa syair adalah buruk bagi
Nabi SAW lebih karena Nabi SAW tidak mampu bersyair dengan baik, selain karena
menjaga agar tidak ada kecurigaan dari bangsa Arab bahwa al-Qur’an disusun oleh Nabi
Muhammad SAW.
Keterangan di atas dikuatkan dengan penjelasan kalimat berikutnya (in huwa illa
dzikrun wa quranin mubin). Al-Thabari dengan mengutip riwayat Qatadah menerangkan
bahwa bukanlah Nabi Muhammad SAW melainkan seorang utusan yang memberikan
peringatan bagi umat manusia dengan risalah yang disampaikannya dan Nabi SAW
menjelaskan al-Qur’an kepada kalian orang-orang yang menggunakan akal dan hatinya
untuk menerima hidayah. Al-Qur’an bukan merupakan syair dan bukan pula bagian dari
sihir sebagaimana dituduhkan orang-orang musyrik Mekah.
Untuk kata hayyan yang terdapat pada ayat 70 di atas, menurut al-Thabari setidaknya
teradapat dua makna yang berbeda. Pertama berdasarkan riwayat dari Abu Kuraib dari
Abu Mu’awiyah dari Abi Rawq dari al-Dhahhak, kata tersebut bermakna akal, artinya
orang yang hidup akal pikirannya. Sedangkan kedua atas dasar riwayat dari Basyar dari
Yazid dari Sa’id dari Qatadah, maknanya adalah hati dan mata hatiyang hidup (hayya al-
qalb wa hayy al-bashar). Adapun maksud kata al-qawl pada lanjutan ayat tersebut
menurut al-Thabari bermakna siksaan (al-‘adzab). Artinya pasti terjadi siksa yang
menimpa orang-orang kafir.
Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir al-Misbah, kedua ayat di atas
menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah syair-syair. Karena syair biasanya mengarahkan
perhatian hanya pada kata-kata untuk mengundang decak kagum saja, tetapi
kandungannya dangkal dan jauh dari kebenaran. Al-Quran sendiri menolak mentah-
mentah bila disamakan dengan syair sebagaimana tertuang dalam QS. al-Syu’ara [26]:
225 – 226. Dalam kedua ayat tersebut diterangkan bahwa kebiasaan penyair yang
hanya mengandalkan emosi dan suara hatinya saja, bukan bersumber dari Tuhan
Semesta Alam.
Quraish kemudian melanjutkan bahwa tidak semua penyair dicela al-Qur’an, para
penyair yang beriman dikecualikan dari tuduhan tersebut sebagaimana pada ayat 227
juga disebutkan. Namun, kata Quraish, perlu ditegaskan kembali bahwa apa yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW bukan sama sekali syair, baik dari segi sifat
maupun bentuknya.

۟ ُ‫ك لِّ َي َّد َّبر ُٓو ۟ا َءا ٰ َي ِتهِۦ َولِ َي َت َذ َّك َر أ ُ ۟ول‬
ِ ‫وا ٱأْل َ ْل ٰ َب‬
‫ب‬ َ ‫نز ْل ٰ َن ُه إِ َلي‬
ٌ ‫ْك ُم ٰ َب َر‬ َ َ‫ِك ٰ َتبٌ أ‬

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29)

Tafsir Quran Surat Shad Ayat 29


Sesungguhnya Al-Qur`ā n ini yang Kami turunkan kepadamu wahai Nabi berisi banyak
manfaat dan kebaikan, supaya manusia merenungkan ayat-ayatnya dan memikirkan
makna-maknanya, dan supaya orang-orang yang memiliki akal sehat dan cerdas
mengambil pelajaran darinya.

‫ب أَ ْق َفالُ َهٓا‬
ٍ ‫ان أَ ْم َع َل ٰى قُلُو‬ َ ‫أَ َفاَل َي َتدَ َّبر‬
َ ‫ُون ْٱلقُرْ َء‬
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?”
(QS. Muhammad:24)
Tafsir Quran Surat Muhammad Ayat 24

Maka kenapa orang-orang yang berpaling itu tidak memperhatikan Al-Qur`ān dan
menelaah apa yang ada di dalamnya, kalau seandainya mereka memperhatikannya
niscaya Al-Qur`ān itu akan menunjukkan kepada mereka segala kebaikan dan
menjauhkan mereka dari segala keburukan, ataukah di hati mereka ada gembok-
gembok yang telah memastikan tertutupnya hati sehingga nasihat tidak sampai
kepadanya dan peringatan tidak bermanfaat baginya

Di zaman Nabi Shalalahu ‘alaihi wa sallam, salah satu hikmah kenapa Al-Qur’an
diturunkan secara bertahap, dalam kurun waktu dua puluh tahun lebih, tidak sekaligus,
adalah tujuannya bukan hanya untuk dibaca dan dihafalkan saja.
Mereka juga mengajarkan dan mempraktekkan/mengamalkan ayat-ayat itu dalam
kehidupan mereka. Jadi ini memiliki efek ganda; menghafal ayat-ayatnya dan
mengamalkannya.

Metode membaca dan ‘menghafal’ Al-Qur’an yang paling baik adalah seperti apa yang
generasi terbaik lakukan.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum (seorang sahabat nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam)
berkata, “Kami menghafalkan Al Qur’an dalam sehari sebanyak lima ayat dan kami
tidaklah menambah lebih dari itu sampai kami menguasai tafsir ayat-ayat tersebut.
Sungguh akan datang kaum di mana mereka menghafalkan Al Qur’an seluruhnya,
namun mereka tidak mengamalkannya. Mereka begitu mantap menguasai huruf-
hurufnya, namun mereka tidak memahami aturan-aturan dalam Al Qur’an.”

Anda mungkin juga menyukai